bab 1 zakat dan filantropi islam - ibec-febui.com...- menurut istilah syara, zakat bermakna...
Post on 30-Oct-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 1 Zakat dan Filantropi Islam
Wacana Filantropi dalam Kapitalisme
Dalam wacana kapitalisme, hubungan antara bisnis dan masyarakat terfokus ke dalam
wacana Corporate Social Responsibility (CSR) yang terbagi dalam dua mazhab:
- Bisnis hanya berkewajiban memaksimumkan laba di dalam kerangka hukum dan
kendala etika minimal (Friedman 1970; Levitt 1958).
- Bisnis memiliki kewajiban yang lebih luas terhadap masyarakat (Andrews, 1973;
Carroll, 1979; Davis and Blomstrom, 1975; Epstein, 1985; McGuire, 1963).
Laba yang menjadi motivasi utama dari bisnis, berkorelasi dengan eksploitasi sumber
daya secara besar-besaran. Filantropi kemudian muncul sebagai sarana untuk
“pencucian dosa”, sarat kepentingan dan aroma ideologis, dan menjadi pembenaran
atas eksploitasi sumber daya.
Piramida Corporate Social Responsibility
- Tanggung jawab filantropis be a good corporate citizen
- Tanggung jawab etis be ethical
- Tanggung jawab hukum/legal obey the law
- Tanggung jawab ekonomis be profitable
Motivasi Filantropi Konvensional
Dalam perspektif konvensional, mencapai laba maksimum adalah motivasi tunggal
perusahaan dalam kegiatan produksi.
- Mencapai laba maksimum kemudian menjadi prioritas tertinggi dengan menghalalkan
segala cara, termasuk menabrak norma-norma.
- Meski korporasi sering menampakkan niat dan itikad baik dalam bentuk corporate
social responsibility, hal tersebut seringkali kosmetik saja, seperti sekedar charity,
promosi-image building, mendapat fasilitas pengurangan pajak, untuk mendapat
keamanan (security) dalam operasional perusahaan, bahkan money laundering.
Wajah Filantropi Konvensional
- Filantropi konsumsi: menggabungkan sentimen konsumsi dengan filantropi dan
tanggung jawab sosial.
- Filantropi laba: Filantropi tanpa malu-malu dipaparkan sebagai bagian dari strategi
jangka panjang untuk maksimalisasi laba.
- Selebrasi media: Selebrasi media tentang filantropi menyampaikan citra palsu sebuah
komunitas yang bekerja menuju dunia yang lebih baik.
Filantropi Islam
- Perilaku memberi secara sukarela untuk orang lain yang membutuhkan (filantropi),
memiliki tradisi yang sangat kuat di dalam Islam yang biasa kita kenal dengan istilah
sedekah.
- Sedekah merupakan bentuk pengakuan paling mendasar atas konsep istikhlaf
(perwakilan).
- Konsep istikhlaf ini secara kuat akan menekan penimbunan harta, perlombaan dalam
mengejar kekayaan, kejahatan ekonomi, dan kesenjangan sosial.
Konsep Shadaqah
- Pertama adalah sedekah wajib yaitu zakat.
- Sedekah ke-dua adalah sedekah sunnah (sukarela).
Piramida Corporate Social Responsibility: Perspektif Islam
Misi Organisasi Pembiayaan, Keberlanjutan dan Fokus Operasional
Posisi Zakat dalam Islam
Zakat merupakan salah satu fondamen Islam yang utama dan mutlak harus
dilaksanakan. Zakat dalam Islam adalah hak fakir miskin yang tersimpan dalam
kekayaan orang kaya. Kewajiban zakat dibebankan kepada negara yang berhak
memungut dan mendistribusikannya secara paksa. Bila negara lalai, seorang muslim
tetap wajib melaksanakan zakat. Penggunaan zakat sesuai dengan sasaran-sasaran
yang telah ditetapkan Al Quran. Zakat tidak hanya kewajiban ekonomi tapi juga
mencakup tujuan spiritual, moral, sosial dan politik.
Konsep Zakat
- Zakat (zakâh) secara bahasa bermakna “mensucikan”, “tumbuh” atau “berkembang”.
- Menurut istilah syara’, zakat bermakna mengeluarkan sejumlah harta tertentu untuk
diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq) sesuai dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan syari’at Islam.
- Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan hukum pelaksanaannya
adalah wajib. Zakat terbagi dua jenis, yaitu zakat jiwa (zakâh alfithr) dan zakat harta
(zakâh al-mâl).
- Alokasi zakat misalnya, secara spesifik telah ditentukan langsung di dalam al-Qur’ân
9: 60, dimana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan (ashnâf) saja, yaitu:
orangorang fakir (fuqarâ’), miskin (masâkîn), amil zakat (‘âmilîn ‘alayhâ), mu’allaf
(mu’allaf qulûbuhum), budak (riqâb), orangorang yang berhutang (ghârimîn), pejuang
di jalan Allâh (fî sabîlillâh), dan musafir (ibn sabîl). Jumhur ‘ûlamâ sepakat bahwa selain
8 golongan ini, harâm menerima zakat.
Sistem Zakat
zakâh adalah sistem fiskal pertama di dunia yang memiliki kelengkapan aturan yang
luar biasa, mulai dari subjek pembayar zakat, objek harta zakat (mâl al-zakâh) beserta
tarif-nya masing-masing (miqdâr al-zakâh), batas kepemilikan harta minimal tidak
terkena zakat (nishâb), masa kepemilikan harta (haul), hingga alokasi distribusi
penerima dana zakat (mustahiq).
Komparasi Zakat dan Wakaf
Tujuan Utama Zakat
Al Qur’an menyebutkan fakir dan miskin sebagai kelompok pertama dan kedua dalam
daftar penerima zakat. Prioritas dan pengutamaan oleh Al Qur’an ini menunjukkan
bahwa mengatasi masalah kemiskinan merupakan tujuan utama zakat.
Dinamika Konsep Zakat
- Khalifah Umar ibn Khattab memperluas objek zakat, seperti Kuda yang di Suriah dan
merupakan barang dagangan yang mahal, dan juga miju-miju, kacang polong, dan
zaitun yang telah dibudidayakan secara massal.
- Khalifah Umar juga menerapkan keringanan dengan menunda pemungutan zakat
pada saat paceklik besar (tahun al-Ramada), namun beliau juga memberikan sanksi
berupa denda 20% dari total harta bagi mereka yang tidak jujur dalam menghitung
zakat-nya.
- Zakat atas piutang muncul di zaman Khalifah Utsman.
- Khalifah Ali ibn Abi Thalib tidak mengenakan zakat pada hewan ternak yang
dipekerjakan (al-hawamil walhawamil) karena dianggap kebutuhan dasar petani.
Fiqh Kontemporer Zakah
Qardawi (1973) berpandangan Islam mewajibkan bekerja bagi orang yang mampu,
namun orang itu diberi fasilitas untuk memperoleh pekerjaan sehingga ia dapat
mandiri. Lebih jauh lagi, Qardawi (1973) menyatakan bahwa zakat patut diberikan
kepada orang yang menuntut ilmu karena dia melaksanakan fardhu kifayah, faedah
ilmunya tidak hanya untuk dirinya, namun juga untuk seluruh ummat. MUI memberi
kualifikasi bahwa zakat untuk beasiswa haruslah diprioritaskan untuk siswa yang
berprestasi, miskin dan ilmunya dibutuhkan ummat.
Bab 2 Mikroekonomi Zakat
Ekonomi Zakat
Sebagai sebuah pranata sosial-ekonomi yang lahir pada abad ke-7 M, zakâh adalah
sistem fiskal pertama di dunia yang memiliki kelengkapan aturan yang luar biasa.
Zakat dan Konsumsi Agregat
Kelompok masyarakat wajib zakat (muzakki) akan mentransfer sejumlah proporsi
pendapatan mereka ke kelompok masyarakat penerima zakat (mustahiq). Hal ini secara jelas
akan membuat pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) dari mustahiq akan
meningkat. Dalam jangka panjang, transfer zakat akan membuat ekspektasi pendapatan dan
tingkat kekayaan mustahiq meningkat yang pada gilirannya membuat konsumsi mereka
menjadi lebih tinggi lagi.
- Dalam teori konsumsi Keynesian tradisional, konsumsi semata-mata ditentukan oleh
tingkat pendapatan saat ini (“absolute income hypothesis”).
- Kekayaan (wealth) dan ekspektasi pendapatan di masa depan (expected future
income) juga berperan besar sebagai determinan konsumsi.
- Berbagai studi menyimpulkan bahwa tingkat konsumsi agregat dalam perekonomian
Islam akan lebih tinggi.
- Argumen-nya sederhana yaitu dengan mengasumsikan bahwa MPC mustahiq adalah
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan MPC muzakki.
- Hipotesis ini bergantung pada 2 asumsi. Pertama, asumsi bahwa MPC mustahiq lebih
tinggi dibandingkan MPC muzakki. Kedua, asumsi bahwa dalam perekonomian selalu
terdapat cukup orang miskin untuk menerima zakat.
Zakat dan Kualitas Konsumsi
- Seiring kenaikan pendapatan, maka pola konsumsi seseorang akan bergeser dari
barang dan jasa kebutuhan primer yang umumnya masih selaras dengan maslahah ke
barang dan jasa non-primer yang sepenuhnya berbasis utility yang subyektif, yang
umumnya mengarah pada pola hidup bermewahmewahan (al-tana’um).
- Dengan kata lain, selain akan meningkatkan kuantitas konsumsi, penerapan zakat juga
akan meningkatkan kualitas konsumsi perekonomian.
Hirarki Kebutuhan Manusia dalam Islam
Zakat dan Tabungan
- Teori ekonomi mempostulatkan bahwa tabungan adalah residu dari pendapatan
setelah konsumsi (S=Y-C) dimana alokasi keduanya dijelaskan oleh positive time
preference theory.
- Dalam perspektif Islam, tabungan bukanlah aktivitas residual, melainkan sebuah
tindakan rasional yang memiliki tujuan tertentu yang positif, bukan untuk ditimbun
atau digunakan untuk berspekulasi.
- Motivasi untuk menabung dalam perekonomian Islam adalah expected rate of return
on savings, bukan suku bunga (interest rate).
- Dalam Islam, zakat dikenakan pada tabungan sehingga nilai tabungan akan turun
setiap tahunnya sebesar nilai tabungan dikali tarif zakat.
- Dengan demikian rate of return on saving sepenuhnya ditentukan rasio bagi hasil dan
tingkat pengembalian (return) proyek karena tarif zakat adalah konstan.
Zakat dan Investasi
- Institusi zakat memiliki dampak positif pada investasi dengan cara mempenalti
penumpukan dana, sumber daya yang menganggur dan penggunaan sumber daya di
aset yang tidak produktif.
- Dalam perekonomian Islam dimana ribâ dilarang, maka penerapan zakat ini memberi
insentif yang kuat bagi pemilik kekayaan untuk melakukan investasi di sektor riil dalam
rangka mempertahankan tingkat kekayaan mereka.
- Penerapan zakat akan membuat permintaan investasi untuk setiap expected rate of
return akan selalu lebih tinggi dalam perekonomian Islam dibandingka perekonomian
konvensional.
- Dengan demikian, dalam perekonomian Islam, opportunity cost dari tidak
menginvestasikan aset menganggur adalah tarif zakat dikalikan aset yang menganggur
tersebut, bukan nol sebagaimana di perekonomian konvensional.
Zakat dan Investment-Switching
Karena zakat dikenakan terhadap keseluruhan kekayaan, tidak hanya terhadap
pendapatan, maka selain mempenalti harta yang menganggur, zakat juga secara otomatis
mempenalti penggunaan sumber daya di asetaset yang tidak produktif dan tidak
berkembang Dengan demikian, dalam perekonomian Islam dimana zakat diterapkan,
akan terjadi investment-switching dari investasi di aset-aset yang tidak produktif ke
investasi di aset-aset produktif.
Zakat dan Produksi Agregat
- Zakat memiliki tarif yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena
sudah diatur dalam syari’ah.
- Zakat juga memiliki tarif berbeda untuk jenis harta yang berbeda, dan mengizinkan
keringanan bagi usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi lebih tinggi.
- Sebagai instrumen fiskal, zakat memberi insentif bagi dunia usaha, sehingga output
naik dan harga turun.
- Sebagai bentuk intervensi pasar, zakat adalah instrumen yang memiliki distorsi pasar
yang minimal.
Bab 3 Aspek Ekonomi Zakat
Ekonomi Zakat
• Sebagai sebuah pranata sosial-ekonomi yang lahir pada abad ke-7 M, zakâh adalah
sistem fiskal pertama di dunia yang memiliki kelengkapan aturan yang luar biasa.
– Antara lain: subjek pembayar zakat, objek harta zakat (mâl al-zakâh) beserta tarif-
nya masing-masing (miqdâr al-zakâh), batas kepemilikan harta minimal tidak terkena
zakat (nishâb), masa kepemilikan harta (haul), hingga alokasi distribusi penerima dana
zakat (mustahiq).
• Jika diterapkan secara sistemik dalam perekonomian, khususnya perekonomian
berbasis aturan dan semangat Islam yang komprehensif, zakat juga akan memiliki
berbagai karakteristik dan implikasi ekonomi yang penting dan signifikan, yang
membuatnya diinginkan secara sosial.
Zakat dan Efisiensi Alokatif
Zakat mentransfer sebagian pendapatan kelompok kaya (yang umumnya merupakan
bagian kecil dalam masyarakat) ke kelompok miskin (yang umumnya merupakan
bagian terbesar dalam masyarakat). Permintaan yang lebih tinggi untuk kebutuhan
dasar masyarakat terkait zakat ini, akan mempengaruhi komposisi produksi barang
dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian, sehingga akan membawa pada alokasi
sumber daya menuju ke sektor-sektor yang lebih diinginkan secara sosial. Hal ini akan
meningkatkan efisiensi alokatif dalam perekonomian.
Zakat sebagai Fiscal Stabilizers
Belanja dana zakat bisa tidak sama dengan dana zakat yang terkumpul, tergantung
pada situasi perekonomian. Pada saat perekonomian mengalami ekspansi,
pengumpulan dana zakat meningkat akibat naiknya basis zakat. Namun pada saat
yang sama, jumlah penerima zakat akan berkurang karena kondisi ekonomi yang
sedang baik, maka dimungkinkan untuk memperoleh surplus dana zakat (zakat
surplus). Ketika perekonomian sedang mengalami resesi, jumlah muzakki berkurang
dan sebaliknya jumlah mustahiq meningkat. Maka hal ini akan membawa kita pada
defisit dana zakat (zakat deficit) dimana defisit ditutup dengan surplus tahun
sebelumnya. Dengan demikian, belanja dana zakat akan bekerja sebagai discretionary
fiscal stabilizers, dengan pemerintah bertindak sebagai pengelola-nya.
Selain sebagai discretionary fiscal stabilizers, zakat juga berfungsi sebagai automatic
fiscal stabilizers. Zakat dengan tarif tetap bertindak sebagai pajak proporsional yang
akan menurunkan dampak pengganda (multiplier effect) sehingga akan mengurangi
fluktuasi output secara otomatis. Di saat yang sama, dana zakat yang terkumpul akan
dibelanjakan kepada kelompok miskin sehingga membuat konsumsi kelompok ini
dapat terus berjalan tanpa terpengaruh oleh kondisi ekonomi. Hal ini membuat
pengganda dan output menjadi lebih stabil. Dengan demikian, kombinasi fungsi zakat
sebagai pajak proporsional dan tunjangan bagi kelompok miskin, akan meredam
dampak fluktuasi siklus bisnis terhadap perekonomian.
Zakat dan Stabilisasi Perekonomian
Dalam perekonomian Islam, dimana zakat diterapkan dan ribâ dilarang, keputusan
investasi menjadi bagian integral dari keputusan menabung. Zakat dikenakan
terhadap tabungan dan dana yang menganggur. Jika investasi tidak menjadi bagian
terintegrasi dalam keputusan menabung, maka tingkat kekayaan akan menurun. Jika
tabungan diikuti dengan investasi, maka tingkat kekayaan akan tergantung
sepenuhnya pada rasio bagi hasil dan tingkat pengembalian (return) proyek, karena
tarif zakat adalah konstan. Dengan demikian, tabungan berhubungan secara positif
dengan peluang dan ekspektasi investasi.
Ketika ekpektasi investasi menurun, maka tabungan akan menurun dan konsumsi
akan meningkat, sehingga permintaan agregat naik dan ekspektasi investasi membaik.
Dalam perekonomian dimana investasi adalah bagian integral dari keputusan
menabung, maka akan terdapat mekanisme otomatis yang membawa perekonomian
pada stabilitas. Dalam sistem konvensional, dimana bunga tidak dilarang dan zakat
tidak diterapkan, keputusan investasi sama sekali terpisah dari keputusan menabung.
Dikotomi ini menjadi penyebab utama dalam fluktuasi perekonomian.
Zakat sebagai Sistem Jaminan Sosial
Dalam Islam, jaminan sosial merupakan elemen yang built-in di dalam sistem,
berangkat dari kewajiban dan hak kelompokkelompok masyarakat, berakar dari
keimanan pada Tuhan, persaudaraan, komitmen dan harmoni sosial. Dalam sistem
Islam, perlindungan sosial kepada kelompok miskin adalah berlapis-lapis. –
Perlindungan pertama berasal dari keluarga dan kerabat dekat (al-Qur’ân 2:233).
Perlindungan kedua datang dari kaum muslim secara kolektif (al-Qur’ân 51:19). Dan
perlindungan terakhir datang dari negara melalui dana zakat (al-Qur’ân 9:60).
Hasan (1984) mengusulkan dua jenis jaminan sosial untuk perekonomian Islam.
Pertama, jaminan sosial untuk populasi ghair nishâbi, yaitu populasi yang kekayaannya
berada dibawah nishâb. Jaminan sosial ini sepenuhnya dibiayai dari dana zakat, tidak
ada kontribusi dari penerima tunjangan sosial. Kedua, jaminan sosial untuk populasi
nishâbi. Penerima manfaat dan pembayar kontribusi dalam sistem jaminan sosial ini
adalah kelompok nishâbi dimana skema jaminan harus didesain sedemikian sehingga
tidak akan mengalami kebangkrutan.
Zakat dan Redistribusi Pendapatan
Secara umum, distribusi pendapatan dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok.
Pertama, distribusi pendapatan fungsional (faktorial), yang ditunjukkan dengan
pembagian pendapatan menurut kelompok faktor produksi, seperti tenaga kerja dan
modal. Kedua, distribusi pendapatan personal, yang ditunjukkan dengan pembagian
pendapatan antar individu dalam masyarakat. Ketentuan Islam terhadap faktor
produksi, seperti kepemilikan tanah, larangan menimbun harta, penerapan zakat dan
pelarangan ribâ, akan membuat kesenjangan dalam distribusi pendapatan faktorial
menjadi minimal. Islam juga memiliki banyak instrument untuk redistribusi
pendapatan seperti zakat, infaq dan wakaf, sehingga distribusi pendapatan personal
akan lebih merata.
Zakat memiliki fungsi redistribusi baik melalui pendapatan faktorial maupun melalui
pendapatan personal. Zakat diterapkan pada harta yang memiliki potensi untuk
berkembang, termasuk modal finansial (uang) dan modal fisik seperti gedung dan
pabrik. Sebagai mekanisme redistribusi pendapatan, zakat secara efektif akan
meredistribusi pendapatan dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Redistribusi
pendapatan melalui zakat dapat dilakukan dengan melakukan transfer payment atau
negative income-tax secara langsung ke orang miskin ataupun melalui penyediaan
barang-barang publik yang sangat dibutuhkan orang miskin yang juga memiliki
dampak redistributif yang kuat seperti penyediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan
dasar.
Zakat dan Penawaran Agregat
Islam mendorong penciptaan lapangan kerja dengan memfasilitasi kerjasama bisnis
(partnership) melalui pelarangan ribâ dan penerapan zakat. Dalam Islam, financial
resources (uang) dilarang menerima bunga (fixed rent) dan disaat yang sama financial
resources yang menganggur akan terkena penalti zakat, sehingga untuk
mempertahankan tingkat kesejahteraan, pemilik modal dipaksa sistem untuk investasi
di sektor riil. Islam memfasilitasi para pemilik modal finansial yang dipaksa masuk ke
sektor riil ini dengan menyediakan kerangka partnership seperti mudhârabah dan
musyarakah.
Zakat juga memberi praktek fiskal terbaik dalam mendorong produksi dan
pertumbuhan ekonomi melalui tarif pajak yang rendah. Tarif zakat secara umum
adalah rendah yaitu 2,5% dan tidak pernah berubah-ubah. Sejak lama, cendekiawan
muslim telah menganjurkan agar tarif pajak dibuat rendah untuk meningkatkan
insentif bekerja, meningkatkan penerimaan pajak dan mendorong pertumbuhan
ekonomi, sesuatu yang kini dikenal sebagai supply-side economics.
Bab 4 Zakat dan Penanggulangan Kemiskinan
Perspektif Islam tentang Kemiskinan
Islam sangat memperhatikan masalah kemiskinan, bahkan dipandang sebagai salah
satu ancaman terbesar bagi keimanan (al-Qur’ân 2: 268). Islam memandang bahwa
kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural. Allah telah menjamin rizki setiap
makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (al-Qur’ân 30:40 dan al-Qur’ân
11:6) dan pada saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural
dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (al-Qur’ân 67:15).
Setiap makhluk memiliki rizki-nya masing-masing (al-Qur’ân 29:60) dan mereka tidak
akan kelaparan (al-Qur’ân 20: 118- 119). Islam mendorong negara menanggulangi
kemiskinan dengan cara memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (basic rights
approach).
Zakat sebagai Program Penanggulangan Kemiskinan
Mengatasi masalah kemiskinan merupakan tujuan utama zakat. Alokasi dana zakat
sudah ditentukan secara pasti dalam al-Qur’ân 9: 60 dimana zakat hanya
diperuntukkan bagi 8 golongan (ashnâf) saja yaitu: fuqarâ’ (fakir), masâkîn (miskin),
‘âmilîn ‘alayhâ (pihak pengelola atau amil zakat), mu’allaf qulûbuhum (orang yang
sedang dijinakkan hatinya), riqâb (membebaskan budak), ghârimîn (orang-orang yang
berhutang), fî sabîlillâh (pejuang di jalan Allah), dan ibn sabîl (orang yang sedang dalam
perjalanan). Jumhur ‘ulamâ’ sepakat bahwa selain delapan golongan ini, harâm
menerima zakat.
Zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian.
Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan, emas dan perak, perniagaan
komersial, barang-barang tambang hingga seluruh pendapatan yang dihasilkan dari
aset fisik dan finansial serta keahlian pekerja. Zakat adalah pajak spiritual yang wajib
dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat
cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlanjutan program penanggulangan
kemiskinan dalam jangka panjang.
Zakat, Penciptaan Peluang Wirausahawan (Entrepreneurial Opportunities) dan
Kemiskinan
Dalam perekonomian Islam, modal finansial (uang) dilarang disewakan, tidak boleh
menuntut bunga. Satu-satunya cara bagi uang agar tidak berkurang dan memperoleh
hasil adalah dengan bersedia menanggung resiko usaha untuk memperoleh laba. Di
saat yang sama, Islam menyediakan institusi jaminan sosial, yaitu zakat, yang
merupakan sedekah wajib, serta mendorong sedekah tidak wajib seperti wakaf dan
infaq. Dalam sistem konvensional, dimana semua faktor produksi disewakan,
wirausahawan tidak berkembang. Dan dalam perekonomian dengan resiko bisnis
tinggi, semua faktor produksi akan lebih memilih menjadi hired resources daripada
menjadi entrepreneur resources. Dengan demikian, kelompok buruh di negara
berkembang dengan jumlah tenaga kerja berlimpah (labour-abundant developing
countries), akan selalu terperangkap dalam upah rendah dan kemiskinan.
Zakat, Penciptaan Pekerjaan dengan Upah Tetap (Fixed-Wage Job), dan Kemiskinan
Akumulasi modal akan terjadi secara masif dalam perekonomian Islam sehingga
investasi dan penciptaan lapangan kerja dengan upah-tetap terus meningkat. Sumber
pertama akumulasi modal adalah melalui kegiatan nirlaba seperti qardh al-hasan,
zakât, infâq dan waqf. Aturan Islam yang cukup ketat terhadap konsumsi, akan
membuat pendapatan lebih banyak digunakan untuk tabungan dan investasi. Sumber
akumulasi modal lain adalah tabungan para pengusaha,dimana jumlah wirausahawan
lebih besar dalam perekonomian Islam. Sumber akumulasi modal terakhir berasal dari
kombinasi penerapan zakat dan pelarangan ribâ.
Bab 5 Pengelolaan Zakat di Indonesia: Sejarah, Pola dan Arah ke Depan
Historical Milestone
Zakat dan Penanggulangan Kemiskinan
- Sejak 1950-an, telah muncul wacana reformasi zakat di Indonesia, menjadikannya
tidak sekedar pranata keagamaan namun juga pranata sosial dan ekonomi.
- Era 1990-an, seiring perubahan rezim yang mulai mengakomodasi Islam politik,
menjadi saksi kebangkitan ke-dua zakat nasional untuk kesejahteraan ummat.
- Pasca krisis 1997-1998, inovasi pengelolaan dan pendayagunaan zakat berkembang
pesat, seiring meningkatnya kompetisi dan jumlah LAZ yang melonjak drastis.
- Era 2000-an menjadi saksi transformasi zakat sepenuhnya dari ranah karitas ke ranah
pemberdayaan.
- Dengan demikian, zakat menjadi semakin dekat dan efektif dengan tujuan utama-nya
sebagai instrument penanggulangan kemiskinan.
- Identitas terpenting dari OPZ adalah misinya sebagai organisasi dengan tujuan utama
penanggulangan kemiskinan.
Visi OPZ
Identitas sebagai organisasi untuk penanggulangan kemiskinan ini adalah jatidiri
sekaligus keunggulan komparatif terpenting dari OPZ. Dengan tujuan dan target yang
spesifik, yaitu menanggulangi kemiskinan, OPZ selangkah di depan organisasi amal
(charitable organizations) yang berkhidmat pada kemanusiaan secara umum.
Kehadiran OPZ menjadi spektrum baru organisasi nirlaba. Namun misi amal yang
secara spesifik ditujukan pada kemanusiaan dan penanggulangan kemiskinan,
membuat OPZ berada di garda terdepan dalam arus anti materialismehedonisme.
- OPZ adalah antitesa doktrin self-interest dan profit maximization yang menjadi
motivasi tunggal individu dan organisasi di ekonomi konvensional.
- Kehadiran OPZ membuat perusahaan yang semata mengejar laba menjadi usang dan
social enterprise menjadi kewajaran, bahkan keharusan.
OPZ di Indonesia
- OPZ bentukan masyarakat sipil, yaitu Lembaga Amil Zakat (LAZ), pada umumnya
adalah independen dengan pembiayaan sepenuhnya berasal dari zakat dan donasi
masyarakat.
- Dengan demikian, LAZ dihadapkan secara langsung dengan “disiplin pasar” yang
menjadi pendorong utama transparansi, inovasi dan efisiensi organisasi.
- Sedangkan OPZ bentukan pemerintah, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS),
secara umum adalah bagian dari birokrasi dan banyak ditopang birokrasi, seperti
bantuan fasilitas, dukungan pembiayaan, dan dengan sebagian SDM berlatar belakang
PNS.
Legitimasi Sosial
- Rendahnya penghimpunan zakat nasional melalui OPZ berakar dari fakta masih
rendahnya kesadaran dan pemahaman muzakki, khususnya terkait zakat mal, serta
perilaku muzakki yang masih amat karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek,
desentralistis dan interpersonal, sehingga lebih menyukai pemberian zakat secara
langsung ke mustahik, khususnya yang mereka kenal.
- Sementara dari sisi OPZ, berbagai faktor berpengaruh antara lain, rendahnya
pengenalan dan kepercayaan publik terhadap OPZ, dan basis penghimpunan dana OPZ
yang masih terkonsentrasi pada zakat penghasilan. Semakin besar dana terhimpun,
semakin besar kemampuan OPZ mendayagunakan dana zakat secara produktif-
inovatif dan melakukan pengelolaan zakat secara professional-transparan sehingga
kredibilitas mereka semakin tinggi. Dengan demikian, proses ini menjadi self-
reinforcing.
Model Intermediasi Zakat
Transformasi Organisasi Amil
Transformasi Tasharuf Dana Zakat
- Dengan melakukan revitalisasi, inovasi dan diversifikasi program pendayagunaan
zakat, OPZ Indonesia mengembangkan modal manusia, aset fisik dan modal finansial
kelompok miskin, dengan muatan lokalitas yang tinggi. Gerakan zakat Indonesia
kontemporer juga menjadi salah satu model global terbaik untuk pengembangan OPZ
dengan melakukan spesialisasi dalam program pendayagunaan. Seiring transformasi
tasharuf dana zakat ini, gerakan zakat Indonesia telah menjadi mediator aktif untuk
perubahan sosial dan mengatasi masalah kontemporer.
- Ke depan, gerakan zakat Indonesia kontemporer berpeluang untuk semakin
mengukuhkan kepeloporannya dalam pendayagunaan zakat dengan kini mulai
bertransformasi ke arah program yang berupaya mewarnai kebijakan publik dan turut
membentuk masa depan peradaban.
Bab 6 Kerangka Regulasi dan Institusional Pengelolaan Zakat Nasional
PENGELOLAAN ZAKAT KONTEMPORER: KOMPARASI INTERNASIONAL
Sistem Pengumpulan Zakat Kontemporer
OPZ di Indonesia
- Pertama, OPZ bentukan pemerintah, yaitu BAZ
- Kedua, OPZ bentukan masyarakat sipil, yaitu LAZ. LAZ dapat dikelompokkan dalam
beberapa kategori, yaitu: LAZ umum yang tidak terafiliasi dengan institusi tertentu,
LAZ yang berbasis ormas Islam, LAZ yang terafiliasi dengan korporasi, LAZ yang
terafiliasi dengan institusi keagamaan seperti Al Azhar Peduli Ummat dan DPU Daarut
Tauhid.
UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat
Transformasi Zakat Nasional Pasca UU No. 38/1999
- Revitalisasi, inovasi dan diversifikasi program pendayagunaan zakat untuk
kesejahteraan ummat.
- Adopsi tata kelola yang baik untuk pengelolaan zakat nasional.
- Eksistensi sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat
nasional.
Kelemahan UU No. 38/1999
Pertama, UU ini telah menjadi basis legalisasi dan sekaligus basis pendirian OPZ
(Organisasi Pengelola Zakat) sehingga menjadi faktor penting yang memicu
pertumbuhan jumlah OPZ secara signifikan. Kedua, terkait jumlah OPZ yang sangat
banyak, hal ini secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional terkait
penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Ketiga, ”kelemahan” UU No.
38/1999 telah mendorong muncul-nya berbagai peraturan daerah (Perda) tentang
Zakat di banyak daerah.
Kerangka Pengukuran Kinerja OPZ
Pengukuran Kinerja OPZ
- Pertama, terdapat trade-off antara kinerja ekonomi dan sosial-politik dengan kinerja
keuangan.
- Kedua, OPZ yang terafiliasi dengan korporasi, memiliki kinerja keuangan yang sangat
baik.
- Ketiga, terdapat korelasi positif antara kinerja ekonomi dengan ukuran (size) OPZ.
- Keempat, sebagian OPZ memperlihatkan kecenderungan spesialisasi dalam program
pendayagunaan dana zakat.
- Kelima, biaya promosi, sosialisasi dan edukasi zakat merupakan komponen utama
dalam biaya operasional OPZ.
OPZ dengan Kredibilitas Tinggi
- Integritas, akuntabilitas dan transparansi yang tinggi, – ditunjukkan dengan internal
governance, dewan pengawas syariah, dan selfregulation.
- Keberlanjutan keuangan, – ditunjukkan oleh diversifikasi dan perluasan basis donasi.
- Legitimasi sosial yang tinggi, – ditunjukkan oleh pendayagunaan dana zakat secara
profesional dan amanah.
Transformasi Rezim Zakat Nasional
- DPR mengesahkan RUU Pengelolaan Zakat sebagai UU pada 27 Oktober 2011.
- UU No. 38 Tahun 1999 menjadi milestone sejarah zakat Indonesia modern.
- UU No. 23 Tahun 2011 mensentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya oleh
pemerintah melalui BAZNAS yang melaksanakan seluruh pengelolaan zakat nasional
meliputi fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan dan
pertanggungjawaban.
Arsitektur Zakat Indonesia Dibawah UU No. 23/2011
Fungsi Dasar Undang-Undang tentang Aktivitas Amal
Evaluasi UU No. 23/2011
Pertama, penguatan berlebihan supremasi negara diatas marjinalisasi
masyarakat sipil. UU Zakat di Indonesia yang demokratis dan egaliter,
semestinya berorientasi pada pemberdayaan dan penguatan peran
masyarakat sipil dengan negara mengambil peran sebagai regulator tanpa
intervensi yang berlebihan.
Kedua, desentralisasi pengelolaan zakat dan kinerja zakat nasional untuk
perubahan sosial. Di tangan masyarakat sipil, zakat nasional telah
bertransformasi menjadi mediator aktif untuk perubahan sosial dan mengatasi
masalah kontemporer.
Ketiga, tata kelola zakat dan level of playing field operator zakat nasional. UU
No. 23/2011 tidak menjawab masalah tata kelola zakat nasional, bahkan justru
memperburuk situasi dengan memarjinalkan LAZ yang merupakan tulang
punggung zakat nasional saat ini.
Proposal Alternatif Arsitektur Zakat Indonesia
Proposal Alternatif Struktur OPZ Nasional
Proposal Alternatif Struktur UPZ
top related