bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/56188/3/bab 2.pdf · pump pump adalah jenis sepatu yang...
Post on 31-Jan-2021
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hallux Valgus
2.1.1 Anatomi Telapak Kaki
Kaki merupakan penyokong berat badan dan menjadi pengungkit untuk
memajukan tubuh saat berjalan dan berlari. Karena mempunyai satu tulang
yang kuat dan bukan beberapa tulang yang kecil, kaki dapat menyokong berat
badan pada saat berdiri dan berfungsi sebagai pengungkit yang kaku untuk
gerakan ke depan. Pengungkit ini terdiri atas segmen-segmen dengan banyak
sendi, sehingga kaki bersifat fleksibel dan dapat menyesuaikan diri terhadap
permukaan yang tidak rata (Snell, 2006).
(Moore, Dalley, dan Agur, 2014)
Gambar 2.1
Zona pada kaki dan tulang pada tiap zona
Secara umum kaki dibagi menjadi 3 zona seperti ditunjukkan pada gambar
2.1, yaitu forefoot (kaki depan), midfoot (kaki tengah), dan hindfoot (kaki
belakang). Tulang pada bagian forefoot tersusun atas 5 tulang metatarsal dan
14 tulang phalanges, sedangkan pada bagian midfoot tersusun atas tulang
cuboid, navicular, dan 3 tulang cuneiform, serta pada bagian hindfoot
-
7
tersusun atas tulang calcaneus dan talus seperti pada gambar 2.2 (Moore,
Dalley, dan Agur, 2014).
(Moore, Dalley, dan Agur, 2014)
Gambar 2.2
Penampang superior (A) dan inferior (B) anatomi kaki
Pergerakan telapak kaki didukung oleh adanya persendian yang dibentuk
oleh tulang dan ligamen pada telapak kaki (Gambar 2.3). Terdapat beberapa
persendian yang berperan penting pada pergerakan telapak kaki, yaitu sendi
talocrural, subtalar, dan midtarsal. Sendi talocrural adalah sendi
pergelangan kaki yang berfungsi untuk pergerakan dorsofleksi (jari-jari
menunjuk keatas) dan plantarfleksi (jari-jari menunjuk kebawah). Sendi
subtalar adalah sendi posterior antara talus dan calcaneus yang bersamaan
dengan sendi midtarsal membentuk gerakan inversio (telapak kaki
menghadap ke medial) dan eversio (telapak kaki menghadap ke lateral)
(Snell, 2006).
-
8
(Moore, Dalley, dan Agur, 2014)
Gambar 2.3
Persendian pada telapak kaki
2.1.2 Definisi
(Moore, Dalley, dan Agur, 2014)
Gambar 2.4
Hallux valgus
-
9
Hallux valgus (HV) adalah deformitas pada telapak kaki yang ditandai
dengan posisi abnormal dari sendi metatarsophalangeal (MTP) I yang
disebabkan oleh deviasi lateral ibu jari dan deviasi medial tulang metatarsal I,
seperti pada gambar 2.4 (Fraissler, Konrads, Hoberg et al., 2016). Kondisi ini
seringkali diikuti dengan nyeri pada jaringan lunak dan menonjolnya tulang
pada bagian medial metatarsal I, yang disebut juga sebagai bunion. Seiring
dengan berkembangnya deformitas, deviasi lateral ibu jari akan menyebabkan
perubahan posisi normal dan fungsi dari jari kaki yang lain, sehingga timbul
kelainan seperti hammer toe atau claw toe (Gambar 2.5), terjadi perubahan
pola pembebanan berat badan, dan berkembangnya plantar keratotic lesions
(Menz, Roddy, Thomas et al., 2011).
(Moore, Dalley, dan Agur, 2014)
Gambar 2.5
Hammer toe (A) dan Claw toe (B)
2.1.3 Epidemiologi
Menurut hasil metaanalisis oleh Nix, Smith, dan Vicenzino (2010),
didapatkan prevalensi HV sebesar 23% pada usia 18-65 tahun dan semakin
meningkat seiring bertambahnya usia, selain itu prevalensi HV tercatat lebih
tinggi pada perempuan, yaitu sebesar 30% dibandingkan pada laki-laki yang
hanya sebesar 13%. Penelitian lain oleh Ekwere, Usman, dan Danladi (2016)
-
10
yang dilakukan di University of Jos, Nigeria menyatakan prevalensi HV pada
mahasiswa kedokteran dengan rentang usia 18-30 tahun adalah 16% dari
populasi, yaitu 11% pada mahasiswa perempuan dan 5% pada mahasiswa
laki-laki. Selain itu, terdapat hasil penelitian oleh Pratiwi, Winaya, dan
Primayanti (2018) yang menyatakan bahwa 46 orang (74,2%) dari 62
pramuniaga mengalami HV yang ditandai dengan keterbatasan fleksi sendi
MTP.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya HV dibagi menjadi faktor
intrinsik dan ekstrinsik (Perera, Mason, dan Stephens, 2011). Berikut yang
termasuk dalam faktor intrinsik:
1. Genetik
Genetik diperkirakan menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya
HV. Hasil dari penelitian oleh Okudo, Juman, Ueda et al. (2014),
menyatakan bahwa prevalensi HV secara signifikan lebih tinggi pada
perempuan yang memiliki riwayat keluarga menderita HV
dibandingkan pada yang tidak memiliki riwayat HV di keluarganya.
2. Usia
Menurut hasil studi berbasis populasi oleh Dufour, Casey, Golightly et
al. (2014), kejadian HV berhubungan dengan meningkatnya usia, yaitu
10 tahun peningkatan usia pada perempuan akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya HV. Selain itu, dari hasil metaanalisis di
Amerika dan Inggris, didapatkan prevalensi HV pada perempuan
sebesar 15% untuk usia dibawah 18 tahun, 26,3% untuk usia 18-65
-
11
tahun, dan 36% untuk usia diatas 65 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan prevalensi HV seiring dengan peningkatan usia seseorang
(Nix, Smith, dan Vicenzino, 2010).
3. Jenis Kelamin
Hasil metaanalisis oleh Nix, Smith, dan Vicenzino (2010) menunjukkan
bahwa prevalensi HV lebih tinggi pada perempuan, yaitu 30%
dibandingkan pada laki-laki yang hanya sebesar 13%. Penelitian lain
oleh Nguyen, Hillstrom, Li et al. (2010), menyatakan bahwa lebih dari
setengah perempuan yang mengikuti penelitian mengalami HV dan
prevalensinya dua kali lipat lebih besar daripada laki-laki, yaitu 58%
sedangkan prevalensi pada laki-laki hanya 25%.
4. Morfologi Metatarsal
Morfologi metatarsal memengaruhi terbentuknya HV. Secara normal,
panjang metatarsal semakin berkurang mulai dari metatarsal I sampai
metatarsal V, namun biasanya metatarsal I dan metatarsal III memiliki
panjang yang sama. Terdapat kondisi dimana metatarsal I lebih panjang
dari normal, sehingga terjadi dorsofleksi dari sendi MTP I yang
menyebabkan subluksasi dan kemudian terbentuk HV. Selain itu,
bentuk kepala metatarsal I yang bulat juga seringkali menyebabkan HV
karena bentuk tersebut memiliki artikulasi yang lebih tidak stabil
dibandingkan bentuk lainnya dan kondisi ini tidak berhubungan dengan
perubahan secara degeneratif (Perera, Mason, dan Stephens, 2011).
Penelitian lain oleh Nix, Vicenzino, Collins et al. (2012) juga
menyatakan bahwa kejadian HV dipengaruhi dengan bentuk kaki,
-
12
seperti meningkatnya sudut intermetatarsal I, bentuk kepala metatarsal
I yang bulat, subluksasi sendi MTP I, dan deviasi lateral sesamoid.
5. Kondisi Klinis
Kondisi klinis yang memengaruhi terjadinya HV antara lain yaitu pes
planus, functional hallux limitus, first-ray hypermobility, dan tight
achilles tendon (Perera, Mason, dan Stephens, 2011). Pes planus adalah
kondisi kolapsnya lengkungan longitudinal pada kaki karena ligamen
yang longgar, sehingga membuat kaki menjadi datar, sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 2.6 (Atik dan Ozyurek, 2014).
(Moore, Dalley, dan Agur, 2014)
Gambar 2.6
Perbandingan bentuk kaki normal (kiri) dan pes planus (kanan)
Functional hallux limitus adalah ketidakmampuan fungsional pada
proximal phalanx I untuk berekstensi kearah metatarsal I pada saat
berjalan (Durrant dan Chockalingam, 2009). First-ray hypermobility
adalah peningkatan mobilitas tulang dan jaringan lunak pada daerah
metatarsal I, sesamoid, dan phalanges I (Doty dan Coughlin, 2013).
Tight achilles tendon adalah ketegangan tendon achilles yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya inflammasi tendon (tendonitis),
-
13
regangan berlebihan pada otot dan tendon, serta robekan tendon
(Asplund dan Best, 2013).
Faktor ekstrinsik antara lain adalah penggunaan sepatu hak tinggi dan
beban yang berlebihan. Penggunaan sepatu hak tinggi secara langsung
dapat memengaruhi distribusi tekanan tubuh pada kaki, sehingga
tekanan pada kaki bagian depan meningkat yang kemudian
dihubungkan dengan terjadinya kelainan bentuk kaki, seperti hallux
valgus (Cronin, 2014). Menurut Perera, Mason, dan Stephens (2011),
belum ada bukti hubungan yang jelas antara beban yang berlebihan
dengan kejadian HV. Namun, berdasarkan penelitian oleh Nguyen,
Hillstrom, Li et al., (2010), terdapat bukti bahwa indeks massa tubuh
(IMT) seseorang berhubungan dengan timbulnya HV, dimana pada
perempuan dengan obese (IMT 30,0-49,2 kg/m2) dan overweight (IMT
25,0-29,9 kg/m2), risiko HV lebih rendah dibandingkan pada
perempuan dengan IMT normal (16,7-24,9 kg/m2).
2.2 Sepatu Hak Tinggi
2.2.1 Definisi
Sepatu hak tinggi adalah jenis alas kaki yang meningkatkan tinggi tungkai
melebihi jari-jari kaki, sehingga menyebabkan penggunanya terlihat lebih
tinggi (Barnish, Morgan, dan Barnish, 2018). Menurut penelitian oleh
Borchgrevink, Viset, Witsø et al. (2015), sepatu hak tinggi didefinisikan
sebagai sepatu yang tinggi haknya diatas 5 cm.
-
14
2.2.2 Jenis
Terdapat beberapa jenis sepatu hak tinggi dan setiap jenisnya mempunyai
tujuan penggunaan yang berbeda-beda. Berbeda penampilan, berbeda pula
jenis sepatu hak tinggi yang digunakan. Berikut adalah jenis-jenis sepatu hak
tinggi tersebut (Blakley dan Kepple, 2013; Purnamasari, 2015):
1. Pump
Pump adalah jenis sepatu yang mempunyai hak lebar dan non-stiletto
dengan tinggi hak kurang lebih sekitar 3 inci. Sepatu jenis pump bisa
juga mempunyai jenis hak stiletto. Dalam hal ini, sepatu tersebut lebih
digolongkan ke jenis stiletto, bukan jenis pump.
(Blakley dan Kepple, 2013)
Gambar 2.7
Pump heels
2. Stiletto
Stiletto adalah jenis sepatu dengan hak tinggi yang runcing dan tajam.
Tinggi hak stiletto bervariasi, mulai dari 1 inci sampai 8 inci atau
bahkan lebih apabila terdapat tambahan platform. Namun, stiletto
dengan tinggi hak dibawah 2 inci biasanya disebut dengan kitten heel,
sehingga kebanyakan perempuan menganggap stiletto adalah sepatu
dengan tinggi hak 4 inci atau lebih. Stiletto memiliki hak dengan
-
15
diameter 0,5 inci pada bagian bawah yang menjadikannya susah
digunakan untuk berjalan.
(Blakley K dan Kepple A, 2013)
Gambar 2.8
Stiletto heels dan Kitten heels
3. Platform
Platform adalah jenis sepatu yang mempunyai tambahan sol sangat
tebal pada bagian depan. Selain itu, platform juga disertai hak yang
tinggi untuk menyesuaikan bertambahnya tinggi sepatu akibat adanya
tambahan sol. Ketebalan hak platform kurang lebih setara dengan jenis
pump dibandingkan dengan jenis stiletto, hal ini bertujuan untuk
meningkatkan keseimbangan kaki pada saat terdapat penambahan
ketinggian.
(Blakley K dan Kepple A, 2013)
Gambar 2.9
Platform heels
-
16
4. Wedge
Wedge adalah jenis sepatu hak tinggi dengan sol yang penuh mulai dari
bagian depan sampai belakang sepatu. Sol pada sepatu jenis wedge ini
memiliki permukaan kontak yang lebih luas pada bagian dasar sepatu,
sehingga dapat meningkatkan keseimbangan.
(Blakley dan Kepple, 2013)
Gambar 2.10
Wedge heels
2.2.3 Dampak Terhadap Kesehatan
Sepatu hak tinggi mengganggu fungsi dan posisi natural dari sendi di
pergelangan kaki dengan memaksa kaki untuk plantarfleksi (Cronin, 2014).
Pada posisi tersebut, kaki bagian depan akan menerima beban yang lebih
besar sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kerusakan jaringan
lunak pada daerah kaki (Maarouf, 2015). Berdiri dengan menggunakan sepatu
hak tinggi akan menyebabkan adaptasi postur tubuh dikarenakan adanya
perubahan posisi kaki, yaitu elevasi dari tulang calcaneus dan fleksi dari
sendi tibiotalar, sehingga menyebabkan perubahan pembebanan massa tubuh
dan postur tubuh menjadi tidak seimbang (Silva, de Siqueira, dan da Silva,
2013).
-
17
Hasil studi ilmiah menunjukkan bahwa efek pemakaian sepatu hak tinggi
tidak hanya terlokalisir pada kaki, namun juga dapat memengaruhi daerah
tulang belakang (Cronin, 2014). Menurut Robinson dalam Maarouf (2015),
penggunaan sepatu hak tinggi dapat menyebabkan nyeri kaki dan nyeri
tendon, meningkatkan kemungkinan terjadinya regangan dan fraktur,
menyebabkan terbentuknya deformitas pada kaki seperti hammer toes dan
hallux valgus (HV), menyebabkan penggunanya tidak bisa berlari, serta
menyebabkan lower back pain (LBP).
2.3 Lama Berdiri
Menurut Dutch Ergonomic Guidelines dalam Meijsen P dan Knibbe HJJ
(2007), lama berdiri dibagi dalam 3 zona risiko, yaitu:
1. Green
Berdiri secara kontinu tidak lebih dari 1 jam dan total lama berdiri tidak
lebih dari 4 jam per hari. Dalam zona ini, lama berdiri masih dalam batas
yang aman dan tidak ada risiko kesehatan yang perlu dikhawatirkan.
2. Amber
Berdiri secara kontinu lebih dari 1 jam atau total lama berdiri lebih dari 4
jam per hari. Dalam zona ini, lama berdiri mengindikasikan adanya
sedikit peningkatan regangan otot dan risiko kesehatan.
3. Red
Berdiri secara kontinu lebih dari 1 jam dan total lama berdiri lebih dari 4
jam per hari. Dalam zona ini, lama berdiri mengindikasikan peningkatan
regangan otot dan risiko kesehatan, sehingga diperlukan tindakan segera
untuk mengurangi regangan otot tersebut.
top related