bab i pendahuluan 1.pdf · bab i pendahuluan 1.1. ... dengan lahirnya undang-undang nomor 8 tahun...
Post on 29-Oct-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi dewasa ini sangat memiliki peran penting dalam
kehidupan manusia. Teknologi kian hari kian berkembang baik dalam segala hal,
tentunya dengan perkembangan teknologi yang cukup pesat dapat mempermudah
pekerjaan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Seiring dengan perkembangan dan
dinamika perubahan yang terjadi disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, lahirlah nuansa baru dalam pembangunan perekonomian nasional.
Perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi salah satunya dapat dilihat dari adanya
siaran melalui media elektronik, siaran ini dapat berupa siaran melalui radio siaran.
Dari siaran yang disiarkan oleh radio siaran tersebut, masyarakat dapat
menikmati segala acara yang disuguhkan. Acara tersebut salah satunya dapat berupa
berita yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dimana pemberitaan tersebut dapat
berupa suatu kasus atau kejadian yang terjadi dalam masyarakat atau dapat juga
hanya mengemukakan suatu fakta yang sedang terjadi tanpa adanya ulasan maupun
komentar serta bisa juga berupa dialog atau tanya jawab antara pengelola dengan
pendengarnya atau ceramah, atau pendapat dari salah satu pendengarnya atau
seseorang yang dimintai dan ditanyai oleh si penyiar. Kemudian disiarkan oleh
pengelola atau penyiar radio siaran yang bersangkutan. Dengan begitu, materi
siarannya dapat didengarkan di mana-mana oleh seluruh masyarakat yang tidak
dibatasi oleh ruang atau orang tertentu saja.1
Sampainya informasi atau berita kepada masyarakat pendengarnya itu hanya
terjadi karena disiarkan oleh stasiun radio siaran itu. Itu berarti telah terjadi
deelneming atau kerjasama antara orang yang mempunyai pikiran atau pendapat
dengan penyiar, maupun para pengelola atau pimpinan stasiun radio siaran.
Masyarakat pendengar radio siaran tidak akan dapat menerima informasi atau berita
itu, bila penyiarnya atau pengelolanya tidak bersedia menyiarkan pikiran, pendapat
atau wawancara tersebut. Dengan kata lain, peranan penyiar atau pimpinan stasiun
radio siaran ikut menentukan sampai tidaknya berita tersebut ke pendengarnya. Sama
halnya dengan pemberitaan melalui media cetak, sampainya berita pada pembacanya
berkat adanya kerjasama antara pencetak, penerbit dan penulisnya. Hal ini perlu
disadari sebab cara berpikir yang demikian berkaitan dengan penetuan siapakah yang
harus bertanggungjawab, bila timbul akibat hukum sebagai akibat adanya
pemberitaan yang disiarkan melalui radio siaran.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen sebagai salah suatu langkah hukum bagi konsumen untuk
menuntut ganti rugi kepada produsen atau pelaku usaha.
Untuk menjamin adanya kepastian hukum, hubungan kemitraan antara
Produsen dan Konsumen perlu ditingkatkan dan dijaga untuk menumbuh
1 Teguh Wahyono, 2009, Etika Komputer + Tanggung Jawab Profesional di Bidang
Teknbologi Informasi, ANDI, Yogyakarta, h. 132
kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab dan sikap melindungi diri
bagi konsumen. David Oughton dan John Lowry memandang hukum Perlindungan
Konsumen (Consumer Protection Law) sebagai sebuah fenomena modern yang khas
abad ke-20, namun sebagaimana ditegaskan dalam perundang-undangan,
perlindungan konsumen itu sendiri dimulai seabad lebih awal2.
Dari adanya hubugan antara produsen dan konsumen tersebut, purba
berpendapat sebagai berikut :
“Perlindungan konsumen sebagai konsep terpadu merupakan hal baru, yang perkembangannya dimulai di Negara-negara maju. Namun demikian, saat sekarang konsep ini sudah tersebar kabagian dunia lain. Di Republik Rakya Cina (RRC) saja, satu Negara yang tidak mempunyai ekonomi pasar, konsep perlindungan konsumen sudah mulai dijabarkan dalam perangkat peraturan perundang-undangan”3.
Asas perlindungan konsumen dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mana menjelaskan
perlindungan konsumen ialah : asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Yang dalam kelembagaan diatur
dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dijelaskan sebagai berikut : Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN) adalah badan yang dibentuk untuk membantu dalam upaya pengembangan
perlindungan konsumen. Dan tujuan dari perlindungan konsumen dapat dilihat pada
Pasal 3 diantaranya meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
2David Oughton dan John Lowry, 1997, Textbook On Consumer Law, Balckstone Press Ltd,
London, hal 10-11. 3A Zen Umar Purba, 1992, Perlindungan Konsumen: Sendi-Sendi Pokok Pengaturan, Majalah
Hukum dan Pembangunan, hal 393-408
konsumen, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaina barang dan/atau jasa, upaya
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen4, dan pada saat sisi lain menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha serta meningkatkan kualitas barang dan atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen5.
Jika ditelaah lebih lanjut pengertian tentang konsumen sangat banyak, walaupun
perbedaan diantaranya tidak terpaut begitu jauh. Dapat diartikan bahwa konsumen
adalah setiap orang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 dan
angka 5 menyebutkan bahwa yang disebut “Barang adalah setiap benda bak berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan
maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan jasa adalah setiap
layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat
4Abdurrahman, 1997, Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum Di Indonesia,
Bandung, Alumni, hal 8. 5A Sonny Keraf, 1998, Dalam Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta,
hal 21.
untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai
terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka yang oleh pengusaha6.
Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) dan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Perindustrian
Nomor.350/MPP/Kep/12/2001 adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Produsen sebagai pihak penghasil produk berupaya agar konsumen tertarik
untuk membeli produk yang dihasilkannya. Cara penawaran yang menarik kepada
konsumen akan menentukan hasil dari permintaan terhadap barang dan atau jasa yang
ditawarkan oleh produsen. Untuk menawarkan produk yang dihasilkan tersebut
produsen biasanya menggunakan sarana atau media iklan dan seiring berjalannya
waktu bisnis dalam bidang periklanan berkembang pesat.
Pengaruh dan berdampak terhadap masyarakat bahwa dengan gencarnya
penyiaran iklan terhadap suatu produk baik di media cetak dan elektronik akan
membuat pola kehidupan masyarakat (konsumen) makin konsumtif. Maraknya iklan
suatu produk yang ditawarkan kepada konsumen tidak terlepas dari semakin pesatnya
kebutuhan hidup masyarakat sebagai akibat adanya pembangunan7.
6 Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), makalah disampaikan pada symposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Di BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta 16-18 Oktober
7 Ari Purwadi, 2001, Sistem Tanggung Jawab Periklanan dan Perlindungan Konsumen, majalah Yuridika, Vo.l 16, No.5, Surabaya,
Kenyataan saat ini iklan suatu produk telah menjurus kea rah yang
menyesatkan, karena ada iklan yang memberikan informasi yang tidak jujur, yakni
terjadi perbedaan antara slogan yang dimuat dalam iklan dengan keadaan produk
yang sesungguhnya. Dari hasil pengamatan yang pernah dilakukan oleh Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bahwa iklan suatu produk mempunyai
kualitas yang sangat buruk dan cenderung menyesatkan. Apabila diperhatikan dari
berbagai macam jenis iklan yang terdapat di media cetak ataupun media elektronik
sebagian besar menawarkan keunggulan dan melebih-lebihkan produk yang
dihasilkan dan menetupi segala efek samping yang ditimbulkan dari produk tersebut.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebenarnya
masyarakat diharapkan dapat menyadari akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dimilikinya terhadap pelaku usaha, hal ini jelas terlihat dalam konsideran yang
mengatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Dalam ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) secara tegas menyebutkan bahwa “pelaku usaha
periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang
ditimbulkan oleh iklan tersebut”. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa para
pelaku usaha periklanan bertanggung jawab terhadap segala jenis iklan yang
diproduksinya. Seharusnya pelaku usaha periklanan hanya bertanggung jawab
terhadap iklan di buat berdasarkan ide atau kreasinya tersendiri sedangkan mengenai
informasi dari produk tersebut yang bertanggung jawab adalah pelaku usaha pemesan
iklan. Namun ketika pelaku usaha mengetahui tentang ketidakbenaran dari produk
pemesan iklan dan tetap membuat iklan tersebut maka, akan menjadi tanggung jawab
bersama.
Masalah periklanan diatur secara parsial di beberapa peraturan, diantaranya
dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999, PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.
Pada ketentuan pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur
tanggungjawab Pelaku Usaha termasuk pelaku usaha periklanan, dimana p pelaku
usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan.
Begitu pula pada ketentuan pasal 20 Undang-undang Perlindungan Konsumen
ditentukan bahwa Pelaku Usaha Periklanan bertanggungjawab atas iklan yang
diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pada ketentuan
pasal ini hanya mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha periklanan. Bila
dicermati kedua pasal Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut, baik pada
ketentuan pasal 19 maupun pasal 20, sama sekali tidak diatur tentang tanggungjawab
dari Media Penyiar iklan.
Sementara pada ketentuan pasal 45 ayat(2) PP no. 69 tahun 1999 tetang Label
dan Iklan pangan dinyatakan Media Penyiar Iklan turut serta sebagai pihak yang
harus bertanggungjawab atas iklan yang disiarkan, selengkapnya pasal 45 ayat (2) PP
no. 69 tahun 1999 menyatakan ” Penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau
televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut
bertanggungjawab terhadap isi iklan yang tidak benar kecuali yang bersangkutan
telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneliti kebenaran isi iklan yang
bersangkutan.
Kalimat turut bertanggungjawab sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan
pasal 45 ayat (2) PP diatas sepertinya juga belum jelas dan memerlukan penjelasan
lebih lanjut apa yang dimaksud sesungguhnya. Turut bertanggungjawab apakah
artinya media penyiar iklan tidak sebagai pelaku utama yang mesti harus
bertanggungjawab, atau turut bertanggungjawab itu artinya media penyiar iklan ikut
serta bersama-sama secara tanggung renteng dengan pengiklanan bertanggungjawab
atas siaran iklan yang tidak benar.
Apabila diartikan turut bertanggungjawab it sebagai tanggungjawab renteng,
maka itu berarti masing-masing pihak pelaku usaha (pengiklanan dan media penyiar
iklan) harus bertanggungjawab atas kerugian konsumen. Masing-masing pelaku
usaha bertanggungjawab untuk seluruh kerugian, dengan pengertian jika salah satu
dari mereka telah membayar, maka pihak lainnya bebas dari kewajiban membayar.
Sedangkan mengenai bagaimana parapelaku membagi beban kerugian diantara
mereka, kewajiban membayar ketentuan oleh berat ringannya kesalahan masing-
masing.
Beberapa peraturan tersebut menimbulkan ketidakjelasan, disamping tidak
jelas dari segi substansinya, juga tidak jelas dari segi norma hukum dan peraturan
mana yang mesti harus diikuti. Disini nampak disamping adanya kekosongan norma
hukum, karena belum ada Undang-undang khusus tentag Iklan, juga nampak adanya
kekaburan norma hukum, sebab dari peraturan yang ada mengatur tentang iklan, tidak
ada kejelasan tentang batas, ruang lingkup, serta sistem tanggung jawab Media
Penyiar Iklan atas Siaran iklan yang merugikan Konsumen.
Umumnya dalam praktek periklanan ada 3 (tiga) pihak yang terlibat
didalamnya, yaitu :
1. Perusahaan Pengiklanan (produsen distributor) barang dan/atau jasa atau
yang disebut perusahaan pemasang iklan.
2. Perusahaan Periklanan (Biro Iklan) sebagai pihak yang membuat iklan atai
pihak yang mempertmukan pengiklanan dengan Media Penyiar Iklan
3. Media Penyiar Iklan, yang mempublikasikan atau menyiarkan materi iklan,
baik berupa gambar, visual, maupun tulisan.
Ketidak jelasan norma yang ada pada beberapa peraturan yang mengatur iklan
sebagaimana di gambarkan diatas, juga tampak dalam penentun siapa yang
bertanggungjawab dalam hal siaran iklan memuat informasi yang tidak benar dan
merugikan konsumen. Hal mana penting untuk ditelusuri dan cicari kejelasan dan
kepastiannya, mengingat ada tiga pihak yang terlibat dalam pembuatan dan
penyiaran iklan, yatu pihak perusahaan pengiklan, perusahaan periklanan dan media
penyiaran.
Dengan perkembangan dunia ekonomi global, maka yang perlu dipenuhi
adalah mengenai kebutuhan memperoleh akses-akses yang seluas-luasnya dan
sebesar-besarnya ke pasaran dunia bagi berbagai produk bangsa kita yang
memerlukan kekuatan teknologi dan hukum guna melindungi berbagai komoditi
bangsa Indonesia.8
Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, satu dan lain
hal karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia dan
di dalam perdagangan internasional perlunya perlindungan konsumen merupakan
suatu cara untuk menangkis implikasi negatif bagi perlindungan konsumen di
Indonesia.9
Implikasi negatif tersebut jika dibiarkan akan membawa dampak buruk
bagi perkembangan perekonomian di Indonesia. Dan berdampak luas kepada
masyarakat selaku konsumen.
Pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tersebut misalnya mengenai hak
untuk memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa dari produsen dan biro iklan. Di dalam pelanggaran
hak-hak konsumen tersebut, perlu diatasi dengan peraturan perundang-undangan
untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan diri, kemandirian konsumen untuk melindungi
dirinya, serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
8 Eddy Damian, 2001, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional,
Undang-undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungan Terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Badung, Alumni, hal. 15.
9 Erman Rajagukguk, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hal. 2.
Di dalam praktek periklanan tanggung jawab pelaku usaha (produsen dan
biro iklan) sebagai penghasilan produk jarang kita jumpai yang dikejar produsen
hanya keuntungan tanpa tanggung jawab dan masyarakatpun banyak yang tak peduli
akan hal tersebut.
Kondisi di atas menggambarkan belum begitu sadarnya masyarakat
terhadap manfaat gerakan konsumerisme. Pemerintah pun sampai saat ini berusaha
mengatasi hal tersebut dengan menyusun dan mengeluarkan Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen yang nantinya diharapkan mampu membangkitkan gerakan
konsumerisme yang akan melindungi konsumen itu sendiri.10
Produsen dan biro iklan dalam mengiklankan produk, pencantuman tanda
atau label tidak boleh diberi keterangan yang dapat menyesatkan pembeli. Label
harus jelas dan menyolok, informasinya harus dalam bahasa Nasional Indonesia,
isinya harus jelas serta mudah dimengerti oleh konsumen pada waktu akan membeli
dan saat menggunakan atau memakainya.11
Produsen dan biro iklan harus jujur agar masyarakat mendapat informasi
yang benar tentang isi dan asal bahan yang dipakai serta manfaatnya sehingga aman
untuk dikonsumsi. Di samping itu untuk menghindari cacat tersembunyi, hal ini
dimaksudkan agar para konsumen terlindungi dari peredaran barang yang rusak
akibat kebohongan iklan, sehingga dengan ditaatinya ketentuan tersebut oleh
produsen dan biro iklan diharapkan masyarakat selaku konsumen tidak dirugikan.
10 Muhammad Djumhana, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal 337. 11 Ibid, hal. 342.
Dalam kasus sengketa antara PT. NESTLE INDONESIA dengan PT. NEW
ZEALAND MILK INDONESIA, ( PT.NZMI). POLIYAMA ADVERTISING,
sengeket tersebut diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
permasalahan, sebagai dalilnya adalah penggugat telah mempromosikan susu bubuk
full cream dengan merek DANCOW dan sampai terkenal, terjadinya pelanggaran
akibat tergugat telah memuat iklan di beberapa media cetak lokal dan nasional suatu
produk susu bubuk yang membandingkan secara langsung dengan susu bubuk full
cream instant DANCOW.
Tindakan ADEC telah melakukan pelanggaran tata karma Periklanan, karena
danya persamaan dengan DANCOW didalam penyiaran atas susu merek ADEC, dri
etika bisnis ADEC telah melakukan pelanggaran Kepatutan ketertiban umum dan
etika bisnis, akibatnya memegang merek susu DANCOW merasa di rugikan.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, maka tujuan dari perlindungan konsumen salah satunya
adalah : menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
Paparan diatas, yang menjadi focus kajian dalam tulisan ini adalah
menyangkut bagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur
tanggungjawab media pe yiaran iklan terhadap pruduk yang di iklankan merugikan
konsumen.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian sebagaimana dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas,
dapatlah diajukan beberapa permasalahan yang akan merupakan pokok bahasan
dalam tesis ini. permasalahan-permasalahan tersebut apabila dirumuskan adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tanggungjawab media penyiaran iklan terhadap produk yang
diiklankan tersebut merugikan konsumen?
2. Upaya hukum apa yang dilakukan terhadap produk yang diiklankan merugikan
konsumen
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan terhadap pokok bahasan, maka
ruang lingkup masalah dibatasi pada pembahasan terhadap materi-materi meliputi
tanggungjawab media penyiaran iklan terhadap produk yang diiklankan tersebut
merugikan konsumen dan Upaya hukum yang dilakukan terhadap produk yang
diiklankan merugikan konsumen.
1.4. Tujuan Penulisan
1.4.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum di
bidang penyiaran iklan yang kaitannya dengan tanggung jawab media penyiar iklan
yang merugikan konsumen.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tanggungjawab media penyiaran iklan terhadap produk
yang diiklankan tersebut merugikan konsumen.
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang
dirugikan oleh pihak produsen dan biro iklan.
1.5. Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
mengenai tanggung jawabmedia penyiar iklan terhadap konsumen.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Untuk dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan hukum khususnya
hukum pidana yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana media penyiar iklan
terhadap konsumen. Untuk dapat memberikan sumbangan di bidang hukum
konsumen terkait dengan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam penyiaran
iklan yang menimbulkan kerugian terhadap terhadap konsumen.
1.5.2 Manfaat Praktis
Di samping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga
diharapkan memberikan manfaat praktis, yaitu:
1. Memberikan gambaran yang jelas tentang tanggung jawab media penyiar
iklan terhadap konsumen.
2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak,
khususnya kepada media penyiar iklan dan konsumen tentang hak dan
kewajibannya.
1.6. Orisinalitas Penelitian.
Berdasarkan hasil penelusuran penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang
menyangkut masalah tanggung jawab media penyiar iklan terhadap konsumen,
penulis tidak menemukan Tesis maupun karya tulis lainnya yang meneliti tentang
judul tersebut diatas, namun penulis membandingkan beberapa tesis yang
menyangkut permasalahan terkait, antara lain sebagai berikut :
Pertama, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan
Pencantuman Diskclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet ( Website),
Peneliti Ni Putu Ria Dewi Marheni, Lembaga Program Pascasarjana Universitas
Udayana 2013.
Terdapat 2 (dua) permasalahan yang dikaji dalam penelitian tersebut yaitu
bentuk pengaturan disclaimer dalam stus internet (website) di Indonesia dan
perlindungan hukum terhadap konsumen berkaita dengan pencantuman disclaimer
dalam situs internet di Indonesia. Dengan menggunakan metode peneelitia hukum
normative dengan menggunakan pendekatan perundag-undangan dan pendekatan
analisis konsep hukum, akhirnya peneliia tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa
bentuk pengaturan hukum terhadap pencantuman disclaimer di Indonesia ditinjau dari
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi da Transaksi Elektronik yang secara
khusus mengatur dunia maya masih belum jelas, namun jika dilihat dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindunga konsumen pencantuman
dixclaimer dapat dikategorikan klausula eksonerasi. Sedangkan perlindungan
hukumnya secara preventif dapat dilihat dengan adanya LSK (lembaga Sertifikasi
Keandalan) dan secara litigasi dapat dituntut ganti kerugian.
Penelitian tersebut sangat berbeda dengan penelitian yang akan dlakukan
karena penelitian ini mengkaji tentang tanggung jawab media penyiar iklan terhadap
konsumendan terhadap kerugian yang ditimbulkan kepada konsumen
Kedua, Ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Indonesia dengan
judul “tanggung jawab hukum Pelaku usaha perangkat Lunak Kepada Konsumen :
Kajian Perbandingan Lisensi Standard Sofware, Bespoke Sofware dan customes
Sofware. Atas nama Anggia Dyarini M. dengan rumusan masalah yang dibahas
mengenai permasalahan terhadap perangkt lunak timbul saat perangkat lunak tersebut
tidak menimbulkan computer bekerja dengan buruk aau bahkan menimbulkan
kerugian bagi konsumen, tesis ini membahas tentang mengenai analalisa yuridis
sitem ertanggung jawaban pelaku usaha perangkat lunak terhadap konsumennya
sebagai bentuk perlindungan konsumen di Indonesia. Sehingga penelitian tersebut
sangat berbeda dengan penelitian yang peneliti akan lakukan yang mengkaji tentang
tentang tanggung jawab pidana media penyiar iklan terhadap konsumendan terhadap
kerugian yang ditimbulkan kepada konsumen.
Ketiga, ditemukan penelitian tesis di Universitas Diponegoro dengan judul
“perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjia Jual Beli melalui Media
Internet”, peneliti Lia Catur Muliastuti, dengan rumusan masalah berupa proses
pelaksanaan, hambatan-hambatan serta cara mengatasi hambatan-hambatan dalam
jual beli melalui media internet dan perlindungan hukum bagi para pihak dalam
perjanjian jual beli melalui media internet.
Penelitian tersebut menggunakan menggnakan metode yuridis empiris dimana
hasil penelitian tersebut adalah pelaksanaan jual beli melalui media internet terdapat
empat proses yaitu penawaran, penerimaan, pembayaran, dan pengiriman,
hambatannya dalam transaksi internet tersebut adaah mengenai cacatproduk,
informasi dan webvertising. Dan untuk perlindunga hukumnya hanya melalui
perjanjian. Sehingga penelitian tersebut sangat berbeda dengan penelitian yang
peneliti akan lakukan yang mengkaji tentang tentang tanggung jawab media penyiar
iklan terhadap konsumendan terhadap kerugian yang ditimbulkan kepada konsumen.
1.7. Landasan Teoritis
Hukum tentang perlindungan konsumen sangat diperlukan keberadaannya
karena melibatkan unsur masyarakat luas, pemerintah, yayasan lembaga konsumen
Indonesia dan produsen serta biro iklan. Selain itu juga karena iklan dalam berbagai
media sering menyimpang antara apa yang diiklankan dengan kenyataan produk di
masyarakat, yang merugikan konsumen.
Pendapat Prof. Pito yang dikutip Abdurrahman menyatakan bahwa barang
siapa yang sadar memasarkan barang-barang produksi yang cacat, yaitu apabila
barang itu dipakai secara normal sesuai dengan tujuannya akan membahayakan
seseorang (konsumen) atau barang milik orang lain, melakukan perbuatan melawan
hukum dan ia bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang benar-benar terjadi.12
Pentingnya nilai edukasi tentang perlindungan konsumen mendapat
perhatian yang serius di dalam dunia pendidikan yang mana dimulai di Perguruan
Tinggi dengan dimasukkannya mata kuliah Hukum tentang Perlindungan Konsumen
ke dalam program pendidikan hukum di beberapa Fakultas Hukum di Indonesia,
meskipun belum dimasukkan ke dalam kuriulum wajib hanya sebagai mata kuliah
pilihan.13
Pendidikan hukum perlindungan konsumen memang penting sebab dengan
kecanggihan teknologi di bidang telekomunikasi dan informasi sangat membuka
peluang bagi produsen dan biro iklan untuk dimanfaatkan dalam memasarkan
produknya sehingga perlu hukum untuk mengatasinya.
Pendapat Troelstrup yang dikutip oleh Shidarta menyatakan bahwa,
konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi yang lebih relevan
dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya saat ini : (1) terdapat lebih
banyak produk, merek dan tentu saja penjualannya, (2) daya beli konsumen makin
meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di pasar, sehingga belum
banyak diketahui semua orang, (4) model-model produk lebih cepat berubah, (5)
12 Abdurrahman, 1979, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni
Bandug, hal. 84. 13 Shidarta , Op.Cit, hal. 4.
kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar
kepada bermacam-macam produsen atau penjual.14
Karena tingkat pendidikan di Indonesia yang berbeda-beda maka akan
muncul consumer ignorance yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi
akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja
dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh produsen dan biro iklan. Itulah sebabnya,
hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang
benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan
diberikan secara tidak diskriminatif.
Pendapat AZ Nasution yang dikutip oleh Erman Rajagukguk menyatakan
bahwa sampai saat ini belum jelas apa yang dimaksud dan apa saja termasuk hukum
konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen sehingga perlu dikaji dengan
mendalam agar nantinya terjadi kejelasan yang mampu memberi perlindungan pada
konsumen.15
Hakekat keberadaan iklan dalam kerangka perlindungan konsumen adalah
merupakan janji dari pihak yang mengumumkan iklan tersebut dalam berbagai
bentuknya mengikat pihak yang mengumumkan dengan segala akibatnya. Sebagai
sumber informasi, penggunaan iklan yang menyesatkan menipu atau mengelabui
konsumen harus dicegah.16
14 Shidarta, Op.Cit, hal. 20. 15 Erman Rajagukgu, dkk, Op.Cit, hal. 13. 16 Ibid hal. 19.
Dengan arah pembangunan ekonomi yang semakin global perlu ditunjang
dengan perangkat hukum yang mampu melindungi konsumen Indonesia baik di
dalam negeri maupun nantinya semakin banyaknya produk luar yang digunakan oleh
konsumen di dalam negeri.
Untuk mengantisipasi pengawasan penggunaan produk maka Pusat
Pengujian Mutu Barang dan Perlindungan Konsumen (PPMBPK), mempunyai tugas
di bidang pengujian dan sertifikat mutu barang serta mempunyai fungsi : pembinaan,
penyuluhan dan pengawasan teknis pengujian serta sertifikat mutu barang dan
perlindungan konsumen.17
Dalam hal keuntungan positif tentang perkembangan global kemajuan
teknologi di bidang periklanan mendorong semakin cepatnya langkah produsen dan
biro iklan untuk mengejar ketertinggalannya dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi. Dengan hal tersebut menimbulkan pula dampak negatif,
termasuk munculnya kejahatan-kejahatan periklanan baik jenis lama maupun baru
yang dimodifikasikan dengan teknologi canggih yang mampu merugikan
konsumen.18
Menurut Muhammad Djumhana, faktor keamanan dan keselamatan
konsumen selaku penggunaan barang mencakup konteks keduniawian dan
17 Harkristuti Harkrisnowo, 1998, Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Perlindungan
Anak Terhadap Industri Mainan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, hal 28.
18 Hadiman H., Beberapa Ancaman Kejahatan dengan Teknologi Canggih akan Bertambah Marak pada Era Globalisasi, (himpunan tulisan) hal 49.
keagamaan dari konsumen itu sendiri, hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang
mengakui hak atas keamanan dan keselamatan konsumen.19
Dengan berbagai permasalahan penyiaran iklan yang berdampak langsung
pada masyarakat dan kurangnya kesadaran masyarakat selaku konsumen untuk
mengadakan upaya hukum maka dipandang perlu implementasi Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumena agar nantinya mencegah
timbulnya konflik antara produsen dengan konsumen dan tercapainya kejujuran
dalam periklanan.
1.7.1 Teori Tentang Hak Dan Kewajiban
Berkaitan dengan kerugian yang dialami konsumen akibat adanya siaran iklan
yang menyesatkan atau memberikan informasi yang tidak benar, maka disini tampak
adanya pelanggaran terhadap salah satu hak konsumen, yaitu hak untuk mendapatkan
informasi yang jelas dan benar tentang produk yang dipasarkan.
Menurut Bachsan Muatafa, hak adalah kekuasaan, dan kekuasaan itu dapat
dipertahankan terhadap setiap orang, artinya setiap orang harus mengakui,
menghormati, dan mengindahkan kekuasaan itu. Yang memberikan hak tersebut
adalah hukum. Hukum memberikan berbagai hak kepada manusia, yaitu hak asasi
manusia, hak kebendaan dan hak perorangan.20
19 Muhammad Djumhana, Op.Cit, hal 340.
20 Bachsan Mustafa, Op.Cit, hlm. 39.
Selanjutnya Sultan Muhamad Zein memberikan pandangannya bahwa hak
merupakan kekuasaan, wewenang, benar, sesunguh-sungguh, nyata, milik,
kepunyaan, martabat, kekuasaan untuk menuntut sesuatu, kekuasaan yang benar atas
sesuatu.21 Hak juga berarti sesuatu yang harus ia terima dan ia memiliki setelah
melakukan kewajiban sesuai kesepakatan yang dibenarkan menurut syarat. Hak
merupakan sesuatu yang mesti harus dihormati, dihargai dan diberikan kepada yang
berhak menerimanya sesuai dengan porsinya.22
Hak memiliki pengertian yang beragam, tetapi masih dalam kerangka
persamaan. Hak tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hak adalah wewenang atau kekuasaan secara etis untuk mengerjakan atau
meninggalkan, memiliki atau mempergunakan atau menuntut sesuatu.
b. Hak adalah panggilan kemauan orang lain dengan perantara akalnya,
perlawanan dengan kekuatan fisik atau mengakui kewenangan yang ada pada
pihak lain.
Sementara kewajiban adalah keharusan, yaitu keharusan untuk melakukan
atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu atas tuntutan satu orang atau lebih
yang berhak. Dalam ilmu hukum dikenal ada tiga macam kewajiban, yaitu: kewajiban
hukum, kewajiban alamiah dan kewajiban moral.23
21 Sultan Muhammad Zein, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta: Sinar harapan,
hlm. 140. 22 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),
hlm. 293 23 Bachsan Mustrafa, Op.Cit, hlm. 41.
Kewajiban yang perlu diperhatikan adalah kewajiban hukum, yang dimaksud
dengan kewajiban hukum adalah kewajiban yang harus dipenuhi sebab apabila tidak
dipenuhi akan menimbulkan akibat hukum, yaitu adanya tuntutan yang berhak agar
yang mempunyai kewajiban itu memenuhi kewajibannya. Kewajiban itu timbul dari
suatu perikatan, baik perikatan yang lahir dari perjanjian maupun perikatan yang lahir
dari undang-undang.
Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sedengkan kepentingan
adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi.
Kepentingan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi
oleh hukum dalam melaksanakannya. Apa yang dinamakan hak itu sah karena
dilindungi oleh hukum. 24
Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu perbuatan. Setiap hak menurut hukum mempunyai title,yaitu
suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pihak tertentu.25
Begitu juga dalam konteks hubungan timbale balik antara konsumen dengan
produsen, apa yang menjadi hak konsumen adalah merupakan kewajiban produsen
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan begitu juga sebaliknya.
Konsekuensinya, adalah setiap perbuatan-perbuatan yang melanggar atau
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, merupakan suatu perbuatan
24 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),
hlm. 43. 25 Muhammad Djumhana, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, hlm. 339.
melanggar hukum. Dengan demikian, konsumen yang dilanggar haknya dapat
menggugat kepada si pelanggar guna pemenuhan atas haknya, atau untuk
mendapatkan ganti kerugian.
Ganti rugi itu sendiri adalah merupakan salah satu hak yang dimiliki
konsumen yang perlu ditegakkan, mengingat banyaknya kasus-kasus dilapangan yang
secara materiil merugikan konsumen akibat menkonsumsi suatu produk yang
disiarkan melalui iklan. Kerugian pada konsumen terjadi karena produk yang
diiklankan di sesuai dengan kenyataannya.
Menurut Munir Fuady:bahwa untuk mendapatkan kompensasi (The Right
Redress) berupa ganti rugi adalah salah satu hak konsumen yang telah diakui secara
universal di seluruh dunia. Sudah sejak dulu kala hak untuk mendapatkan kompensasi
dari seseorang akibat perbuatan salah dari orang lain telah diakui, yang baru adalah
penegasan hak tersebutsebagai hak konsumen.26
Sudah menjadi kewajibandan tanggung jawab pemerintah untuk
melindungikepentingan konsumen sesuai dengan tujuan Negara yang tercantum
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Perlindungan dan
penanganan masalah konsumen merupakan bagiantugas Negara dari memajukan
kesejahteraan umum.
Secara jelas alinea ke empat Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 mengamanatkan…untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kepentingan umum,
26 Munir Fuady,1996, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, hlm. 398
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social….
Hak untuk memperoleh ganti rugiadalah merupakan hak perbahan hukum.
Menurut mariam Darus Badrulzalam, posisi hukum (rechtspusitie) konsumen,
terutama hak untuk memperoleh ganti rugi mendapat tempat dan dijamin dalam
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yaitu Pasal 27 ayat (2).27
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa”tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa ketentuan ini mengenai hak warga Negara. Ini menunjukan hal yang luas meliputi lahir dan bathin, mengenai hak-hak warga Negara yang menjamin agar dia dapat hidup sebagai manusia seutuhnya. Bukan hanya meliputi hak-hak yang bersifat fisik materiil, akan tetapi hak-hak yang bersifat psikis seperti hak mendapatkan perasaan aman dari segala gangguan, untuk mendapat penerangan agar yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang benar tentang segala barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya.28
Selain itu, dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara sudah pula ditegaskan bahwa prinsip persaingan sehat dan
perlindungan terhadap hak-hak konsumen adalah merupakan bagian dari
pembangunan nasional di bidang ekonomi. Dengan demikian jelas, baik Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 maupun GBHN menjaminperlindungan
terhadap hak-hak konsumen, termasuk hak untuk memperoleh ganti rugi. 29
Hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi adalah hak yang telah bergema
dan berkembang sedemikian rupa. Hak dimaksud ini sebagian dari hak azasi yang
27 Mariam Darus Badrulzaman II, Op.Cit., hlm. 54. 28 Ibid. 29 Lihat Bab IV Huruf B butir I Ketepatan MPR No. IV/MPR/1999 Tentang Garis-garis Besar
Halauan Negara.
perlu diperjuangkan dan diberi basis hukum. Dengan cara demikian dapatlah
diharapkan untuk diakui secara penuh hak konsumen tersebut berikut instrument-
instrumen untuk mmenegakkannya.
1.7.2 Teori Tanggung Jawab
Kata tanggung jawab dalam bahasa Indonesia, sudah dipakai secara umum
oleh masyarakat untuk terjemahan responsibility dan liability dalam bahasa Inggris.
Namun demikian banyak juga kalangan serjana hukum yang memisahkan antara kata
responsibility dengan liability yaitu menerjemahkan responsibility dengan tanggung
jawab dan liability dengan tanggung gugat. Tanggung jawab yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah tanggung jawab media penyiar iklan terhadap iklan-iklan yang
member informasi tidak benar yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. “Media
penyiar” adalah penyelenggaraan penyiaran, baik lembaga penyiaran public, lembaga
penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran
berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tanggung jawab adalah suatu kata yang sudah secara umum dipakai di dalam masyarakat. Di kalangan para ahli hukum, baik praktisi maupun teoritis untuk tanggung jawab diistilahkan “responsibility” (verantwoordelijkheid) maupun “liability” (aansprakelijkheid).30
30 Agnes M. Toar, 1990,“Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya”,
Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek HukumPerbahan hukum, Denpasar, Bali 3-14 Januari, 1990, hlm. 1.
Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban memikul
pertanggung jawaban dan memikul kerugian yang diderita (bila dituntut) baik dalam
hukum maupun dalam administrasi.31
Tanggung jawab menurut kamus bahasa indonesia adalah, keadaan wajib
menaggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum
bahasa indonesia adalah berkewajiban menaggung, memikul,menanggung segala
sesuatunya,dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia
akan tingkah laku atau perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di
sengaja.tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan
kewajiban.
Tanggung jawab itu bersifat kodrati,artinya sudah menjadi bagian hidup manusia
,bahwa setiap manusia di bebani dengan tangung jawab.apabila di kaji tanggung
jawab itu adalah kewajiban yang harus di pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak
yang berbuat.
Tanggung jawab adalah cirri manusia yang beradab.manusia merasa bertanggung
jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari
pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan .
Friedrich August von Hayek, Semua bentuk dari apa yang disebut dengan
tanggungjawab kolektif mengacu pada tanggungjawab individu. Istilah
tanggungjawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi
31 Asrul Azwar,1989, Pengantar Administrasi Kesehatan, PT. Binapura Aksara, Jakarta, hlm.
1.
tanggungjawab itu sendiri. Dalam tanggungjawab politis sebuah masalah jelas bagi
setiap pendelegasian kewenangan (tanggungjawab). Pihak yang disebut
penanggungjawab tidak menanggung secara penuh akibat dari keputusan mereka.
Risiko mereka yang paling besar adalah dibatalkan pemilihannya atau pensiun dini.
Sementara sisanya harus ditanggung si pembayar pajak. Karena itulah para penganut
liberal menekankan pada subsidiaritas, pada keputusan-keputusan yang sedapat
mungkin ditentukan di kalangan rakyat yang notabene harus menanggung akibat dari
keputusan tersebut.
George Bernard Shaw, Persaingan yang merupakan unsur pembentuk setiap
masyarakat bebas baru mungkin terjadi jika ada tanggungjawab individu. Seorang
manusia baru akan dapat menerapkan seluruh pengetahuan dan energinya dalam
bentuk tindakan yang efektif dan berguna jika ia sendiri harus menanggung akibat
dari perbuatannya, baik itu berupa keuntungan maupun kerugian. Justru di sinilah
gagalnya ekonomi terpimpin dan masyarakat sosialis: secara resmi memang semua
bertanggungjawab untuk segala sesuatunya, tapi faktanya tak seorangpun
bertanggungjawab. Akibatnya masih kita alami sampai sekarang.
Carl Horber, Pada akhirnya tidak ada yang bertanggungjawab atas dampak-dampak
dari penagaruh politik terhadap keamanan sosial. Akibatnya ditanggung oleh
pembayar pajak dan penerima jasa.
Menurut pendapat saya, sifat tanggung jawab merupakan salah satu sikap
terpuji yang ada pada diri manusia. Sikap terpuji atau sikap tanggung jawab tersebut
dapat terus membaik ataupun dapat tergeser dari setiap individu akibat faktor
eksternal. Karena tanggung jawab pasti berada didalam diri manusia dan kita tidak
bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan tanggung
jawab. Menurut saya tanggung jawab bisa dikelompokkan menjadi 2 hal, yang
pertama yaitu tanggung jawab kepada diri sendiri. Baik buruknya sesuatu kejadian
yang terjadi pada diri kita dipertanggung jawabkan oleh diri kita, bukan oleh orang
lain dan tidak menyalahkan siapapun ataupun yang paling buruk adalah menyalahkan
takdir. Kita mempunyai tanggung jawab kepada diri kita, berusaha semampunya
adalah kunci agar kita dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatan kita di
dunia ini. Yang kedua adalah tanggung jawab kepada orang lain dan lingkungan
sekitar, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam
hidupnya untuk pengembangan dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kewajiban-
kewajiban moral terhadap lingkungan sosialnya. 110
Pada umumnya setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatanya. Oleh
karena itu bertanggung jawab dalam pengertian hukum berarti keterikatan. Dengan
demikian, tanggung jawab hukum (legal responsibility) dimaksudkan sebagai
keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum. Bila tanggung jawab hukum ini
hanya dibatasi pada hukum perbahan hukum saja, maka orang hanya terikat pada
ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum diantara mereka.32
Menurut H.E Saefullah, tujuan utama dari penerapan prinsif tanggung jawabdalam system hukum pda masyarakat premitif adalah untuk memelihara kerukunan antar individu-individu dengan cara penyelesaian yang dapat mencegah terjadinya pembalasan dendam. Tapi dalam jaman modern ini dasar
32 Veronice Komalawati, 1989, Hukum dan Etika dalam Profesi Dokter, Pustaka Sinar
Harapan, Jakrta, hlm. 100.
falsafah dan tujuan utama dari penerapan prinsif tanggung jawab adalah pertimbangan nilai-nilai dan rasa keadilan social secara luas, baik dilihat dari moral maupun dari segi kehidupan.33
Berbicara tentang tanggung jawab produsen atau pelaku usaha lainya,
sekarang berkembang konsep baru yang menekankan bahwa pelaku usaha harus
memikul juga tanggung jawab social.34 Pelaku usaha disamping bertanggung jawab
pada masing-masing pemilik perusahaan bersangkutan dalam berproduksi, juga
bertanggung jawab pada masyarakat luas mengenai semua hasil produksi, cara-cara
produksi dan pemasarannya.35
Menurut Heidjrachman Ranupandojo Irwan dan Sukanto Reksohadiprodjo, perusahaan tidak hanya harus bertanggung jawab pada pemiliknya yaitu member keuntungan, melainkan bertanggung jawab pula pada pelanggannya (konsumen dan leveransir), pada penemu teknologi, pada masyarakat, padapemerintah dan perusahaan lain. Oleh karena itu tujuan, strategi, kebiksanaan serta taktik perusahaan harus mempertimbangkan semua aspek yang bertalian dengan tanggung jawab social ini.36 Sehubungan dengan tanggung jawab pelaku usaha, H.E.Saefullah berpendapat
bahwa mereka yang melakukan kegiatan atau menjalankan usaha untuk memperoleh
keuntungan bagi dirinya sendiri adalah wajar bila dia harus menanggung resiko akibat
kegiatan atau usahanya itu.37
33 Bernadette M. Waluyo,1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Bahan Kuliah, (Bandung:
Universitas parahyangan, hlm. 15. 34 H.E. Saefullah, Beberapa Masalah Pokok Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara,
(Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM-Universitas Islam Bandung, tanpa tahun), hlm. 8. 35 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Pokok-pokok Pikiran Tentang Permaslaahan
Perlindungan Konsumen, Makalah sebagai Sumbangan Pemikiran dalam rangka pembahasan RUU Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, hlm. 1.
36 Heidjrachman Ranupandojo dan Sukanto Reksohadiprodjo,1982, Pengantar Ekonomi Perusahaan Buku 2, Yogyakarta: BPFE, hlm. 195-196.
37 HLM.E. Saefullah, Loc.Cit.
Dasar teori ini menurut Friedman tidak lepas dari kewajiban-kewajiban social
yang mesti dipenuhi oleh perusahaan atau produsen terhadap para tetangga dan
masyarakat. Kewajiban-kewajiban yang kemudian ditetapkan undang-undang
dilengkapi perkembangan-perkembangan menurut hukum, seperti tanggung jawab
perusahaan atau pemilik pabrik terhadap konsumen.38
Begitu juga menurut Rescoe Pound, bahwa kesalahan dan tanggung jawab
perusahaan atau produsen tidak seharusnya dikesampingkan, sebagai dasar dari
penggugat untuk meminta ganti rugi. Sudah seharusnya diakui bahwa produsen
memikul suatu tanggung jawab apabila diketahui barang yang diperdagangkan
ternyata cacat dan menimbulkan kerugian pada orang lain.39
Tanggung jawab yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanggung jawab
hukum dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan dan penyiaran iklan untuk
memberi ganti rugi kepada konsumen atas siaran iklan yang member informasi yang
tidak benar tentang suatu produk barang atau jasa.
Teori tanggung jawab ini dipergunakan untuk menganalisis, baik
permasalahan pertama maupun permasalahan kedua, sehingga kedepannya dapat
diterapkan system tanggung jawab yang tepat sehubungan praktek perilkananyang
merugikan konsumen.
38 W. Friedman,1990, Teori dan Filsafat Hukum (Hukum dan Masalah-Masalah
Kontemporer), Terjemahan Mohamad Arif, CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 53. 39 Rescoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Mohammad Radjab, (Jakarta:
Bhatara Karya Aksara, 1996), hlm. 110.
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam
hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasu pelanggaran hak konsumen,
diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yg harus bertanggung jawab dan
seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan
sebagai berikut:40
1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based
on fault)
Prinsiptanggung jawab berdasarkan unsure kesalahan (fault liability
atau liability based on fault adalah prinsip yang umumnya berlaku
dalam hukum perbahan hukum. Dalam kitab undang-undang Hukum
perbahan hukum, khususnya pada 1365,1366, dan 1367, prinsip ini
dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat
dimintakan tanggung jawabnnya secara hukum jika ada unsure
kesalahan yang dilakukan.
2) Prinsip tanggung jawab praduga untuk selalu bertanggung jawab
(presumption ofliability principle).
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab,
sampai ia dapat dibuktikan ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian
ada pada si tergugat.
40 Shidarta, 2000,Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakrta,, hlm. 59.
3) Prinsip tanggung jawab praduga selalu tidak bersalah (Presumption of
nonliability).
Prinsip ini adalah kebaliakn dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk
tidak selalu bertanggung jawab hannya dikenal dalam lingkungan
transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian
biasanya secara commons sensedapat dibenarkan. Contoh dari
penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan
atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa
dan diawasi oleh si penumpang adalah tanggung jawab penumpang.
4) Prinsip tanggung jawab mutlak (Srtict Liability Principles)
Prinsip tanggung jawab mutlak (Srtict Liability Principles) sering di
identikan dengan prinsip tanggung jawab absolute. Strict Liability
adalah bentuk dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip
pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak
didasarkan pada kesalahan, tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku
langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena
perbuatan melawan hukum itu.41
5) Prinsip Tanggung jawab dengan pembatasan (Limitation of Liability)
Prinsip Tanggung jawab dengan pembatasan (Limitation of Liability)
sangat di sukai oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausa
41 Janus Sidabalok,2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya, Bandung
Bakti, , hlm. 115.
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian
cucicetakfilm, misalnya ditentukan bila film yang ingin dicuci /cetak
itu hilang atau rusak , maka konsumen hanya dibatasi ganti ruginya
sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab
ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh
pelaku usaha. Dalam undang-undang perlindungan konsumen
seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausa yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal
tanggung jawabnya. Jika ada pepbatasan, mutlak harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang jelas.
Berdasarkan tanggung jawab produsen atau pelaku usaha lainnya,
sekarang berkembang prinsip baru yang dikenal dengan nama prinsip
product liability untuk melindungi konsumen. Dunia hukum
memberikan kontribusinya dengan memperkenalkan suatu lembaga
hukum yang relative baru bagi Indonesia, yang disebut dengan product
liability.
Prinsip product liability merupakan instrument hukum yang
dimaksudkan untuk memberikan jeminan kepada hak-hak konsumen,
khususnya terhadaphak atas keselamatan, kesehatan, dan hak untuk
mendapatkan ganti kerugian. Instrument ini diperlukan, karena
pengaturan di bidang cara produksi dan perdagangan barang, belum
memadai untuk mencegah atau menghindari serta melindungi
konsumen yang menderita kerugian, baik kerugian berupa cacat atau
kerusakan pada tubuh konsumen, maupun kerusakan pada harta benda
lain, maupun kerusakan yang berkaitan dengan produk itu sendiri.
Sehingga disamping peraturan mengenai cara berproduksi, masih perlu
dibutuhkan instrument hukum lain yang secara khusus menjamin
perolehan ganti kerugian akibat mengkonsumsi suatu produk (product
liability).42
Istilah product liability, tergolong baru dan sekarang hamper
secara universal diterapkan sebagai tanggung jawab perusahaan, atau
penjual/produsen produk, atas kerusakan atau kecelakaan pada orang,
harta benda dari pembeli atau pihak ketiga yang disebabkan oleh
produk yang telah dijual.43
Dalam Black’ Law Dictionary, terdapat 3(tiga) rumusan
mengenai product liability, yaitu:44
a. A manufacture’s or seller’s tort liability for any damages or injuries suffered by a buyer, user, or by stander as a result of a defective product, product liability can be based on a theory of negligence, “strict liability” or breach of warranty.
b. The legal theory by “which liability is imposed on the manufacturer or seller of a defective product”
c. Refers to the legal liability of manufactures and sellers to compensate buyer, user and even by standers, for
42 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 9. 43 Ibid, hlm. 12. 44 Black’s Law Dictionary, 1990, St. Paul, Minn: West Publishing Co , hlm. 1209.
demages or injuries suffered because of defects in goods purchased.
Menurut Natalie O’Connor: “product liability, These were
designed to protect the consumer from faulty of defective goods By
imposing strict liability upon manufacturers”.45 Dari pendapat tersebut
dapat kita lihat secara umum bahwa tanggung jawab produk adalah
suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen, termasuk konsumen periklanan.
Di Amerika Serikat, konsumen yang dirugikan karena
informasi iklan yang menyesatkan dapat digugat untuk membayar
ganti rugi dengan dasr tanggung gugat produk “strict liability”, Steven
R. Finz menjelaskan dalam kasus-kasus tanggung gugat produk
(product liability) perlu dipertimbangkan 3 (tiga) factor dalam
menetapkan apakah terdapat kasus-kasus dimaksud dapat diajukan
gugatan. Ketiga factor tersebut adalah:
1. Legal teory or basis of liability
2. Proximate consation and damage
3. The effect of affirmative defenses46
Dalam konsep strict liability yang dijadikan dasar adalah prinsip-
prinsip liability without fanlt (tanggung gugat tanpa adanya
45 Natalie O’Connor, 2001,Consumer Protection Under The Trade Practices Act-A Time For
Change, Pascasarjana Fakutlas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 460. 46 Steven R. Finz, 1993, Protect Liability, (New York: Emanuel Law Outlines, Inc, Palmer
Avenue, Larchmont, , hlm. 86.
kesalahan), baik karena itu kesengajaan (intent) maupun
ketidaksengajaan (negligence). Prinsip ini dikembangkan oleh
lembaga peradilan sebagai konsep dalam kasus-kasus tanggung gugat
produk (product liability).47
Menurut Steven R Finz, gugatan berdasarkan strict liability (liability
without fanlt) dapat diajukan atas dasar:
1. Prinsip-prinsip jaminan (warranty principle)
2. Teori informasi yang salah/menyesatkan (misrepresentation
theory)
3. Prinsip baru yang di kembangkan tanggung gugat terbatas suatu
product (the newly develoved principle of strict product liability).48
Terhadap siaran iklan yang memberikan informasi tidak benar, banyak
Negara menerapkan prinsip tanggung jawab strict liability terkait
gugatan ganti rugi konsumen. Adapun pertimbangannya
1. Prinsip ini sangat efektif untuk melindungi konsumen, karena
strict liability merupakan pertanggung jawaban yang tidak
mendasar pada unsure-unsur kesalahan pelaku usaha
sebagaimana layaknya penyelesaian perkara di pengadialan,
tetapi berdasarkan pada resiko. Artinya setiap resiko yang akan
timbul dan diderita karena korban pemakai produk yang cacat
47 M. Yahya Harahap,1997, Beberapa Tinjauan tentang Permaslaahan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, Selanjutnya disebut M. Yahya Harahap I), hlm. 22. 48 Steven R. Finz, Loc. Cit.
akan mendapat ganti kerugian secara langsung dan seketika
tanpa harus membuktikan kesalahan pihak pelaku usaha dari
produk bersangkutan. 49
2. Prinsip strict liability merupakan prinsip pertanggung jawaban
hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama di Negara-
negara yang menganut system hukum anglo saxon atau
common law, walaupun kemudian mengalami perubahan
perkembangan di beberapa Negara untuk mengadopsinya.
Beberapa Negara yang sudah menganut asas ini adalah Inggris,
Amerika Serikat,Belanda dan Thailand.prinsip strict liability
dapat diterapkan dalam kedudukan konsumen yang posisinya
lemah, dibandingkan dengan pelaku usaha prinsip ini
diterapkan untuk melindungi kepentingan konsumen berkaitan
dengan praktek periklanan. Dengan diterapkanya prinsip ini
diharapkan para pihak yang terlibat dalam proses pembuatan
dan penyiaran iklan menyadari betapa pentingnya menjaga
kebenaran informasi terkait dengan iklan yang disiarkannya,
49 Prinsip Tanggung Jawab Mutlak atau Strict Liability sering diidentikan dengan Prinsip
Tanggungjawab absolute (absolute liability).
sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan
sangat besar resiko yang harus ditanggung.50
1.7.3 Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum padannya dalam bahasa inggris adalah “legal
protection” sedangkan dalam bahasa Belanda “rechsbecherming”. Perlindungan
hukum terdiri dari dua kata, yaitu perlindungan dan Hukum.51 Perlindungan hukum
tiada lain maksudnya adalah perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau
perlindungan yang diberikan oleh hukum.52
Perlindungan hukum secara gramatikal “perlindungan” berasal dari kata
lindung yang berarti mendapatkan dirinya dibawah sesuatu supaya tidak kelihatan.
Arti perlindungan adalah segala upaya yang dilakukan untuk melindungi subyek
tertentu, juga dapat diartikan sebagai tempat berlindung dari segala sesuatu yang
mengancam.
Satjipto Raharjo mengemukakan perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak azasi manusia yang dirugikan oleh orang lain dan
50 Kurniawan, 2010, “Kedudukan dan Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), dalam Manajemen Perlindungan Hukum bagi Konsumen”, Disertai Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 41.
51 Yasanegara I Gede, 2008, “Perlindungan Hukum Terahdap Istri dari Kekerasan Menurut Hukum Positif di Indonesia”, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas 17 Agustus 1945,Surabaya, hlm. 19.
52 Ibid.
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum.53
Landasan pijak perlindungan hukum bagi rakyat (masyarakat atau konsumen)
di Indonesia adalah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahu 1945,
karena merupaka dasar idiologi dan falsafah bangsa Indonesia yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan menempatkan hukum sebagai panglima dn
bukan kekuasaan. Penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia dan memposisikan
bangsa Indonesia sebagai Negara hukum menimbulkan konsekuensi yang harus
ditaati dan dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
Konstitusi Negara menjamin adanya perlindungan bagi rakyat. K.C.Wehcare
dalam bukunya konstitusi-konstitusi modern mengatakan pernyataan tentang hak-hak
manusia jelas berkaitan dengan persoalan konstitusional. Ia berkaitan terutama
dengan pembatasan kekuasaan raja dan perlindungan pada hak-hak tertentu rakyat.54
Di beberapa Negara, termasuk konstitusi Irlandia, para penyusun konstitusi
mengiginkan bahwa amandemen harus menjadi proses yang disengaja, bahkan hak-
hak warga Negara harus dijaga. Para penyusun konstitusi mempunyai pertimbangan
bahwa hak-hak warga Negara tidak boleh dilanggar atau dihapuskan oleh eksekutif
maupun legeslatif.
53 Satjipto Rahardjo,2007, “Penyelenggaraan Keadilan Dalam Masyarakat yang Sedang
Berubah”, Majalah Hukum dan Pengembangan, No. 1-6 Tahun X/10/2007. 54 K.C. Wheare, 2003, Konstitusi-konstitusi Modern (Modern Constituions), (Terjemahan
Muhammd Hardani), Pustaka Enreka, Surabaya, hlm. 16.
Philipus M. Hadjon dengan menggunakan konsep barat sebagai kerangka
piker dan landasan pijak pada pancasila merumuskan prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila
dan prinsip Negara hukum yang berdasarkan pancasila.55
Black’s Law Dictinary memberikan pengertian protection sebagai berikut: 1.
The act of protecting (tindakan melindungi), 2. Protectionism (proteksionisme), 3.
Coverage (menutup),4. A document give by a notary public to sailors and other
persons who travel abroad, certiviyimg that the bearer is a U.S. citizen (suatu
dokumen yang diberikan oleh seorang notaries kepada pelaut atau orang lain yang
melakukan perjalanan keluar negeri, yang menegaskan pemegangnya adalah warga
Negara Amerika Serikat).56
Pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dipertegas dala pasal 1 angka 1
Undang-undang Perlindungan Konsumen, bahwa perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen.
Berdasarkan definisi perlindungan konsumen yang ada dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen, muncul kerangka-kerangka umum tentang sendi-sendi
pokok pengaturan perlindungan konsumen sebagai berikut:
1. Kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha
55 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penanggung oleh Pengadilan Dalam Linkgungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan administrasi Negara, PT. Bina Ilmu, Surabaya, selanjutnya disebut Philipus M. Dadjon I) hlm. 20.
56 Bryan A. Gamer 2004, (ed), Black’s Law Dictionry, Eight Edition, A Thomson Business, , hlm. 1259.
2. Konsumen mempunyai hak 3. Pelaku usaha mempunyai kewajiban 4. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada
pembangunan nasional 5. Perlindungan konsumen pada bisnis yang sehat 6. Keterbukaan dalam promosi barang dan jasa 7. Pemerintah perlu berperan aktif 8. Masyarakat juga perlu berperan serta 9. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam
berbagai bidang 10. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.
Salah satu fungsi hukum adalah, untuk memberikan perlindungan kepada
warga masyarakat, terutama yang berada pada posisi lemah akibat hubungan hukum
atau kedudukan yang tidak seimbang. Demikian halnya dengan perlindungan pada
konsumen. Perlindungan hukum selalu berkaitan dengan kekuasaan. Menurut
Philipus M. Hadjon ada dua kekuasaan yang menjadi perhatian, yaitu:
Kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi, dalam hubungan dengan
kekuasaan, masalah perlindungan hukum adalah menyangkut perlindungan
hukum bagi rakyat (yang diperintah) terhadap yang memerintah (pemerintah).
Sedangkan permasalahan perlindungan ekonomi adalah perlindungan
terhadap si lemah terhadap si kuat.57
Kaitan perlindungan hukum yang dilakukan pemerintah/penguasa, Philipus
M. Hadjo membedakan dalam dua macam, yaitu:58
1. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (Inspraak) atau
57 Phillipus M. Hadjon, 1984,“Perlindungan Hukum Dalam Negeri Hukum Pancasila,
Makalah pada Simposium Politik, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Hukum”, Lustrum VIII, Universitas Airlangga, Surabaya, selanjutnya disebut Phillipus M. Hadjon), hlm. 1.
58 Philipus M. Hadjon I, Op.Cit, hlm. 39.
pendapatnya sebelum sebelum sesuatu keputusan keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Dengan demikian perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan perlindungan hukum tersebut, pemerintah didorong untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan.
2. Perlindungan hukum represif, yaitu upaya perlindungan hukum yang dilakukan melalui badan peradilan, baik peradilan umum maupun peradilan administrasi Negara. Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum oleh Negara /pemerintah lebih ditekankan kepada unsur Negara
/pemerintah sebagai pemegang kedaulatan. Untuk itu, perlindungan hukum yang
diberikan oleh Negara/pemerintah kepada warga Negara dapat dilihat dalam
instrument hukum dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perlindungan
konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu perlindungan
konsumen mengandung aspek hukum. Materi yang mendapat perlindungan
konsumen bukan sekedar fisik saja melainkan hak-hak yang bersifat abstrak.
Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan
hukum terhadap hak-hak konsumen.
Menteri kehakiman Mudjono dalam dmbutanya pada pembukaan symposium
Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen yang diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta pada tanggal 16-18
Oktober1980, mengemukakan dua alasan mengapa perlindungan konsumen
merupakan salah satu masalah penting di dunia dewasa ini. Pertama, bahwa seluruh
anggota masyarakat adalah konsumen yang perlu dilindungi dari kualitas benda dan
jasa yang diberikan oleh produsen kepada masyarakat. Kedua, ternyata para
konsumen adalah pihak yang sangat menentukan dalam pembinaan modal untuk
menggerakan roda perekonomian.59
Berkaitan dengan upaya pemberian perlindungan hukum terhadap konsumen, maka
teoti perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M.Hadjo sangat relevan
untuk dijadikan acuan dalam penelitian ini. Perlindungan hukum yang dimaksud
adalah perlindungan hukum baik yang bersifat preventif maupun represif.
Perlindungan hukum preventif pada konsumen dapat dilakukan dengan
memperbanyak kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, baik pelaku usaha maupun
konsumen tentang keberadaan perangkat hukum yang mengatur tentang praktek
periklanan, sehingga pihak yang bersangkutan dapat memahami hak dan kewajiban
masing-masing. Pemahaman itu, nantinya diharapkan tumbuh kesadaran hukum
untuk mematuhi ketentuan-ketentuan hukum yang ada.
Sementara perlindungan hukum yang bersifat represif adalah upaya
perlindungan hukum terhadap konsumen apabila sudah terjadi sengketa atau
perselisihan. Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Kontek ini diharapkan ketentuan hukum positif dapat ditegakkan di dalam pengadialn
oleh hakim. Apabila konsumen menuntut ganti kerugian, maka hal itu diharapkan
dapat direalisasikan dengan menegakkan hukum melalui proses penyelesaian
sengketa di pengadilan atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).
59 Sambutan Menteri Kehakiman RI Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Perlindungan
Konsumen, Jakarta 16-18 Oktober, 1980.
1.7.4 Teori Kemanfaatan (Utilitas)
Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan sosial,
hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, damai,
adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan individu dan
masyarakat dapat terlindungi. Dalam beberapa literatur Ilmu Hukum para sarjana
hukum telah memutuskan tujuan hukum dari berbagai sudut pandang dan terdapat
beberapa teori tentang tujuan hukum, yaitu:
Ajaran atau Teori konvensional, tujuan hukum menurut teori ini adalah sebagai
berikut:
1. Teori etis, yaitu ajaran ini memandang bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah
semata-mata untuk mencari keadilan;
2. Teori Utilitas, yaitu ajaran ini memandang bahwa pada dasarnya tujuan hukum
adalah semata mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan
masyarakatnya;
3. Teori Normatif dogmatik, yaitu bahwa ajaran ini memandang bahwa pada
dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
Sedangkan dari ajaran atau teori modern tentang tujuan hukum terdiri dari:
1. Prioritas buku, yaitu ajaran ini menekanakan pada konsep tiga ide dasar hukum
yang identik dengan tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Teori ini disebut prioritas buku karena prioritas pertama adalah hukum.
Berdasarkan ajaran prioritas baku maka keadilan selalu prioritas pertama,. Kalau
hakim memiliki dua alternatif antara keadilan, antara kemanfaatan dan kepastian
hukum maka harus dipilih kemanfaatan.
2. Prioritas kasuistis, dalam kasus kasus tertentu jika diterapkan ajaran prioritas baku
justru bertentangan dengan kebutuhan hukum sehingga muncul ajaran prioritas
kasuistis yaitu adakalanya tidak selalu keadilan dikedepankan melainkan
kemanfaatan atau dalam kasus tertentu tidak kemanfaatannya ditonjolkan tetapi
justru kepastian hukum yang lebih memegang peranan.60
Berdasarkan ajaran atau teori pengayoman tujuan hukum dibagi menjadi 2
(dua), yaitu:
1. Pengayoman aktif, yaitu menurut ajaran ini adalah upaya untuk menciptakan suatu
kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara
wajar;
2. Pengayoman pasif, yaitu menurut ajaran ini adalah mencegah atas tindakan yang
sewenang wenang dan penyalahgunaan hak.61
Teori tentang tujuan hukum, diperkenalkan oleh seorang pakar hukum inggris
bernama Jeremy Bentham. Menurut Bentham, hukum bertujuan untuk mewujudkan
apa yang berfaedah atau sesuai dengan daya guna (efektif).62 Adagiumnya yang
terkenal adalah, the greatest happiness for the greatest number. Artinya, Kebahagiaan
yang terbesar untuk jumlah terbanyak. Ajaran Bentham disebut juga sebagai
60 Ibid. 61 Ibid 62 Machmudin, Dudu Duswara, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika Aditama,
Bandung, hal. 26.
eudaemonisme atau utilitarisme.63 Didalam Teori Utility merupakan Prinsip-prinsip
yang menyetujui atau menolak setiap tindakan yang dapat memperbesar atau
mengurangi kebahagiaan pihak yang kepentingannya terpengaruh oleh tindakan itu.
Apabila pihak yang berkepentingan adalah perorangan, maka prinsip untility harus
dirancang untuk meningkatkan kebahagiaannya dan apabila pihak yang
berkepentingan adalah masyarakat , maka prinsip untility harus diarahkan untukl
kebahagiaan masyarakat dan memungkinkan terciptanya keamanan dengan
mengurangi penderitaan.
Menurut Bentham, pembentuk undang-undang yang ingin mencapai
kebahagiaan masyarakat harus berjuang untuk mencapai empat (4) tujuan, yaitu:
“subsitensi, kelimpahan, persamaan, dan keamanan.”64 Metode penyusunan undang-
undang yang diajarkan, adalah ”mengukur akibat yang ditimbulkan oleh suatu
perbuatan”.65 Apabila suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kesengsaraan, maka
perbuatan itu harus dilarang karena perbuatan tersebut menbahan hukumngkan
sengsara yang berarti perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang jahat.
Hukum ditujukan untuk meningkatkan kebahagaiaan masyarakat secara
keseluruhan dengan cara melarang perbuatan-perbuatan yang menbahan hukumngkan
sengsara sehingga perbuatan yang patut adalah perbuatan yang dapat merugikan
kebahagiaan orang lain. Berdasarkan teori utility, pemerintah mempunyai untuk
meningkatkan kebahagiaan masyarakat dengan memidana barang siap yang
63 Ibid 64 Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 105 65 Ibid
melakukan perbuatan yang melanggar prinsip utility. Dengan demikan utilitiarisme
memerlukan reklasifikasi perilaku untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa saja
yang harus diatur oleh pemerintah.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-
norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga
sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang
menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum
sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.66
1.8.2. Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk ditemukan jawabannya. Pendekatan-
pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-
undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan kompartif (comparative approach) dan pendekatan
66 Anonim, 2009, Seputar Metode Normatif, alvalaible from: URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pdf, diakses tanggal 3 April 2011
konseptual (conceptual approach).67 Dalam melakukan penelitian penulis lebih
menekankan kepada pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan
kasus (case approach)
1.8.3. Sumber Bahan hukum
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-
sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum hukum
primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.
Bahan hukum hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, seperti buku-buku teks, kamus-
kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen
yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi bahan
hukum atau kasus-kasus yang ada. Bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian
67 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h. 93.
kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal
yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan
yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang
selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya bahan hukum yang
diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada
kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan
dapat dijawab.69
1.8.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Bahan hukum
Analisis bahan hukum di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif
sehingga nantinya akan menghasilkan suatu bahan hukum deskritif. Pendekatan
kualitatif berarti penyorotan terhadap masalah sarta usaha pemecahannya yang
dilakukan dengan upaya yang didasarkan pada pengukuran yang memecahkan objek
penelitian ke dalam unsur-unsur tertentu, untuk kemudian ditarik suatu generalisasi
yang seluas mungkin ruang lingkupnya.70 Dan peneletian kualitatif yang dilakukan
dalam penulisan ini adalah dengan cara memilih teori-teori, asas-asas, norma-norma,
doktrin, serta pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan dengan
permasalahan yang penulis bahas dalam penulisan ini. Kemudian membuat
sistematika dari bahn-bahantersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu
sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Bahan hukum yang
69 Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 195. 70 Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
h. 32.
dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis
pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum lainnya,
selanjutnya semua bahan diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif
sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat
memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
Proses analisa dilakukan secara bersamaan yang dimulai sejak awal penelitian
sampai selesai proses penulisan tesis. Analisis bahan hukum yang dilakukan secara
bersamaan akan memudahkan peneliti dalam hal mengetahui apakah masih ada bahan
hukum yang kurang lengkap dan oleh karenanya perlu dilengkapi, atau masih ada
pertanyaan yang masih harus dijawab responden, atau masih diperlukan informasi-
informasi baru lainnya.71
Analisis bahan hukum dilakukan melalui pendekatan kualitatif kemudian
dituangkan dalam bentuk deskriptif sesuai hasil penelitian kepustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field research) untuk dapat memperoleh
kesimpulan yang tepat dan logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.
71 Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung hal.130
top related