bab ii acc ok
Post on 13-Dec-2015
224 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
7
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Benigna prostat hyperplasia adalah kondisi patologis yang paling umum
pada pria lansia dan penyebab paling sering untuk intervensi medis pada pria
di atas 60 tahun (Smeltzer & Bare, 2002: 1625). Sedangkan menurut
(Nursalam, 2006: 135) Benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran
prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria. Menurut
(Suharyanto, 2009 : 248) Benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran
kelenjar dari jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan
perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan.
BPH untuk mengatasinya dapat dilakukan prostatektomi. Menurut
(Doenges, 2000: 679) Prostatektomi adalah reseksi bedah bagian prostat yang
memotong uretra untuk memperbaiki aliran urine dan menghilangkan retensi
urinaria akut. Menurut (Smeltzer & Bare, 2002 : 1626) Prostatektomi adalah
pembedahan mengangkat kelenjar prostat yang mengalami hipertrofi.
Jadi berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa
benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran kelenjar prostat yang
menyebabkan obstruksi aliran urine pada uretra, dimana secara umum
diderita oleh para lansia.
7
8
B. Penyebab
Penyebab BPH kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai
dengan perubahan hormon, dengan penuaan, kadar testosteron serum
menurun, dan kadar estrogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang
hyperolasia jaringan prostat (Price & Willson, 2005: 1320).
Etiologi BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umum dan
hormon endrogen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria
usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pria usia 50 tahun terjadi sekitar 30%
usia 80 tahun sekitar 80% dan usia 90 tahun 100% (Mansjoer, 2000: 329).
C. Patofisiologi.
Menurut Lemone (2004: 1537), penyebab BPH tidak diketahui
pasti tetapi faktor resikonya meliputi umur, riwayat kesehatan, ras, etnik, dan
faktor-faktor hormonal. Kejadiannya oleh peningkatan faktor umur, tertinggi
terjadi di Afrika, Amerika, dan Jepang yang terendah. Rata-rata tertinggi
berkaitan dengan riwayat kesehatan keluarga dengan BPH.
Dua syarat penting untuk BPH adalah umur 50 tahun atau lebih
dan hasil yang paling tampak dengan tes. Laki-laki yang belum mengalami
pubertas belum mengalami pertumbuhan prostat. Androgen yang
mempengaruhi pertumbuhan prostatik dalam semua umur adalah
Dihydrotesteron (DHT) yang ada di prostat dalam testosteron. Meskipun laki-
laki lanjut usia terjadi penurunan tingkat endrogen, sebelumnya prostat
muncul lebih sensitif dalam kelenjar prostat muncul lebih sensitif dalam
9
menghasilkan DHT. Estrogen diproduksi oleh efek DHT. Peningkatan tingkat
estrogen dengan usia lanjut atau sebuah peningkatan relatif di estrogen
berhubungan dengan tingkat testosteron yang merupakan konstribusi untuk
menyebabkan prostatik hyperplasia (Lemone, 2004: 1537)
Benigna berasal dari modul yang kecil di kelenjar periuretral
dimana yang terdapat di dalam lapisan prostat. Prostat melebar dan tumbuh
modul (hyperplasia) dapat pembesaran dari sel glandular (hypertrofi),
perubahan yang berlebihan tersebut terjadi dalam periode lama. Hasil efek
patofisiologi dari sebuah kombinasi dari faktor-faktor meliputi retensi uretral,
yang merupakan efek dari BPH. Tekanan dari intravesikal selama
kekosongan, kekuatan otot detrusor, fungsi neurologis dan status kesehatan
umum. Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi, gejala iritasi terjadi
karena pengosongan yang tidak sempurna menyebabkan rangsangan pada
kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi. Apabila tekanan vesika
menjadi lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesika ureter,
hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal (Lemone, 2004: 1537).
Kelemahan detrusor dan obstruksi uretra juga menyebabkan
bendungan saluran kemih sehingga berkurangnya aliran kemih, dan hal ini
memerlukan intervensi untuk membuka jalan keluar urin. Metode yang
mungkin digunakan adalah prostatektomi prasia, TURP atau insisi
prostatektomi terbuka untuk mengangkat jaringan periuretral hiperplastik;
insisi transuretral melalui serat otot leher kandung kemih untuk memperbesar
10
jalan keluar urin; dilatasi balon pada prostat untuk memperbesar lumen uretra
dan terapi anti androgen untuk membuan atropi prostat. Lemone (2004:
1537).
Pembedahan ini dapat menimbulkan beberapa komplikasi
diantaranya adalah perdarahan pasca operasi, infeksi saluran kemih,
inkontinensia, impotensia, dan ejakulasi retrograde (Lemone, 2004: 1537).
D. Pathway
Sumber (Price & Willson, 2005; Mansjoer, 2000; Lemone, 2004 & Doenges, 2000)
Resiko tinggi disfungsi seksual
Nyeri
Resiko tinggi infeksi
Kurang pengetahuan
Trauma saluran kemihTrauma jaringan prostat
Penurunan sekresi asam prostate
Ujung saraf terputus
Perdarahan
Resiko ekstravasi dari cairan vaskuler
Kekurangan volume cairan
Gangguan status kesehatan
Situasi krisis
Kurang informasi
Implus ke saraf aferen
Masuk medula spinalis
Sampai ke kotek serebri
Retensi urine
Penurunan fungsi uretra
spinotalanikus
Pemasangan kateter
Iritasi
Proliferasi sel prostate
Umur > 50 tahun
Peningkatan hormon estrogen/androgen
Hiperplasia sel prostat
Penurunan sistem imum disebabkan karena proses penuaan
Spasme uretra
Obstruksi saluran urine
Inadekuat aliran urine
Retensi urine
Prostatektomi dengan anestesi
Penurunan hormon tetosteron
Mempengaruhi sel nuklear RNA
Akumulasi urin ginjal
Distensi piala & kaliks ginjal
Gagal ginjal
Tekanan ginjal meningkat
Refluk vesika ureter BPHSaluran uretra menyempit
Diskontinuitas jaringan
Stimulasi saraf bebas
Spino talanikus di talamus
Gangguan eliminasi urin
Medulla spinalis Saraf eferen
Perubahan hormon
Kadar testosterone serum ↓ Kadar estrogen/endrogen ↑
11
E. Manifestasi Klinis
Menurut Mansjoer (2000: 330) terdapat dua gejala utama dari BPH
yaitu gejala obsruktif dan iritatif. Kedua gejala ini bisa muncul pada penderita
secara bersamaan.
1. Gejala iritatif
a. Sering miksi (frekuensi).
b. Terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi).
d. Nyeri pada saat miksi (disturia).
2. Gejala obsruktif
a. Pancaran melemah
b. Rasa tidak lampias sehabis miksi
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy)
d. Harus mengedan (straining)
e. Kencing terputus-putus (intermittence).
f. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan
inkontinen karena overflow.
F. Pemeriksaaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Suharyanto (2009 : 251) ; Nursalam
(2006 :131)
1. Pemeriksaaan laboratorium.
a. Sedimen urine dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya proses
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna
12
untuk mengetahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman
terhadap beberapa antimakroba yang diujikan.
b. Pemeriksaan faal ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan gula darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya
penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan kelainan
persarafan pada buli-buli.
d. Urinalisis : untuk mendeteksi adanya protein atau darah dalam air
kemih, berat jenis dan osmolalitas, serta pemeriksaan mikroskopik air
kemih.
e. Cystoscopy : untuk melihat gambaran pembesaranprostat dan
perubahan dinding kandung kemih.
f. Transrectal ultrasonography : dilakukan untuk mengetahui
pembesaran dan adanya hidronefrosis.
g. Intravenous pyelography : untuk mengetahui struktur kaliks, pelvis
dan ureter. Struktur ini mengalami distorsi bentuk apabila terdapat
kista, lesi dan obstruksi (Suharyanto, 2009: 251).
2. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan penunjang menurut Nursalam (2006: 131-132)
a. Pemeriksaan rektum : yaitu melakukan palpasi pada prostat melalui
rektum atau rectal tuocher, untuk mengetahui pembesaran prostat.
b. Pemeriksaan residual urine, yaitu jumlah sisa urine setelah miksi. Sisa
urine dapat dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah
miksi.
13
c. Pancaran urine (flow rate) dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik
pancaran urine.
G. Penatalaksanan
1. Keperawatan
Biasanya dilakukan pada pasien keluhan ringan. Nasihati agar
tidak minum kopi dan minum alkohol, dan anjurkan untuk minum cukup
air untuk mencegah dehidrasi (Smeltzer & Bare, 2000: 1631)
2. Pembedahan
Menurut Smeltzer dan Bare (2000 : 1626) beberapa prosedur digunakan
untuk mengangkat kelenjar bagian prostat yang mengalami hipertrofi.
a. Prosatektomi retropubik adalah teknik lain dengan membuat insisi
abdomen rendah mendekati kelenjar prostat yaitu arkus pubis dan
kandung kemih.
b. Prosatektomi suprapubis : teknik pembedahan melalui insisi abdomen
suatu insisi dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat
diangkat.
c. Prostatektomi perineal : pengangkatan kelemjar melalui insisi dalam
perineum.
d. Insisi prostat transuretral : prosedur yang digunakan dengan cara
memasukan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat
14
prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada
uretra.
H. Perawatan pasien BPH
1. Perawatan pra operasi menurut nettina (2002 : 557-558) dan potter perry
(2005 : 1845).
a. Jelaskan sifat prosedur dan perawatan paska bedah, termasuk drainase
kateter, irigasi, pemantauan hematuria.
b. Diskusikan tentang komplikasi pembedahan dan bagaimana pasien
akan melakukan koping.
1) Inkontinensia urine atau dribbling of urine dapat terjadi sampai 1
tahun setelah pembedahan; latihan perineal (Kegel) membantu
untuk memperoleh kembali control urine.
2) Ejakulasi retrograde : cairan semen dilepaskan kedalam kandung
kemih dan hilang dalam urine bukan melalui cairan prostat selama
hubungan seksual. (impotensia biasanya bukan komplikasi TURP
tetapi seringkali merupakan komplikasi dari prostatektomi
terbuka).
c. Berikan preparat usus pra bedah sesuai resep, atau instruksikan pasien
untuk memakainya dirumah ddan berpuasa setelah tengah malam.
d. Pastikan bahwa status jantung, pernafasan dan sirkulasi yang optimal
telah dicapai untuk menurunkan resiko komplikasi.
e. Berikan antibiotic profilaktik sesuai instruksi.
15
2. Perawatan post operasi menurut nettina (2002 : 557-558) dan potter perry
(2005 : 1845).
a. Pertahankan kepatenan kateter uretra yang dipasang setelah
pembedahan
1) Panatu aliran irigasi tertutup tiga jalur dan system drainase, jika
digunakan
2) Gunakan teknik aseptic, lakukan irigasi manual dengan cairan
pengirigasi 50 ml. hindari distensi yang berlebihan pada kandung
kemih, yang dapat menyebabkan hemoragi.
b. Berikan obat-obatan antikolinergik, sesuai instruksi, untuk mengurangi
spasme kandung kemih.
c. Kaji tingkat hematuria dan adanya pembentukan bekuan : drainase
harus berwarna merah muda dalam 24 jam
1) Laporkan adanya perdarahan arterial (merah terang, dengan
peningkatan viskositas) : dapat memerlukan intervensi bedah.
2) Laporkan adanya peningkatan perdarahan vena (merah gelap) :
mungkin membutuhkan traksi kateter untuk memberikan tekanan
pada fosa prostat dengan balon kateter yang dikembangkan.
3) Bersiaplah untuk transfusi darah jika perdarahan terjadi terus-
menerus.
d. Berikan cairan IV sesuai instruksi dan dorongan asupan cairan oral jika
ditoleransi untuk memastikan hidrasi dan haluaran urine.
16
e. Pertahankan tirah baring selama 24 jam pertama : pantau tanda-tanda
vital dengan sering, asupan dan haluaran, serta observasi kondisi
balutan insisi, jiak ada (tidak ada insisi pada TURP).
f. Setelah 24 jam, anjurkan ambulasi untuk mencegah trombosit venal
embolisme pulmoner, dan pneumonia hipostatik.
g. Observasi warna atau bau pada urine dan ambil sampel urine untuk
evaluasi infeksi sesuai instruksi.
h. Laporkan adanya nyeri testis, pembengkakan, dan nyeri tekan, yang
dapat mengindikasikan epididimitis akibat penyebaran infeksi.
i. Bantu dengan perawatan perineal jika terdapat insisi perineal untuk
mencegah kontaminasi feses.
j. Berikan obat pereda nyeri atau pantau penggunaan analgesia oleh
pasien (PCA) sesuai instruksi.
k. Beri posisi yang nyaman dan beritahukan pasien untuk menghindari
mengejan, yang akan meningkatkan kongesti vena pelvic dan dapat
menyebabkan hemoragi.
l. Berikan pelunak feses untuk mencegah rasa tidak nyaman akibat
konstipasi.
m. Pastikan bahwa kateter terpasang dengan baik pada paha pasien untuk
mencegah traksi kateter, yang akan menyebabkan nyeri dan
kemungkinan perdarahan.
n. Perawat mengkaji peristaltic usus setiap 4-8 jam. Perawat secara rutin
mengauskultasi abdomen untuk mendeteksi kembali bising usus.
17
o. Pertahankan asupan nutrisi dan meningkatkan secara bertahap sesuai
program dokter.
p. Apabila peristaltic sudah kembali, berikan cairan yang encer dan
dilanjutkan dengan yang kental seperti bubur dan diet ringan yang
lebih padat dengan banyak protein untuk proses penyembuhan luka.
I. Komplikasi
1. Pre operasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensio urine.
Karena produksi urine terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak
mampu lagi menampung urine. Sehingga tekanan intra vesika meningkat.
Dapat timbul Hidrourether, hidronefrisis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-
buli, batu ini dapat menambah kebutuhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistemis dan bila terjadi
refluk dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid (Mansjoer, 2000 : 332).
2. Post operasi
a. Perdarahan paska operasi dan retensi bekuan darah
b. Infeksi saluran kemih (ISK)
c. Ejakulasi retrograde, impotensi.
18
d. Sindrom TURP : pada 2% pasien penyerapan cairan irigasi melalui
sinus vena pada prostat menyebabkan hiponatremia, hipotensi dan
asidosis metabolic.
e. Inkontinensia urin (urin yang keluar terus-menerus)
f. Struktur uretra
g. Prostatitis : peradangan pada prostat karena bakteri ataupun infeksi
h. Karena efek anestesi memperlambat mortilitas gastrointestinal
menyebabkan mual dan muntah disebabkan oleh nyeri berat, distensi
abdomen, obat-obatan dan makanan atau minum sebelum peristaltic
kembali.
i. Konstipasi adalah buang air besar yang jarang setelah pembedahan.
Jika dalam waktu 48 jam pasien belum defekasi maka perlu di
khawatirkan, karena peristaltik yang melambat dan penundaan diet
normal.
j. Distensi abdomen : retensi udara didalam usus ditandai dengan perut
terasa penuh dan nyeri karena gas.
(Pierce & Niel, 2006 : 169 ; Potter & Perry, 2005 : 1843).
J. Pengkajian
1. Pre operatif
Menurut Nursalam (2006 : 137) pengkajian pre operatif pada pasien BPH:
a. Kaji riwayat adanya gejala meliputi serangan, frekuensi urinaria setiap
hari, berkemih pada malam hari, sering berkemih, perasaan tidak
dapat mengosongkan vesika urinaria, menurunnya pancaran urine.
19
b. Gunakan indeks gejala untuk menentukan gejala berat dan dampak
terhadap gaya hidup pasien.
c. Lakukan pemeriksaan rektal (palpasi ukuran, bentuk dan konsistensi)
dan pemeriksaan abdomen untuk mendeteksi distensi kandung kemih
serta derajat pembesaran prostat.
d. Lakukan pengukuran erodinamik yang sederhana, uroflowmetry, dan
pengukuran residual prostat, jika diindikasikan.
2. Post operatif
Menurut Smeltzer dan Bare (2002 : 429-467), poter & perry (2005 :
1836 : 1837), Doengoes (2000 : 671) dasar-dasar pengkajian benigna
prostat hyperplasia adalah :
a. Sirkulasi : peningkatan tekanan darah, kondisi kulit untuk
mengetahui tanda-tanda syok dan hemoragi.
b. Respirasi : kepatenan jalan nafas, kedalaman frekuensi, sifat dan
bunyi nafas.
c. Neurology : tingkat respon
d. Drainase : adanya drainase, kondisi balutan.
e. Psikologi : kebutuhan istirahat tidur, gangguan kebisingan oleh
pengunjung.
f. Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan/dorongan aliran urine; tetesan.
Ketidakmampuan untuk mengosongakan kandung
dengan lengkap; dorongan dan frekuensi
20
berkemih,Nokturia, disuria, hematuria,Duduk untuk
berkemih.
Tanda : Massa padat di bawah abdomen bawah (disertai
kandung kemih), nyeri tekan kandung kemih,Hernia
inguinalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan
tekanan abdomen yang memerlukan pengosongan
kandung kemih mengatasi tahanan).
g. Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual, muntah, Penurunan berat badan.
h. Nyeri
Gejala : Nyeri supra pubis, panggul, atau punggung, tajam , kuat
(pada prostatitis akut),Nyeri punggung bawah.
i. Keamanan
Gejala : Demam.
j. Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi/tetapi pada kemampuan
seksual, Takut inkontinensia/menetes selama hubungan
intim, Penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi.
Tanda : Pembesaran nyeri tekan prostat.
k. Penyuluhan
Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal,
Penggunaan antihypertensif atau antidefresan, antibiotik urinaria atau
agen antibiotik obat yang dijual bebas untuk flu/alergi obat
mengandung simpatomimetik.
21
l. Pertimbangan DRG menunjukkan serat lama dirawat 1, 2 hari
Rencana pemulangan : Memerlukan bantuan dengan managemen
terapi, contoh kanker.
K. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi
dengan adekuat.
Menurut (Wilkinson, 2007 : 551 ; Doenges, 2000 : 673)
Tujuan : Menurut NOC
- berkemih dengan jumlah yang cukup tidak teraba distensi
kandung kemih
- Eliminasi urine tidak akan terganggu
Intervensi : Menurut NIC dan Doenges
1. Pantau eliminasi urine, meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume,
dan warna dengan tepat.
2. Anjurkan pasien untuk minum 200 ml cairan pada saat makan, diantara
waktu makan dan diawal petang.
3. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan.
4. Perkusi atau palpasi daerah suprapubis.
5. Berikan obat sesuai dengan indikasi (anti spasmetik) misalnya
oksibutinin klorida (ditropan)
22
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan behubungan dengan
perdarahan.
Menurut (Wilkinson, 2007 : 174 ; Doenges, 2000 : 680)
Tujuan : Menurut NOC
- menunjukan tidak ada perdarahan aktif.
- Kekurangan volume cairan akan teratasi, dibuktikan dengan
keseimbangan cairan, keseimbangan elektrolit dan asam
basa, hidrasi yang adekuat, dan status nutrisi yang adekuat.
Intervensi : Memurut NIC dan Doenges
1) Awasi haluaran dan pemasukan cairan.
2) Evaluasi warna, dan jumlah urine.
3) Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit
(misalnya, diare, drainase luka)
4) Tinjau ulang elektrolit, terutama natrium, kalium, klorida, dan
kreatinin.
5) Inspeksi balutan.
6) Awasi TTV.
7) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemeriksaan laboratorium
c. Nyeri berhubungan dengan spasme otot berhubungan dengan prosedur
bedah dan/tekanan dari balon kandung kemih, iritasi mukosa kandung
kemih.
23
Menurut (Wilkinson, 2007 : 338 ; Doenges, 2000 : 683)
Tujuan : Menurut NOC
- nyeri hilang/terkontrol.
- Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan
untuk mencegah nyeri.
Intervensi : Menurut NIC dan Doenges
1) Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, awitan/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.
2) Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika
pengurang nyeri tidak dapat dicapai.
3) Pertahankan potensi kateter.
4) Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari.
5) Berikan tindakan kenyaman.
6) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antiseptik.
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah, prosedur invasif,
trauma jaringan, irigasi kandung kemih.
Menurut (Wilkinson, 2007 : 261 ; Doenges, 2000 : 682)
Tujuan : Menurut NOC
- Terbebas dari tanda atau gejala infeksi.
- Menunjukan higine pribadi yang adekuat.
- Menggambarkan tanda atau gejala infeksi serta mengikuti
prosedur pemantauan.
24
Intervensi : Menurut NIC dan Doenges
1) Pantau tanda/gejala infeksi
2) Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi.
3) Pantau hasil laboraturium.
4) Ambulasi dengan drainse dependent.
5) Awasi TTV.
6) Observasi drainase luka.
7) Ganti balutan dengan sering.
8) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotik misalnya :
elambutinin klorida (ditropan)
e. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubugan dengan situasi krisis, ancaman
konsep diri.
Menurut (Wilkinson, 2007 : 454 ; Doenges, 2000 : 683)
Tujuan : Menurut NOC
- tidak terjadi disfungsi seksual
- menggambarkan perkembangan seksual
- mengungkapkan kenyamanan dengan identitas seksualnya.
Intervensi : Menurut NIC dan Doenges
1) Pantau adanya indikator resolusi dari disfungsi seksual
2) Diskusikan pentingnya modifikasi dalam aktivitas seksual, jika
diperlukan.
3) Berikan informasi faktual tentang mitos seksual dan kesalahan
informasi yang pasien kemukakan.
25
4) Berikan keterbukaan orang terdekat.
5) Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksusl.
6) Instruksikan latihan perineal.
7) Kolaborasi dengan tim medis lain sebagai penasehat seksual
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
Menurut (Wilkinson, 2007 : 270 ; Doenges, 2000 : 677)
Tujuan : Menurut NOC
- Menyatakan pemahaman tentang prosedur bedah dan
pengobatan.
- Menunjukan pengetahuan Diet : gambaran diet yang
dianjurkan, penjelasan alasan penganjuran diet.
Intervensi : Menurut NIC dan Doenges
1) kaji ulang implikasi prosedur dan harapan masa depan.
2) Tekankan perlunya nutrisi yang baik.
3) Diskusikan pembatasan aktivitas awal.
4) Dorong kesinambungan latihan perineal.
5) Kaji ulang tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medis
top related