bab ii buat dafrat pustaka
Post on 22-Dec-2015
220 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ramuan Obat Tradisional Masyarakat
Melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.381/MENKES/SK/III/2007, pemerintah telah menetapkan Kebijakan Obat
Tradisional Nasional (Kotranas) yang antara lain bertujuan untuk mendorong
pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan
(sustainable use) untuk digunakan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan.
Sebagai implementasi dari kebijakan tersebut adalah melalui Peraturan Menteri
Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam
penelitian berbasis pelayanan kesehatan.1
Saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis
pelayanan kesehatan, dengan salah satu tujuan pengaturan saintifikasi jamu seperti
yang tertulis pada pasal 4 yaitu mendorong terbentuknya jejaring dokter atau
dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya
preventif, promotif, rehabilitatif, dan paliatif melalui penggunaan jamu. 1
Salah satu formula jamu saintifik yang saat ini dalam proses penelitian antara
lain diabetes mellitus tipe II, dispepsia, artritis, haemorrhoid dan hiperurisemia. 2
Beberapa penyakit tersebut sedang diteliti formula jamu saintifik berbasis ramuan
herbal yang berasal dari beberapa suku di Indonesia salah satunya dari suku
Tengger. Pada penelitian Aziz (2010) mengidentifikasi berbagai jenis tanaman yang
digunakan oleh masyarakat Tengger untuk mengobati berbagai penyakit.3
2.1.1 Obat Tradisional
Obat tradisional menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
381/MENKES/SK/III/2007 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuh-
tumbuhan, bahan hewan,bahan mineral,sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan
tersebut yang secara turun remurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.
Pada penggunaannya maupun dalam perdagangan ada beberapa macam bentuk obat-
obat tradisional menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional yaitu: rajangan,
serbuk, pil, dodol/jenang, pastiles, kapsul, tablet, cairan obat dalam, sari jamu, parem,
pilis, tapel, koyok, cairan obat luar, dan salep/krim. Dalam penggunaannya maupun
dalam perdagangan ada beberapa macam bentuk obat-obat tradisional menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 661/Menkes/SK/VII/1994
tentang Persyaratan Obat Tradisional yaitu: rajangan, serbuk, pil, dodol/jenang, pastiles,
kapsul, tablet, cairan obat dalam, sari jamu, parem, pilis, tapel, koyok, cairan obat luar,
dan salep/krim.
Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor: HK.00.05.4.2411 tentang Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi:
1. Jamu
Jamu harus memenuhi kriteria:
1) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
2) Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.
3) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat
pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium. Jenis klaim penggunaan
harus diawali dengan kata – kata: “Secara tradisional digunakan untuk …” atau sesuai
dengan yang disetujui pada pendaftaran
2. Obat Herbal Terstandar
Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria:
1) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
2) Klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik.
3) Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan
dalam produk jadi.
4) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian
umum dan medium.
3. Fitofarmaka
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria:
1) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;
2) Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik;
3) Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan
dalam produk jadi;
4) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
2.1.2 Pengobatan Tradisional Masyarakat Suku Tengger
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS) ditetapkan menjadi kawasan
taman nasional sejak Oktober 1982 berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian
Nomor 736/Mentan/X/1982. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional karena
memiliki potensi kekayaan alam yang tidak saja besar namun juga unik. Kekayaan alam
tersebut berupa fenomena Kaldera Tengger dengan lautan pasir yang luas,
pemandangan alam dan atraksi geologis Gunung Bromo dan Gunung Semeru.33 Jumlah
luas keseluruhan TN-BTS ialah 50.276,2 ha, dengan ketinggian tempat 750 - 3.676 m.
dpl dan curah hujan 6600mm/tahun. DI dalamnya terdapat pegunungan, dan juga
terdapat 4 buah danau (ranu) masing-masing : Ranu Pani (1 ha), Ranu Regulo (0,75 ha),
Ranu Kumbolo (14 ha) dan Ranu Darungan (0,5 ha). Gunung Bromo menjulang dengan
ketinggian 2.392 m dpl dan Gunung Semeru dengan ketinggian 3.676 m dpl. Kondisi
tanah adalah regosol dan litosol, dan warna tanah kelabu, coklat, coklat kekuning-
kuningan sampai putih dan suhu udara antara 30C sampai 200C (Sudiro, 2001). Keadaan
topografi bervariasi dari bergelombang dengan lereng yang landai sampai berbukit
bahkan bergunung dengan derajat kemiringan yang tegak dengan curah hujan rata-rata
6.604 mm/tahun dan memiliki tipe ekosistem sub montana dan sub alphin dengan
pohon-pohon yang besar dan tinggi berusia ratusan tahun. 34
Suku Tengger berada di TN-BTS dan merupakan suku asli yang beragama
Hindu. Wilayah yang dimasukkan ke dalam “Desa Tengger” yaitu desa-desa dalam
wilayah 4 kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan masih
memegang teguh adat-istiadat Tengger, dan desa-desa yang dimaksud yaitu
Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura,
Kabupaten Probolinggo), Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso (Kecamatan
Sumber, Kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono,
Podokoyo (Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan), Keduwung (Kecamatan Puspo,
Kabupaten Pasuruan), Ngadas (Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang), dan
Argosari serta Ranu Pani (Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang). 34, 35
Dari hasil penelitian sebelumnya oleh pada Suku Tengger yang tinggal di
Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo diperoleh data 60 resep tradisional
untuk pengobatan 29 jenis penyakit diantaranya diabetes mellitus (kencing manis),
dispepsia (masuk angin) dan artritis (pegel linu).
2.2 Pengobatan Konvensional Ketiga Penyakit
2.2.1 Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia kronis yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, defek kinerja
insulin, atau kedua-duanya Diabetes mellitus terjadi jika insulin yang tersedia tidak
mampu mempertahankan kadar gula darah tetap normal atau sel tidak mampu
memberikan respon yang baik terhadap insulin yang tersedia. Gejala DM meliputi
poliuria (frekuensi berkemih meningkat), polidipsia (banyak minum), penurunan berat
badan, kadang-kadang polifagia (banyak makan), dan penglihatan kabur. Komplikasi
jangka panjang diabetes meliputi retinopati, nefropati, neuropati perifer, neuropati
otonom, selain itu pada pasien DM diketahui terjadi peningkatan insiden ateroskelosis
kardiovaskuler, arteri perifer dan penyakit serebrovaskular.22
Diabetes mellitus tipe II dapat disebabkan karena dua hal yaitu penurunan
respon jaringan perifer terhadap insulin atau lebih dikenal dengan nama resistensi
insulin, dan penurunan kemampuan sel pangkreas untuk mensekresikan insulinβ
sebagai respon terhadap peningkatan glukosa. Biasanya diabetes melitus tipe II diawali
dengan obesitas karena kelebihan intake makanan, akibatnya sel pangkreas akanβ
merespon dengan mensekresikan insulin lebih banyak. Hal ini akan mengakibatkan
hiperinsulinemia (kadar insulin meningkat). Kadar insulin yang meningkat akan
menyebabkan reseptor insulin di jaringan melakukan pengaturan sendiri (self
regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau sering disebut down regulation.
Tentunya hal ini akan membawa dampak berupa resistensi insulin yaitu penurunan
respon reseptor terhadap insulin. Selain itu resistensi insulin juga disebabkan oleh
desensitisasi reseptor insulin pada tahap post reseptor yaitu penurunan aktivasi kinase
reseptor, translokasi glucose transporter, dan aktivasi glycogen synthase. Secara
patologis, diabetes mellitus tipe II terjadi peningkatan glukosa darah, namun masih
diiringi dengan sekresi insulin, hal ini tentunya mengindikasikan adanya defek baik
pada reseptor insulin maupun post-reseptor. Pada kondisi resistensi insulin, terjadi
peningkatan produksi glukosa darah dan penurunan penggunaan glukosa darah, hal ini
akan menyebabkan sel pankreas melakukan adaptasi berupa penurunan sensitifitasβ
untuk mensekresi insulin.23 Jika resistensi dan kurangnya sensitivitas insulin tidak
diatasi, maka dapat menimbulkan komplikasi.
Komplikasi diabetes mellitus tipe II dapat dibagi menjadi dua kategori yakni
komplikasi metabolisme akut seperti ketoasidosis diabetik dan komplikasi vaskuler
jangka panjang. seperti mikroangiopati dan makroangiopati. Mikroangiopati merupakan
lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik),
glomerulus ginjal (nefropati diabetik), otot-otot dan kulit. Makroangiopati diabetik
mempunyai gambaran histopatologik berupa arteriosklerosis.24
Penatalaksanaan DM terdiri dari terapi non farmakologis yang meliputi perubahan
gaya hidup dengan meningkatkan aktivitas jasmani dan pengaturan pola diet, serta
terapi farmakologis berupa pemberian obat antidiabetes oral dan atau injeksi insulin.
Terapi farmakologis konvensional ini sebaiknya dipilih apabila terapi nonfarmakologis
telah dilakukan tetapi tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana
yang diharapkan.25 Terapi konvensional dapat mengggunakan obat Metformin,
sulfonilurea, glinide, Penghambat -glukosidase, thiazolidinedione (TZD), dipeptidyl
peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor) ataupun insulin.
1. Metformin
Metformin merupakan obat yang bekerja dengan cara menurunkan
“hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa puasa.
Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%.
Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak
diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal.
Monoterapi metforminjarang disertai dengan hipoglikemia; dan
metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan
hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari
metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau
menyebabkan panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan
kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan
risiko asidosis laktik
2. Sulfonilurea
Sulfonylurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan
sekresi insulin. Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan
metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan
adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup.
Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua.
Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid
dibandingkan dengan sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea
sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan
sulfonilurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal
pada setengah dosis maksimal, dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya
dihindari.
3. Glinide
Seperti halnya sulfonilurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan
tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih
pendek dari pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang
lebih sering. Golongan glinide dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 %
Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai suflonylurea,
akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil.
4. Penghambat -glukosidase
Penghambat -glukosidase bekerja menghambat pemecahan
polisakharida di usus halus sehingga monosakharida yang dapat
diabsorpsi berkurang; dengan demikian peningkatan kadar glukosa
postprandial dihambat. Monoterapi dengan penghambat -glukosidase
tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif
metformin dan sulfonylurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C
dapat turun sebesar 0,5 – 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon
mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal.
Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat
ini karena efek samping tersebut.
5. Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap
insulin baik endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah
penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering
dikeluhkan adalah penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga
terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif.
6. Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP-4 Inhibitor)
DPP-4 merupakan protein membran yang diexpresikan pada berbagai
jaringan termasuk sel imun.DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang
meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan “glucose-
mediated insulin secretion” dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian
klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar
0,6-0,9 %. Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila
dipakai sebagai monoterapi.
7. Insulin
Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, paling efektif dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat,
insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target
terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak
memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan
berat badan dan hipoglikemia.
2.2.2 Dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan).1
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators, dispepsia
didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah
perut bagian atas.2 Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom
atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu
hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut terasa penuh/
begah.3 Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai
penyakit, termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang
lebih dikenal sebagai penyakit maag.4 Dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi
merupakan suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya. Penyebab dispepsia dapat
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: 5
1) Dispepsia organik yaitu dispepsia yang disebabkan oleh kelompok penyakit
organik seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll.
2) Dispepsia fungsional yaitu kelompok dimana sarana penunjang diagnostik
yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat
memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi .
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
Untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi (leukositosis), pakreatitis
(amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-9, AFP).
Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan
darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika
tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti
kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita
dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma
saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan
karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu
diperiksa CA 19-9.3
2. Barium enema
Untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus halus dapat dilakukan
pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan
berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila
penderita makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan
struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak
atau gambaran ke arah tumor.7,8
3. Endoskopi
Untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus halus dan untuk
mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh
tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui
apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi
merupakan pemeriksaan gold standart, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik.9,10,11
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia
tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms, yaitu adanya
penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya
obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama,
dan terjadi pada usia lebih dari 45tahun.3
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah
1) CLO (rapid urea test)
2) Patologi anatomi (PA)
3) Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
4) PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian1
4. Pemeriksaan radiologi
Digunakan OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori,
dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis
dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan
kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik
di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga
sedikit barium yang masuk ke intestin.Pada tukak baik di lambung,
maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu
kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang
jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di
lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat
peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis
akut perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti
terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari
intestin terutama di jejunum yang disebut sentina loops.3
Terapi dyspepsia :
1. Antasida
Maalox, Mylanta 30 ml setelah makan dan sebelum tidur
2. H2 Receptor Antagonis
Simetidin 400 mg 2 kali sehari pagi hari dan malam sebelum tidur.,
ranitidine 150 mg
3. Pompa Proton (H +, K +-ATPase) Inhibitor
PPI harus diberikan dalam dosis omeprazole atau rabeprazole (20
mg), atau lanzoprazole (30 mg), atau pantoprazole atau
esomeprazole (40 mg) perhari
4. Sitoprotektif Agen Sukralfat , Bismuth, Prostaglandin Analog
2.2.3 Arthritis
Kata "arthritis" berasal dari dua kata Yunani: arthron, yang berarti sendi, dan-itis,
berarti peradangan jado secara umum arthritis adalah istilah untuk peradangan
(inflamasi) dan pembengkakan didaerah persendian. Terdapat lebih dari 100 macam
penyakit yang mempengaruhi daerah sekitar sendi. Yang paling banyak adalah
Osteoarthritis (OA), arthritis gout (pirai), arthritis rheumatoid (AR), dan fibromialgia.
Gejala klinis yang sering adalah rasa sakit, ngilu, kaku, atau bengkak di sekitar sendi
2.2.3.1 Osteoarthritis
Osteoarthritis adalah penyakit yang merupakan bagian dari arthritis, penyakit ini
meyerang sendi terutama pada tangan, lutut dan pinggul. Orang yang terserang
osteoarthritis biasanya susah menggerakkan sendi-sendinya dan pergerakannya
menjadi terbatas karena turunnya fungsi tulang rawan untuk menopang badan. Hal ini
dapat mengganggu produktifias seseorang. Osteoarthritis tidak hanya menyerang orang
tua, tapi juga bisa menyerang orang yang muda dan berdasarkan penelitian, kebanyakan
orang yang terkena osteoarthritis adalah wanita1,2,3. Osteoarthritis terbagi atas dua
bagian yaitu
1. Osteoarhritis primer adalah degeneratif artikular sendi yang terjadi pada sendi
tanpa adanya abnormalitas lain pada tubuh. Penyakit ini sering menyerang
sendi penahan beban tubuh(weight bearing joint), atau tekanan yang normal
pada sendi dan kerusakkan akibat proses penuaan. Paling sering terjadi pada
sendi lutut dan sendi panggul, tapi ini juga ditemukan pada sendi lumbal, sendi
jari tangan, dan jari pada kaki.
2. Osteoarthritis sekunder adalah paling sering terjadi pada trauma atau terjadi
akibat dari suatu pekerjaan, atau dapat pula terjadi pada kongenital dan adanya
penyakit sistem sistemik. Osteoarthritis sekunder biasanya terjadi pada umur
yang lebih awal daripada osteoarthritis primer.
Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan sendi.
Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak
makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai penurunan sintesis proteoglikan
dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-sifat
kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Pada proses degenerasi dari
kartilago artikular menghasilkan suatu substansi atau zat yang dapat menimbulkan
suatu reaksi inflamasi yang merangsang makrofag untuk menhasilkan IL-1 yang akan
meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi matriks ekstraseluler.
Perubahan dari proteoglikan menyebabkan tingginya resistensi dari tulang rawan
untuk menahan kekuatan tekanan dari sendi dan pengaruh-pengaruh yang lain yang
merupakan efek dari tekanan. Penurubab kekuatan dari tulang rawan disertai
perubahan yang tidak sesuai dari kolagen. Pada level teratas dari tempat degradasi
kolagen memberikan tekanan yang berlebihan pada serabut saraf dan tentu saja
menimbulkan kerusakan mekanik.
Kondrosit sendiri akan mengalami kerusakan. Selanjutnya akan terjadi perubahan
komposisi molekuler dan matriks rawan sendi, yang diikuti oleh kelainan fungsi matriks
rawan sendi. Melalui mikroskop terlihat permukaan mengalami fibrilasi dan berlapis-
lapis. Hilangnya tulang rawan akan menyebabkan penyempitan rongga sendi.
Pada tepi sendi akan timbul respons terhadap tulang rawan yang rusak dengan
pembentukan osteofit. Pembentukan tulang baru (osteofit) dianggaop suatu usaha
untuk memperbaiki dan membentuk kembali persendian. Dengan menambah luas
permukaan sendi yang dapat menerima beban, osteofit diharapkan dapat memperbaiki
perubahan-perubahan awal tulang rawan sendi pada Osteoarthritis. Lesi akan meluas
dari pinggir sendi sepanjang garis permukaan sendi.
Adanya pengikisan yang progresif menyebabkan tulang yang dibawahnya juga ikut
terlibat. Hilangnya tulang-tulang tersebut merupakan usaha untuk melindungi
permukaan yang tidak terkena. Sehingga tulang subkondral merespon dengan
meningkatkan selularitas dan invasi vaskular, akibatnya tulang menjadi tebal dan padat
(eburnasi).
Pada akhirnya rawan sendi menjadi aus, rusak dan menimbulkan gejala-gejala
Osteoarthritis seperti nyeri sendi, kaku, dan deformitas. Melihat adanya proses
perbaikkan yang sekaligus terjadi maka Osteoarthritis dapat dianggap sebagai
kegagalan sendi yang progresif.
Semua obat memiliki efek samping yang berbeda, oleh karena itu, penting bagi pasien
untuk membicarakan dengan dokter untuk mengetahui obat mana yang paling cocok
untuk di konsumsi. Berikut adalah beberapa obat pengontrol rasa sakit untuk penderita
osteoarthritis.2, 3, 4, 5:
1. Acetaminophen
Merupakan obat pertama yang di rekomendasikan oleh dokter karena relatif aman
dan efektif untuk mengurangi rasa sakit.
2. NSAIDs (nonsteroidal anti inflammatory drugs)
Dapat mengatasi rasa sakit dan peradangan pada sendi. Mempunyai efek samping,
yaitu menyebabkan sakit perut dan gangguan fungsi ginjal.
3. Topical pain
Dalam bentuk cream atau spray yang bisa digunakan langsung pada kulit yang
terasa sakit.
4. Tramadol (Ultram)
Tidak mempuyai efek samping seperti yang ada pada acetaminophen dan NSAIDs.
5. Milk narcotic painkillers
Mengandung analgesic seperti codein atau hydrocodone yang efektif mengurangi
rasa sakit pada penderita osteoarthritis.
6. Corticosteroids
Efektif mengurangi rasa sakit.
7. Hyaluronic acid
Merupakan glycosaminoglycan yang tersusun oleh disaccharides of glucuronic acid
dan N-acetygluosamine. Disebut juga viscosupplementation.
Digunakan dalam perawatan pasien osteoarthritis. Dari hasil penelitian yang
dilakukan, 80% pengobatan dengan menggunakan hyaluronic acid mempunyai efek
yang lebih kecil dibandingkan pengobatan dengan menggunakan placebo. Makin
besar molekul hyaluronic acid yang diberikan, makin besar efek positif yang di
rasakan karena hyaluronic acid efektif mengurangi rasa sakit.
8. Glucosamine dan chondroitin sulfate
Mengurangi pengobatan untuk pasien osteoarthritis pada lutut.
2.2.3.2 Reumatoid Arthritis Rheumatoid arthritis merupakan bentuk arthritis inflamasi yang menyebabkan
nyeri sendi dan kerusakan. Rheumatoid arthritis menyerang lapisan sendi (sinovium)
menyebabkan pembengkakan yang dapat menyebabkan sakit, berdenyut-denyut dan
akhirnya cacat. Kadang gejala rheumatoid arthritis membuat kegiatan sederhana -
seperti membuka jari atau berjalan-jalan sulit untuk dilakukan.
Pada Artritis reumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada jaringan synovial.
Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut
akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran synovial, dan
akhirnya membentuk panus. Panus akan meghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang, akibatnya menghilangkan permukaan sendi yang akan
mengalami perubahan generative dengan menghilangnya elastisita otot dan kekuatan
kontraksi otot.
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial disertai edema, kongesti
vascular eksudat fibrin dan inflamasi selular. Peradangan yang berkelanjutan
menyebabkan synovial menjadi menebal terutama pada sendi artikular kartilago dari
sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus atau penutup yang menutupi
kartilago. Pannus masuk ke tulang subcondria. Jaringan granulasi menguat karena
radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuler. Kartilago menjadi
nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago persendian menentukan tingkat ketidakmampuan sendi.
Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi ,
karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (akilosis). Kerusakan kartilago dan tulang
menyebabkan tendon dan ligament menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi
atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub condrial bisa menyebabkan
osteoporosis setempat.
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan masa
adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara orang ada yang sembuh dari
serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Yang lain terutama yang
mempunyai factor rematoid, gangguan akan menjadi kronis yang progresif. Pada
sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai kerusakan sendi yang
terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus.
Tujuan utama dari program pengobatan adalah untuk menghilangkan nyeri dan
peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari klien, serta
mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi. Penatalaksanaan
yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan – jutuan itu meliputi pendidikan,
istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi, serta obat – obatan.
Contoh-contoh obat yang dapat diberikan :
1. NSAIDs
Obat anti-infalamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi gejala nyeri
dan mengurangi proses peradangan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
ibuprofen dan natrium naproxen. Golongan ini mempunyai risiko efek
samping yang tinggi bila di konsumsi dalam jangka waktu yang lama.
2. Kortikosteroid
Golongan kortikosteroid seperti prednison dan metilprednisolon dapat
mengurangi peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan sendi. Dalam
jangka pendek kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun bila
di konsumsi dalam jangka panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan
efek samping yang serius.
3. Obat remitif (DMARD)
Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh karena itu
diberikan pada stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan
melindungi sendi dan jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang
termasuk dalam golongan ini adalah klorokuin, metotreksat salazopirin,
leflunomide dan garam emas
2.2.3.3 Artritis Gout
Gout adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan penyakit yang
berkaitan dengan hiperurisemia. Hiperurisemia dapat terjadi karena peningkatan
sintesis prekursor purin asam urat atau penurunan eliminasi/pengeluaran asam urat
oleh ginjal, atau keduanya. Gout merupakan diagnosis klinis sedangkan hiperurisemia
adalah kondisi biokimia. Gout ditandai dengan episode arthritis akut yang berulang,
disebabkan oleh timbunan monosodium urat pada persendian dan kartilago, dan
pembentukan batu asam urat pada ginjal (nefrolitiasis). Hiperurisemia yang
berlangsung dalam periode lama merupakan kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup
untuk menyebabkan terjadinya gout.
Onset serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum,
meninggi ataupun menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang terjadi serangan.
Pada manusia, asam urat diekskresikan sebagai produk akhir metabolisme purin. Dalam
tubuh manusia terdapat hanya sedikit enzim urikase yang mengkatalisis degradasi asam
urat menjadi allantoin. Purin dalam tubuh didapat dari konsumsi diet purin dan sintesis
purin endogen. Purin yang dihasilkan ini akan menjadi bagian dari asam nukleat. Dalam
katabolisme, purin akan didegradasi menjadi asam urat dengan perantaraan enzim
xantin oksidase.
Penurunan kadar urat dalam serum juga dapat mencetuskan pelepasan kristal
MSU dari depositnya dalam tofi (crystall shedding). Pada beberapa pasien gout atau
hiperurisemia asimptomatik, kristal MSU ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan
lutut yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Penurunan temperatur,
pH, dan kelarutan urat juga berpengaruh dalam timbulnya serangan gout akut.
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih rendah pada sendi perifer
seperti kaki dan tangan dapat menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkan pada
kedua tempat tersebut.. Predileksi untuk pengendapan kristal MSU pada
metatarsofalangeal I (MTP I) juga berhubungan dengan trauma ringan yang berulang-
ulang pada daerah tersebut.
Kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovial ke dalam plasma hanya
setengah dari kecepatan difusi air. Dengan demikian, konsentrasi urat dalam cairan
sendi seperti MTP I menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari
selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan
kadar urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya awitan gout akut pada
malam hari.
As.Nukleat Jaringan
Asam urat
Purin
Nukleotida purin dalam tubuh
Diet purin
Sintesis purin
Urikolisis intestinal
Ekskresi Renal
Inflamasi merupakan reaksi penting pada artritis gout. Reaksi ini adalah
pertahanan tubuh non-spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen
penyebab. Tujuan dari proses inflamasi adalah:
- menetralisir agen penyebab
- mencegah perluasan dari agen penyebab ke jaringan yang lebih luas.
Inflamasi pada artritis gout akut adalah akibat penumpukan agen penyebab yaitu
kristal MSU pada sendi. Mekanisme ini diduga disebabkan oleh mediator kimia dan
selular. Pengeluaran berbagai mediator peradangan akibat aktivasi melalui berbagai
jalur, antara lain aktivasi komplemen dan selular
1. Obat Anti Inflamasi non-steroid (OAINS), yang berfungsi untuk mengatasi
nyeri sendi akibat proses peradangan.
2. Kortikosteroid, yang berfungsi sebagai obat anti radang dan menekan reaksi
imun. Obat ini dappat diberikan dalam bentuk tablet atau suntikan di bagian
sndi yang saki.
3. Immunosupresif, yang berfungsi untuk menekan reaksi imun. Obat ini jarang
digunaka karena efeksampingnya cukup berat yaitu dapat meimbulkan
penyakit kanker dan bersifat racun bagi ginjal dan hati.
4. Suplemen antioksidan yang diperoleh dari assupan vitamin dan mineral yang
berkhasiat untuk mengobati asam urat. Asupan vitamin dan mineral dapat di
peroleh dngan mengkonsumsi buah atau sayuran segar atau orange,seperti
wortel.
2.3. Diagnosis emik DM tipe II, Dispepsia dan Artritis
Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan secara
ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari masing-masing
penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman
secara “etik” dan “emik”. Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai
gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau
tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness)
adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, Solita,
1993. Sosiologi Kesehatan, beberapa Konsep beserta Aplikasinya. Gajah Mada University Press, Jakarta). Fenomena subyektif ini
ditandai dengan perasaan tidak enak. Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat
berdasarkan pemahaman konsep kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya
sebagaimana dikemukakan olehFoster dan Anderson (1986) tentang konsep penyakit
(disease) pada masyarakat tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-
kepustakaan mengenai etnomedisin, bahwa konsep penyakit masyarakat non barat,
dibagi atas dua kategori umum yaitu
Personalistik
Munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen
yang aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau
dewa), mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat)
maupun makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
Naturalistik
penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang sistematik dan
bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan,
sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh seperti panas,
dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan
kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya,
apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah penyakit.Anderson, Foster.
(1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
2.3.1 Diagnosis emik DM tipe II
Pasien diabetes mellitus atau kencing manis biasanya datang dengan keluhan klasik
poliuria (banyak berkemih), polidipsia (rasa haus sehingga jadi banyak minum),
polifagia (banyak makan karena perasaan lapar terus-menerus) dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya Jika keluhan di atas dialami oleh seseorang,
untuk memperkuat diagnosis dapat diperiksa keluhan tambahan DM berupa lemas,
mudah lelah, kesemutan, gatal, penglihatan kabur, penyembuhan luka yang buruk,
disfungsi ereksi pada pasien pria dan gatal pada kelamin pasien wanita.(perkeni 2011)
2.3.2 Diagnosis emik Dispepsia
Pasien dengan sindrom dispepsia atau masuk angin biasanya mengeluhkan rasa nyeri
atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas, kembung,
mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut terasa penuh/ begah.
2.3.3 Diagnosis emik Athritis
Pasien dengan athritis atau pegel linu seringkali mengeluh seperti rasa nyeri, panas,
kemerahan, dan pembengkakan pada sendi-sendi.
top related