bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 teori social … · 2018. 8. 2. · konteks di mana...
Post on 26-Oct-2020
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Teori Social Exchange
Teori Social Exchange digagas oleh Blau pada tahun 1964. Teori ini
menyatakan bahwa karyawan cenderung mengembangkan hubungan berkualitas
tinggi berdasarkan pada siapa mereka berinteraksi, bagaimana mereka
berinteraksi, dan bagaimana pengalaman mereka (Blau, 1964; Cropanzano &
Mitchell, 2005). Ketika karyawan diperlakukan dengan cara yang adil dan hormat
oleh pimpinan, mereka cenderung memikirkan hubungan dengan pimpinan dalam
hal pertukaran sosial daripada pertukaran ekonomi (Blau, 1964). Selanjutnya,
mereka cenderung melakukan tindakan balasan dengan memberikan usaha ekstra
ke dalam pekerjaan atau dedikasi terhadap pekerjaan yang lebih banyak (Brown
et al., 2005) dan bersedia untuk menjadi lebih banyak terlibat dalam pekerjaan
(Macey et al., 2009).
Semakin sering karyawan berinteraksi dengan atasan mereka, semakin
besar kemungkinan hubungan mereka akan semakin kuat (Dienesch & Liden,
1986, seperti dikutip dalam Walumbwa et al., 2011). Hal ini menjadikan
kepemimpinan sebagai nilai yang penting dalam pertukaran sosial (Wayne et al.,
2002; Cropanzano & Mitchell, 2005; Erdogan et al., 2006). Para pengikut lebih
cenderung menganggap diri mereka berada dalam hubungan pertukaran sosial
dengan para pemimpin mereka karena perlakuan etis yang mereka terima dan
20
kepercayaan yang mereka rasakan. Ketika karyawan merasa bahwa pemimpin
mereka memiliki minat terbaik di hati dan peduli, mereka cenderung untuk
membalas dengan meningkatkan kinerja tugas.
Bellingham (2003) menyatakan bahwa pemimpin etis ingin
memberdayakan karyawan melalui pelatihan dan dukungan, mereka ingin
memberikan kebebasan kepada karyawan mereka untuk menunjukkan inisiatif
melalui tanggung jawab dan wewenang. Pemimpin etis mengajak pengikut
mereka untuk bertimbang rasa melalui komunikasi terbuka (Brown & Trevino,
2006) memperjelas apa tujuan organisasi dan apa yang diharapkan dari bawahan,
sehingga menumbuhkan keterikatan karyawan dalam pekerjaan mereka (Macey et
al., 2009).
Brown et al. (2005) telah menunjukkan hubungan antara kepemimpinan
etis dan teori pertukaran sosial. Dari sudut pandang karyawan, pemimpin etis
adalah orang yang benar-benar dapat dipercaya. Pemimpin ini melalui
pengambilan keputusan yang adil dan seimbang lebih jauh membentuk persepsi
karyawan akan adanya hubungan pertukaran sosial (Mayer et al., 2009). Menurut
Gouldner (1960) hubungan pertukaran sosial bergantung pada norma timbal balik.
Misalnya, rasa kewajiban karyawan di tempat kerja sangat penting karena
memaksa mereka untuk membayar imbalan bermanfaat yang diterima dari
pimpinan mereka.
Secara empiris, peneliti yang berbeda telah menemukan bukti pengaruh
kepemimpinan etis terhadap perilaku OCB (Mayer et al., 2009) dan kinerja
karyawan (Walumbwa et al., 2011). Selanjutnya menggunakan konsep
21
pertukaran, disarankan agar perilaku OCB terjadi sebagai respon karyawan untuk
merasakan kewajiban terhadap organisasi (Organ, 1990). Demikian pula,
Konovsky & Pugh (1994) menunjukkan bahwa perilaku OCB terjadi dalam
konteks di mana pertukaran sosial mewakili kualitas hubungan superior-bawahan.
Dalam penelitian lain, Deckop et al. (2003) mengemukakan bahwa OCB dalam
organisasi lebih teliti dijelaskan oleh pengertian pertukaran sosial dan norma
timbal balik.
2.1.2 Teori Social Learning
Sebagai mahluk sosial, manusia dalam hal ini karyawan banyak belajar
satu sama lain mengenai bagaimana memikirkan, merasakan, dan berperilaku
tentang segala hal di sekitar mereka (Srivastava, 2016). Pendapat ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Bandura (1977), yang menyatakan bahwa
orang banyak belajar sesuatu dengan melihat dan meniru perilaku orang lain.
Individu yang belajar dengan memperhatikan dan meniru sikap, nilai-nilai dan
perilaku dari model yang menarik dan kredibel, yang dikenal dengan teori
pembelajaran sosial (social learning theory). Individu sebagian besar melihat di
luar diri individu lain untuk bimbingan etis. Pemimpin etis akan menjadi sumber
bimbingan karena daya tarik dan kredibilitas yang mereka miliki sebagai peran
model yang menarik perhatian.
Teori Social Learning yang dikemukakan oleh Bandura pada tahun 1977,
mengemukakan bahwa individu belajar standar perilaku; (a) vicariously (yaitu,
dengan menonton orang lain); (b) melalui pemodelan langsung; dan (c) dengan
22
persuasi verbal. Dari perspektif kepemimpinan etis, para pemimpin etis
mempengaruhi karyawan karena: (1) karyawan belajar cara terbaik melakukan
pekerjaan mereka dengan melihat manajer mereka (Mitchell & Palmer, 2010); (2)
manajer etis adalah model peran yang menarik dan sah, sehingga mereka
memberikan pengaruh yang besar melalui pemodelan, yang digunakan dalam
proses mendidik (Bandura, 1986); dan (3) para pemimpin etis menunjukkan
kepedulian tentang kepentingan terbaik karyawan dan oleh karena itu ingin
melihat mereka bekerja dengan baik dan mencapai potensi mereka (Brown et al.,
2005). Pemimpin etis membantu karyawan untuk menjadi lebih percaya diri
tentang kemampuan mereka, memperkuat pola perilaku dan motivasi mereka, dan
memperjelas kepada karyawan bagaimana tugas dan upaya mereka akan
berkontribusi pada pencapaian tujuan unit kerja yang penting (De Hoogh & Den
Hartog, 2008; Walumbwa et al., 2011).
Teori pembelajaran sosial (social learning theory) menurut Brown &
Trevino et al. (2006) yaitu para pemimpin sebagai salah satu role model sudah
seharusnya dilihat sebagai pemimpin etis oleh pengikut dan mereka harus
berperan menarik serta menjadi model yang kredibel. Selain itu, teori
pembelajaran sosial membantu menjelaskan mengapa dan bagaimana pemimpin
etis mempengaruhi pengikut mereka. Pemimpin etis dihargai oleh karyawan
mereka, karena perilaku etika yang mereka miliki. Karyawan akan menunjukkan
rasa segan jika tidak bekerja dengan baik dan biasanya karyawan seperti ini mau
melakukan pekerjaaan yang bukan menjadi tanggung jawabnya serta tidak
menuntut imbalan atas pekerjaan tersebut. Perilaku seperti ini dikenal dengan
23
istilah Organizational Citizenship Behavior (OCB). Selanjutnya, pembelajaran
sosial memiliki kekuatan dalam menumbuhkan keterikatan karyawan yang lebih
kuat terhadap perusahaan karena peran kuat dari kepemimpinan etis mampu
mendorong tumbuhnya keterikatan karyawan tersebut.
Sesuai pemaparan teori tersebut, dapat dikatakan bahwa teori Social
Exchange dan teori Social Learning kiranya relevan digunakan sebagai grand
theory dalam membahas keterkaitan antara kepemimpinan etis, OCB dan
employee engagement serta pengaruhnya terhadap kinerja karyawan.
2.1.3 Teori Reasoned Action
Teori Reasoned Action, merupakan teori psikologi sosial yang
menjelaskan bagaimana dan mengapa sikap dapat mempengaruhi perilaku. Teori
ini fokus pada niat (intention) yang ditentukan oleh sikap dan norma. Niat
seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu merupakan faktor penentu
akan dilakukan atau tidaknya perilaku tersebut (Ajzen & Fishbein, 1975). Teori
Reasoned Action, menjelaskan bahwa keyakinan dapat mempengaruhi sikap dan
norma sosial yang mana akan merubah bentuk keinginan berperilaku baik dipandu
ataupun terjadi begitu saja dalam sebuah perilaku individu. Niat adalah sebagai
motivasi seseorang secara sadar dalam rencana atau keputusannya untuk
menggunakan suatu usaha dalam melaksanakan suatu perilaku yang spesifik.
Secara sederhana didefinisikan sebagai keinginan untuk melakukan sesuatu
tindakan. Sebagian besar perilaku manusia mampu diprediksi berdasarkan niat,
24
karena perilaku-perilaku tersebut adalah kehendak atau kemauan di bawah kendali
niat (Ajzen & Fishbein, 1980).
Menurut Zhang (2007), teori Reasoned Action menjelaskan bahwa
perilaku manusia secara langsung dimotivasi oleh niat untuk berperilaku, sikap
berperilaku merujuk kepada penilaian menyeluruh seseorang terhadap dampak
dari sebuah tindakan yang akan dilakukan. Sikap berperilaku dapat juga
didefinisikan sebagai perasaan (feelings) positif atau negatif seseorang terkait
suatu perilaku. Natan et al. (2009) juga berargumen, bahwa perilaku seseorang
ditentukan oleh niat orang tersebut untuk melakukan (atau menghindari untuk
melakukan) suatu perilaku tertentu. Sikap berperilaku merefleksikan pendirian
(keyakinan) dan perasaan terhadap sebuah tindakan tertentu, seseorang yang yakin
bahwa melakukan suatu tindakan akan berdampak positif padanya, maka ia akan
kukuh pada sikap yang disukainya tersebut, demikian juga sebaliknya (Ramayah
& Aafaqi, 2005). Cammock et al. (2009) berpandangan bahwa sikap berperilaku
adalah fungsi dari keyakinan berperilaku yang kuat, atau sebagai persepsi dari
hasil sebuah tindakan yang akan dilakukan.
Teori Reasoned Action memiliki dua konstruk utama dari intention : (1)
sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) dan (2) subjective norm
berasosiasi dengan perilaku tersebut. The attitude toward behavior adalah
seseorang akan berpikir tentang keputusan mereka dan kemungkinan hasilnya dari
aksi yang dilakukan sebelum membuat keputusan untuk terlibat atau tidak terlibat
dalam perilaku tersebut. Teori ini menunjukkan bahwa keinginan seseorang untuk
berperilaku atau tidak dalam suatu aksi adalah didasari oleh keyakinan orang
25
tersebut dan evaluasi dari hasil yang ditimbulkan atas perilakunya. Jadi, seseorang
yang memiliki keyakinan bahwa hasil yang didapat adalah positif, maka akan
nampak positif terhadap perilaku itu, begitupun sebaliknya. Berikut gambaran dari
Teori Reasoned Action.
Gambar 2.1 Teori Reasoned Action
Sumber: Fishbein & Ajzen (1975)
Teori Reasoned Action dikembangkan untuk menguji hubungan antara
sikap dan perilaku (Fishbein & Ajzen 1975; Ajzen 1988; Werner 2004). Konsep
utama dalam teori ini adalah prinsip-prinsip kompatibilitas dan konsep intensi
perilaku. Prinsip kompatibilitas menetapkan dalam rangka untuk memprediksi
satu perilaku tertentu diarahkan ke target tertentu dalam konteks dan waktu
tertentu, sikap khusus yang sesuai dengan waktu, target dan konteks yang harus
dinilai. Konsep yang menyatakan keinginan perilaku yang memotivasi individu
untuk terlibat dalam perilaku yang didefinisikan oleh sikap yang mempengaruhi
perilaku. Keinginan berperilaku menunjukkan berapa banyak usaha individu ingin
berkomitmen untuk melakukan perilaku dengan komitmen yang lebih tinggi
Beliefs and
Evaluations
Normative
Beliefs and
Motivation
to copy
Attitude
toward
Behavior
Subjective
Norm
Behavior
Intention
Actual
Behavior
26
dengan kecenderungan perilaku itu akan dilakukan. Keinginan untuk berperilaku
ditentukan oleh sikap dan norma subyektif (Fishbein & Ajzen 1975; Ajzen 1988).
Sikap mengacu pada persepsi individu (baik menguntungkan atau tidak
menguntungkan) terhadap perilaku tertentu. Norma subjektif mengacu pada
penilaian subjektif individu tentang preferensi lain dan dukungan untuk
berperilaku (Werner, 2004). Teori Reasoned Action dikritik karena mengabaikan
pentingnya faktor-faktor sosial yang dalam kehidupan nyata bisa menjadi penentu
untuk perilaku individu (Grandon & Mykytyn. 2004; Werner, 2004). Faktor sosial
berarti semua pengaruh lingkungan sekitarnya (seperti norma individu) yang dapat
mempengaruhi perilaku individu (Ajzen, 1991).
Penelitian ini menggunakan Teori Reasoned Action sebagai teori
pendukung (supporting theory). Teori Reasoned Action dapat diaplikasikan pada
berbagai niat keperilakuan, dan hanya bisa digunakan apabila memenuhi asumsi
dasarnya, yakni, perilaku-perilaku yang dijalankan secara sukarela. Jika sebuah
perilaku didasarkan bukan atas dasar sukarela, maka Teori Reasoned Action tidak
relevan untuk digunakan. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku engangement
dan OCB dari karyawan yang merupakan perilaku sukarela karyawan kiranya
sangat relevan mengacu kepada Teori Reasoned Action.
2.2 Kepemimpinan Etis
2.2.1 Konsep Kepemimpinan Etis
Pickett (2001) memulai langkah awal dalam pengenalan model dalam
kepemimpinan etis dengan meneliti hubungan antara keyakinan karyawan dan
27
pengamatan atas perilaku mereka selanjutnya. Perilaku etis dan karakter yang kuat
menjadi hal yang sangat penting bagi kredibilitas seorang pemimpin dalam
memberikan pengaruh yang sangat berarti (Piccolo et al., 2010). Moreno (2010)
mencatat bahwa seorang pemimpin etis adalah orang yang selaras antara tindakan
dan kata-kata. Dalam hal ini, kepemimpinan etis dapat mempengaruhi
pengikutnya dengan perilaku yang konsisten, tindakan dan moral yang tepat, dan
melakukan apa yang dikatakan.
Setiap jenis kepemimpinan memiliki nilai sendiri tergantung pada
karakteristiknya yang berbeda (Avolio & Gardner, 2005; Brown & Trevin‘o,
2006; Luthans & Avolio, 2003; Walumbwa et al., 2008). Karakteristik utama
yang menonjol dari kepemimpinan etis adalah kepemimpinan yang ditandai
dengan pertimbangan moral, manajemen moral, dan kesan moral (Brown &
Trevin‘o, 2006; Walumbwa et al., 2008). Kepemimpinan etis sebagian besar
terkait dengan aktualisasi diri, hubungan moral, persepsi moral, dan dealing
(Gardner et al., 2005; Walumbwa et al., 2008).
Kepemimpinan etis didefinisikan sebagai demonstrasi perilaku normatif
yang tepat melalui tindakan pribadi dan hubungan interpersonal, dan promosi
perilaku tersebut untuk pengikut melalui komunikasi dua arah, penguatan, dan
pengambilan keputusan (Brown et al., 2005). Dalam mengusulkan teori
kepemimpinan etis, Brown et al. (2005) menyarankan bahwa perilaku
kepemimpinan etis memainkan peran penting dalam mempromosikan sikap
karyawan pada tingkatan dan perilaku karena karyawan ingin berhubungan
dengan manajer yang jujur, kredibel, dan adil (Kouzes & Posner, 2007).
28
Buble (2012) menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan berbasis
etika dan moral dinyatakan sebagai kepemimpinan etis, yaitu peran pemimpin
sebagai faktor yang menggerakkan karyawan dalam mewujudkan nilai-nilai,
prinsip etika dan moral, yang merupakan cara pandang yang diterima sebagai
aturan nilai organisasi perusahaan. Kepemimpinan etis dapat disimpulkan sebagai
sikap perilaku jujur yang menjadi dasar pijakan dalam berproses membangun
organisasi (Kalshoven et al., 2011). Kepemimpinan etis juga dinyatakan sebagai
gaya kepemimpinan yang diposisikan sebagai penggerak organisasi perusahaan
berbasis kepada nilai-nilai etika, dimana peran strategis yang ditampilkan dapat
berfungsi mengurangi sejumlah perilaku negatif karyawan sebagai perpanjangan
tangan manajerial (Brown et al., 2005). Peneliti lainnya, Bello (2012)
menyimpulkan adanya ruang yang lebih besar bagi setiap karyawan untuk
menampilkan kemampuan terbaiknya melalui kepemimpinan berbasis
kepemimpinan etis.
Kepemimpinan etis dapat memberikan pendekatan yang efektif untuk
membina pandangan positif dan tindakan karyawan. Kepemimpinan etis mengacu
pada jenis gaya kepemimpinan dimana pemimpin menunjukkan dan
mempromosikan kode etik kepada bawahannya (Brown et al., 2005). Beberapa
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Kepemimpinan etis membantu
mengurangi penyimpangan kerja karena bawahan belajar dari para pemimpin etis
(Brown & Trevin’o, 2006; Detert et al., 2007; Mayer et al ., 2009). Penelitian
telah menunjukkan bahwa kinerja karyawan dapat ditingkatkan jika mereka
dipimpin oleh pemimpin etis (Bello, 2012). Para pemimpin akan mampu
29
menekankan nilai-nilai moral dan tujuan dalam pembuatan keputusan mereka,
mereka juga akan dapat menjelaskan kepada pengikut bagaimana tugas dan upaya
masing-masing anggota memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan penting
(De Hoogh & Den Hartog, 2008).
Menurut De Hoogh & Den Hartog (2008), karakteristik pribadi yang
terkait dengan kepemimpinan etis, adalah seperti kepribadian pemimpin dan
pendidikannya. Sifat-sifat pribadi yang digolongkan ke dalam lima kelompok
pemimpin yaitu: tanggung jawab sosial, standar moral hukum perilaku, kewajiban
internal kepedulian terhadap orang lain, perhatian terhadap konsekuensi, dan
penilaian diri. Kanungo (2001) mengemukakan bahwa kepemimpinan etis
diharapkan memiliki kewajiban internal serta standar moral yang tinggi, mereka
seharusnya berperilaku dalam cara yang nyaman dalam kasus yang menyangkut
orang lain (Brown et al., 2005). Selanjutnya Brown et al. (2005) juga menjelaskan
kepemimpinan etis sebagai orang yang jujur, dapat dipercaya, adil, dan peduli
dalam kasus moralitas dan keadilan komponen; sedangkan dalam hal komponen
peran klarifikasi, De Hoogh & Den Hartog (2008) menyebutkan kepemimpinan
etis berada pada komunikasi yang terbuka, yang berarti menjelaskan apa yang
diharapkan dari karyawan langsung. Selain itu, pembagian kekuasaan adalah
komponen terakhir dari kepemimpinan etis yang merujuk pengikut untuk
memiliki hak untuk berbicara (De Hoogh & Den Hartog, 2008).
Kepemimpinan yang efektif dan efisien dapat menjadi senjata yang kuat
hanya jika pada pondasi etis. Ini merupakan tanggung jawab para pemimpin untuk
mengekspresikan perilaku moral dan etika tertinggi dalam percakapan sehari-hari,
30
hubungan, penilaian, dan pertemuan mereka agar menjadi cermin bagi pengikut.
Para spiritual, sarjana dan ahli teori dari masa lalu telah menekankan pada efek
substansial etika untuk para pengikut dan para pemimpin untuk mengontrol
supremasi dalam organisasi. Meskipun etika telah menjadi perdebatan bagi dunia
untuk dieksplorasi kembali oleh peneliti dan masyarakat bisnis. Salah satu sebab
pentingnya peningkatan kesadaran beretika adalah pertentangan etika yang telah
ditemukan dalam beberapa perusahaan (Revell, 2003; Mehta, 2003; Trevin’o &
Brown, 2004; Manz et al., 2013).
Kepemimpinan etis harus berfokus pada nilai-nilai moral dan keadilan
dalam pengambilan keputusan, mempertimbangkan dampak keputusan organisasi
pada dunia luar, dan jelas menyampaikan kepada karyawan bagaimana tindakan
mereka di tempat kerja berkontribusi pada tujuan organisasi. Kepemimpinan etis
membantu memberi makna kepada karyawan dalam bekerja dan memastikan
bahwa keputusan organisasi didasarkan pada nilai-nilai ucapan yang beretika
(Piccolo et al., 2010). Kepemimpinan etis selalu berusaha untuk memasukkan
prinsip-prinsip moral dalam keyakinan mereka, nilai-nilai dan perilaku; mereka
berkomitmen untuk tujuan yang lebih tinggi, kehati-hatian, kebanggaan,
kesabaran, dan ketekunan (Khuntia & Suar, 2004).
Berdasarkan sejumlah pengertian kepemimpinan etis, maka dapat
didefinisikan bahwa kepemimpinan etis merupakan perilaku kepemimpinan yang
mencerminkan kejujuran, transparan, terbuka, berorientasi pada karyawan,
berintegritas, menjadi panutan yang beretika dan bermoral, serta senantiasa fokus
pada keberlangsungan perusahaan.
31
2.2.2. Dimensi Kepemimpinan Etis
Lima prinsip yang diyakini mengarah pada pengembangan kepemimpinan
etis adalah menghormati orang lain, pelayanan kepada orang lain, keadilan bagi
orang lain, kejujuran terhadap orang lain, dan membangun komunitas dengan
orang lain (DuBrin, 2010; Northouse, 2013). Adapun penjabarannya sebagai
berikut:
1) Menghormati orang lain
Kepemimpinan etis memperlakukan orang lain dengan martabat dan rasa
hormat. Ini berarti bahwa mereka memperlakukan orang bukan demi tujuan
mereka sendiri. Selain itu juga mengarah kepada empati, mendengarkan
aktif, dan toleransi untuk sudut pandang yang bertentangan.
2) Pelayanan kepada orang lain
Kepemimpinan etis melayani orang lain. Mereka berperilaku dengan cara
yang sukarela sebagai lawan yang didasarkan pada egoisme etis. Para
pemimpin ini menempatkan pengikut mereka sebagai alasan utama bagi
kehidupan untuk mendukung dan memelihara mereka. Pelayanan kepada
orang lain dicontohkan melalui perilaku seperti mentoring, membangun tim,
dan pemberdayaan (Kanungo & Mendonca, 1996).
3) Keadilan bagi orang lain
Kepemimpinan etis memastikan bahwa keadilan dan kejujuran adalah
bagian utama dari pengambilan keputusan mereka. Ini berarti
memperlakukan semua bawahan dengan cara yang sama, kecuali bila ada
32
kebutuhan yang sangat jelas untuk perlakuan yang berbeda dan ada
transparansi tentang mengapa kebutuhan ini ada. Selain menjadi transparan,
logika untuk perlakuan yang berbeda harus sesuai dengan suara secara moral
dan akal.
4) Kejujuran
Kepemimpinan etis membutuhkan kejujuran. Ketidakjujuran
menghancurkan karakteristik penting dari kepercayaan kepemimpinan setiap
hubungan pengikut. Di sisi lain, kejujuran meningkatkan kepercayaan dan
membangun hubungan pemimpin dengan pengikut. Kejujuran berarti
terbuka dengan orang lain dengan mengekspresikan pemikiran kita dan
realitas kita sepenuhnya seperti yang kita bisa. Costa (1998) mengatakan
bahwa kejujuran bagi para pemimpin berarti bahwa jangan menjanjikan apa
yang tidak bisa diberikan, pemimpin perlu memastikan bahwa apa yang
mereka yakini, apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka katakan, dan apa
yang mereka lakukan secara internal konsisten. Konsistensi internal ini,
bersama dengan keterbukaan akan membangun kepercayaan.
5) Membangun komunitas dengan lainnya
Kepemimpinan etis membangun komunitas dengan orang lain. Hal ini
sangat penting karena kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain untuk
mencapai suatu tujuan bersama. Ini berarti bahwa para pemimpin
mengembangkan tujuan organisasi atau tim yang sesuai untuk pemimpin dan
pengikutnya. Tujuan ini perlu membangkitkan orang sebanyak mungkin,
33
dan pemimpin etis mencapai ini dengan memperhatikan tujuan semua orang
dalam tim atau organisasi.
Ladkin (2008) menegaskan bahwa kepemimpinan etis memiliki tiga atribut
utama, yaitu:
1) Visioner dalam mengenali dirinya sendiri dan situasi.
2) Konsistensi kesamaan antara dirinya dan orang lain yang ideal dan
komunikasi.
3) Rasionalitas pencapaian tujuan.
Sandel (2009) mencatat tiga pendekatan sejarah umum untuk
kepemimpinan etis. Pendekatan pertama adalah pemimpin memaksimalkan
kesejahteraan pengikut seperti yang didefinisikan oleh Teori Utilitarianisme.
Kedua adalah pemimpin melindungi kebebasan individu, yang dicatat dalam Teori
Libertarianisme. Ketiga, seorang pemimpin difokuskan hanya pada
mempromosikan hal yang tepat untuk dilakukan, terlepas dari konsekuensi, seperti
yang terlihat dalam Teori Etika Kant.
Hendler (2011) dan Kalshoven et al. (2011) dalam penelitiannya
mengungkapkan kepemimpinan etis sebagai multi dimensi yang memiliki tujuh
dimensi yang berbeda, yaitu:
1) Fairness (keadilan) yaitu keadilan dipandang sebagai bentuk penting dari
perilaku pemimpin yang etis. Pemimpin etis bertindak dengan integritas dan
memperlakukan orang lain secara adil.
2) Power sharing (pembagian kekuasaan), pembagian kekuasaan juga dilihat
sebagai perilaku pemimpin yang etis. Pemimpin etis memungkinkan suara
34
bawahan dalam pengambilan keputusan dan mendengarkan ide-ide dan
keprihatinan mereka.
3) Role clarification (klarifikasi peran), pemimpin etis yang transparan dan
terlibat dalam komunikasi yang terbuka (Brown et al., 2005). Sejalan
dengan ini, De Hoogh & Den Hartog (2008) menunjukkan pentingnya
transparansi dalam menjelaskan tujuan kinerja dan harapan dan
membedakan peran klarifikasi sebagai komponen dari kepemimpinan etis.
4) People oriented behavior (orientasi perilaku orang). Ini adalah salah satu
komponen orientasi orang dalam kepemimpinan etis yang mencerminkan
kepedulian, menghormati, dan mendukung bawahan dan memastikan bahwa
kebutuhan mereka terpenuhi (Kanungo & Conger, 1993; Trevino et al.,
2003).
5) Integrity (integritas), perilaku integritas digambarkan sebagai keselarasan
kata dan perbuatan atau sejauh mana apa yang mengatakan ini sejalan
dengan apa yang dilakukan seseorang (Dineen et al., 2006; Palanski &
Yammarino, 2009).
6) Ethical guidance (bimbingan etika), mengacu pada bagaimana pemimpin
mengkomunikasikan etika, menjelaskan peraturan etis, mempromosikan dan
menghargai perilaku etis di kalangan karyawan.
7) Concern for sustainability (orientasi keberlanjutan), meliputi orientasi
lingkungan. Ini melihat bagaimana para pemimpin memperhatikan masalah
keberlanjutan, mempertimbangkan dampak tindakan mereka di luar
35
kepentingan diri mereka sendiri dan lingkup kelompok kerja mereka sendiri,
dan peduli terhadap kesejahteraan masyarakat.
Penelitian ini mengacu pada dimensi yang diungkapkan oleh Hendler
(2011) dan Kalshoven et al. (2011) sebagai dasar penyusunan kuesioner karena
dilatarbelakangi oleh adanya kesesuaian antara faktor-faktor untuk mengukur
kepemimpinan etis dengan kondisi obyek penelitian yaitu pada hotel non bintang
di wilayah Sarbagita Bali.
2.3 Employee Engagement
2.3.1 Konsep Employee Engagement
Konsep employee engagement relatif baru dan muncul sekitar dua dekade
belakangan ini (Rafferty et al., 2005; Ellis & Sorensen, 2007). Peneliti Perrin
(2003) mendefinisikan employee engagement sebagai kesediaan karyawan dan
kemampuannya untuk berkontribusi dalam kesuksesan perusahaan secara terus
menerus. Rasa keterikatan terhadap organisasi ini sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti emosional dan rasional berkaitan dengan pekerjaan dan
pengalaman kerja secara keseluruhan. Robinson et al. (2004) mendefinisikan
employee engagement sebagai sikap positif yang dimiliki karyawan terhadap
organisasi tempat mereka bekerja serta nilai-nilai yang dimiliki oleh organisasi
tersebut, sehingga dalam konsep employee engagement terdapat hubungan dua
arah antara karyawan dengan perusahaan.
Robinson et al. (2004) menyatakan bahwa employee engagement
ditunjukkan dari beberapa perilaku karyawan: (1) sikap positif dan kebanggaan
36
terhadap organisasi; (2) kepercayaan terhadap produk/jasa organisasi; (3) adanya
persepsi bahwa organisasi memungkinkan karyawan untuk melakukan yang
terbaik; (4) kesediaan untuk berperilaku altruistically (membantu orang lain) dan
menjadi pemain tim yang baik; (5) kesediaan melakukan pekerjaan melampaui
dari apa yang dipersyaratkan. Employee engagement sebagai kadar sejauh mana
orang-orang menikmati pekerjaannya, yakin akan apa yang dikerjakan, serta
merasakan nilai penting dengan melakukan pekerjaan itu (May et al., 2004).
Shuck & Wollard (2010) mendefinisikan engagement sebagai kognitif
karyawan sebagai individu, emosional, dan perilaku karyawan yang diarahkan
pada hasil yang diinginkan organisasi. Definisi berikutnya disampaikan oleh Suan
(2009) bahwa employee engagement adalah sebagai suatu proses di mana
organisasi meningkatkan komitmen dan kontribusi karyawan untuk mencapai
hasil bisnis yang superior. Employee engagement merupakan kecenderungan
seseorang untuk mengekspresikan dirinya baik secara kognitif, fisik, dan
emosional ketika melakukan pekerjaan (Wilson, 2004).
Rich et al. (2010) mendefinisikan employee engagement sebagai suatu
sikap positif yang dianut oleh karyawan terhadap organisasi beserta sistem nilai
yang ada di dalamnya. Seorang karyawan dengan engagement yang tinggi akan
memiliki kepedulian dan memahami konteks bisnis dan bekerja bersama rekannya
untuk memperbaiki kinerja dalam tim kerjanya demi keuntungan perusahaan
(Rich et al., 2010). Seorang karyawan dengan rasa terikat yang tinggi sebagai
seorang yang secara psikologis berkomitmen terhadap tugas dan perannya.
37
Pengertian Employee engagement dapat disimpulkan sebagai sikap
positif karyawan yang penuh energi, berdedikasi yang tinggi, dan tidak menyerah
dalam menghadapi tantangan dengan konsentrasi penuh terhadap tugas yang
disesuaikan dengan nilai dan tujuan organisasi.
2.3.2 Dimensi Employee Engagement
Dimensi dari employee engagement menurut Schaufeli et al. (2003) dan
Balakrishnan & Masthan (2013) terdiri atas tiga, yaitu:
1) Vigor
Vigor merupakan aspek yang ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan
dan resiliensi mental dalam bekerja, keinginan untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh di dalam pekerjaan, gigih dalam menghadapi kesulitan.
2) Dedication
Aspek dedication ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias,
inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan. Orang-orang yang
memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat mengidentifikasi
pekerjaan mereka karena menjadikannya pengalaman berharga,
menginspirasi dan menantang. Mereka biasanya merasa antusias dan
bangga terhadap pekerjaan mereka, sedangkan skor rendah pada dedication
berarti tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena mereka tidak
memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi atau menantang, terlebih
lagi mereka merasa tidak antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka.
38
3) Absorption
Aspek absorption ditandai dengan adanya konsentrasi dan minat yang
mendalam, tenggelam dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu cepat
dan individu sulit melepaskan diri dari pekerjaan sehingga dan melupakan
segala sesuatu disekitarnya. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada
absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan,
merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk
memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun disekelilingnya terlupa
dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya orang dengan skor absorption
yang rendah tidak merasa tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaan,
tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan mereka tidak
lupa segala sesuatu disekeliling mereka, termasuk waktu.
Peneliti memilih teori Schaufeli et al. (2003) dan Balakrishnan & Masthan
(2013) yang digunakan sebagai dasar penyusunan kuesioner employee
engagement berdasarkan definisi dan teori-teori employee engagement yang telah
dijelaskan sebelumnya. Hal ini dilatarbelakangi karena relevan dengan kondisi
obyek penelitian yaitu pada hotel non bintang di wilayah Sarbagita Bali.
2.4 Organizational Citizenship Behavior (OCB)
2.4.1 Konsep Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Konsep Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali
diungkapkan pada 1930-an oleh Barnard, selanjutnya konsep perilaku peran
formal, perilaku peran ekstra adalah konsep yang digunakan untuk pertama
39
kalinya (Ortiz, 1997; Çetin, 2004). Dalam hal ini, dasar yang membentuk OCB
menurut Barnard adalah adanya kemauan positif dan negatif (Sabuncuoglu & Tuz,
2003). OCB pertama kali digunakan sebagai sebuah konsep dalam literatur oleh
Organ pada tahun 1983, yang diperluas dengan perbedaan antara peran kredibel
kinerja dan perilaku inovatif yang spontan mulai tahun 1964 (Sabuncuoglu & Tuz,
2003). Konstruk OCB yang digunakan oleh Bateman & Organ (1983) dengan
menggambar pada konsep peran perilaku yang super seperti yang disajikan oleh
Katz & Kahn (1966). Contoh karyawan OCB meliputi: menerima tugas tambahan
dan tanggung jawab di tempat kerja, bekerja lembur bila diperlukan, dan
membantu pekerjaan bawahan mereka (Organ, 1990; Masterson et al., 2000).
Penentuan individu terlibat dalam OCB telah menempati sejumlah
perhatian yang substansial dari penelitian pada perilaku organisasi dan psikologi
sosial (Brief & Motowidlo, 1986; McNeely & Meglino, 1994). Kebanyakan
penelitian tentang OCB telah difokuskan pada pendahulunya, misalnya pada masa
lalu penelitian telah menyarankan bahwa ada hubungan antara OCB dan sejumlah
hasil seperti kepuasan (Bateman & Organ, 1983); komitmen (O'Reilly &
Chatman, 1986); persepsi keadilan (Martin & Bies, 1991; Folger, 1993; Moorman
et al., 1993; Tepper & Taylor, 2003) dan persepsi ekuitas membayar (Organ,
1988). OCB bersifat bebas dan sukarela karena perilaku tersebut tidak diharuskan
oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut
berdasarkan kontrak dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal
(Davis, 2004).
40
Organ mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu sukarela yang
dilakukan untuk pengembangan efisiensi dari fungsi organisasi dan tidak diakui
oleh sistem reward formal (Organ, 1997; Podsakoff et al., 2000). Menurut Organ,
ada tiga kondisi dasar untuk perilaku yang akan disebut sebagai OCB. Pertama,
OCB tidak harus didefinisikan dalam deskripsi pekerjaan atau kontrak kerja;
kedua, perilaku harus dilakukan pada kehendak orang tersebut; dan ketiga, tidak
ada reward atau hukuman apakah OCB, yang positif memberikan kontribusi
untuk efektivitas organisasi jika dilakukan atau tidak dilakukan (Organ, 1997;
Podsakoff et al., 2000; Iplik 2010).
Mengacu pada pengertian di atas, dapat dipahami bahwa OCB merupakan
perilaku karyawan yang mau melakukan pekerjaan di luar dari job descriptionnya
serta tidak mengharapkan imbalan atas pekerjaan tersebut.
2.4.2 Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Dimensi yang paling sering digunakan untuk mengkonseptualisasi OCB
adalah dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Organ (1988). Penelitian dari
Chiang & Hsieh (2012), juga menggunakan dimensi sebagaimana yang
dipergunakan oleh Organ yang terdiri dari lima dimensi, yaitu: altruism,
sportsmanship, courtesy, civic virtue dan conscientiousness. Adapun
penjabarannya adalah sebagai berikut:
1) Altruisme mengacu perilaku dimana seorang karyawan prihatin pada rekan-
rekannya dan pendatang baru untuk bekerja, membantu mereka secara
41
sukarela, mendukung mereka, sehingga dengan demikian dapat
meningkatkan kinerja mereka.
2) Sportsmanship mengacu pada toleransi dan kesediaan karyawan untuk bekerja
tanpa mengeluh tentang kesulitan, ketidaknyamanan, pemaksaan kerja dan
tekanan yang dihadapi dalam organisasi.
3) Courtesy mengacu perilaku karyawan seperti menginformasikan karyawan lain
untuk menghindari masalah mungkin timbul di tempat kerja, memperingatkan
mereka terhadap situasi mungkin dapat mempengaruhi mereka negatif dan
konseling mereka.
4) Conscientiousness mengacu pada sikap dan perilaku karyawan yang selalu taat
pada peraturan perusahaan dan teliti dalam melakukan pekerjaannya.
5) Civic Virtue mengacu perilaku karyawan seperti menjadi konstruktif dan
bertanggung jawab untuk organisasi dan perkembangannya, yang sangat
peduli untuk dan mendukung kepentingan organisasi dan berpartisipasi dalam
kegiatan organisasi sukarela.
Selanjutnya Podsakoff et al. (2000) membagi OCB menjadi tujuh dimensi, yaitu:
1) Perilaku membantu yaitu membantu teman kerja secara sukarela dan
mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan pekerjaan. Dimensi
ini merupakan komponen utama dari OCB. Organ (1988) menggambarkan
dimensi ini sebagai perilaku altruism, pembuat/ penjaga ketenangan dan
menyemangati teman kerja. Dimensi ini serupa dengan konsep fasilitas
interpersonal, perilaku membantu interpersonal, OCB terhadap individu
(OCB-I) dan perilaku membantu orang lain.
42
2) Kepatuhan terhadap organisasi yaitu perilaku yang melakukan prosedur dan
kebijakan perusahaan melebihi harapan minimum perusahaan. Karyawan
yang menginternalisasikan peraturan perusahaan secara sadar akan
mengikutinya meskipun pada saat sedang diawasi. Dimensi ini serupa
dengan konsep kepatuhan umum dan menaati peraturan perusahaan.
3) Sportsmanship yaitu tidak melakukan komplain mengenai ketidaknyamanan
bekerja, mempertahankan sikap positif ketika tidak dapat memenuhi
keinginan pribadi, mengijinkan seseorang untuk mengambil tindakan demi
kebaikan kelompok (Organ, 1990). Dimensi ini serupa dengan konsep
menghargai perusahaan dan tidak mengeluh.
4) Loyalitas terhadap organisasi didefinisikan sebagai loyalitas terhadap
organisasi, meletakkan perusahaan diatas diri sendiri, mencegah dan
menjaga perusahaan dari ancaman eksternal, serta mempromosikan reputasi
organisasi (Dyne et al., 1994).
5) Inisiatif individual. Sama dengan apa yang disebut Organ (1988) sebagai
kesadaran (conscientiousness), merupakan derajat antusiasme dan komitmen
ekstra pada kinerja melebihi kinerja maksimal dan yang diharapkan.
Dimensi ini serupa dengan konsep kerja pribadi dan sukarela mengerjakan
tugas.
6) Kualitas sosial. Dijelaskan sebagai tindakan keterlibatan yang bertanggung
jawab dan konstruktif dalam proses politik organisasi, bukan hanya
mengekspresikan pendapat mengenai suatu pemberian, tetapi mengikuti
rapat, dan tetap mengetahui isu yang melibatkan organisasi (Organ, 1988).
43
7) Perkembangan diri meliputi keterlibatan dalam aktivitas untuk
meningkatkan kemampuan dan pengalaman seseorang sebagai keuntungan
bagi organisasi.
Adapun komponen OCB menurut Bolino et al. (2002) yaitu:
1) Obedience. Karyawan menunjukkan ketaatannya melalui kemauan mereka
untuk respek terhadap peraturan, prosedur maupun instruksi organisasi.
Perilaku yang mencerminkan kepatuhan dalam organisasi dapat ditunjukkan
dengan ketepatan waktu masuk kerja, ketepatan penyelesaian tugas dan
tindakan pengurusan terhadap sumber atau aset organisasi.
2) Loyalty. Karyawan menunjukkan kesetiaan pada organisasi, mau
menangguhkan kepentingan pribadi mereka bagi keuntungan organisasi dan
menunjukkan pembelaan pada organisasinya.
3) Participation. Karyawan menunjukkan tanggung jawabnya secara penuh
dengan keterlibatannya dalam keseluruhan aspek-aspek kehidupan
organisasi, selalu mengikuti informasi perkembangan organisasi,
memberikan saran kreatif dan inovatif kepada rekan kerja, menyiapkan
penyelesaian masalah sebelum diminta, dan berusaha untuk mendapatkan
pelatihan tambahan untuk meningkatkan kinerjanya.
Peneliti memilih dimensi menurut Organ (1988) dan Chiang & Hsieh (2012)
sebagai dasar penyusunan kuesioner variabel OCB dibandingkan dimensi yang
dikemukakan oleh beberapa ahli, dimana penjabaran terhadap dimensi-dimensi
OCB menurut Bolino et al. (2002) hanya terbatas pada ketaatan terhadap
peraturan organisasi, kesetiaan pada organisasi dan terlibat dalam keseluruhan
44
aspek-aspek kehidupan organisasi, dinilai masih kurang lengkap dibandingkan
Organ (1988) dan Chiang & Hsieh (2012).
2.5 Kinerja Karyawan
2.5.1 Konsep Kinerja Karyawan
Kinerja mengacu pada konsep yang didefinisikan sebagai jumlah total
kontribusi kuantitatif dan kualitatif dari individu, kelompok atau organisasi untuk
tugas yang digunakan untuk mencari tahu apa yang telah dicapai atau dicapai
selama pemenuhan target tugas itu. Kinerja adalah tingkat pencapaian target kerja
dari yang telah ditentukan (Yorgun, 2010). Menurut Mwita (2000), kinerja
merupakan multidimensi utama yang bertujuan untuk mencapai hasil dan
memiliki hubungan yang kuat dengan tujuan strategis dari suatu organisasi.
Kinerja adalah konstruk multidimensi dan kriteria sangat penting yang
menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi.
Karyawan merupakan pemeran utama dalam melaksanakan tugas-tugas
perusahaan dan menjadi elemen kunci dari organisasi, sehingga keberhasilan atau
kegagalan organisasi tergantung pada kinerja karyawan (Hameed & Waheed,
2011). Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa tinggi rendahnya kinerja organisasi
tergantung pada tingkat kinerja karyawan (Karahan & Tetik, 2012).
Prasetya & Kato (2011) mendefinisikan kinerja karyawan sebagai hasil
pencapaian tindakan dengan keterampilan dari karyawan yang diperlihatkan di
beberapa situasi. Kinerja karyawan mengacu kepada kadar pencapaian tugas–
tugas yang merefleksikan seberapa baik karyawan memenuhi persyaratan sebuah
45
pekerjaan (Simamora, 2006). Kinerja karyawan adalah hasil atau tingkat
keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam
melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar
hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu
dan telah disepakati bersama (Rivai, 2005). Handoko (2006) menjelaskan
pengertian kinerja karyawan sebagai ukuran terakhir keberhasilan seorang
karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya.
Menurut Pattanayak (2005), kinerja karyawan adalah perilaku yang
dihasilkan pada tugas yang dapat diamati dan dievaluasi, dimana kinerja karyawan
adalah kontribusi yang dibuat oleh seorang individu dalam pencapaian tujuan
organisasi. Kinerja karyawan hanyalah hasil dari pola aksi yang dilakukan untuk
memenuhi tujuan sesuai dengan beberapa standar. Kinerja karyawan merupakan
perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang
dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan (Rivai,
2005). Selanjutnya Mitchell & Larson (2007) menjelaskan kinerja karyawan
menunjukkan suatu hasil perilaku yang dinilai dengan beberapa kriteria atau
standar mutu suatu hasil kerja. Berkaitan dengan hal tersebut, Mitchell & Larson
(2007) menjelaskan kinerja karyawan menunjukkan pada suatu hasil perilaku
yang dinilai dengan beberapa kriteria atau standar mutu suatu hasil kerja. Colquitt
(2009) mendefinisikan kinerja karyawan sebagai nilai dari serangkaian perilaku
karyawan yang memberikan kontribusi, baik positif maupun negatif terhadap
pencapaian tujuan organisasi.
46
Mengacu pada berbagai pengertian tersebut di atas dapat didefinisikan
kinerja karyawan sebagai hasil kerja karyawan yang berkontribusi dan berkaitan
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan, serta tingkat efisiensi dan efektifitas yang
dapat dicapai berdasarkan kondisi tertentu.
2.5.2 Dimensi Kinerja Karyawan
Deskripsi perilaku individu secara spesifik, menurut Gomes (2003) terdiri
dari beberapa kriteria yang perlu mendapat perhatian dalam mengukur kinerja,
antara lain:
1) Quantity of work, yaitu jumlah hasil kerja yang dilakukan dalam suatu
periode waktu yang ditentukan.
2) Quality of work, yaitu kualitas hasil kerja yang dicapai berdasarkan syarat-
syarat kesesuaian dan kesiapannya.
3) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan
keterampilannya.
4) Creativeness, yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.
5) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain sesama
anggota organisasi.
6) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan
menyelesaikan pekerjaan.
7) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam
memperbesar tanggung jawabnya.
47
8) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan,
keramahtamahan dan integritas pribadi.
Mondy & Noe (2005) menyatakan bahwa dimensi kinerja merupakan
standar kinerja atau faktor-faktor yang dievaluasi dalam melaksanakan pekerjaan,
yang terdiri dari:
1) Quantity of work, adalah berkaitan dengan volume pekerjaan yang dapat
dikerjakan seorang pegawai.
2) Quality of work, adalah yang berkaitan dengan ketelitian dan kecermatan
hasil kerja.
3) Inisiative, adalah yang berkaitan dengan keinginan untuk maju, mandiri, dan
penuh tanggung jawab terhadap pekerjaannya.
4) Adaptability, adalah terkait dengan kemampuan pegawai untuk merespon
dan menyesuaikan dengan perubahan keadaan.
5) Coorperation, adalah yang berkaitan dengan kemampuan dan kemauan
untuk bekerja sama dengan pimpinan sesama teman kerja.
McNeese-Smith (1996) menyampaikan 7 (tujuh) faktor yang dipergunakan
dalam mengukur kinerja, yaitu:
1) Tingkat kualitas kerja.
2) Tingkat keuletan dan daya tahan kerja.
3) Tingkat disiplin dan absensi.
4) Tingkat kerjasama antar rekan sekerja.
5) Tingkat kepedulian akan keselamatan kerja.
6) Tingkat tanggung jawab atas hasil pekerjaan.
48
7) Tingkat inisiatif/kreativitas yang dimiliki.
Flippo (1984) dalam teorinya mengemukakan adanya 4 (empat) aspek
standar kinerja pegawai, yang meliputi:
1) Quality of work, merupakan kualitas hasil kerja yang diukur ketepatan,
ketelitian, keterampilan, kerapian dan sedikitnya kesalahan dalam
melaksanakan pekerjaan.
2) Quantity of work, merupakan kuantitas hasil kerja yang diukur berdasarkan
kecepatan dan volume pekerjaan yang dihasilkan.
3) Dependability, merupakan dimensi kinerja pegawai yang berkenaan dengan
kepatuhan terhadap instruksi, inisiatif kerja dan adanya kebiasaan menjaga
keselamatan kerja.
4) Attitude, merupakan dimensi kinerja pegawai yang berkenaan dengan sikap
positif pegawai terhadap lembaga dan pekerjannya serta mampu dan mau
bekerja sama dengan sesama teman kerja.
Selanjutnya Mathis & Jackson (2006) mengungkapkan elemen-elemen
kinerja terdiri dari:
1) Kuantitas dari hasil, diukur dari persepsi karyawan terhadap jumlah aktivitas
yang ditugaskan beserta hasilnya.
2) Kualitas dari hasil, diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan
yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan
kemampuan karyawan.
3) Ketepatan waktu dari hasil, diukur dari persepsi karyawan terhadap suatu
aktivitas yang diselesaikan dari awal waktu sampai menjadi output. Dapat
49
menyelesaikan pada waktu yang telah ditetapkan serta memaksimalkan waktu
yang tersedia.
4) Kehadiran dalam bekerja, tingkat kehadiran karyawan dalam perusahaan dapat
menentukan kinerja karyawan.
5) Kemampuan bekerja sama, diukur dari kemapuan karyawan dalam
bekerjasama dengan rekan kerja dan lingkungannya.
Koopmans, et al. (2011) dan Pradhan & Jena (2017), dalam penelitiannya
menggunakan tiga dimensi untuk mengukur kinerja karyawan, yaitu:
1) Task Performance, yaitu perilaku karyawan yang secara langsung terlibat
dalam proses pembentukan sumber daya organisasi ke dalam barang atau jasa
yang dihasilkan organisasi.
2) Adaptive Performance, yaitu perilaku karyawan yang lahir dari berbagai
pengalaman yang memerlukan aspek rasio dan intuisi secara bersamaan yang
dapat mempengaruhi keputusan dengan cepat.
3) Contextual Performance, yaitu perilaku karyawan di luar persyaratan formal
dalam pekerjaan mereka, bersifat bebas dan tidak secara eksplisit berada
dalam prosedur kerja dan sistem pemberian upah formal.
Peneliti memilih dimensi dari Koopmans et al. (2012) dan Pradhan & Jena
(2017) yang digunakan sebagai dasar penyusunan kuesioner kinerja karyawan
berdasarkan definisi dan teori-teori kinerja karyawan yang telah dijelaskan
sebelumnya. Hal ini dilatarbelakangi karena adanya kesesuaian antara faktor-
faktor untuk mengukur kinerja karyawan dengan kondisi obyek penelitian yaitu
pada hotel non bintang di wilayah Sarbagita Bali.
50
2.5.3 Penilaian Kinerja Karyawan
Penilaian kinerja (performance appraisal) adalah suatu proses dalam
organisasi yang bertujuan mengevaluasi pelaksanaan kerja masing-masing
individu dalam organisasi tersebut (Simamora, 1999). Werther dan Davis (1996),
mendefinisikan penilaian kinerja adalah proses suatu organisasi mengevaluasi
kinerja karyawannya, penilaian kinerja menyangkut dua unsur yaitu kinerja dan
pertanggungjawaban karyawan. Amstrong (1994) dalam buku terjemahan: A
Handbook of Human Resources Management, mendefinisikan penilaian kinerja
adalah proses yang berkesinambungan yang berisi catatan prestasi dan kemajuan
karyawan dalam suatu periode tertentu.
Menurut Gomes (2003) penilaian kinerja karyawan mempunyai tujuan
untuk memberikan penghargaan atas kinerja sebelumnya (to reward past
performance) dan untuk memotivasi demi perbaikan kinerja karyawan pada masa
yang akan datang (to motivate future performance improvement), serta informasi-
informasi yang diperoleh dari penilaian kinerja ini dapat digunakan untuk
kepentingan pemberian gaji, kenaikan gaji, promosi, pelatihan dan penempatan
tugas-tugas tertentu. Menurut Mondy & Noe (1993:394), penilaian kinerja
karyawan merupakan suatu sistem formal yang secara berkala digunakan untuk
mengevaluasi kinerja individu dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Berdasarkan definisi penilaian kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa
penilaian kinerja karyawan adalah proses yang berkesinambungan yang berisi
catatan prestasi karyawan agar dapat dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
kerja dalam suatu periode tertentu.
51
2.5.3.1 Tujuan Penilaian Kinerja Karyawan
Anderson (1993) melihat tujuan penilaian kinerja karyawan mempunyai
dua fungsi yaitu sebagai fungsi evaluasi dan fungsi pengembangan.
1) Fungsi evaluasi
Aktivitas penilaian kinerja digunakan untuk melihat prestasi aktual
dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan. Dalam evaluasi ini dapat
dibandingkan antar individu, antar tugas, situasi dan lain-lainya. Data hasil
penilaian kinerja digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan promosi,
transfer dan kenaikan gaji.
2) Fungsi pengembangan
Fungsi penilaian kinerja sebagai fungsi pengembangan lebih luas daripada
sekedar fungsi evaluasi. Sebagai fungsi pengembangan, penilaian kinerja
memusatkan diri pada pengembangan kinerja karyawan dengan cara
mengidentifikasikan wilayah yang harus dikembangkan dan menetapkan
target.
Penilaian kinerja karyawan menurut Werther dan Davis (1996:342)
mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan karyawan yang
dinilai, yaitu:
1) Performance Improvement, yaitu memungkinkan karyawan dan manajer
untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2) Compensation adjustment, yaitu membantu para pengambil keputusan untuk
menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3) Placement decision, yaitu untuk menentukan promosi, transfer, dan demosi.
52
4) Training and development needs, yaitu untuk mengevaluasi kebutuhan
pelatihan dan pengembangan bagi karyawan agar kinerja mereka lebih
optimal.
5) Carrer planning and development, yaitu memandu untuk menentukan jenis
karir dan potensi karir yang dapat dicapai.
6) Staffing process deficiencies, yaitu mempengaruhi prosedur perekrutan
karyawan.
7) Informational inaccuracies and job-design errors, yaitu untuk membantu
menjelaskan apa saja kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen
sumber daya manusia terutama di bidang informasi job-analysis, job-
design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8) Equal employment opportunity, yaitu untuk menunjukkan bahwa placement
decision tidak diskriminatif.
9) External challenges. Kadang-kadang kinerja karyawan dipengaruhi oleh
faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-
lainnya. Biasanya faktor ini tidak terlalu kelihatan, namun dengan
melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan
sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan
bantuan bagi peningkatan kinerja karyawan.
10) Feedback, yaitu untuk memberikan umpan balik bagi pihak manajemen
sumber daya manusia maupun bagi karyawan itu sendiri.
53
2.5.3.2 Sumber Penilaian Kinerja Karyawan
Menurut Mathis dan Jackson (2006:387) penilaian kinerja karyawan dapat
dilakukan oleh siapapun yang mengetahui dengan baik kinerja dari karyawan
secara individual. Sejumlah sumber penilaian kinerja karyawan tersebut adalah:
(a) Para Supervisor
Penilaian secara tradisional atas karyawan oleh supervisor didasarkan pada
asumsi bahwa supervisor langsung adalah orang yang paling memenuhi
syarat untuk mengevaluasi kinerja karyawan secara realistis dan adil.
Untuk mencapai tujuan ini, beberapa supervisor menyimpan catatan
kinerja mengenai pencapaian karyawan mereka. Catatan ini menyediakan
contoh spesifik untuk digunakan ketika menilai kinerja.
(b) Para Karyawan yang Menilai Atasan Mereka
Sejumlah organisasi dimasa sekarang meminta para karyawan atau
anggota kelompok untuk memberi nilai pada kinerja supervisor dan
manajer. Industri juga menggunakan penilaian karyawan untuk tujuan
pengembangan manajemen. Praktek terbaru bahkan mengevaluasi dewan
direksi perusahaan.
(c) Anggota Tim yang Menilai Sesamanya
Penggunaan rekan kerja dan anggota tim sebagai penilai adalah jenis
penilaian lainnya yang berpotensi baik untuk membantu ataupun
sebaliknya.
54
(d) Sumber-Sumber Dari Luar
Penilaian juga dapat dilakukan oleh orang-orang (penilaian) dari luar yang
dapat diundang untuk melakukan tinjauan kinerja. Contoh-contoh meliputi
tim peninjau yang mengevaluasi potensi perkembangan seseorang dalam
organisasi.
(e) Karyawan Menilai Diri Sendiri
Menilai diri sendiri dapat ditetapkan dalam situasi-situasi tertentu Sebagai
alat pengembangan diri, hal ini dapat memaksa para karyawan untuk
memikirkan mengenai kekuatan dan kelemahan mereka dan menetapkan
tujuan untuk peningkatan. Karyawan tidak dapat menilai diri sendiri
sebagaimana para supervisor menilai mereka; mereka dapat menggunakan
standar yang sangat berbeda. Karyawan yang menilai diri sendiri tetap
dapat menjadi sumber informasi kinerja yang berharga dan terpercaya.
(f) Karyawan dan Multi Sumber (umpan balik 360 derajat)
Penilaian dari multi sumber atau umpan balik 360 derajat, popularitasnya
meningkat. Dalam umpan balik multi sumber, manajer tidak lagi menjadi
sumber tunggal dari informasi penilaian kinerja sehingga memungkinkan
manajer untuk mendapatkan masukan dari berbagai sumber. Manajer tetap
menjadi titik pusat untuk menerima umpan balik dari awal dan untuk
terlibat dalam tindak lanjut yang diperlukan, bahkan dalam sistem yang
multi sumber.
Penilaian kinerja menurut Roberts (2002) mempunyai peran yang sangat
penting, oleh karena itu harus netral dan tidak memihak. Penilai sering tidak
55
berhasil untuk tidak melibatkan emosinya dalam menilai prestasi kerja
bawahannya. Hal ini menyebabkan evaluasi penilaian menjadi tidak objektif,
artinya ukuran-ukuran penilaian prestasi kerja ini tidak dapat dibuktikan atau diuji
orang lain. Subyektivitas terjadi jika penilaian yang diberiakan lebih ditentukan
oleh faktor-faktor lain daripada prestasi atau perilaku yang sebenarnya
diperlihatkan oleh penilai pada dimensi yang sedang dinilai. Pihak yang tepat
untuk melakukan penilaian kinerja karyawan adalah:
1) Supervisor
Supervisor sebagai penentu besar kecilnya rewards atau punishment yang
akan diberikan kepada karyawan, sehingga logis jika penilaian dilaksanakan
oleh jabatan yang memegang wewenang tersebut.
2) Diri Sendiri
Penilaian diri sendiri dianggap dapat mengurangi sikap difensif karyawan
dalam proses penilaian kinerja.
3) Peer (Rekan Kerja)
Rekan kerja merupakan pihak yang paling mengerti kinerja dari karyawan.
Kinerja yang luput dari pengawasan atasan dapat digantikan oleh penilaian
dari rekan kerja, sehingga dapat memudahkan proses penilaian kinerja di
perusahaan tersebut.
4) Bawahan
Penilaian dari bawahan merupakan penilaian yang tepat untuk mengetahui
kinerja karyawan yang berhubungan dengan kenaikan jabatan.
56
5) Outsider
Outsider adalah penilai yang tidak berada dalam organisasi. Supplier dan
customer adalah contoh dari penilai outsider.
Pada penelitian ini, yang menjadi sumber penilaian pada kinerja karyawan
mempergunakan karyawan pada hotel non bintang di wilayah Sarbagita Bali.
Adapun beberapa alasan yang mendasari adalah sebagai berikut:
a) Menurut sumber penilaian kinerja karyawan dari Mathis dan Jackson
(2006:387), penilaian kinerja karyawan dapat dilakukan oleh karyawan
sendiri karena dengan menilai diri sendiri dapat memaksa para karyawan
untuk memikirkan mengenai kekuatan dan kelemahan mereka. Penilaian diri
sendiri juga dapat ditetapkan dalam situasi-situasi tertentu, sebagai alat
pengembangan dan peningkatan diri. Hal ini berarti bahwa karyawan yang
menilai diri sendiri tetap dapat menjadi sumber informasi kinerja yang
berharga dan terpercaya.
b) Dari beberapa studi empiris, yaitu penelitian dari Octaviannand et al. (2017);
Sougui et al. (2015); Chandra & Priyono (2016); Siregar et al. (2016);
Mehrabl et al. (2012); Shafie et al. (2013), pada masing-masing penelitian
mereka menggunakan karyawan sebagai responden untuk mengukur kinerja
karyawan. Atas beberapa hasil penelitian ini, berarti karyawan relevan
dalam memberikan penilaian atas kinerjanya sendiri.
c) Beberapa kelebihan penilaian kinerja oleh karyawan sendiri, menurut Leach
(2012: 139), adalah membuat karyawan merasa bahwa mereka memiliki
beberapa kontrol atas evaluasi atas diri mereka sendiri, menumbuhkan
57
keterlibatan aktif, meningkatkan kualitas kerja dan meningkatkan perhatian
karyawan pada kualitas pekerjaan mereka.
2.6 Peta Posisi Penelitian
Berdasarkan pemaparan hasil-hasil penelitian sebelumnya, berikut
disampaikan tabel 2.1 tentang hasil pemetaan hasil-hasil penelitian terdahulu dan
posisi penelitian saat ini:
Tabel 2.1.
Peta Posisi Penelitian
PENELITI VARIABEL PENELITIAN
Kepemimpinan
Etis
Employee
Engagement OCB
Kinerja
Karyawan
Sabir et al. (2012) v
v
Obicci (2015) v
v
Kelidbari et al. (2016) v v
Khokhar & Rehman (2017) v v v
Ahmed et al. (2012)
v v
Rurkkhum & Bartlett (2014)
v v
George & Yoseph (2015) v v
Owor (2016) v v
Latha & Deepa (2017) v v
Tehran et al. (2013)
v v
Kılınç & Ulusoy (2014)
v v
Chelagat et al. (2015) v v
Basu et al. (2016) v v
Aponno et al. (2017) v v
Bagyo (2013)
v
v
Anitha J (2014)
v
v
Bedarkar & Pandita (2014)
v
v
Dajani (2015) v v
Khuong & Yen (2014) v v
Men (2015) v v
Khuong & Dung (2015) v v
Toor & Ofori (2009) v
v
Yates (2014) v
v
58
PENELITI VARIABEL PENELITIAN
Kepemimpinan
Etis
Employee
Engagement OCB
Kinerja
Karyawan
Poohongthong et al. (2014) v
v
Yang & Wei (2017) v v
Widani (2018) v v v v
Sumber: Hasil Penelitian Terdahulu, diolah, 2018
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa posisi penelitian yang dilakukan saat ini
adalah mengintegrasikan keempat variabel yaitu kepemimpinan etis, employee
engagement, OCB, dan kinerja karyawan pada sebuah model penelitian.
top related