bab ii kajian pustaka a. tinjauan pustaka 1. … 2.pdf · a. tinjauan pustaka ... segala bentuk...
Post on 02-Feb-2018
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengobatan Usada
Sistem perawatan kesehatan dapat dipandang sebagai sistem kebudayaan karena
merupakan suatu kesatuan hirarkis yang tidak bisa dipisahkan, yang menyangkut tentang
proses dan mekanisme pengambilan keputusan dalam pemilihan sektor-sektor pelayanan
kesehatan yang tersedia untuk menanggulangi berbagai penyakit. Menurut Kleinman
(1980) masyarakat secara umum mengenal adanya tiga sektor pelayanan kesehatan yaitu :
sektor rumah tangga atau home remedies, sektor kedukunan atau folk medical system, dan
sektor profesional dan kosmopolitan atau professional and cosmopolite medical system.
Ketiga sektor tersebut akan dijadikan sebagai alternatif pilihan bagi masyarakat ketika
mengalami sakit.
Secara komprehensif dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat memiliki sistem
kesehatannya sendiri. Begitu juga di Indonesia dengan berbagai suku bangsa yang ada
tentu saja memiliki berbagai pendekatan yang berbeda terhadap penyakit pada masing-
masing budaya. Suku Bali merupakan salah satu dari ratusan suku bangsa yang ada di
Indonesia yang secara turun-temurun mengembangkan suatu sistem kesehatan tradisional
yang disebut dengan pengobatan usada, dengan praktisinya yang disebut balian (Sukarma,
2013).
Secara etimologi kata usada berasal dari kata ausadhi yang berarti tumbuh-tumbuhan
yang berkhasiat obat, atau dibuat dari tumbuh-tumbuhan (Nala, 1993). Usada adalah semua
tata cara untuk menyembuhkan penyakit, cara pengobatan atau kuratif, pencegahan atau
13
pereventif, memprakirakan jenis penyakit atau diagnosis, perjalanan penyakit atau
prognosis, maupun pemulihannya, termasuk pula pengobat atau balian, dan tata cara untuk
membuat penyakit, menyebabkan orang lain sakit (Nala, 2006).
Usada adalah ilmu pengobatan tradisional Bali yang sumber ajarannya berasal dari
lontar-lontar. Lontar-lontar yang menyangkut sistem pengobatan di Bali dapat dibagi
menjadi dua, yaitu lontar tutur atau tattwa yang berisi tentang ajaran gaib atau wijaksara
dan lontar usada yang berisi tentang ajaran pengobatan, jenis penyakit dan tumbuhan yang
digunakan (Nala, 1993). Di dalam lontar usada terdapat naskah yang memuat bahan obat-
obatan yang berasal dari tumbuhan yaitu Lontar Usada Taru Pramana. Taru Pramana
memiliki arti: pramana yang berarti tumbuhan, dan taru yang berarti khasiat, dengan kata
lain taru pramana memiliki arti tumbuhan yang berkhasiat (Suryadarma, 2005).
a. Etiologi Sehat-Sakit pada Suku Bali
Menurut Suryadarma (2005) dalam konteks sistem medis suku Bali atau usada,
seseorang bisa dikatakan sehat apabila adanya keseimbangan pada lima unsur alam yang
dikenal dengan panca maha bhuta yang ada di lingkungannya. Lima unsur alam tersebut
antara lain air atau apah, tanah atau pertiwi, angin atau bayu, api atau teja, dan eter atau
akasa. Alam semesta sebagai kesatuan kehidupan terwujud dalam dua kosmos, yaitu
makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos merupakan suatu wadah keseimbangan
dunia yang amat besar dan tak terhingga, dengan Tuhan sebagai pusat keseimbangannya.
Sedangkan mikrokosmos adalah manusia yang merupakan replika dari makrokosmos
yang memiliki berbagai keterbatasan.
Masyarakat Bali mempercayai bahwa manusia akan terhindar dari hal-hal buruk
yang bisa berupa penyakit apabila adanya keseimbangan dan keharmonisan antara
manusia, alam, dan Tuhan. Prinsip keharmonisan ini disebut sebagai Tri Hita Karana,
14
yaitu tiga penyebab utama kebahagiaan dan keselarasan hidup manusia. Prinsip
hubungan keharmonisan dan keseimbangan kosmos ini yang dipercaya oleh masyarakat
Bali sebagai konsep dasar dalam mencegah dan menanggulangi penyakit (Sukarma,
2013).
Menurut Sukarma (2013) pengobatan usada di Bali yang didasarkan pada
pengobatan Ayurveda dan naskah-naskah pengobatan kuno yang ada di Bali, bahwa
berfungsinya sistem organisme yang berada di dalam tubuh manusia dikendalikan oleh
tiga unsur humoral yaitu unsur udara atau vatta, api atau pitta, dan air atau kapha. Ketiga
unsur tersebut dalam pengobatan Ayurveda disebut sebagai Tridosha. Konsepsi tentang
tridosha yang kemudian dijadikan sebagai pedoman oleh balian dalam memberikan
diagnosis terkait dengan penyakit yang dibawa oleh pasien.
Masyarakat di Bali mempercayai bahwa kondisi sehat dan sakit dipengaruhi oleh
keseimbangan dari lima unsur alam, dan adanya kepercayaan terhadap konsep tri hita
karanan, yang dipercaya oleh masayarakat di Bali sebagai konsep dasar dalam
menanggulangi penyakit.
b. Penggolongan Penyakit pada Suku Bali
Nala (2006) mengatakan bahwa menurut lontar usada, penyakit ada tiga jenis, yakni
penyakit panes atau panas, nyem atau dingin, dan sebaa atau panas-dingin. Penyakit-
penyakit tersebut digolongkan berdasarkan kepada konsep kepercayaan terhadap wujud
Tuhan sebagai Brahma, Wisnu, dan Iswara. Brahma dipandang sebagai wujud api yang
menyebabkan panes; Wisnu yang menciptakan nyem; dan Iswara yang mencipakan
sebaa (Nala, 2006).
Menurut Nala (2006) di dalam kitab suci Veda Smerti agama Hindu Ayurveda,
disebutkan bahwa penyakit atau wyadhi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi tiga
15
yaitu: Adhyatmika yaitu penyakit yang penyebabnya berasal dari dalam diri sendiri yang
bisa disebabkan oleh faktor keturunan atau adibala prawrta, dari sejak dalam kandungan
atau janmabala prawarta, dan adanya ketidakseimbangan pada unsur tri dosha yang
lebih dikenal dengan istilah doshabala prawrta, yang terdiri dari; Adhidaiwika yaitu
penyakit yang diakibatkan oleh pengaruh di luar tubuhnya yang bisa disebabkan oleh
pengaruh perubahan musim atau kalabala prawrta, gangguan supranatural atau
daiwabala prawrta, gangguan natural atau swabhawa bala prawrta; Adhibautika yaitu
penyakit yang diakibatkan oleh benda tajam seperti diakibatkan oleh benda tajam atau
sastrakrta, dan luka yang diakibatkan oleh gigitan binatang atau wyalakrta.
Penyebab penyakit dipengaruhi oleh tiga hal yang masing-masing penyebab
dipercaya oleh masyarakat di Bali dipengaruhi oleh konsep kepercayaan terhadap tiga
wujud Tuhan. Faktor lainnya juga terdapat dalam pembentukan penyakit pada
kepercayaan masyarakat Bali, bisa disebabkan oleh dari dalam diri sendiri, disebabkan
oleh pengaruh dari luar tubuhnya, dan diakibatkan oleh benda-benda tajam.
c. Pengobat pada Pengobatan Usada
Pada suku Bali pengobat pada pengobatan usada dikenal sebagai balian. Menurut
Nala (2000) balian dapat dibedakan berdasarkan kekuatan, tujuan, dan cara memperoleh
keahliannya. Berdasarkan kekuatannya balian dibagi menjadi tiga yaitu Balian Lanang
bersifat maskulin, sifat kejantanan, Balian Wadon yang bersifat feminim, sifat
kebetinaan, dan Balian Kedi yang bersifat netral, sifat kebancian. Sifat kejantanan dan
kebetinaan dikaitkan dengan kekuatan yang digunakan dalam pengobatan, kejantanan
dengan menggunakan kekuatan positif dan kebetinaan dengan menggunakan kekuatan
negatif. Sifat kebancian merupakan ketiadaan dari balian dalam menggunakan kekuatan
positif maupun negatif, tetapi berkekuatan netral.
16
Nala (2000) mengatakan berdasarkan tujuannya balian dibagi menjadi dua, yaitu
yang memiliki tujuan baik dan tujuan buruk. Balian Panengen, adalah dukun yang
beraliran kanan atau white magic, pengobatannya ditujukan untuk kebaikan,
menyembuhkan orang sakit, bertujuan untuk kemanusiaan yang dikenal dengan istilah
dharma. Balian Pangiwa, adalah dukun yang beraliran kiri atau black magic, yang
tujuannya membuat orang agar jatuh sakit, atau bertujuan membencanai orang lain atau
adharma.
Berdasarkan pada cara memperoleh keahliannya, Nala (2000) mengatakan balian
dibedakan menjadi tiga yaitu balian kapican, katakson, dan usada. Balian kapican
mendapatkan keahlianya karena memperoleh suatu pica yaitu benda keramat, sesuatu
yang bertuah dan berkhasiat. Balian katakson mendapatkan keahliannya karena
kemasukan taksu, roh atau kekuatan gaib yang memberikan kecerdasaran dan mukjizat
ke dalam dirinya. Balian usada merupakan balian yang memperoleh keahliannya karena
belajar atau melalui proses yang disebut aguru waktera yaitu penyucian diri, seperti
proses seseorang akan menjadi pendeta.
Penggolongan balian pada masyarakat di Bali, dapat dibedakan berdasarkan
kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing balian, tujuan dari ilmu yang digunakan,
dan cara yang dilakukan untuk memperoleh keahlian sebagai balian.
2. Etnomedisin
Segala bentuk pengobatan yang berasal dari masyarakat pribumi, yang terlihat tidak
wajar bagi masyarakat Barat, adalah suatu hal yang wajar apabila dikaitkan dengan
kepercayaan serta kebudayaan pada masyarakat tersebut (Rivers, 1924). Pengobatan ini
pada awalnya disebut sebagai pengobatan primitif karena meskipun terlihat wajar jika
17
dikaitkan dengan kebudayaan masyarakatnya, namun tidak bersifat ilmiah dan
penjelasannya juga sangat tidak masuk akal.
Berdasarkan hal ini, banyak yang mengatakan, dalam komunitas masyarakat yang
menggunakan pengobatan primitif terdapat suatu ikatan antara pengobatan, magis, dan
agama (Foster & Anderson, 2011). Didasari pada pengobatan-pengobatan primitif tersebut,
munculah penelitian-penelitian yang disebut sebagai etnomedisin yang berfokus kepada
pengobatan-pengobatan non-Barat.
Etnomedisin atau ethnomedicine merupakan cabang ilmu dari antropologi kesehatan
yang mempelajari pengobatan-pengobatan medis non-barat atau dalam kata lain
etnomedisin membahas tentang pengobatan-pengobatan tradisional dengan berdasar
kepada budaya-budaya tertentu (Foster & Anderson, 2011).
Menurut Foster dan Anderson (2011) terdapat dua kerangka sistem medis yang
dikenal pada pengobatan etnomedisin, yaitu sistem medis personalistik yang merupakan
suatu sistem yang menyebutkan bahwa penyakit disebabkan oleh intervensi dari luar tubuh
yang bisa disebabkan oleh makhluk supranatural yang berupa makhluk bukan manusia
maupun manusia, dan sistem naturalistik yang mendasarkan terhadap adanya
keseimbangan terhadap unsur-unsur yang berada di dalam tubuh seperti panas, dingin,
cairan di dalam tubuh yaitu humor dan dosha, atau yin dan yang yang berada dalam
keadaan seimbang.
a. Penyebab Sakit pada Sistem Medis Personalistik dan Naturalistik
Beberapa penelitian terkait dengan sistem medis personalistik pernah dilakukan
sebelumnya. Seperti yang dilakukan oleh Glick terhadap penduduk Gimi di dataran
tinggi Nugini. Seperti yang dikatakan Glick (dalam Foster & Anderson, 2011) penyakit
disebabkan oleh agen-agen yang dengan berbagai cara menggunakan kekuatan dengan
18
tujuan untuk membuat sakit pada korban-korbannya. Agen-agen tersebut dapat berupa
makhluk manusia, „manusia super‟ atau bukan manusia.
Peran dari adanya agen juga diperlihatkan di kalangan orang Abron di Pantai Gading.
Kepercayaan yang muncul pada masyarakat Abron adalah seseorang dapat terkena
penyakit yang diakibatkan dari adanya intervensi yang berasal dari luar tubuh namun
bukan dari virus tetapi berasal dari kekuatan-kekuatan tertentu yang tidak bisa
dikendalikan.
Seperti yang dikatakan Alland (dalam Foster & Anderson, 2011) tentang teori orang
Abron mengenai penyakit yaitu meliputi sejumlah agen yang dapat bertanggungjawab
atas suatu kondisi khusus, yang saling berhubungan dengan peristiwa munculnya suatu
penyakit tertentu. Agen-agen tersebut dapat melintasi alam supranatural. Penyebab dari
munculnya penyakit berdasarkan pandangan sistem medis personalistik adalah pengaruh
dari agen-agen tertentu yang mempengaruhi kondisi kesehatan tubuh.
Berbeda dengan sistem personalitik yang lebih menekankan pada peran agen dalam
penyebaran penyakit, sistem naturalistik lebih menekankan kepada peran dari
keseimbangan yang ada di dalam tubuh yang langsung berkaitan dengan kesehatan
seperti panas, dan dingin, cairan di dalam tubuh yaitu humor dan dosha, maupun yin dan
yang (Foster & Anderson, 2011), apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam tubuh
seimbang maka akan terciptanya keadaan sehat, sedangkan apabila tidak seimbang maka
dapat memunculkan penyakit.
Teori keseimbangan mengenai kesehatan telah berkembang di masa Yunani kuno,
hal itu dibuktikan melalui teori yang disampaikan oleh Hippocrates, yang mengatakan
bahwa tubuh manusia terdiri dari darah, lendir, empedu hitam atau yang disebut
melankoli, dan empedu kuning, pada pengobatan etnomedisin hal ini disebut sebagai
19
patologi humoral (Foster & Anderson, 2011). Unsur-unsur inilah yang membentuk tubuh
manusia dan menyebabkan tubuh merasa sakit atau sehat.
Perbedaan mendasar antara sistem pengobatan personalistik dan sistem naturalistik
terletak kepada penyebab munculnya penyakit. Pada sistem personalistik lebih
menekankan kepada peran dari agen penyebab penyakit, sedangkan pada sistem
naturalistik lebih menekankan kepada keadaan keseimbangan di dalam tubuh yang bisa
menimbulkan penyakit.
b. Metode Penyembuhan
Menurut Foster dan Anderson (2011) sistem medis non-Barat yakni sistem medis
personalistik dan sistem medis naturalistik memberikan berbagai pendekatan yang
berbeda terkait dengan pengaruh serta tenaga medis yang berperan di dalamnya. Pada
tatanan sistem medis personalistik membutuhkan jenis penyembuh tertentu untuk
menyembuhkan penyakit yang dihadapi, tujuan dari penyembuh pada sistem medis
personalistik tidak hanya menyembuhkan penyakit tersebut namun juga mencari orang
yang mengakibatkan atau yang mengirim penyakit tersebut atau disebut sebagai agen.
Penyembuh pada sistem medis personalistik dapat berupa dukun atau shaman dengan
menggunakan teknik yakni berupa penggunaan ilmu-ilmu sihir tertentu, sehingga yang
diutamakan pada sistem medis personalistik adalah agen dari penyebab penyakitnya dan
pengobatan diberikan setelah adanya diagnosis terhadap agen dari penyebab
penyakitnya.
Pada sistem medis naturalistik penyembuh yang digunakan adalah tabib atau ahli
ramuan yang mengetahui tentang obat-obatan dan pengobatan lainnya yang dapat
membantu menyeimbangkan keseimbangan di dalam tubuh (Foster & Anderson, 2011).
20
Teknik pengobatan yang digunakan dapat berbeda tergantung dari budayanya, seperti
teknik pengobatan Ayurveda.
Ayurveda merupakan pengobatan tradisional yang berasal dari India, kata Ayurveda
berasal dari ayur yang berarti kehidupan, dan veda yang berarti pengetahuan, yang
berarti Ayurveda merupakan pengetahuan dari kehidupan (Wang, 2013). Ajaran
Ayurveda mengatakan bahwa perlu adanya keseimbangan di dalam dosha. Dosha terdiri
dari vata yaitu ruang, dan udara, pitta yaitu api, dan air, kapha yaitu air, dan tanah.
Berdasarkan ajaran Ayurveda yang cara yang dapat dilakukan untuk
menyeimbangkan dosha adalah dengan membatasi pola makan, seperti mengkonsumsi
makanan yang manis, hambar, dan asin bisa mengurangi vita, mengkonsumsi makanan
yang manis, pahit bisa menurunkan pitta, dan mengkonsumsi makanan yang pedas, dan
pahit bisa menurunkan kapha (Wang, 2013).
Pada sistem medis naturalistik menggunakan penyembuh yaitu berupa tabib, jika
dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Bali penyembuh ini lebih dikenal dengan
sebutan balian dan teknik pengobatannya dikenal dengan pengobatan usada, sedangkan
pada sistem pengobatan personalistik, pengobat yang digunakan disebut dengan shaman
atau dukun.
3. Konsep Sehat dan Sakit
Sehat merupakan keadaan dari ketiadaan tanda-tanda tubuh yang tidak berfungsi secara
umumnya, atau tanda-tanda subjektif dari suatu penyakit atau cidera, seperti rasa sakit atau
mual (Kazarian & Evans, 2011). Antonovsky (dalam Sarafino dan Smith, 2011) seorang
sosiolog kesehatan mengatakan bahwa selama ada nafas kehidupan di dalam tubuh , maka
dapat dikatakan sehat.
21
Konsep dari sehat dan sakit juga telah mengalami banyak perkembangan dari tahun ke
tahun, pada budaya-budaya awal mempercayai bahwa penyakit secara mental dan fisik
disebabkan oleh kekuatan-kekuatan mistis seperti serangan iblis (Stone, 1979).
Hippocrates, atau yang lebih dikenal sebagai “Bapak Kedokteran” memperkenalkan
hummoral theory of illness, yang di dalamnya mengatakan bahwa tubuh manusia terdiri
dari empat cairan yang disebut dengan humor, ketika humor dalam keadaan seimbang
maka individu masih dalam keadaan sehat, sedangkan penyakit terlihat ketika humor
dalam keadaan tidak seimbang (Stone, 1979).
Sarafino dan Smith (2011) mengatakan bahwa kondisi sehat dan juga sakit dari
seseorang bisa dipengaruhi oleh penyakit yang diturunkan dari keluarga, pengaruh dari
pola pikir yang mempengaruhi gaya hidup, serta kondisi lingkungan yang menjadi model
gaya hidup dari seseorang, sehingga aspek yang mempengaruhi konsep sehat dan sakit
adalah biological atau biologis, psychological atau psikologis, dan social atau sosial, yang
lebih dikenal dengan biopsychosicial perspective. Sarafino dan Smith (2011) mengatakan
faktor-faktor yang berpengaruh antara lain :
a. Pola dari biological factor atau faktor biologis
Sarafino dan Smith (2011) mengatakan bahwa faktor-faktor secara biologis terdiri
dari material-material genetis dan proses-proses yang mewarisi karakteristik dari
orangtua yang di dalamnya juga termasuk fungsi dan struktur dari kondisi fisiologis
seseorang. Tubuh dibuat dari susunan yang sangat besar yang membentuk suatu sistem,
seperti organ-organ, tulang-tulang, dan berbagai jaringan yang terdiri dari sel, molekul,
dan atom. Efesiensi, efektifitas, dan fungsi dari kesehatan tergantung dari bagaimana
komponen tersebut saling bekerja dan berinteraksi satu dengan yang lainnya.
22
Faktor biologis merupakan faktor yang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi
fisiologis dari seseorang, yang bisa saja sedang dialami maupun diturunkan secara
herediter dari orangtua.
b. Pola dari psychological factor atau faktor psikologis
Menurut Sarafino dan Smith (2011), perilaku dan proses mental merupakan fokus
dari psikologi dan menghasilkan kognisi, emosi, dan motivasi. Kognisi merupakan
aktifitas mental yang mencakup cara menerima, belajar, mengingat, berpikir,
menginterpretasi, mempercayai, dan cara penyelesaian masalah.
Kognisi secara langsung memberikan dampak terhadap konsep sehat dan sakit
apabila dikaitkan dengan gaya hidup individu, seperti contohnya seseorang yang
memiliki riwayat penyakit maag dan kemudian penyakit tersebut datang kemudian
menghilang dengan tiba-tiba, maka individu tersebut tidak akan mencari perawatan
kesehatan karena penyakit maagnya sudah menghilang (Sarafino & Smith, 2011).
Sarafino dan Smith (2011) mengatakan emosi merupakan perasaan subjektif yang
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pikiran, perilaku, dan kondisi psikologis. Emosi
ada yang berupa positif seperti bahagia, dan juga negatif seperti perasaan marah. Emosi
sangat berkaitan dengan konsep sehat dan juga sakit, seperti contohnya seseorang yang
memiliki emosi positif akan lebih terhindar dari berbagai penyakit dan lebih sering
untuk menjaga kesehatan serta lebih cepat pulih dari penyakitnya dibandingkan dengan
yang memiliki emosi negatif. Sarafino dan Smith (2011) mengatakan bahwa emosi juga
sangat penting untuk menentukan arah pengobatan, seperti contoh seseorang yang
memiliki rasa takut terhadap dokter akan menghindari perawatan kesehatan yang
sebenarnya dibutuhkan.
23
Menurut Sarafino dan Smith (2011) motivasi adalah proses individu yang
mengarahkan masing-masing dari individu tersebut untuk memulai suatu aktifitas,
menentukan arahnya, dan bertekun di aktifitas tersebut. Seperti contoh orang tua yang
berhenti merokok karena ingin menjaga kesehatan dari anak-anaknya, ataupun
seseorang yang ingin terlihat dan merasa lebih sehat akan mengambil serta mengikuti
beberapa program-program pelatihan, menentukan target dari hasil latihan, dan
melakukan aktifitasnya secara teratur.
Ketiga hal yang mempengaruhi psikologis yaitu kognisi, emosi, dan motivasi saling
berkolaborasi dan membentuk kondisi psikologis individu yang mempengaruhi
pemahaman terhadap konsep sehat dan juga sakit. Kondisi psikologis dari individu juga
kemudian bisa mempengaruhi aktifitas yang dilakukan untuk mencegah munculnya
penyakit dan menjaga kondisi sehat.
Menurut Herndon dan Wandersman (dalam Sarafino & Smith, 2011), terdapat tiga
tahapan pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu dengan primary, secondary, dan
tertiary prevention. Primary prevention dapat berupa tindakan yang dilakukan untuk
menghindari munculnya suatu penyakit, secondary prevention merupakan
kecenderungan untuk melakukan identifikasi terhadap suatu penyakit dan kemudian
melakukan penyembuhan terhadap penyakit tersebut sebelum terlambat. Tertiary
prevention merupakan peningkatan dari secondary prevention, tertiary prevention
biasanya dilakukan apabila suatu penyakit sudah mencapai tahap yang cukup parah,
sehingga perlu penanganan yang lebih mendalam terhadap penyakit tersebut.
c. Pola dari social factor atau faktor sosial
Sarafino dan Smith (2011) mengatakan bahwa manusia hidup di dunia sosial,
menjalin hubungan dengan banyak indvidu, berinteraksi dan mempengaruhi satu dengan
24
yang lainnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pandangan masing-masing
invidu adalah society (masyarakat), community (komunitas), dan family (keluarga).
Masyarakat seringkali mempengaruhi pandangan kesehatan dari individu dengan
menanamkan nilai-nilai dari budaya.
Media juga merupakan salah satu alat dalam menyampaikan nilai-nilai kesehatan
baik yang berupa hal positif maupun negative (Sarafino & Smith, 2011). Sarafino dan
Smith (2011) mengatakan bahwa komunitas juga merupakan faktor yang berpengaruh
dalam kondisi sehat dari seseorang. Individu akan mempelajari perilaku sehat dari
komunitas yang diikuti, seperti misalnya di dalam komunitas tersebut sangat
mengutamakan postur dan bentuk tubuh, sehingga memiliki aktifitas kesehatan seperti
mengikuti berbagai kegiatan olahraga, dan secara langsung individu akan mempelajari
dan turut terjun ke dalam aktifitas tersebut, dan faktor yang terakhir adalah faktor
keluarga.
Seorang individu tumbuh dan berkembang di dalam keluarga sejak dari masa kanak-
kanak, sehingga keluarga merupakan pemberi pengaruh yang paling kuat dalam tumbuh
dan kembangnya (Murphy & Bennet, 2004). Anak-anak mempelajari banyak perilaku
kesehatan dari orangtua, sehingga keluarga bisa menjadi media yang baik untuk
memperkenalkan perilaku kesehatan yang positif maupun negatif.
Faktor sociocultural juga mengambil peran yang penting dalam konsep sehat dan
sakit, perbedaan sejarah dan budaya tersebut dapat terlihat dalam pendapat
masyarakatnya terhadap penyebab munculnya suatu penyakit (Sarafino & Smith, 2011).
Agama merupakan salah satu aspek dari budaya. Sarafino dan Smith (2011) juga
mengatakan banyak agama yang menyertakan belief yang berhubungan dengan konsep
25
sehat dan sakit, ada yang berupa penolakan terhadap perawatan medis namun juga ada
belief yang mengajarkan gaya hidup sehat.
Matsumoto dan Juang (2008) juga mengatakan bahwa budaya dapat mempengaruhi
kesehatan dari berbagai sisi. Budaya yang telah terenkulturasi dapat menciptakan belief
atau kepercayaan yang mempengaruhi sikap terhadap kesehatan dan perawatan, hal-hal
yang menyebabkan sehat dan sakit, ketersediaan dari pelayanan kesehatan, health
seeking behavior, dan berbagai aspek-aspek yang lainnya.
Beberapa aspek dan juga faktor yang telah dipaparkan juga berpengaruh terhadap
health seeking behavior pada suatu daerah atau masyarakat, seperti misalnya penelitan
yang dilakukan oleh Chibwana, Mathanga, Chinkumba, dan Jobiba (2009) tentang
pengaruh sosiokultural terhadap health seeking behavior untuk demam pada anak yang
berusia dibawah lima tahun di daerah Mwanza-Neno, Malawi.
Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa adanya kepercayaan baik dari wanita
maupun pria bahwa anak kecil yang mengalami demam disebabkan oleh alat genital dari
ibu yang melahirkan, sehingga muncul suatu pemahaman bahwa demam anak-anak
hanya bisa disembuhkan dengan melakukan pengobatan tradisional terhadap ibu dari
anak tersebut, bukan langsung kepada anaknya, yang mengakibatkan terjadinya
keterlambatan pengobatan. Dari hal tersebut terlihat bahwa sosial dan juga budaya
berpengaruh dalam pemahaman masyarakat terkait dengan konsep sehat dan sakit.
Hal ini sejalan seperti yang disampaikan oleh Foster dan Anderson (2011) yang
mengatakan bahwa setiap kebudayaan memiliki pandangan yang berbeda terhadap
penyakit, dalam pengertian penyakit merupakan pengakuan bahwa seseorang itu tidak
bisa menjalankan peran normalnya secara wajar, dan harus dilakukan sesuatu pada
situasi tersebut.
26
4. Health seeking behavior
Menurut Notoadmojo (2014) perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon
seseorang atau organisme terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku kesehatan tersebut
mencakup perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yang di dalamnya berhubungan
dengan health seeking behavior, yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan.
Notoadmojo (2014) mengatakan bahwa ketika seseorang diserang penyakit dan
merasakan sakit, maka akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha, antara lain:
a. Tidak bertindak atau no action. Notoadmojo (2014) mengatakan bahwa alasan dari
tidak bertindak adalah karena adanya kepentingan lain yang harus dilakukan,
masyarakat juga mempercayai bahwa penyakit tersebut akan hilang dengan
sendirinya.
b. Bertindak mengobati diri sendiri atau self treatment. Notoadmojo (2014)
mengatakan bahwa orang yang masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri
sudah merasa bahwa pengalaman terkait dengan usaha pengobatan sendiri sudah
mendapatkan kesembuhan.
c. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas alternatif atau traditional remedy.
Notoadmojo (2014) mengatakan bahwa untuk masyarakat pedesaan khususnya,
pengobatan tradisional masih menduduki tempat teratas dibanding dengan
pengobatan-pengobatan yang lain.
d. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang telah disediakan
pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, termasuk mencari pengobatan
ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter (private
medicine).
27
Dalam mencari kesehatan, masyarakat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
memunculkan health seeking behavior. Menurut Green (dalam Notoadmojo, 2014)
menyatakan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
1. Faktor predisposisi atau Predisposing factors
Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan yaitu knowledge, sikap atau attitude
terhadap kesehatan. Adapun bagian-bagian dari faktor predisposisi adalah sebagai
berikut:
a. Pengetahuan atau knowledge
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoadmojo, 2014). Sehingga pengetahuan awal dari
masyarakat akan mengarahkannya kepada jenis pengobatan yang akan
digunakan.
b. Sikap atau attitude
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Soetarno (1994) mengatakan bahwa sikap adalah
pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap
objek tertentu.
2. Faktor pendukung atau enabling factors
Notoadmojo (2014) mengatakan bahwa faktor-faktor ini mencakup ketersediaan
sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan pada masyarakat. Ketersediaan sarana dan
28
prasarana atau fasilitas kesehatan akan menentukan masyarakat dalam menentukan arah
pengobatan yang akan dilakukan.
3. Faktor pendorong atau reinforcing factors
Notoadmojo (2014) mengatakan bahwa faktor pendorong mencakup sikap dan
perilaku petugas kesehatan, atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat. Masyarakat memberikan pandangan serta tanggapannya terhadap
suatu pengobatan, baik dari sisi pengobatan maupun petugas pengobatannya.
Anderson (dalam Notoadmojo, 2014) mengatakan salah satu model penggunaan
pelayanan kesehatan adalah model sistem kesehatan atau health system model dalam
menentukan arah pengobatan yang digambarkan melalui tiga kategori utama dalam
pelayanan kesehatan, adapun kategori tersebut antara lain:
1. Karakteristik predisposisi atau predisposing characteristic
Anderson (dalam Notoadmojo, 2014) mengatakan bahwa karakteristik ini
digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai
kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini
disebabkan karena adanya ciri-ciri individu, yang digolongkan ke dalam tiga
kelompok sebagai berikut:
a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan juga umur.
b. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras, dan
sebagainya.
c. Manfaat-manfaat kesehatan atau kepercayaan, seperti keyakinan bahwa
pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit.
29
2. Karakteristik pendukung atau enabling characteristic
Anderson (dalam Notoadmojo, 2014) mengatakan karakteristik ini mencerminkan
bahwa meskipun individu memiliki predisposisi untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan namun beberapa faktor harus tersedia untuk menunjang pelaksanaan untuk
memunculkan predisposisi tersebut seperti faktor kemampuan seperti penghasilan,
akses, keadaan ekonomi dan dari komunitas seperti fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Karakeristik kebutuhan atau need characteristic
Anderson (dalam Notoadmojo, 2014) mengatakan faktor predisposisi dan faktor
yang memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan
apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan. Dengan kata lain kebutuhan merupakan
dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan.
Health seeking behavior diawali dengan adanya bentuk perilaku kesehatan, yang
menurut Green (dalam Notoadmojo, 2014) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor
predisposisi, pendukung, dan juga pendorong. Perilaku kesehatan yang dibentuk,
akan mempengaruhi perilaku dalam mencari layanan kesehatan (health system
model), yang oleh Anderson (dalam Notoadmojo, 2014) dikategorikan di dalam tiga
karekteristik yaitu karakteristik predisposisi, pendukung, dan kebutuhan.
5. Urolithiasis (kencing batu)
Menurut Chang (2009) urolithiasis atau yang lebih dikenal dengan kencing batu
adalah penyakit yang didalamnya terdapat material keras seperti batu yang terbentuk di
sepanjang saluran kemih, saluran kemih atas (ginjal dan ureter) dan saluran kemih bawah
30
(buli-buli dan uretra) yang dapat menyebabkan nyeri, pendarahan, penyumbatan aliran
kemih, dan infeksi.
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran
urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan lain yang
belum terungkap atau idiopatik. Purnomo (2011) mengatakan bahwa secara
epidemologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran
kemih pada seseorang, yaitu :
a. Faktor intrinsik, yang terdiri dari herediter atau keturunan, umur yaitu paling
sering didapatkan pada usia 30 sampai dengan 50 tahun, dan jenis kelamin.
b. Faktor entrinsik, yang terdiri dari faktor geografi, iklim, temperatur, asupan air,
dan pekerjaan.
Purnomo (2011) mengatakan bahwa batu saluran kemih terbentuk karena adanya
pengendapan yang diakibatkan oleh supersaturasi air kemih dengan garam-garam,
produk yang memiliki tingkat kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan titik endapan,
maka akan mengakibatkan supersaturasi sehingga menimbulkan terbentuknya kristal dan
pada akhirnya akan terbentuk batu.
Penanganan yang dapat dilakukan terhadap individu dengan batu saluran kemih
adalah sebagai berikut:
a. Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang berukuran lebih kecil yaitu
dengan diameter 5mm, karena diharapkan batu dapat keluar tanpa intervensi medis
(Tjokonegoro & Utama, 2003). Sloane (2003) menambahkan pemberian analgesic
31
atau pembiusan dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan agar
batu dapat keluar sendiri secara spontan.
b. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
ESWL merupakan tindakan non-invansif dan tanpa pembiusan, pada tindakan
ini digunakan gelombang kejut eksternal yang dialirkan melalui tubuh untuk
memecah batu (Purnomo, 2011).
c. Endourologi
Purnomo (2011) mengatakan bahwa endourologi merupakan tindakan invansif
minimal untuk mengeluarkan batu pada saluran kemih yang terdiri atas memecah
batu, dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang
dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih.
d. Tindakan operasi
Tjokronegoro dan Utama (2003) mengatakan tindakan bedah atau operasi
dilakukan apabila batu tidak merespon terhadap penanganan yang lainnya, hal ini
dilakukan apabila batu yang berada di dalam saluran kemih secara spontan tidak
dapat dikeluarkan, sehingga dilakukan tindakan operasi.
32
B. Perspektif Teoretis
Gambar 1. Perspektif Teoretis
Kondisi sehat-sakit merupakan suatu hal yang saling terkait di dalam kehidupan
manusia. Setiap orang pasti pernah berada di dalam kondisi sehat maupun sakit. Menurut
Parson (1972) sakit adalah gangguan dalam fungsi normal individu sebagai
Konsep Sehat & Sakit
Pada Individu
Sakit
Pengobatan
Tradisional Modern
Medis Etnomedisin
Health Seeking Behavior
Eval
uas
i
Sehat
usada
Operasi Terapi Obat Obat herbal Balian
Rumah sakit/dokter
33
totalitas,termasuk keadaan organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya,
sehingga sakit akan terjadi apabila adanya disfungsi pada individu tersebut.
Disfungsi merupakan kondisi dari adanya ketidakseimbangan dalam tubuh sehingga
mengakibatkan terganggunya kondisi kesehatan. Kondisi sehat dan sakit individu dapat
dipengaruhi oleh berbagai hal, baik yang berasal dari dalam diri maupun yang berasal dari
luar diri individu. Kondisi ini juga akan menciptakan suatu konsep yang mempengaruhi
persepsi individu terhadap sehat dan juga sakit, konsep ini dikenal sebagai konsep sehat
dan sakit.
Konsep sehat dan sakit masing-masing orang akan mempengaruhi bagaimana orang
tersebut memandang kondisi tubuhnya saat ini, baik dari kesehatan maupun kelemahan
tubuh yang dialami. Konsep sehat dan sakit tidak semata-mata terbentuk begitu saja, hal
tersebut juga didasari oleh faktor-faktor lain yang saling berpengaruh satu dengan yang
lainnya. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain faktor biologis, faktor psikologis, dan
faktor sosial dan juga budaya.
Faktor biologis membantu seseorang untuk mengetahui kondisi tubuh saat ini, faktor
biologis berhubungan dengan kondisi biologis dari seseorang, baik itu kondisi sehat
maupun kondisi sakitnya, faktor biologis tersebut membantu seseorang untuk
mendefinisikan kondisi sehat dan sakit, hal ini juga berkaitan dengan suatu riwayat
penyakit yang pernah dialami oleh seseorang.
Faktor psikologis merupakan faktor dari dalam diri seseorang yang akan
mempengaruhi kondisi sehat dan juga sakitnya, faktor psikologis ini juga dipengaruhi oleh
tiga kondisi, yaitu kognisi dari individu, emosi, dan juga motivasi. Kognisi merupakan
bagaimana cara seseorang mempersepsikan, mempelajari, menginterprestasikan kondisi
yang sedang dialami saat ini. Faktor emosi adalah faktor yang mempengaruhi individu
34
dalam menentukan arah kesehatan, seperti misalnya seseorang yang pernah mengalami
kejadian buruk saat melakukan pengobatan ke dokter, seperti takut terhadap jarum suntik,
maka akan memilih pengobatan lainnya ketika mengalami sakit. Motivasi adalah hal yang
mempengaruhi individu untuk melakukan suatu kegiatan tertentu, baik untuk menjaga
kesehatan ataupun agar terhindar dari penyakit, dan menyembuhkan sakit tertentu.
Faktor berikutnya adalah sosial dan juga budaya. Faktor sosial ini dapat dipengaruhi
oleh lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga dan
lingkungan masyarakat secara tidak langsung dapat mempengaruhi pembentukan persepsi
dari individu, persepsi terhadap kondisi kesehatan saat ini. Selain hal tersebut, kondisi
sosial juga dipengaruhi oleh budaya tempat seseorang tinggal atau biasa melakukan
aktifitas, budaya dipengaruhi juga oleh faktor agama, agama merupakan salah satu faktor
yang bisa menciptakan belief di dalam suatu tatanan masyarakat, yang kemudian menjadi
suatu kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Ketiga faktor tersebut, faktor biologis, psikologis, dan sosialbudaya kemudian akan
memepengaruhi seseorang dalam mempertimbangkan pengobatan yang akan dilakukan
untuk menyembuhkan penyakitnya. Konsep sehat dan sakit tersebut akan membentuk
seseorang dalam menentukan arah pengobatan yang mengarahkan kepada pengobatan
tradisional ataupun pengobatan modern.
Pada saat seseorang dalam kondisi sakit, konsep sehat dan sakit akan mempengaruhi
orang tersebut untuk melakukan pengobatan terhadap kondisi sakit, hal inilah yang
dinamakan sebagai health seeking behavior. Jenis pengobatan yang biasanya digunakan
oleh seseorang ketika mengalami sakit ada dua macam yaitu pengobatan tradisional dan
pengobatan modern. Pengobatan tradisional mengarah kepada pengobatan etnomedisin,
dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam, pada masyarakat di Bali
35
pengobatan ini lebih dikenal dengan istilah usada, pengobatan yang dilakukan dapat berupa
pengobatan secara herbal, ataupun melalui pengobatnya yang bernama balian.
Sistem pengobatan modern terdiri dari pengobatan medis, pengobatan medis tersebut
biasanya ditemukan pada rumah sakit ataupun tempat praktek pribadi yang dibuka oleh
dokter. Jenis pengobatan yang dilakukan pada pengobatan medis dapat berupa terapi,
pengobatan dengan menggunakan jenis-jenis obat tertentu, dan juga biasanya melakukan
operasi untuk beberapa penyakit dalam.
Masing-masing dari pengobatan tersebut tentu memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Beberapa orang memilih untuk menggunakan salah satu
dari pengobatan tersebut, ataupun keduanya, hal ini bisa didasarkan kepada hasil yang
diterima, adanya proses evaluasi terhadap hasil pengobatan tersebut kemudian akan
memungkinkan penggunaan pengobatan yang sama ketika mengalami sakit, baik itu
pengobatan medis maupun usada.
C. Pertanyaan Utama Penelitian
Pada latar belakang dari penelitian telah dijelaskan bahwa seseorang memilih
pengobatan alternatif apabila pengobatan konvensional atau di bidang medis dinilai tidak
memuaskan (Asimo, 1995), namun hal ini tidak bisa dijadikan patokan bahwa hanya
karena ketidakpuasan dari pengobatan konvesional yang menyebabkan masyarakat beralih
kepada pengobatan alternatif. Faktor budaya dan juga faktor lingkungan mengambil peran
yang penting dalam mempengaruhi masyarakat ketika akan menggunakan jalur pengobatan
tertentu, dan health seeking behavior terutama pada masyarakat suku Bali.
Berdasarkan permasalahan tersebut, untuk mengetahui health seeking behavior pada
masyarakat, maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan dalam grand question yaitu
36
“Bagaimana konsep sehat dan sakit secara langsung dapat membentuk health seeking
behavior dalam menentukan arah pengobatan? “
top related