bab ii kajian pustaka -...
Post on 08-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini dibahas tentang berbagai Kajian Pustaka yang terdiri dari
Kajian teori yang berisi tentang kajian teori Komik, Discovey Learning
pembelajaran IPA, Karakteristik anak SD dan Media Pendidikan. Selain Kajian
Teori pada bab ini juga dibahas tentang Kerangka berfikir dan Hipotesis
Penelitian yang akan dibahas sebagai berikut.
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Komik sebagai Media Pembelajaran
2.1.1.1 Pengertian Komik
Komik dalam etimologi bahsa Indonesia berasal dari kata “comic” yang
kurang lebih secara semantik berarti “lucu”, “lelucon” atau kata komikos dari
komos’ revel’ bahasa Yunani yang muncul pada abad ke-16(M. S. Gumelar
2011:2).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau dapat disingkat KBBI komik
adalah cerita bergambar (dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yang
umumnya mudah dicerna dan lucu.
Mc Cloud dalam M. S. Gumelar (2011:6) menekankan bahwa komik adalah
“Gambar yang berjajar dalam urutan yang disengaja, dimaksudkan untuk
menyampaika informasi atau menghasilkan respon estetik dari pembaca”
Komik adalah urutan-urutan gambar yang ditata sesuai tujuan & filosofi
pembuatannya hingga pesan cerita tersampaikan, komik cenderung diberi lettering
yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan ( menurut M. S. Gumelar 2011).
Umumnya komik dikenal sebagai cerita bergambar (cergam). Atau, dengan
kata lain diartikan sebagai cerita yang didukung oleh serangkaian gambar atau
lukisan yang beraturan. Sebagian orang lain berpendapat bahwa komik lebih tepat
disebut gambar yang bercerita. Artinya meskipun tanpa narasi, komik bisa
dinikmati pembacanya, sama seperti ketika menonton acara TV atau layar lebar
yang menggambarnya tepat (menurut Rully Gusdiansyah 2009:11)
6
Bagi anak-anak usia sekolah dasar membaca materi dan mendengarkan
penjelasan dari guru tidak dapat diingat secara keseluruhan. Mereka akan lebih
senang mempelajari materi yang terdapat banyak gambar didalamnya seperi tokoh
kartun ataupun tokoh komik favotitnya apalagi jika tokoh kartun yang ada di
dalamnya juga sering mereka lihat di televisi. Gambar yang sederhana dan warna-
warni juga dapat diingat cepat oleh siswa. Komik dapat mengembangkan proses
belajar kognitif siswa.
2.1.1.2 Teknik Membuat Komik
Menurut M.S Gumelar (2011:92) menyebutkan bahwa terdapat 3 tekhnik
membuat komik diantaranya:
1. Tradisional Technique
Membuat komik dengan alat dan bahan relatif tradisional seperti pensil,
nibs(pena), tinta tahan air, spidol kecil, pensil, tinta, pena, penghapus, bolpen,
penghapus tinta, screentone, cat spidol besar baik yang tahan air (waterproof)
ataupun yang tidak, kertas gambar, kertas HVS, cutter, hairdryer sebagai
pengering dan lain-lain yang relevan.
2. Hybrid Technique
Gabungan antara tradisional dan cara digital, berapa jumlah dan presentase
digital dan tradisionalnya tidak begitu dipermasalahkan yang penting menggabung
dua cara tersebut. Secara tradisional, untuk membuatnya memerlukan alat-alat
tradisional pula seperti disebutkan di atas lalu menggabungnya dengan teknologi
dan alat-alat digital seperti scanner, komputer serta graphic dan page layout
software.
3. Digital Technique
Membuat komik dengan cara murni digital, tanpa menggunakan alat dan
bahan tradisional sma sekali, misalnya menggambarnya menggunakan tablet, atau
tablet komputer (PC tablet). Hingga semua proses dilakukan muri secara digital.
2.1.1.3 Langkah-langkah Membuat Komik
Menurut M.S Gumelar (2011:100) tekhnik membuat komik secara digital
adalah sebagai berikut:
1. Siapkan PC, tablet dan softwarenya.
7
2. Siapkan skripnya.
3. Membuat layout komik.
4. Pengaturan panels (frames) atau kotak-kotak pembatas pada halaman.
5. Membuat gambar-gambar atau image (termasuk mewarnainya).
6. Memberi lettering, yaitu memberikan bubble text atau balloon text.
7. Ketik kata-kata sesuai dengan skrip pada bubble text atau ballon text.
2.1.2 Media Pembelajaran
2.1.2.1 Pengertian Media Pembelajaran
Menurut M. Hosnan (2014:111) Kata media berasal dari bahasa Latin;
medium (bentuk jamak), yang berarti perantara atau pengantar. Jadi media berarti
perantara atau pengantar pesan dari pengirim atau sumber pesan (sender/source)
ke penerima pesan (receiver). Secara testimologi, istilah media diartikan dengan
berbagai versi, seperti dikemukakan oleh para ahli berikut ini. Menurut
Assosiation for Educational Technoloogy (AECT) dalam M. Hosnan (2014:111),
media adalah segala bentuk yang digunakan untuk proses penyaluran informasi.
Menurut Santoso S. Hamidjojo, media pembelajaran adalah media yang
penggunaannnya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pelajaran yang bermaksud
untuk mempertinggi kegiatan belajar mengajar dalam segi mutu. Menurut Oemar
Hamalik, media pendidikan adalah alat, metode dan teknik yang dipergunakan
dalam rangka mengaktifkan komunikasi dan interaksi guru dan siswa dalam
proses pendidikan dan pengajaran. Menurut Blake dan Haralsen, media adalah
medium yang digunakan untuk membawa atau menyampaikan pesan berjalan
antara komunikator dengan komunikan. Media adalah channel (saluran) karena
pada hakikatnya media telah memperluasatau memperpanjang kemampuan
manusia untuk merasakan, mendengar dan melihat batas-batas jarak, ruang dan
waktu tertentu. Dengan bantuan media, batas-batas itu hampir tidak ada.
2.1.2.2 Fungsi Media Pembelajaran
Levie dan Lentz dalam Cecep Kustandi dan Bambang Sutjipto (2011:19)
mengemukakan empat fungsi pembelajaran yaitu:
8
a. Fungsi Atensi
Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan
perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan
makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Sering kali
pada awal pelajaran, siswa tidak tertarik dengan materi pelajaran atau mata
pelajaran itu merupakan salah satu pelajaran yang tidak disenangi oleh mereka
sehingga mereka tidak memperhatikan.
b. Fungsi Afektif
Fungsi afektif media visual dapat terdapat dari tingkat kenikmatan siswa
ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual
dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi yang menyangkut
masalah sosial atau ras.
c. Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang
mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian
tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung
dalam gambar.
d. Fungsi Kompensatoris
Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian
bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membatu
siswayang lemah membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan
mengingatnya kembali
2.1.2.3 Jenis Media Pembelajaran
Berdasarkan jenisnya menurut Hosnan(2014:113), media terbagi menjadi
beberapa jenis. Dilihat dari jenis dan juga bentuknya, media pembelajaran
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Di bawah ini adalah jenis-jenis media
pembelajaran:
(1) Media Transparansi
Media transparani atau overhead transparancy (OHT) merupakan perangkat
lunak/softwere, sedangkan perangkat kerasnya/ hardwarenya adalah
overhead projector (OHT). Selanjutnya OHT akan kita sebut dengan
9
“transparansi”, trasnparansi adalah lembar bening/plastik tembus pandang
yang berisikan pesan, penjelasan atau pelajaran yang akan disampaikan
penyaji.
(2) Media Audio
Media Audio adalah media yang mengutamakan indera pendengaran.
Contoh media Audio seperti kaset radio, dan mp3.
(3) Media Visual
Media Visual adalah media yang mengutamakan indera penglihatan saja.
Contoh media visual seperti gambar, komik, poster, buku cerita, grafik, dll.
(4) Media Audio Visual
Media Audio Visual adalah media yang mengutamakan inderapenglihatan
sekaligus indera pendengaran. Contoh media audio visual adalah film, video,
televisi, dll.
2.1.3 Model Pembelajaran Discovery learning
2.1.3.1 Pengertian Discovery learning
Discovery learning adalah proses pembelajaran yang berfokus pada
penemuan masalah (sumber pembelajaran) yang berasal dari pengalaman-
pengalaman nyata siswa. Sehingga yujuan utama dari discovery learning tidak
terletak pada pencarian aplikasi pengetahuan, melainkan suatu upaya untuk
membangun pengetahuan secara induktif dari pengalaman-pengalaman siswa dan
pengalaman merupakan sumber materi yang dapat dieksplorasi dlam proses
pembelajaran (Khoirul Anam 2015: 110).
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan 2013 menyatakan bahwa
Discovery learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam
bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat
Bruner, bahwa: “Discovery learning can be defined as the learning that takes
place when the student is not presented with subject matter in the final form, but
rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun,
1986:103). Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
10
2.1.3.2 Kelebihan Penerapan Discovery learning
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan 2013 menyampaikan bahwa kelebihan
model Discovery learning diantaranya:
1. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-
keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci
dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
2. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh
karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
3. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki
dan berhasil.
4. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai
dengan kecepatannya sendiri.
5. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
6. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena
memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
7. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan
sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
8. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena
mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
9. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
10. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
11. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan
manusia seutuhnya.
12. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
13. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber
belajar.
14. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
11
2.1.3.3 Kelemahan Penerapan Discovery learning
Kelemahan dari model Discovery learning menurut M.Hosnan (2014:288)
diantaranya adalah:
1. Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalahpahaman antara
guru dengan siswa.
2. Menyita waktu banyak. Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang
umumnya sebagai pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator dan
pembimbing siswa dalam belajar. Untuk seorang guru, ini bukanpekerjaan
yang mudah karena itu guru memerlukan waktu yang banyak, dan seringkali
guru merasa belum puas kalau tidak banyak memberi motivasi dan
membimbing siswa belajar baik.
3. Menyita pekerjaan guru.
4. Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan.
2.1.3.4 Sintak Model Discovery learning
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan 2013 menyampaikan bahwa
terdapat 7 sintak dalam discovery learning diantaranya yaitu:
1. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru
dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca
buku, danaktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan
masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi
belajaryang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi
bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan
teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan
demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus
kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat
tercapai.
12
2. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-
agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya
dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah).
3. Data collection (pengumpulan data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para
siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis.
4. Data processing (pengolahan data)
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang
telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya,
lalu ditafsirkan.
5. Verification (pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing.
6. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian
atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi.
7. Sistem Penilaian
Dalam Model Pembelajaran Discovery learning, penilaian dapat dilakukan
dengan menggunakan tes maupun non tes. Sedangkan penilaian yang digunakan
dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa.
Jika bentuk penialainnya berupa penilaian kognitif, maka dalam model
pembelajaran discovery learning dapat menggunakan tes tertulis.
13
2.1.4 Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Desmita (2014:35) mengemukakan bahwa usia rata-rata anak Indonesia saat
masuk sekolah adalah 6 tahun dan selesai pada 12 tahun. Kalau mengacu pada
pembagian tahapan perkembangan anak berarti anak usia sekolah berada pada dua
masa perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9 tahun), dan masa
kanak-kanak akhir (10-12 tahun)anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik
yang berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih muda. Ia senang bermain,
senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau
melakukan sesuatu secara langsung. Oleh sebab itu, guru hendaknya
mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan,
mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar dalam
kelompok, serta memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam
pembelajaran.
Menurut Havighurst dalam Desmita (2014:35) tugas perkembangan anak
usia sekolah dasar meliputi:
1. Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas
fisik.
2. Membina hidup sehat.
3. Belajar bergaul dan belajar dalam kelompok.
4. Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
5. Belajar membaca, menulis dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam
masyarakat.
6. Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berfikir efektif.
7. Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.
8. Mencapai kemandirin pribadi.
Dalam mencapa setiap tugas perkembangan tersebut, guru dituntut untuk
memberikan bantuan berupa:
1. Menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik.
2. Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk belajar bergaul dan bekerja dengan teman sebaya, sehingga kepribadian
sosialnya berkembang
14
3. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang
kongkret atau langsung dalam membangun konsep.
4. Melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai-nilai, sehingga
siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi
dirinya.
Sesuai dengan karakteristik siswa yang dijabarkan di atas maka media
yang digunakan dalam pembelajaran sangatlah mempengaruhi siswa.
2.1.5 Pembelajaran IPA
2.1.5.1 Pengertian IPA
Kata “Sains” biasa yang diterjemahkan dengan Ilmu Pengetahuan Alam
yang berasal dari kata natural science. Natural artinya alamiah dan berhubungan
dengan alam, sedangkan science artinya ilmu pengetahuan. Jadi Sains secara
harfiah dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan tentang alam atau yang
mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam (Patta Bundu (2008:9)).
Surjani Wonoraharjo (2010:12) menyatakan bahwa sains atau ilmu
pengetahuan alam adalah adalah sekumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui
metode tertentu. Proses pencarian ini telah diuji kebenarannya secara bersama-
sama oleh para ahli sains dan pemirsanya. Sains berusaha menjelaskan apa saja
yang termasuk bidang kajiannya dan untuk itu diperlukan objektivitas dan
kejelasan metode. Selain itu sains sains berusaha menguasai alam dan
memanfaatkan alam untuk kesejahteraan manusia, meningkatkan taraf hidup,
efisiensi dan efektifitas kerja. Sejarah sains dari zaman ke zaman membantu
manusia menemukan metode dan struktur yang tepat untuk bidang kajiannya.
Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja
tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat
menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam
sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam
kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian
15
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri
dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.
Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk
terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran
Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada
pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan
konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.
Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah ( scientific
inquiry ) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah
serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh
karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman
belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan
proses dan sikap ilmiah.
2.1.5.2 Karakteristik IPA
Harlen dalam Patta Bundu (2008:10) mengemukakan tiga karakteristik
utama sains diantaranya:
1. Memandang bahwa setiap orang mempunyai kewenangan untuk menguji
validitas (kesahihan) prinsip dari teori ilmiah. Meskipun kelihatannya logis
dan dapat dijelaskan secara hipotesis, teori dan prinsip hanya berguna jika
sesuai dengan kenyataan yang ada.
2. Memberi pengertian adanya hubungan antara fakta-fakta yang diobservasi
yang memungkinkan penyusunan prediksi sebelum sampai pada
kesimpulan.
3. Memberi makna bahwa teori sains bukanlah kebenaran yang akhir tetapi
akan berubah atas dasar perangkat pendukung teori tersebut. Hal ini
memberi penekanan pada kreativitas dan gagasan tentang perubahan yang
16
telah lalu dan kemungkinan perubahan di masa depan, serta pengertian
tentang perubahan itu sendiri.
2.1.5.3 Tujuan IPA
Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Isi, Mata Pelajaran IPA di
SD bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasar-kan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
ber-manfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, me-
mecahkan masalah dan membuat keputusan
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan alam
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya
sebagai salah satu ciptaan Tuhan
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
2.1.5.4 Ruang Lingkup IPA
Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD meliputi aspek-aspek berikut.
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan
2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas
3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana
4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya.
Sesuai dengan jabaran di atas makan pembelajaran IPA harus dibuat dengan
menarik dan mendukung siswa dalam memahami materi. Maka dari itu perlu
17
diperhatikan karakteristik siswa SD demi terciptanya pembelajaran IPA yang
mempermudah siswa memahami materi dan tidak membosankan.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan atau hampir sama dengan penelitian ini yaitu:
“Pengembangan Media Komik Melalui Metode Talking Stick Pada Siswa Kelas 4
Sd Semester II Tahun Ajaran 2014/2015” oleh Winarni pada tahun 2015.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa ditinjau dari aspek
tampilan, media pembelajaran yang dikembangkan dinilai “Sangat Baik”. Kualitas
media yang dikembangkan menurut ahli materi dinilai “Baik”. Penggunaan media
komik pendidikan mempunyai dampak positif terhadap ketuntasan belajar siswa.
Dari 16 siswa yang telah mengikuti uji coba kelompok kecil terdapat 3 siswa yang
tidak tuntas belajar dan 13 siswa (81,25%) yang tuntas belajar. Ketuntasan belajar
ini tergolong “Sangat baik”. Kemudian pada uji coba lapangan yang melibatkan
22 siswa, terdapat 5 siswa yang tidak tuntas belajarnya dan 5 siswa (77,27%) yang
tuntas belajar. Ketuntasan belajar ini tergolong “Baik”.
Penelitian sejenis dilakukan oleh Sugito pada tahun 2012 dengan judul
“Pengaruh Penggunaan Media Pembelajaran Komik Sains Terhadap Hasil Belajar
IPA Siswa Kelas V Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012 SDN Watuagung 01”.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti diperoleh kesimpulan bahwa
Penggunaan media pembelajaran komik sains berpengaruh terhadap hasil
belajar IPA siswa kelas V di SDN Watuagung 01 Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang terbukti dengan nilai rata-rata penggunaan media
pembelajaran Komik Sains mencapai hasil 86.18 sedangkan rata-rata
penggunaan metode pembelajaran konvensional mencapai hasil 72,52. Terdapat
perbedaan hasil belajar pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pokok bahasan
mendeskrifsikan sifat-sifat cahaya. Hal tersebut membuktikan bahwa dengan
penggunaan media pembelajaran, khususnya media pembelajaran komik sains
dalam penelitian ini dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.
Penelitian sejenis dilakukan Otha Supa (2012) dengan judul “Pembuatan
Komik Fisika Tentang kemagnetan sebagai media pembelajaran”. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan diketahui bahwa pembelajaran menggunakan komik
18
fisika dapat memotivasi siswa untuk belajar fisika. Dan pembelajaran
menggunakan komik fisika ini menjadi salah satu metode pembelajaran yang
dpaat menyelingi pembelajaran yang ada, misalnya ceramah dan praktikum.
Dengan adanya pembelajaran menggunakan membuat suatu pemahaman agar
belajar fisika bisa menggunakan macam-macam media salah satunya adalah
komik ini.
Yohanes Andri Kristiawan (2012) melakukan penelitian dengan judul
“Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Eklas V pada Mata Pelajaran IPA
dengan Metode Discovery di SDN Tingkir Tengah 02 Salatiga emester II Tahun
ajaran 2011/2012”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa
terdapat peningkatan nilai rata-rata yang diperoleh pada siklus I dan siklus II.
Nilai rata-rata siswa kelas V pada kondisi awal atau sebelum diadakan penelitian
dengan menerapkan model discovery adalah 68,59 dengan ketuntasan sebesar
58,97% yaitu 23 dari 39 siswa. Dengan penerapan discovery pada siklus I nilai
rata-rata kelasnya meningkat menjadi 75,77 dengan ketuntasan belajar sebesar
76,92%. kemudian dilanjutkan pada siklus II dan rata-rata nilai yang diperoleh
meningkat menjadi 86,28 dengan ketuntasan belajar sebesar 94,87%.berdasarkan
data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian yang telah dilakukan
sudah berhasil karena daat meningkatkan hasil belajar siswa.
Berdasarkan beberapa penelitian relevan diatas peneliti akan melakukan
penelitian serupa dengan pengembangan komik dalam pembelajaran IPA dengan
model discovery learning untuk kelas V SD dengan materi Gaya Magnet.
2.2 Kerangka Berpikir
Dalam kegiatan proses belajar mengajar diperlukan bahan ajar yang
mendukung ketercapaian kompetensi siswa yang diharapkan. Bahan ajar dapat
berupa komik yang disusun secara sistematis untuk mempermudah siswa dalam
memahami materi dengan gambar/ ilustrasi yang memperkuat pemahaman siswa
pada materi. Penggunaan komik yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya
tebukti efektif dalam menunjang proses pembelajaran serta dapat meningkatkan
hasil belajar siswa.
19
Melihat permasalahan yang berkenaan dengan buku pegangan siswa yang masih
dipandang sebagai sumber belajar utama peneliti akan mengembangkan
pengembangan komik dalam pembelajaran IPA dengan model discovery learning
untuk kelas V SD dengan materi Gaya Magnet.
Komik yang dikembangkan diharapkan dapat membantu siswa dalam
memahami materi dan melatih kemandirian siswa dalam proses belajar mengajar.
Materi yang disajikan dalam komik dikemas dengan kegiatan praktikum. Selain
itu materi yang ada pada komik diajarkan melalui model discovery learning untuk
melatih tingkat berpikir siswa.
Dengan mengembangkan komik dengan model discovery learning
diharapkan efektivitas pembelajaran dapat tercapai dan tentunya meningkatkan
hasil belajar siswa.
2.4 Hipotesis Pengembangan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang diuraikan di atas,
maka dapat dirumuskan hipotesis pengembangan sebagai berikut:
1. Komik berdasarkan model discovery learning pada pembelajaran IPA di kelas
V SD dapat dikembangkan dengan desain model pembelajaran ADDIE.
2. Komik berdasarkan model discovery learning pada pembelajaran IPA di kelas
V SD valid.
3. Komik berdasarkan model discovery learning pada pembelajaran IPA di kelas
V SD efektif.
top related