bab ii kajian pustaka kepemimpinan transformasional · membagi gaya kepemimpinan menjadi dua...
Post on 10-Apr-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kepemimpinan Transformasional
Banyak teori yang diusulkan telah memberikan kontribusi besar bagi
pemahaman mengenai konsep kepemimpinan. Teori ini dapat dikategorikan ke
dalam empat aliran utama: traits, behavioural, contingency, dan visionary
(Hemsworth et al., 2013). Khuntia dan Suar (2004) menyatakan bahwa semua teori
mengenai kepemimpinan menekankan pada tiga gagasan yang dibangun baik secara
bersama-sama maupun terpisah yaitu: (1) rasionalitas, perilaku, dan kepribadian
pemimpin; (2) rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pengikut; dan (3) faktor-
faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas, iklim organisasi, dan budaya.
Luthans (2006:638) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekelompok proses,
kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang, pencapaian tujuan,
interaksi, perbedaan peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau lebih dari
hal-hal tersebut. Menurut Rivai dan Mulyadi (2012:133), kepemimpinan pada
dasarnya: melibatkan orang lain, melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata
antara pemimpin dan anggota kelompok, menggerakkan kemampuan dengan
menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi tingkah laku
bawahan, dan menyangkut nilai.
Aliran visioner telah mendapatkan popularitas selama dekade terakhir. Bass
mengembangkan konseptualisasi kepemimpinan berdasarkan aliran visioner
dengan bukunya yang berjudul Leadership and Performance Beyond Expectations
(Hemsworth et al. 2013). Bass (1985) mengembangkan apa yang sering disebut
dalam literatur sebagai Full-Range Leadership Theory (FRLT). Teori tersebut
membagi gaya kepemimpinan menjadi dua kategori besar yaitu transaksional dan
transformasional.
Kepemimpinan transaksional tradisional mencakup hubungan pertukaran
antara pemimpin dan pengikut, tetapi kepemimpinan transformasional lebih
mendasarkan pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin, serta kebutuhan
pengikutnya. Kepemimpinan transaksional adalah resep bagi keadaan seimbang,
sedangkan kepemimpinan transformasional membawa keadaan menuju kinerja
tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan pembaruan dan perubahan.
Karakteristik dan pendekatan pemimpin transaksional yaitu (Luthans, 2006:654):
1) Penghargaan kontingen, yaitu kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha
yang dikeluarkan, menjanjikan penghargaan untuk kinerja baik, mengakui
pencapaian atau prestasi.
2) Manajemen berdasarkan kekecualian (aktif), yaitu: mengawasi dan mencari
pelanggaran terhadap aturan dan standar, mengambil tindakan korektif.
3) Manajemen berdasarkan kekecualian (pasif), yaitu: intervensi hanya jika
standar tidak dipenuhi.
4) Sesuka hati, yaitu: menghindari tanggung jawab, menghindari pengambilan
keputusan.
Adapun karakteristik dan pendekatan pemimpin transformasional yaitu (Luthans,
2006:654):
1) Karisma, yaitu: memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga,
mendapatkan respek dan kepercayaan.
2) Inspirasi, yaitu: mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan simbol-
simbol untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan tujuan penting dalam cara
yang sederhana.
3) Stimulasi intelektual, yaitu: menunjukkan inteligensi, rasional, pemecahan
masalah secara hati-hati.
4) Memperhatikan individu, yaitu: menunjukkan perhatian terhadap pribadi,
memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati.
Hughes et al. (2012:542) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional
memiliki visi, keahlian retorika, dan pengelolaan kesan yang baik dan
menggunakannya untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan
pengikutnya. Luthans (2006:654) mengemukakan bahwa pemimpin
transformasional lebih sering memakai taktik legitimasi dan melahirkan tingkat
identifikasi dan internalisasi yang lebih tinggi, memiliki kinerja yang lebih baik,
dan mengembangkan pengikutnya. Menurut Robbins dan Judge (2013:382),
kepemimpinan transformasional lebih unggul daripada kepemimpinan
transaksional, dan menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang
melampaui apa yang bisa dicapai kalau pemimpin hanya menerapkan pendekatan
transaksional.
Berdasarkan kajian kepemimpinan tersebut, tulisan ini akan membahas
mengenai kepemimpinan berdasarkan pendekatan transformasional. Pendekatan
transformasional merupakan pendekatan atau perspektif yang paling populer yang
digunakan dalam mempelajari kepemimpinan pada saat ini, serta dipandang sesuai
dengan obyek yang akan diteliti. Hemsworth et al. (2013) juga menyatakan, gaya
kepemimpinan transformasional mendapatkan perhatian penuh selama dekade
terakhir dalam berbagai obyek penelitian seperti , rumah sakit, perbankan, olahraga,
penjualan, kepolisian, manufaktur dan pemerintah.
Pemerintah Indonesia membangun gaya kepemimpinan transformasional
bagi pemimpin-pemimpin organisasi pemerintah, termasuk di Balai Diklat Industri
melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim). Asmoko (2015)
menganalisis peran pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim) dalam
rangka pengembangan kepemimpinan transformasional menyatakan diklatpim
dapat menunjang pengembangan kepemimpinan transformasional. Asmoko (2015)
juga menyatakan bahwa inti dari kompetensi kepemimpinan dalam diklatpim
tersebut adalah terbentuknya pemimpin yang mampu melakukan perubahan.
Bass (1985) mendefinisikan pemimpin transformasional sebagai individu
yang memiliki karakteristik tertentu, yang mampu memotivasi pengikut untuk
bergerak di luar kepentingan pribadi dan berkomitmen untuk tujuan organisasi,
sehingga tampil melampaui harapan. Antonakis et al. (2003) mendefinisikan
kepemimpinan transformasional sebagai sebuah perilaku yang bersifat proaktif,
meningkatkan perhatian atas kepentingan bersama kepada para pengikut, dan
membantu para pengikut mencapai tujuan pada tingkatan yang paling tinggi.
Khuntia dan Suar (2004) menekankan bahwa dalam kepemimpinan
transformasional, pemimpin merubah kepercayaan, nilai, dan perilaku para
pengikut sehingga konsisten dengan visi organisasi. Khuntia dan Suar (2004)
menegaskan bahwa pemimpin yang menerapkan kepemimpinan transformasional
memberikan pengaruhnya kepada para pengikut dengan melibatkan pengikutnya
berpartisipasi dalam penentuan tujuan, pemecahan masalah, pengambilan
keputusan, dan memberikan umpan balik melalui pelatihan, pengarahan, konsultasi,
bimbingan, dan pemantauan atas tugas yang diberikan.
Pemimpinan transformasional adalah pemimpin yang mendorong para
pengikutnya untuk merubah motif, kepercayaaan, nilai, dan kemampuan sehingga
minat dan tujuan pribadi dari para pengikut dapat selaras dengan visi dan tujuan
organisasi (Goodwin et al., 2001). Krishnan (2005) menyatakan bahwa
kepemimpinan transformasional merubah dan memperluas minat para pengikutnya,
dan menghasilkan kesadaran akan penerimaan tujuan dan misi bersama. Nguni
(2005) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional memerlukan
peningkatan level motivasi dari para pengikut melebihi nilai yang dipertukarkan
dan melebihi dari apa yang diharapkan oleh para pengikut, dengan demikian para
pengikut dapat mencapai kinerja pada level yang lebih tinggi dan terwujudnya
aktualisasi diri. Asgari et al. (2008) menyatakan bahwa pemimpin transformasional
memotivasi para pengikutnya dengan mengajak para pengikutnya untuk
menginternalisasi dan memprioritaskan kepentingan bersama yang lebih besar di
atas kepentingan pribadi. Yukl (2010:320) mengemukakan bahwa para pemimpin
transformasional membuat para pengikut menjadi lebih menyadari kepentingan dan
nilai dari pekerjaan dan membujuk pengikut untuk tidak mendahulukan
kepentingan diri sendiri demi organisasi.
Para pemimpin transformasional yang sesungguhnya yakni ketika mereka
memberikan kesadaran tentang apa itu benar, baik, indah, ketika mereka membantu
meninggikan kebutuhan dari para bawahan dalam mencapai apa yang diinginkan
dan dalam mencapai aktualisasi, para pemimpin membantu dalam mencapai tingkat
kedewasaan moral yang lebih tinggi, dan ketika para pemimpin itu mampu
menggerakkan para bawahannya untuk melepaskan kepentingan diri mereka sendiri
untuk kebaikan group, organisasi, maupun masyarakat (Sopiah, 2008:295). Rivai
dan Mulyadi (2012:132) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional
memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dengan apa yang sesungguhnya
diharapkan bawahan itu dengan meningkatkan nilai tugas, dengan mendorong
bawahan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan organisasi yang
dibarengi dengan menaikkan tingkat kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih baik.
Menurut Robbins dan Judge (2013:382), pemimpin transformasional adalah
pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk mengenyampingkan
kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki
pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya. Pemimpin transformasional
menaruh perhatian terhadap kebutuhan pengembangan diri para pengikutnya,
mengubah kesadaran para pengikut atas isu-isu yang ada dengan cara membantu
orang lain memandang masalah lama dengan cara yang baru, serta mampu
menyenangkan hati dan menginspirasi para pengikutnya untuk bekerja keras guna
mencapai tujuan-tujuan bersama.
Luthans (2006:653-654) menyimpulkan bahwa pemimpin transformasional
yang efektif memiliki karakter sebagai berikut:
1) Mereka mengidenditifikasi dirinya sebagai alat perubahan
2) Mereka berani
3) Mereka mempercayai orang
4) Mereka motor penggerak nilai
5) Mereka pembelajar sepanjang masa
6) Mereka memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas, ambiguitas, dan
ketidakpastian
7) Mereka visioner
Yukl (2010:316-319) mengemukakan beberapa pedoman bagi para pemimpin
yang berusaha untuk menginspirasikan dan memotivasi pengikut, yaitu:
1) Menyatakan visi yang jelas dan menarik.
Para pemimpin transformasional memperkuat visi yang ada atau membangun
komitmen terhadap sebuah visi baru. Sebuah visi yang jelas mengenai apa yang
dapat dicapai organisasi atau akan jadi apakah sebuah organisasi itu akan
membantu orang untuk memahami tujuan, sasaran dan prioritas dari organisasi.
2) Menjelaskan bagaimana visi tersebut dapat dicapai.
Tidaklah cukup hanya menyampaikan sebuah visi yang menarik, pemimpin
juga harus meyakinkan para pengikut bahwa visi itu memungkinkan. Amatlah
penting untuk membuat hubungan yang jelas antara visi itu dengan sebuah
strategi yang dapat dipercaya untuk mencapainya. Hubungan ini lebih mudah
dibangun jika strateginya memiliki beberapa tema jelas yang relevan dengan
nilai bersama dari para anggota organisasi.
3) Bertindak secara rahasia dan optimis.
Para pengikut tidak akan meyakini sebuah visi kecuali jika pemimpinnya
memperlihatkan keyakinan diri dan pendirian. Pemimpin harus tetap optimis
tentang kemungkinan keberhasilan organisasi dalam mencapai visinya,
khususnya dalam menghadapi halangan dan kemunduran sementara.
Keyakinan dan optimisme seorang pemimpin dapat amat menular. Keyakinan
diperlihatkan baik dalam perkataan maupun tindakan.
4) Memperlihatkan keyakinan terhadap pengikut.
Pengikut akan memiliki kinerja yang lebih baik saat pemimpinnya memiliki
harapan yang tinggi bagi mereka dan memperlihatkan keyakinan terhadap
mereka.
5) Menggunakan tindakan dramatis dan simbolis untuk menekankan nilai-nilai
penting
Tindakan dramatis dengan perilaku kepemimpinan yang konsisten dengan visi
organisasi merupakan cara efektif untuk menekankan nilai penting. Tindakan
simbolis untuk mencapai sebuah sasaran penting atau mempertahankan sebuah
nilai penting akan memberikan pengaruh saat pemimpin itu membuat resiko
kerugian pribadi yang cukup besar, membuat pengorbanan diri, atau
melakukan hal-hal yang tidak konvensional.
6) Memimpin dengan memberikan contoh.
Salah satu cara seorang pemimpin mempengaruhi komitmen bawahan adalah
dengan menetapkan sebuah contoh dari perilaku yang dapat dijadikan contoh
dalam interaksi keseharian dengan bawahan. Seorang pemimpin yang meminta
bawahan untuk membuat pengorbanan khusus harus menetapkan sebuah
contoh dengan melakukan hal yang sama. Nilai-nilai yang menyertai seorang
pemimpin harus diperlihatkan dalam perilakunya sehari-hari, dan harus
dilakukan secara konsisten bukan hanya saat diperlukan.
7) Memberikan kewenangan kepada orang-orang untuk mencapai visi.
Pemimpin mendelegasikan kewenangan kepada bawahan untuk keputusan
tentang bagaimana melakukan pekerjaan. Ini berarti pemimpin meminta
bawahan untuk menentukan sendiri cara terbaik untuk menerapkan strategi
atau mencapai sasaran
Menurut Robbins dan Judge (2013:382), Bass (1985) terdapat empat
komponen kepemimpinan transformasional, yaitu:
1) Idealized Influence (Pengaruh Ideal)
Idealized influence adalah perilaku pemimpin yang memberikan visi dan misi,
memunculkan rasa bangga, serta mendapatkan respek dan kepercayaan
bawahan. Idealized influence disebut juga sebagai pemimpin yang kharismatik,
dimana pengikut memiliki keyakinan yang mendalam pada pemimpinnya,
merasa bangga bisa bekerja dengan pemimpinnya, dan mempercayai kapasitas
pemimpinnya dalam mengatasi setiap permasalahan. Idealized Influence
dibedakan menjadi attributed idealized influence dan behavioural idealized
influence (Bass dan Avolio, 1995). Idealized Influence Attributes mengacu
pada persepsi pengikut mengenai karakteristik seorang pemimpin yang
menggambarkan seorang pemimpin merupakan panutan teladan, dikagumi dan
dihormati oleh pengikutnya, sedangkan Idealized Influence Behaviours
mengacu pada persepsi pengikut terhadap perilaku yang tampak dari para
pemimpin yang menggambarkan seorang pemimpin yang dapat dipercaya dan
memiliki standar moral dan etika yang tinggi (Bass & Avolio, 1995)
2) Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)
Inspirational motivation adalah perilaku pemimpin yang mampu
mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menyampaikan visi bersama secara
menarik dengan menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan upaya
bawahan, dan menginspirasi bawahan untuk mencapai tujuan yang
menghasilkan kemajuan penting bagi organisasi.
3) Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual)
Intellectual stimulation adalah perilaku pemimpin yang mampu meningkatkan
kecerdasan bawahan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi mereka,
meningkatkan rasionalitas, dan pemecahan masalah secara cermat.
4) Individualized Consideration (Pertimbangan Individual)
Individualized consideration adalah perilaku pemimpin yang memberikan
perhatian pribadi, memperlakukan masing-masing bawahan secara individual
sebagai seorang individu dengan kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi yang
berbeda, serta melatih dan memberikan saran. Individualized consideration
dari kepemimpinan transformasional memperlakukan masing-masing bawahan
sebagai individu serta mendampingi mereka, memonitor dan menumbuhkan
peluang.
Gaya kepemimpinan transformasional pada penelitian ini diukur dengan
menggunakan Multi-leadership Questionnaire (MLQ) dari Bass dan Avolio (1995).
Kepercayaan Terhadap Atasan
Kepercayaan merupakan harapan atau keyakinan bahwa kita dapat
mengandalkan tindakan dan kata-kata seseorang dan / atau bahwa orang tersebut
memiliki niat baik terhadap kita (Cook dan Wall, 1980; Robinson, 1996). Fokus
keyakinan atau harapan dalam penelitian ini, ditujukan pada pemimpin organisasi,
sehingga kepercayaan merupakan harapan atau keyakinan bahwa organisasi dapat
mengandalkan tindakan atau kata-kata pemimpin dan bahwa pemimpin memiliki
niat baik terhadap organisasi. Kepercayaan kepada atasan/pemimpin adalah tingkat
keyakinan dan loyalitas kepada pemimpin (Podsakoff et al., 1990). Mahdi
(2008:160) menyatakan, kepercayaan terhadap atasan adalah sikap tidak ragu-ragu
dari seseorang karyawan kepada atasannya atas kebijakan yang dilakukan atasan
tersebut. Robbins dan Judge (2013:388) menyatakan, kepercayaan adalah atribut
utama yang terkait dengan kepemimpinan, mengabaikan hal tersebut dapat
menyebabkan efek samping yang serius pada kinerja kelompok.
Menurut Robbins dan Judge (2013:389) terdapat tiga karakteristik kunci
yang membuat kita percaya bahwa pemimpin dapat dipercaya antara lain :
1) Integritas (Integrity). Integritas mengacu pada kejujuran dan kebenaran
2) Kebajikan (Benevolence). Kebajikan berarti orang yang dipercaya memiliki
daya tarik di hati anda, bahkan jika anda tidak selalu sejalan dengan mereka.
Perilaku peduli dan mendukung merupakan bagian dari ikatan emosional
antara pemimpin dan pengikut.
3) Kemampuan (Ability). Kemampuan meliputi pengetahuan dan keterampilan
teknis dan interpersonal individu.
Kepercayaan antara supervisor dan karyawan memiliki sejumlah keuntungan
penting (Robbins dan Judge, 2013:390) seperti:
1) Kepercayaan mendorong dalam hal pengambilan risiko. Setiap kali karyawan
memutuskan untuk menyimpang dari cara yang biasa dilakukan atau
mengikuti arahan supervisor untuk hal yang baru, mereka mengambil risiko
dimana hubungan saling percaya dapat memfasilitasi hal tersebut.
2) Kepercayaan memfasilitasi dalam hal berbagi informasi. Salah satu alasan
besar karyawan gagal untuk mengungkapkan keprihatinan mereka di tempat
kerja adalah bahwa mereka tidak merasa aman secara psikologis
mengungkapkan pandangan mereka, ketika para manajer menunjukkan bahwa
mereka mendengar dan mempertimbangkan ide-ide karyawan dan secara aktif
melakukan perubahan, karyawan lebih bersedia untuk berbicara.
3) Kelompok yang percaya lebih efektif. Ketika seorang pemimpin menunjukkan
rasa percaya dalam kelompok, anggota lebih bersedia untuk membantu satu
sama lain dan mengerahkan upaya ekstra, yang selanjutnya meningkatkan
kepercayaan, sebaliknya kelompok yang tidak percaya cenderung curiga satu
sama lain, waspada terhadap eksploitasi, dan membatasi komunikasi dengan
orang lain dalam kelompok. Tindakan ini cenderung untuk melemahkan dan
akhirnya menghancurkan kelompok.
4) Kepercayaan meningkatkan produktivitas. Karyawan yang percaya pada
supervisor cenderung memiliki kinerja yang lebih tinggi.
Kepercayaan terhadap atasan pada penelitian ini diukur dengan menggunakan
kuesioner yang dikembangkan oleh Adams et al. (2008). Adams et al. (2008)
mengukur kepercayaan terhadap atasan dengan menggunakan 4 faktor antara lain:
1) Kompetensi (Competence), sejauh mana orang tersebut menunjukkan
keterampilan, kompetensi dan karakteristik yang memungkinkan mereka untuk
memiliki pengaruh.
2) Integritas (Integrity), sejauh mana orang tersebut dipandang terhormat dan
kata-kata mereka sesuai tindakan.
3) Kebajikan (Benevolence), sejauh mana orang tersebut dipandang benar-benar
peduli dan prihatin.
4) Prediktabilitas (Predictability), sejauh mana perilaku seseorang konsisten
Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang
berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja
adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka
memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006:243). Rivai dan Mulyadi
(2012:246) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang
seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.
Garboua dan Montmarquette (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja
menggambarkan perasaan pekerja yang didasari atas pengalaman kerjanya. Gibson
et al. (2009:152) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap para
pekerja mengenai pekerjaannya yang dihasilkan dari persepsi mereka terhadap
pekerjaannya berdasarkan faktor-faktor yang terdapat dalam lingkungan kerja
seperti gaya penyelia, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi
kerja, dan manfaat lainnya bagi pekerja.
Robbins dan Judge (2013:74) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu
perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah
evaluasi karakteristiknya. Dalam konsep tersebut, pekerjaan seseorang lebih dari
sekedar aktivitas mengatur kertas, menulis kode program, menunggu pelanggan,
atau mengendarai sebuah truk. Setiap pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan
kerja dan atasan-atasan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
organisasional, memenuhi standar-standar kinerja, menerima kondisi-kondisi kerja
yang kurang ideal, dan lain-lain. Penilaian seorang karyawan tentang seberapa ia
merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaan merupakan penyajian yang rumit dari
sejumlah elemen pekerjaan yang berlainan. Luthans (2006:243) menyatakan
terdapat tiga dimensi kepuasan kerja, yaitu:
1) Kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi dan kondisi
kerja, dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga.
2) Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai
memenuhi atau melampaui harapan. Misalnya, jika anggota organisasi merasa
bahwa mereka bekerja terlalu keras daripada yang lain dalam departemen,
tetapi menerima penghargaan lebih sedikit, maka mereka mungkin akan
memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan, atau rekan kerja mereka.
Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan
dibayar dengan pantas, maka mereka mungkin akan memiliki sikap positif
terhadap pekerjaan mereka.
3) Kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan.
Luthans (2006:243) mengemukakan bahwa karyawan yang tingkat
kepuasannya tinggi cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih baik,
mempelajari tugas yang berhubungan dengan pekerjaan baru dengan lebih cepat,
memiliki sedikit kecelakaan kerja, mengajukan lebih sedikit keluhan,
meningkatkan kinerja, mengurangi pergantian karyawan dan ketidakhadiran. Cara-
cara untuk meningkatkan kepuasan kerja, diantaranya:
1) Membuat pekerjaan menjadi menyenangkan
2) Memiliki gaji, benefit, dan kesempatan promosi yang adil
3) Menyesuaikan orang dengan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian
mereka
4) Mendesain pekerjaan agar menarik dan menyenangkan
Hughes et al. (2012:337) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan
dengan sikap seseorang mengenai kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat
kepuasan kerja merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian
menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi.
Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku organisasi yang
melampaui deskripsi tugas dan peran mereka, serta membantu mengurangi beban
kerja dan tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas
cenderung bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan
terlibat dalam berbagai perilaku yang kontraproduktif. Ketidakpuasan juga alasan
utama seseorang meninggalkan organisasi.
Castillo dan Cano (2004) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan
kepuasan dan ketidakpuasan kerja, yaitu:
1) Pengakuan (recognition)
Tindakan berupa pujian ataupun sikap menyalahkan yang disampaikan oleh
atasan, rekan sejawat, manajemen, klien, dan atau masyarakat umum.
2) Pencapaian (achievement)
Segala upaya yang dilakukan untuk meraih keberhasilan termasuk mengambil
sikap atas kegagalan yang terjadi.
3) Kesempatan berkembang (possibility of growth)
Kesempatan untuk berkembang yang tercermin dari perubahan status.
4) Kemajuan (advancement)
Perubahan nyata yang terjadi pada status pekerjaan
5) Gaji (salary)
Konsekuensi dari kompensasi yang memainkan peran utama.
6) Hubungan antar pribadi (interpersonal relations)
Hubungan yang terjalin antara atasan, bawahan, dan rekan sejawat.
7) Pengawasan (supervision)
Kemampuan pengawas dalam mendelegasikan tanggung jawab dan
membimbing bawahan.
8) Tanggung jawab (responsibility)
Kepuasan yang timbul berasal dari adanya kendali dan tanggung jawab yang
diberikan dalam suatu pekerjaan.
9) Administrasi dan kebijakan (policy and administration)
Tindakan dimana beberapa aspek atau secara keseluruhan berdampak pada
kepuasan kerja.
10) Kondisi kerja (working condition)
Kondisi kerja secara fisik seperti fasilitas kerja dan kualitas pekerjaan.
11) Pekerjaan itu sendiri (work it self)
Kinerja pekerjaan secara nyata yang berhubungan dengan kepuasan kerja.
Schleicher et al. (2004); Luthans (2006:243); Robbins dan Judge (2013:79);
Azeem (2010) mengungkapkan bahwa terdapat lima komponen kepuasan kerja,
yaitu:
1) Pembayaran (Pay)
Sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang
sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam
organisasi. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah bagi setiap pegawai dimana
para pegawai mengharapkan pembayaran yang diterima sesuai dengan beban
kerja yang mereka dapatkan. Pegawai membandingkan apakah dengan beban
kerja yang sama, pegawai tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda.
Hal ini mempengaruhi kepuasan yang mereka rasakan.
2) Pekerjaan (Job)
Pekerjaan yang diberikan dianggap menarik, memberikan kesempatan untuk
pembelajaran bagi pegawai serta kesempatan untuk menerima tanggung jawab
atas pekerjaan. Pegawai akan merasa senang dan tertantang bila diberikan
pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan semua kemampuannya.
Apabila beban dan tantangan pekerjaan yang diberikan jauh dibawah
kemampuan yang mereka miliki, para pegawai cenderung merasa bosan, akan
tetapi apabila diberikan beban kerja dan tanggung jawab lebih besar,
kemungkinan timbul rasa frustrasi sebagai akibat dari kegagalan pegawai
dalam memenuhi tuntutan kerja yang telah diberikan oleh organisasi.
3) Kesempatan promosi (Promotion opportunities)
Kesempatan bagi pegawai untuk maju dan berkembang dalam organisasi,
misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan
pangkat serta pengembangan individu. Hal ini terkait dengan pengembangan
diri setiap pegawai. Pegawai memiliki keinginan untuk terus maju dan
berkembang sebagai bentuk aktualisasi diri sehingga pegawai akan merasa
puas apabila organisasi memberikan kesempatan untuk berkembang dan
mendapatkan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.
4) Atasan (Supervisor)
Kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian tentang pegawai,
memberikan bantuan teknis, serta peran atasan dalam memperlakukan pegawai
mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari, selain itu
atasan dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan pengambilan
keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak kepada
para bawahannya.
5) Rekan kerja (Co-workers)
Sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, bersahabat, dan saling
mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan kerja dalam interaksi yang
terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan
pegawai. Perselisihan yang timbul diantara sesama pegawai meskipun bersifat
sepele dapat mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari.
Kepuasan kerja pada penelitian ini diukur dengan menggunakan Minnesota
Satisfaction Questionnaire (MSQ) yang dikembangkan oleh Weiss et al. (1967).
Weiss et al. (1967) mengembangkan MSQ berdasarkan theory of work adjustment.
Teori ini berdasar pada konsep atas hubungan antara individu dengan
lingkungannya (Dawis et al., 1968: 3). Hubungan keduanya dapat digambarkan
dengan hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungannya,
kecocokan individu dengan lingkungannya, begitu juga sebaliknya, dan hubungan
saling melengkapi antara individu dengan lingkungannya. Setiap individu
mempunyai keinginan yang harus dipenuhi oleh lingkungannya, begitu juga
lingkungan, juga memiliki persyaratan untuk dipenuhi oleh individu, untuk dapat
bertahan dalam lingkungannya, setiap individu harus memiliki hubungan yang baik
dengan lingkungannya. MSQ terbagi dalam dua dimensi, dimensi intrinsik dan
dimensi ekstrinsik (Weiss et al., 1967).
Spector (1997:15) mengatakan bahwa kepuasan kerja intrinsik
mencerminkan tugas pekerjaan itu sendiri dan bagaimana orang-orang merasakan
pekerjaan yang mereka lakukan. Adkins dan Naumann (2002:142-143) berpendapat
bahwa kepuasan kerja intrinsik meliputi proses kerja itu sendiri. Weiss et al. (1967)
membagi dimensi kepuasan kerja intrinsik ke dalam beberapa faktor sebagai
berikut:
1) Activity, segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja.
2) Independence, kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
3) Variety, variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan
pekerjaannya
4) Social Status, derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari pekerjaan
5) Moral values, nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan
pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
6) Security, rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap pekerjaannya.
7) Social Service, perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
8) Authority, wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
9) Ability Utilization , pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan.
10) Responsibility, tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
11) Creativity , kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan.
12) Achievement , prestasi yang dicapai selama bekerja.
Spector (1997:15) mendefinisikan kepuasan kerja ekstrinsik sebagai aspek
kerja yang tidak berhubungan langsung atau sedikit berhubungan dengan
melakukan tugas pekerjaan. Adkins dan Naumann (2002:142-143) menyatakan
bahwa kepuasan kerja ekstrinsik memperhatikan aspek-aspek kerja yang
berhubungan dengan ruang lingkup pekerjaan tetapi tidak termasuk dalam proses
kerja itu sendiri, seperti kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap pengawasan.
Weiss et al. (1967) membagi dimensi kepuasan kerja ekstrinsik ke dalam beberapa
faktor sebagai berikut :
1) Supervision-Human Relations, dukungan yang diberikan oleh badan usaha
terhadap pekerjanya.
2) Supervision-Technical, bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan
kepada karyawan
3) Company Policies and Practices , kebijakan yang dilakukan adil bagi
karyawan
4) Compensation, segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada para
karyawan.
5) Advancement, Kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja.
6) Recognition, pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
7) Working Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan
pekerjaannya.
8) Co-workers, rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
MSQ mempunyai dua bentuk, yang pertama adalah long form yang terdiri dari 100
pertanyaan dan yang kedua adalah short form yang terdiri dari 20 pertanyaan,
keduanya berisikan dimensi dan indikator yang sama. Pengukuran kepuasan kerja
pada penelitian ini menggunakan MSQ short form.
Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Huang (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu: (1)
berpartisipasi, terikat dan berada dalam suatu organisasi; (2) harus menyelesaikan
suatu pekerjaan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh
organisasi; serta (3) melakukan aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi
persepsi perannya dalam organisasi. Kategori terakhirlah yang sering disebut
sebagai organizational citizenship behavior (OCB) atau the extra-role behavior
(Huang, 2012).
Robbins dan Judge (2013:27) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan
yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun
mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Shweta dan Srirang
(2010) menyatakan bahwa OCB ditandai dengan usaha dalam bentuk apapun yang
dilakukan berdasarkan kebijaksanaan pegawai yang memberikan manfaat bagi
organisasi tanpa mengharapkan imbalan apapun. Kumar et al. (2009)
mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang memberikan kontribusi pada
terciptanya efektifitas organisasi dan tidak berkaitan langsung dengan sistem
reward organisasi. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa OCB merupakan:
1) Perilaku bebas pekerja yang tidak diharapkan maupun diperlukan, oleh karena
itu organisasi tidak dapat memberikan penghargaan atas munculnya perilaku
tersebut ataupun memberikan hukuman atas ketiadaan perilaku tersebut.
2) Perilaku individu yang memberikan manfaat bagi organisasi akan tetapi tidak
secara langsung maupun eksplisit diakui dalam sistem penghargaan formal
organisasi.
3) Perilaku yang bergantung pada setiap individu untuk memunculkan ataupun
menghilangkan perilaku tersebut dalam lingkungan kerja.
4) Perilaku yang berdampak pada terciptanya efektifitas dan efisiensi kerja tim
dan organisasi, sehingga memberikan kontribusi bagi produktifitas organisasi
secara keseluruhan.
Organ et al. (2006:8) menggambarkan OCB sebagai perilaku individual yang
bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat
penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat)
meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan
sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau
deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi,
melainkan sebagai pilihan personal. Organ et al. (2006:8-10) menguraikan definisi
tersebut ke dalam beberapa poin sebagai berikut:
1) Perilaku individu yang bebas.
Maksudnya adalah bahwa perilaku tertentu yang dimunculkan dalam konteks
tertentu bukan merupakan persyaratan mutlak yang tercantum dalam deskripsi
pekerjaan yang harus dijalankan oleh seorang individu. Hal ini menyebabkan
setiap individu memiliki pilihan secara bebas, apakah akan memunculkan OCB
atau tidak, karena seseorang tidak akan dihukum karena tidak mempraktekkan
perilaku tersebut.
2) Tidak secara langsung dan eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal.
Beberapa pekerjaan mencantumkan standar minimal seperti pengalaman,
pengetahuan, dan kompetensi untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaan
secara tertulis. Tuntutan tersebut jika dicantumkan dalam deskripsi pekerjaan,
atau kontrak kerja, maka perilaku yang timbul dalam rangka memenuhi
kewajiban tersebut bukanlah merupakan OCB. Perilaku yang termasuk OCB
bukan berarti tidak akan mendapatkan penghargaan sama sekali, sebagai
contoh ketika seseorang menunjukkan OCB, perilaku yang dimunculkan
tersebut dapat merubah pandangan rekan kerja serta atasan dalam
mempertimbangkan orang tersebut untuk direkomendasikan agar diberikan
kesempatan pekerjaan dengan tanggung jawab lebih besar, diusulkan oleh
atasannya untuk dinaikkan gajinya, atau direkomendasikan oleh rekan kerja
dan atasannya untuk mendapatkan promosi jabatan. Perbedaan penting yang
mendasari pemberian imbalan atau penghargaan yang diberikan tersebut tidak
ditetapkan dalam kontrak kerja atau tidak terdapat dalam kebijakan dan
prosedur formal organisasi. Pemberian imbalan tersebut bersifat alamiah dan
terdapat ketidakpastian dari segi waktu dan cara mendapatkan imbalan
tersebut.
3) Secara bersama-sama mendorong fungsi efisiensi dan efektifitas organisasi.
Pengertian secara bersama-sama mengandung maksud bahwa OCB muncul
pada setiap individu, pada kelompok, hingga pada tingkatan organisasi secara
luas. Penelitian mengenai OCB secara umum telah dikaitkan dengan indikator
efisiensi dan efektivitas pada organisasi seperti efisiensi operasi, kepuasan
pelanggan, kinerja keuangan, dan pertumbuhan pendapatan.
OCB sangat penting artinya untuk menunjang keefektifan fungsi-fungsi
organisasi, terutama dalam jangka panjang. Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB
mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan:
1) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja.
2) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial.
3) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya organisasi
untuk tujuan-tujuan produktif.
4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber daya
organisasi secara umum untuk tujuan-tujuan pemeliharaan.
5) OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas
koordinasi antar anggota-anggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja.
6) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan
mempertahankan sumber daya manusia yang handal.
7) OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.
8) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi secara
lebih efektif terhadap perubahan-perubahan lingkungannya.
Shweta dan Srirang (2010) mengemukakan bahwa, konsep OCB pertama kali
diperkenalkan oleh Smith, Organ, dan Near pada tahun 1983 yang menggambarkan
OCB dalam dua komponen yaitu altruism dan generalized compliance (bentuk lain
dari conscientiousness), kemudian Organ pada tahun 1988 menambahkan
sportsmanship, courtesy, dan civic virtue sebagai komponen lain pada OCB
disamping altruism dan generalized compliance. Williams dan Anderson (1991)
mengelompokkan OCB dalam dua kategori yang berbeda yaitu: OCBI – perilaku
yang mengarah pada individu dalam organisasi, terdiri dari altruism dan courtesy;
dan OCBO – perilaku yang mengarah pada peningkatan efektivitas organisasi,
terdiri dari conscientiousness, sportsmanship dan civic virtue. Komponen OCB
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan komponen yang dikemukakan oleh
Konovsky dan Organ (1996); Jahangir et al. (2004); Organ et al. (2006:22); DiPaola
dan Neves (2009); Ahmed et al. (2012), Chiang dan Hsieh (2012), yaitu:
1) Altruism
Altruism adalah perilaku berinisiatif untuk membantu atau menolong rekan
kerja dalam organisasi secara sukarela. Komponen altruism secara lebih rinci
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Membantu rekan kerja yang beban kerjanya berlebih.
b. Menggantikan peran atau pekerjaan rekan kerja yang berhalangan hadir.
c. Rela membantu rekan kerja yang memiliki masalah dengan pekerjaan.
d. Membantu rekan kerja yang lain agar lebih produktif.
e. Membantu proses orientasi lingkungan kerja atau memberi arahan kepada
pegawai yang baru meskipun tidak diminta.
2) Courtesy
Courtesy adalah perilaku individu yang menjaga hubungan baik dengan rekan
kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam organisasi.
Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan
memperhatikan orang lain. Komponen courtesy secara lebih rinci memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Menghormati hak-hak dan privasi rekan kerja.
b. Mencoba untuk tidak membuat masalah dengan rekan kerja.
c. Mencoba menghindari terjadinya perselisihan antar rekan kerja.
d. Mempertimbangkan dampak terhadap rekan kerja dari setiap tindakan
yang dilakukan.
e. Berkonsultasi terlebih dahulu dengan rekan kerja yang mungkin akan
terpengaruh dengan tindakan yang akan dilakukan.
3) Sportsmanship
Sportsmanship adalah kesediaan individu menerima apapun yang ditetapkan
oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya. Komponen
sportsmanship secara lebih rinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak menghabiskan waktu untuk mengeluh atas permasalahan yang
sepele.
b. Tidak membesar-besarkan permasalahan yang terjadi dalam organisasi.
c. Menerima setiap kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh organisasi.
d. Mentolerir ketidaknyamanan yang terjadi di tempat kerja.
4) Conscientiousness
Conscientiousness adalah pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada pekerjaan
dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek.
Komponen conscientiousness secara lebih rinci memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Ketika tidak masuk kerja, melapor kepada atasan atau rekan kerja terlebih
dahulu.
b. Menyelesaikan tugas sebelum waktunya.
c. Selalu berusaha melakukan lebih dari apa yang seharusnya dilakukan.
d. Secara sukarela melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi organisasi
disamping tugas utama.
e. Tidak membuang-buang waktu kerja.
f. Tidak mengambil waktu istirahat secara berlebihan.
g. Mematuhi peraturan dan ketentuan organisasi meskipun dalam kondisi
tidak ada seorang pun yang mengawasi.
5) Civic Virtue
Civic virtue adalah perilaku individu yang menunjukkan bahwa individu
tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat, berpartisipasi, turut serta, dan
peduli dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan organisasi. Komponen
civic virtue secara lebih rinci, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Peduli terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
organisasi.
b. Turut serta dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi.
c. Mengambil inisiatif untuk memberikan rekomendasi atau saran inovatif
untuk meningkatkan kualitas organisasi secara keseluruhan.
Perilaku organizational citizenship behavior (OCB) pada penelitian ini diukur
dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Nguni (2005) dimana
responden diminta untuk menunjukkan sejauh mana mereka setuju dengan
pernyataan yang mencerminkan perilaku OCB.
29
29
top related