bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui...
Post on 10-Mar-2019
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Nyeri
2.1.1 Definisi Nyeri
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan (IASP, 2014). Definisi ini menekankan bahwa tanpa
memandang ada atau tidaknya kerusakan jaringan yang dapat dikenali, nyeri
adalah pengalam kompleks yang memiliki beragam dimensi. Nyeri dipengaruhi
oleh beragam faktor seperti faktor fisik, kognitif, afeksi dan lingkungan pasien
tersebut (Kuntono, 2011).
2.1.2 Fisiologi Nyeri
Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam proses
penghantaran nyeri yaitu sel saraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor
atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel saraf ini
mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan
ke sumsum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan
memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-
reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada
9
10
jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari
prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi P, dan enzim proteolitik.
Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke
otak (Torrance & Serginson, 1997).
Menurut Smeltzer & Bare, kornu dorsalis dari medula spinalis dapat
dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir di sini dan
serabut traktus sensori asenden berawal di sini. Juga terdapat interkoneksi antara
sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir
pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke
korteks serebri (Smeltzer & Bare, 2002).
Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus
diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak
dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis
yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang
menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area
ini disebut gerbang. Kecenderungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua
input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan
mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa
perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari
neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan
mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi
antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi
11
tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat.
Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis mengandung eukafalin
yang menghambat transmisi nyeri (Wall, 1978 dikutip dari Smeltzer & Bare,
2002).
2.1.3 Mekanisme Nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius
yang diperantarai oleh sistem sensoris nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari
perifer melalui medula spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri.
Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser
fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan
yang rusak.
Nyeri lazimnya melibatkan empat proses yaitu transduksi, transmisi,
persepsi dan modulasi (Kuntono, 2011).
a. Transduksi adalah proses yang melibatkan konversi energi dengan stimulus
termal, mekanik atau kimia yang berbahaya menjadi impuls saraf oleh
reseptor sensorik yang disebut nosiseptor.
b. Transmisi adalah tahap selanjutnya di mana impuls saraf ini ditransmisi dari
tempat transduksi yaitu area tepi atau perifer ke saraf spinal dan otak.
c. Persepsi adalah proses apresiasi sinyal yang telah tiba di struktur yang lebih
tinggi sebagai nyeri, penentuan pengertian dan respon perilaku.
12
d. Modulasi adalah tahap penting di mana masukan atau input berupa inhibisi
dan fasilitasi dari otak mempengaruhi modulasi transmisi nosiseptif pada
tingkat saraf spinal (Kuntono, 2011).
Kontraksi normal otot rangka berlangsung tanpa disertai nyeri. Tetapi jika
kontraksi otot terjadi berulang-ulang pada satu tempat tertentu dengan disertai
gejala iskemia maka terjadilah pengeluaran bahan kimia seperti asam laktat,
histamin, bradikinin, polipeptida dan prostaglandin. Rangsangan nyeri akan
berkurang jika otot rileksasi kembali dan iskemia otot menghilang. Pada
penelitian menunjukkan bahwa otot-otot yang mengalami sprain dan strain pada
waktu berolahraga atau akibat bekerja yang tidak ergonomis juga menunjukkan
gejala nyeri otot yang bersangkutan (Kuntono, 2011).
Adanya pengeluaran bahan kimia berupa asam laktat, histamin, bradikinin,
polipeptida dan progtaglandin dapat menstimulasi nosiseptor sehingga
menghasilkan impuls saraf sementara sebagian besar dari mereka akan
mensensitisasi nosiseptor dengan meningkatkan sifat dapat dirangsang atau
excitability dan frekuensi pembuangan. Aktivasi nosiseptor secara konstan dapat
menyebabkan nyeri nosiseptif (Kuntono, 2011).
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa terdapat hubungan di
antara spasme otot dengan iskemia vaskuler dan hal lain yang menimbulkan
rangsangan nosiseptor, hingga terbentuk suatu rangkaian yang saling berhubungan
dan terkait satu dengan lainnya. Terjadinya efek yang nyata pada perangsangan
nyeri yaitu terjadi somatic withdrawal reflex dan ini berarti terjadi spasme otot
13
atau kontraksi otot yang berulang atau spasme sehingga mengakibatkan kompresi
sistem vaskuler yang melayani otot yang bersangkutan dan terjadi iskemia relatif
dan setempat. Timbulnya rasa nyeri pada peristiwa tersebut karena pengeluaran
substansi Lewis’s P yang diidentifikasi sebagai hidrogen atau ion kalium yang
meningkat pada jaringan otot dengan kenaikan metabolisme setempat. Jika aliran
darah normal kembali maka rasa nyeri kemudian hilang (Kuntono, 2011).
2.1.4 Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual serta
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Intensitas pengukuran nyeri menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah
sebagai berikut :
14
1) Skala intensitas nyeri deskriptif
2) Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
15
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan, secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang, secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat, secara objektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat. Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai toleransi penilaian intensitas nyeri yang ringan, sedang atau parah.
Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi tenaga medis dan pasien. Skala
deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif.
Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas
16
nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk
menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992). Skala
analog visual (Visual analogue scale / VAS) tidak melabel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka (Potter, 2005).
2.2 Anatomi Fisiologi
2.2.1 Anatomi Fisiologi Otot Piriformis
Otot piriformis berfungsi sebagai eksternal rotator, menopang otot
abduktor, dan fleksor sendi pinggul, memberikan stabilitas postural selama
ambulasi dan berdiri (Papadopoulos & Khan, 2004). Otot piriformis berasal pada
permukaan anterior sakrum, biasanya di tingkat vertebra S2 melalui S4 di atau
dekat kapsul sendi sacroiliaka. Otot tersebut menempel pada aspek medial
superior dari trokanter mayor melalui tendon yang sebagian besar tergabung
dengan tendon obturatorius internus dan otot gemelus (Digiovanna dkk, 2005).
Otot piriformis dipersarafi oleh saraf tulang belakang S1 dan S2 serta kadang-
kadang juga oleh L5.
17
Gambar 2-1: Anatomi otot piriformis
(Sumber: Sobotta, 2006)
Pemahaman yang tepat mengenai Piriformis Syndrome membutuhkan
pengetahuan tentang variasi dalam hubungan antara saraf ishiadicus dan otot
piriformis. Sekitar 96 % dari populasi, saraf ischiadicus keluar dari foramen
sciatic lebih mendalam sepanjang permukaan inferior otot piriformis (Benzon
dkk, 2003). Sebanyak 22 % dari populasi saraf sciatica menembus otot
piriformis, membagi otot piriformis menjadi dua lapisan. Saraf ischiadicus dapat
lulus sepenuhnya melalui muscle belly, atau saraf dapat dibagi menjadi dua
cabang, satu cabang melekat pada bagian fibula dan cabang lainnya melekat pada
tibia yang berjalan inferior atau superior di sepanjang otot (Beaton, 1938).
Beberapa gejala Piriformis Syndrome terjadi sebagai akibat dari peradangan
lokal dan kemacetan yang disebabkan oleh kompresi otot yang mengenai saraf
18
kecil, saraf pudenda dan pembuluh darah, yang keluar pada batas medial inferior
otot piriformis (Boyajian dkk, 2008).
2.2.2 Anatomi Myofascial
Menurut Clay (2008), kata fascia diambil dari bahasa latin yang berarti
pita atau perban. Fascia merupakan tipe jaringan yang berada di seluruh tubuh
dan berada di mana-mana yang tidak hanya memberikan bentuk tubuh baik di luar
maupun di dalam melainkan juga sebagai perantara dari semua sistem yang ada
pada tubuh dan menyediakan bentuk untuk sistem tubuh seperti sistem sirkulasi
darah, sistem saraf dan sistem limfatik (Clay, 2008).
Fascia adalah salah satu tipe jaringan ikat yang membungkus tendon,
ligamen, aponeurosis dan jaringan parut. Fungsi fascia tidak hanya memberikan
kontribusi terhadap kontur tubuh tetapi juga memberikan lubrikasi atau pelumas
diantara struktur-struktur untuk menghasilkan gerakan berupa peran otot dan
nutrisi. Fascia berada di seluruh tubuh manusia dan memiliki nama yang berbeda
di setiap tempat yang berbeda. Fascia yang berada di sekitar otak dan spinal cord
disebut meningen, fascia yang ada disekitar tulang disebut periosteum, fascia
yang berada di sekitar rongga perut disebut peritoneum, fascia di sekitar jantung
disebut sebagai pericardium dan yang berada di seluruh tubuh di lapisan bawah
kulit yang membagi otot disebut dengan myofascial (Clay, 2008).
Setiap satu group otot dengan group otot lainnya dibungkus oleh jaringan
fascia untuk memisahkan group otot tersebut. Diantara jaringan fascia yang
19
membungkus otot tersebut terdapat cairan atau pelumas yang berfungsi untuk
lubrikasi atau melumasi sehingga otot bebas bergerak tanpa adanya gesekan yang
menimbulkan kecacatan pada otot. Otot dengan bantuan ikatan fascianya sendiri
dapat menopang terjadinya ketegangan pada otot tersebut. Secara fungsional, otot
dan fascia terhubung satu sama lain membentuk myofascia, memberikan
kombinasi antara sifat jaringan kontraktil dan non-kontraktil (Manheim, 2001).
Ditinjau dari gambaran skematik, fascia dibagi menjadi 3 lapisan. Fascia
superficialis (hipodermi) terletak di bawah dermis dan terdiri dari loose
connective tissue dan jaringan adipose. Serabut yang memanjang ke dalam fascia
superficialis menghubungkan dermis dengan lapisan subcutaneous, kemudian
fascia akan melekat pada jaringan di bawahnya dan beberapa organ tubuh. Fascia
superficialis berperan sebagai isolasi, mencegah dan melindungi deformasi
mekanikal dan memberikan jalur untuk saraf dan dinding pembuluh saraf. Fascia
superficialis juga dapat memberikan simpanan untuk air dan lemak (Manheim,
2001).
Potensial space merupakan lapisan yang kedua dari fascia. Oleh karena
adanya pembengkakan atau oedem, space ini dapat membesar yang dapat
menyebabkan fascia mengalami kerusakan dan meregang akibat dari injury dan
terjadi kerusakan kecil di dalamnya. Deep fascia merupakan jaringan konektif
fibrous yang padat yang memiliki fungsi memberikan gerakan bebas pada otot,
mengisi space-space pada otot dan organ-organ lainnya, memberikan jalur-jalur
kecil untuk saraf dan dinding pembuluh darah, dan dalam keadaan tertentu dapat
memberikan perlekatan pada otot. Deep fascia juga membungkus seluruh organ –
20
organ pada tubuh, memisahkan otot ke dalam group fungsional dari garis tubuh
(Manheim, 2001).
Berdasarkan tempat di mana letak fascia di dalam otot, maka fascia dibagi
menjadi 3 yaitu epimysium, perymisium, dan endomysium. Ketiga lapisan tersebut
merupakan perluasan dari deep fascia. Berdasarkan tempat di mana fascia itu
ditemukan dibagi menjadi (1) Epimysium merupakan jaringan Myofascial terluas
yang melapisi seluruh otot dan mengikat seluruh fasikel. (2) Perimysium
merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok serabut otot ke dalam
satu fasikel. (3) Endomysium merupakan jaringan fascia terdalam yang
memisahkan serat-serat otot (Alter, 2004).
Jaringan konektif ini kemudian membagi dan mengelilingi faciculi serta
pada akhirnya di setiap otot. Terdapat 3 bagian fascia yang memanjang melewati
sel otot untuk membentuk tendon atau aponeurosis yang melekatkan otot ke otot
atau otot ke periosteum. Ketika terjadi stress mekanik fascia memiliki
kemampuan untuk mengubah dan menghilangkan energi (Cantu & Grodin, 2001).
2.2.3 Mekanisme Kontraksi Otot
Semua otot rangka dibentuk oleh sejumlah serabut yang diameternya
berkisar dari 10 sampai 80 mikrometer. Masing-masing serabut ini terbuat dari
rangkaian sub unit yang lebih kecil. Pada sebagian besar otot rangka masing-
masing serabutnya membentang di seluruh panjang otot. Kecuali pada sekitar 2
21
persen serabut masing-masing serabut biasanya hanya dipersarafi oleh satu
ujung saraf yang terletak di dekat bagian tengah serabut (Guyton & Hall, 2008).
Sarkolema adalah membran sel dari serabut otot. Sarkolema terdiri
dari membran sel yang sebenarnya yang disebut membran plasma, dan sebuah
lapisan luar yang terdiri dari satu lapisan tipis materi polisakarida yang
mengandung sejumlah fibril kolagen tipis. Di setiap ujung serabut otot, lapisan
permukaan sarkolema ini bersatu dengan serabut tendon, dan serabut-serabut
tendon kemudian berkumpul menjadi berkas untuk membentuk tendon otot dan
kemudian menyisip ke dalam tulang (Guyton & Hall, 2008).
Myofibril terdiri dari filamen aktin dan myosin. Setiap serabut otot
mengandung beberapa ratus sampai beberapa ribu myofibril. Setiap myofibril
tersusun oleh sekitar 1500 filamen myosin yang berdekatan dan 3000 filamen
aktin, yang merupakan molekul protein yang sesungguhnya. Filamen-filamen ini
dapat dilihat pada pandangan longitudinal dengan mikrograf elektron. Filamen
tebal menunjukkan myosin sementara filamen tipis adalah aktin. Filamen aktin
dan myosin sebagian saling bertautan sehingga myofibril memiliki pita terang
dan pita gelap yang berselang seling. Pita-pita terang hanya mengandung
filamen aktin dan disebut pita I karena bersifat isotropic (Guyton & Hall, 2008).
Pita-pita gelap mengandung filamen – filamen myosin dan ujung-ujung filamen
aktin tempat pita-pita tersebut menumpang tindih myosin, yang disebut pita A
karena bersifat anistropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan. Penonjolan
kecil yang diperlihatkan dari samping filamen myosin merupakan jembatan
22
Gambar 2-2: Mekanisme kontraksi otot
(Sumber: Seeley dkk, 2008)
silang. Interaksi antara jembatan silang dan filamen aktin tersebut adalah
peristiwa yang menyebabkan kontraksi (Guyton & Hall, 2008).
Pada gambar menunjukkan bahwa ujung-ujung filamen aktin melekat pada
lempeng Z . Dari lempeng ini, filamen-filamen memanjang dalam dua arah
untuk saling bertautan dengan filamen myosin. Lempeng Z yang terdiri atas
protein filamentosa, yang berbeda dari filamen aktin dan myosin berjalan
menyilang melewati myofibril ke myofibril lainnya dan melekatkan myofibril
satu dengan yang lain di sepanjang serabut otot. Oleh karena itu, seluruh serabut
otot memiliki pita terang, seperti yang terdapat pada tiap-tiap myofibril. Pita-pita
23
ini memberi corakan bergaris pada otot rangka dan otot jantung (Guyton & Hall,
2008).
Bagian myofibril atau seluruh serabut otot yang terletak antara dua
lempeng Z yang berurutan disebut sarkomer . Bila serabut otot berkontraksi
maka panjang sarkomer kira-kira 2 mikrometer. Pada ukuran panjang ini,
filamen aktin akan bertumpang tindih seluruhnya dengan filamen myosin dan
ujung filamen aktin mulai bertumpang tindih satu sama lain. Kemudian pada
ukuran ini juga otot mampu menimbulkan daya kontraksi terbesarnya (Guyton
& Hall, 2008).
Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam urutan tahap-tahap berikut:
1. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai
ke ujungnya pada serabut otot.
2. Di setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu
asetilkolin, dalam jumlah sedikit.
3. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serabut otot untuk
membuka banyak kanal “bergerbang asetilkolin” melalui molekul-
molekul protein yang terapung pada membran.
4. Terbukanya kanal bergerbang asetilkolin memungkinkan sejumlah besar
ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membran serabut otot.
Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi pada membran.
5. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran sarabut otot dengan
cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membran
serabut saraf.
24
6. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran otot, dan banyak
aliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot. Di sini,
potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah
besar ion kalsium, yang telah tersimpan di dalam retikulum ini.
7. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan
myosin yang menyababkan kedua filamen tersebut bergeser satu sama
lain dan menghasilkan proses kontraksi.
8. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium di pompa kembali ke dalam
retikulum sarkoplasma oleh pompa membran Ca++
dan ion-ion ini tetap
disimpan dalam retikulum sampai potensial aksi otot yang baru datang
lagi, pengeluaran ion kalsium dari myofibril menyebabkan kontraksi otot
terhenti (Guyton & Hall, 2008).
2.3 Piriformis Syndrome
2.3.1 Definisi Piriformis Syndrome
Piriformis Syndrome adalah neuritis perifer saraf sciatic yang disebabkan
oleh kondisi abnormal otot piriformis (Digiovanna dkk, 2005). Gejala klinisnya
hilang timbul atau terkadang salah didiagnosis. Piriformis Syndrome dapat
menyerupai disfungsi somatik lainnya yang umum, seperti intervertebralis
discitis, radiculopathy lumbal, sacral disfungsi primer, sakroilitis, linu panggul,
dan bursitis trokanterika (Boyajian dkk, 2008).
Hasil evaluasi dan pemeriksaan penyakit akibat kerja menunjukkan lebih
dari 16 % pasien mengalami keterbatasan sebagian atau total terkait dengan
25
keluhan nyeri kronik di punggung bawah. Hal ini memperkirakan bahwa
setidaknya 6 % dari pasien yang didiagnosis memiliki nyeri punggung bawah
benar-benar memiliki Piriformis Syndrome (Boyajian dkk, 2008).
2.3.2 Epidemiologi Piriformis Syndrome
Piriformis Syndrome paling sering terjadi selama empat sampai dengan
dekade kelima kehidupan dan mempengaruhi individu dari semua pekerjaan dan
aktivitas (Beaton, 1938). Dilaporkan tingkat insiden untuk Piriformis Syndrome
antara pasien dengan nyeri punggung bawah bervariasi luas dari 5% menjadi 36%.
(Papadopoulos & Khan, 2004). Piriformis Syndrome lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria, mungkin karena terkait dengan biomekanika otot quadriceps
femoris yang lebih luas angle yaitu, "Q sudut" di coxae os pelvis dari wanita
(Boyajian dkk, 2008). Berdasarkan data kunjungan pasien di Klinik P di
Denpasar tahun 2014 sedikitnya 2% - 3% pasien dengan keluhan nyeri punggung
bawah mengalami Piriformis Syndrome.
2.3.3 Patofisiologi Piriformis Syndrome
Pada saat otot piriformis memendek atau spasme akibat trauma, maka otot
tersebut dapat menekan atau menjepit saraf sciatic yang berada diantara otot
tersebut (Cluett, 2004). Sementara itu Maggs (2010) berpendapat bahwa salah
satu penyebab Piriformis Syndrome adalah cedera. Otot piriformis sangat rentan
untuk terjadi cedera berulang akibat gerakan (repetitive motion injury / RMI). RMI
26
terjadi apabila otot bekerja di luar kemampuannya, atau tidak diberi cukup waktu
untuk fase recovery, akibatnya otot menjadi memendek (Maggs, 2010).
Spasme yang terjadi pada otot piriformis, selain mengiritasi dapat pula
menekan saraf ischiadicus. Hal tersebut terjadi karena apabila otot piriformis
memendek, maka saraf ischiadicus terjebak. Akibatnya aliran / suplai darah ke
saraf ischiadicus pun terhambat, sedangkan iritasi terjadi akibat tekanan oleh otot
piriformis tersebut (Cluett, 2004). Penekanan pada serabut saraf ischiadicus ini
akan memberikan perangsangan, sehingga akan menimbulkan nyeri yang bertolak
dari daerah otot piriformis menjalar sampai tungkai dan nyeri ini dirasakan hanya
pada satu tungkai saja, karena ada nyeri kemudian timbul spasme pada otot-otot
yang dilewati seperti m.gluteus, m. triscep surae, m. Hamstring dan otot-otot
para vertebra lumbosakral (Maggs, 2010).
2.3.4 Etiologi Piriformis Syndrome
Ada dua jenis Piriformis Syndrome yaitu primer dan sekunder.
Piriformis Syndrome primer disebabkan oleh kelainan anatomi dari otot
piriformis yang mengalami split membagi saraf sciatica atau sebuah sciatica
path. Sedangkan Piriformis Syndrome sekunder disebabkan oleh macrotrauma,
microtrauma, efek massa iskemik, dan local iskemik (Digiovanna dkk, 2005).
Sekitar kurang dari 15 % kasus memiliki faktor pencetus disebabkan
oleh macrotrauma pada area pantat sehingga menyebabkan peradangan jaringan
lunak, kejang otot, atau keduanya dengan menghasilkan kompresi saraf
(Digiovanna dkk, 2005). Sedangkan penyebab dari microtrauma diakibatkan
27
penggunaan otot piriformis yang terlalu sering atau overuse, misalnya terlalu
sering berjalan atau berlari dengan jarak yang jauh, dan kompresi langsung
semacam trauma berulang dari duduk pada permukaan yang keras yang dikenal
dengan dompet neuritis (Boyajian dkk, 2008).
2.3.5 Manifestasi Klinis
Tabel 2.1 : Gejala dan Pemeriksaan Klinis Piriformis Syndrome
Gejala Klinis Pemeriksaan Klinis
a. Nyeri pada posisi duduk,
berdiri, atau berbaring lebih
lama dari 15 sampai 20 menit.
b. Nyeri dan / atau paresthesia
memancar dari sacrum melalui
daerah gluteal dan turun ke
aspek posterior paha, biasanya
sampai di lutut atas.
c. Nyeri membaik dengan
ambulasi dan memburuk tanpa
gerakan.
d. Nyeri ketika bangkit dari posisi
duduk atau jongkok.
e. Perubahan posisi tidak
menghilangkan rasa sakit
sepenuhnya.
f. Nyeri bagian kontralateral
sacroiliac.
g. Kesulitan berjalan (misalnya,
gaya berjalan antalgic, foot
a. Nyeri tekan di wilayah
sacroiliac joint, saraf sciatic,
dan otot piriformis.
b. Nyeri tekan lebih dirasa di
bagian otot piriformis.
c. Adanya spasme di pantat
ipsilateral.
d. Tarikan berupa traksi dari
ekstremitas yang terkena
menyediakan menyebabkan
nyeri berkurang.
e. Kelemahan asimetris di
ekstremitas yang terkena.
f. Test piriformis hasil positif.
g. Test Lasègue positif.
h. Test Freiberg positif.
i. Test Pace (fleksi , adduksi , dan
rotasi internal test) positif
j. Test Beatty positif.
k. Rotasi medial ipsilateral
28
drop).
h. Mati rasa di kaki.
i. Kelemahan di ipsilateral
ekstremitas bawah.
j. Nyeri kepala.
k. Nyeri leher, perut, panggul, dan
nyeri di bagian inguinal.
l. Dispareunia pada wanita
m. Nyeri saat buang air besar
ekstremitas bawah terbatas.
l. Bagian ipsilateral kaki tampak
memendek.
m. Atrofi gluteal (kasus kronis
saja).
n. Rotasi sacral persistent
terhadap sisi kontralateral
dengan kompensasi rotasi
lumbal.
(Sumber: Boyajian dkk, 2008)
2.3.6 Penegakkan Diagnosis
Beberapa uji klinis dapat digunakan untuk membantu dalam diagnosis
Piriformis Syndrome antara lain sebagai berikut:
a. Test Lasègue, ditandai dengan nyeri lokal pada otot dan tendon piriformis,
terutama saat posisi pinggul yang tertekuk pada sudut 900 dan lutut
ekstensi (Magee, 1997).
b. Test Freiberg, ditandai dengan nyeri yang dialami selama rotasi internal
pasif dari hip (Magee, 1997).
c. Tanda Pace, mengungkapkan dengan FAIR test (fleksi, adduksi, dan rotasi
internal), melibatkan perpindahan gejala sciatica (Magee, 1997).
d. Tes FAIR dilakukan dengan pasien dalam posisi berbaring lateral, dengan
sisi yang terkena di gerakan ke atas, pinggul tertekuk dengan sudut 600,
dan lutut tertekuk 600 sampai 90
0 dan posisi panggul dalam keadaan stabil.
29
e. Pemeriksaan internal rotasi dan adduksi hip dengan menerapkan tekanan
pada lutut (Fishman dkk, 2002).
f. Tes FAIR memiliki sensitivitas dan spesifisitas 0,881 dan 0,832, masing-
masing. Atau tes FAIR dapat dilakukan dengan pasien terlentang atau
duduk, lutut dan pinggul tertekuk, dan pinggul diputar ke arah medial,
sedangkan pasien menolak upaya pemeriksa untuk eksternal rotasi dan
internal rotasi. Hasil pengujian FAIR adalah positif jika gejala sciatic
adalah nyeri penjalaran (Benzon dkk, 2003).
g. Tes Beatty, uji tes diagnosis lain untuk Piriformis Syndrome. Dalam tes
ini, pasien berbaring di sisi sakit mengangkat dan memegang lutut sekitar
4 inci dari meja pemeriksaan. Jika gejala sciatic yang diciptakan maka
hasil tes positif (Beatty, 1994).
h. Pengujian neurofisiologis, electromyography (EMG) mungkin bermanfaat
dalam membedakan Piriformis Syndrome dari intervertebral disc herniasi
(Digiovanna dkk, 2005). Interspinal saraf pelampiasan akan menyebabkan
kelainan EMG otot proksimal piriformis. Pada pasien dengan Piriformis
Syndrome bagian proksimal dan distal otot akan tampak normal. Untuk itu
elektromiografi pemeriksaan yang menggabungkan manuver aktif, seperti
tes FAIR, mungkin memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang lebih besar
daripada tes lain yang tersedia untuk diagnosis Piriformis Syndrome
(Fishman & Schaefer, 2003).
30
i. Pemerikasaan dengan MRI (Magnetic Resonance Image) dan CT-Scan
tampak pembesaran dari otot piriformis, dapat dicurigai keadaan discus
dan patologis kondisi vertebra (Hochman & Zilberfarb, 2004).
2.3.7 Diagnosis Pembanding
Piriformis Syndrome dapat meniru kondisi lain atau mungkin kondisi
komorbiditas yang dipertimbangkan dalam diagnosis pembanding. Riwayat
neurologis lengkap dan penilaian fisik pasien sangat penting untuk diagnosis
yang akurat. Penilaian riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik ini harus
mencakup setiap trauma pada pantat dan adanya gangguan apapun pada usus
serta kandung kemih (Boyajian dkk, 2008). Penilaian fisik juga harus mencakup
berikut ini:
a. Pemeriksaan osteopathic secara struktural dengan perhatian khusus untuk
tulang belakang lumbal, panggul, dan sakrum, serta kaki.
b. Pemeriksaan diagnosis sebelumnya.
c. Pemeriksaan refleks tendon dan kekuatan serta pemeriksaan sensoris.
Kombinasi dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologis dan radiologis dapat digunakan untuk membandingkan dengan
radiculopathy lumbosakral, penyakit degeneratif discus, fraktur kompresi, dan
stenosis tulang belakang. Pada radiculopaty biasanya disertai dengan gangguan
kelemahan otot dan atrofi di bagian proksimal atau distal. Sebaliknya, pasien
dengan Piriformis Syndrome biasanya menunjukkan kelemahan dan atrofi hanya
dalam lingkup musculature (Fishman dkk, 2002). Untuk sakroiliitis distal atau
31
sacroiliac lainnya bersama disfungsi, dan disfungsi somatik sacrum harus
dianggap sebagai kemungkinan penyebab atau efek dari Piriformis Syndrome dan
dapat ditentukan dari pemeriksaan osteopati struktural dan pemeriksaan radiografi
(Digiovanna dkk, 2005).
Pemeriksaan panjang tungkai dilakukan untuk membedakan antara
fisiologis atau penyebab penyakit (Boyajian dkk, 2008). Selain itu gangguan pada
hip, termasuk arthritis dan bursitis serta fraktur harus dipertimbangkan dalam
diagnosis pembanding. Pengunaan Computed tomografi, magnetic resonance
imaging, dan USG teknologi dapat disarankan apabila pasien mengeluh sakit pada
gastrointestinal atau panggul, seperti kanker usus besar, endometriosis, dan
interstitial cystitis (Boyajian dkk, 2008).
2.3.8 Penanganan Piriformis Syndrome
Pengobatan konservatif awal adalah pengobatan yang paling efektif,
seperti dicatat oleh Fishman dkk (2002), yang melaporkan bahwa lebih dari
79% pasien dengan Piriformis Syndrome mengalami pengurangan gejala
dengan penggunaan obat anti - inflammatory drugs (NSAID), relaksan otot, es,
dan sebagainya (Fishman dkk, 2002). Teknik peregangan otot piriformis,
penguatan internal rotator dan otot adduktor juga harus dimasukkan dalam
rencana penanganan (Boyajian dkk, 2008). Kombinasi antara pengunaan obat-
obatan, Gebauer’s spray dan teknik peregangan otot dan jaringan lunak,
myofascial, energi otot, dan teknik lainnya dapat digunakan untuk mengatasi
semua disfungsi somatik pada pasien dengan Piriformis Syndrome (Boyajian
32
dkk, 2008). Apabila pasien belum mengalami perubahan dari penanganan
tersebut, maka disarankan untuk melakukan akupunktur dan injeksi dengan
lidokain hidroklorida, steroid, atau toksin botulinum tipe A (BTX - A) mungkin
considered (Fishman dkk, 2002). Jika semua perawatan obat farmakologis dan
manual terapi gagal maka pilihan pengobatan terakhir adalah dekompresi
bedah (Boyajian dkk, 2008).
2.4 Ultra Sound (US)
Ultra sound adalah gelombang suara yang merupakan getaran mekanik
di dalam sebuah medium yang mudah berubah bentuk atau elastis dengan
frekuensi antara 20 dan 20.000 Hertz. Gelombang suara yang digunakan
adalah gelombang longitudinal yang dalam frekuensi tersebut dapat
diregistrasi oleh telinga manusia untuk mengurangi nyeri 1-2w/cm2 kontinyu
(serabut saraf) selama 3-5 menit, 0.5-1 w/cm2 kontinyu (akar saraf dan
ganglia) selama 3-4 menit atau pulsed selama 6-8 menit diberikan selama 15
menit di setiap pengobatan sebanyak 5 kali setiap 2-3 hari sekali
(Pusdiknakes, 1993).
2.4.1 Efek-efek Biofisika Ultra Sound
A. Efek Mekanik
Jika gelombang Ultra Sound masuk ke tubuh efek pertama yang
muncul adalah efek mekanik. Adanya gelombang longitudinal
menyebabkan pemampatan dan peregangan dengan frekuensi yang
sama menghasilkan variasi tekanan di dalam jaringan. Variasi tekanan
33
merupakan efek mekanik yang disebut efek micromassage. Adanya
variasi tekanan tersebut akan menghasilkan perubahan volume dari
sel-sel tubuh sebesar 0,02%, perubahan permiabilitas dari membran
sel dan membran jaringan, dan mempermudah proses metabolisme.
B. Efek Panas
Micromassage yang ditimbulkan dari ultra sound akan
menimbulkan efek panas dalam jaringan. Efek panas yang diproduksi
tidak sama untuk setiap jaringan tergantung dari beberapa faktor yang
ditentukan diantaranya sebagai berikut :
a. Bentuk aplikasi ultra sound (kontiyu / terputus-putus)
b. Intensitas
c. Lamanya terapi
d. Koefisien absorbsi.
Lehman mengemukakan bahwa setiap pemberian terapi ultra
sound dengan dosis 1watt/cm2 secara kontinyu dalam jaringan otot
akan menaikkan temperatur sebesar 0.07 derajat celcius perdetik
(pengukuran tanpa adanya regulasi dari sistem pembuluh darah).
Pengaruh panas akan meningkatkan ekstensibilitas jaringan
penyambung.
34
C. Efek Biologi
Di dapat dari respon fisiologis yang merupakan gabungan dari
pengaruh mekanik dan panas.
Energi US
Micromassage Panas
Gambar 2-3 : Skema dari efek panas ultra sound
(Sumber : Palguna, 2010)
2.4.2 Indikasi Ultra Sound
a. Kelainan-kelainan / penyakit pada tulang, sendi dan otot.
b. Rheumatic arthritis pada stadium remisi (tak aktif).
c. Kelainan / penyakit pada kelainan saraf perifer.
d. Kelainan / penyakit pada sirkulasi pembuluh darah.
e. Penyakit-penyakit organ dalam segmental.
f. Kelainan-kelainan pada kulit.
g. Deputyren kontraktur.
a) Meningkatkan sirkulasi darah
b) Relaksasi otot
c) Meningkatkan permiabilitas membran
d) Meningkatkan kemampuan regenerasi
jaringan
e) Pengaruh terhadap saraf perifer
f) Mengurangi nyeri
35
h. Luka terbuka.
2.4.3 Kontra Indikasi Ultra Sound
a. Absolut : mata, jantung, uterus wanita sedang hamil, epiphesal
plates, testis.
b. Relatif : pasca laminectomi, hilangnya sensiblitas, endoprothese,
tumor, post traumatic, tromboplebitis dan varises, septis – inflamasi,
diabetes melitus.
2.4.4 Pemberian Dosis Terapi Ultra Sound
Dalam menentukan dosis terapi dengan menggunakan ultra
sound harus memperhatikan beberapa faktor diantaranya memilih
frekuensi yang berbeda, memilih gelombang kontinyu atau
terputus-putus, pilihan arus gelombang disesuaikan dengan efek
terapi yang ingin dicapai. Gelombang terputus-putus akan
memberikan dosis yang rendah. Bila menginginkan efek panas
terapis dapat memilih gelombang kontinyu. Jaringan mana yang
akan diterapi serta bagaimana aktualitas kondisinya. Prinsip
menggunakan terapi ultra sound tidak boleh terjadi rasa sakit di
jaringan.
36
2.5 Muscle Energy Technique (MET)
Muscle Energy Technique (MET) merupakan salah satu teknik dengan
mengontraksikan otot secara isometrik dengan kekuatan kontraksi sebesar
20% dan secara bertahap dinaikan menjadi tidak kurang dari 50% yang
bertujuan untuk relaksasi pada otot yang mengalami hipertonus dan
dikombinasi dengan peregangan otot (Chaitow, 2001).
2.5.1 Indikasi dan Kontra Indikasi dari Muscle Energy Technique (MET)
Muscle Energy Technique (MET) diindikasikan untuk otot yang
mengalami hipertonus dengan ciri-ciri seperti spasme, nyeri tekan,
kelemahan, trauma akibat kecelakaan, keram atau kejang otot, kontraktur,
keterbatasan lingkup gerak sendi dan postur serta untuk tendon dan sendi
(Chaitow, 2001).
Kontraindikasi dari teknik ini yakni apabila diduga terdapat penyakit
patologi seperti osteoporosis, arthritis, dan sebagainya penggunaan teknik ini
harus disesuaikan dosisnya. Dosis yang dimaksud meliputi kekuatan
kontraksi otot, repetisi, dan penggunaan peregangan atau stretching (Chaitow,
2001).
37
2.5.2 Mekanisme Kerja Muscle Energy Technique (MET) pada Otot
Piriformis
Gambar 2-4: Mekanisme kerja Muscle Energy Technique
(Sumber: Chaitow, 2001)
Liebenson (1996) membahas ke dua manfaat, dan mekanisme yang
terlibat dalam, penggunaan otot pada Muscle Energy Technique sejenis
dengan Muscle Resistance Technique. Manfaat yang pertama adalah
kemampuan otot untuk relaksasi setelah berkontraksi. Manfaat yang ke dua
adalah kemampuan otot untuk meningkatkan elastisitas fascia dipersingkat
sehingga terjadi viskoelastis.
Sementara itu mekanisme yang terlibat dalam teknik ini meliputi
aspek neurofisiologi untuk penghambatan neuromuscular yakni post
isometric resistance (PIR) dan reciprocal inhibition (RI). Post isometric
resistance merupakan suatu keadaan otot setelah berkontraksi secara singkat
38
dalam periode tertentu mengalami fase rileksasi atau istirahat. Sedangkan
untuk reciprocal inhibition (RI) atau hambatan timbal balik merupakan suatu
kondisi ketika salah satu otot berkontraksi (otot agonis) maka secara otomatis
otot antagonis menjadi terhambat.
Menurut Chaitow dalam bukunya menyebutkan bahwa penelitian
yang dilakukan oleh Liebenson menunjukkan adanya reseptor yang
dihasilkan dari post isometric resistance (PIR) yang terletak di dalam otot dan
tidak dalam kulit atau sendi yang terkait. Di mana rasa nyeri yang bersifat
akut atau kronik dikendalikan oleh kontraksi otot yang terlibat yang meliputi
otot agonis dan antagonis (Chaitow, 2001).
Kontraksi isometrik melibatkan sistem isometrik pada otot. Pada
sistem isometrik, otot berkontraksi melawan transduser kekuatan tanpa
mengurangi panjang otot, seperti yang dilihatkan pada gambar 2.4.
Karakteristik kedutan isometrik yang direkam dari berbagai otot bermacam-
macam sesuai dengan fungsi dari ototnya. Untuk otot piriformis memiliki
fungsi sebagai eksternal rotator, menopang otot abduktor, dan fleksor sendi
pinggul, memberikan stabilitas postural selama ambulasi dan berdiri.
(Papadopoulos & Khan, 2004). Karakteristik kedutan isometrik yang dimiliki
oleh otot piriformis berkisar 1/10 detik. Hal ini berhubungan dengan
kontraksi lambat untuk menyokong tubuh terhadap gaya gravitasi dalam
waktu yang lama secara kontinyu (Guyton & Hall, 2008).
39
2.5.3 Variasi Muscle Energy Technique (MET)
A. Relaksasi postisometric, modifikasi Lewit tentang MET, yang disebutnya
diarahkan relaksasi otot hipertonus yang berkaitan dengan refleks
kontraksi atau keterlibatan poin memicu myofascial Liebenson (1996).
Metode ini cocok untuk menggabungkan mobilisasi dan isometric.
Metode relaksasi postisometric (Lewit, 1999) :
1. Difokuskan pada otot hipertonus, digerakkan oleh terapis / terapis
memposisikan sebatas rasa nyeri pasien.
2. Menggunakan otot agonis, Pasien dengan lembut mengkontraksi
ototnya selama 5-10 detik sambil menghirup napas dalam.
3. Terapis memegang otot yang berkontraksi dan tidak ada resistensi.
4. Tingkat usaha yang digunakan adalah usaha minimal pasien, sekitar
10-20% dari kekuatan yang tersedia.
5. Kemudian pasien diminta untuk menghembuskan napas dan
melepaskan sepenuhnya.
6. Gerakan diulangi kembali, prosedur ini diulang dua atau tiga kali.
7. Untuk memudahkan mintalah pasien untuk merasakan kontraksi
ototnya selama fase kontraksi dan fase peregangan.
B. Postfacilitation Stretch, menggunakan posisi awal yang berbeda untuk
berkontraksi dan juga kontraksi isometrik jauh lebih kuat daripada yang
disarankan. Metode tersebut adalah sebagai berikut :
40
1. Otot diposisikan setengah lingkup gerak sendinya atau mid-range
position, kemudian minta pasien untuk menkontraksikan ototnya. Lalu
rileks.
2. Pasien mengkontraksikan ototnya secara isometrik, menggunakan
kontraksi isometrik maksimumnya selama 5-10 detik.
3. Pada usaha release, peregangan cepat dibuat untuk menghalangi /
menghambat gerakan baru, tanpa bouncing, dan ini diadakan selama
setidaknya 10 detik.
4. Pasien rileks selama sekitar 20 detik dan prosedur diulang antara 3
sampai 5 kali.
C. Reciprocal Inhibition, metode ini menggabungkan antara komponen PNF
dan MET, digunakan untuk kondisi akut, di mana kerusakan jaringan atau
nyeri menghambat penggunaan agonis untuk berkontraksi. Adapun
metodenya adalah sebagai berikut :
1. Otot yang terkena ditempatkan dalam posisi mid-range.
2. Pasien diminta untuk mendorong kuat tahanan yang diberikan oleh
terapis. Terapis menjaga tahanannya agar terjadi kontraksi isometrik
atau bila tidak memungkinkan gerakan di kombinasi dengan kontraksi
isotonik. Beberapa tingkat gerakan rotasi atau diagonal dapat
dimasukkan ke dalam prosedur.
3. Pada akhir kontraksi, pasien menghirup dan mengembuskan napas
penuh, pada saat tersebut terapis secara pasif mengulur otot pasien.
41
Menurut Liebenson adanya upaya isotonik terhadap gerakan tersebut
adalah cara terbaik untuk memfasilitasi jalur aferen pada akhir pengobatan
dengan relaksasi otot secara aktif. Hal ini dapat membantu memprogram
ulang otot dan sendi dan proprioceptors dengan demikian mendidik kembali
pola pergerakan (Liebenson, 1996).
D. Penguatan atau Strengthening, variasi ini menggunakan kontraksi isokinetik.
Dalam hal ini pasien dimulai dengan upaya minimal kemudian secara
bertahap menjadi kontraksi maksimal. Penggunaan kontraksi isokinetik di
gunakan untuk pasien dengan keterbatasan lingkup gerak sendi dan kekuatan
yang terbatas. Kontraksi isokinetik tidak hanya memperkuat serat yang
terlibat, tetapi juga memiliki efek pelatihan yang terkoordinasi. Metode ini
dilakukan tidak lebih dari 4 detik pada setiap kontraksi untuk menghindari
kelelahan pada pasien (Chaitow, 2001).
2.5.4 Prosedur Muscle Energy Technique (MET)
Adapun prosedur pemberian Muscle Energy Technique (MET)
pada otot piriformis adalah sebagai berikut:
a. Posisi pasien terlentang, posisi panggul dalam keadaan fleksi 600, adduksi,
dan knee fleksi 450
(memposisikan lutut kanan berada disamping lutut kiri)
atau disesuaikan dengan otot piriformis yang akan diterapi, Terapis berdiri
menghadap pasien setinggi pinggul sambil memfiksasi trokanter pasien,
sementara tangan lainnya berada pada pergelangan kaki pasien,
42
menginstruksikan pasien untuk menggerakan pinggulnya ke arah berputar
ke dalam. Kemudian meminta pasien untuk mengkontraksikan ototnya
(sebesar 25%).
Gambar 2-5 : Prosedur MET dengan posisi hip fleksi 600, adduksi, dan
knee fleksi 900
(Sumber: Chaitow, 2001)
Sebelumnya Terapis menguji kekuatan kontraksi otot piriformis pada sisi
sehat dan mengajarkan gerakan yang akan dilakukannya dengan gerakan
pasif. Gerakan terjadi selama 5-7 detik tanpa stretch / penguluran diikuti
dengan pengambilan napas / breathing, rileks.
b. Metode yang dianjurkan oleh TePoorten 1960, dalam bukunya Chaitow,
menyebutkan pada tahap pertama pasien berbaring pada sisi sehat dengan
lutut fleksi dan sendi pinggul fleksi 90° dan praktisi menempatkan sikunya
di otot piriformis dan memberikan tekanan stabil sebesar 20-30 mmHg.
Sementara tangan yang satunya memegang pergelangan kaki sisi sehat
43
sehingga memberikan gerakan berputar ke dalam (rotasi internal) selama 2
menit. Prosedur ini diulang 2 atau 3 kali. Kemudian rileks.
Gambar 2-6 : Posisi hip fleksi full, internal rotasi, dan fleksi knee 900
(Sumber: Chaitow, 2001)
c. Ke dua lutut pasien dalam keadaan fleksi dan sebagai tumpuan, kemudian
terapis memutar sisi yang sakit ke sisi yang sehat, posisi pasien miring ke
sisi yang sehat. Kemudian pasien mencoba untuk membawa tumitnya ke
garis tengah dengan melawan sedikit tahanan yang diberikan oleh Terapis.
Gerakan ini berlangsung selama 7-10 detik. Setelah itu lakukan sedikit
penekanan pada otot Piriformis / release dengan menggunakan ibu jari,
bila diperlukan.
d. Prosedur ini bertujuan untuk menyeimbangkan otot-otot sekitarnya, serta
diafragma panggul. Pasien dalam posisi jongkok sementara Terapis berdiri
44
dan menstabilkan kedua bahu pasien mencegah pasien dari naik, selama
gerakan ini pasien diminta untuk mengatur nafas. Gerakan dilakukan
selama 7-10 detik. Kemudian rileks. Kembali jongkok. Prosedur ini
diulang beberapa kali.
e. Prosedur ini dijelaskan oleh Lewit (1992). Posisi pasien terlentang dengan
lutut fleksi 450 dan hip fleksi 60
0 sehingga posisi kaki menumpu di bed
pada sisi kontralateral. Terapis memfiksasi bagian kontralateral ASIS
untuk mencegah gerakan panggul, sementara tangan lainnya ditempatkan
pada lutut lateral. Pasien diminta untuk mendorong sebagai gerakan
kontraksi selama 7-10 detik. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan
adduksi yang dilakukan oleh Terapis selama 10-30 detik, gerakan
stretching / penguluran.
f. Prosedur ini melakukan kontraksi pada sisi yang sehat karena kontraksi
satu piriformis menghambat pasangannya. Pasien berbaring melawan
dinding menghadap sisi yang sakit. Kedua lutut tertekuk kemudian pasien
meraba bagian belakang trokanter, memastikan tidak ada kontraksi otot
piriformis yang sakit. Setelah kontraksi berlangsung 10 detik atau lebih
dari sisi non - terkena (pasien menekan dinding dengan lututnya).
Selanjutnya posisi pasien seperi metode pertama (fleksi knee 450 dan fleksi
hip 600 dengan kaki menumpu pada bed) kemudian melakukan gerakan
adduksi. Gerakan diulangi beberapa kali.
45
2.5.5 Manfaat Muscle Energy Technique (MET)
a. Memproduksi reseptor antinyeri yang dihasilkan oleh otot
b. Melancarkan sirkulasi darah.
c. Menghancurkan jaringan fibrous kolagen penyebab spasme otot.
d. Mempercepat proses penyembuhan dengan membentuk jaringan baru.
e. Meningkatkan lingkup gerak sendi (Chaitow, 2001).
2.5.6 Penelitian tentang Muscle Energy Technique (MET)
Penelitian yang dilakukan oleh Wilson, dkk dalam Journal of
Orthopaedic & Sports Physical Therapy yang menjelaskan tentang efek dari
pemberian Muscle Energy Technique dikombinasikan dengan pendidikan ulang
neuromuskular (reeducation) dan ketahanan latihan (resistance training) pada
pasien dengan diagnosis acute low back pain menunjukkan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan pemberian pendidikan ulang neuromuscular
(reeducation) dan ketahanan latihan (resistance training) saja. Penelitian
tersebut dilakukan di Universitas Michigan dengan subjek penelitian 19 orang
yang terdiri dari 10 laki-laki dan 9 perempuan dengan metode eksperimental
pre dan post test. Pemberian dosis terapi dilakukan 8 kali selama 2 minggu atau
seminggu dua kali (Wilson dkk, 2003).
2.6 Myofascial Release Technique (MRT)
Myofascial Release Technique dapat didefinisikan sebagai fasilitasi potensi
adaptif mekanik, saraf dan psiko fisiologis yang dihubungkan oleh sistem
46
myofascial (Manheim, 2001). Fascia terletak antara kulit dan struktur yang
mendasari otot dan tulang yang merupakan jaringan ikat yang menutupi dan
menghubungkan otot-otot, organ, dan struktur tulang dalam tubuh kita. Otot dan
fascia bersatu membentuk sistem myofascial. Myofascial Release Technique
merupakan kumpulan dari teknik yang digunakan untuk tujuan menghilangkan
fascia abnormal atau fascia yang mengalami keketatan (Manheim, 2001).
2.6.1 Indikasi dan Kontraindikasi dari Myofascial Release Technique (MRT)
Indikasi dari Myofascial Release Technique yakni nyeri akut atau kronis
yang tidak dapat disembuhkan oleh pengobatan fisioterapi tradisional, nyeri
kompleks / global / spesifik yang tidak mengikuti arah dermatome, myotome atau
nyeri pola rujukan visceral, tightness, fibromyalgia, nyeri akibat asimetri postural,
dan kelemahan otot (Manheim, 2001).
Kontra indikasi dari Myofascial Release Technique yakni pasien dengan
angina yang tidak stabil, dermatitis, pasien yang mengonsumsi alkohol, pasien
dengan penyakit menular atau infeksi (Ward, 2003).
2.6.2 Mekanisme Kerja Myofascial Release Technique (MRT)
Myofascial Release Technique (MFR) melibatkan sistem myofascial
yang berfokus pada fascia. Fascia adalah lapisan tiga dimensi dari jaringan ikat
yang berjalan terus menerus di seluruh tubuh. Kontinuitas fasia ini berarti bahwa
ada :
a. jaringan terus menerus dari kepala sampai kaki.
47
b. jaringan terus menerus dari dangkal sampai dalam.
c. jaringan dari mikroskopis untuk makroskopik berkelanjutan.
Oleh karena itu, sistem fasia tidak tersegmentasi atau dibagi secara
struktural. Namun kualitas jaringan dalam sistem tunggal ini bervariasi dalam hal
kepadatan dan fungsi. Fascia terdiri dari sebuah kompleks elastocollagenous
dengan serat elastin, dan serat kolagen, tertanam dalam substansi dasar agar-agar
yang memungkinkan mobilitas serat, serta sirkulasi seluler. Molekul kolagen
dimulai sebagai rantai protein rapuh diproduksi dalam sel fibroblast. Rantai
protein tunggal ini dibagi menjadi tangan kiri spiral dan mengapung di dalam
fibroblast sampai terjadi kontak dengan dua rantai tunggal lainnya. Ketiga rantai
tunggal akan menyelaraskan dan spiral atau twist sekitar satu sama lain ke kanan,
akibatnya meningkatkan kekuatan struktural. Triple helix ini membentuk molekul
kolagen tunggal. Ketika dilepaskan dari fibroblast, ia bermigrasi melalui substansi
dasar tubuh untuk lokasi cedera, infeksi atau stres. Substansi dasar adalah gel
bertujuan mengurangi gesekan antara serat-serat otot menciptakan kemudahan
gerak (Greenman, 2003).
Molekul-molekul ini membentuk kolagen tunggal berbaris
berdampingan tumpang tindih dalam pola mirip dengan dinding bata. Mereka
melekat satu sama lain melalui proses ikatan hidrogen membentuk kain yang
stabil. Sepanjang daur hidupnya, fibroblast mempertahankan kemampuan untuk
bermigrasi ke setiap titik dalam tubuh. Mereka mengubah kimia internal mereka
dalam menanggapi kondisi lokal, manufaktur bentuk-bentuk khusus dari jaringan
sesuai dengan kebutuhan tubuh. Jaringan parut kolagen baru yang telah
48
dikeluarkan oleh substansi dasar, yang diproduksi oleh fibroblast, akan membantu
menentukan cara molekul agar bergabung bersama-sama. Viskositas atau
kepadatan bahan jaringan dapat bervariasi dari yang sangat kental sampai cair.
Semakin kental substansi jaringan maka semakin tebal dan kurang bergerak
jaringan tersebut (Regi & Johm, 1991).
a. Konsep pertama dalam sistem ini adalah bahwa dari ketat menjadi longgar.
Konsep ini memiliki dua elemen yaitu refleksif biomekanik dan saraf.
Suatu peningkatan stimulasi menyebabkan otot agonis menjadi ketat dan
otot antagonis semakin longgar yang terjadi karena adanya inhibisi timbal
balik. Pemendekan fasia sekitarnya yang mengalami hipertonus, maka
kontraksi otot membutuhkan melonggarnya fasia dalam arah yang
berlawanan di akomodasi. Dalam kondisi akut siklus dapat digambarkan
sebagai spasme kemudian nyeri lalu kejang. Hal ini menyebabkan sesak
dan dapat berkembang dari kondisi akut yang mengarah ke kondisi kronis.
Dalam kondisi kronis siklus digambarkan sebagai nyeri kemudian nyeri
berkurang lalu longgar. Penerapan konsep longgar ketat merupakan dasar
penggunaan terapi dari MFR.
b. Konsep ke dua adalah bahwa peran palpasi dalam sindrom nyeri
myofascial. Ada banyak sistem diagnosis dan terapeutik dibangun di atas
perifer stimulasi. Palpasi pada elemen myofascial sering mengidentifikasi
situs yang aman. Inisiasi untuk nyeri myofascial yang dapat diterapi
ditangani oleh tangan. Bagian penting dari sensitivitas myofascial
tampaknya dimediasi oleh sistem saraf otonom beberapa gejala yang
49
ditemukan dengan nyeri myofascial mungkin dimediasi oleh sistem saraf
simpatis.
c. Konsep ke tiga berkaitan dengan perubahan neuroreflexive yang terjadi
dengan penerapan gaya manual pada sistem muskuloskeletal. Tangan pada
pendekatan menawarkan stimulasi aferen melalui reseptor, yang
membutuhkan pengolahan pusat di sumsum tulang belakang dan tingkat
kortikal motorik. Stimulasi aferen sering mengakibatkan penghambatan
eferen. Prinsip ini digunakan dalam teknik MFR ketika stimulasi aferen
peregangan diterapkan dan operator menunggu penghambatan eferen
terjadi sehingga hasil relaksasi dalam jaringan yang ketat. Tanggapan
neuroreflexive bersifat individualis dan tampaknya dimodifikasi oleh
jumlah nyeri, perilaku nyeri pasien tingkat kesehatan, respon stress dan
gaya hidup individu, khususnya penggunaan / penyalahgunaan alkohol,
tembakau dan obat-obatan.
d. Konsep ke empat adalah bahwa dari fenomena release. Konsep ini dibagi
dengan bentuk-bentuk pengobatan manual khususnya teknik sakral cranio
dan prinsip mengikat. Release dalam konsep MFR, adalah relaksasi
jaringan yang mengikuti aplikasi yang sesuai kondisi stres pada jaringan
dengan memberi jalan. Release menjadi memungkinkan dan terminal
tujuan penerapan MFR. Pelepasan keketatan pada jaringan dicari untuk
mencapai perbaikan dalam simetri fungsi dan bentuk.
50
Teknik myofascial dimulai dengan menempatkan satu tangan pada
pasien. Tekanan yang cukup harus diterapkan untuk mengisi kekurangan di
kulit. Tekanan harus diarahkan pada permukaan pendukung. Kulit yang
mendasari jaringan harus merasa seperti bantal lembut. Jaringan ikat tubuh
merespon tekanan, traksi (peregangan) dan gesekan yang mereka hasilkan.
Sentuhan terapis meningkatkan suhu tubuh dan tingkat energi dari jaringan
sehingga menciptakan tingkat yang lebih besar dari fluiditas ke sistem.
Mengevaluasi mobilitas fascia dan ritme tekanan, kemudian pemeriksa
mempalpasi kulit dan menilai mobilitas jaringan superior, inferior, medial dan
lateral. Kualitas jaringan akan bervariasi pada berbagai bagian tubuh yang
sama. Jaringan dibatasi terasa lamban saat pindah. Jaringan ini padat dan
mungkin terasa kering, karena kekurangan cairan (Manheim, 2001).
2.6.3 Prosedur Myofascial Release Technique (MRT)
a. Pasien dalam keadaan posisi terlentang dan rileks.
b. Terapis memposisikan pasien dengan posisi internal rotasi, adduksi dan
fleksi hip 600 dan fleksi knee 45
0. Lutut sisi yang sakit berada di samping
sisi yang sehat. Terapis meraba otot Piriformis yang sakit kemudian
memberikan tekanan pada otot tersebut secara vertikal. Prosedur ini
dilakukan selama 3 sampai 5 menit.
c. Selanjutnya peregangan fokus di piriformis dengan menerapkan
peregangan vertikal ke serat distal yang terkena meliputi otot gemelli dan
piriformis sambil meningkatkan gerakan adduksi dan hip fleksi sampai
51
batas lateral dari posisi kaki yang sedang beristirahat terhadap batas
superior lateral lutut yang berlawanan. Terapis kembali memberikan
penekanan ke arah vertikal selama 3 sampai 5 menit.
d. Lanjutkan peregangan fokus dari piriformis dengan meningkatkan
peregangan vertikal dengan satu tangan sambil meningkatkan adduksi,
rotasi internal dan hip fleksi, menggerakan lutut ke arah bahu yang
berlawanan. ulangi urutan release sampai merasa akhir tercapai (Regi &
Johm, 1991).
2.6.4 Manfaat Myofascial Release Technique (MRT)
a. Mengurangi nyeri otot & menghilangkan stres sendi,
b. Meningkatkan perluasan persimpangan musculotendinous,
c. Menurunkan neuromuskular hipertonus,
d. Meningkatkan efisiensi neuromuscular,
e. Memperbaiki ketidakseimbangan otot,
f. Meningkatkan lingkup gerak sendi,
g. Menjaga panjang otot yang normal dan fungsionalnya (Manheim, 2001).
2.7 Perbedaan MET dengan MRT
Berdasarkan pembahasan kajian teori tentang Muscle Energy Technique
(MET) dan Myofascial Release Technique (MRT) peneliti menyimpulkan adanya
perbedaan diantara ke dua teknik tersebut yakni sebagai berikut :
52
Tabel 2.2 : Perbedaan Muscle Energy Technique (MET) dengan Myofascial
Release Technique (MRT)
Pembeda Muscle Energy
Technique (MET)
Myofascial Release
Technique (MRT)
Mekanisme kerja Sistem isometrik
kontraksi
Sistem myofascial
Daya Kerja Secara aktiv, pasien
mengontraksikan
ototnya sebesar
kemampuan minimal
atau sebatas nyerinya.
Secara pasif, tekanan
dari tangan terapis pada
fascia yang terkait.
Kebutuhan energi Sangat diperlukan untuk
meng-kontraksikan otot.
Tidak terlalu berperan
dalam proses
mekanismenya. Karena
tidak ada kontraksi otot.
Manfaat lainnya Meningkatkan daya
tahan otot
Tidak bisa
meningkatkan daya
tahan otot.
53
2.8 Persamaan Muscle Energy Technique (MET) dengan Myofascial Release
Technique (MRT)
Berdasarkan pembahasan kajian teori tentang Muscle Energy Technique
(MET) dan Myofascial Release Technique (MRT) peneliti menyimpulkan adanya
persamaan diantara ke dua teknik tersebut yakni sebagai berikut :
a. Memiliki efek analgesia nyeri terhadap jaringan lunak seperti fascia dan
otot.
b. Memiliki manfaat untuk mengurangi nyeri otot, spasme, dan asimetri
postur.
c. Dalam penanganannya sama-sama memerlukan pemantauan dari terapis.
d. Pemberian intervensinya disesuaikan dengan kondisi pasien. Tidak
diperkenankan bila pasien demam.
e. Diperlukan keterampilan khusus untuk melakukan teknik terapinya.
top related