bab ii landasan teori - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/56668/3/bab ii.pdf · produk asli lebih...
Post on 01-Dec-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Sebelumnya
Dari penelitian yang dilakukan oleh (Surahto, 2016) tentang pengaruh
pengisian pasir dan lilin terhadap kualitas pembentukan batang pipa
menghasilkan data seperti berikut :
Pada hasil pembengkokan pipa diameter 1,27 cm dengan tebal 0,12
cm, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada percobaan pertama yang menggunakan pipa standar atau kosong
dengan ketebalan pipa 1,2 mm hasil bending yang diperoleh tidak bagus,
pada bengkokan mengalami perubahan diameter dan radius dalam bending
mengalami pengkerutan.
2. Pada percobaan kedua yang menggunakan pipa diisi dengan lilin dengan
ketebalan pipa 1,2 mm hasil bending yang dihasilkan lebih leembut dan
pada bengkokkan tidak terlalu mengalami perubahan diameter pada
bengkokan pipa.
3. Pada percobaan ketiga diisi dengan pasir dengan ketebalan pipa 1,2 mm
hasil bending dihasilkan lebih bagus tidak mengalami perubahan diameter
pada bengkokan pipa.
Pada hasil pembengkokan pipa dengan diameter 1,27 cm dengan tebal
0,18 cm, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
7
1. Pada percobaan keempat yang menggunakan pipa standar atau kosong
dengan ketebalan pipa 1,8 mm hasil bending yang dihasilkan lebih bagus
dibandingkan dengan pipa standar dengan ketebalan 1,2 mm.
2. Padapercobaan kelima yang menggunakan pipa diisi dengan lilin dengan
ketebalan pipa 1,8 mm hasil bending yang dihasilkan tidak jauh berbeda
dengan ketebalan pipa 1,2 mm.
3. Pada percobaan keenam yang menggunakan pipa diisi dengan pasir
dengan ketebalan 1,8 mm hasil bending yang dihasilkan jauh lebih bagus
dan hampir mendekati sempurna.
Penelitian yang dilakukan oleh (Sidi, 2012) ini membahas tentang
hasil pengaruh kekerasan terhadap pipa yang dibengkokkan akibat pemanasan
pada Material ASME 335 Grade P91 dengan pelakuan panas dengan suhu
670 °C dan 800 °C dan di bengkokan dengan sudut 90o dan 180o terlebih
dahulu kemudian dipotong pada bagian belokan pipa lalu dilakukan pengujian
kekerasan dengan menggunakan 6 (enam) titik bagian.
Gambar 2.1 Titik pengujian kekerasan
Pengamatan pada permukaan spesimen dengan pemanasan 670 0C dan
sudut bending 90° menunjukkan nilai kekerasan, pada spesimen mengalami
kenaikan nilai kekerasan paling tinggi pada spesimen dua dibandingkan
8
dengan kenaikan nilai kekerasan yang dialami potongan spesimen satu dan
tiga. Hal ini terjadi karena spesimen dua terletak di Pengujian kekerasan
mulai dari ekstrados menunjukkan kecenderungan untuk terus naik mulai dari
titik pengujian 2, 3, 4 dan mencapai puncaknya di titik pengujian 5 yang
terletak pada bagian tengah intrados. Perbedaan terbesar angka kekerasan
piramida intan (DPH) nilai kekerasan sebesar 569,056 DPH dan terkecil
148,785 DPH. Sedangkan pada sudut bending 180o dan suhu pemanasan
670°C dan Akibat proses rotating bending perbedaan terbesar angka
kekerasan piramida intan (DPH) nilai kekerasan sebesar 581,880 DPH dan
terkecil 149,208 DPH. Spesimen dengan variasi pemanasan 800oC dan sudut
bengkok 90oC akibat proses rotating bending perbedaan terbesar angka
kekerasan piramida intan (DPH) nilai kekerasan sebesar 505,559 DPH dan
terkecil 168,203 DPH. Hubungan pemanasan pada temperatur 800oC dan
sudut bengkok 180o. Akibat proses rotating bending perbedaan terbesar
angka kekerasan piramida intan (DPH) nilai kekerasan sebesar 995.049 DPH
dan terkecil 80.974 DPH.
Dari penelitian yang dilakukan oleh (Pratama, 2016) dengan judul
studi pengerasan regangan (strain hardening) pada foot step sepeda motor
produk asli dan produk imitasi (lokal) didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Berdasarkan pengamatan hasil pengujian struktur mikro dapat disimpulkan
bahwa foot step tersebut nampak adanya fasa ferit dan perlit. Struktur
mikro bagian foot step dengan tekukan ada bekas-bekas butiran ferit dan
perlit yang memanjang dari proses pengerjaan dingin yang menyebabkan
adanya pengerasan regangan.
9
2. Pada foot step spesimen asli memiliki nilai kekerasan pada titik 1 (tanpa
adanya tekukan) sebesar 166,67 kg/mm2, titik 2 (1 tekukan) sebesar 168,94
kg/mm2, dan titik 3 (2 tekukan) sebesar 188,25 kg/mm2 sedangkan foot
step produk imitasi memiliki nilai kekerasan pada titik 1 sebesar 95,6
kg/mm, titik 2 sebesar 146,95 kg/mm, dan titik 3 sebesar 169,8 kg/mm.
Produk asli lebih keras disbanding produk imitasi karena prosuk asli
memiliki kandungan karbon lebih tinggi dibandingkan prosuk imitasi.
2.2 Baja
2.2.1 Pengertian baja
Baja pada dasarnya adalah paduan murni dari besi dan karbon
dengan konsentrasi karbon yang jauh lebih rendah (Munasir, 2009).
Kandungan besi (Fe) pada baja sekitar 97 % dan karbon (C) sekitar 0,2 %
hingga 2,1 % sesuai grade-nya. Selain unsur besi (Fe) dan karbon (C), baja
mengandung unsur lain seperti mangan (Mn) dengan kadar maksimal 1,65
%, silikon (Si) dengan kadar maksimal 0,6 %, tembaga (Cu) dengan kadar
maksimal 0,6 %, sulfur (S), fosfor (P) dan lainnya dengan jumlah yang
dibatasi dan berbeda-beda (Seidu & Johnson Kutelu, 2013).
Karbon merupakan unsur penting pada baja yang dapat
meningkatkan kekuatan dan kekerasan baja, tapi dalam jumlah yang banyak
akan menurunkan ketangguan (thoughness) baja tersebut. Kandungan
karbon di dalam baja sekitar 0,1-1,7 %, sedangkan unsur lainnya dibatasi
sesuai dengan kegunaan baja. Baja karbon banyak digunakan dari peralatan
10
dapur, transportasi, generator, sampai kerangka gedung, jembatan,
perpipaan dan tangki dalam dunia industri (Hussin & Kassim, 2010).
2.2.2 Klasifikasi Baja
Baja dapat diklasifikasikan berdasarkan komposisi kimianya seperti
kadar karbon dari paduan yang digunakan. Berikut ini klasifikasi baja
berdasarkan komposisi kimianya.
a. Baja Karbon
Baja karbon terdiri dari besi dan karbon. Oleh karena itu, pada
umumnya sebagian besar baja hanya mengandung karbon dengan sedikit
unsur paduan lainnya. Perbedaan persentase kandungan karbon dalam
campuran logam baja menjadi salah satu pengklasifikasian baja.
Berdasarkan kandungan karbon, baja dibagi ke dalam tiga macam,yaitu:
1. Baja karbon rendah (Low Carbon Steel)
Baja karbon rendah adalah baja yang mengandung karbon kurang
dari 0,3 %. Baja karbon rendah merupakan baja yang paling murah biaya
produksi diantara baja karbon lainnya, mudah dilas, serta keuletan dan
ketangguhannya sangat tinggi tetapi kekerasannya rendah dan tahan aus.
Baja jenis ini dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan
komponen bodi mobil, struktur bangunan, pipa gedung, jembatan, kaleng,
pagar dan lain-lain.
2. Baja karbon sedang (Medium Carbon Steel)
Baja karbon sedang adalah baja yang mengandung karbon dengan
persentase sebesar 0,3 % - 0,6 %. Baja karbon sedang memiliki kelebihan
jika dibandingkan dengan baja karbon rendah yaitu kekerasannya lebih
11
tinggi daripada baja karbon rendah, kekuatan tarik dan batas regang yang
tinggi, tidak mudah dibentuk oleh mesin, lebih sulit dilakukan pengelas dan
dapat dikeraskan dengan quenching. Baja karbon sedang banyak digunakan
untuk poros, rel kereta api, roda gigi, pegas, baut, komponen mesin yang
membutuhkan kekuatan tinggi dan lain-lain.
3. Baja karbon tinggi (High Carbon Steel)
Baja karbon tinggi merupakan baja yang mengandung karbon
sebesar 0,6 % - 1,7 % dan memiliki tahan panas yang tinggi, kekerasan
tinggi, tetapi keuletannya lebih rendah. Baja karbon tinggi mempunyai kuat
tarik paling tinggi dan banyak digunakan untuk material perkakas (tools).
Salah satu aplikasi dari baja tersebut adalah dalam pembuatan kawat baja
dan kabel baja. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung di dalam baja
maka karbon ini banyak digunakan dalam pembuatan pegas dan alat-alat
perkakas seperti palu, gergaji atau pahat potong. Selain itu, baja jenis ini
banyak digunakan untuk keperluan industri lain seperti pembuatan kikir,
pisau cukur, mata gergaji dan lainnya (Fatoni, 2016).
b. Baja Paduan
Baja paduan didefinisikan sebagai suatu baja yang dicampur dengan
satu atau lebih unsur campuran seperti nikel, mangan, molibdenum,
kromium, vanadium dan wolfram yang berguna untuk memperoleh sifat-
sifat baja yang dikehendaki, seperti sifat kekuatan, kekerasan dan
keuletannya. Paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan sifat
khas dari baja. Misalnya baja yang dipadu dengan nikel, mangan dan krom
12
akan menghasilkan baja yang mempunyai sifat keras dan ulet. Berdasarkan
paduannya baja paduan dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Baja paduan rendah (Low Alloy Steel)
Low alloy steel merupakan baja paduan dengan kadar unsur paduan
rendah (kurang dari 2,5 %), mempunyai kekuatan dan ketangguhan lebih
tinggi daripada baja karbon dengan kadar karbon yang sama atau
mempunyai keuletan lebih tinggi daripada baja karbon dengan kekuatan
yang sama. Baja jenis ini biasanya digunakan untuk perkakas seperti pahat
kayu, poros dan gergaji.
2. Baja paduan menengah (Medium Alloy Steel)
Baja paduan menengah merupakan baja dengan paduan elemen 2,5
% - 10 %. Unsur-unsur yang terdapat pada baja jenis ini diantaranya Cr,
Mn, Ni, S, Si, P dan lain-lain.
3. Baja paduan tinggi (High Alloy Steel)
Baja paduan tinggi merupakan baja paduan dengan kadar unsur
paduan lebih dari 10 %. Unsur-unsur yang terdapat pada baja jenis ini
diantaranya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, dan P. (Syahri et al., 2017).
2.2.3 Baja ST37
Baja ST37 adalah baja yang digunakan untuk konstruksi jembatan,
perkapalan dan industri perpipaan. Dengan kekerasan ± 170 HB dan
kekuatan tarik 650 - 800 N/mm2. Secara umum baja ST 37 dapat
digunakan langsung tanpa mengalami perlakuan panas, kecuali jika
diperlukan pemakaian khusus . Baja ST37 mempunyai kadar karbon
13
sebesar 0,13 % dan tergolong dalam baja karbon rendah. Komposisi kimia
baja ST37 dapat dilihat pada Tabel (Mardina, 2018).
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Baja ST37
Sumber RDX : LIPI Laboratory, 2016
14
2.3 Bending
Proses bending adalah proses pembengkokan atau penekukan.
Gaya-gaya yang terjadi pada proses bending saling berlawanan arah. Pada
proses bending, stress hanya terjadi pada bagian radius yang membentuk,
sedangkan pada bagian yang rata tidak terjadi stress. Material pada bagian
luar radius tertarik dan mulur, sedangkan pada radius bagian dalam terjadi
sebaliknya yaitu compression-stress. Karena itu, bila terjadi kerusakan
proses, maka pada radius bagian luar akan terjadi crack dan kerutuan pada
radius bagian dalam.
Gambar 2.2 Gaya-gaya yang bekerja pada proses bending
Sumber: (Rony Sudarman Theryo, (2009)
2.3.1 Sumbu Netral (Neutral Axis)
Dikarena radius sheet metal bagian luar terjadi gaya tarik dan pada
bagian dalam terjadi gaya tekan, maka akan ada daerah pertemuan yang
tidak ada gaya tarik ataupun gaya tekan. Titik-titik tersebut bila disambung
akan menjadi garis yang disebut sumbu netral (neutral axis). Walaupun
namanya sumbu netral, tetapi tidak selalu berada tepat di tengah-tengah
antara kedua sisi. Karena panjang dari sumbu netral masih tetap sama
15
dengan panjang material aslinya, maka dipakai untuk perhitungan
panjangnya material bukaan (development material).
Gambar 2.3 Gaya-gaya tarik dan tekan pada proses bending
Sumber: (Rony Sudarman Theryo, 2009)
Beberapa hal yang mempengaruhi letak sumbu netral tersebut
antara lain sebagai berikut:
a. Bila tebal material sama dan bending radius mengecil, maka sumbu
netral akan bergerak kedalam.
b. Bila bending radius sama dan tebal material bertambah, maka
sumbu netral akan bergerak kedalam.
c. Bila bending radius dan tebal material sama dan sudut bengkok
(degree of bend) bertambah, maka sumbu netral akan bergerak kedalam.
Beberapa hal diatas sering kali akan menyebabkan melesetnya
perhitungan blank development, sehingga masih perlu adanya perubahan-
perubahan setelah trial.
16
Gambar 2.4 Radius yang relatif besar pada proses bending
Sumber: (Rony Sudarman Theryo, 2009)
1
Gambar 2.5 Radius yang relative kecil pada material yang relative tebal
Sumber: (Rony Sudarman Theryo, 2009)
2.3.2 Springback
Perbedaan gaya pada proses bending mengakibatkan terjadinya
springback, dimana pada radius bagian luar terjadi gaya tarik menuju
sumbu netral dan gaya tekan pada radius bagian dalam. Design produk
yang baik, gaya tarik tidak boleh melebihi ultimate tensile strength dari
material. Bila hal ini di langgar, maka akan terjadi kegagalan pada material
(crack).
17
Gambar 2.6 Changing stress pattern in a bend
Sumber: Rony Sudarman Theryo, 2009)
Gambar 2.7 Springback forces
Sumber: (Rony Sudarman Theryo, 2009)
Bila kita akan memancang bedning die, maka perlu
memperhitungkan faktor springback yang akan terjadi setelah gaya-gaya
pada material (produk) dibebaskan. Springback tergantung pada jenis
material. Karena adanya springback, sudut die bending 1 tidak akan
menentukan secara tepat sudut pada produk yang di inginkan 2. Rasio
sudut ini disebut faktor springback KR, yang tergantung pada spesifikasi
material (sheet metal thickness) atau r/s:
18
𝛼1𝛼1 =𝛼1𝛼1
𝛼2𝛼2=
𝑟𝑖1 + 0,5 𝑥𝑠
𝑟𝑖2 + 0,5 𝑥𝑠
Keterangan :
𝛼 = 𝑆𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑑𝑖𝑒 (°)
𝑥 = 𝑆𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛 (°)
𝑠 = 𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 (𝑚𝑚)
𝑟𝑖 = 𝑅𝑎𝑑𝑖𝑢𝑠 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 (𝑚𝑚)
Gambar 2.8 Elastic recovery after bending
Sumber: (Rony Sudarman Theryo, 2009)
2.3.3 Minimum Radius Bending
Untuk supaya hasil bending tidak sobek atau berkerut maka setiap
kali merencanakan proses bending harus selalu memperhatikan minimum
bending radius. Adapun cara mencari minimum bending radius dapat
menggunakan rumus berikut ini :
Minimum bending radius (Rmin) = 𝐶 × 𝑆
Dimana :
S = tebal sheet metal, round bar atau pipa (mm)
C = nilai konstan tergantung dari jenis material
19
Tabel 2.2 Tabel nilai c untuk radius bending minimum
2.4 Momen gerakan gaya
Momen adalah hasil gaya dikali jarak dari titik tersebut sampai ke garis
kerja gaya. Apabila momen bekerja ke arah kanan (searah jarum jam) makan
dinamakan momen positif (+), sebaliknya apabila momen bekerja berlawanan
arah jarum jam maka momen tersebut dinamakan momen negatif (-).
Gambar 2.9 Skema Momen Sederhana
Karena gerakan gaya itu memutar maka momen gaya tersebut sama besarnya
dengan besar gaya yang dikalikan dengan jarak. Maka besar momen yang terjadi
adalah :
20
M = F x L ...................................
Dimana :
M = Momen gaya (N/cm, kgf.cm)
F = Gaya (kg)
L = Panjang lengan (cm)
2.5 Deformasi Plastis
Proses perubahan bentuk yang terjadi diakibatkan dari tegangan yang
melampaui kekuatan dari bahan tersebut sehingga mengakibatkan
penampang/permukaan bahan mengalami tarikan atau tekukan permukaaan bagian
luar mengalami perpanjangan dan permukaan pada bagian dalam terjadi tekukan
akibat tarikan/gaya yang bekerja pada bahan tersebut. Deformasi plastis inilah
yang terjadi pada proses penekukan pipa, karena pipa mengalami gaya tarik yang
bekerja memutar pada sebuah titik sumbu.
2.6 Proses pengerjaan dingin
Proses Pengerjan Dingin atau Cold Working Process (CWP) adalah proses
pembentukan logam yang dilakukan di daerah suhu di bawah temperatur
rekristalisasi (temperatur ruang atau tanpa pemanasan).Pada proses ini terjadi
peristiwa pengerasan regangan (strain hardening) dimana logam terdeformasi
plastis sehingga logam menjadi makin kuat, keras namun makin getas (brittle).
Deformasi yang diijinkan terjadi adalah relatif kecil agar tidak terjadi retak karena
sifat getas logam akibat pengerasan regangan.
Keuntungan proses pengerjaan dingin ini diantara lain seperti kondisi
permukaan produk lebih baik karena tidak ada kerak/sisik akibat oksidasi saat
21
pemanasan seperti pada proses pengerjaan panas, naiknya kekerasan dan kekuatan
logam, Tanpa pemanasan dan Kontrol dimensi lebih baik.
Adapun kekurangan dari proses pengerjaan ini diantara lain yaitu perlu
gaya yang lebih besar dari pada proses HWP untuk membuat benda kerja
mengalami deformasi plastis, perlu peralatan yang lebih kuat, sebelum proses
permukaan harus bersih dari terak, Benda kerja (work piece) makin getas akibat
pengerasan regangan (penanggulangan dengan annealing/perlakuan pemanasan),
adanya tegangan sisa (residual stress).
2.6.1 Macam- macam CWP
1. Cold Rolling (pengerolan dingin)
Prosesnya sama dengan hot rolling namun tanpa pemanasan dan hasilnya
lebih akurat ukuran dimensinya.
2. Cold Swaging (pemukulan dingin)
Proses ini biasanya menggunakan mesin swaging rotary Yang mana benda
kerja dimasukkan dalam cetakan lalu ditekan hingga keluar.
3. Cold Forging (penempaan dingin)
Biasanya digunakan untuk memproduksi baut, paku dan keling dll.
4. Cold Extrusion (penekanan dingin)
Biasa disebut impact extrusion dengan produk antara lain poros dan rotor
untuk kompresor pendingin, baut dll.
2.7 Pengujian Kekerasan Material
Kekerasan merupakan salah satu sifat mekanik dari logam. Pengujian
kekerasan secara luas digunakan dalam proses heat treatment. Kekerasan sulit
didefinisikan karena memiliki arti yang berbeda sesuai dengan bidang
22
pemakaiannya, pada pengujian logam kekerasan didefinisikan sebagai ketahanan
suatu logam terhadap indentasi (Penekanan) sedangkan didalam mineralogi
kekrasan merupakan ketahanan suatu material terhadap goresan dengan
menggunakan standart kekerasan.
Hubungan kekerasan sebanding dengan kekuatan logam dimana
kekerasan suatu logam akan meningkat maka kekuatan logam tersebut akan
cenderung meningkat, namun nilai kekerasan ini berbanding terbalik dengan
keuletan logam. Tingkat kekrasan bahan yang tinggi belum menjamin bahwa
komponen mesin memiliki kekuatan (Ketahanan) untuk menerima beban.
Hardness Tester / uji kekerasan merupakan salah satu cara untuk
mengetahui keuletan atau kekuatan suatu meterial sedangkan kekerasan itu
sendiri (hardeness) ialah salah satu sifat mekanik dari suatu meterial selain sifat
fisik dan teknologi yang dimilikinya. Dari berbagai referensi rumus untuk
pengujian kekerasan ada 3 yaitu: (Metode Brinell, Metode Vickers, Metode
rockwell), metode yang saya gunakan yaitu:
2.7.1 Metode Vikers
Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida bujur
sangkar dengan sudut 136°, ditekan kedalam bahan dengan gaya F selama waktu
tertentu, Setelah piramida diangkat diagonal bekas tekanan tetap. Prinsip
pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan
berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada
mikroscop pengukur jejak. Nilai kekerasan suatu material :
23
𝐷𝐻𝑃 =2𝑃 sin(
𝜃
2)
𝐿2=
1,854 × 𝑃
𝐿2
Dimana :
P = beban yang diterapkan (kg)
L = panjang diagonal rata-rata (mm)
𝜃 = sudut antara permukaan intan yang berlawanan (136°)
Uji kekerasan Vikers banyak dilakukan pada pekerjaan penelitian karena
metode tersebut memberikan hasil berupa skala kekerasan yang kontinu untuk
suatu beban tertentu dan digunakan pada logam yang sangat lunak yaitu DHP 5
hingga logam yang sangat keras dengan DHP 1500. Beban yang bisanya
digunakan pada uji Vikers antara 1 hingga 120 kg, tergantung pada kekerasan
logam yang akan diuji. Hal – hal yang menghalangi keuntungan pemakaian
metode Vikers adalah uji kekerasan Vikers tidak dapat digunakan untuk
pengujian rutin karena pengujian tersebut lamban, memerlukan persiapan
permukaan benda uji yang hati – hati dan terdapat pengaruh kesalahan manusia
yang besar pada penentuan panjang diagonal.
top related