bab ii tinjauan pustaka 1. perkawinan a. pengertian …repository.untag-sby.ac.id/1709/2/bab...
Post on 28-Oct-2019
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi
yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam
budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim
dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara
pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk
keluarga. Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan
tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan
mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan.
Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Umumnya perkawinan harus diresmikan dengan pernikahan.8
Pengertian Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, pada pasal 1, yaitu: “Ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada
Pasal 1, yaitu Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
untuk mentaati perintah ALLAH dan melaksanakannya merupakan ibadah.
8Wikipedia, “Pengertian Tentang Perkawinan”,
<https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan>, tanggal di akses 18 Juni 2017.
13
Menurut Prof. Subekti, SH perkawinan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Sedangkan
pengertian perkawinan menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH
mengatakan perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan
hukum perkawinan.
b. Syarat-Syarat dan Sahnya Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
sahnya suatu perkawinan adalah merujuk pada dasar hukum sebegai berikut:
Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 3
(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
14
(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
15
Sedangkan didalam Kompilasi Hukum Islam, Dasar-dasar perkawinan
tertulis didalam Bab II, yaitu:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1). Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2). Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun
1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1). Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan Hukum.
16
Pasal 7
(1). Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
(2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3). Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-
hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
d. Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang
No.1 Tahun 1974 dan;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4). Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan
itu.
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai
berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar
talak, khuluk atau putusan taklik talak.
17
Pasal 9
(1). Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan
sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2). Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh,
maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh
dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Rahun 1974,
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Syarat perkawinan bersifat materiil disimpulkan dari pasal 6 sampai
dengan pasal 11 pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai
berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya,
apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang
tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada
penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
18
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
b. Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UUP
Nomor 1 Tahun 1974 direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Secara singkat syarat formal
ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus
memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di
mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan
sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang
tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama,
tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti,
apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam
daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan
membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan yang memuat antara lain:
19
Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.hari
tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9).
4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua
calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat
secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai
Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami
dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).
Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), syarat-syaratnya yaitu:
1. kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-
undang, yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun.
2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak
3. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari
dahulu setelah putusnya perkawinan pertama
4. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak
5. Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua
atau walinya.
6. Asas Monogami yang mutlak (Pasal 27 KUHPerdata)
Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai bukti adanya perkawinan. Bukti
adanya perkawinan ini diperlukan kelak untuk melengkapi syarat-syarat
administrasi yang diperlukan untuk membuat akta kelahiran, kartu keluarga dan
20
lain-lain. Dalam KUHPerdata, pencatatan perkawinan ini diatur dalam bagian ke
tujuh Pasal 100 danPasal 101. Dalam Pasal 100, bukti adanya perkawinan adalah
melalui akta perkawinan yang telah dibukukan dalam catatan sipil. Pengecualian
terhadap pasal ini yaitu Pasal 101, apabila tidak terdaftar dalam buku di catatan
sipil, atau hilang maka bukti tentang adanya suatu perkawinan dapat diperoleh
dengan meminta pada pengadilan. Di pengadilan akan diperoleh suatu keterangan
apakah ada atau tidaknya suatu perkawinan berdasarkan pertimbangan hakim.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Syarat-syarat
perkawin sebagai berikut:
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
perkawinan dinyatakan sah adalah:
a. Syarat Umum
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan
dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan
perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al
Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh
21
mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22),
(23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena hubungan darah,
semenda dan saudara sesusuan.
b. Syarat Khusus
1. Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.Calon mempelai laki-
laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (conditio sine qua non),
absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu
tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam
menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini
menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah
mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam
suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah
mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut
asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan
perkawinan.
2. Harus ada wali nikah. Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul
SAW yang diriwayatkanBukhari da n Muslim dari Siti Aisyah, Rasul
SAW pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan
Hambali berpandangan walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya
tetap sah.
c. Tata Cara Perkawinan
Agama Islam menggunakan tradisi perkawinan yang sederhana, dengan
tujuan agar seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara
22
yang sederhana itu nampaknya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya."9
Namun sebelum perkawinan dilaksanakan, kedua calon mempelai
dianjurkan melakukan persiapan sebagai berikut:
a. Meminta pertimbangan. Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan
untuk mempersunting seorang wanita untuk menjadi isterinya, hendaklah
ia juga minta pertimbangandari kerabat dekat wanita tersebut yang baik
agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal
wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan
pertimbangan dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang akan
dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari
kerabat dekatnya yang baik agamanya.10
b. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah
mereka saling cinta atau setuju dan apakah kedua orangtua mereka
menyetujui atau merestui. Ini erat kaitannya dengan surat-surat
persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orangtua yang belum
berusia 21 tahun.
c. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik
menurut munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan
9Wikipedia, Ibid, tanggal di akses 18 Juni 2017. 10Kandanggudel.wordpress, tata cara pernikahan yang islami,
http://kandanggudel.wordpress.com/2009/05/01/proses-tata-cara-pernikahan-yang-islami/, tanggal
di akses 20 Juni 2017.
23
yang berlaku. (Untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan
perkawinan).
d. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang
pembinaan rumah tangga hakdan kewajiban suami istri dan sebagainya.
e. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan
calon memepelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada calon
memepelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.11
Setelah melakukan persiapan, berikut beberapa tata cara melangsungkan
sebuah perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 juncto:
1. Pemeriksaan Kehendak Nikah.
a) Sesuai Pasal 3
Setiap orang yang yang akan melangsungkan perkawinan harus
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Nikah
ditempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut
dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu
tersebut disebabkan sesuatu alasan yang penting, sehingga dapat
diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
b) Sesuai Pasal 4
Pemberitahuan secara lisan tertulis oleh calon mempelai, atau oleh
orang tua atau wakilnya.
11M-alwi, Prosedur pernikahan dan rujuk di KUA, http://m-alwi.com/prosedur-
pernikahan-dan-rujuk-di-kua.html, Tanggal diakses 20 Juni 2017.
24
c) Sesuai Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur,agama/kepercayaan, pekerjaan,
tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya
terdahulu. Surat persetujuan dan keterangan asal-usul.
d) Sesuai Pasal 6
Pegawai Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-undang.
Selain penelitian terhadap hal di atas Pegawai Pencatat Nikah meneliti
pula terhadap:
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam
hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan
surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai
yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
tinggal orang tua calon mempelai;
c. Izin tertulis/izin dari Pengadilan Agama sebagai dimaksud dalam Pasal
6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun.
25
d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal
calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
e. Surat Dispensasi dari Pengadilan Agama yang dimaksud adalah bagi
calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon
mempelai istri yang belum mencapai umur16 tahun.
f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal
perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua
kalinya atau lebih;
g. Surat Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak
dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga
mewakilkan kepada orang lain.
2. Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada
sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan
pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum. Sesuai dengan Pasal 9, pengumuman tersebut
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
26
1) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari
calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah
seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan
atau suami mereka terdahulu.
2) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Surat pengumuman itu selama 10 hari sejak ditempelkan tidak boleh
diambil atau dirobek (Pasal 8 dan 9 PP 9/75 jo. Pasal PMA 3/75).
3. Pelaksanaan Akad Nikah
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah seperti yang dimaksud dalam
Pasal 8 Peraturan Pemerintah. Namun, bilamana dalam tenggang waktu satu bulan
terhitung sejak pengumuman kehendak kawin, perkawinan tersebut tidak
dilangsungkan maka perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan kembali kecuali
setelah diulangi lagi pengumuman kembali untuk kedua kalinya seperti semula.
Sedangkan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan mengindahkan tatacara perkawinan
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Dan
bagi mereka yang melangsungkan Perkawinan menurut Agama Islam, maka Akad
Nikahnya dilakukan oleh wali Nikah atau yang mewakilinya.
4. Mendapatkan Akta Pekawinan.
Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah, maka kedua mempelai menandatangani
27
akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh
mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai
Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang
mewakilinya.
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi. Adapun Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua),
helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada
Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.
Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan. Dan
di dalam Akta perkawinan memuat:
a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat kediaman suami-isteri, apabila salah seorang atau keduanya
pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua
mereka.
c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-
undang.
d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang.
e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang.
f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang.
28
g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi
anggota Angkatan Bersenjata.
h. Perjanjian perkawinan apabila ada.
i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para
saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman
kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.12
Tata cara perkawinan ditentukan dalam pasal 10 dan pasal 11 pada
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sebagai berikut:
1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu.
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan
dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang
saksi.
Disamping itu sesuai dilangsungkannya perkawinan, kemudian
dilaksanakan penandatanganan akta perkawinan sesuai peraturan sehingga
urutannya sebagai berikut:
12Hukum Online, Tata Cara perkawinan Menurut Hukum yang ada di Indonesia,
http://www.hukumonline.com/tata-cara-perkawinan-menurut-hukum-yang-di-
indoensia.html, Tanggal diakses 20 Juni 2017
29
1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan
ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai
Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang
menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah yang
mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.
2. Perkawinan Campuran
a. Pengertian Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 berbeda dengan perkawinan campuran yang terdapat dalam S. 1898/158.
Menurut Pasal 57 UUP pengertian perkawinan campuran adalah:
“Perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hokum
yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah
sebagai berikut:
a. Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
30
b. Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan
c. Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
d. Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
Sedangkan perkawinan campuran menurut S. 1898/158 Pasal 1 nya menyebutkan:
“Perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di
Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.”
Kalau dibandingkan perkawinan campuran menurut pasal 57 UUP dengan
perkawinan campuran menurut S. 1898/158 adalah sebagai berikut:
1. perkawinan campuran menurut pasal 57 UU No. I/1974 ruang
lingkupnya lebih sempit karena hanya berbeda kewarganegaraan
dan salah satu pihaknya harus warga Negara Indonesia.
2. Perkawinan campuran menurut S. 1898/158 ruang lingkupnya
lebih luas karena selain berbeda kewarganegaraan juga perkawinan
dapat dilakukan karena perbedaan agama, tempat, dan golongan.
Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam
perkawinan campuran, yaitu13:
a. Perkawinan Campuran Antar Golongan (intergentiel)
Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau
timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau
berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan
hukum yang berlainan. Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan
orang Indonesia.
13Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta, Prestasi Pustaka
Publiser, 2006, Halaman 242.
31
b. Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocaal)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang
Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya,
orang Minang kawin dengan orang Jawa.
c. Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocaal)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang
masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang
berlainan. Misal Orang Islam dengan orang Kristiani.
Berkaitan dengan status sang istri dalam perkawinan campuran, terdapat
asas, yaitu14:
a. Asas Mengikuti
Sang istri mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan
dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan.
b. Asas Persamarataan
Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan
seseorang, dalam arti mereka masing-masing (suami dan istri)
bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan.
b. Tata Cara Perkawinan Campuran
Untuk melakukan perkawinan di luar Indonesia, yang bersangkutan harus
dapat membuktikan bahwa dia telah memenuhi syarat-syarat perkawinan yang
ditentukan oleh hukum yang berlaku baginya dan tidak melanggar ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan surat keterangan dari pejabat yang
14Ibid, hal. 244
32
berwenang. Surat keterangan tersebut berisi bahwa syarat-syarat perkawinan telah
terpenuhi sebagaimana UUP Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal ini surat keterangan
dari Kantor Urusan Agama bila akan menikah di luar negeri, dan surat keterangan
dari Pejabat berwenang bagi calon pengantin berwarga negara asing (baik dari
kedutaan besar di Indonesia atau dari pejabat berwenang dinegara asal), dengan
melampirkan terjemahan dari lembaga resmi bila perkawinan itu dilakukan di
Indonesia. Jika pejabat berwenang itu menolak untuk memberikan surat
keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan dapat
memberi keputusan apakah penolakan itu beralasan atau tidak. Jika penolakan itu
diputuskan tidak beralasan maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti
surat keterangan tersebut diatas.
Tata cara perkawinan campuran di atur dalam Pasal 59 ayat (2) sampai
dengan Pasal 61 ayat (1) UUP Nomor 1 Tahun 1974, yang menentukan sebagai
berikut:
1. Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-Undang Perkawinan ini.
2. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti
bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang
relatif dipenuhi dan karena itu tidak untuk melangsungkan perkawinan
campuran, maka mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi
pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan
surat keterangan bahwa syarat-syarat telah terpenuhi.
33
3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat
keterangan itu maka atas permintaan yang berkepentingan Pengadilan
memberikan keputusan dengan tidak boleh dimintakan banding
tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu
beralasan atau tidak.
4. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut dalam Pasal
60 ayat (3) UUP Nomor 1 Tahun 1974.
5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan
dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
6. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
3. Tinjauan Tentang Anak
a. Pengertian Anak
Pengertian anak secara khusus dapat diartikan menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1), bahwa
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Anak sebagai generasi
penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu dipersiapkan sejak dini melalui
pemenuhan hak-haknya yakni hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
34
Anak dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai
keturunan,anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil.
Selain itu,anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa
perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.15
Berikut ini uraian tentang pengertian anak menurut beberapa peraturan
perundang-undangan:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana diletakkan dalam
pengertian seorang anak yang belum dewasa, sebagai orang yang
mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapatkan perlindungan
menurut ketentuan hukum yang berlaku. Pengertian anak dalam hukum
pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi
anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan
tanggung jawab yang pada akhirnya anak tersebut berhak atas
kesejahteraan yang layak.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum.
Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “ Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan”.
15Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1988,
Halaman 30.
35
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
korban adalah anak yang belum berumjur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana.
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum.
Pasal 1 angka 5 menyebutkan “ anak adalah setiap manusia yang
berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk
anak yang masih ada dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya”.
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang kesejahteraan anak, terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum.
Pasal 1 angka 2 menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum
mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.
b. Hubungan Orangtua Dengan Anak
Orang tua mempunyai kekuasaan tertentu atas anaknya. Kedua orang tua
mernpunyai kewajiban untuk metnelihara dan mendidik anaknya sebaik mungkin
sampai anak tersebut kawin atau dianggap dapat berdiri sendiri. Begitu pula
36
sebaliknya, anak harus menghormati dan mentaati kehendak orang tuanya. Orang
tua juga wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran dan terdaftar sebagai
WNA, umumnya akan mengalami kesulitan ketika ayahnya yang WNA bercerai
dengan ibunya yang WNI karena Pengadilan dari suami yang berkewarganegaraan
lain akan menyerahkan tanggung jawab pengasuhan kepada ayahnya. Begitu pula
ketika ayahnya meninggal, status anak tetap saja mengikuti kewarganegaraan
ayahnya sampai anak tersebut dewasa untuk menentukan kewarganegaraannnya
sendiri. Hal ini tentu saja akan membuat kondisi arak dan ibunya dalam keadaan
yang sulit.
Hubungan orang tua dan anak ini termasuk dalam bidang onderlijke macht
atau kekuasaan orang tua. Di Indonesia, hubungan kedua orang tua dan anak
ditentukan oleh hukum sang ayah. Status anak sendiri dibagi dalam 2 bagian,
yaitu16:
1. Anak yang sah, yaitu anak yang lahir dalam perkawinan orang
tua.
2. Anak tidak sah, dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu anak yang
lahir dari hubungan incest, anak yang lahir dari perzinahan, dan
anak yang lahir di luar nikah.
16Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International
Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada 1997), Halaman 41.
37
c. Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 2). Perlindungan anak di Indonesia
berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia
Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materiil spiritual
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang 1945.17 Upaya-upaya perlindungan
anak harus dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal
bagi pembangunan bangsa dan negara.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak
dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan
kewajiban memberikan perlindungan kepada anak
berdasarkan asas-asas yaitu:
a. Nondiskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
17Nashriana, Perlindungan Hukum bagi Anak di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2011,
halaman.1.
38
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Upaya perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga
perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, organisasi sosial, media massa, atau lembaga pendidikan. Jadi,
demi pengembangan manusia seutuhnya dan peradaban setiap orang wajib
mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan
dirinya. Setiap anak memiliki hak untuk melaksanakan kewajibannya untuk
memperjuangkan kelangsungan hidupnya, tumbuh kemban dirinya, dan
perlindungan bagi dirinya.
4. Kewarganegaraan
a. Pengertian Tentang Kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan hubungan yang paling sering dan kadang-
kadang hubungan satu-satunya antara seorang individu dan suatu negara yang
menjamin diberikannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu itu pada
hukum internasional. Kewarganegaraan dapat sebagai etudes keanggotaan
kolektivitas individu-individu di mana tindakan, keputusan dan kebijakan mereka
diakui Melalui konsep hukum negara yang mewakili individ- individu itu.18
Kewarganegaraan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Kewarganegaraan Nomor 12 tahun 2006 adalah segala ihwal yang berhubungan
dengan warga negara. Hak atas kewarganegaraan sangat penting artinya karena
merupakan bentuk pengakuan asasi suatu negara terhadap warga negaranya.
18J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesembilan, Jakarta, Aksara
Persada, 1989, Halaman 125.
39
Adanya status kewarganegaraan ini akan memberikan kedudukan khusus bagi
seorang Warga Negara terhadap negaranya di mana mempunyai hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik dengan negaranya. Indonesia telah
memberikan perlindungan hak anak atas kewarganegaraan yang dicantumkan
dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di
mana disebutkan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri
dan status kewarganegaraan.
Dengan adanya hak atas kewarganegaraan anak maka Negara mempunyai
kewajiban untuk melindungi anak sebagai Warga Negaranya dan juga
berkewajiban untuk menjamin pendidikan dan perlindungan hak-hak anak lainnya
Semula, untuk menentukan kewarganegaraan seseorang didasarkan atas 2 asas,
yaitu :
1. Asas Tempat Kelahiran (ius Soli), yaitu asas yang menetapkan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahirannya. Asas ini
dianut oleh negara-negara migrasi seperti USA, Australia, dan Kanada.
Untuk sementara waktu asas ius soli menguntungkan, yaitu dengan
lahirnya anak-anak dari para imigran di negara tersebut maka putuslah
hubungan dengan negara asal. Namun dalam perjalanannya, banyak
negara yang meninggalkan asas ias soli, seperti Belanda, Belgia dan
lain-lain.
2. Asas Keturunan (Ius Sanguinis), yaitu asas yang menetapkan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan kewarganegaraan orang
tuanya (keturunannya) tanpa mengindahkan di mana dilahirkan. Asas
40
ini dianut oleh negara yang tidak dibatasi oleh lautan seperti Eropa
Kontinental dan Cina.
Keuntungan dari asas ius sanguinis adalah19:
1. Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga negara.
2. Tidak akan memutuskan hubungan antara negara dengan warga negara
yang lain.
3. Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme.
4. Bagi negara daratan seperti Cina, yang tidak menetap pada suatu negara
tertentu, tetapi keturunan tetap sebagai warga negaranya meskipun lahir
di tempat lain (negara tetangga).
b. Status Kewarganegaraan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dalam Pasal 4 UUP Nomor 12 Tahun 2006, dijelaskan bahwa: “Warga
Negara Indonesia” adalah :
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perUndang-Undangan dan
atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI dengan negara lain sebelum
Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia.
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing.
19Titik Triwulan Tutik, Op.cit, Halaman 234
41
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia.
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang seorang ibu
Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut.
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya
Warga Negara Indonesia.
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia.
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun saat belum kawin. i. Anak yang lahir di
wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu tidak jelas status
kewarganegaraan ayah dan ibunya.
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui. k. Anak yang lahir di
wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak
mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan
42
dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraan dari ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Dalam Pasal 5 sampai Pasal 6 UUP Nomor 12 Tahun 2006, dijelaskan
status kewarganegaraan anak tersebut, yaitu:
Pasal 5
(1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum
berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya
yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
(2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat
secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan
pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Pasal 6
(1) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal
5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan
dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
43
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin.
top related