bab ii tinjauan pustaka a. konsep dasar diabetes …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1317/8/bab...
Post on 26-Feb-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Diabetes Melitus
1. Pengertian diabetes melitus
Diabetes adalah suatu kelompok heterogen penyakit yang ditandai dengan
gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, sehingga
menyebabkan peningkatan pada kadar gula darah (Kumar, et al., 2003). Menurut
American Diabetes Association (2014), diabetes adalah sekumpulan gangguan
metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang diakibatkan oleh gangguan
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Sedangkan World Health Organization
(2017) mendefinisikan diabetes melitus sebagai suatu penyakit kronis yang terjadi
karena pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau ketika tubuh tidak mampu
menggunakan insulin yang dihasilkan dengan efektif.
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit dengan gejala konsentrasi
glukosa dalam darah yang meningkat (hiperglikemia) dan lama kelamaan dapat
menimbulkan terjadinya komplikasi kronis pada mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah (Soegondo, 2011). Price and Wilson mendefinisikan diabetes
melitus sebagai gangguan metabolisme genetis dan klinis dengan manifestasi
hilangnya toleransi karbohidrat. Seseorang dapat dikatakan menderita diabetes
melitus apabila kadar glukosa darah puasa antara 110-126 mg/dl, glukosa darah
sewaktu bernilai ≥ 200 mg/dl, atau glukosa darah dua jam post prandial bernilai
140-200 mg/dl.
14
Jadi dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus adalah penyakit metabolik
karbohidrat, lemak, dan protein akibat gangguan produksi insulin, kerja insulin,
atau keduanya yang mengakibatkan konsentrasi glukosa dalam darah meningkat.
2. Klasifikasi diabetes melitus
Diabetes melitus diklasifikasi menjadi beberapa tipe yang berbeda
berdasarkan penyebab, perjalanan klinis, dan terapinya. Menurut Sembulingam and
Sembulingam (2012), klasifikasi diabetes primer menjadi dua tipe, Tipe I dan Tipe
II. Diabetes melitus tipe I disebabkan kurangnya insulin karena rusaknya sel ß pada
islet Langerhans di pankreas. Diabetes tipe ini bisa terjadi pada semua usia, namun
pada umumnya terjadi sebelum berusia 40 tahun dan penderita memerlukan injeksi
insulin. Maka dari itu, diabetes tipe ini disebut insulin-dependent diabetes mellitus
(IDDM).
Diabetes melitus tipe II diakibatkan karena resistensi insulin (kegagalan
reseptor insulin untuk memberikan respon insulin). Maka dari itu, tubuh tidak bisa
menggunakan insulin. Sekitar 90% dari pasien diabetes memiliki DM Tipe II. DM
Tipe II biasanya muncul setelah 40 tahun. Tidak semua penderita DM Tipe II
memerlukan insulin. Pada beberapa kasus, glukosa darah bisa dikontrol dengan
obat hipoglikemi oral sehingga DM Tipe II disebut juga noninsulin-dependent
diabetes mellitus (NIDDM. Struktur dan fungsi sel ß dan level insulin dalam darah
biasanya nornal, namun insulin reseptor bisa berkurang, tidak ada atau tidak normal
yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Penyebab dari resistensi insulin
antara lain: a) keturunan, b) perubahan gaya hidup seperti kebiasaan makan yang
buruk, kurangnya aktifitas fisik yang menyebabkan obesitas, c) setres.
(Sembulingam et al., 2012).
15
3. Patologi diabetes melitus
Gangguan pada produksi maupun aksi insulin akan mengakibatkan
gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkan.
Mekanisme yang mendasarinya ini bermula dari hambatan dalam penggunaan
glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah. Secara
klinis gejala yang timbul ini disebut gejala diabetes. Pada diabetes melitus tipe I,
gangguan metabolisme glukosa terjadi akibat adanya destruksi sel beta, umumnya
mengarah ke defisiensi insulin absolut, sedangkan pada DM tipe II gangguan
tersebut bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi
insulin (Sudoyo, 2009)
Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe II,
yang ditandai dengan adanya gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja
insulin (resistensi insulin) pada organ target terutama hati dan otot. Otot adalah
pengguna glukosa yang paling banyak sehingga resistensi insulin mengakibatkan
kegagalan ambilan glukosa oleh otot. Resistensi insulin pada diabetes melitus tipe
II disertai dengan penurunan reaksi intrasel sehingga insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Smeltzer and Bare, 2008).
Pada mulanya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis.
Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan
menimbulkan suatu keadaan hiperinsulinemia dimana glukosa darah masih normal
atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta
pankreas, akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan
terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis
16
diabetes melitus. Pada diabetes melitus tipe II, jumlah insulin normal atau mungkin
jumlahnya banyak, namun kuantitas reseptor insulin pada membran sel berkurang,
sehingga jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa di
intravaskular meningkat (Sudoyo, 2009).
Pada awalnya, kondisi resistensi insulin ini dikompensasi oleh peningkatan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Seiring dengan progresifitas penyakit maka
produksi insulin ini berangsur menurun menimbulkan klinis hiperglikemia yang
nyata. Hiperglikemia awalnya terjadi pada fase setelah makan saat otot gagal
melakukan ambilan glukosa dengan optimal. Pada fase berikutnya dimana produksi
insulin semakin menurun, maka terjadi produksi glukosa hati yang berlebihan dan
mengakibatkan meningkatnya glukosa darah pada saat puasa. Hiperglikemia yang
terjadi memperberat gangguan sekresi insulin yang sudah ada (Sudoyo, 2010).
4. Komplikasi diabetes melitus
Terdapat dua jenis komplikasi DM yaitu komplikasi akut dan komplikasi
kronis. Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang paling umum dan berhubungan
dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga
komplikasi tersebut adalah: hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan sindrom
HHNK (juga disebut koma hiperglikemik hiprosmolar nonketotik atau HONK
[hiperosmoler nonketotik]) (Smeltzer and Bare, 2008).
Menurut Price and Wilson (2006) komplikasi kronik jangka panjang pada
DM melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-
pembuluh sedang dan besar (makroangiopati). Makroangiopari diabetik memiliki
gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia
yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit
17
vaskular ini. Gangguan yang muncul berupa: (1) penimbunan sorbitol dalam intima
vaskular, (2) hiperlipoproteinimia, dan (3) kelainan pembekuan darah. Pada
akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular.
Jika mengenai arteri perifer dapat menyebabkan insufisiensi vaskular perifer yang
disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi
serebral dan stroke. Jika yang penyumbatan terjadi di atreri koronaria dan aorta,
maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium Selanjutnya
mikroangiopati diabetik adalah lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetik), glomerolus ginjal (nefropati diabetik), dan
saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot, serta kulit yang ditandai dengan
peningkatan penimbunan glikoprotein
Salah satu komplikasi yang paling banyak ditemui pada penderita DM
adalah neuropati. Neuropati adalah sekelompok penyakit yang menyerang semua
tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom, dan spinal. Patogenesis
neuropati pada DM dikaitkan dengan mekanisme vaskuler atau metabolik atau
kedua-duanya. Terdapat penebalan membran basalis kapiler dan penutupan kapiler.
Di samping itu, terdapat demielinisasi saraf yang diperkirakan berhubungan dengan
hiperglikemia (Boissaud-Cooke, Pidgeon and Tunstall, 2015). Hantaran impuls
pada saraf akan terganggu apabila terdapat kelainan pada selubung myelin. Dua tipe
neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah polineuropati sensorik dan
neuropati otonom (Sylvia A. Price, 2006).
Neuropati otonom diabetes mempengaruhi berbagai organ tubuh yang
mengakibatkan gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, disfungsi kandung
kemih, gangguan fungsi erektil, dan disfungsi saraf sudomotorik (Deli, et al., 2014).
18
Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkendali dengan baik (T2DM)
menyebabkan gangguan fungsi saraf sudomotor yang terkait dengan hilangnya
fungsi kelenjar keringat. 94% penderita diabetes dengan gejala neuropati
mengalami keringat abnormal. Neuropati sudomotorik menyebabkan penurunan
fungsi keringat dan kelenjar minyak. Akibatnya, kulit telapak kaki yang lebih
banyak memiliki kelenjar ekrin kehilangan kemampuan alami untuk melembabkan
kulit di atasnya dan menjadi kering dan semakin rentan terhadap terjadi luka dan
perkembangan infeksi (Clayton and Elasy, 2009).
B. Kelembaban Kulit pada Pasien Diabetes Melitus
1. Pengertian kelembaban kulit
Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar yang menutupi
dan melindungi permukaan tubuh. Pada permukaan kulit bermuara kelenjar
keringat dan kelenjar mukosa. Kulit tumbuh dari dua macam jaringan yaitu jaringan
epitel yang menumbuhkan lapisan epidermis dan jaringan pengikat (penunjang)
yang menumbuhkan jaringan dermis (kulit dalam). Kulit mempunyai susunan
serabut saraf yang berfungsi merasakan sentuhan atau sebagai alat peraba
(Syaifuddin, 2011). Selain berfungsi sebagai organ sensori, kulit juga melakukan
berbagai peran fisiologis seperti melindungi dari paparan lingkungan, menjaga
homeostasis internal, termoregulasi, fungsi kekebalan tubuh, dan metabolisme
vitamin D. Perlindungan kelembaban kulit merupakan komponen penting dari
fungsi kulit. Fungsi ini berkontribusi untuk menjaga homeostasis internal dengan
memperlambat pergerakan air dari interior tubuh, sekaligus melindungi tubuh dari
penyerapan air dan zat terlarut yang berlebihan dari lingkungan (Gray et al., 2011).
19
Kelembaban kulit adalah keadaan penurunan kadar kelembaban kulit
disebabkan karena peningkatan Transepidermal Water Lost (TEWL) akibat adanya
gangguan pada kulit yang menyebabkan penguapan air ke atmosfer. Pada lansia,
penurunan kelembaban kulit disebabkan oleh perubahan struktur lapisan kulit
berupa perubahan komposisi lipid SC dan perubahan diferensiasi epidermal (Flynn,
Petros, Clark, and Viehman, 2001).
Mekanisme perlindungan kelembaban kulit dilakukan dengan cara
memperlambat kehilangan air dari ruang subkutan, sementara secara bersamaan
menghambat penoyerapan air atau cairan lainnya yang kontak dengan permukaan
kulit (Gray et al., 2011). Jadi dapat disimpulkan bahwa kelembaban kulit adalah
keadaan kadar kelembaban pada lapisan stratum corneum yang diperoleh dari
mekanisme perlindungan kulit yang memperlambat kehilangan air dari ruang
subkutan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelembaban kulit
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kelembaban kulit.
Faktor internal:
a. Usia
Proses penuaan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi tubuh seperti
gangguan metabolik yang diawali dengan adanya obesitas sentral dan resistensi
insulin sehingga kemampuan tubuh seseorang untuk mengolah glukosa menjadi
berkurang. Selajutnya, ekskresi insulin dari sel beta pankreas menurun dan
terhambat akibat dari kompensasi yang tidak memadai dari fungsional sel beta
dalam menghadapi peningkatan resistensi insulin. (Ikram, 2004). Berkenaan
dengan faktor antropometri, penuaan dikaitkan dengan penurunan jaringan otot dan
20
peningkatan massa lemak yang menyertainya. Karena otot adalah tempat utama
ambilan glukosa, penurunan massa otot menyebabkan penurunan ambilan glukosa
secara bersamaan. Hal ini yang menyebabkan glukosa dalam darah cenderung
meningkat (Paolisso, 2001)
Insiden dan keparahan kulit kering meningkat dengan bertambahnya usia.
Pada kulit usia lanjut, terjadi pnipisan epidermis, penurunan suplai darah, cairan,
dan nutrisi ke kulit, melambatnya penyembuhan luka dan repons imun,
terganggunya termoregulasi, dan berkurangnya jumlah kelenjar minyak dan
keringat. Di tingkat seluler, terjadi penurunan produksi lipid dan natural
moisturizing factor di stratum korneum.(Bianti, 2016).
b. Obesitas
Obesitas dan diabetes adalah kedua kondisi yang terkait tidak hanya dengan
penyakit visceral tetapi juga dengan perubahan fisiologi kulit. Hidrasi stratum
korneum secara signifikan menurun dan TEWL meningkat pada pasien obesitas
diabetes Hal ini menunjukkan bahwa penderita diabetes obesitas memiliki fungsi
penghalang kulit yang terganggu yang menyebabkan kulit kering. Penelitian yang
dilakukan oleh Ibuki et al. (2018) menunjukkan bahwa tingkat hidrasi stratum
korneum secara signifikan lebih rendah pada kelompok diabetes dengan obesitas.
Trans Epidermal Water Loss (TEWL) dan tingkat advanced glycation end-products
secara signifikan lebih tinggi pada kelompok ini serta kepadatan kolagen Dermal
menurun pada kelompok obesitas-diabetes. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
diabetes dengan obesitas telah mengalami penurunan hidrasi stratum korneum,
Trans Epidermal Water Loss yang meningkat, advanced glycation end-products
21
yang lebih tinggi pada kulit dan mengurangi kepadatan serat kolagen dermal
dibandingkan dengan berat badan normal.
c. Hiperglikemia
DM mempengaruhi kulit melalui beberapa mekanisme. Kondisi
hiperglikemia sangat mempengaruhi homeostasis kulit dengan menghambat
proliferasi dan fungsi normal keratinosit, biosintesis protein, menginduksi
apoptosis sel endotel, dan mengurangi sintesis oksida nitrat. Selain hiperglikemia
menyebabkan kerusakan langsung, kadar glukosa tinggi juga menyebabkan
pembentukan AGE. Interaksi biokimia AGE adalah salah satu mekanisme yang
terlibat dalam komplikasi DM, termasuk kelainan kulit. AGE mengubah sifat
kolagen, mengurangi kelenturan dan kelarutan dan meningkatkan kekakuannya.
Sebagai contoh, Foss, et al., (2005) melakukan penelitian dengan 403 pasien DM
di Brasil dan mengevaluasi kelainan kulit dan kontrol glikemik mereka. Dengan
demikian, penelitian tersebut menunjukkan bahwa 94% pasien dengan kontrol
glikemik tidak adekuat memiliki beberapa kelainan kulit; sementara, hanya 60%
pasien DM yang memiliki kontrol glikemia yang memadai memiliki beberapa
kelainan kulit.
d. Ankle Brachial Index (ABI)
Ankle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasive
pembuluh darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis iskhemia,
penurunan perfusi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan neuropati
diabetik (Mulyati, 2009). Nilai ABI yang rendah berhubungan dengan risiko yang
lebih tinggi mengalami gangguan pada sirkulasi perifer, uji ABI ini umumnya
digunakan untuk menjelaskan ada tidaknya penyakit pembuluh darah arteri perifer,
22
dan digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit pembuluh darah arteri
perifer (Simatupang, dkk., 2013)
Bila gangguan sirkulasi terjadi pada pembuluh darah kecil, maka akan
terjadi proses neurodegenerasi. Kerusakan kapiler dan cedera sel Schwann akibat
hiperglikemia menyebabkan degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental
sehingga hantaran impuls pada saraf perifer terganggu (Kumar, et al., 2007). Hal
ini berlaku juga pada saraf sudomotorik yang mempengaruhi kinerja kelenjar ekrin
e. HbA1C
HbA1c mencerminkan glukosa plasma rata-rata selama delapan sampai 12
minggu sebelumnya. HbA1c dapat digunakan untuk mendiagnosa diabetes dan
diagnosisnya dapat dilakukan jika kadar HbA1c adalah ≥6,5%. Kadar HbA1C yang
melebihi normal menggambarkan bahwa diabetes melitus tidak terkontrol.
Penelitian yang dilakukan oleh Sheshah et al. (2016) terkait antara indeks kontrol
glikemik dan nilai ESC pada kaki yang menunjukkan korelasi positif yang
signifikan antara kadar glukosa darah puasa, ambang HbA1c dan fungsi saraf
sudomotor pada pasien dengan disfungsi saraf sudomotorik berat (kaki-ESC <50
μS). Hasil sesuai dengan temuan oleh Yajnik dkk. (2012, dalam Sheshah et al.,
2016) dan menyiratkan bahwa DM yang tidak terkontrol meningkatkan risiko
pengembangan disfungsi saraf sudomotor.
f. Lama menderita DM
Kondisi hiperglikemia berkepanjangan, akan merusak dinding pembuluh
darah yang berhubungan langsung ke saraf. Akibatnya, saraf tidak dapat
menghantarkan impuls secara efektif. Keluhan yang timbul bervariasi, yaitu nyeri pada
kaki dan tangan. Manifestasi klinisnya yang muncul berupa gangguan sensoris,
23
motorik, dan otonom. Proses terjadinya komplikasi neuropati biasanya progresif, di
mana terjadi degenerasi serabut – serabut saraf dengan gejala nyeri, mati rasa,
kesemutan, dan kulit kaki kering. Peningkatan kadar glukosa darah kronis
mengakibatkan penumpukan glikoprotein dinding sel sehingga muncul komplikasi
mikrovaskuler antara lain adalah neuropati diabetikum (Black and Hawks, 2005)
g. Aktivitas
Pembentukan panas yang terkait dengan kontraksi otot saat aktivitas
terutama olahraga dengan cepat menaikkan suhu internal, diikuti dengan
peningkatan jumlah keringat.
Faktor eksternal:
a. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang terlalu panas atau terlalu dingin merupakan
kondisi yang bisa menyebabkan tumit pecah-pecah. Lingkungan yang kering dapat
mengurangi kadar air pada stratum korneum.
b. Bahan kimia
Penggunaan bahan kimia seperti detergen, cairan pembersih rumah, dan
sabun mandi tertentu bisa menyebabkan elastisitas kulit berkurang.
c. Paparan sinar matahari
Paparan sinar matahari dapat mengganggu rasio katalase dan superoksida
dismutase dalam stratum korneum. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan kerentanan kerusakan oksidatif pada komponen pelindung stratum
korneum.
24
3. Patofisiologi penurunan kelembaban kulit
Kelainan kulit pada pasien DM sangat berkorelasi dengan kontrol glikemik.
Sebagai contoh, Foss, et al., (2005) melakukan penelitian dengan 403 pasien DM
di Brasil dan mengevaluasi kelainan kulit dan kontrol glikemia mereka. Dengan
demikian, penelitian tersebut menunjukkan bahwa 94% pasien dengan kontrol
glikemia tidak adekuat memiliki beberapa kelainan kulit; sementara, hanya 60%
pasien DM yang memiliki kontrol glikemia yang memadai memiliki beberapa
kelainan kulit.
DM mempengaruhi kulit melalui beberapa mekanisme, kondisi
hiperglikemia itu sendiri dan AGEs. Kondisi hiperglikemia sangat mempengaruhi
homeostasis kulit dengan menghambat proliferasi dan migrasi keratinosit,
biosintesis protein, menginduksi apoptosis sel endotel, dan mengurangi sintesis
nitric oxide (NO). Selain hiperglikemia menyebabkan kerusakan langsung, kadar
glukosa tinggi juga menyebabkan pembentukan AGE. Interaksi biokimia AGE
adalah salah satu mekanisme yang terlibat dalam komplikasi DM, termasuk
kelainan kulit. AGE terbentuk dari glikasi protein, lipid dan asam nukleat yang
bekerja di beberapa jalur, menginduksi pembentukan reactive oxygen species
(ROS), merusak ROS clearance, serta protein intra dan ekstraselular. AGE
mengubah sifat kolagen, mengurangi kelenturan dan kelarutan dan meningkatkan
kekakuannya. (Soro-Paavonen et al., 2010).
Kelebihan glukosa pada darah menyebabkan perlekatan glukosa melaui
reaksi glikosilasi nonenzimatik, terutama terjadi pada semua protein tubuh berusia
panjang yang mengandung senyawa lisin diantaranya kolagen. Glikosilasi kolagen
pada jaringan interstitial dan pembuluh darah mengalami serangkaian tata ulang
25
yang pada akhirnya terbentuk irreversible advanced glycosylated end product
(AGE). Terbentuknya AGE pada kolagen mengakibatkan ikatan silang antara
berbagai polipeptida. Ikatan silang ini mengakibatkan teperangkapnya protein
interstitium dan plasma yang tidak terglikosilasi. Terperangkapnya lipoprotein
densitas rendah (LDL) mengakibatkan LDL menumpuk dalam dinding pembuluh
darah. Penumpukan LDL pada dinding pembuluh darah mengakibatkan
pengendapan kolesterol pada tunika intima pembuluh darah sehingga terjadilah
aterosklerosis (Kumar, Cotran and Robbins, 2007). Pada pembuluh kapiler, AGE
mengakibatkan penebalan membran basalis sehingga struktur dan fungsi kapiler
rusak. Selain itu, AGE mampu merusak dan menonaktifkan nitric oxide, senyawa
pada dinding endotel yang menjaga kelenturan didinding endotel. NO memainkan
peranan penting dalam mengontrol aktivitas Na/K ATPase. Stimulasi NO pada
aktivitas Na/K ATPase berkurang akibat Radikal superoksida yang dihasilkan oleh
kondisi hiperglikemia. AGE juga merangsang produksi lokal reactive oxygen
species (ROS). Produksi ROS yang berlebihan dan pertahanan antioksida yang
tidak adekuat menyebabkan stres oksidatif yang merupakan peristiwa penting
dalam pengembangan komplikasi diabetes (Soro-Paavonen et al., 2010).
Selain itu, kondisi hiperglikemia juga mempengaruhi fungsi sel saraf.
Jaringan saraf dan pembuluh darah dapat dimasuki glukosa tanpa bantuan insulin.
Hiperglikemia mengakibatkan peningkatan glukosa intra sel. Glukosa di dalam sel
saraf diubah menjadi sorbitol dan polyol lain oleh enzim aldose reductase. Polyol
tidak dapat berdifusi secara pasif ke luar sel, sehingga akan terakumulasi di dalam
sel neuron, yang menganggu kesetimbangan gradien osmotik sehingga
memungkinkan natrium dan air masuk ke dalam sel dalam jumlah banyak. Selain
26
itu, sorbitol juga dikonversi menjadi fruktosa, dimana kadar fruktosa yang tinggi
meningkatkan prekursor AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf
menurunkan aktivitas Na/K ATP ase (Head, 2006) dan meningkatkan tekanan
osmotik intra sel sehingga memicu influks air yang mengakibatkan cedera sel.
Cedera sel Schwann menyebabkan neuropati perifer (Clare-Salzler, 2007)
Saraf perifer/tepi tersusun dari akson bermielin dan tidak bermyelin serta sel
Schwann. Serat saraf tepi yang diselubungi jaringan ikat yang disebut epineurium.
Dalam epineurium terdapat fibroblast kolagen, dan retikulin halus yang disebut
endoneurium. Epineurium mengandung pembuluh darah yang bertanggungjawab
dalam suplai nutrisi serta oksigen pada sel saraf, disebut vasa nervorum. Cabang-
cabang arteri memasuki epineurium kemudian membentuk kapiler dalam
endoneurium. Sel Schwan menimbulkan mielinisasi segmental yang dipisahkan
oleh nodus ranvier (Kumar, Cotran and Robbins, 2007)
Gangguan aliran pada pembuluh darah kecil menginduksi hipoksia lokal di
dalam neuron, yang memulai proses neurodegenerasi. Kerusakan kapiler dan cedera
sel Schwann akibat hiperglikemia menyebabkan degenerasi aksonal dan
demielinisasi segmental sehingga hantaran impuls pada saraf perifer terganggu.
Gangguan hantaran impuls sebagai dampak dari hiperglikemia disebut neuropati
perifer (Boulton, 2005)
Berdasarkan anatomi serabut saraf perifer, neuropati perifer diklasifikasi
menjadi 3 jenis: neuropati sensorik, neuropati motorik, dan neuropati otonom.
Masing-masing neuropati akan menimbulkan tanda dan gejala yang berbeda.
Salah satu neuorpati otonom yang banyak dialami pasien diabetes melitus
adalah neuropati sudomotorik. Serat saraf sudomotor memiliki bentuk yang tipis,
27
kurang bermyelin, atau tidak bermyelin, dan karenanya rentan terhadap kerusakan
awal proses patologis. Saraf sudomotor berfungsi untuk mempersarafi kelenjar
keringat. Disfungsi saraf sudomotorik menyebabkan gangguan pada produksi
keringat akibat degenerasi postganglionic sudomotor axon (Morgeson et al., 2013).
Respon keringat langsung dapat diperoleh dengan stimulasi reseptor
muskarinik M3 pada kelenjar keringat melalui iontophoresis agonis kolinergik,
seperti asetilkolin, pilokarpina atau metakolin. Namun, stimulasi ini juga
memprovokasi refleks akson sudomotor melalui pengikatan zat kolinergik ke
reseptor nikotinik pada terminal saraf sudomotor. Impuls yang ditimbulkan
bergerak secara antidromis di sepanjang neuron sudomotor simpatis
postganglionik. Pada titik cabang, impuls ini bergerak secara ortodromis sampai
mencapai populasi kelenjar keringat ekrin lain yang menyebabkan respons keringat
dimediasi akson tidak langsung. Degenerasi saraf sudomotor mengurangi inervasi
kelenjar keringat dan merusak fungsinya sehingga kelenjar ekrin tidak mampu
memproduksi keringat (Shibasaki and Crandall, 2010).
4. Komplikasi penurunan kelembaban kaki
Neuropati otonom menyebabkan penurunan fungsi saraf otonom yang
menginervasi kelenjar keringat kulit, menyebabkan kekeringan pada kulit dan
penurunan elastisitas. Kulit yang kering dan kulit kaku yang mudah retak
menyebabkan kulit pecah-pecah atau fisura. Fisura pada lapisan pelindung
epidermis (stratum corneum), dapat menjadi terinfeksi, mengakibatkan selulitis
lokal atau bahkan ulserasi longitudinal kecil yang berpotensi untuk masuknya
kuman dan sering menyebabkan perluasan infeksi dan kehilangan sebagian besar
anggota tubuh bagian bawah, baik parsial maupun penuh. Sirkulasi yang buruk
28
terjadi pada pembuluh darah, akibatnya mempengaruhi mikrosirkulasi, yang
nantinya mempengaruhi membran basal, penebalan dan penurunan kapasitas
reparatif vaskular. Fisura atau retaknya kulit dan terbentuknya kalus di sekitar kaki
yang cedera, lebih sering terjadi di bagian tumit, plantar medial dan
metatarsophalangeal yang pertama – khususnya selama musim kering (Rebolledo,
Soto, and Peña, 2011). Menurut Makoto et al. (2012), fisura superfisial dan fisura
dalam terjadi paling banyak di bagian tumit yang terjadi akibat adanya neuropati
otonom sehinggga terjadi penurunan perspirasi yang mengakibatkan kaki menjadi
kering dan terbentuk fisura.
Pernyataan diatas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tentolouris
et al. (2010) dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Moisture Status of the Skin
of the Feet Assessed by the Visual Test Neuropad Correlates with Foot Ulceration
in Diabetes” yang menunjukkan hasil dari 121 responden dengan ulkus kaki
diabetikum, sebanyak 115 (95,0 %) reponden memiliki kulit telapak kaki yang
kering dengan OR : 7,36 - 40,8 yang berarti pasien yang mengalami kulit kering
pada telapak kaki mempunyai kemungkinan 7,36 sampai 40,8 kali terjadi ulkus
dibandingkan pasien yang tidak mengalami kulit kering.
Prevalensi penduduk dengan DM dengan ulkus kaki di Amerika Serikat
sebesar 15-20%, risiko amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
penderita non diabetes melitus. Sedangkan prevalensi penderita ulkus diabetikum
di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus
diabetika merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80%
untuk diabetes melitus. Biaya perawatan yang dihabiskan seorang penderita ulkus
29
diabetes mencapai 1,3 juta sampai Rp. 1,6 juta perbulan dan Rp. 43,5 juta per
tahunnya (Rini, 2008).
5. Penatalaksanaan penurunan kelembaban kulit
Penurunan kelembaban kulit dapat diatasi dengan memperbaiki
vaskularisasi kaki. Waspadji (2010) menyatakan vaskularisasi kaki pada penderita
diabetes melitus dapat diperbaiki dengan melakukan latihan pada kaki. Sukarja,
Sukawana, dan Wedri (2016) menguraikan bahwa aktifitas fisik yang terfokus pada
kaki terbukti secara signifikan dapat meningkatkan kelembaban kulit kaki diabetesi.
Sehubungan dengan hal tersebut diabetesi disarankan untuk melaksanakan aktivitas
fisik yang berfokus pada kaki secara rutin.
Vaskularisasi pada daerah kaki dapat pula ditingkatkan dengan
mengaplikasikan teknik refleksi pada kaki. Menurut Embong, Soh, Ming, & Wong
(2015) teknik refleksi akan menstimulasi sensor yang berhubungan dengan
berbagai bagian tubuh yang ada di tangan dan kaki sehingga dapat meningkatkan
sirkulasi darah dan energi, memberikan perasaan rileks, dan menjaga homeostasis.
6. Area pengukuran kelembaban kulit
Ada empat area (10 titik) yang akan dilakukan pengukuran. 10 titik pada
masing-masing kaki dibagi menjadi empat area pengukuran yaitu dorsum kaki (1
titik), ujung-ujung jari kaki (3 titik), metatarsal plantar pedis (5 titik), dan tumit (1
titik). Nilai keempat area pengukuran tersebut akan dijumlahkan dan kemudian
dicari rata-rata dari nilai kelembaban kulit kaki tersebut. Empat area pada masing-
masing kaki yang dilakukan pengukuran tersebut merupakan area yang rentan
terjadi ulkus diabetikum. Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
pada tahun 2006, dari 3830 penderita diabetes melitus didapatkan 23,6%
30
mengalami DF dan lokasi DF cenderung terjadi pada 10 titik pemeriksaan di
masing-masing kaki. Lokasi DF 50% berada pada ujung jari kaki, 30-40% pada
metatarsal plantar pedis, 10-15% pada dorsum kaki, 5-10% pada tumit, dan 10%
adalah ulkus multipel (Suwandewi, 2012).
Gambar 1. Sepuluh Titik Pengukuran pada Telapak Kaki Pasien Diabetes
Melitus yang Diukur Menggunakan Moisture Checker
7. Instrumen pengukur kelembaban kulit
a. Sudoscan
Sudoscan (Impeto Medical, Paris, France) adalah alat non-invasif untuk
menilai fungsi saraf sudomotor melalui evaluasi fungsi sekresi kelenjar keringat
sebagai cerminan awal kerusakan saraf simpatis. Kelenjar keringat yang diinervasi
oleh serat C simpatik tipis tidak bermyelin sangat mudah terpengaruh pada tahap
awal diabetes, begitu pula pradiabetes. Arus listrik yang diterapkan pada pasien
secara otomatis oleh perangkat (biasanya <4 V) dapat menarik sodium klorida dari
keringat di telapak tangan dan telapak kaki pasien DM. Hasil penilaian fungsi saraf
sudomotor pada telapak tangan dan kaki akan ditunjukkan dengan nilai
electrochemical skin conductance (ESC). Nilai ESC yang rendah menandakan
adanya gejala neuropati perifer (Mao et al., 2017). Namun harganya yang mahal
dan tidak mudah untuk dimobilisasi menjadikan alat ini tidak sesuai digunakan
untuk penelitian ini.
31
b. DermaLab® USB TEWL Module
DermaLab® USB TEWL Module digunakan untuk mengevaluasi TEWL.
Gradien tekanan uap dapat ditentukan dari pembacaan suhu dan kelembaban relatif
yang diperoleh dari kedua tingkat sensor ini. Tingkat penguapan mengikuti Hukum
Difusi Fick, menunjukkan kuantitas yang ditransportasikan per area dan periode
waktu yang ditentukan. Hasilnya dinyatakan dalam gram per meter persegi per jam
(g / m2 / jam) (Mohamad, Msabbri and Matjafri, 2012).
c. SK-IV Digital Moisture Monitor for Skin
SK-IV Digital Moisture Monitor for Skin dirancang menggunakan metode
Bioimpedance Analysis (BIA). Menurut jurnal yang ditulis oleh Truong (2009),
gagasan dasar di balik metode BIA adalah bahwa impedansi listrik atau hambatan
terhadap arus arus listrik terjadi melalui jaringan tubuh. Arus 50 KHz biasanya
dikirm ke kulit. Impedansi ini bisa digunakan untuk menghitung kadar air
(moisture) stratum korneum. Lapisan atas kulit terdiri dari sel kulit mati, protein
keratin, minyak tubuh alami, dan air. Terdapat hubungan antara jumlah minyak dan
jumlah air di kulit dan dengan demikian impedansi yang lemak dan minyak berikan
pada arus listrik dapat digunakan untuk menghitung kadar air.
Truong menjelaskan, pada ujung perangkat terdapat transduser. Transduser
terdiri dari dua batang elektroda logam yang menonjol. Saat diletakkan di kulit,
pengguna bisa menghidupkan perangkat untuk memasok arus listrik sebesar 50
KHz. Arus berjalan di antara elektroda melalui kulit dan impedansinya diukur.
Dengan menggunakan hubungan antara berbagai komponen kulit, ukuran
kuantitatif dapat ditentukan untuk kelembaban kulit sebagai jumlah kandungan air.
Kulit dianggap kering jika kadar air pada stratum korneum kurang dari 10% dari
32
kadar air total dalam kulit. Maka dari itu, untuk mempertahankan kelembaban kulit,
kadar air dalam stratum korneum tidak boleh kurang dari 10% dari kadar air total
dalam kulit. Dalam kelembaban relatif udara sebesar 95%, kadar air stratum
korneum dapat mencapai 65%. Sehingga pada suhu dan kelembaban relatif udara
yang rendah kulit menjadi kering, tidak fleksibel, pecah-pecah, dan kehilangan
kelembaban (Hidayat, 1995, dalam Jayanthi, 2015). Menurut Clayton and Elasy
(2009), nilai normal kelembaban kulit yakni 45% – 65%, kering 29% – 44,9% dan
sangat kering <29%
Keuntungan menggunakan BIA mencakup konsistensinya dalam
memberikan hasil, mudah dibawa dan digunkan, dan produksi sensor kelembaban
kulit BIA yang murah dan sederhana (Truong, 2009). Maka dari itu, SK-IV Digital
Moisture Monitor for Skin merupakan alat yang tepat digunakan dalam penelitian
ini.
Gambar 2. Instrumen pengukuran kelembaban kulit kaki pasien diabetes
melitus menggunakan SK-IV Digital Moisture Monitor for Skin
33
C. Active Lower Range of Motion (ROM) Berbantu Kayu Refleksi
1. Pengertian
a. Active Lower Range of Motion
Latihan Range of Motion merupakan latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien
menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara
aktif, aktif dengan bantuan, maupun pasif (Potter and Perry, 2005).
Active ROM merupakan latihan yang dilakukan oleh pasien secara mandiri
tanpa bantuan dari perawat, namun tetap diawasi oleh perawat. Melalui latihan ini
dapat meningkatkan kemandirian dan kepercayaan diri pada pasien (Ellis and
Bentz, 2007). Active Lower Range of Motion merupakan latihan rentang gerak sendi
ekstremitas bawah. Latihan ini merupakan prosedur dari latihan ROM biasa namun
hanya memanfaatkan sendi ekstremitas bawah (lower extremity) (Suari, 2015)
b. Kayu Refleksi
Refleksologi adalah salah satu pengobatan holistik berdasarkan prinsip
bahwa terdapat titik atau area pada kaki, tangan, dan telinga yang terhubung ke
bagian tubuh atau organ lain melalui sistem saraf. Tekanan atau pijatan di titik atau
area tersebut akan merangsang pergerakan energi di sepanjang saluran saraf yang
akan membantu mengembalikan homeostasis (keseimbangan) energi tubuh
(Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak
Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
2015). Terapi refleksi telah muncul sebagai bentuk terapi pelengkap non-invasif
dan non-farmakologis untuk beberapa kondisi medis (Dalal et al., 2014). Adanya
stimuli, seperti, sentuhan atau tekanan, memicu "potensi aksi" di sel, kemudian
34
mengeluarkan arus listrik yang ditransmisikan melalui saraf sensorik ke otak untuk
proses interpretasi yang diikuti saraf motorik ke otot lokal untuk mendapat respons.
Ketepatan kekuatan stimulus yang diberikan saat refleksi menghasilkan impuls
listrik dan efek terapeutik pada kulit atau otot (Tiran and Chummun, 2005).
Terdapat dua metode refleksologi yang telah diterima secara internasional
yakni metode Ingham dan metode Rwo Shur. Metode pertama tidak menggunakan
alat apapun dalam praktiknya dan metode kedua menggunakan penggunaan alat
bantu. Pada umumnya, alat yang digunakan berupa tongkat kayu yang pada
permukaannya terdapat tonjolan sehingga menimbulkan sensasi tekanan pada area
refleksi (Embong et al., 2015). Umumnya refleksi dilakukan dengan menggunakan
jari-jari tangan yang diaplikasikan pada telapak kaki dengan berbagai teknik. Pada
penelitan yang dilakukan oleh Sliz, Smith, Wiebking, Northoff, & Hayley pada
tahun 2012 menunjukkan bahwa teknik relaksasi juga bisa dilakukan dengan
menggunakan tongkat massage kayu yang digelindingkan di lantai menggunakan
telapak kaki. Kayu refleksi yang banyak beredar di pasaran salah satunya adalah rol
kaki atau “Wooder Roller Foot Massager”. Alat refleksi kaki ini sangat bermanfaat
untuk membantu meringankan rasa sakit di kaki dengan cara merelaksasi kaki
setelah mengalami kontraksi dan tekanan selama beraktivitas. Sliz et al. (2012)
dalam penelitiannya yang berjudul “Neural Correlates of a Single-Session
Massage Treatment” menjelaskan bahwa terapi refleksologi dapat dilakukan
dengan menggunakan tongkat massage kayu yang digelindingkan di lantai
menggunakan telapak kaki.
Kayu refleksi yang digunakan pada penelitian ini memiliki bentuk kepala
yang pendek untuk melakukan penekanan lebih dalam, sementara bagian yang
35
panjang digunakan untuk memijat di sepanjang otot yang lebih besar. Refleksi
menggunakan alat bantu yang berbahan kayu merupakan adaptasi dari teknik
refleksi Swedia yang menggunakan pijatan dengan tangan secara lembut untuk
menekan dan merelaksasi jaringan lunak pada pelantar kaki.
Gambar 3. Kayu refleksi kaki
Jadi dapat disimpulkan bahwa Active Lower Range of Motion berbantu kayu
refleksi adalah latihan yang dilakukan oleh pasien secara mandiri yang hanya
memanfaatkan sendi ekstremitas bawah dengan bantuan tongkat kayu refleksi.
2. Manfaat Latihan
Latihan fisik merupakan salah satu dari empat pilar dalam pengelolaan DM
untuk mencegah terjadinya komplikasi khususnya diabetic foot. Menurut Suari
(2015), latihan berupa Active Lower Range of Motions sama manfaatnya seperti
pemberian Active Range of Motion, namun latihan yang dilakukan hanya
difokuskan pada ekstremitas bawah yakni pinggul, lutut, mata kaki, dan jari-jari
kaki yang ditujukan untuk memperlancar sirkulasi perifer ekstremitas bawah. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Widyawati et al. (2006) menyatakan bahwa dengan
melakukan latihan Active Lower Range of Motion dapat meningkatkan sirkulasi
perifer pasien DM tipe 2. Latihan ini dapat meningkatkan kontraksi otot secara aktif
36
sehingga terjadi peningkatan sirkulasi perifer serta kekuatan otot pasien DM tipe 2.
Melakukan perawatan kaki secara teratur dapat mengurangi komplikasi kaki
diabetik sebesar 50% hingga 60%. Goldsmith, et al. (2002) dalam penelitiannya
yang berjudul “The Effects of Range-of-Motion Therapy on the Plantar Pressures
of Patients with Diabetes Mellitus” mengungkapkan bahwa latihan range of motion
pada kaki pasien diabetes melitus dengan aktif dan pasif dorsifleksi pada ankle dan
sendi metatarsophalangeal, fleksi plantar, aktif pronasi dan supinasi sendi subtalar,
peregangan otot gastrocnemius dan soleus mampu mengurangi kekakuan sendi dan
tekanan plantar. Hal ini menunjukan bahwa sebuah latihan sederhana yang
diterapkan di rumah bagi pasien diabetes melitus bisa mengurangi resiko ulserasi
akibat tekanan plantar.
Saat ini, praktik komplementer dan integratif muncul sebagai strategi untuk
promosi, pencegahan, pengobatan dan pemulihan kesehatan. Di antara terapi ini,
refleksologi kaki yang dilakukan dengan memberikan tekanan pada titik-titik
tertentu di kaki bermanfaat untuk merangsang keseimbangan tubuh (Silva et al.,
2015). Refleksologi dapat mengurangi neuropati perifer pada pasien yang
menderita diabetes melitus tipe 2. Hasil studi yang dilakukan Jeong (2006) pada 76
pasien berusia antara 40-79 tahun yang terdaftar dari puskesmas di kota Busan,
Korea. Respon taktil terhadap monofilamen dan intensitas gejala neuropati perifer
digunakan sebagai hasil variabel dalam penelitian ini. Sensasi kesemutan dan rasa
sakit berkurang dan taktil lebih sensitif terhadap 10 g kekuatan monofilamen (Jeong
I.S., 2006 dalam Embong et al., 2015). Refleksologi dapat digunakan sebagai salah
satu intervensi untuk mendorong perawatan kaki pada pasien yang menderita
37
diabetes mellitus. Hal ini ditunjukkan oleh kontrol glikemik dan konduktivitas saraf
yang mengalami peningkatan dengan menggunakan refleksi.
Terapi refleksi menjadi pilihan banyak orang karena terapi refleksi memiliki
banyak keuntungan, diantaranya:
a. Pengobatannya bebas dari obat-obatan dan bahan kimia dan ini merupakan
solusi yang mampu menangani banyak masalah kesehatan
b. Mampu mengurangi rasa nyeri
c. Membantu tubuh menjaga ketangkasan dan kemampuan gerak
d. Menimbulkan rasa relaksasi secara umum terutama tangan atau kaki yang terlalu
banyak digunakan atau lelah, dan seluruh bagian tubuh
e. Ini merangsang pelepasan bahan kimia penghilang rasa sakit tubuh
f. Pencegahan terhadap berbagai penyakit (Embong et al., 2015)
3. Kontra indikasi
Ellis dan Bentz (2007) menyatakan bahwa latihan membutuhkan energi dan
meningkatnya sirkulasi. Latihan yang dilakukan harus dikonsultasikan terlebih
dahulu kepada dokter karena adanya gangguan ataupun penyakit yang dapat
membahayakan seperti penyakit kardiovaskular dan penyakit pernafasan. Selain
itu, Ellis dan Bentz juga menyatakan ROM akan menimbulkan stress pada jaringan
lunak pada persendian dan struktur tulang. Latihan tidak diperkenankan pada
persendian yang bengkak, inflamasi atau daerah sekitar persendian yang mengalami
cedera. Beberapa kontra indikasi yang terpapar diatas berlaku juga untuk semua
jenis ROM termasuk Active Lower ROM.
Terdapat beberapa kondisi pasien yang harus dihindari untuk diberikan pijat
refleksi karena dapat memberikan efek yang tidak diinginkan, seperti trimester
38
pertama kehamilan, diare dan muntah-muntah, peradangan lokal atau
pembengkakan kaki, tangan, dan telinga, demam dan penyakit menular baik
sistemik atau lokal (Embong et al., 2015)
4. Prosedur latihan
Timby (2009) memaparkan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
perawat pada saat melakukan latihan ROM sebagi berikut:
a. Latihan dilakukan pada sendi secara professional untuk menghindari ketegangan
dan cedera otot serta kelelahan.
b. Posisi yang diberikan memungkinkan gerakan sendi secara leluasa.
c. Latihan dilakukan secara berulang dan sistematis.
d. Jelaskan pada peserta latihan bahwa gerakan sendi yang adekuat adalah gerakan
hingga pasien merasakan tahanan bukan nyeri.
e. Hindari melakukan latihan pada sendi yang mengalami nyeri
f. Amati respon non-verbal serta latihan.
g. Bila terjadi spasme otot yang dimanifestasikan dengan kontraksi otot yang tiba-
tiba dan terus menerus, segera hentikan latihan dan berikan kesempatan untuk
beristirahat
Dosis dan intensitas latihan ROM yang dianjurkan menunjukkan hasil
cukup bervariasi. Tidak disebutkan secara spesifik pada teori terkait dosis dan
intensitas latihan ROM tersebut, namun dari berbagai hasil penelitian tentang
manfaat latihan ROM dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menerapkan latihan
ROM sebagai salah satu intervensi untuk meningkatkan sirkulasi perifer pasien
DM. Department of Rehabilitation Services The Ohio Medical Center (2009)
39
menyebutkan bahwa latihan ROM untuk bagian ankle sebagaimana dilakukan
minimal 3 kali sehari dengan intensitas masing-masing gerakan 10 kali.
Prosedur tindakan yang terdapat pada latihan rentang gerak Active Lower
ROM berbantu kayu refleksi yaitu:
a. Gerakan pinggul
1) Fleksi: menggerakkan tungkai kedepan dan keatas sebesar 90-120º otot yang
dipengaruhi yaitu psoas mayor iliacus, iliopsoas dan Sartorius
2) Ekstensi: menggerakkan kembali kesamping tungkai yang lain sebesar 90-120º.
Otot yang dipengaruhi yaitu gluteus maksimus, semitendinosus dan
semimembranosus
b. Gerakan lutut
1) Fleksi: menggerakkan tumit kearah belakan paha sebesar 120-130º, otot yang
dipengaruhi yaitu bisep femoralis semi tendonosus, semi membranosus, dan
Sartorius
2) Ekstensi: mengembalikan tungkai keposisi semula 120-130º, otot yang
dipengaruhi yaitu rektus femuralis, vastus lateralis, vastus medialis, dan vastus
intermedius
c. Gerakan Mata Kaki
1) Dorso fleksi:menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk keatas sebesar
20-30º, otot yang dipengaruhi tibialis anterior
2) Plantar fleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk kebawah
sebesar 45-50º, otot yang dipengaruhi yaitu gastronemus soleus
40
d. Gerakan Jari-jari Kaki
1) Fleksi: melengkungkan jari-jari kaki kebawah sebesar 30-60º, otot yang
dipengaruhi yaitu fleksor digitorus, lumbrikalis pedis dan hallusis brevis
2) Ekstensi: meluruskan kembali jari-jari kaki sebesar 30-60º, otot yang
dipengaruhi yaitu ekstensor digitorum longus, ekstensor digtorum brevis dan
ekstensor digitorum hallusis longus
Penggunaan alat bantu kayu refleksi untuk melakukan Active Lower Range of
Motion dapat dilakukan dalam posisi duduk tegak di kursi sehingga kaki akan
membentuk sudut sebesar 90º dengan lantai. Dengan posisi ini, tekanan pada plantar
yang diakibatkan berat badan dapat diminimalisir.
5. Pengaruh Active Lower Range of Motion berbantu kayu refleksi terhadap
kelembaban
Latihan fisik merupakan salah satu dari empat pilar dalam pengelolaan
diabetes melitus untuk mencegah terjadinya komplikasi khususnya diabetic foot.
Latihan fisik yang dianjurkan yakni latihan fisik yang dapat dilakukan oleh pasien
diabetes secara mandiri di rumahnya. Untuk itu diperlukan suatu bentuk latihan
jasmani yang mudah dilakukan, tidak menghabiskan banyak biaya, dan efektif
untuk mencegah terjadinya komplikasi diabetes, khususnya diabetic foot. Berbagai
bentuk latihan fisik yang pernah diteliti diantaranya latihan Active Lower Range of
Motion (ROM) dan refleksi kaki yang ditujukan untuk memperbaiki sirkulasi dan
fungsi sistem saraf sensoris dan otonom yang hasil akhirnya diharapkan mampu
mengurangi gejala neuropati diabetik.
Latihan ROM bagi pasien DM mampu meningkatkan kekuatan otot dan
meningkatkan fleksibilitas sendi (Colberg et al., 2010). Ketika otot mengalami
41
kontraksi secara terus menerus, terjadi kompresi pada pembuluh darah yang mampu
mengaktifkan pompa vena sehingga aliran darah mengalami peningkatan diantara
vase kontraksi dan relaksasi. Saat otot berkontraksi darah akan mengalir menuju
vena dan akan terisi kembali dari arteri saat vase relaksasi. Darah yang berada
dalam vena tidak akan kembali ke pembuluh darah semula karena terdapat katup-
katup vena (Ganong, 2008). Pembuluh darah balik akan lebih aktif memompa darah
ke jantung sehingga sirkulasi darah arteri yang membawa nutrisi dan oksigen ke
pembuluh darah perifer menjadi lebih lancar (Ganong, 2008). Hal ini akan
mempermudah saraf menerima suplai oksigen dan nutrisi melalui vasa nervorum
sehingga dapat meningkatkan fungsi saraf (Boissaud-Cooke, et al., 2015)
Saat latihan fisik dimulai hormon epinefrin akan meningkat sehingga aliran
darah juga ikut meningkat yang menghasilkan dilatasi pembuluh pada otot. Pada
otot yang aktif, suhu akan meningkat sebagai hasil dari metabolisme sehingga akan
terjadi dilatasi pembuluh darah (Ganong, 2008). Aliran darah yang meningkat dapat
mendorong produksi nitrit oksida (NO) yang dapat menjaga endotel (lapisan
dinding). NO dapat merangsang pembentukan endothelial derive relaxing factor
(EDRF) yang memegang peranan penting dalam vasodilatasi atau pelebaran arteri.
NO juga berperan penting dalam menjaga tekanan darah tetap normal. Konsentrasi
NO dapat membantu mempertahankan suplai darah yang cukup sehingga
melindungi pembuluh darah dari agregasi trombosit dan aterosklerosis (Ganong,
2008). Aliran darah yang lancar akan memudahkan nutrien masuk ke dalam sel
sehingga dapat memperbaiki fungsi saraf dan mencegah timbulnya neuropati,
dengan begitu latihan fisik merupakan faktor dominan dalam pencegahan neuropati
(Mohlar, dalam Sunaryo, 2014).
42
Bersamaan dengan latihan Active Lower ROM, terapi komplementer berupa
terapi refleksi yang distimulasi menggunakan sebuah tongkat kayu yang memiliki
permukaan yang menonjol juga akan dilakukan. Permukaan yang menonjol pada
tongkat kayu ini akan memberikan tekanan pada telapak kaki yang serupa dengan
pijat refleksi kaki. Area kulit kaki merupakan representasi dari organ yang tersebar
dalam tubuh dan stimulasi eksternal pada area refleksi menghasilkan impuls yang
akan dibawa sampai pada bagian organ sasaran melalui jalur saraf. Impuls ini akan
memperbaiki fungsi organ yang tidak normal (Dalal et al., 2014)
Pengaruh teknik refleksi yang dilakukan pada telapak tangan dan kaki pada
penderita diabetes melitus akan memberikan rangsangan pada titik-titik saraf yang
berhubungan dengan organ yang bermasalah yakni pankreas sehingga dengan
melakukan pemijatan pada titik saraf tersebut merangsang pankreas untuk
menghasilkan insulin (Lisanawati, dkk., 2015). Kadar insulin yang meningkat
dalam darah akan mengontrol kadar glukosa dalam darah bila teknik refleksi rutin
dilakukan. Kadar glukosa darah yang terkontrol menyebabkan AGE menurun dan
NO mampu menjaga kelenturan dinding endotel, termasuk endotel pembuluh darah
di saraf pada lapisan epineurium dan kapiler pada endoneurium sehingga pembuluh
darah mampu memberikan suplai nutrisi serta oksigen pada sel saraf termasuk saraf
sudomotor yang berfungsi untuk mempersarafi kelenjar keringat (Yodsirajinda, et
al., 2016)
top related