bab ii tinjauan pustaka a. literasi informasi pada ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5064/3/bab...
Post on 30-Oct-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Literasi informasi pada Mahasiswa
1. Pengertian Literasi Informasi pada Mahasiswa
Australian and New Zealand Institute for Information Literacy (ANZIIL)
(2004) menjelaskan bahwa literasi informasi keterampilan yang mencakup
pengetahuan tentang masalah dan kebutuhan informasi seseorang, dan kemampuan
untuk mengidentifikasi, menemukan, mengevaluasi, mengatur, dan secara efektif
membuat, menggunakan, dan mengkomunikasikan informasi untuk mengatasi isu
atau masalah yang dihadapi. Istilah literasi informasi sebenarnya diciptakan oleh
Zurkowski, seorang presiden Asosiasi Industri Informasi pada tahun 1974
(Mcmullin, 2018). Zurkowski (1974) mengatakan bahwa orang dengan literasi
informasi adalah orang yang dilatih dalam penerapan sumber daya informasi untuk
pekerjaan, hal ini dikarenakan individu tersebut telah mempelajari teknik dan
keterampilan untuk memanfaatkan berbagai alat informasi serta sumber utama
dalam membuat solusi untuk sebuah permasalahan.
Zurkowski (1974) juga menegaskan tentang perlunya melek informasi
sebelum World Wide Web dan Internet datang mengantar "Era Informasi."
Pernyataan Zurkowski secara filosofis sejajar erat dengan definisi literasi informasi
menurut American Library Association (ALA) (2000) dalam hal ini berbicara
tentang kemampuan individu untuk menggunakan informasi untuk memecahkan
18
masalah. ALA (2000) mengemukakan bahwa literasi informasi adalah serangkaian
kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk mengenali kapan informasi
dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan
menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif.
Literasi informasi menjadi penting saat ini ketika orang-orang menyerap
aliran data dan informasi elektronik setiap hari daripada beberapa dekade yang lalu
ketika informasi datang pada kecepatan yang lebih lambat (Mcmullin, 2018).
Mahasiswa, khususnya, dalam hal ini tidak melek informasi karena mahasiswa
harus menetapkan arah information overload yang tersedia bagi (Taylor & Dalal,
2014). Literasi informasi di kalangan mahasiswa yang merupakan dasar
"pembelajaran seumur hidup" karena akan meningkatkan kemampuan evaluasi,
manajemen dan penggunaan keterampilan informasi (Rezaee, 2016). Literasi
informasi menunjukkan sikap yang dimiliki mahasiswa dan menjadi tanggung
jawab masa depan mahasiswa sebagai bagian dari anggota masyarakat yang
menghargai informasi (Mcmullin, 2018).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa literasi informasi
adalah keterampilan yang mencakup pengetahuan tentang masalah dan kebutuhan
informasi seseorang, dan kemampuan untuk mengidentifikasi, menemukan,
mengevaluasi, mengatur, dan secara efektif membuat, menggunakan, dan
mengkomunikasikan informasi untuk mengatasi isu atau masalah yang dihadapi.
19
2. Aspek-aspek Literasi Informasi Mahasiswa
Australian and New Zealand Institute for Information Literacy (ANZIIL)
(2004) menjelaskan individu yang melek (literate) informasi adalah yang
memenuhi 6 standar inti (core standard) yaitu:
a. Mengenali kebutuhan informasi dan menentukan sifat dan jangkauan informasi
yang dibutuhkan, yang ditunjukkan dengan kemampuan mendefinisikan dan
mengartikulasi informasi sesuai kebutuhan, memahami tujuan, ruang lingkup,
dan kesesuaian berbagai sumber informasi, mengevaluasi ulang sifat dan tingkat
kebutuhan informasi, serta menggunakan beragam sumber informasi untuk
menginformasikan hasil.
b. Menemukan informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien, ditunjukkan
dengan mampu memilih metode atau alat yang paling tepat untuk mencari
informasi, membangun dan menerapkan strategi pencarian yang efektif,
memperoleh informasi menggunakan metode yang tepat, selalu memperbarui
sumber informasi, teknologi informasi, alat akses informasi, dan metode
investigasi secara kritis mengevaluasi informasi dan proses pencarian informasi.
c. Dapat mengevaluasi secara kritis informasi dan proses pencarian informasi,
dengan menilai kegunaan dan relevansi dari informasi yang diperoleh,
mendefinisikan dan menerapkan kriteria untuk mengevaluasi informasi,
merefleksikan proses pencarian informasi dan merevisi strategi pencarian yang
diperlukan.
d. Mengelola informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan, dengan mencatat
informasi dan sumbernya dan mengatur atau mengklasifikasikan informasi.
20
e. Menerapkan informasi baru atau lama untuk membangun konsep baru atau
menghasilkan pemahaman baru, dengan cara membandingkan dan
mengintegrasikan pemahaman baru dengan pengetahuan sebelumnya untuk
menentukan nilai tambah, kontradiksi, atau karakteristik unik lainnya dari
informasi yang mampu mengkomunikasikan pengetahuan dan pemahaman baru
secara efektif.
f. dan menggunakan informasi dengan memahami dan mengakui masalah budaya,
etika, ekonomi, hukum, dan sosial seputar penggunaan informasi, dengan
mengakui masalah budaya, etika, dan sosial ekonomi yang terkait dengan akses
menuju dan penggunaan informasi, mengakui bahwa informasi didukung oleh
nilai-nilai dan keyakinan sesuai dengan konvensi dan etika yang terkait dengan
akses menuju dan penggunaan informasi.
Sejalan dengan aspek menurut Australian and New Zealand Institute for
Information Literacy (ANZILL) (2004), menurut American Library Association
(ALA) (2000), orang yang melek (literate) informasi adalah:
a. Mampu menentukan sejauh mana informasi yang dibutuhkan,
b. Mampu mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien,
c. Mampu mengevaluasi informasi dan sumber-sumbernya secara kritis,
d. Mampu menggabungkan informasi terpilih ke dalam basis pengetahuan
seseorang,
e. Mengunakan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu,
f. Memahami masalah ekonomi, hukum, dan sosial seputar penggunaan informasi,
dan akses dan penggunaan informasi secara etis dan legal.
21
Selain itu, aspek-aspek literasi informasi menurut United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) (dalam Tirado &
Muñoz, 2012) adalah:
a. Mengenali dan mengartikulasi kebutuhan informasi.
b. Menemukan informasi atau mencari dan mengevaluasi kualitas informasi.
c. Penilaian informasi atau mencari dan mengevaluasi kualitas informasi.
d. Organisasi informasi atau memperoleh dan menyimpan informasi.
e. Penggunaan informasi, dengan membuat penggunaan informasi yang efektif dan
etis.
f. Membuat penggunaan informasi yang efektif dan etis untuk berkomunikasi.
Berdasarkan aspek literasi informasi yang dipaparkan ANZILL (2004), ALA
(2000), dan UNESCO (dalam Tirado & Muñoz, 2012) dapat disimpulkan bahwa
aspek literasi informasi meliputi mengenali kebutuhan informasi dan menentukan
sifat dan jangkauan informasi yang dibutuhkan, menemukan informasi yang
dibutuhkan secara efektif dan efisien, dapat mengevaluasi secara kritis informasi
dan proses pencarian informasi, mengelola informasi yang dikumpulkan atau
dihasilkan, menerapkan informasi baru atau lama untuk membangun konsep baru
atau menghasilkan pemahaman baru, dan menggunakan informasi dengan
memahami dan mengakui masalah budaya, etika, ekonomi, hukum, dan sosial
seputar penggunaan informasi, mampu menentukan sejauh mana informasi yang
dibutuhkan, mampu mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan
efisien, mampu mengevaluasi informasi dan sumber-sumbernya secara kritis,
22
mampu menggabungkan informasi terpilih ke dalam basis pengetahuan seseorang,
mengunakan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu, memahami
masalah ekonomi, hukum, dan sosial seputar penggunaan informasi, dan akses dan
penggunaan informasi secara etis dan legal, mengenali kebutuhan informasi,
menemukan informasi, penilaian informasi, organisasi informasi, penggunaan
informasi, penggunaan informasi yang efektif dan etis untuk berkomunikasi. Dalam
penelitian ini, peneliti memilih aspek literasi informasi yang dikemukakan oleh
ANZILL (2004) yaitu mengenali kebutuhan informasi dan menentukan sifat dan
jangkauan informasi yang dibutuhkan, menemukan informasi yang dibutuhkan
secara efektif dan efisien, dapat mengevaluasi secara kritis informasi dan proses
pencarian informasi, mengelola informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan,
menerapkan informasi baru atau lama untuk membangun konsep baru atau
menghasilkan pemahaman baru, dan menggunakan informasi dengan memahami
dan mengakui masalah budaya, etika, ekonomi, hukum, dan sosial seputar
penggunaan informasi untuk dijadikan panduan dalam membuat alat ukur
penelitian ini karena lebih jelas, sehingga memudahkan penelti dalam membuat alat
ukur. Selain itu aspek ini sesuai dengan keadaan yang terjadi pada mahasiswa.
3. Faktor-faktor yang memengaruhi literasi informasi
Dalam penelitiannya, McGuigan (2008) mengatakan bahwa literasi informasi
dipengaruhi oleh:
23
a. Berpikir kritis adalah syarat literasi informasi yang digunakan dalam kegiatan
penilaian kritis dalam mencari, memilih, dan menggunakan sumber daya
informasi.
b. Literasi komputer (atau literasi alat) adalah pemahaman tentang bagaimana
menggunakan mesin, pengetahuan tentang operasi Komputer. Literasi
komputer menunjukkan tingkat kemahiran dalam mengoperasikan mesin,
memanipulasi data, dan menavigasi berbagai lingkungan.
Kemudian, Pedro (dalam Jeffrey, Hegarty, Kelly, Penman, Coburn, &
McDonald, 2011) menemukan bahwa literasi informasi dipengaruhi oleh:
a. Status sosio-ekonomi termasuk di dalamnya jenis kelamin dan usia yang
terpengaruh oleh pengguna teknologi sebagai bagian dari gaya hidup.
Kesenjangan digital baru muncul dalam net-generation dimana dengan status
sosial ekonomi yang lebih tinggi lebih mungkin memiliki komputer di rumah
dan akses ke berbagai informasi dan media ketika berkomunikasi dengan
rekan-rekan.
b. Sikap terhadap teknologi adalah keyakinan tentang kemampuan seseorang
sendiri untuk belajar teknologi baru dan menggunakannya dapat
meningkatkan kemampuan literasi informasi. Kecemasan untuk belajar dan
terlalu percaya diri dapat menghambat literasi informasi.
c. Efikasi diri, memengaruhi persepsi orang tentang betapa mudahnya
penggunaan teknologi baru dan keinginan untuk menggunakannya. Cassidy
dan Eachus (dalam Jeffrey, dkk., 2011) menemukan bahwa tingkat efikasi
diri dalam penggunaan komputer yang lebih tinggi diasosiasikan dengan
24
penggunaan komputer yang lebih tinggi dan lebih intens dan eksplorasi
berbagai perangkat lunak yang lebih banyak.
Berdasarkan teori mengenai faktor-faktor yang dikemukakan oleh pendapat
yang dikemukakan McGuigan (2008) dan Pedro (dalam Jeffrey, dkk., 2011) dapat
disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi literasi informasi meliputi faktor
berpikir kritis, literasi komputer, status sosio-ekonomi, sikap terhadap teknologi,
dan efikasi diri. Dalam penelitian ini, peneliti memilih faktor berpikir kritis sebagai
variabel bebas dalam penelitian ini karena penelitian sebelumnya yaitu penelitian
Mcmullin (2018) menyatakan bahwa masyarakat yang jenuh informasi
membutuhkan masyarakat yang melek informasi-pemikir kritis untuk
mempertahankan peradaban yang stabil dan progresif, sehingga menjadi keharusan
bagi mahasiswa untuk belajar yang baik literasi informasi dan keterampilan berpikir
kritis sangat penting dalam lingkungan informasi saat ini, terutama saat ini ketika
berita hoaks di media sosial utamanya di instagram merajalela. Selain didasarkan
pada hasil penelitian terdahulu, pemilihan berpikir kritis sebagai variabel bebas juga
diperkuat oleh hasil wawancara pada mahasiswa sebagai pengguna aktif instagram
bahwa keengganan untuk mencari dan mengkaji informasi lebih dalam sebelum
menyebarkannya di akun instagram pribadi masih menjadi tantangan tersendiri.
B. Berpikir Kritis
1. Pengertian berpikir kritis
Berpikir kritis adalah keterampilan dalam proses pertimbangan yang
bertujuan dan reflektif untuk memutuskan apa yang harus dipercaya atau apa
25
yang harus dilakukan (Facione, 2013). Facione (2013) juga menjelaskan bahwa
pemikiran kritis adalah proses dari penilaian yang bertujuan dan mengatur diri
sendiri, proses ini memberikan pertimbangan yang masuk akal terhadap bukti,
konteks, konseptualisasi, metode, dan kriteria. Berpikir kritis menjadikan
individu mempunyai kemampuan menilai dan mengambil keputusan dengan
baik. Hal ini walaupun tidak sepenuhnya menjamin kehidupan kebahagiaan,
kebajikan, atau kesuksesan ekonomi, tetapi menawarkan kesempatan yang
lebih baik yakni terhindar dari menanggung konsekuensi dari membuat
keputusan yang buruk sehingga tidak akan membebani teman, keluarga, dan
orang lain di sekitar dengan konsekuensi yang tidak diinginkan dan dihindari
dari pilihan-pilihan yang buruk itu.
Menurut Paul dan Elder (2007) berpikir kritis adalah cara berpikir
tentang subjek, konten, atau masalah apa pun di mana pemikir dapat
meningkatkan kualitas pemikirannya dengan secara terampil mengambil alih
struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar intelektual
individu. Sejalan dengan itu Ennis (2011) menyatakan bahwa berpikir kritis
adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada
pengambilan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Dengan kata lain, pengambilan keputusan diambil setelah dilakukan refleksi
dan evaluasi pada apa yang dipercayai sejalan dengan hal tersebut. Schultz
(2008) menjelaskan bahwa berpikir kritis terdiri dari proses kognitif dari
ketajaman, analisis dan evaluasi, termasuk di antaranya adalah proses-proses
lain yang mencerminkan item yang nyata (atau tidak berwujud) untuk
26
membentuk penilaian yang solid yang menyatukan bukti ilmiah. Dalam
kerangka skeptisisme ilmiah, proses berpikir kritis melibatkan memperoleh
informasi dan mengevaluasinya untuk mencapai kesimpulan yang dibenarkan
dengan baik. Sebagian besar keterampilan berpikir kritis mencakup hal-hal
seperti; penilaian keyakinan dan identifikasi prasangka, prasangka,
kesalahpahaman, bias, propaganda media, distorsi atau melebih-lebihkan
kebenaran, dan misinformasi.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah keterampilan dalam proses
pertimbangan yang bertujuan dan reflektif untuk memutuskan apa yang harus
dipercaya atau apa yang harus dilakukan.
2. Aspek-aspek berpikir kritis
Facione (2011) menjelaskan bahwa individu yang mampu berpikir kritis
adalah individu yang memenuhi kemampuan-kemampuan sebagai berikut:
a. Interpretasi adalah memahami ungkapkan makna dari berbagai macam
pengalaman, situasi, data, peristiwa, penilaian, konvensi, keyakinan, aturan,
prosedur, atau kriteria. Interpretasi digunakan untuk menentukan makna dan
signifikansi yang tepat dari pesan atau sinyal, apa yang dimaksud dengan isyarat,
tanda, serangkaian data, kata-kata tertulis atau lisan, diagram, ikon, grafik atau
grafik dan memperjelas makna. Kemampuan kategorisasi, menguraikan, dan
memperjelas makna adalah sub-skill interpretasi.
27
b. Analisis adalah mengidentifikasi hubungan inferensial yang dimaksudkan dan
aktual antara pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi, atau bentuk representasi
lain yang ditujukan untuk mengekspresikan keyakinan, penilaian, pengalaman,
alasan, informasi, atau pendapat. Kemampuan untuk memeriksa ide, mendeteksi
argumen, dan menganalisis argumen adalah sub-skill analisis.
c. Inferensi adalah mengidentifikasi dan mengamankan elemen yang diperlukan
untuk menarik kesimpulan yang masuk akal; untuk membentuk hipotesis; untuk
mempertimbangkan informasi yang relevan dan untuk mengurangi konsekuensi
yang mengalir dari data, pernyataan, prinsip, bukti, penilaian, keyakinan,
pendapat, konsep, deskripsi, pertanyaan, atau bentuk representasi lainnya.
Inferensi memungkinkan individu untuk menarik kesimpulan dari alasan dan
bukti. Kemampuan mencatat daftar bukti pencarian, menaksir alternatif dugaan,
dan menarik kesimpulan adalah sub-skill dari inferensi
d. Evaluasi adalah menilai kredibilitas pernyataan atau representasi lain yang
merupakan deskripsi persepsi seseorang, pengalaman, situasi, penilaian,
keyakinan, atau pendapat; dan untuk menilai kekuatan logis dari hubungan
inferensial yang sebenarnya atau yang dimaksudkan di antara pernyataan,
deskripsi, pertanyaan, atau bentuk representasi lainnya. Evaluasi memungkinkan
untuk menilai kredibilitas sumber informasi dan klaim yang dibuat.
Keterampilan ini digunakan untuk menentukan kekuatan atau kelemahan
argumen. Sub-skill dari evaluasi adalah kemampuan menilai kredibilitas klaim
dan penalaran induktif atau deduktif.
28
e. Eksplanasi adalah penjelasan sebagai mampu menyajikan dengan meyakinkan
dan koheren sebagai hasil dari penalaran seseorang ini berarti individu mampu
untuk menjelaskan bukti, alasan, metode, asumsi, standar atau alasan untuk
keputusan, pendapat, keyakinan dan kesimpulan. Kemampuan penalaran
eksplanatif dilakukan sebelum membuat keputusan akhir tentang apa yang harus
dipercaya atau apa yang harus dilakukan. Keterampilan penjelasan yang kuat
memungkinkan individu untuk menemukan, untuk menguji dan
mengartikulasikan alasan untuk keyakinan, peristiwa, tindakan dan keputusan.
f. Regulasi diri berarti sadar diri untuk memantau aktivitas kognitif, unsur-unsur
yang digunakan dalam kegiatan tersebut, kemudian menerapkan keterampilan
dalam analisis, dan evaluasi terhadap penilaian inferensial seseorang dengan
pandangan terhadap pertanyaan, mengkonfirmasikan, memvalidasi, atau
mengoreksi salah satu alasan seseorang atau hasil seseorang. Terdapat dua sub-
skill dalam aspek ini adalah monitor diri dan koreksi diri.
Sedangkan, menurut Paul dan Elder (2017) terdapat aspek-aspek berpikir
kritis yang dinamakan Intellectual Standards of Critical Thinking, yaitu:
a. Kejelasan adalah standar penting pemikiran kritis. Kejelasan meliputi kejelasan
komunikasi yang berarti jelas dalam cara mengkomunikasikan pikiran,
keyakinan, dan alasan untuk keyakinan itu. Kemudian, kejelasan pemikiran juga
penting yang berarti mampu memahami dengan jelas apa yang dipercayai, dan
mengapa mempercayainya.
b. Precision melibatkan bekerja keras untuk menyelesaikan masalah yang ada di
depan pikiran dengan cara tertentu.
29
c. Akurasi dilakukan untuk mencapai atau mendekati kebenaran, pemikir kritis
mencari informasi yang akurat dan memadai sebelum melakukan analisa.
d. Relevansi berarti informasi dan ide yang dibahas harus relevan secara logis
dengan masalah yang sedang dibahas.
e. Konsistensi adalah aspek kunci dari pemikiran kritis. Keyakinan kita harus
konsisten.
f. Kebenaran logis berarti bahwa seseorang terlibat dalam penalaran yang benar
dari apa yang dipercaya pada contoh yang diberikan, dan kepada kesimpulan
yang mengikuti dari keyakinan tersebut.
g. Kelengkapan berarti terlibat dalam pemikiran dan evaluasi yang mendalam dan
menyeluruh, menghindari pemikiran dan kritik yang dangkal dan dangkal.
h. Keadilan melibatkan upaya untuk berpikiran terbuka, tidak memihak, dan bebas
dari bias dan prakonsepsi yang mendistorsi pemikiran kita.
Ennis (dalam Schroeder, 2012) kemudian menyebutkan bahwa pemikir kritis
idealnya mempunyai 12 kemampuan berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi
5 aspek kemampuan berpikir kritis, antara lain:
a. Elementary clarification (memberikan penjelasan dasar) yang meliputi, fokus
pada pertanyaan (dapat mengidentifikasi pertanyaan/masalah, dapat
mengidentifikasi jawaban yang mungkin, dan apa yang dipikirkan tidak keluar
dari masalah itu), Menganalisis pendapat (dapat mengidentifikasi kesimpulan
dari masalah itu, dapat mengidentifikasi alasan, dapat menangani hal-hal yang
tidak relevan dengan masalah itu), berusaha mengklarifikasi suatu penjelasan
melalui tanya-jawab.
30
b. The basis for the decision (menentukan dasar pengambilan keputusan) yang
meliputi, mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak,
mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
c. Inference (menarik kesimpulan) yang meliputi, mendeduksi dan
mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil
induksi, membuat dan menentukan pertimbangan nilai.
d. Advanced clarification (memberikan penjelasan lanjut) yang meliputi,
mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi tersebut,
mengidentifikasi asumsi.
e. Supposition and integration (memperkirakan dan menggabungkan) yang
meliputi, mempertimbangkan alasan atau asumsi-asumsi yang diragukan tanpa
menyertakannya dalam anggapan pemikiran kita, menggabungkan kemampuan
dan karakter yang lain dalam penentuan keputusan.
Berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Facione (2011), Paul dan Elder
(2017), dan Ennis (dalam Schroeder, 2012) dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-
aspek berpikir kritis adalah analisis, interpretasi, inferensi, evaluasi, eksplanasi,
regulasi diri, kejelasan, precision, akurasi, relevansi, konsistensi, kebenaran logis,
kelengkapan, keadilan, elementary clarification, the basis for the decision,
inference, advanced clarification, supposition and integration. Pada penelitian ini,
peneliti memilih menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Facione (2011)
karena aspek tersebut sesuai dengan hasil wawancara terhadap mahasiswa sebagai
pengguna aktif media sosial instagram.
31
C. Dinamika Hubungan antara Berpikir Kritis dengan Literasi Informasi
pada Mahasiswa
Internet bagaikan rimba belantara informasi, begitupun media sosial (Banowo
dan Pradittya, 2010). Informasi yang telah terunggah dan dibaca oleh banyak orang
dapat mempengaruhi emosi, perasaan, pikiran, bahkan dapat memengaruhi
tindakan seseorang atau kelompok (Abner, Khaidir, Abdillah & Bimantoro, 2017).
Sangat disayangkan apabila informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi
yang tidak akurat apalagi bohong. Berita bohong ini kemudian lebih dikenal dengan
sebutan hoaks. Hoaks berarti rencana untuk menipu seseorang (McIntosh, 2013)
dan penyebaran hoaks yang masif di instagram ini tentu sangat meresahkan apalagi
juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Beragamnya informasi yang
tersebar di instagram menuntut pengguna untuk dapat menentukan mana informasi
yang akurat dan mana informasi yang tidak akurat.
Weiner (dalam Mcmullin, 2018) menjelaskan bahwa berpikir kritis
merupakan disiplin khusus yang harus dimiliki individu. Dalam prosesnya, berpikir
kritis menggunakan prosedur yang hanya diketahui oleh individu karena dilakukan
secara mental dan berpikir kritis dapat meningkatkan status individu dengan fokus
pada hasil dalam hal ini dijelaskan pula bahwa literasi informasi menggunakan
proses yang lebih umum yang melibatkan teknik menghubungkan alat (komputer,
misalnya) dengan tindakan manusia. Temuan ini menunjukkan bahwa berpikir
kritis dengan literasi informasi mempunyai keterkaitan dalam fungsi kognitif
manusia. Beberapa penelitian lainnya menyatakan bahwa terdapat hubungan
langsung antara berpikir kritis dan literasi informasi. Seperti penelitian yang
32
dilakukan oleh Chang (dalam Rezaee, dkk., 2016) yang menyatakan ada hubungan
yang signifikan dan langsung antara keterampilan berpikir kritis dan literasi
informasi. Kemampuan-kemampuan dalam beberapa aspek berpikir kritis
selanjutnya dirasa mampu meningkatkan literasi informasi mahasiswa dalam
menghadapi berita hoaks di instagram.
Interpretasi adalah memahami ungkapkan makna dari berbagai macam
pengalaman, situasi, data, peristiwa, penilaian, konvensi, keyakinan, aturan,
prosedur, atau kriteria (Facione, 2011). Interpretasi dapat dikatakan sebagai
tindakan paling dasar untuk memahami informasi yang datang, hal ini dikarenakan
informasi dapat hadir dalam proses komunikasi lisan, gerakan, atau melalui simbol
tertentu. Interpretasi yang benar tergantung pada pemahaman pesan dalam
konteksnya dan dalam hal siapa yang mengirimnya, dan untuk tujuan apa.
Interpretasi termasuk mengklarifikasi apa arti sesuatu atau seseorang,
mengelompokkan atau mengelompokkan informasi, dan menentukan pentingnya
suatu pesan (Facione 2011).
Sejak era media sosial berlangsung dan pengguna media harus memiliki akses
ke perangkat tertentu dan mengetahui cara mengoperasikan perangkat tersebut.
Tidak seperti media massa tradisional, maka seseorang harus selanjutnya
melibatkan kemampuan untuk menemukan konten yang relevan dengan mencari
dan memfilter melalui beragam informasi. Pada tahap inilah kemampuan
menafsirkan pesan diperlukan. Konten media bersifat interaktif, artinya
interaktivitas menjadi sifat dasar dari media digital yang membedakannya dari
media massa tradisional. Ini memungkinkan pengguna media rata-rata untuk
33
menyimpan, membuat catatan, mendistribusikan kembali, dan berbagi berbagai
bentuk informasi yang dulunya hanya dikonsumsi (Jenkins dalam Park, 2012).
Apabila mahasiswa mempunyai kemampuan interpretasi yang tinggi maka akan
dapat melihat informasi secara menyeluruh sesuai dengan konteksnya.
Aspek analisis didefinisikan sebagai kemampuan yang memungkinkan
individu untuk mengidentifikasi berbagai asumsi, alasan, klaim, dan untuk
memeriksa bagaimana mahasiswa berinteraksi dalam pembentukan argumen.
Aspek ini digunakan untuk mengumpulkan informasi dari berbagai format.
Individu dengan kemampuan analisis yang kuat dapat mengerti pola dan perincian,
dapat mengidentifikasi elemen-elemen dari sebuah informasi dan menentukan
bagaimana elemen-elemen tersebut saling berinteraksi (Facione, 2011). Dalam hal
ini, apabila mahasiswa mempunyai kemampuan analisis yang tinggi maka semakin
mudah untuk mengumpulkan dan mengelola informasi yang didapat dari instagram.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Azami dan Salehiniya (2016) bahwa literasi
informasi mahasiswa memiliki korelasi positif dengan komponen analisis dari
berpikir kritis (r = 16, p = 0,006). Selanjutnya, Eyvazi (dalam Rezaee, dkk., 2016)
yang menemukan dalam studinya bahwa berpikir kritis dan literasi informasi
memiliki hubungan yang signifikan dan langsung dengan analisis dan inferensi dari
seorang individu dengan literasi informasi yang tinggi dan rendah untuk literasi
informasi yang rendah. Penjelasan ini menunjukkan jika mahasiswa mempunyai
kemampuan analitis yang tinggi maka literasi informasinya akan semakin baik.
Tentu informasi ini tidak hanya semata-mata dianalisis namun mahasiswa perlu
mengetahui cara mengelola informasi dengan cara kreatif agar mendapat esensi
34
informasi tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Ward (dalam Wertz, dkk., 2013)
bahwa kemampuan literasi informasi membutuhkan lebih dari hanya sekedar
menganalisis informasi, individu harus tahu bagaimana mengelola informasi
dengan cara yang kreatif.
Aspek inferensi berarti kemampuan yang memungkinkan individu untuk
menarik kesimpulan dari alasan dan bukti. Inferensi menunjukkan konsekuensi
yang diperlukan atau yang sangat mungkin dari serangkaian fakta dan kondisi
tertentu. Kesimpulan, hipotesis, rekomendasi atau keputusan yang didasarkan pada
analisis yang salah, mis-informasi, data buruk atau evaluasi bias dapat berubah
menjadi keliru. Kemampuan untuk menarik kesimpulan dari alasan dan bukti ini
terbukti berpengaruh pada kemampuan literasi informasi mahasiswa. Hal ini
dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Azami dan Salehiniya (2016)
yang menunjukkan bahwa komponen inferensi mahasiswa memiliki korelasi positif
dengan literasi informasi (r = 0,12, p = 0,040). Apabila mahasiswa dapat menarik
kesimpulan berdasarkan alasan dan bukti maka akan dapat terhindar dari
misinformasi bahkan hoaks.
Kemudian, ketika menghadapi paparan informasi yang begitu banyak,
mahasiswa dituntut untuk melakukan evaluasi dan verifikasi informasi secara
efektif dan efisien dalam pengambilan keputusan untuk tentang apa yang harus
dipercayai atau dilakukan. Aspek evaluasi memungkinkan untuk menilai
kredibilitas sumber informasi dan klaim yang ada sebagai dasar menentukan
kekuatan atau kelemahan argumen (Facione, 2011). Dengan evaluasi, mahasiswa
dapat menilai kualitas informasi yang beredar di instagram berupa penjelasan,
35
pendapat, opsi, keyakinan, ide, dan keputusan yang dimuat dengan format tulisan,
video, dan/atau musik. Selain itu, mahasiswa dapat menilai kualitas analisis,
interpretasi, penjelasan, dan kesimpulan, yang telah dilakukan. Penelitian Rezaee,
dkk., (2016) mengungkapkan hasil yang signifikan dan positif pada aspek evaluasi
dengan literasi informasi mahasiswa (r = 0,231 p = 0,001).
Selanjutnya, Eksplanasi didefinisikan sebagai penjelasan sebagai mampu
menyajikan dengan meyakinkan dan koheren sebagai hasil dari penalaran seseorang
ini berarti individu mampu untuk menjelaskan bukti, alasan, metode, asumsi,
standar atau alasan untuk keputusan, pendapat, keyakinan dan kesimpulan.
Kemampuan penalaran eksplanatif dilakukan sebelum membuat keputusan akhir
tentang apa yang harus dipercaya atau apa yang harus dilakukan. Keterampilan
penjelasan yang kuat memungkinkan individu untuk menemukan, untuk menguji
dan mengartikulasikan alasan untuk keyakinan, peristiwa, tindakan dan keputusan.
Eksplanasi dapat memperlihatkan kepaduan dan keteraturan pikiran
seseorang. Salah satu indikator dari eksplanasi adalah mampu mengungkapkan
hasil dengan kata-kata, hal ini dapat juga dilihat melalui kemampuan menulis.
Kusunarningsih (2018) mengungkapkan bahwa kepaduan sebuah paragraf dari
yang dibangun harus mempunyai hubungan timbal balik, teratur, tidak ada loncatan
pikiran dan dibutuhkan kalimat penjelas untuk menunjang kejelasan topik.
Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara dan kemampuan menulis dengan literasi informasi.
Regulasi diri berarti sadar diri untuk memantau aktivitas kognitif, unsur-
unsur yang digunakan dalam kegiatan tersebut, kemudian menerapkan
36
keterampilan dalam analisis, dan evaluasi terhadap penilaian inferensial seseorang
dengan pandangan terhadap pertanyaan, mengkonfirmasikan, memvalidasi, atau
mengoreksi salah satu alasan seseorang atau hasil seseorang. Terdapat dua sub-skill
dalam aspek ini adalah monitor diri dan koreksi diri. Rasooli (2016) mengatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara strategi regulasi diri dengan
literasi informasi, dapat disimpulkan bahwa regulasi diri berkaitan dengan
meningkatkan literasi informasi.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap aspek berpikir kritis
terbukti berpengaruh terhadap literasi informasi. Penelitian terdahulu memperkuat
pernyataan tersebut. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Wertz, dkk. (2013)
menyatakan adanya korelasi positif antara literasi informasi dan berpikir kritis
melalui analisis. Penelitian yang dilakukan Moradi, dkk. (2014) telah mengungkap
bahwa ada korelasi yang signifikan antara berpikir kritis dan skor literasi informasi.
Dijelaskan pula bahwa terdapat korelasi langsung dan signifikan antara analisis,
inferensi, penalaran deduktif dan induktif dengan literasi informasi. Maka, hal
tersebut dapat menjelaskan bahwa semakin tinggi kemampuan berpikir kritis
mahasiswa maka semakin tinggi pula kemampuan literasi informasinya dalam
menghadapi berita hoaks di media sosial.
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara
berpikir kritis dengan literasi informasi pada mahasiswa dalam menghadapi hoaks
di instagram. Semakin tinggi keterampilan berpikir kritis mahasiswa, maka semakin
37
tinggi literasi informasi mahasiswa, demikian pula sebaliknya semakin rendah
keterampilan berpikir kritis mahasiswa, maka semakin rendah literasi informasi
mahasiswa.
top related