bab ii tinjauan pustaka - wisuda.unud.ac.id ii skripsi.pdf · beberapa konsep dan teori serta hasil...
Post on 01-Feb-2018
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, peneliti mengemukakan
beberapa konsep dan teori serta hasil penelitian yang terkait dengan bidang
penelitian yang meliputi:
2.1 Tunagrahita
Tunagrahita bukanlah sebuah penyakit, meskipun tunagrahita merupakan
hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran
keterbatasan terhadap fungsi intelektual dan fungsi adaptif (Gunarsa, 2006).
2.1.1 Pengertian Tunagrahita
Tunagrahita (mental retardation) adalah keadaan dengan inteligensi yang
kurang (IQ <70) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak), dan
biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi
gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Tunagrahita disebut juga
olegofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) (Maramis, 2009).
Tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak
lengkap yang ditandai dengan adanya kelemahan (impairment) keterampilan atau
kecakapan (skills) selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua
tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, motorik, bahasa, dan sosial
(DSM-IV, 1994 dalam Lombantobing, 2006).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
tunagrahita merupakan suatu keadaan dengan adanya gangguan perkembangan
12
13
mental secara menyeluruh sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa
anak) ditandai dengan adanya kelemahan (impairment) keterampilan atau
kecakapan (skills) sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu
kemampuan kognitif, motorik, bahasa, dan sosial.
2.1.2 Penyebab Tunagrahita
Tunagrahita primer merupakan tunagrahita yang disebabkan oleh faktor
keturunan (retardasi mental genetik) atau bahkan faktor yang tidak diketahui
(retardasi mental simpleks). Sementara itu, penyebab tunagrahita sekunder adalah
faktor-faktor dari luar yang diketahui dan faktor- faktor ini mempengaruhi otak
pada waktu pranatal, perinatal atau postnatal (Maramis, 2009).
2.1.3 Karakteristik Tunagrahita
Karakteristik merupakan ciri khas, watak atau tabiat yang dimiliki oleh
seseorang (KBBI, 2008). Karakteristik anak tunagrahita dibedakan berdasarkan
tingkat ketunagrahitaannya. Intelligence Quotient (IQ) bukanlah satu-satunya
patokan yang dipakai untuk menentukan ringan-beratnya tunagrahita, namun
dapat juga dipakai kemampuan untuk dididik atau dilatih dan kemampuan sosial
atau kerja (vokasional). Gambaran penting tunagrahita adalah fungsi intelektual
dibawah rata-rata (IQ <70) yang disertai dengan adanya keterbatasan dalam area
fungsi adaptif seperti keterampilan komunikasi, perawatan diri, keterampilan,
interpersonal atau soaial, penggunaan sumber masyarakat, tinggal di rumah,
penunjuk diri, keterampilan akademik, pekerjaan, kesehatan, dan keamanan
(King, 2000 dalam Napolion, 2010).
14
Karakteristik tunagrahita ditinjau dari segi intelektual (IQ), sosial, dan
pendidikan (DSM-IV, 1994 dalam Lumbantobing, 2006; Hallahan & Kauffman,
2006; Maramis, 2009), yaitu:
a. Tunagrahita ringan
Intellegencia Quotient (IQ) 50-70, dapat mencari nafkah secara sederhana
dalam keadaan baik, serta dapat dilatih dan dididik di sekolah khusus.
b. Tunagrahita sedang
Intellegencia Quotient (IQ) 35-49, mengenal bahaya, tidak dapat mencari
nafkah, tidak dapat dididik, namun dapat dilatih.
c. Tunagrahita berat
Intellegencia Quotient (IQ) 20-34, mengenal bahaya, tidak dapat mencari
nafkah, tidak dapat dididik, namun dapat dilatih.
d. Tunagrahita sangat berat
Intellegencia Quotient (IQ) <20, tidak mengenal bahaya, tidak dapat mengurus
diri sendiri, tidak dapat dididik, dan tidak dapat dilatih.
Sebagai bahan pertimbangan untuk mempelajari tentang karakteristik anak
tunagrahita, dapat dilihat pada tabel 2.1.
15
Tabel 2.1 Ciri-Ciri Perkembangan Penderita Tunagrahita
Tingkat
Tunagrahita
Umur pra-sekolah :
0 -5 tahun
Pematangan dan
Perkembangan
Umur Sekolah :
6 – 20 tahun
Latihan dan
pendidikan
Masa dewasa:
21 tahun atau lebih
Kecukupan Sosial dan
Pekerjaan
Berat Sekali Retardasi berat;
kemampuan minimal
untuk berfungsi dalam
bidang sensori-motorik;
membutuhkan perawatan.
Perkembangan
motorik sedikit; dapat
bereaksi terhadap
latihan mengurus diri
sendiri secara minimal
atau terbatas.
Perkembangan motorik
dan bicara sedikit; dapat
mencapai mengurus diri
sendiri secara sangat
terbatas; membutuhkan
perawatan.
Berat Perkembangan motorik
kurang; bicara minimal;
pada umumnya tidak
dapat dilatih untuk
mengurus diri – sendiri;
keterampilan komunikasi
tidak ada atau hanya
sedikit sekali.
Dapat berbicara atau
belajar
berkomunikasi; dapat
dilatih dalam
kebiasaan kesehatan
dasar; dapat dilatih
secara sistemik dalam
kebiasaan.
Dapat mencapai
sebagian dalam
mengurus diri sendiri di
bawah pengawasan
penuh; dapat
mengembangkan secara
minimal berguna
keterampilan menjaga
diri dalam lingkungan
yang terkontrol.
Sedang Dapat berbicara atau
belajar berkomunikasi;
kesadaran sosial kurang;
perkembangan motorik
cukup; dapat mengurus
diri sendiri; dapat diatur
dengan pengawasan
sedang.
Dapat dilatih dalam
keterampilan sosial
dan pekerjaan; sukar
untuk maju lewat
kelas 2 SD dalam
mata pelajaran
akademik; dapat
belajar bepergian
sendirian di tempat
yang sudah dikenal.
Dapat mencari nafkah
dalam pekerjaan kasar
(“unskilled”) atau
setengah terlatih dalam
keadaan yang
terlindung; memerlukan
pengawasan dan
bimbingan bila
mengalami stres sosial
atau stres ekonomi yang
ringan.
Ringan Dapat mengembangkan
keterampilan sosial dan
komunikasi;
keterbelakangan minimal
dalam bidang
sensorimotoik; sering
tidak dapat dibedakan
dari normal hingga usia
lebih tua.
Dapat belajar
keterampilan
akademik sampai kira-
kira kelas 6 pada umur
belasan tahun (dekat
umur 20 tahun); dapat
dibimbing ke arah
konformitas sosial.
Biasanya dapat
mencapai keterampilan
sosial dan pekerjaan
yang cukup untuk
mencari nafkah, tetapi
memerlukan bimbingan
dan bantuan bila
mengalami stres sosial
atau stres ekonomi yang
luar biasa.
Sumber: Freedman, A.M., H.I. dan Sadock, B.J. : Modem Synopsis of Comprehensive Textbook of
Psychiatry, Williams & Wilkins Co, Baltimore, 1972, HI. 313 dalam Maramis, 2009.
16
2.1.4 Dampak Keterbatasan Anak Tunagrahita
a. Orang tua
Kebanyakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan
tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung
menyembunyikan anaknya. Orang tua menganggap bahwa kondisi anaknya
disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga orang tua
merasa tidak mampu, rendah diri gagal dan berperilaku menghindari atau menarik
diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya (Napolion, 2010). Hal tersebut
akan berdampak pada munculnya tugas maladaptif sebagai orang tua. Adapun
tugas maladaptif orangtua yang mempunyai anak dengan tunagrahita meliputi:
1) tidak/kurang menerima keadaan anak dengan tunagrahita,
2) tidak/kurang memperhatikan dan merawat setiap kebutuhan anak tunagrahita,
3) tidak/kurang mampu memenuhi kebutuhan normal perkembangan anak
tunagrahita,
4) tidak/kurang mampu memenuhi kebutuhan terkait perkembangan anggota
keluarga lainnya,
5) tidak/kurang mampu mengatasi stres dan krisis periodik,
6) tidak/kurang ada upaya orang tua dalam membantu anggota keluarga dalam
mengatasi perasaan yang tidak menyenangkan,
7) tidak/kurang mampu mengajarkan anggota keluarga yang lain tentang kondisi
anak, dan
8) tidak/kurang mampu melaksanakan sistem pendukung (Dewi, 2011).
17
b. Saudara Kandung
Allen, Lowe, Moore & Brophy (2007 dalam Dewi, 2011) menemukan
beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa saudara kandung dari anak yang
mengalami tunagrahita, beresiko tinggi gagal melakukan penyesuaian. Namun
penelitian lainnya menjelaskan bahwa ikatan hubungan saudara kandung pada
anak tunagrahita tidak memiliki resiko mengalami masalah psikiatrik berat
(O`brien, 2003 dalam Dewi, 2011).
c. Anggota keluarga besar dan masyarakat
Menurut Wong (2009), anggota keluarga yang bukan inti atau beberapa
teman dekat dapat merasakan efek dari keterbatasan anak tunagrahita. Stres dapat
muncul dari sumber eksternal keluarga, seperti teman, tetangga, atau bahkan dari
orang asing sekalipun. Ketidakmampuan untuk mengatasi pendapat atau
pandangan curiga orang lain mengenai gangguan tunagrahita dapat mendorong
kecenderungan untuk mengisolasi atau menyembunyikan anak tunagrahita dari
dunia luar (Dewi, 2011).
2.1.5 Upaya untuk Mengatasi Anak dengan Tunagrahita
Menurut Isaacs (2005), upaya untuk mengatasi anak dengan tunagrahita,
yaitu:
a. Pencegahan Primer dan Sekunder
Pencegahan dilakukan dengan imunisasi bagi anak dan ibu sebelum
kehamilan, konseling perkawinan, pemeriksaan kehamilan rutin, nutrisi yang baik,
persalinan oleh tenaga kesehatan, memperbaiki sanitasi dan gizi keluarga,
pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat dan program mengentaskan
18
kemiskinan dengan tujuannya yaitu untuk meningkatkan kesehatan calon anak
(Arifin, 2009 dalam Napolion, 2010). Pencegahan sekunder dilakukan dengan
deteksi dini pada anak-anak yang mengalami kesulitan sekolah sehingga tindakan
tepat dapat segera diberikan dengan cara konseling individu dengan program
bimbingan sekolah dan layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami
stres (Isaac, 2005).
b. Dukungan Terapeutik
Dukungan diberikan kepada anak yang mengalami tunagrahita dengan
pikoterapi individu, terapi bermain dan program pendidikan khusus seperti
Sekolah Luar Biasa (Isaac, 2005).
c. Terapi Keluarga dan Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan untuk keluarga khususnya orang tua berisi tentang
perkembangan anak untuk tiap tahap usia dukung keterlibatan orang tua dalam
perawatan anak, bimbingan antisipasi, dan manajemen menghadapi perilaku anak
yang sulit, informasikan sarana pendidikan yang ada dan kelompok swabantu
(Arifin, 2009 dalam Napolion, 2010).
d. Farmakologi
Menurut Townsend (2003 dalam Napolion, 2010), pengobatan khusus
untuk anak dengan tunagrahita sampai saat ini belum ada, pengobatan dilakukan
jika anak mengalami keadaan khusus seperti cemas berat itupun dilakukan bukan
sebagai prioritas utama.
19
2.2 Keluarga (Orang Tua) dengan Anak Tunagrahita
2.2.1 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran,
dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya yang
umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari
tiap anggota keluarga yang terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan
untuk mencapai tujuan bersama (Friedman, 1998 dalam Achjar 2010). Keluarga
merupakan unit terkecil yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang
yang berkumpul serta tinggal di bawah satu atap di suatu tempat dalam keadaan
saling ketergantungan (DepKes R.I., 1988 dalam Achjar, 2010). Menurut UU
No.10 (1992 dalam Napolion, 2010) tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri, suami-istri dan ananknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Keluarga disebut sebagai sebuah sistem dikarenakan beberapa alasan yaitu
pertama, keluarga memiliki subsistem seperti anggota, peran, fungsi, aturan,
budaya, dan lainnya yang dapat dipelajari dan dipertahankan dalam kehidupan
keluarga. Kedua, dalam sebuah keluarga terdapat saling berhubungan dan
ketergantungan antara subsistem. Ketiga, keluarga merupakan unit terkecil dari
masyarakat yang dapat mempengaruhi suprasistemnya (Friedman, 2010).
Sementara itu, pengertian orang tua adalah ayah dan ibu (KBBI, 2008).
20
2.2.2 Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi dari struktur
keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Menurut
Friedman (1998 dalam Achjar, 2010) terdapat beberapa fungsi keluarga, yaitu:
a. Fungsi Afektif
Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan
pemeliharaan kepribadian dari anggota keluarga, dimana fungsi ini dapat dilihat
dari bagaimana cara keluarga mengekspresikan kasih sayang (Achjar, 2010).
Menurut Friedman (2010 dalam Dewi, 2011) peran utama orang tua dalam
keluarga dengan anak tunagrahita adalah fungsi afektif yang berhubungan
dengan:
1) pemberian kasih sayang dan rasa aman dari orang tua terhadap anak
tunagrahita,
2) pemberian perhatian di antara anggota keluarga, khususnya dalam memenuhi
kebutuhan dasar anak,
3) membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dalam menghadapi
krisis yang mungkin muncul karena memiliki anak tunagrahita, dan
4) memberikan identitas keluarga sebagai wujud tanggung jawab kepala keluarga
dalam meningkatkan harga diri keluarga menghadapi stigma sosial tentang
anak tunagrahita.
b. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada
anak, membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan
21
perilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak, serta meneruskan nilai-nilai
budaya keluarga (Achjar, 2010). Anak tunagrahita akan mengalami stigma sosial
(Wong, 2009) karena keterbatasan yang dimiliki sehingga berdampak terhadap
penerimaan masyarakat akan keberadaannya. Hal ini menjadi salah satu faktor
yang turut berkontribusi terhadap kesulitan anak tunagrahita untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya. Selain itu, menurut Allen, Lowe, Moore &
Brophy (2007 dalam Dewi, 2011), beberapa anak juga mengalami kelemahan
dalam keterampilan bersosialisasi, seperti dalam komunikasi verbal dan
perumusan bahasa yang tepat. Orang tua yang memahami dan menyadari akan
kelemahan anak retardasi mental merupakan faktor utama untuk membantu
perkembangan anak dengan lingkungan (Suryani, 2005 dalam Dewi, 2011).
c. Fungsi Perawatan Kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan keluarga merupakan fungsi keluarga dalam
melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga termasuk anggota
keluarga dengan tunagrahita serta menjamin pemenuhan kebutuhan
perkembangan fisik, mental, dan spiritual dengan cara memelihara dan merawat
anggota keluarga serta mengenali keadaan sakit setiap anggota keluarga.
Keluarga diartikan sebagi sentral pelayanan keperawatan karena keluarga dapat
menjadi sumber kritikal untuk pemberian pelayanan keperawatan, sehingga
intervensi yang dilakukan pada keluarga merupakan hal yang perlu penting
pemenuhan kebutuhan individu (Achjar, 2010).
22
d. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang,
pangan, papan, dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dan keluarga.
Mencari sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan
penghasilan keluarga, serta menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Menurut Sethi, Bhargava & Dhiman (2007 dalam Dewi, 2011), beban yang
dirasakan keluarga ketika memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan
ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi fungsi ekonomi. Keluarga akan
dihinggapi perasaan cemas tentang masa depan pembiayaan anak, terkait dengan
kemunduran produktivitas kepala keluarga dan kekhawatiran bahwa anak tidak
mampu berfungsi optimal secara ekonomis, dikarenakan keterbatasan yang
dimilikinya (Hassall, Rose & Mc.Donald, 2005).
e. Fungsi Biologis
Fungsi biologis keluarga (orang tua) bukan hanya ditujukan untuk
meneruskan keturunan tetapi untuk memelihara dan membesarkan anak untuk
kelanjutan generasi selanjutnya. Beberapa keluarga dengan anak berkebutuhan
khusus akan mengalami stres dan ketegangan dalam hidupnya sehingga terkadang
tidak memiliki cukup waktu dan perhatian dalam perencanaan pengaturan anak.
Mereka akan disibukkan tentang beban yang tinggi dalam perawatan dan masa
depan anak, sehingga fungsi reproduksi dalam keluarga sering kali terabaikan
(Tsai & Wang, 2007 dalam Dewi, 2011).
23
f. Fungsi Psikologis
Fungsi psikologis tercermin dari bagaimana keluarga memberikan kasih
sayang, rasa aman, memberikan perhatian di antara anggota keluarga membina
pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga
(Achjar, 2010), termasuk pada anggota keluarga yang menyandang tunagrahita.
Kasih sayang dari keluarga/orang tua sangat dibutuhkan oleh anak tunagrahita.
Anak yang hidup di lingkungan yang penuh kasih sayang akan tumbuh lebih baik
daripada anak yang hidup di lingkungan keluarga yang tertekan dan tidak
harmonis (Napolion, 2010).
g. Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan diberikan keluarga dalam rangka memberikan
pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak, mempersiapkan anak
untuk kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Anak tungarahita dengan inteligensinya yang kurang (Maramis, 2009) akan
menjadi pekerjaan lebih bagi orang tua dalam mendidik dan melatihnya.
2.2.3 Tugas dan Peran Keluarga
Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh
keluarga, komunitas, dan kultur. Perilaku diasarkan pada pola yang ditetapkan
melalui sosialisasi (Potter & Perry, 2005). Peran keluarga sangat diperlukan saat
mengahadapi masalah yang muncul pada keluarga, hal ini terkait dengan adanya
hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan setiap anggota keluarga.
Salah satu peran atau tugas keluarga adalah merawat anggota keluarga yang sakit
24
atau tidak mampu (Achjar, 2010). Mohr (2006) membagi peran keluarga yang
memiliki anak tunagrahita menjadi lima, yaitu:
1) memberikan respon terhadap setiap kebutuhan anggota keluarga terutama
kebutuhan stimulasi tumbuh kembang pada anak tunagrahita,
2) membantu mengatasi setiap masalah psikososial dalam keluarga secara aktif
akibat memiliki dan atau merawat anak tunagrahita
3) pembagian tugas dengan distribusi yang merata terkait stimulasi tumbuh
kembang anak tunagrahita,
4) menganjurkan interaksi di dalam dan di luar keluarga, serta
5) meningkatkan kualitas kesehatan pada setiap anggota keluarga.
2.3 Masalah Psikososial Orang Tua: Ansietas
Orang tua dengan anak tunagrahita akan mengalami suatu periode krisis
karena merawat anak berkebutuhan khusus. Masalah psikososial yang kerap
dialami orang tua ketika merawat anak tunagrahita yaitu ansietas (Dewi, 2011).
2.3.1 Pengertian Ansietas
Kata ansietas berasal dari bahasa Latin, angere, yang berarti tercekik atau
tercekat. Respon ansietas sering kali tidak berkaitan dengan ancaman yang nyata,
namun tetap dapat membuat seseorang tidak mampu bertindak atau bahkan
menarik diri (Maramis, 2009). Menurut Saddock & Saddock (2007), ansietas
merupakan suatu respon normal individu terhadap pertumbuhan, perubahan,
pengalaman baru, penemuan identitas, dan makna hidup. Ansietas adalah perasaan
tidak khas yang disebabkan oleh dugaan akan bahaya atau frustasi yang akan
25
membahayakan rasa aman, keseimbangan, atau kehidupan seseorang atau
kelompok sosialnya. Sedangkan menurut Depkes RI (2009 dalam Dewi, 2011),
ansietas adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena
dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian
besar tidak diketahui dan berasal dari dalam.
Setelah mencermati beberapa pengertian di atas, konsep ansietas dapat
dibedakan dengan ketakutan. Pada ansietas, sumber penyebab tidak jelas.
Sementara pada ketakutan, sumber ketakutan jelas atau individu tahu takut
terhadap apa (Maramis, 2009).
2.3.2 Faktor Predisposisi
Ansietas tidak dapat dihindarkan dari kehidupan orang tua selama merawat
anak tunagrahita. Pengalaman ansietas orang tua tidak sama pada beberapa situasi
dan hubungan interpersonal. Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan
ansietas pada orang tua anak tunagrahita, meliputi:
a. Pandangan biologis
Ansietas diduga bersifat turunan, karena terdapat komponen yang bersifat
diwariskan dari satu generasi ke generasi sesudahnya. Disfungsi neurotransmiter
gama amino butirat acid (GABA) diyakini dapat mempengaruhi terjadinya
ansietas. Selain GABA, terdapat beberapa neurotransmiter lainnya yang turut
berperan dalam proses terjadinya ansietas, sebagaimana halnya dengan endorphin.
Selain itu telah dibuktikan bahwa status kesehatan umum seseorang mempunyai
kontribusi terhadap faktor predisposisi ansietas, karena dapat menurunkan
kapasitas seseorang dalam mengatasi stresso (Videbeck, 2007).
26
b. Pandangan psikoanalitik
Ansietas diartikan sebagai konflik emosional yang terjadi antara dua
elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan
impuls primitif seseorang sedangkan superego mencerminkan hati nurani
seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya. Ego atau aku berfungsi
menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan, dan fungsi ansietas
adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya (Videbeck, 2007).
c. Pandangan Interpersonal
Menurut Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi, & Sumijatun (2005),
ansietas muncul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan
penolakan interpersonal. Ansietas berhubungan dengan perkembangan trauma,
seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik.
d. Pandangan perilaku
Ansietas timbul sebagai produk frustasi, yaitu segala sesuatu yang
mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan
(Videbeck, 2007). Beberapa pakar menganggap ansietas sebagai suatu dorongan
untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan.
e. Pandangan keluarga
Gangguan ansietas adalah hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga
(Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi & Sumijatun, 2005), terdapat tumpang
tindih antara gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.
27
2.3.3 Stresor Presipitasi
Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi & Sumijatun (2005) menyatakan
bahwa stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan ansietas. Stresor pencetus ansietas dapat dikelompokkan dalam tiga
kategori, yaitu:
a. Biologi
Menurut Tarwoto & Wartonah (2010), jika seorang individu yang terkena
gangguan fisik, seperti penyakit kronis, cacat, pasca operasi, aborsi, dan
sebagainya, akan lebih mudah mengalami stres. Selain itu, gangguan fisik juga
akan lebih mudah untuk mencetuskan terjadinya ansietas, dikarenakan gangguan
integritas fisik akan mempengaruhi konsep diri individu.
b. Psikologi
Faktor pencetus ansietas meliputi identitas diri dan harga diri individu.
Ancaman eksternal terkait dengan kondisi psikologis dapat mencetuskan ansietas,
seperti peristiwa kematian, kelahiran, pernikahan, putus kerja, dan sebagainya
(Dewi, 2011).
c. Sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi akan mempengaruhi kemampuan individu dalam
mengelola stres, yang jika terus berlanjut dan sulit untuk diantisipasi akan
menyebabkan ansietas. Pernyataan tersebut didukung oleh Tarwoto & Wartonah
(2010) yang menyatakan bahwa status sosial ekonomi dan pekerjaan akan
mempengaruhi timbulnya stres dan ansietas.
28
2.3.4 Gejala-Gejala Ansietas
Gejala-gejala ansietas terdiri dari 2 komponen, yaitu komponen psikis dan
komponen fisik. Gejala psikis dapat berupa ansietas atau kecemasan itu sendiri;
ada berbagai istilah yang sering digunakan oleh orang banyak, misalnya khawatir
tau was-was. Komponen fisik merupakan manifestasi dari keterjagaan yang
berlebihan (hyperousal syndrome): jantung berdebar, napas mencepat
(hiperventilasi, yang sering dirasakan sebagai „sesak‟), mulut kering, keluhan
lambung (maag), tangan dan kaki merasa dingin dan ketegangan otot, biasanya di
pelipis, tengkuk tau punggung. Hiperventilasi sering tidak disadari oleh penderita
anxietas, yang dikeluhkan dalah gejala-gejala akibat berubahnya keseimbangan
asam-basa di darah, terjadi hipokapnea; yang paling sering terjadi dalah perasaan
pusing seperti melayang rasa kesemutan di tangan dan kaki, kalau parah dapat
terjadi spasme otot tangan dan kaki (spasme karpopedal) (Maramis, 2009).
2.3.5 Rentang Respon Ansietas
Rentang respon individu terhadap ansietas berfluktuasi antara respon
adaptif dan maladaptif seperti terlihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Rentang Respon Ansietas (Sumber: Stuart dan Sundeen, 2007)
ADAFTIF MALADAFTIF
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
29
Menurut Peplau (1989 dalam Videbeck, 2007; Stuart & Sundeen, 2007),
tingkatan ansietas dapat dibagi atas:
a. Ansietas ringan
Ansietas pada tingkat ini berhubungan dengan ketegangan yang dialami
sehari-hari. Hal tersebut menyebabkan seseorang menjadi waspada, lapangan
persepsi meningkat, dan individu masih mampu memproses informasi. Ansietas
ringan dapat memotivasi belajar serta menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, mudah tersinggung,
lapang persepsi meningkat, berjaga-jaga, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar,
mampu mengenali tanda-tanda ansietas, motivasi meningkat dan tingkah laku
sesuai situasi.
b. Ansietas sedang
Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun. Individu
lebih memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.
Individu mengalami perhatian yang selektif namun masih dapat melakukan
sesuatu yang lebih terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu
kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat,
ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lapang persepsi
menyempit, kemampuan konsentrasi menurun, mampu untuk belajar namun tidak
optimal, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah
ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah, dan menangis.
30
c. Ansietas berat
Pada tingkat ini lahan persepsi individu menjadi sangat sempit. Individu
dengan ansietas berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang rinci dan
spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan
untuk menguragi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan
untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul
pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, mual, tidak dapat tidur
(insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lapang persepsi menyempit, tidak mau
belajar secara efektif, berfokus pada diri sendiri dan keinginan untuk
menghilangkan ansietas tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, serta
disorientasi.
d. Tingkat panik
Pada tahap ini lapangan persepsi sudah terganggu dan individu sudah tidak
dapat mengendalikan diri lagi, serta tidak mampu melakukan walaupun dengan
pengarahan. Manifestasi yang muncul pada keadaan ini adalah susah bernapas,
palpitasi, pucat, dilatasi pupil, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat
berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami
halusinasi, dan delusi. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan dan
jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat
bahkan kematian.
2.3.6 Tingkat Ansietas dalam Skala Hamilton
Tingkat ansietas seseorang, baik itu ringan, sedang, berat, atau panik,
dapat diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikenal dengan nama Hamilton
31
Anxiety Rating Scale (HARS). Cara penilaian tingkat ansietas menggunakan
HARS dapat diidentifikasi dengan berdasar pada 14 kelompok gejala yang
mengindikasikan respon ansietas, dimana masing-masing kelompok akan diberi
bobot skor 0-4 (Hawari, 2008). Menurut Hamilton (dalam Hawari, 2008), skala
ansietas dalam HARS dapat dibagi dalam dua aspek, yang meliputi :
a. Aspek Psikologis
1) Perasaan cemas: cemas, firasat buruk, mudah tersinggung.
2) Ketegangan: merasa tegang, mudah letih, mudah terkejut, mudah menangis,
gemetar, gelisah, tidak dapat istirahat.
3) Ketakutan: pada gelap, takut ditinggal sendiri, takut pada orang asing, takut
pada binatang besar, takut pada kerumunan orang banyak, dan takut pada
keramaian lalu lintas.
4) Gangguan kecerdasan: sukar berkonsentrasi, daya ingat buruk, mudah lupa.
5) Perasaan depresi: hilang minat, sedih, perasaan berubah setiap hari.
b. Aspek Fisiologis
1) Gangguan tidur: sukar tidur, terbangun pada malam hari, mimpi buruk,
mimpi menakutkan, tidur tidak pulas, bila terbangun badan lemas, sering
mimpi.
2) Gejala somatik atau otot-otot: nyeri otot, kaku, kedutan, gigi gemerutuk,
suara tidak stabil.
3) Gejala sensorik: penglihatan kabur, gelisah, muka merah, merasa lemas.
4) Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri dada, denyut nadi meningkat,
merasa lemah, denyut jantung berhenti sejenak.
32
5) Pernafasan: merasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik
nafas pendek.
6) Ganguan gastrointestinal: sulit menelan, gangguan pencernaan, nyeri
lambung, mual, muntah, pernafasan perut.
7) Gangguan urogenital: tidak dapat menahan kencing, frigiditas, amenorrhoe,
ereksi melemah, atau impotensi.
8) Gangguan otonom: mulut kering, muka merah, berkeringat, bulu roma
berdiri.
9) Perilaku sesaat: gelisah, tidak tenang, jari gemetar, muka tegang, tonus otot
meningkat, mengerutkan dahi, nafas pendek dan cepat.
2.3.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ansietas
Faktor-faktor yang mempengaruhi ansietas (Tarwoto & Wartonah, 2010)
secara umum terdiri dari:
a. Faktor Internal
1) Potensi Stresor Psikososial
Potensi stresor psikososial adalah setiap peristiwa atau keadaan yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan individu, sehingga individu tersebut
perlu beradaptasi untuk menanggulangi stresor yang timbul. Jika mekanisme
koping individu maladaptif, maka akan mengakibatkan timbulnya ansietas,
depresi, dan menarik diri (Tarwoto & Wartonah, 2010; Dewi, 2011).
Pada keluarga anak tunagrahita, ansietas dipengaruhi oleh perubahan
status kesehatan salah satu anggota yang bersifat permanen, dimana adanya
ketergantungan anak tunagrahita akan mempengaruhi kesiapan dan kemampuan
33
keluarga khususnya orang tua dalam beradaptasi. Jika orang tua mengalami
kegagalan dalam beradaptasi, akan mengantarkan dalam pemilihan mekanisme
koping yang maladaptif, seperti ansietas, bahkan jika kondisinya semakin parah,
akan mengarah kepada depresi, frustasi, dan menarik diri (Dewi, 2011).
2) Kematangan (Maturitas)
Tarwoto & Wartonah (2010) menyatakan bahwa individu yang matang
adalah individu yang mengalami kematangan kepribadian sehingga akan lebih
sukar mengalami gangguan akibat stres. Orang tua anak tunagrahita yang
memiliki kematangan kepribadian akan lebih sukar untuk mengalami ansietas. Hal
tersebut disebabkan karena individu yang matang memiliki kemampuan adaptasi
yang optimal, yang dapat menangkal setiap munculnya stresor, sehingga respon
atau perilaku terhadapnya menjadi adaptif. Sebaliknya, individu yang tidak
matang akan rentan dari stres, karena memiliki ambang stres yang rendah.
Individu ini cenderung irritable dan mudah terpengaruh dengan adanya stressor
kepribadian lebih banyak dipengaruhi faktor internal dan eksternal, seperti tipe
kepribadian, pengalaman hidup, dan ketersediaan dukungan sosial.
3) Usia
Gangguan ansietas dapat terjadi pada semua usia, akan tetapi lebih sering
menimpa pada usia dewasa, dengan rentang usia 21-45 tahun (Saddock &
Saddock, 2007). Menurut Priest (1987, dalam Dewi, 2011) dan Tallis (1995 dalam
Dewi, 2011) yang berpendapat bahwa hubungan antara ansietas dan usia akan
tetap berpola positif karena faktor penyebab ansietas pada individu adalah
masalah yang tidak dapat diselesaikan. Contoh masalah yang tidak dapat
34
diselesaikan adalah usia yang terus bertambah tua. Usia yang meningkat tidak
menjamin kepribadian seseorang akan semakin matang.
4) Status Pendidikan
Menurut Sethi, Bhargava & Dhiman (2007 dalam Dewi, 2011), status
pendidikan berbanding terbalik dengan penerimaan individu akan stres. Ketika
individu memiliki tingkat pendidikan rendah, terjadi penurunan kemampuan
kognitif dalam mempersepsikan munculnya stresor, sehingga individu tersebut
akan relatif lebih rentan dalam menerima stres. Pendidikan menjadi suatu tolak
ukur kemampuan individu dalam berinteraksi dengan individu lain secara efektif
(Stuart & Laraia, 2008). Menurut Notoatmodjo (2007), individu dengan
pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi, mudah mengerti, dan
mudah menyelesaikan masalah. Tingkat pendidikan rendah akan menyebabkan
individu mudah mengalami stres, dibanding yang memiliki tingkat pendidikan
lebih tinggi (Saddock & Saddock, 2007; Tarwoto & Wartonah, 2010).
5) Keadaan Fisik
Menurut Stuart & Laraia (2008), individu yang mengalami gangguan fisik
akan lebih rentan mengalami ansietas, karena adanya ancaman terhadap integritas
fisik yang berpengaruh dalam pembentukan konsep diri.
6) Status Ekonomi
Sethi, Bhargava & Dhiman (2007 dalam Dewi, 2011) menyatakan bahwa
status ekonomi berbanding terbalik dengan kemampuan individu dalam menerima
stres. Seseorang dengan status ekonomi yang kuat cenderung lebih berespon
positif terhadap stresor dibanding seseorang dengan status ekonomi lemah.
35
Sebuah teori menyatakan bahwa tingkat penghasilan yang rendah berpengaruh
secara negatif terhadap fungsi keluarga. Teori tersebut didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Emerson (2003 dalam Dewi, 2011) yang menemukan bahwa
ibu dari anak berkebutuhan khusus, potensial mengalami masalah psikologis
terkait adanya kerugian ekonomi dan kemiskinan.
7) Tipe Kepribadian
Individu dengan tipe kepribadian A akan lebih rentan mengalami
gangguan akibat stres, daripada individu dengan tipe kepribadian B. Ciri-ciri
individu dengan tipe kepribadian A yaitu: tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin
serba sempurna, merasa diburu-buru waktu, sangat setia terhadap pekerjaan,
agresif, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah bermusuhan, mudah
tersinggung, otot-otot mudah tegang. Sedangkan individu yang memiliki tipe
kepribadian B memiliki karakteristik yang berlawanan dengan tipe kepribadian A
(Dewi, 2011).
b. Faktor Eksternal
1) Sosial Budaya
Sosial budaya merupakan cara hidup di masyarakat yang akan
mempengaruhi kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stress, dimana
individu yang mempunyai cara hidup teratur, falsafah hidup yang jelas, pada
umumnya lebih mampu berespon positif terhadap stresor. Selain itu, sosial budaya
akan mempengaruhi terhadap ketersediaan dukungan sosial yang dibutuhkan oleh
tiap individu dalam mengelola beban (Dewi, 2011).
36
2) Lingkungan
Lingkungan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ansietas.
Individu yang berada dalam lingkungan baru, akan menganggap lingkungan
tersebut sebagai ancaman, yang menyebabkan munculnya respon ansietas sebagai
kondisi yang tidak nyaman (Dewi, 2011).
2.4 Harga Diri (Self-Esteem)
2.4.1 Pengertian Harga Diri
Harga diri adalah penilaian positif atau negatif individu yang dihubungkan
dengan konsep diri. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya
sendiri secara positif dan juga dapat mengevaluasi diri sendiri secara negatif
(Lerner dan Spanier, 1980 dalam Gufron dan Risnawita, 2012). Seseorang yang
memiliki harga diri yang tinggi merasa dirinya berharga dan berkemampuan
sedangkan seseorang yang memiliki harga diri yang rendah memandang dirinya
sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan, tidak berguna, gagal, dan tidak
berharga (Baron-Byrne, 1994 dalam Siregar, 2006).
2.4.2 Komponen-Komponen Harga Diri
Menurut Felker (Asmaradewi, 2002 dalam Siregar, 2006) terdapat 3
komponen dalam pembentukan harga diri, yaitu:
a. Feeling of belonging, yaitu individu merasa bagian dari suatu kelompok dan
diterima serta dihargai oleh anggota kelompoknya. Individu akan memiliki
nilai positif akan dirinya apabila menilai dirinya bagian dari kelompoknya
37
atau mengalami perasaan diterima. Begitupun sebaliknya, individu akan
merasa memiliki nilai negatif apabila ia merasa tidak diterima.
b. Feeling of competence, yaitu individu merasa mampu mencapai hasil yang
diharapkannya. Apabila individu merasa telah mencapai tujuan secara efisien,
maka individu tersebut akan memberikan peniliaian positif pada dirinya.
c. Feeling of worth, yaitu individu merasa dirinya berharga. Perasaan ini
seringkali muncul dalam bentuk pernyataan yang sifatnya pribadi seperti
pandai, cantik, menawan, langsing, dan lain-lain. Individu yang mempunyai
perasaan berharga akan menilai dirinya positif.
Menurut Christia (2007 dalam Juniartha, 2012) aspek-aspek yang
berhubungan dengan self-esteem terdapat 3 aspek, yaitu:
a. Global harga diri, yaitu variabel keseluruhan dalam diri individu secara
keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi.
b. Self-evaluation, yaitu bagaimana cara individu dalam mengevaluasi variabel
dan atribusi yang terdapat pada diri mereka, misalnya ada individu yang kurang
yakin kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa individu tersebut
memiliki harga diri yang rendah dalam bidang akademis, sedangkan individu
yang berpikir bahwa dirinya terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka
bisa dikatakan memiliki harga diri sosial yang tinggi.
c. Emotion, yaitu keadaan emosi sesaat terutama sesuatu yang muncul sebagai
konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika individu menyatakan
bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya telah meningkatkan harga diri
mereka. Misalnya, individu memiliki harga diri yang tinggi karena mendapat
38
promosi jabatan, atau individu memiliki harga diri yang rendah setelah
mengalami perceraian.
2.4.3 Karakteristik Harga Diri
Coopersmith (dalam Siregar, 2006) membedakan harga diri dalam tiga
tingkatan menurut karakteristik individu, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.
Adapun karakteristik-karakteristik tersebut yaitu:
a. Individu dengan Harga Diri Tinggi
Individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan menghargai dirinya,
merasa dirinya berharga meskipun memiliki keterbatasan, serta berusaha untuk
mengembangka dirinya (Siregar, 2006). Berikut adalah karakteristik individu
dengan harga tinggi menurut Coopersmith (dalam Siregar, 2006):
1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik.
2) Berhasil dalam bidang akademik, terlebih dalam mengadakan hubungan
sosial.
3) Dapat menerima kritik dengan baik.
4) Percaya pada persepsi dan dirinya sendiri.
5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau tidak hanya memikirkan kesulitannya
sendiri.
6) Keyakinan akan dirinya tidak berdasarkan pada fantasinya, karena memang
mempunyai kemampuan, kecakapan sosial, dan kualitas diri yang tinggi.
7) Tidak terpengaruh pada penilaian dari orang lain tentang sifat atau
kepribadiannya, baik itu positif ataupun negative.
39
8) Akan menyesuaikan diri dengan mudah pada suatu lingkungan yang belum
jelas.
9) Akan lebih banyak menghasilkan suasana yang berhubungan dengan kesukaan
sehingga tercipta tingkat kecemasan dan perasaan tidak aman yang rendah
serta memiliki daya pertahanan yang seimbangan.
b. Individu dengan Harga Diri Sedang
Karakteristik individu dengan harga diri sedang hampir sama dengan yang
memiliki harga diri tinggi, terutama dalam kualitas, perilaku dan sikap.
Pernyataan diri mereka memang positif, namun cenderung kurang moderat.
Menurut Coopersmith (Asmaradewi, 2002 dalam Siregar, 2006) individu dengan
harga diri sedang cenderung memandang dirinya lebih baik dari kebanyakan
orang.
c. Individu dengan Harga Diri Rendah
Menurut Frey dan Carlock (dalam Gufron dan Risnawita, 2012), individu
dengan harga diri rendah mempunyai ciri-ciri cenderung menolak dirinya dan
merasa tidak puas. Berikut beberapa karakteristik individu dengan harga diri
rendah menurut Coopersmith (dalam Siregar, 2006):
1) Mempunyai perasaan inferior.
2) Takut serta mengalami kegagalan dalam mengadakan hubungan sosial.
3) Tampak sebagai orang yang putus asa dan depresi.
4) Merasa tidak diperhatikan atau diasingkan.
5) Kurang mampu mengekspresikan diri.
6) Memiliki ketergantungan yang tinggi kepada lingkungan.
40
7) Tidak konsisten.
8) Secara pasif akan selalu mengikuti apa yang ada di lingkungannya.
9) Menggunakan banyak strategi pertahanan diri.
10) Cenderung mudah mengakui kesalahan.
2.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga diri
Menurut Gufron dan Risnawita (2012), harga diri dalam perkembangannya
terbentuk dari hasil interaksi seseorang dengan lingkungannya serta sejumlah
penghargaan, penerimaan, dan pengertian orang lain terhadap dirinya. Adapun
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga diri, yaitu:
a. Faktor Internal
1) Faktor Jenis Kelamin
Menurut Ancok dkk (1988 dalam Gufron dan Risnawita, 2012), wanita
selalu merasa bahwa harga dirinya lebih rendah daripada pria seperti merasa
kurang mampu, kepercayaan diri kurang, atau merasa harus dilindungi. Hal
tersebut mungkin dikarenakan oleh peran orang tua dan harapan-harapan
masyarakat yang berbeda-beda pada pria maupun wanita. Penelitian oleh
Coopersmith (1967 dalam Gufron dan Risnawita, 2012) menunjukan bahwa harga
diri wanita lebih rendah daripada harga diri pria.
2) Intelegensi
Intelegensi diartikan sebagai gambaran lengkap kapasitas fungsional
seseorang yang sangat erat kaitannya dengan prestasi karena pengukuran tingkat
kecerdasan selalu berdasarkan kemampuan akademis. Seseorang yang memiliki
41
harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada
orang dengan harga diri yang rendah (Gufron dan Risnawita, 2012).
3) Kondisi Fisik
Coopersmith (1967 dalam Gufron dan Risnawita, 2012) menyatakan
bahwa ada hubungan yang kuat antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan
harga diri, dimana seseorang dengan kondisi fisik yang menarik cenderung
memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan fisik yang
kurang menarik.
b. Faktor Eksternal
1) Lingkungan Sosial
Menurut Klass dan Hodge (1978 dalam Gufron dan Risnawita, 2012),
pembentukan harga diri dimulai dari seseorang yang menyadari bahwa dirinya
berharga atau tidak. Hal tersebut adalah hasil dari proses lingkungan,
penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain kepadanya.
2.5 Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) Dengan Tingkat Ansietas
Pada keluarga dengan anak tunagrahita, stigma sosial mengenai anak
tunagrahita akan dirasakan oleh setiap anggota keluarga (Napolion, 2010) dan
akan mempengaruhi keseimbangan sistem keluarga. Jika keluarga dipandang
sebagai suatu sistem, maka disfungsi apapun yang terjadi pada salah satu anggota
keluarga akan mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga atau bahkan
keseluruhan keluarga (Achjar, 2010). Begitu halnya pada keluarga dengan
tunagahita, adanya stigma sosial mengenai tunagahita dapat memicu munculnya
42
masalah psikososial pada anggota keluarga dengan tunagrahita khususnya orang
tua seperti gangguan ansietas dan penurunan harga diri.
Beberapa orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan
tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung
menyembunyikan anaknya. Orang tua menganggap bahwa kondisi anaknya
disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga keluarga
merasa tidak mampu, rendah diri, gagal, dan berperilaku menghindari atau
menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Bila ditinjau dari teori
kognitif, evaluasi diri yang negatif menjadi faktor yang dapat mempengaruhi
ansietas individu (Ghufron dan Risnawita, 2012) atau dengan kata lain, tingkat
ansietas individu dapat dipengaruhi oleh tingkat harga diri individu. Hal ini
didukung oleh penyataan Coopersmith (dalam Siregar, 2006) yaitu, individu
dengan tingkat harga diri tinggi cenderung memiliki tingkat ansietas yang lebih
rendah atau ringan.
top related