bab iv - uksw...bab iv hasil dan pembahasan pada bab ini penulis menyajikan hasil analisa data yang...
Post on 26-Mar-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menyajikan hasil analisa data yang telah dikumpulkan
beberapa narasumber untuk menjawab persoalan–persoalan dari penelitian ini,
kemudian dilanjutkan dengan membahas seluruh persoalan dalam penelitian ini
berdasarkan hasil analisa data.
4.1. Gambaran Singkat Lokasi Penelitian.
Salatiga adalah salah satu kota kecil di Provinsi Jawa Tengah yang
mempunyai luas wilayah kurang lebih 56,78 km2 dan memiliki jumlah penduduk
176,795 jiwa. Terletak pada jalur regional Jawa Tengah yang menghubungkan
kota Semarang dan Surakarta. Salatiga memiliki ketinggian 400 – 800 meter dari
permukaan laut, berhawa sejuk serta dikelilingi keindahan alam berupa gungung
(Merbabu, Telemoyo dan Mungkur).
Kota Salatiga ini memiliki 4 kecamatan, 22 kelurahan yakni; Dukuh,
Ledok, Kutowinangun, Salatiga, Siduredjo Lor, Bugel, Kumpulrejo, Tegalrejo,
Kauman Kidul, Mengnsari, Siduredjo Kidul, Pulutan, Tingkir Lor, kecandran,
Randuacir, Blotongan, Kali Bening Noboredjo dan Kali Cacing. Selain menjadi
jalur transportasi penghubung beberapa kota besar di jawa tengah seperti
Semarang dan solo, Kota Salatiga Juga dikenal sebagai kota pendidikan. Selain
itu, kota ini juga dikenal dengan kota yang memiliki toleransi antar masyarakat
yang tinggi di Indonesia. Kota Kota Salatiga boleh dikatakan sebagai cerminan
Indonesia mini karena di huni oleh para pendatang yang berasal dari beragai
daerah di Indonesia, dari Sabang – Merauke. Pendatang. Para pendatang ini
umumnya berstatus mahasiswa.
4.2. Profil Narasumber.
Narasumber yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah mahasiswa
asal Toraja yang berada di Kota Salatiga. Jumlah narasumber bukan mewakili
populasi melainkan mewakili informasi yang hendak diperoleh. Guna
mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian maka wawancara
dilakukan secara personal yang dibagi dalam dua kategori yakni mahasiswa
19
senior (angkatan 2012 dan sebelumnya) / Q, selaku informan kunci dan
mahasiswa angkatan muda serta angkatan menengah / R (angkatan 2013-2016).
Profil narasumber dapat dilihat dari tabel berikut
Tabel 4.2.
Tabel Profil Narasumber
No Nama Jenis Kelamin Tahun Masuk Kategori
1 Ayub Laki-laki 2009 Q1 - Senior
2 Adith Laki-laki 2012 Q2 - Senior
3 Piter Laki-laki 2014 R1 – Angkatan
Menegah
4 Vitra Perempuan 2014 R2 – Angkatan
Menengah
5 Bony Laki-laki 2015 R3 – Angkatan
Muda
6 Geby Perempuan 2015 R4 – Angkatan
Muda
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel tersebut, peneliti berhasil mewawancarai 6 orang
narasumber dari mahasiswa asal Toraja yang berdomisili di Kota Salatiga, yang
yang memenuhi kriteria sebagai narasumber. Setelah memperoleh identitas
narasumber, peneliti menyaring narasumber sehingga diperoleh narasumber
dengan mayoritas laki–laki yang berjumlah 4 orang dan perempuan berjumlah 2
orang. Jika melihat status mereka sebagai mahasiwa, penulis menyimpulkan
bahwa bahwa mereka mampu mengerti, memahami, menjawab pertanyaan –
pertanyaan wawancara yang peneliti berikan.
20
4.3. Hasil Penelitian.
Melalui penelitian ini, penulis berhasil mengidentifikasi beberapa hal
utama yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian
ini. Hal – hal tersebut penulis uraikan sebagai berikut:
4.3.1. Keadaan Dan Kesan Awal Saat Berada Di Kota Salatiga.
Perolehan data untuk persoalan penelitian ini, dilakuan dengan
mewawancarai narasumber pada kategori “R” terlebih dahulu. Tujuan dari
persoalan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal – hal yang menjadi
keadaan serta kesan awal ketika berada di Salatiga. Sekalipun maksud dan
hasil yang ingin dicapai ialah mengetahui strategi komunikasi antar
budaya serta hambatan – hambatan yang dialami dalam proses komunikasi
antar budaya mahasiswa asal Toraja di Salatiga, namun perlu untuk
mengetahui terlebih dahulu seperti apa kesan dan keadaan awal yang
narasumber alami.
Dasar bagi penulis untuk melakukan hal ini adalah apa yang
diungkapkan oleh Lilis (2010) bahwa keberhasilan komunikasi antar
budaya juga dipengaruhi oleh lingkungan fisik suatu daerah. Dimana
lingkungan fisik ini berpengaruh terhadap kesan serta motivasi individu
dalam proses interaksi dan komunikasi antar budaya. Atas dasar tersebut
penulis menyimpulkan bahwa ketika seseorang merasa nyaman dan
memiliki kesan yang baik atas daerah yang bukan daerah asalnya, maka
orang tersebut akan terdorong pula untuk melakukan interaksi dan
komunikasi yang baik pula pada daerah yang bukan daerah asalnya.
Dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh para narasumber atas
pertanyaan ini, penulis menyimpulkan bahwa sejak awal berada di Salatiga
mereka merasa nyaman dan senang karena adanya kesamaan antara
Salatiga dengan daerah asal nasarumber, seperti yang diungkapkan oleh
narasumber R3;
“Buat saya Salatiga itu nyaman karena tidak jauh berbeda dengantempat asal saya di Toraja”
21
Hal serupa juga dirasakan oleh narasumber lain yang merasa
senang ketika pertama kali berada di kota Salatiga. narasumber R1
menyatakan senang ketika pertama kali berada di Salatiga, karena tidak
hanya kesamaan iklim tapi merasa senang dan nyaman karena keramahan
orang-orangnya, keadaan lingkungan yang bersih, masih berkesempatan
untuk bertemu dengan sesama teman asal Toraja dan berkesempatan
memiliki teman baru yang berasal dari daerah lain, seperti yang
diungkapkan oleh R2;
“Yang buat saya nyaman itu pertama lingkungannya. Disini sayajuga bisa berkumpul dengan teman-teman dari Tojara, trus bisapunya teman baru dari daerah lain jadi bisa punya banyak temandan saling membantu, trus yang bimin nyaman itu karena Salatigabersih dan orang-orangnya sangat baik”
Melihat apa yang menjadi jawaban dari narasumber R1 dan R3,
maka untuk mengetahui kebenaran dari jawaban tersebut, peneliti
mempertanyakan hal yang sama pada narasumber Q yang merupakan
narasumber kunci (informan key) bagi penulis. Melalui jawaban yang
penulis peroleh, dapat disimpulkan bahwa apa yang dialami oleh
narasumber R dan Q memiliki kesamaan, seperti yang diungkapkan oleh
Q1;
“Bagi saya ketika pertama kali berada di Salatiga, sayamenganggap Salatiga tidak berbeda jauh dengan tanah Toraja.Iklimnya sama persis dan itu yang buat saya nyaman ketikapertama datang kesini”
Apa yang diungkapkan oleh narasumber Q1 dibenarkan pula oleh
jawaban yang diberikan oleh narasumber Q2 sebagai berikut:
“Sejak awal datang, yang membuat saya nyaman ialah dimana sayamendapatkan lingkungan yang nyaman dan segar. Penduduk yangada di salatiga juga ramah sehingga saya merasakan kenyamananketika tinggal di Salatiga”
Selain adanya kenyamanan rasa senang sebagai kesan awal, dari
hasil wawancara penulis juga menemukan adanya responden yang
memiliki kesan berbeda dengan narasumber sebelumnya. Narasumber R4
merasakan hal yang biasa saja karena keberadaan narasumber Q1 di
22
Salatiga tergolong baru sehingga belum terbiasa dengan keadaan di
lingkungan barunya. Berikut jawaban yang diberikan oleh narasumber R4
“perasaan saya pada saat itu biasa saja karena masih baru jadibelum tau tentang Salatiga”
4.3.2. Lingkungan Sekitar (Kos atau Kontrakan) Yang Menjadi
Tempat Berinteraksi Dan Berkomunikasi.
Hal selanjutnya yang penulis tanyakan pada para narasumber
adalah lingkungan disekitar tempat tinggal mereka. Pertanyaan atas hal ini
perlu bagi penulis untuk mengetahui bagaimana keadaan dilingkungan
sekitar narasumber, dengan siapa saja mereka berinteraksi dan
berkomunikasi di lingkungan tersebut kesan mereka tentang lingkungan
tersebut serta hambatan apa saja yang dialami oleh para narasumber dan
cara mereka mengatasi hambatan-hambatan itu ketika berinteraksi dan
berkomunikasi pada lingkungan yang dimaksud.
Dari jawaban yang diberikan atas pertanyaan seputar hal-hal yang
penulis sebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian responden
berpendapat bahwa lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka adalah
lingkungan yang baik dan nyaman karena masyarakat dilingkungan
tersebut dinilai ramah dan bersikap baik kepada para narasumber, seperti
yang diungkapkan oleh nara sumber R2;
“Lingkungan disini nyaman dan tetangganya-tetangganya ramah
dan baik”
Hal serupa juga dirasakan oleh narasumber R4;
“Lingkungan disekitar sini baik dan orang-orangnya bersahabat”
Apa yang dialami oleh R2 dan R4 juga dirasakan oleh Q2 sebagai
senior atau bagian dari angkatan yang telah berada di Salatiga jauh
sebelumnya.
“Lingkungannya ramah, tetangga-tetangganya baik, bahkanterkadang suka kasih makanan atau ditawarkan makanan”
23
Selain adanya kesan yang demikian terhadap lingkungan sekitar
tempat tinggal, dari jawaban yang diberikan oleh para responden, penulis
melihat bahwa proses interaksi dan komunikasi yang dilakukan disekitar
lingkungan tempat tinggal tidak hanya dilakukan dengan warga asli
Salatiga, melainkan dengan warga pendatang dari daerah lain yang juga
berdomisili didaerah sekitar tempat tinggal para nara sumber. Seperti yang
diungkapkan oleh R3;
“Oh banyak, misalkan dengan teman teman dari Papua. Merekakos disebelah yang kos-kosan biru itu, trus ada orang poso jugasama orang Kalimantan”
Selain R3, hal serupa juga diungkapkan oleh narasumber Q1;
“ ada banyak orang yang berinteraksi dan berkomunikasi dengansaya, khususnya teman-teman yang tinggal di kos-kosan ini, adayang dari Batak, orang Papua bahkan ada oang Kupang”
Dalam proses awal interaksi dan komunikasi denga lingkungan
sekitar tempat tinggal, penulis melihat adanya kesulitan yang dialami
secara umum adalah kesulitan dalam hal bahasa, dan cara untuk mengatasi
kesulitan itu dilakukan dengan terus berusaha beradaptasi dan mempelajari
secara perlahan bahas yang digunakan oleh orang-orang dilingkungan
sekitar, seperti yang diungkapkan oleh naramumber R1;
“Untuk pertama kali hal yang sulit itu saya rasa bahasa, karenasebagian besar orang disini lebih sering menggunakan bahasaJawa. Untuk mengatasi itu ya coba beradaptasi terus sambil pelan-pelan mempelajari bahasa yang biasa mereka pakai biar tau artinyajuga”
Hal tersebut juga dibenarkan oleh narasumber Q1, bahwa ketika
pertama kali berinteraksi dengan lingkungan sekitar, bahasa menjadi
kendala utama yang dialami;
“Kesusahan awal yang saya alami ketika berkomunikasi denganmereka adalah memahami bahasa yang ada, yang mereka lafalkan.Tapi saya mengatasinya dengan selalu bertanya apa makna daribahasa yang mereka lafalkan, ucapkan ketika berkomunikasidengan saya”
24
4.3.3. Lingkungan Interaksi Dan Komunikasi Selain Tempat Tinggal(Kos Atau Kontrakan).
Dalam proses wawancara, penulis juga menanyakan beberapa hal
yang berkaitan dengan lingkungan interaksi dan komunikasi para
narasumber selain lingkungan disekitar tempat tinggal mereka. Dasar dari
penulis menanyakan hal-hal tersebut karena penulis memahami bahwa
tujuan kedatangan para narasumber ke kota Salatiga iyalah untuk
melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sehingga tidak menutup
kemungkinan terjadinya proses komunikasi dengan lingkungan lain diluar
tempat tinggal para narasumber.
Melalui pertanyaan seputar hal ini, penulis bertujuan untuk
mengetahui lingkungan apa saja yang menjadi tempat interaksi dan
komunikasi para narasumber. Sehingga dari hal inipun penulis dapat
mengetahui dengan siapa saja mereka berinteraksi dan berkomunikasi
dalam lingkungan tersebut, kesulitan yang dialami serta cara yang
digunakan untuk mengatasi kesulitan tersebut. Dari serangkaian jawaban
yang diberikan, penulis menemukan bahwa lingkungan kampus, tempat
nongkrong, kegiatan olahraga dan bahkan kegitan-kegiatan yang
diselenggarakan oleh etnis lain. Berikut beberapa jawban narasumber yang
menggambarkan hal tersebut.
R2 “karena saya mahasiswa jadi otomatis interaksi lebih seringterjadi di kampus ketika kuliah atau mengerjakan tugas kelompokdenan teman-teman lain”
R1 “ya dalam pergaulan sehari-hari misalkan di kampus, atauwaktu nongkrong kayak di kafe. Kadang juga kita main futsal samateman dari etnis lain, sama- sama kita sering futsal”
Hal yang diungkapkan oleh R1dan R2 juga dibenarkan oleh narasumberQ1 sebagai berikut;
“Selain disekitar sini ya di kampus, trus pernah juga mengikutibeberapa acara wisuda dari teman – teman etnis lain sepertiKupang, Poso dan Papua jadi disana kita saling cerita ada jugabercanda ya seperti itu yang saya alami”
Dalam berinteraksi dan komunikasi dalam lingkungan
sebagaimana yang telah disebutkan, para nara sumber sering mengalami
25
kesulitan dalam hal bahasa baik yang diucapkan maupun bahasa non
verbal seperti bahasa-bahsa tubuh atau ekspresi wajah yang timbul dari
orang lain ketika berinteraksi dan berkomunikasi, seperti yang
disampaikan oleh responden R4;
“Yang terkadang sulit dimengerti dari mereka itu ya bahasanya trussama logatnya yang terkadang bikin bingung trus ada juga yangbicaranya cepat seperti orang Ambon dan Kupang jadi susah jugabuat nangkap omongan mereka”
Pengalaman yang sama juga diungkapkan oleh Q1 sebagai senior.
Namun untuk mengatasi hal tersebut para narasumber melakukan interaksi
yang berkesinambungan sehingga lama – kelamaan dapat memahami pola
komunikasi dari teman yang berasal dari etnis lain. Berikut ungkapan
narasumber Q1;
“Awalnya sedikut sulit memahami bahasa yang mereka pakai, tapikita sering berinteraksi dengan mereka sehingga lama-kelamaansaya mulai paham dengan bahasa dan logat yang mereka pakai trussudah mulai paham ekpresi merekah misalnya kalau bercandaseperti apa trus kalau sedang marah mukanya seperti apa itu sudahbisa dilihat, ya karna interaksi setiap hari jadi pada akhirnya bisamengerti”
Untuk proses mengatasi kesulitan yang di alami dalam hal bahasa,
para nasarumber juga berusaha untuk mempelajari dan mempraktekan
bahasa serta logat dari etnis lain ketika berkomunikasi dengan orang atau
teman dari etnis lain, seperti yang diungkapkan oleh Q2 :
“Saya coba untuk lebih mengenal mereka sering bercerita trusTanya-tanya soal bahasa mereka trus kalau ketemu missal temandari Papua saya coba untuk menggunakan atau meniru bahasa danlogat mereka, lama-lama jadi terbiasa juga sama mereka”
4.3.4. Perkembangan Dalam Proses Interaksi Dan Komunikasi
Dengan Lingkungan Sekitar Setelah Menetap Di Salatiga Dalam
Kurun Waktu 2 Tahun.
Dalam proses wawancara, penulis juga menanyakan tentang
perkembangan yang dialami oleh para narasumber dalam berbagai
interaksi serta komunikasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
26
jauh perkembangan yang mereka alami, apakah masih ada kendala yang
dialami serta cara yang mereka gunakan dalanm berinteraksi dan
komunikasi selama kurang lebih 2 tahun sejak awal kedatangan mereka di
Salatiga. Selain itu dari pertanyaan seputar hal-hal tersebut penulis juga
ingi mengetahui bagaimana bentuk-bentuk penerimaan terhadap para
narasumber dari lingkungan interaksi dan komunikasi yang mereka
masuki. Dari jawaban para narasumber, penulis menemukan beberapa hal
sebagai berikut.
Sebagian besar narasumber menyatakan bahwa dalam kurun waktu
dua tahun sejak awal kedatangan, mereka mengalami perkembangan
dalam beberapa hal. Misalkan seperti ayang dialami oleh responden R4
dan R1sebagai berikut;
“Dari 2014 – sekarang saya sudah tau bagaimana harusberkomunikasi dengan orang yang asli Salatiga atau dengan orangJawa trus seperti apa saya harus bersikap dengan orang asli di sinidan bersikap dengan orang yang juga sesama perantau. Intinyasudah bisa membedakan sikap sama memahami apa yang merekabicarakan, walapun tidak semuanya”
Selain memahami bagaimana harus bersikap terhadap orang lain,
ada pula responden yang mengalami perkembangan dalam memahami
karakter orang lain dalam berinteraksi dan berkomunikasi, sebagaimana
yang di ungkapkan responden R1;
“Kalo perkembangan ada. Sejauh ini sudah mulai tau watak orang–orang, misal orang Papua wataknya keras tapi kalau orang Jawakan halus. Jadi kalau mau berbicara saya perhatikan dulu asaldaerahnya wataknya supaya tidak ada salah paham paham, jadisudah beda dengan awal dulu yang masih malu-malu sama takutkalo mau ngomong dengan mereka kalo sekarang sudah tidak lagi”
Hal serupa juga sama seperti apa yang di alami oleh Q1, bahwa :
“saya selama 5 tahun tidak pernah berpindah jadi saya sudahmemahami dan mengerti kebiasaan dan kebudayaan yang ada disekitar lingkungan kos-kosan saya. Dan akhirnya saya sudahmemahami kebudayaan-kebudayan teman-teman kos yang berbedaasal serta lingkungan orang salatiga asli di sekitar tempat tinggalsaya.”
27
Melalui pertanyaan seputar perkembangan, penulis pada akhirnya
menemukan bagaimana cara para narasumber berinteraksi dengan
lingkungannya dari waktu – kewaktu sehingga mengalami perkembangan.
Para narasumber umumnya menyatakan bahwa perkembangan diperoleh
dengan seringnya melibatkan diri dalam berbagai kegiatan pada
lingkungan sekitar tempat mereka berinteraksi dan berkomunikasi, seperti
yang disampaikan oleh narasumber R3;
“Sejauh ini saya pernah terlibat kalau ada acara di sekitar kampungmisalkan ada hajatan atau ada kedukaan.”
Pengalaman serupa juga dirasakan oleh responden R4;
‘Biasanya acara seperti 17 agustus kadang juga kerja-kerja baktidilingkungan sini sama warga”
Dari pertanyaan yang penulis berikan pada proses wawancara,
penulis juga melihat adanya faktor yang menyebabkan para narasumber
untuk dapat terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang ada. Keterlibatan para
narasumber karena adanya ajakan dari masyarakat lingkungan sekitar,
bahkan ada juga yang menyatakan bahwa keterlibatan mereka oleh karena
adanya keadaran dari pribadi seperti yang disampaikan oleh R1 dan Q2 :
“R1 : biasanya kita diundang sama warga trus kadang ada jugapemberitahuan dari pak RT jadi kra yang di kos sini sering ikutkalau ada kegiatan di lingkungan”
“Q2 ; itu sering ada dikasitau tetangga kalau ada kegiatan truskadang juga kalau lagi santai trus liat warga sedang kumpul danbuat sesuatu saya ke sana trus menanyakan apa yang mereka buatdan kalau ada yang bisa saya bantu pasti saya bantu”.
Dalam proses wawancara ini penulis juga menanyakan bentuk
penerimaan orang-orang di lingkungan tempat para narasumber
berinterasksi sehingga dapat diketahui penerimaan seperti apa yang
dialami oleh para narasumber ketika mereka berinteraksi dan
berkomunikasi dengan lingkungan. Atas pertanyaan ini umumnya
narasumber menyatakan bahwa kehadiran mereka selama ini disambut
dengan baik dan ramah baik oleh warga disekitar tempat tinggal maupun
28
oleh teman- teman yang berasal dari etnis yang berbeda, seperti yang
diungkapkan oleh R4;
“Ya mereka menerima dengan baik, kita ngobrol kadang ditawarirokok trus kalo ada kegiatan begitu selesai dikasi kopi sama kue,ya kita dilayani dengan ramah sambil cerita-cerita. Kadang waktucerita mereka Tanya soal asal tempat saya jadi saya ceita tentangbudaya – budaya sama kebiasaan kami di Toraja”
Demikian juga yang dialami oleh R1 :
“Awalnya mereka mempertanyakan siapa saya tapi bukan berartimenolak, mungkin saja karna baru lihat jadi ingin tau. Tapi merekasama saya ya senyum, kadang kalau pas lagi jalan mereka teguratau missal ketemu di jalan ya kita cerita sebentar jadi saya rasapenerimaan mereka ya baik”
4.4. Gambaran Strategi Komunikasi Lintas Budaya Dari ParaNarasumber.
Berdasarkan uraian hasil wawancara para narasumber diatas, pada bagian
ini penulis akan menggambarkan strategi komunikasi lintas budaya dari para
narasumber dalam penelitian ini.
Keberhasilan seseorang dalam berkomunikasi bergantung pada strategi
komunikasi yang digunakan. Atas pernyataan tersbut dapat dipahami bahwa
strategi komunikasi merupakan instrument untuk mengetahui sikap orang dan
sekaligus mengetahui keberadaan diri sendiri dalam menciptakan suasana
komunikasi yang baik, terutama dalam proses komunikasi lintas budaya (Ruslan,
2002).
Dari pengertian tersebut, untuk menggambarkan strategi komunikasi lintas
budaya yang dilakukan oleh para narasumber dalam penelitian ini, maka
instrument yang penulis gunakan adalah beberapa hal yang berhubungan dengan
perilaku individu dalam komunikasi lintas budaya seperti yang diungkapkan oleh
Ohowitun 1997 dalam Liiliweri (2003) yakni perilaku verbal yang meliputi kapan
orang berbicara, apa yang dikatakan, intonasi serta gaya bahasa, karena beberapa
hal tersebut merupakan saat yang tepat bagi seseorang untuk menyampaikan
pesan-pesan verbal dalam sebuah proses komunikasi lintas budaya. Indikator
selanjutnya adalah perilaku non verbal dalam komunikasi lintas budaya yang
meliputi kineksi (hal-hal yang berhubugan dengan bahasa tubuh seperti raut atau
29
tampilan wajah), okulesik ( berhubungan dengan posisi mata, haptiks ( hal yang
menggambarkan sejauh mana seseorang menerima dan merangkul orang lain ),
proksemik ( hubungan antar ruang atau jarak yang ada saat terjadi proses
komunikasi lintas budaya ), posture ( berhubungan dengan posisi tubuh saat
proses komunikasi itu terjadi ), appearance (bagaimana seseorang menampilkan
dir terutama dalam penampilan fisik seperti warna kulit, bentuk rambut, cara
berpakaian dan pandangan mata ), dan kronemik ( hal-hal yang berhubungan
dengan konsep waktu).
4.4.1. Narasumber Q1 ( Ayub – 2012 ).
1. Perilaku Komunikasi Verbal
Dalam proses komunikasi lintas budaya yang berhubungan
dengan bentuk verbal, khususnya secara lisan, narasumber Q1 satu
menjelaskan bahwa pada mulanya ada beberapa hal yang
membuatnya sulit berkomunikasi dalam konteks lintas budaya. Hal
tersebut adalah bahasa yang digunakan serta pelafalan atau
dialektikal yang digunakan oleh lawan bicara. Seiring berjalannya
waktu, kedua hal tersulit ini berhasil di atasi oleh narasumber Q1
dengan tetap membangun interaksi dan komunikasi secara rutin.
Selalin itu narasumber Q1 juga menjelaskan bahwa melalui proses
interaksi dan komunikasi yang rutin dengan orang lain yang
berbeda budaya, narasumber Q1 secara aktif, terbuka dan berani
untuk menanyakan hal-hal yang tidak ia pahami dari bentuk
komunikasi verbal lawan bicara. Narasumber Q1 juga berusaha
untuk mempelajari hal-hal seperti pelafalan atau dialektikal serta
logat dari para pelaku komunikasi lintas budaya lainnya sehingga
dapat mempraktekan apa yang dipelajari pada saat berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda beda budaya
dengan dirinya. Apa yang dilakukan oleh narasumber Q1 pada
pada akhirnya mebuat dia merasa nyaman, tidak kaku dan
30
canggung serta mudah memahami hal-hal yang dikomunikasikan
secara verbal oleh orang lain yang berbeda latar belakang budaya.
2. Perilaku Komunikasi Non Verbal.
Strategi dalam mengatasi hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku non verbal yang dialami dalam proses komunikasi lintas
budaya juga dilakukan oleh narasumber Q1. Dari hasil wawancara
dengan narasumber ini ditemukan adanya beberapa hal yang
berhubungan dengan perilaku non verbal dalam proses komunikasi
lintas budaya yakni :
Kineksik, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bahasa
tubuh, dalam hal ini ekspresi wajah. Sekalipun narasumber Q1
menyatakan bahwa pada awalnya terdapat kesulitan pada bentuk
komunikasi verbal, namun perilaku non verbal yang ditunjukan
oleh lawan bicara tidak menunjukan adanya penolakan terhadap
narasumber dalam proses komunikasi lintas budaya. Senyum yang
terpancar dari wajah setiap lawan bicra menunjukan adanya sikap
yang ramah serta tanda penerimaan terhadap nara sumber. Hal
inilah yang mendorong narasumber Q1 untuk terus melakukan
interaksi dengan orang lain sekaligus sebagai pendorong bagi
narasumber untuk terus belajar memahami bentuk-bentuk dari cara
atau perilaku orang lain dalam proses komunikasi lintas budaya
sehingga lama-kelamaan narasumber dapat memahami hal tersebut
sehingga proses komunikasi lintas budaya dari narasumber Q1
berjalan dengan sangat baik sampai saat ini.
Proksemik, berhubungan dengan jarak pada saat proses
komunikasi lintas budaya terjadi. Berhubungan dengan hal
tersebut, dari hasil wawancara menunjukan tidak adanya jarak
antar pribadi yang terjadi dalam proses komunikasi lintas budaya
yang dialami, baik jarak itu diciptakan oleh narasumber sendiri
ataupun dari lawan bicara. Dalam wawancara, narasumber Q1
31
menyatakan bahwa proses komunikasi lintas budaya terjadi
dilingkungan sekitar lewat kegiatan-kegiatan disekitar lingkungan
maupun proses bergaul sehari-hari dengan sesama mahasiswa
walaupun berbeda latar belakang budaya. Meluangkan waktu untuk
mengikuti kegiatan lingkungan serta adanya waktu untuk berbagi
cerita dengan beberapa warga sekitar, terlibat dalam kegiatan
kuliah seperti mengerjakan tugas kelompok, bahkan sampai pada
mengikuti beberapa kegiatan dari kelompok etnis lain menunjukan
bahwa baik narasumber Q1 maupun lingkungannya, sama-sama
berusaha menciptakan jarak sosial yang dekat dalam proses
komunikasi lintas budaya yang terjadi. Bahkan untuk hal ini, hasil
wawancara menunjukan bahwa narasumber Q1 secara sadar dan
aktif dalam membangun komunikasi dan merapatkan jarak sosial
sebagai cara untuk berhasil dalam proses komunikasi lintas budaya
yang ada.
3. Kesulitan & Kemudahan.
Dari hasil waancara yang diperoleh, secara garis besar
kesulitan yang dialami oleh narasumber Q1 adalah hal-hal yang
bersifat verbal seperti bahasa, intonasi dan dialektikal, sedangkan
kemudahan yang penulis temui disini adalah keterbukaan,
penerimaan yang positif serta adanya kesadaran untuk menciptakan
jarak sosial yang dekat dengan lingkungan menjadi kemudahan
bagi narasumber Q1 dalam proses komunikasi lintas budaya yang
dilakukan.
4.4.2. Narasumber Q2 ( Adith – 2009 ).
1. Perilaku Komunikasi Verbal
Sehubungan dengan bentuk komunikasi verbal dalam
proses komunikasi lintas budaya, apa yang dialami oleh
narasumber Q2 sama dengan apa yang dialami oleh narasumbern
32
Q1 dimana bahasa menjadi kesulitan utama dalam tahap awal
proses komunikasi lintas budaya yang dialami, yakni bahasa yang
digunakan yang digunakan oleh lawan bicara. Hal tersulit ini
berhasil di atasi oleh narasumber Q2 berusaha untuk membangun
interaksi agar dapat mengenal lingkungan disekitarnya serta
mencoba untuk mempelajari bahasa sehari-hari yang digunakan
oleh orang – orang yang sering melakukan komunikasi dengan
dirinya. Apa yang dilakukan oleh narasumber Q2 pada pada
akhirnya mebuat dia terbiasa dengan bahasa serta gaya berbicara
orang lain dalam proses komunikasi lintas budaya.
2. Perilaku Komunikasi Non Verbal.
Dari hasil wawancara dengan narasumber Q2 ditemukan
adanya beberapa hal yang berhubungan dengan perilaku non verbal
dalam proses komunikasi lintas budaya yakni :
Kineksik, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bahasa
tubuh, dalam hal ini ekspresi wajah. Perilaku non verbal yang
ditunjukan oleh lawan bicara tidak menunjukan adanya penolakan
terhadap narasumber dalam proses komunikasi lintas budaya.
Senyum, tawa serta candaan yang tonjolkan lawan bicra
menunjukan adanya sikap yang ramah serta tanda penerimaan
terhadap nara sumber. Melalui keadaan ini narasumber Q2 terus
melakukan interaksi dengan orang lain sekaligus memahami
bentuk-bentuk dari cara atau perilaku orang lain dalam proses
komunikasi lintas budaya sehingga pemahaman terhadap sikap-
sikap nonverbal seperti ini memampukan narasumber Q2 untuk
melakukan proses komunikasi lintas budaya.
Proksemik, berhubungan dengan jarak pada saat proses
komunikasi lintas budaya terjadi. Hasil wawancara menunjukan
tidak adanya jarak antar pribadi yang terjadi dalam proses
komunikasi lintas budaya yang dialami. Dalam wawancara,
33
narasumber Q2 menyatakan bahwa proses komunikasi lintas
budaya terjadi dilingkungan sekitar lewat pergaulan setiap harinya
walaupun berbeda latar belakang budaya. Meluangkan waktu untuk
mengikuti kegiatan lingkungan serta adanya waktu untuk
nongkrong bersama dengan orang-orang sekitar, merupakan carata
untuk menciptakan jarak sosial yang dekat dalam proses
komunikasi lintas budaya yang terjadi.
Haptikis, berhubungan dengan sejauh mana seseorang
merangkul orang lain. Hal ini terlihat dalam proses komunikasi
lintas budaya yang dialami oleh narasumber Q2. Pada wawancara
Q2 menyatakan bahwa dalam berinteraksi setiap harinya dengan
lingkungan dilakukan dengan cara berkumpul bersama dan bebragi
cerita. Dalam keadaan seperti ini narasumber dijamu dengan
beberapa makanan serta minuman seperti kopi dan kadang dengan
rokok. Jamuan yang diberikan merupakan bentuk komunikasi
lintas budaya yang menggambarkan rangkulan atau cara
mendekatkan diri serta menjadikan narasumber Q2 sebagai bagian
dari lingkungan sekitar.
3. Kesulitan & Kemudahan.
Kesulitan yang dialami oleh narasumber Q2 secara umum
merupakan hal-hal yang bersifat verbal, yakni bahasa. Dalam hal
kemudahan, apa yang dialami oleh Q2 secara garis besar sama
dengan yang dialami oleh naraasumber Q1 yakni adanya
keterbukaan, sikap yang baik dan ramah serta penerimaan yang
positif juga kesadaran untuk menciptakan jarak sosial yang dekat
dengan lingkungan dalam proses komunikasi lintas budaya yang
dilakukan.
34
4.4.3. Narasumber R1 (Piter - 2014).
1. Perilaku Komunikasi Verbal
Dalam proses komunikasi lintas budaya yang berhubungan
dengan bentuk verbal, khususnya secara lisan, narasumber R1 satu
menjelaskan bahwa pada mulanya ada beberapa hal yang
membuatnya sulit berkomunikasi dalam konteks lintas budaya. Hal
tersebut adalah bahasa yang digunakan, logat yang berbeda serta
intonasi yang digunakan oleh lawan bicara. Narasumber R1
menjelaskan bahwa melalui pergaulan serta kemuan untuk
menjalin hubungan yang rutin dengan orang lain yang berbeda
budaya, merupakan cara yang digunakan untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi dalam hal bentuk komunikasi verbal
dalam proses komunikasi lintas budayaa yang dilakukan.
Narasumber R1 juga berusaha untuk mempelajari karakter-karakter
dari para pelaku komunikasi lintas budaya lainnya sehingga
memudahkan dalam mudah dan tidak menimbulkan kesalah
pahaman dalam proses interaksi dan komunikasi lintas budaya.
2. Perilaku Komunikasi Non Verbal.
Dari hasil wawancara dengan narasumber ini ditemukan
adanya beberapa hal yang berhubungan dengan perilaku non verbal
dalam proses komunikasi lintas budaya yakni :
Kineksik, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bahasa
tubuh, dalam hal ini ekspresi wajah. Sekalipun narasumber R1
menyatakan bahwa pada awalnya terdapat kesulitan pada bentuk
komunikasi verbal, namun perilaku non verbal yang ditunjukan
oleh lawan bicara tidak menunjukan adanya penolakan terhadap
narasumber dalam proses komunikasi lintas budaya. Senyum yang
terpancar dari wajah setiap lawan bicra menunjukan adanya sikap
yang ramah serta tanda penerimaan terhadap nara sumber. Hal
35
inilah yang mendorong narasumber R1 untuk terus melakukan
interaksi dengan orang lain sekaligus sebagai pendorong bagi
narasumber untuk terus belajar memahami bentuk-bentuk dari cara
atau perilaku orang lain dalam proses komunikasi lintas budaya.
Proksemik, berhubungan dengan jarak pada saat proses
komunikasi lintas budaya terjadi. Berhubungan dengan hal
tersebut, dari hasil wawancara menunjukan tidak adanya jarak
antar pribadi yang terjadi dalam proses komunikasi lintas budaya
yang dialami, baik jarak itu diciptakan oleh narasumber sendiri
ataupun dari lawan bicara. Dalam wawancara, narasumber R1
menyatakan bahwa proses komunikasi lintas budaya terjadi
dilingkungan sekitar lewat kegiatan-kegiatan disekitar lingkungan
maupun proses bergaul sehari-hari dengan teman-teman mahasiswa
walaupun berbeda latar belakang budaya, menunjukan bahwa baik
narasumber R1 maupun lingkungannya, sama-sama berusaha
menciptakan jarak sosial yang dekat dalam proses komunikasi
lintas budaya yang terjadi.
3. Kesulitan & Kemudahan.
Dari hasil waancara yang diperoleh, secara garis besar
kesulitan yang dialami oleh narasumber R1 adalah hal-hal yang
bersifat verbal seperti bahasa, intonasi dan dialektikal, sedangkan
yang berhubungan dengan hal-hal non verbal adalah karakter-
karakter dari setiap orang yang berinteraksi dengan narasumber
R1. Kemudahan yang penulis temui disini adalah sikap baik dan
bersahabat yang ditunjukan oleh orang-orang di sekitar serta
adanya sikap memahami dari orang lain untuk menggunakan
bahasa Indonesia yang menjembatani perbedaan budaya antara
narasumber R1 dengan lingkungannya dalam proses komunikasi
lintas budaya.
36
4.4.4. Narasumber R2 ( Bony – 2014 ).
1. Perilaku Komunikasi Verbal
Sehubungan dengan bentuk komunikasi verbal dalam
proses komunikasi lintas budaya, bahasa menjadi kesulitan utama
dalam tahap awal proses komunikasi lintas budaya yang dialami,
yakni bahasa yang digunakan yang digunakan oleh lawan bicara.
Hal tersulit ini berhasil di atasi oleh narasumber R2 dengan
berusaha membuka diri dan belajar dari orang lain yang berbeda
budaya melalui pergaulan setiap harinya. Apa yang dilakukan oleh
narasumber R2 pada pada akhirnya mebuat dia terbiasa dengan
bahasa serta gaya berbicara orang lain dalam proses komunikasi
lintas budaya.
2. Perilaku Komunikasi Non Verbal.
Dari hasil wawancara dengan narasumber R2 ditemukan
adanya beberapa hal yang berhubungan dengan perilaku non verbal
dalam proses komunikasi lintas budaya yakni :
Kineksik, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bahasa
tubuh, dalam hal ini ekspresi wajah. Perilaku non verbal yang
ditunjukan oleh lawan bicara tidak menunjukan adanya penolakan
terhadap narasumber dalam proses komunikasi lintas budaya.
Senyum, tawa serta candaan yang tonjolkan lawan bicra
menunjukan adanya sikap yang ramah serta tanda penerimaan
terhadap nara sumber. Melalui keadaan ini narasumber R2 terus
melakukan interaksi dengan orang lain sekaligus memahami
bentuk-bentuk dari cara atau perilaku orang lain dalam proses
komunikasi lintas budaya sehingga pemahaman terhadap sikap-
sikap nonverbal seperti ini memampukan narasumber R2 untuk
melakukan proses komunikasi lintas budaya.
37
Proksemik, berhubungan dengan jarak pada saat proses
komunikasi lintas budaya terjadi. Hasil wawancara menunjukan
tidak adanya jarak antar pribadi yang terjadi dalam proses
komunikasi lintas budaya yang dialami.
3. Kesulitan & Kemudahan.
Kesulitan yang dialami oleh narasumber R2 secara umum
merupakan hal-hal yang bersifat verbal, yakni bahasa. Dalam hal
kemudahan, apa yang dialami oleh R2 secara garis besar yaitu
adanya keterbukaan, sikap yang baik dan ramah serta penerimaan
yang positif juga kesadaran secara pribadi dalam memahami
perbedaan budaya bukan sebagai suatu halangan untuk bergaul dan
berkomunikasi tetapa memandang perbedaan sebagai sebuah hal
yang menarik untuk dipelajari.
4.4.5. Narasumber R3 (Vitra–2015 ).
1. Perilaku Komunikasi Verbal
Sehubungan dengan bentuk komunikasi verbal dalam
proses komunikasi lintas budaya, bahasa menjadi kesulitan utama
dalam tahap awal proses komunikasi lintas budaya yang dialami,
yakni bahasa yang digunakan yang digunakan oleh lawan bicara.
Secara jelas narasumber R3 menyatakan bahwa sangat kesulitan
dalam memahami bahasa, sedangkan untuk bahasa dari etnis lain
tidak terlalu sulit untuk dipahami karena sejauh ini narasumber
lebih banyak bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang dari
daerah lain namun masih mencakup satu kesatuan wilayah
(Indonesia Timur) sehingga terdapat beberapa bahasa sehari-hari
yang sama walaupun logat serta intonasi menjadi pembeda namun
masuh dapat dipahami oleh narasumber R3.
Hal tersulit dalam hal ini bahasa Jawa, berhasil di atasi
oleh narasumber R3 dengan berusaha membuka diri dan belajar
38
dari orang lain yang berbeda budaya melalui pergaulan setiap
harinya sambil mempelajari sedikit – demi sedikit tentang bahasa
Jawa terutama yang digunakan sehari-hari. Apa yang dilakukan
oleh narasumber R3 pada pada akhirnya mebuat dia terbiasa
dengan bahasa serta gaya berbicara orang lain dalam proses
komunikasi lintas budaya.
2. Perilaku Komunikasi Non Verbal.
Dari hasil wawancara dengan narasumber R2 ditemukan
adanya beberapa hal yang berhubungan dengan perilaku non verbal
dalam proses komunikasi lintas budaya yakni :
Kineksik, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bahasa
tubuh, dalam hal ini ekspresi wajah. Perilaku non verbal yang
ditunjukan oleh lawan bicara tidak menunjukan adanya penolakan
terhadap narasumber dalam proses komunikasi lintas budaya.
Senyum, tawa serta candaan yang tonjolkan lawan bicra
menunjukan adanya sikap yang ramah serta tanda penerimaan
terhadap nara sumber. Melalui keadaan ini narasumber R3 terus
melakukan interaksi dengan orang lain sekaligus memahami
bentuk-bentuk dari cara atau perilaku orang lain dalam proses
komunikasi lintas budaya sehingga pemahaman terhadap sikap-
sikap nonverbal seperti ini memampukan narasumber R3 untuk
melakukan proses komunikasi lintas budaya.
Proksemik, berhubungan dengan jarak pada saat proses
komunikasi lintas budaya terjadi. Hasil wawancara menunjukan
tidak adanya jarak antar pribadi yang terjadi dalam proses
komunikasi lintas budaya yang dialami.
3. Kesulitan & Kemudahan.
Kesulitan yang dialami oleh narasumber R3 secara umum
merupakan hal-hal yang bersifat verbal, yakni bahasa, khususnya
39
bahasa Jawa . Dalam hal kemudahan, apa yang dialami oleh R3
secara garis besar yaitu sikap yang baik dan ramah serta
penerimaan dari lingkungan sekitar. Selain itu keberadaan sesama
perantau yang berasal dari wilayah Indonesia bagian timur
(walalupun berbeda daerah) tidak begitu mempersulit narasumber
R3 dalam bergaul karena secara umum ada beberapa bentuk dan
pola komunikasi yang mirip serta dimaknai sama seperti di daerah
asal naasumber R3.
4.4.6. Narasumber R4 ( Geby–2015 ).
1. Perilaku Komunikasi Verbal
Dalam proses komunikasi lintas budaya yang berhubungan
dengan bentuk verbal, khususnya secara lisan, narasumber R4 satu
menjelaskan bahwa pada mulanya ada beberapa hal yang
membuatnya sulit berkomunikasi dalam konteks lintas budaya. Hal
tersebut adalah bahasa yang digunakan serta pelafalan atau
dialektikal yang digunakan oleh lawan bicara. Seiring berjalannya
waktu, kedua hal tersulit ini berhasil di atasi oleh narasumber R4
dengan tetap membangun interaksi dan komunikasi secara rutin.
Selalin itu narasumber R4 juga menjelaskan bahwa melalui proses
interaksi dan komunikasi yang rutin dengan orang lain yang
berbeda budaya, narasumber R4 secara aktif, terbuka dan berani
untuk menanyakan hal-hal yang tidak ia pahami dari bentuk
komunikasi verbal lawan bicara. Narasumber R4 juga berusaha
untuk mempelajari hal-hal seperti pelafalan atau dilektikalserta
logat dari para pelaku komunikasi lintas budaya lainnya sehingga
dapat mempraktekan apa yang dipelajari pada saat berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda beda budaya
dengan dirinya. Apa yang dilakukan oleh narasumber R4 pada
pada akhirnya mebuat dia merasa nyaman, tidak kaku dan
40
canggung serta mudah memahami hal-hal yang dikomunikasikan
secara verbal oleh orang lain yang berbeda latarbelakang budaya.
2. Perilaku Komunikasi Non Verbal.
Strategi dalam mengatasi hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku non verbal yang dialami dalam proses komunikasi lintas
budaya juga dilakukan oleh narasumber R4. Dari hasil wawancara
dengan narasumber ini ditemukan adanya beberapa hal yang
berhubungan dengan perilaku non verbal dalam proses komunikasi
lintas budaya yakni :
Kineksik, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bahasa
tubuh, dalam hal ini ekspresi wajah. Sekalipun narasumber R4
menyatakan bahwa pada awalnya terdapat kesulitan pada bentuk
komunikasi verbal, namun perilaku non verbal yang ditunjukan
oleh lawan bicara tidak menunjukan adanya penolakan terhadap
narasumber dalam proses komunikasi lintas budaya. Senyum yang
terpancar dari wajah setiap lawan bicra menunjukan adanya sikap
yang ramah serta tanda penerimaan terhadap nara sumber. Hal
inilah yang mendorong narasumber R4 untuk terus melakukan
interaksi dengan orang lain sekaligus sebagai pendorong bagi
narasumber untuk terus belajar memahami bentuk-bentuk dari cara
atau perilaku orang lain dalam proses komunikasi lintas budaya
sehingga lama-kelamaan narasumber dapat memahami hal tersebut
sehingga proses komunikasi lintas budaya dari narasumber R4
berjalan dengan sangat baik sampai saat ini.
Proksemik, berhubungan dengan jarak pada saat proses
komunikasi lintas budaya terjadi. Berhubungan dengan hal
tersebut, dari hasil wawancara menunjukan tidak adanya jarak
antar pribadi yang terjadi dalam proses komunikasi lintas budaya
yang dialami, baik jarak itu diciptakan oleh narasumber sendiri
ataupun dari lawan bicara. Dalam wawancara, narasumber R4
41
menyatakan bahwa proses komunikasi lintas budaya terjadi
dilingkungan sekitar lewat kegiatan-kegiatan disekitar lingkungan
maupun proses bergaul sehari-hari dengan teman-teman mahasiswa
walaupun berbeda latar belakang budaya, menunjukan bahwa baik
narasumber R4 maupun lingkungannya, sama-sama berusaha
menciptakan jarak sosial yang dekat dalam proses komunikasi
lintas budaya yang terjadi.
3. Kesulitan & Kemudahan.
Dari hasil waancara yang diperoleh, secara garis besar
kesulitan yang dialami oleh narasumber R4 adalah hal-hal yang
bersifat verbal seperti bahasa, intonasi dan dialektikal, sedangkan
kemudahan yang penulis temui disini adalah penerimaan yang
positif serta adanya kesadaran untuk menciptakan jarak sosial yang
dekat dengan lingkungan menjadi kemudahan bagi narasumber R4
dalam proses komunikasi lintas budaya yang dilakukan.
4.5. Pembahasan.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa adanya perasaan senang dan
rasa nyaman dari para narasumber terhadap keadaan di kota Salatiga sejak awal
kedatangan mereka. Perasaan seperti ini dapat penulis katakan sebagai respon
positif terhadap kota Salatiga, sehingga respon positif inilah yang pada akhirnya
mendorong para narasumber untuk terus berinteraksi dan memudahkan mereka
untuk berkomunikasi dari waktu ke waktu dengan seluruh lingkungan di Salatiga
baik itu lingkungan sekitar tempat tinggal maupun lingkungan lain diluar tempat
tinggal mereka. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Lilis (2010) bahwa
keberhasilan dalam proses komunikasi lintas budaya juga dipengaruhi oleh
lingkungan fisik suatu darah. Dimana lingkungan fisik ini berpengaruh terhadap
kesan serta motivasi indovidu dalam proses interaksi dan komunikasi antar
budaya. Atas dasar tersebut penulis menyimpulkan bahwa ketika seseorang
merasa nyaman dan memiliki kesan yang baik atas daerah yang bukan daerah
42
asalnya, maka orang tersebut akan terdorong pula untuk melakukan interaksi dan
komunikasi yang baik pula pada daerah yang bukan daerah asalnya.
Liliweri (2002) menyimpulkan bahwa komunikasi antar budaya
menekankan pada aspek budaya dari para pelakunya. Proses komunikasi antar
budaya membutuhkan perhatian atas tata krama, nilai etika serta aspek tertentu
dari setiap pelakunya. Atas apa yang diungkapkan oleh Liliweri, penulis
memahami bahwa tata krama, etika serta nilai-nilai yang dimaksudkan merupakan
sesuatu yang mengikat individu untuk berperilaku dalam lingkungannya,
termasuk berkomunikasi bahkan dalam proses komunikasi antar budaya. Hasil
penelitian bahwa lingkungan dimana para nara sumber berada, berinteraksi dan
berkomunikasi memiliki kesamaan pandangan terhadap nilai, etika, tata krama
kehidupan bermasyarakat, pada tempat asal mereka. Pada akhirnya hal inilah yang
membentuk perilaku mereka untuk mampu memahami bagaimana mereka harus
berkomunikasi dengan lingkungan mereka.
Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya kesulitan yang dialami pada
tahap awal oleh para narasumber dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Mulyana
dan Rakhmat (2000) menjelaskan bahwa bahasa merupakan hambatan utama yang
ada dalam proses komunikasi antar budaya. Hal ini disebabkan karena adanya
perbedaan kebudayaan dari para pelaku komunikasinya. Hambatan-hambatan
yang ditemukan melalui hasil peneliian ini secara umum merupakan hambatan
dalam hal bahasa baik secaara verbal maupun non verbal. Secara verbal hambatan
yang dialami oleh keseluruhan responden adalah penggunaan kosa kata, tata bahsa
serta dialektikal oleh orang –orang yang menjadi pelaku komunikasi dari
lingkungan interaksi para responden. Hambatan non verbal yang dialmi oleh para
responden adalah hal – hal yang berhubungan bahsa tubuh atau ekspresi tubuh,
terutama ekspresi wajah yang dibangun oleh orang-orang yang menjadi pelaku
komunikasi dalam setiap lingkungan interaksi para responden, dengan katalain
penulis menyimpulkan bahwa hambatan nonverbal yang dialami oleh para
responden adalah hambatan non verbal Kinesik (Liliweri,2002). Baik hambatan
verbal maupun non verbal,keduanya sangat terasa ketika responden
berkomunikasi dengan warga asli Salatigayang berkebudayaan Jawa, sedangkan
43
untuk sesama perantau dari luar Jawa, kesulitan dalam bentuk komunikasi secara
verbal yang dialami tidak terlalu sulit terkhususnya ketika berkomunikasi dengan
sesame pendatang asal Indonesia timur. Hal ini disebabkan karena terdapat
beberapa kesamaan budaya, istilah dan kosa kata yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari dan pola komunikasi dan interaksi yang tidak jauh berbeda
dengan daerah asal responden.
Hambatan non verbal inilah yang pada awalnya membuat para narasumber
bingung, sungkan bahkan ragu untuk menentukan bagaimana harus berperilaku
sebagai bentuk respon terhdap pesan-peasn yang hendak disampaikan maupun
memaknai pesan dari para pelaku komunikasi yang berbeda budaya dalam
lingkungannya.
Sekalipun mengalami hambatan dalam proses komunikasi antar budaya
dalam lingkungannya, para responden mengalami perkembangan dari waktu
kewaktu. Hasil penelitian menunjukan bahwa sejak awal kedatangan di Salatiga
hingga saat ini, para responden mengalami peningkatan, terutama dalam
memahami pola komunikasi dari setiap lingkungna dimana mereka mengalami
proses komunikasi antar budaya. Adanya pemahaman dalam bentuk komunikasi
lisan baik kosa kata, tata bahasa serta dialektikal maupun pemahaman karakter,
bahasa tubuh atau ekspresi yang digambarkan melalui wajah pelaku komunikasi
lainnya menunjukan bahwa adanya cara yang diterapkan para narasumber untuk
mencapai perkembangan ini.
Status mereka sebagai perantau pada akhirnya membawa mereka pada
situasi dimana mau tidak mau mereka harus beradaptasi dengan kebiasaan-
kebisaan atau pola komunikasi dari lingkungan dimana terciptanya komunikasi
antar budaya dengan pihak lain, terutama masyarakat lokal Salatiga. Selain itu
penulis juga melihat adanya upaya pengontrolan diri (self control) dari para
responden agar dapat berpikir positif, memahami karakter serta perbedaan dalam
proses komunikasi lintas budaya. Inilah yang dimaksudkan Samovar dan Porter
1976 dalam (Mulyana, 2007) bahwa self control merupakan cara dimana individu
mengatur perasaan untuk menjaga hubungan baik dalam berbagai keadaan
44
termasuk proses komunikasi, maka dalam hal ini adalah proses komunikasi lintas
budaya.
Selanjutnya yang penulis temukan dari penelitian ini menunjukan adanaya
kesadaran untuk belajar pola komunikasi dari pelaku komunikasi antar budaya
lainnya dalam lingkungan interaksi para nara sumber. Hal ini menunjukan adanya
keterbukaan diri dari para narasumber untuk menerima adanya kebudayaan lain
tanpa harus memaksakan kebudayaan sendiri atau kebudayaan asal dalam proses
komunikasi antar budaya dilingkungan sekitar mereka. Para narasumber merasa
bahwa dengan memami kebudayaan orang lain akan membuat mereka semakin
dekat dengan masyarakat atau orang-orang yang menjadi bagian dari kebudayaan
tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang dimaksudkan Ohoiwutun 1997 dalam
(Liliweri 2002) bahwa komunikasi menentukan kemampuan individu untuk
berinteraksi secara kompeten dalam segala situasi kehidupan, oleh karena itu
mempelajari kebudayaan orang lain sangat penting untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru atau lingkungan yang bukan bagian dari kebudayaan kita
sendiri. Selain itu para responden juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan di
lingkungannya.
Upaya para partisipan penelitian ini untuk mengatasi berbagai kesulitan
dalam komunikasi antar budaya dengan lingkungan di Salatiga menunjukkan
kesiapan para narasumber untuk beradaptasi dengan pola komunikasi antar
budaya yang ada. Keinginan untuk mengembangkan diri, kesamaan iklim dengan
daerah asal dan kenyamanan serta sikap masyarakat yang ramah dan baik dan
teman dari etnis lain adalah motivasi utama yang mendorong para narasumber
untuk mengambil beberapa strategi untuk menyelesaikan masalah dalam proses
komunikasi antar budaya di Salatiga. Dengan kesuksesan dalam pergaulan sosial
dengan sesame mahasiswa dan masyarakat setempat, para narasumber optimis
dapat mengambil peluang untuk belajar apapun demi pengembangan diri. Mereka
menyadari bahwa tempat studi mereka saat ini menawarkan banyak peluang untuk
melibatkan mereka dalam proses komunikasi antar budaya yang berkelanjutan
untuk jangka waktu yang lama. Kemampuan untuk mengambil keuntungan dari
45
peluang yang tersedia di lingkungan baru, merupakan sikap positif yang
diperlukan untuk penyesuaian diri dalam proses komunikasi antar budaya
top related