case tb-cap
Post on 18-Jan-2016
50 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
Tuberkulosis Paru Relaps dengan Pneumonia Komunitas
Pembimbing: dr. Sukaenah bt Shebubakar, Sp.P
Disusun oleh: Shinta Arumadina
030.10.254
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD BUDHI ASIH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2014
BAB I
LAPORAN KASUS
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH JAKARTA
Nama : Shinta Arumadina
NIM : 030.10.254
Pembimbing : dr. Sukaenah bt Shebubakar, Sp.P
I. IDENTITAS
Nama : Ny. J
Umur : 47 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Pondok Bambu
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Tanggal masuk : 15 September 2014
No. RM : 946352
II. ANAMNESIS
Telah dilakukan autoanamnesis kepada pasien pada hari Rabu, tanggal 17 September
2014 pukul 20.00 WIB, di ruang 706 RSUD Budhi Asih.
Keluhan Utama
Pasien datang dengan sesak napas sejak 1 bulan yang lalu SMRS.
1
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan sesak napas sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas
timbul tiba-tiba dan dirasakan terus menerus. Pasien juga mengaku sebelumnya pernah
mengalami sesak napas, tetapi sesak napas yang dialami sekarang lebih berat daripada
serangan yang terjadi sebelumnya sehingga pasien datang ke rumah sakit. Sesak napas
terutama lebih berat pada saat kelelahan. Pada waktu sesak napas, tidak terdengar bunyi
“ngiik”. Sesak napas yang dirasakan tidak dipengaruhi oleh posisi, baik berbaring
ataupun duduk. Pasien menyangkal adanya nyeri dada.
Pasien juga mengeluh batuk sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk yang
dialami pasien berdahak, kental, dengan warna kehijauan. Batuk dirasakan terus menerus
dan sekarang semakin parah. Pasien juga mengeluh demam yang dirasakan sejak 2
minggu yang lalu. Demam timbul mendadak dan tidak naik-turun. Demam yang
dirasakan pasien tidak terlalu tinggi, diukur menggunakan perabaan tangan. Demam
hanya berlangsung tiga hari, karena demam berangsur turun semenjak minum obat
penurun panas.
Selain itu, pasien juga mengaku adanya keluhan sering berkeringat pada malam hari,
sampai harus mengganti pakaian beberapa kali. Pasien juga mengeluh adanya rasa lemas
dan penurunan nafsu makan serta penurunan berat badan kurang lebih 10 kilogram sejak
1 bulan yang lalu. BAB dan BAK lancar, tidak ada keluhan. Riwayat pilek, mual, dan
muntah disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku pernah mengalami penyakit infeksi paru 10 tahun yang lalu dan telah
menjalani pengobatan selama 6 bulan serta dinyatakan sembuh. Pasien tidak memiliki
riwayat alergi obat. Pasien menyangkal adanya riwayat DM, hipertensi, asma, dan
penyakit jantung.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang sama seperti
pasien. Riwayat hipertensi, DM, asma, dan penyakit jantung disangkal pada keluarga.
2
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak memiliki riwayat merokok maupun minum minuman beralkohol. Pasien
tidak pernah berolahraga, hanya melakukan aktivitas sehari-hari di rumah.
Riwayat Pengobatan
Pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan untuk infeksi paru selama 6 bulan.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.
Riwayat Lingkungan
Pasien mengaku mempunyai tetangga yang memiliki gejala yang sama yaitu batuk-batuk
dan sesak napas. Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Pencahayaan dan
ventilasi di rumah cukup baik, tidak perlu memakai lampu pada pagi hari.
Anamnesis menurut sistem
Kulit : Sering berkeringat pada malam hari (+).
Kepala : Mata, telinga, hidung, mulut, tenggorokan tidak ada keluhan.
Leher : Nyeri menelan, sakit tenggorokan disangkal.
Pernapasan : Batuk berdahak dan sesak napas (+). Nyeri dada disangkal.
Gastrointestinal : Penurunan nafsu makan (+). BAB hitam, diare, mual muntah disangkal.
Urogenital : BAK lancar, tidak ada keluhan.
Ekstremitas : Tidak ada keluhan.
3
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TTV : TD: 130/80 mmHg N: 116x/menit RR: 32x/menit S: 37,9oC
BB : 45 kg
TB : 155 cm
BMI : 18,7 Kesan: gizi cukup
Status Generalis
Kulit
Warna kulit kuning langsat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada efloresensi
kulit yang bermakna. Perabaan suhu terasa hangat.
Kepala
Normochepali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, deformitas (-)
Mata : Ptosis (-), palpebra oedem (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung (+/+).
Telinga : Normotia, nyeri tarik atau nyeri lepas (-/-), liang telinga lapang (+/+),
serumen (-/-)
Hidung : Deformitas (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-), kavum nasal tampak lapang
(+/+)
Mulut : Sianosis (-), bibir tidak kering, mukosa mulut kering, tidak ada efloresensi
yang bermakna, oral hygine baik, uvula letak di tengah, tidak hiperemis, arkus
faring tidak hiperemis dan tidak tampak detritus, tonsil T1/T1.
4
Leher
Inspeksi : Tak tampak benjolan KGB dan kelenjar tiroid
Palpasi : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar.
JVP : 5+2 cmH2O
Thoraks
Inspeksi: Tidak tampak efloresensi yang bermakna, gerak pernafasan simetris tidak
tampak pergerakan nafas yang tertinggal, tulang iga tidak terlalu vertikal maupun
horizontal, retraksi otot-otot pernapasan (-).
Palpasi: vocal fremitus simetris dada kiri dan kanan. Ictus cordis teraba setinggi ICS
5, 1 cm dari garis midclavicula kiri.
Perkusi: Didapatkan perkusi sonor pada kedua lapang paru.
- batas paru dengan hepar : setinggi ICS 5 linea midclavicula kanan dengan suara
redup
- batas paru dengan jantung kanan : setinggi ICS 3 hingga 5 linea sternalis kanan
dengan suara redup
- batas paru dengan jantung kiri : setinggi ICS 5 1 cm linea midclavicula kiri
dengan suara redup
- batas atas jantung : setinggi ICS 3 linea parasternal kiri dengan suara redup
Auskultasi :
- Jantung : Bunyi jantung I & II regular, murmur (-) gallop (-).
- Paru : Suara napas vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Ronkhi (+/+).
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak efloresensi yang bermakna, perut datar, smiling
umbilicus (-), hernia umbilikalis (-), pulsasi abnormal (-), spider navy
(-).
5
Auskultasi : BU (+) normal.
Perkusi : Didapatkan timpani pada seluruh lapang abdomen, shifting dullness -
Palpasi : Tidak teraba kembung, tidak teraba massa, defence muscular (-),
nyeri tekan epigastrium (-). Nyeri lepas (-). Hepar, lien tidak teraba, ballotemen (-).
Ekstremitas
Inspeksi : Simetris, tidak tampak efloresensi yang bermakna, oedem ekstremias
superior (-/-), oedem ekstremitas inferior (-/-), palmar eritema (-/-).
Palpasi : Akral teraba hangat, CRT < 2 detik.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
6
JENIS
PEMERIKSAAN
Hasil Satuan Nilai normal
HEMATOLOGI
Leukosit 15,5 ↑ ribu/ul 3,6-11
Eritrosit 3,9 juta/ul 3,8-5,2
Hemoglobin 10,6 ↓ g/dl 11,7-15,5
Hematokrit 31 ↓ % 35-47
Trombosit 249 ribu/ul 150-440
MCV 80 Fl 80-100
MCH 27,4 Pg 26-34
MCHC 34,3 g/dl 32-36
RDW 14,7 ↑ % <14
KIMIA KLINIK
ANALISA GAS DARAH
pH 7,5 ↑ 7,35-7,45
pCO2 23 ↓ mmHg 35-45
pO2 95 mmHg 80-100
Bikarbonat (HCO3) 18 ↓ Mmol/l 21-28
Total CO2 19 ↓ Mmol/L 23-27
Saturasi O2 97 % 95-100
Kelebihan Basa (BE) -3,3 ↓ Meq/l -2,5 - +2,5
METABOLISME KARBOHIDRAT
Gula darah sewaktu 71 mg/dl <110
GINJAL
Ureum 13 mg/dl 13-43
Kreatinin 0,68 mg/dl <1,1
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 154 mmol/l 135-155
Kalium (K) 3,0 ↓ mmol/l 3,6-5,5
Klorida (Cl) 96 ↓ mmol/l 98-109
FOTO THORAKS
Interpretasi:
- CTR <50%
7
- Terdapat bercak infiltrat pada apex kedua lapang paru
- Terdapat bercak kalsifikasi di paru kiri
- Terdapat bercak perselubungan (konsolidasi) di paru kanan
- Sudut costophrenikus tajam
Kesan: Tuberkulosis paru duplex dengan Pneumonia komunitas
V. RINGKASAN
Pasien seorang perempuan berusia 47 tahun datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan
sesak napas sejak 1 bulan SMRS. Sesak napas timbul tiba-tiba dan dirasakan terus
menerus, lebih berat pada saat kelelahan. Pasien juga mengeluh batuk sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Batuk yang dialami pasien berdahak, kental, dengan warna
kehijauan. Batuk dirasakan terus menerus dan sekarang semakin parah. Pasien juga
mengeluh demam yang dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Demam tidak terlalu tinggi,
timbul mendadak, dan tidak naik-turun. Demam hanya berlangsung selama tiga hari.
Selain itu juga, pasien mengaku adanya keluhan sering berkeringat pada malam hari.
Pasien juga mengeluh adanya rasa lemas dan penurunan nafsu makan serta penurunan
berat badan kurang lebih 10 kilogram sejak 1 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan penurunan hb, leukositosis, penurunan hematokrit, alkalosis
respiratorik, dan hipokalemia. Pada hasil foto thorax didapatkan bercak infiltrat pada apex
kedua lapang paru, bercak kalsifikasi di paru kiri, serta perselubungan (konsolidasi) di
paru kanan.
VI. DAFTAR MASALAH
- TB Paru Relaps
- Pneumonia Komunitas
- Hipokalemia
- Anemia
VII. PENGKAJIAN MASALAH
8
1. TB Paru Relaps
Data yang mendukung ditegakannya diagnosis TB paru relapse yaitu dari hasil
anamnesis didapatkan sesak napas disertai batuk sejak 1 bulan SMRS, riwayat demam,
sering berkeringat pada malam hari, adanya penurunan nafsu makan serta penurunan
berat badan. Selain itu, pasien mengaku pernah menderita TB paru 10 tahun yang lalu
dan telah menjalani pengobatan selama 6 bulan serta dinyatakan sembuh. Dilihat dari
foto rontgen thoraks ditemukan bercak infiltrat pada apex kedua lapang paru disertai
gambaran bercak kalsifikasi merupakan keterangan pendukung untuk mendiagnosis
TB paru relaps pada pasien ini.
2. Pneumonia Komunitas
Data yang mendukung diagnosis pneumonia komunitas yaitu dari hasil anamnesis
didapatkan batuk sejak 1 bulan SMRS, riwayat mengeluarkan dahak berwarna
kehijauan, batuk yang disertai demam, serta sesak nafas. Keluhan itu semua sudah
mulai dirasakan pasien sebelum pasien dirawat di Rumah sakit, yang berarti penularan
penyakit bukan berasal dari rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara
ronkhi pada kedua lapang paru. Selain itu, apabila melihat hasil foto rontgen, terdapat
gambaran konsolidasi di paru kanan yang diakibatkan oleh kuman bukan TB,
walaupun gambaran ini masih kurang jelas. Tetapi menurut kriteria diagnosis
pneumonia komunitas yang dikeluarkan oleh Persatuan Dokter Paru Indonesia tahun
2003, yaitu Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks
terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini :
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 38oC (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500
Maka diagnosis pasti pneumonia komunitas sudah bisa ditegakan.
3. Hipokalemia
9
Hal ini didasarkan dari hasil pemeriksaan laboratorium serta gejala lemas yang pasien
rasakan.
4. Anemia
Hal ini didasarkan dari hasil pemeriksaan laboratorium dimana terjadi penurunan hb
disertai gejala lemas pada pasien.
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan sputum BTA
IX. PENATALAKSANAAN
- Medikamentosa
1. IVFD Assering : Aminofluid (1:2) / 8jam
2. Lasal 2 cc / 8 jam
3. Cefoperazone 2x1 gr
4. BK III 3x1
5. Aspar K 3x1
- Non medikamentosa
1. Istirahat yang cukup
2. Minum obat teratur
3. Intake nutrisi yang adekuat
4. Posisi kepala dengan tempat tidur diatur ± 30 derajat, posisi miring kanan
miring kiri
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
10
Follow up harian
Tanggal Subjektif Objektif Analisis Perencanaan
16/9/2014 - sesak
- batuk dahak
- keringat malam
Kes: CM
TD: 110/70 mmHg
N : 116 x/menit
RR: 32 x/menit
S : 37,9 oC
Mata : CA -/-, SI -/-
Thorax:
- Paru: SN Ves +/+,
Rhonki +/+,
Wheezing -/-
- Jantung: S1/S2 reg,
M (-), G (-)
Abd: supel, NT (-),
timpani
Eks: akral hangat
(+/+)
Lab:
Leukosit: 15,5rb ↑
Hb: 10,6 ↓
pH: 7,5 ↑
- TB Paru Relaps
- CAP
- Hipokalemia
- Anemia
- IVFD
Aminofluid/24
jam
-IVFD RD:NaCl
(2:1)/8 jam+Lasal
2 cc/8 jam
-Cefoperazone
2x1 gr
-BK III 3x1
-Aspar K 3x1
-Cek BTA
sputum 3x
11
pCO2: 23 ↓
HCO3: 18 ↓
K: 3,0 ↓
GDS: 115
17/9/2014 - sesak
- batuk dahak
- keringat malam
Kes: CM
TD: 110/70 mmHg
N : 135 x/menit ↑
RR: 28 x/menit ↑
S : 36,5 oC ↓
Mata : CA -/-, SI -/-
Thorax:
- Paru: SN Ves +/+,
Rhonki +/+,
Wheezing -/-
- Jantung: S1/S2 reg,
M (-), G (-)
Abd: supel, NT (-),
timpani
Eks: akral hangat
(+/+)
- TB Paru Relaps
- CAP
- Hipokalemia
- Anemia
- IVFD
Aminofluid/24
jam
-IVFD RD:NaCl
(2:1)/8 jam+Lasal
2 cc/8 jam
-Cefoperazone
2x1 gr
-BK III 3x1
-Aspar K 3x1
-Maltofer 2x1
-inj Bisolvon 2x1
amp
-Ambroxol syr
3x1 cth
18/9/2014 -sesak
-batuk dahak
Kes: CM
TD: 110/70 mmHg
N : 80 x/menit
RR: 25 x/menit ↓
S : 36,5 oC
Mata : CA -/-, SI -/-
Thorax:
- Paru: SN Ves +/+,
- TB Paru Relaps
- CAP
- Hipokalemia
- Anemia
- IVFD
Aminofluid/24
jam
-IVFD RD:NaCl
(2:1)/8 jam+Lasal
2 cc/8 jam
-Cefoperazone
12
Rhonki +/+,
Wheezing -/-
- Jantung: S1/S2 reg,
M (-), G (-)
Abd: supel, NT (-),
timpani
Eks: akral hangat
(+/+)
2x1 gr
-BK III 3x1
-Aspar K 3x1
-Maltofer 2x1
-inj Bisolvon 2x1
amp
-Ambroxol syr
3x1 cth
-cek H2TL, K
19/9/2014 -sesak
-batuk dahak
Kes: CM
TD: 110/80 mmHg
N : 96 x/menit
RR: 23 x/menit ↓
S : 36,5 oC
Mata : CA -/-, SI -/-
Thorax:
- Paru: SN Ves +/+,
Rhonki +/+,
Wheezing -/-
- Jantung: S1/S2 reg,
M (-), G (-)
Abd: supel, NT (-),
timpani
Eks: akral hangat
(+/+)
Lab:
Leu: 6,6rb
Eri: 3,7jt
Hb: 10,1 ↓
Ht: 30% ↓
Trom: 267rb
Na: 146
- TB Paru Relaps
- CAP
- Hipokalemia
teratasi
- Anemia
- IVFD
Aminofluid/24
jam
-IVFD RD:NaCl
(2:1)/8 jam+Lasal
2 cc/8 jam
-Cefoperazone
2x1 gr
-BK III 3x1
-Aspar K 3x1
-Maltofer 2x1
-inj Bisolvon 2x1
amp
-Ambroxol syr
3x1 cth
-RIF 1x300
-INH 1x300
-ETB 2x500
-Immudator 1x1
-Hepa Q 2x1
13
K: 4,4
Cl: 108
20/9/2014 Kes: CM
TD: 130/90 mmHg
N : 96 x/menit
RR: 20 x/menit ↓
S : 36,5 oC
Mata : CA -/-, SI -/-
Thorax:
- Paru: SN Ves +/+,
Rhonki +/+,
Wheezing -/-
- Jantung: S1/S2 reg,
M (-), G (-)
Abd: supel, NT (-),
timpani
Eks: akral hangat
(+/+)
- TB Paru Relaps
- CAP
- Hipokalemia
teratasi
- Anemia
- IVFD
Aminofluid/24
jam
-IVFD RD:NaCl
(2:1)/8 jam+Lasal
2 cc/8 jam
-Cefoperazone
2x1 gr
-BK III 3x1
-Aspar K 3x1
-Maltofer 2x1
-inj Bisolvon 2x1
amp
-Ambroxol syr
3x1 cth
-RIF 1x300
-INH 1x300
-ETB 2x500
-Immudator 1x1
-Hepa Q 2x1
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberkulosis Paru
A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Terutama menyerang saluran pernapasan, namun dapat
melibatkan seluruh sistem tubuh seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.1
B. Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar dinding
kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan.
Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga
disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan
fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat
bertahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam
sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan
penyakit tuberculosis aktif lagi.2 Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit
intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi
malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini
adalah aerob. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru-paru lebih tinggi
dari bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit
15
tuberculosis.
C. Faktor risiko
D. Manifestasi klinis
1. Demam: biasanya subfebris seperti demam influenza kadang dapat mencapai 40-
41 derajat. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar tp kemudian dapat
timbul kembali.
2. Batuk/Batuk darah: Batuk terjadi kaarena adanya iritasi pada bronkus. Batuk
diperlukan untuk membuang produk2 radang keluar. Karena keterlibatan bronkus
pada tiap penyakit tidak sama mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yaitu setelah berminggu2 atau berbulan2
peradangan semula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (ada sputum). Keadaan
yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yg pecah.
Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga
terjadi pada ulkus dinding bronkus.
3. Sesak Nafas: Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak nafas. Ditemukan
pada penyakit lanjut yang infiltrat sudah meliputi bagian paru-paru.
4. Malaise: Gejala ini sering ditemukan berupa anorexia tidak ada nafsu makan,
badan kurus, bb turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala
malaise lama lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
E. Patogenesis
TB Primer
16
• Paru merupakan port d entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup dapat
mencapai alveolus.
• Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan
tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan.
• Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus
akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
• Akan tetapi sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembangbiak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
• Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus
primer Gohn.
• Dari fokus primer Gohn, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer.
• Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan
di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus
bawah atau tengah, kelenjar limfe akan yang terlibat adalah kelenjar limfe parahilus
(perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat
adalah kelenjar paratrakeal.
• Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks
primer (primary complex).
• Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB berlangsung
selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.
• Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB
17
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik ( cellular mediated immunity, CMI ).
• Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membenuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami
fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhan biasanya tidak sesempurna fokus primer
di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
• Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.3
TB Pasca Primer (TB Sekunder)
• Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun tahun kemudian (15-40
th) sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (TB sekunder).
• Terjadi karena imunitas menurun seperti pada malnutrisi, alcohol, keganasan, DM,
AIDS, gagal ginjal.
• TB pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru
(segmen apical lobus superior maupun lobus inferior), invasinya ke daerah parenkim
paru-paru, tidak ke nodus hiler paru.
• Sarang dini ini mula-mula berbentuk suatu sarang pneumonia kecil. Dalam 3-
10minggu menjadi tuberkel, yaitu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel
datia-langerhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi sel limfosit dan
berbagai jaringan. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut :
1. Direabsopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
18
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas
sklerotik). Kavitas tersebut akan menjadi:
a. meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas
b. memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
c. bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped).
F. Klasifikasi
Menurut American Thoracic Society (1974):
a. Kategori 0: Tidak pernah terpajan, tidak terinfeksi, riwayat kontak (-), tes tuberkulin
(-)
b. Kategori 1: Terpajan tuberkulosis, tp tidak terbukti ada infeksi, riwayat kontak (+),
tes tuberkulin (-)
c. Kategori 2: Terinfeksi TB, tapi tidak sakit, tes tuberkulin (+), radiologi dan sputum (-)
d. Kategori 3: terinfeksi TB dan sakit
19
Klasifikasi Menurut WHO (1991):
a. Kategori 1: - Kasus baru, sputum (+)
- Kasus baru, TB berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis,
peritonitis, spondilitis dengan gangguan neurologik dan lain-lain.
b. Kategori 2: - Kasus kambuh
- Kasus gagal, sputum BTA (+)
c. Kategori 3: - Kasus BTA (-), kelainan paru tidak luas
- Kasus TB ekstra paru selain dari kategori 1
d. Kategori 4: - TB kronik
Klasifikasi TBC berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum
1) Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah :
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan ganbaran tuberculosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif
2) Tuberkulosis paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis
dan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
Myccobacterium tuberculosis positif.
Klasifikasi TBC berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
20
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan dan putus berobat 2
bulan atau lebih dengan BTA positif atau BTA negatif.
4) Kasus gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.4
G. Alur Diagnosis TB Paru
21
Pemeriksaan Bakteriologik (Sputum)
• Bahan Pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura,liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
• Cara Pengambilan Bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
- Sewaktu (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi (keesokan harinya)
- Sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi)
Atau setiap pagi selama 3 hari berturut turut
• Interpretasi
22
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
- 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif = BTA positif
- 1 kali positif, 2 kali negatif = ulang BTA 3 kali, kemudian bila 1 kali
positif, 2 kali negatif = BTA positif
- bila 3 kali negatif = BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) adalah:5
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
• Dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah dapat ditegakkan
• Dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien minum air ± 2L dan
diajarkan refleks batuk agar sputum keluar. Apabila sulit, dapat digunakan
mukolitik ekspektoran atau inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-
30mnt.
• Kriteria sputum BTA positif apabila sekurangkurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA pada satu sediaan (5.000 kuman dalam 1mL sputum)
Pemeriksaan Radiologis
• Lokasi lesi TB umumnya di daerah apeks paru (segmen apical lobus atas atau
segmen apical lobus bawah), namun bisa juga terdapat di lobus bawah (bagian
inferior).
• Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat, bayangan yg terlihat berupa bulatan
berbatas tegas (tuberkuloma).
• Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA.
23
• Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform).
• Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular dengan batas tidak tegas di segmen apikal
dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular. Bayangan kavitas terlihat berupa cincin yang
mula mula berdinding tipis
Bayangan bercak milier (pada TB milier)
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
• Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrosis, terlihat bayangan yang bergaris-garis
Infiltrat
Kalsifikasi, bayangan terlihat sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi
Schwarte atau penebalan pleura
• Destroyed lung, adalah gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan
jaringan paru yang berat. Gambaran radiologi destroyed lung terdiri dari
atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi
tersebut.
• Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang
terletak di ataschondrostemal junction dari iga kedua depan dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.
H. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3 bulan dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
24
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang dipakai :
1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin.
2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):
Kanamisin, PAS (para amino salicylic acid), Ofloksasin, Tiasetazon, Etionamid,
Sikloserin, Protionamid, Viomisin, Kapreomisin, Amikasin, Norfloksasin,
Levofloksasin, Klofazimin.
Kemasan :
1) Obat tunggal : obat disajikan secara terpisah.
2) Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination-FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. International union
Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk
menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat kombinasi tetap berdasarkan WHO seperti terlihat
pada tabel berikut:
25
Obat kombinasi dosis tetap mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
- Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
- Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
- Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
- Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis
Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia pengobatan
tuberkulosis dibagi menjadi :
1. Pasien kasus baru TB paru dengan BTA positif, dan TB dengan BTA negatif
beserta gambaran foto toraks lesi luas (termasuk luluh paru)
- Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3atau
2RHZE/6HE
- Pengobatan fase inisial resimennya 2HRZE, maksudnya Rifampisin (R),
Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama
dua bulan. Kemudian diteruskan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE,
maksudnya Rifampisin dan Isoniazid diberikan selama empat bulan setiap hari
atau tiga kali seminggu, atau diberikan selama 6 bulan. Bila ada fasilitas
biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi.
2. Pasien baru TB paru dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks lesi
minimal
26
- Panduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3 atau 6RHE
3. Pasien TB paru kasus kambuh (Relaps)
- Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
4. Pasien TB paru kasus gagal pengobatan
- Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZES/1RHZE/5RHE.
- Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh
paduan : 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan
15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak
memungkinkan fase awal dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan
sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat
diberikan RHE selama 5 bulan.
5. Pasien TB kasus putus obat
- Paduan obat yang disediakan oleh Program Nasional TB :
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3.
- Pasien TB paru kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria berikut :
a) Berobat < 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila
BTA negatif, gambaran foto toraks positif, TB aktif pengobatan
diteruskan.
b) Berobat ≥ 4 bulan
Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau ada
perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran
radiolologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit
paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama. Bila BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
27
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.
6. Pasien TB paru kasus kronik.
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi berikan
RHZES.
- Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat
lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dan lain-lain. Pengobatan
minimal selama 18 bulan.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.
Sedangkan menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis pengobatan
tuberkulosis dibagi menjadi:6
1) Kategori 1 (2HRZE/ 4R3H3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru
2) Kategori 2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
- Pasien kambuh (relaps)
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
28
Efek samping obat dan penatalaksanaannya
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat
diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.
29
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: Jika seorang
pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan
penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan
ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan
terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai
kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk.
Pneumonia Komunitas
30
A. Definisi
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal bronkiolus terminalis, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran udara setempat. Disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur,
parasit), tidak termasuk Mycobacterium tuberculosis. Sedangkan Pneumonia komunitas
adalah pneumonia yang didapat di masyarakat atau luar rumah sakit.7
B. Epidemiologi
Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia masuk dalam lima besar penyebab
kematian terkait infeksi.2,3 Angka kejadian tahunan pneumonia pada pasien geriatri
diperkirakan mencapai 25 – 44 kasus per 1000 penduduk.4
World Health Organization (WHO) menyebutkan, Pneumonia yang merupakan lower
respiratory tract infections (LRTI's) menduduki urutan ke-3 sebagai penyebab
kematian pada semua usia, data tahun 2004 dan insidensi Community- Acquired
Pneumonia (CAP) menduduki urutan tertinggi pada usia lanjut. Fung et. al., dalam Am
J Geriatr Pharmacother tahun 2010, memaparkan tentang berbagai hal terkait dengan
faktor resiko yang dapat menyebabkan pneumonia pada usia lanjut. Dibagi menjadi
faktor eksternal / sosial, antara lain, nutrisi yang kurang padatnya lingkungan serta
kurangnya pemahaman akan pentingnya kesehatan. Faktor yang berasal dari individu
yakni komorbiditas, penggunaan obat, gangguan fungsi kognitif, gangguan refleks
batuk serta immunosenescence. Munculnya gejala dan tanda klinis yang atipikal
maupun severe illness disebabkan oleh faktor immunosenescence. Bewick T, et, al.,
dalam penelitian Thorax 2012, untuk melihat prevalensi serotipe S. Pneumoniae pada
pasien dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan CAP. Peserta CAP ≥16 tahun pada
September 2008 hingga 2012, didiagnosis CAP berdasarkan gejala dan tanda, foto
rontgen dan pemeriksaan penunjang lain. Positif dikatakan CAP dengan kultur darah,
kultur sputum atau deteksi antigen S. Pneumoniae pada urin. Hasilnya, 366 pasien
(40%) dari total partisipan didagnosis CAP, dengan serotipe S. Pneumoniae ditemukan
pada 242 pasien (66%) berdasarkan 40 kultur darah, 18 sputum dan 184 deteksi urin.
C. Patogenesis
31
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk
sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan:8
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada
saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah
dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian
besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal
waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse).Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi
10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme
yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah,
akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
D. Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram
positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di
Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak
penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.7 Berdasarkan laporan 5
tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya,
Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan
mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut :
- Klebsiella pneumoniae 45,18%
32
- Streptococcus pneumoniae 14,04%
- Streptococcus viridans 9,21%
- Staphylococcus aureus 9%
- Pseudomonas aeruginosa 8,56%
- Steptococcus hemolyticus 7,89%
- Enterobacter 5,26%
- Pseudomonas spp 0,9%
E. Klasifikasi
Berdasarkan klinis dan epidemiologis : 9
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.
Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella
pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi
influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan
sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda
asing atau proses keganasan
33
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.
Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia interstisial
F. Diagnosis
Diagnosis pneumonia dapat ditegakan apabila terdapat infiltrat baru atau
perubahan infiltrat progresif pada foto toraks, dengan disertai sekurang – kurangnya 1
gejala mayor atau 2 gejala minor berikut:10
Gejala Mayor: batuk, sputum produktif ,demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor: sesak napas, nyeri dada, konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik, jumlah
leukosit >12.000/mL
Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk
dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran (delirium),
tidak mau makan, jatuh, dan inkontinensia akut.
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan
fisis, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika
pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau
lebih gejala di bawah ini :7
- Batuk-batuk bertambah
- Perubahan karakteristik dahak / purulent
- Suhu tubuh > 38oC (aksila) / riwayat demam
- Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
- Leukosit > 10.000 atau < 4500
G. Kriteria Rawat
Skor CURB-65 adalah penilaian terhadap setiap faktor risiko yang diukur. Sistem skor
pada CURB-65 digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan tingkat angka
kematian yang tinggi. Setiap nilai faktor risiko dinilai satu. Faktor-faktor risiko tersebut
adalah:
C : Confusion
U : Urea
34
R : Respiratory rate
B : Blood pressure
65: Usia ≥ 65 tahun
Respons Nilai
Umur
Tanggal lahir
Waktu (untuk jam terdekat)
Tahun sekarang
Nama rumah sakit
Dapat mengidentifikasi dua
orang
Alamat rumah
Tanggal kemerdekaan
Nama presiden
Hitung mundur mulai dari 20
- Setiap pertanyaan dijawab dengan benar mendapat nilai 1
- Jawaban yang benar nilai ≤ 8, confusion skor 1
- Jawaban yang benar nilai ≥ 8, confusion skor 0
Confusion- Uji mental ≤ 8 = skor 1- Uji mental ≥ 8 = skor 0
Urea- Urea > 19 mg/dL = skor 1- Urea ≤ 19 mg/dL = skor 0
Respiratory Rate- RR > 30 x/mnt = skor 1- RR ≤ 30 x/mnt = skor 0
Blood Pressure- BP <90/60 mmHg = skor 1- BP ≥ 90/60 mmHg = skor 0
Umur- ≥ 65 tahun = skor 1- < 65 tahun = skor 0
Penilaian berat pneumonia dengan menggunakan sistem skor CURB-65 adalah sebagai
berikut:
35
1. Skor 0 – 1 : risiko kematian rendah, pasien dapat berobat jalan
2. Skor 2 : risiko kematian sedang, dapat dipertimbangkan untuk rawat
3. Skor >3 : risiko kematian tinggi dan dirawat harus ditatalaksana dengan
pneumonia berat
4. Skor 4 atau 5 : harus dipertimbangkan perawatan intensif
Penilaian derajat Keparahan penyakit
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumunitas dapat dilakukan dengan
menggunakan
sistem skor menurut Pneumonia Severity Index (PSI) seperti tabel di bawah ini
Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PSI
Berdasar kesepakatan PDPI 2014, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komunitas adalah :
1. Skor PSI lebih dari 70
2. Bila skor PSI < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari
kriteria dibawah ini.
- Frekuensi napas > 30/menit
- Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
- Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
36
- Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di bawah
ini.
Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit
ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis
Kriteria perawatan intensif:
Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang
mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventilasi mekanik
dan membutuhkan vasopressor >4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu
(Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks parumenunjukkan kelainan bilateral, dan
tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi
untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.11
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:
1. Penderita rawat jalan
37
a. Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
b. Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
2. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
a. Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
b. Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
3. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif (ICU)
a. Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
b. Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila
dapat distabilkan maka penderita dirawat inap di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory
distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.
38
Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke oral
dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan
antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu
mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini dapat diberikan
secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan
step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah).
• Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
• Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral
• Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral.
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti
obat oral dan penderita dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komunitas:
• Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
• Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
• Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
• Gejala klinik membaik (mis: frekuensi pernapasan, batuk)
• Leukosit menuju normal/normal
39
I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi: Efusi pleura, empiema, abses paru, pneumotoraks, gagal
napas, sepsis.
J. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka
kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan ,
sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious
Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti pada rawat
jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas
III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan
risiko kelas.Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998
adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka
kematian 20 35%.
K. Pencegahan
- Perbaikan pola hidup termasuk tidak merokok
- Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini masih
perlu dilakukan penelitian tentang efektivitasnya. Pemberian vaksin tersebut
diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik,
diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W. Sedoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Penyakit Dalam FKUI.2006
2. Rasmin Rasjid. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis Paru.
FKUI Jakarta, 1985.
3. Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 – 201
40
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafka, 2006.
5. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis ed 2. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
6. Aru W, Bambang S, Idrus A et all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam vol.2 ed.4.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti, pedoman dan
penatalaksanaan di Indonesia.. Balai Penerbit FK UI, 2003.
8. Hoyert DL, Kung HC, Smith BL. Deaths preliminary data for 2003. Natl Vital Stat.
Rep 2005; 53(15): 1-48.
9. Janssens JP, Krause KH. Pneumonia in the very old. Lancet Infect Dis 2004; 4(2):
112-24
10. Cunha BA. Pneumonia in the elderly. Clin Microbiol Infect 2001; 7: 581-88.
11. Frank SM, Raja SN, Bulcao C, Goldstein DS. Age-related thermoregulatory diff
erences during core cooling in humans. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol
2000; 279: R349-R354
41
top related