dampak rezim agreement on agriculture (aoa) wto terhadap ...digilib.unila.ac.id/55129/3/skripsi...
Post on 11-Jul-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DAMPAK REZIM AGREEMENT ON AGRICULTURE (AOA) WTO
TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA ERA SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO – JUSUF KALLA
(Skripsi)
Oleh
HAIFA AZ ZAHRA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
DAMPAK REZIM AGREEMENT ON AGRICULTURE (AOA) WTO
TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA ERA SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO – JUSUF KALLA
Oleh
HAIFA AZ ZAHRA
Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya alam
terutama dalam sektor pertanian. Namun, hal tersebut tidak menjanjikan Indonesia
untuk memiliki ketahanan pangan yang baik. Hal ini terlihat pada masa Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang menunjukan kondisi
perekonomian yang lemah dan tidak stabil hingga pada akhirnya menjadi awalan
terintegrasinya pola kebijakan pertanian di Indonesia oleh organisasi internasional
seperti WTO dalam perjanjian Agreement on Agriculture (AoA). Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan kerjasama antara WTO dan Indonesia dalam
ketahanan pangan di sektor pertanian , menganalisis peran Agreement on
Agriculture (AOA) WTO dalam ketahanan pangan di Indonesia, menganalisis
keefektivitasan rezim terhadap ketahanan pangan, serta mendeskripsikan dampak
rezim Agreement on Agriculture (AOA) WTO dalam ketahanan pangan di
Indonesia pada era Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data
yang meliputi studi pustaka dan studi dokumentasi. Hasil dari penelitian ini adalah
dampak rezim Agreement On Agriculture (AOA) WTO terhadap ketahanan
pangan di Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tidak
membuahkan kerjasama dan hasil yang baik karena terlihat melalui tingginya tarif
terhadap akses pasar, subsidi domestik dan subsidi ekspor yang menimbulkan
distorsi perdagangan dan mengancam tingkat ketahanan pangan Indonesia.
Kata Kunci : Dampak, Rezim, Agreement of Agriculture, Ketahan Pangan
ABSTRACT
THE IMPACT OF AGREEMENT ON AGRICULTURE (AOA) WTO
TOWARD THE INDONESIA’S FOOD SECURITY IN THE ERA OF
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO- JUSUF KALLA
By
HAIFA AZ ZAHRA
Indonesia is an agrarian country who has many natural resources especially in
agricultural sector. But, it doesn’t make sure that Indonesia will has a good food
security. This is visible in the era of Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)- Jusuf
Kalla which showed the weakness and unstable economic condition which led
into the integration of the agricultural policy patterns in Indonesia by international
organization such as the Agreement on Agricultural (AOA ) of WTO. This
research tries to explain the regarding of cooperation between WTO and Indonesia
in food security in the agricultural sector, analyze the effectiveness of the regime
on food security, and describe the impact of the WTO Agreement on Agriculture
(AOA) regime on food security in Indonesia in the era of Susilo Bambang
Yudhoyono - Jusuf Kalla. The type of research that researcher use is qualitative
and library data collection techniques. The results of this study were the impact of
the WTO Agreement On Agriculture (AOA) regime on food security in Indonesia
in the era of Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla which did not produce good
cooperation and results seen through high tariffs on market access, domestic
subsidies and export subsidies which caused distortion trade and threaten
Indonesia's food security level.
Keywords : Impact, Regime, Agreement of Agriculture, Food Security
DAMPAK REZIM AGREEMENT ON AGRICULTURE (AOA)
WTO TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
ERA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO – JUSUF KALLA
Oleh
HAIFA AZ ZAHRA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUBUNGAN INTERNASIONAL
Pada
Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis Haifa Az Zahra. Lahir di Kotabumi
Lampung Utara pada tanggal 02 Oktober 1996 dan
beragama Islam. Penulis merupakan anak pertama dari
empat bersaudara, dari pasangan Bapak M.Salahuddin Hs,
SE,MM dan Ibu Junaidah, S.Pd.I.
Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak
Bhayangkari Kotabumi, kemudian ke jenjang Sekolah Dasar di SD N 4 Tanjung
Aman lulus di tahun 2008. Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Menengah
Pertama di SMP N 1 Kotabumi dan menyelesaikan Pendidikan Sekolah
Menengah Atas di SMA N 3 Kotabumi tahun 2014.
Pada tahun 2014, penulis melanjutkan Pendidikan ke perguruan tinggi dan
terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Lampung, penulis mengambil Jurusan Hubungan Internasional Program Studi
Sarjana (S1). Kemudian penulis juga pernah menjalankan kegiatan praktik kerja
lapangan /magang di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten
Lampung Utara pada tahun 2018.
MOTTO
“You have to be your own hero.”
“If you keep on believing, the dream that you wish will come true.”
(Lily James)
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan karya sederhana ini untuk
Kedua orang tuaku tercinta Ayah M.Salahuddin Hs,SE,MM
dan Uma Junaidah,S.Pd.I
sebagai tanda bakti cinta dan kasihku,
serta Almamater tercinta
Universitas Lampung
SANWACANA
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya,
serta kekuatan lahir batin kepada Penulis. Dengan berbekal keyakinan dan
kemauan yang keras, maka Penulis dapat menyelesaikan penelitian yangberjudul
“Dampak Rezim Agreement On Agriculture (AOA)WTO terhadap
Ketahanan Pangan di Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf
Kalla”. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan Skripsi ini karena keterbatasan dan pengetahuan yang peneliti miliki.
Melalui kesempatan ini, Penulis hendak mengucapkan terimakasih yamg tidak
terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril, maupun
spiritual.
Pada kesempatan ini, Penulis sampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang
telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini antara lain, yaitu:
1. Bapak Dr.Syarief Makhya, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Lampung
2. Bapak Drs. Aman Toto Dwijoono, M.H., selaku Ketua Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Lampung
3. Bapak Drs.Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dosen Pembahas/Penguji yang
telah memberikan kritik, saran dan telah membimbing saya agar menjadi
lebih baik yang sangat berguna dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dwi Wahyu Handayani, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Utama yang
selalu memberikan motivasi, kritik dan saran, serta dukungan dalam
meyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Fitri Juliana S, M.A., selaku Dosen Pembimbing Kedua Skripsi yang
selalu meluangkan waktu dan sabar dalam membantu, membimbing,
mengarahkan, memberikan semangat serta memberikan motivasi sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh jajaran dosen dan staff Jurusan Hubungan Internasional Universitas
Lampung. Terimakasih atas dukungan dan pembelajaran selama menempuh
perkuliahan, serta membantu dalam proses administrasi selama perkuliahan.
7. Kedua orang tuaku, M.Salahuddin Hs, SE,MM dan Junaidah,S.Pd.I. Teruntuk
Ayah dan Uma, kalian adalah alasan utama penyemangat dalam menyusun
skripsi ini. Mungkin rasa terima kasih tidak cukup untuk membalas segala
pengorbanan, dukungan, doa, cinta dan kasih sayang yang telah diberikan.
Terima kasih untuk selalu ada dan memberi kebahagiaan dengan tulus selama
ini, semoga Allah senantiasa selalu melindungi serta memberikan kesehatan
kepada kalian.
8. Adik-adikku, Zhafira Tartilia, Maria Zata Umni dan M.Aristoteles Hs yang
telah memberikan semangat, dukungan serta doa dalam menyusun skripsi.
9. Teruntuk Fajar Kurnia, terima kasih atas semangat, dukungan dan waktu yang
diberikan selama ini. Semoga selalu menjadi pendengar yang baik dan tidak
pernah bosan atas keluh kesah yang disampaikan.
10. Sahabatku, Chindy Fara Ameralda yang membuat saya semangat untuk
tergerak dalam memulai proses penyusunan skripsi. Terima kasih telah
menjadi sahabat yang baik, banyak membantu dan memotivasi, tanpa
dukungan nya mungkin saya tidak akan bisa menjadi seperti sekarang.
11. Sahabatku sedari sekolah Nabila Zatadini, Desi Kurnia Mega dan M.Rizki
Nuzula terima kasih atas semangat dan motivasi nya.
12. Sahabat-sahabat Gumas. Marissa, Rifda, Cio, Buyung, Billy, Ayi, dan Arief
terima kasih telah memberikan dukungan semoga kita sukses bersama di
masa depan.
13. Teman-teman kampus yang banyak membantu dan memberi semangat dalam
proses penyusunan skripsi Yesti, Mitha, Bila, Eris, Nisrina, Devi, Rani,
Vinka, Agitha, Nurika, Roy, Adam, Zaim, Luky, Puspa, Dumora dll semoga
yang belum selesai perskripsian nya cepat segera menyusul.
14. Kepada kakak Rangga terima kasih telah banyak disusahkan dan mau
membantu dengan ikhlas dalam proses penyusunan skripsi semoga segala
kebaikan dibalas dengan Allah SWT.
15. Teman sekelompok KKN di Desa Banjar Negeri Kecamatan Gunung Alip
Kabupaten Tanggamus. Widya, Irul, Wayan, Jefri yang telah menjadi
keluarga selama 40 hari bersama. Terima kasih atas bantuan selama
berlangsung nya KKN, menjalani senang dan sedih bersama. Semoga kita
dapat berkumpul dan bermusyawarah kembali di kemudian hari.
16. Kepada semua pihak yang telah mendoakan dan mendukung penulis dalam
membentuk apapun, saya ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa membalas semua kebaikan yang telah diberikan dalam membantu proses
yang dijalani penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
BandarLampung, 7 Desember 2018.
Penulis
Haifa Az Zahra
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iii
DAFTAR GRAFIK ...................................................................................... iv
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. v
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 7
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9
2.1. Peneliti Terdahulu ............................................................................ 9
2.2. Landasan Konseptual ....................................................................... 15
2.2.1. Dampak .................................................................................. 16
2.2.2. Ketahanan Pangan .................................................................. 17
2.2.3. Rezim ..................................................................................... 20
2.2.4. Efektivitas Rezim ................................................................... 21
2.3. Kerangka Pemikiran......................................................................... 22
III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 25
3.1. Tipe dan Pendekatan Penelitian ....................................................... 25
3.2. Fokus Penelitian ............................................................................... 25
3.3. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 26
3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 26
3.5. Teknik Analisis Data........................................................................ 27
IV. KEBIJAKAN AOA-WTO TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI
INDONESIA ERA SBY-JK ................................................................. 28
V. DAMPAK REZIM AGREEMENT ON AGRICULTURE (AOA)
WTO TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
ERA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO – JUSUF KALLA ...... 55
5.1. Keefektivitasan Rezim AOA WTO dalam Ketahanan Pangan Kedelai di
Indonesia ........................................................................................ 56
5.1.1. Output .................................................................................. 56
5.1.2. Outcome ............................................................................... 60
5.1.3. Analisa Dampak AoA WTO Terhadap Ketahanan Pangan di
Indonesia .............................................................................. 68
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 79
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 79
6.2. Saran .............................................................................................. 81
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. KerangkaPikir ......................................................................................... 24
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
1. Ketergantungan terhadap Impor Kedelai (1995-2004) .......................... 63
DAFTAR SINGKATAN
AOA : Agreement On Agriculture
AMS : Agregate Measure of Support
BPN : Badan Pertanahan Nasional
BULOG : Badan Urusan Logistik
CAP : Common Agricultural Policy
FAO : Food and Agriculture Organization
GATT : General Agreement on Tarrifs and Trade
HaKI : Hak Kekayaan Intelektual
IFPRI : International Food Policy Research Institute
IGGI : Intergovernmental Group for Indonesia
KTM : Konferensi Tingkat Menteri
PPAN : Program Pembaharuan Agraria Nasional
RPPK : Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
SPS : Sanitasi dan Fitosanitasi
TBT : Tehnical Brriers to Trade
TRIPs : Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights
WTO : World Trade Organization
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memilliki kekayaan
sumber daya alam yang melimpah terutama dalam sektor pertanian. Namun
seiring perkembangan zaman, hal tersebut justru membuat Indonesia menjadi lalai
dalam mempertahankan sumber daya alamnya sehingga menjadikan Indonesia
terus kehilangan sektor pangan dengan tidak berupaya melindungi nasib para
produsen pangan yaitu petani. Tingginya harga komoditas pangan, angka impor
serta tersisihkannya petani dalam lingkup masyarakat menjadi alasan
mengapasektor pangan mengalami keterpurukan di Indonesia pada masa Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), hal ini disebabkan karena
tidak tercapainya investasi pemerintah melalui peningkatan anggaran pertanian
yang diiringi dengan penurunan laju impor pangan sehingga swasembada pangan
semakin menurun, investasi dan laju impor pun semakin besar.1 Masalah pangan
tidak lagi soal ketersediaan ketahanan pangan, tetapi menjadi lebih kompleks
karena berkaitan erat dengan liberalisasi perdagangan.
Ketahanan pangan mewujudkan keamanan suatu negara.Sebuah negara bisa
dikatakan sejahtera ketika aspek-aspek ketahanan panganmampu memenuhi
ketersediaan pangan, akses pangan dan penggunaan pangan.2
1Kedaulatan Pangan dan Swasembada Pangan Era SBY. 2015. Dapat dilihat pada
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2015_kajian_pprf_kedaulatan%20pangan%20dan
%20kecukupan%20pangan.pdf, diakses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 20.00 WIB. 2Nurlaili Azizah, 2014.”Food Security, Tren keamanan kontemporer”,Dapat dilihat pada
http://nurlaili-azizah-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-93395-
2
Ketahanan pangan juga berkaitan dengan pembangunan ekonomi, lingkungan,
dan perdagangan berkelanjutan. Oleh karena itu, -negara membutuhkan
universalitas pandangan mengenai bagaimana mengatasi kelaparan dan
mewujudkan ketahanan pangan. Globalisasi yang mengakibatkan integrasi pasar
dan organisasi sosial menghadirkan tantangan dan kesempatan bagi negara untuk
mewujudkan dan memelihara ketahanan pangandomestiknya.3 Dalam hal ini,
negara dipaksa untuk terlibat dalam pasar dunia dan merestruktrisasi dasar
ekonominya menjadi lebih terbuka, dan adanya merespon tekanan neoliberal.4
Melihat krisis pangan yang terus meningkat, Indonesia diharapkan bisa
berdiplomasi tentang perdagangan dengan negara-negara lain. Dengan
bergabungnya Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO)
terhitung sejak 1 Januari 1995,5 membuat terjadinya pergeseran arah kebijakan
perdagangan Indonesia. WTO yang merupakan metamorfosa dari General
Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) merupakan satu-satunya badan
internasional yang mengatur perdagangan antar negara memiliki prinsip yang
meliputi menciptakan pasar terbuka, membuat sebuah aturan perdagangan yang
bersifat nondiskriminatif, serta menciptakan situasi kondusif bagi kesejahteraan
negara-negara anggota mengenai hal perdagangan.6 Berdasarkan hal tersebut,
Politik%20dan%20Keamanan%20Internasional-
FOOD%20SECURITY:%20TREN%20KEAMANAN%20KONTEMPORER.html , diakses pada
tanggal 20 Januari 2018, pukul 20.20 WIB 3Guerrero, Bernard Joseph Esposo , 2010. “Politics, Globalization, and Food Crisis Discourse”.
School and Labor : USA, hlm 32 4Ibid
5Indonesia and World Trade Organization,2018. Dapat dilihat pada https://www.wto.org/,diakses
pada tanggal 23 Januari 2018,pukul 11.00 WIB. 6Rizka Meilinda, 2014. Rezim Perdagangan Internasional, Dapat dilihat pada
https://www.google.co.id/search?safe=strict&ei=WL8GXPqdD5H8rQHtwrSACQ&q=Rizka+Meil
3
terlihat bahwa setiap negara berhak memiliki pengaruh dalam perubahan rezim
dengan mendirikan pasar yang bersifat kompetitif. Terdapat 3 bidang yang ada
didalam aturan WTO yaitu perdagangan barang (pertanian), perdagangan jasa dan
hak cipta terkait perdagangan.7 Dalam hal ini terkait perdagangan barang
(pertanian), sebelum bergabung dengan WTO pertanian Indonesia di era Soeharto
terjadi instabilitas ekonomi yang telah direncanakan pemerintah. Sehingga
pemerintah pun akhirnya mengupayakan pemulihan struktur perekonomian dan
pembangunan pada masa Orde Baru yang meliputi:8
1) Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi. Stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus.
Rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana
ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi
berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah
terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2) Kerjasama Luar Negeri. Dalam hal ini pemerintah Indonesia mengadakan
perundingan dengan negara kreditor di Tokyo guna usaha devisa ekspor yang
diperoleh Indonesia untuk membayar hutang dan mengimpor bahan-bahan
baku. Selain itu, ada pula perundingan di Amsterdam dan Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta
inda%2C+2014.+Rezim+Perdagangan+Internasional%2C&oq=Rizka+Meilinda%2C+2014.+Rezi
m , diakses pada tanggal 23 Januari 2018, pukul 15.00 WIB. 7Xiaozhen Li,2008. “WTO Agreement on Agriculture: A Developing Country Perspective”,Dapat
dilihat pada http://www.ccsenet.org/journal/index.php/jpl/article/view/733, diakses pada tanggal
23 Januari 2018, pukul 17.00 WIB. 8Ahmad noormuhammad,2016.”Sejarah Perekonomian Indonesia”.Dapat dilihat pada
https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_191017.aspx , diakses pada tanggal 23
Januari 2018, pukul 20.00 WIB.
4
kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunas, hal ini dikenal dengan
Intergovernmental Group for Indonesia (IGGI)
3) Pembangunan Nasional. Pemerintah Orde Baru berupaya melaksanakan
pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah
waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang.
Namun dengan adanya kondisi ekonomi yang cenderung lemah dan tidak
stabil, hal ini lah yang menjadi awal permulaan terintegrasinya pola kebijakan
pertanian di Indonesia dengan organisasi-organisasi internasional, salah satunya
keterlibatan Indonesia terhadap WTO. Salah satu sektor yang dianggap penting
dalam membangun kerjasama dengan WTO adalah sektor pertanian, sehingga
mendorong WTO untuk membentuk rezimnya dalam perjanjian Agreement on
Agriculture (AOA) yang melibatkan kerjasama multilateral berbagai negara salah
satu nya yakni Indonesia. AOA mengandung 3 (tiga) pilar utama didalamnya
yang meliputi pengurangan subsidi ekspor, pengurangan dukungan (subsidi)
dalam negeri dan akses pasar.9 AOA di suatu negara akan bersinggungan dengan
kondisi ketahanan pangan negara tersebut. Ketahanan pangan menunjukkan
kemampuan sebuah negara untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Berdasarkan
pada undang-undang, konsep ketahanan pangan merujuk pada tiga sub sistem
utama yaitu aspek ketersediaan (food availability) ,akses pangan(food access) baik
secara fisik maupun ekonomi dan penyerapan pangan (food utilization). 10
9Ibid
10Ridha Amaliyah, “Dampak Penerapan Agreement on Agriculture terhadap Ketahanan Pangan
Indonesia: Kasus Kedelai Impor”. Universitas Airlangga : Surabaya, hlm 44.
5
Sebagai negara yang telah meratifikasi pembentukan WTO, maka Indonesia
telah terikat oleh peraturan-peraturan didalam WTO terutama terkait dengan
peraturan disektor pertanian AOA.11
Kebijakan- kebijakan pertanian pro terhadap
perdagangan bebas melalui AOA, akhirnya terbentuk keselarasan atas ketentuan-
ketentuan yang berlaku. Hal ini terkait pada kebijakan yang ditentukan oleh SBY-
JK.Program kedelai pada era SBY dan JK merupakan serangkaian program
persoalan pangan yang selalu dipandang dengan ketercukupan kebutuhan pangan
nasional daripada membangun kekuatan pangan nasional yang mandiri dan kuat.
Sehingga kebijakan impor masih menjadi salah satu alternatif untuk mencukupi
kebutuhan pangan nasional.12
Pada kenyataannya, program-program dalam sektor pertanian pemerintahan
SBY- JK hanya menyentuh aspek produksi dan tidak banyak menjawab persoalan
yang lebih hakiki yakni soal akses atas pangan yang berkualitas dengan harga
yang terjangkau.13
Negara maju yang selama ini mensubsidi produksi dan ekspor
pertanian harus tunduk pada peraturan yang menghapuskan segala distorsi
perdagangan, diantaranya adalah mengurangi subsidi tersebut dengan tujuan
reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan
suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar.14
11
Ibid 12
SBY: Kebutuhan Meningkat, Kuakan Ketahanan Pangan Nasional , Dapat dilihat pada
www.nasional.tempo.co, Diakses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 23.00 WIB. 13
Aziz. Harry Azhar.2008. Kinerja SBY – JK di Bidang Perekonomian. Dapat dilihat pada
www.setneg.go.id, diakses pada tanggak 26 Januari , pukul 09.00 WIB
14Akbar Kurnia Putra, 2016. “Agreement On Agriculture Dalam World Trade Organization”,
Jurnal. Dapat dilihat pada https://www.e-jurnal.com/2017/02/agreement-on-agriculture-dalam-
world.html, diakses tanggal 26 Januari 2018, pukul 10.00 WIB.
6
Laporan Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa
selama 30 tahun terakhir telah terjadi kemajuan luar biasa dalam hal kemampuan
dunia menyediakan pangan bagi seluruh umat manusia, tetapi secara absolut
tingkat kekurangan pangan tetap tinggi. Di sisi lain, dalam laporan FAO yang lain
menyebutkan bahwa diperkirakan terdapat 840 juta orang kekurangan gizi di
tahun 1998-2000. Dari jumlah tersebut, 11 juta orang berada di negara maju, 30
juta orang di negara ekonomi transisi, dan sisanya, 799 jutaorang, berada di
negara berkemban. Kenyataan ini seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, volume
produksi mencukupi kebutuhan, tetapi di sisi lain ternyata tingkat kekurangan
pangan tetap tinggi. Masalah pangan tidak lagi soal ketersediaan pangan semata,
tetapi menjadi lebih kompleks karena berkaitan erat dengan liberalisasi
perdagangan. Pilihan kebijakan perdagangan domestik suatu negara pun pada
akhirnya juga dipengaruhi oleh pasar internasional.15
Dalam bidang pertanian, kerjasama multilateral diwujudkan oleh WTO
dalam bentuk perjanjian pertanian, Agreement on Agriculture (AoA). Tujuannya
adalah reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian, dalam rangka
menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar.
Program reformasi ini berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi
subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui
penciptaan peraturan dan disiplin yang kuat dan efektif. Salah satu komoditas
pangan strategis yang diatur dalam AoA adalah kedelai.Kenaikan harga kedelai
menjadi berita yang mengejutkan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
15
Diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2008/04/07/14383097/bahas.ketahanan.pangan.sby.wejang.sem
ua.gubernurTanggal 16 Desember 2018 pukul 02.19 WIB
7
Menurut Khudori, dengan adanya kerjasama antara AOA dan Indonesia
akan bersinggungan pada kondisi ketahanan pangan negara tersebut di mana
ketahanan pangan menunjukkan kemampuan sebuah negara untuk memenuhi
kebutuhan pangannya.16
AOA berangkat dari keinginan untuk menghilangkan
kemiskinan dengan cara membuat negara-negara bisa mendapatkan produk yang
lebih murah, sementara pada saat yang bersamaan negara-negara miskin bisa
meningkatkan pendapatannya terutama petani dengan cara melakukan ekspor ke
negara-negara maju.17
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka penulis mencoba untuk
menganalisis yang fokus pertanyaannya adalah : “Bagaimana dampak Rezim
Agreement On Agriculture (AOA)WTO terhadap ketahanan pangan di Indonesia
era Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla.”
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini yaitu:
1. Mendeskripsikan kerjasama ketahanan pangan antara WTO dan Indonesia
di sektor pertanian pada era Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla.
2. Menganalisis peran Agreement on Agriculture (AOA)WTO dalam
ketahanan pangan di Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf
Kalla.
16
Jamaluddin Hakim, “Agreement on Agriculture dalam pemerintahan SBY-JK”, Jurnal. 17
AIRS, Hasibuan. 2015. “Post Food Policy Ratification of the Agreement on Agriculture (AoA) –
WTO”. Mustika Terbit: Bandung. Hlm 55.
8
3. Menganalisis keefektivitasan rezim terhadap ketahanan pangan era Susilo
Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla
4. Mendeskripsikan dampak rezim Agreement on Agriculture (AOA) WTO
dalam ketahanan pangan di Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyono –
Jusuf Kalla
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Secara Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori-teori Hubungan
Internasional terutama teori efektivitas rezim
2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menjadi bahan masukan
dalam mengembangkan kajian konsep ketahanan pangan dan dampak,
menambah pengetahuan serta dapat bermanfaat bagi bahan referensi untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
1.4.2 Secara Praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dampak
rezim Agreement on Agriculture (AOA) WTO terhadap ketahanan pangan
di Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla
2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan terhadap ketahanan
pangan dalam sektor pertanian di Indonesia.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peneliti Terdahulu
Sebagai acuan dalam penelitian, maka penelitian ini melihat beberapa
penelitian terdahulu untuk mengetahui gambaran hubungan antara peran AOA
dan ketahanan pangan. Hal ini penting dilakukan untuk memetakan keunikan serta
pembaruan yang dimiliki oleh penelitian ini. Berikut merupakan hasil literatur
review dari beberapa penilitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian.
Penelitian pertama merupakan sebuah disertasi yang berjudul “Post Food
Policy Ratification of the Agreement on Agriculture (AOA) - WTO”
olehAhmad Ibrahim Roni Surya Hasibuan (2015). Penelitian ini berangkat dari
hasil kebijakan pangan setelah adanya ratifikasi AOA dalam kelangsungan sektor
pangan negara berkembang seperti Indonesia. Penulis dalam penelitian ini
cenderung menggunakan pendekatan kualitatif dengan logika berpikir induksi
serta beberapa konseptual yang digunakan sebagai landasan alat bantu analisis.
Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini antaranya: konsep
perjanjian liberalisasi pertanian AOA. Konsep ini digunakan untuk menempatkan
perjanjian pertanian (AOA) di dalam WTO, kini WTO mempunyai peran utama
sebagai pengendali dan penentu sektor pertanian di negara-negara anggotanya
dengan mewajibkan membuka pasar domestik bagi masuknya komoditas
pertanian dari luar atau sebaliknya (market access), mengurangi dukungan dan
10
subsidi terhadap petani (domestic support), dan mengurangi dukungan dan subsidi
terhadap petani untuk mengekspor (export competition). Indikator yang digunakan
dalam menghitung pengurangan subsidi dan proteksi yang disetujuidalam
penelitian ini yaitu besarnya tarif, dukungan domestik dan ekspor.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dengan
metode pengumpulan data studi pustaka.Penelitian ini kemudian menemukan
bahwa terdapat desakan agenda dalam perjanjian AOA untuk meliberalisasikan
pertanian pada akhirnya, mau tidak mau memperburuk kondisi sektor pertanian
karena ketidakmampuan pemerintah dalam memayungi sektor pertanian dengan
berbagai bantuan dan subsidi yang menopang keberlangsungan produksi
pertanian. Harga yang harus dibayar adalah dipertaruhkannya gantungan hidup
jutaan keluarga petani di Indonesia dan ketidakpastian konsumen untuk
mengakses pangan secara memadai.
Kedua, dalam Jurnal Dampak Penerapan “Agreement on Agriculture”
terhadap Ketahanan Pangan Indonesia: Kasus Kedelai Impor oleh Ridha
Amaliyah (2014). Jurnal tersebut menjelaskan bahwa adanya fakta tentang
naiknya harga komoditas pangan, tingginya angka impor serta terpinggirkannya
petani dalam ruang publik. Konsep yang digunakan yaitu konsep struktural power.
Dalam penelitian tersebut peneliti menggunakan penelitian deskriptif dan metode
kualitatif.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dengan
metode pengumpulan data studi pustaka. Hasil dari penelitian ini disimpulkan
bahwa terdapat dua dampak signifikan yang terjadi pada komposisi komoditas
11
ekspor di negara berkembang terkait adanya AOA. Pertama, terjadi penurunan
drastis ekspor komoditas tanaman pangan seiring dengan meningkatnya ekspor
komoditas non-tanaman pangan, seperti kelapa sawit, karet, kelapa dan kopi.
Kedua, terjadi peningkatan dalam ekspor makanan jadi (processed food)
dibanding satu dekade lalu. Perubahan ini sebagian besar karena pengaruh proses
globalisasi yang mensyaratkan adanya 'internasionalisasi gaya hidup', termasuk
soal pangan. Untuk dampak tidak langsung, penulis menemukan dua dampak
yang mana keduanya saling berkaitan. Akibat-akibat empiris penerapan AOA di
Indonesia plus penyesuaian struktural ala IMF telah menyebabkan hampir semua
ekspor komoditas pertanian merosot. Karena kurang menguntungkan, pertanian
kedelai ditinggalkan petaninya.
Para petani lebih memilih komoditas lain. Kebijakan yang ada sekarang dan
sistem liberal yang diimplementasikan, maka petani tradisional berhadapan
langsung dengan pemain global. Hasilnya adalah kehancuran sistem produksi
kedelai dengan produksi yang semakin menurun terus menerus. Selain itu, sistem
perdagangan kedelai di Indonesia menjadi bersifat oligopolis. Struktur ini rentan
terhadap gejolak harga dan mudah bagi importir untuk mengendalikan pasokan
dan akhirnya mengendalikan harga. Kondisi rapuhnya petani kedelai Indonesia
jauh berbeda dengan petani kedelai AS.
Dalam hal ini, para petani memperoleh dukungan penuh dari
pemerintahnya. Hal ini tentu saja tidak lepas karena besarnya kekuatan lobi politik
asosiasi kedelai di sana. Sementara, kekuatan lobi kedelai adalah perajin tahu-
tempe atau yang tergabung dalam koperasi tahu-tempe, yang notabene merupakan
12
konsumen kedelai, bukan petani kedelai. Para perajin sendiri sering serba salah
karena selama ini agenda yang diusung adalah menurunkan harga kedelai di
dalam negeri, bukan mendorong pemberian insentif bagi peningkatan produksi.
Kasus kedelai impor menunjukkan adanya kebijakan kosong dalam hal ketahanan
pangan, khususnya untuk kedelai yang menjadi bahan baku tempe sebagai
makanan murah. Kebijakan pangan dan strategi produksi kedelai bisa dikatakan
tidak ada sama sekali karena kebijakan liberal yang dibuat oleh pemerintah
hampir tanpa tarif sama sekali sejak lama. Penurunan tarif impor hingga nol
persen menjadikan kedelai sebagai tanaman pangan yang tidak menguntungkan
untuk ditanam. Akibatnya, pertanian kedelai semakin memburuk dan tenggelam
karena banyaknya kedelai impor.
Ketiga, dalam penelitian yang berjudul Agreement On Agriculture dan
Reforma Agraria oleh Andi Ahmad Fadhil (2013). Penelitian ini berangkat
berdasarkan permasalahan terhadap rezim global pencipta kebijakan liberalisasi
sektor pertanian melalui WTO yaitu AOA yang mengatur segala bentuk pertanian
bagi negara yang meratifikasinya.AOA memiliki tujuan yaitu reformasi kebijakan
perdagangan di bidang pertanian, dalam rangka menciptakan suatu sistem
perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Diserahkannya urusan
pangan pada mekanisme pasar, ternyata memberikan dampak yang luas di negara-
negara berkembang. Namun di saat negara-negara berkembang kehilangan kontrol
atas pangan pada saat yang sama tingkat kelaparan yang semakin tinggi semakin
bergantung pada sumber pangan impor.
13
Hilangnya kemandirian pangan dari negara-negara berkembang akibat dari
kebijakan nasional yang memprioritaskan eksploitasi sumber daya alam dan
bahan mentah untuk kepentingan ekspor. Kebijakan ini menyebabkan lahan-lahan
pertanian digantikan dengan lahan pertambangan dan perkebunan yang
menghasilkan komoditas ekspor. Sementara pasar pangan dalam negeri semakin
dipenuhi dengan pangan impor yang berasal dari negara-negara maju yang
mengalami over kapasitas dalam produksi pangan mereka.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya dampak dari adanya perluasan
akses pasar, pengurangan subsidi domestik, serta pengurangan ekspor memicu
berbagai perusahaan swasta mengeksploitasi berbagai kebutuhan pertanian baik
konsumsi ataupun produksinya. Seharusnya kedaulatan tanah dan pangan harus
ditanggungjawabi oleh pemerintah. Namun begitu, terdapat dilema antara tidak
melakukan perjanjian AOA atau mendapat sanksi berupa embargo. Meskipun
perjanjian tersebut tidak secara langsung dilihat dampaknya terhadap stabilitas
negara, namun dampaknya langsung ke individu dan kelompok kecil. Misalnya
biaya produksi petani yang meningkat tiga sampai empat kali lipat.
Dalam analisis ini terdapat permasalahan yang dapat menghambat
terjadinya kerjasama yaitu bahwa kondisi negara sebagai entitas berdaulat yang
harus menciptakan perlindungan pada diri sendiri dalam keadaan anarki.
Kepentingan yang dimiliki setiap negara dalam kerjasama jarang bersifat
kesatuan. Peluang dalam mendapatkan keuntungan baik absolute maupun relative.
Secara umum ketiga penelitian diatas memberikan gambaran baru dan
pandangan dalam penerapan pertumbuhan pangan dan sektor pertanian. Masih
14
terdapat hambatan dan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pangan sehingga
mengakibatkan kurangnya kesejahteraan hidup yang layak. Pertanian bukan untuk
kaum pemodal dan bukan untuk dikuasai pengusaha-pengusaha besar. Hal
tersebutlah yang menjadi alasan tidak boleh diperdagangkan. Bila tanah pertanian
juga akan diperdagangkan sebagai komoditas pasar, maka ketahanan pangan
tinggal menjadi slogan. Sementara kenyataannya adalah hanya kehancuran
pangan.
Selain itu, masing-masing penelitian juga memberikan pemahaman baru
bagi peneliti mengenai konsep-konsep dan teori yang digunakan untuk menjadi
motivasi ke depan nya. Ketiga penelitian diatas dapat dipetakan dalam tabel
komparasi berikut:
15
Tabel 2.1. Komparasai Penelitian Terdahulu
Ahmad Ibrahim
Roni Surya
Hasibuan
Ridha Amaliyah Andi Ahmad Fadhil
Haifa Az Zahra
To
pik
Pen
elit
ian
Post Food Policy
Ratification of the
Agreement on Agriculture
(AOA) - WTO
“Agreement on
Agriculture” terhadap
Ketahanan Pangan
Indonesia: Kasus Kedelai
Impor
Agreement On Agriculture
dan Reforma Agraria
Dampak rezim
Agreement On
Agriculture (AOA)WTO
Dalam Meningkatkan
Ketahanan Pangan Di
Indonesia Era Susilo
Bambang Yudhoyono –
Jusuf Kalla
Ob
jek
Pen
elit
ian
Hasil kebijakan pangan
setelah adanya ratifikasi
AoA dalam kelangsungan
sektor pangan negara
berkembang seperti
Indonesia
Harga komoditas pangan,
tingginya angka impor serta
terpinggirkannya petani
dalam ruang publik dalam
sistem kapitalisme liberal
Pelaksanaan program
redistribusi lahan melalui
beberapa Program dengan
prinsip tanah untuk
keadilan dan kesejahteraan
rakyat
Kerjasama WTO dan
Indonesia dalam
perjanjian AOA di sektor
pertanian guna
pertumbuhan pangan
Met
od
e
Pendekatan : Kualitatif
Sumber Data : Sekunder
Metode Data : Studi
literature.
Pendekatan : Kualitatif
Sumber Data : Sekunder
Metode Penelitan : Studi
Literatur
Pendekatan : Kualitatif
Sumber Data : Sekunder
Metode Data : Studi
literature
Pendekatan : Kualitatif
Sumber Data : Sekunder
Metode Data : Studi
literature
Teo
ri /
Ko
nse
p Konsep perjanjian
liberalisme pertanian Aoa
Konsep struktural power Kerjasama dan
regionalisme Teori Efektivitas Rezim
Kes
imp
ula
n
Ketidakmampuan
pemerintah dalam
memayungi sektor
pertanian dengan berbagai
bantuan dan subsidi yang
menopang keberlangsungan
produksi pertanian.
Kehancuran sistem
produksi kedelai dengan
produksi yang semakin
menurun. Sistem
perdagangan kedelai di
Indonesia bersifat
oligopolis.
Adanya perluasan akses
pasar, pengurangan subsidi
domestik, serta
pengurangan ekspor
memicu berbagai
perusahaan swasta
mengeksploitasi berbagai
kebutuhan pertanian baik
konsumsi ataupun
produksinya
Ketentuan dalam AOA
bersifat memperdaya
sehingga liberalisasi yang
diberlakukan di dalam
AOA lebih banyak
menguntungkan negara
maju dibandingkan
negara berkembang.
16
2.2 Landasan Konseptual
Dalam menyusun landasan konseptual maka peneliti menggunakan teori
yang menganalisis peran AOA dalam ketahanan pangan bagi Indonesia. Teori
yang digunakan yaitu teori dampak dan efektivits rezim.
2.2.1 Dampak
Dampak menurutGorysKerapdalamOtto Soemarwotoadalah pengaruh
yang kuat dari seseorang atau kelompok orang di dalam
menjalankantugasdankedudukannya sesuaidenganstatusnya dalam
masyarakatsehingga akanmembawa akibatterhadapperubahanbaikpositif maupun
negatif, sedangkan menurut Otto Soemarwotodampak adalah suatu perubahan
yang terjadi akibat suatu aktifitas yang dapat bersifat alamiah baik kimia, fisik
maupun biologi dan aktifitas dapat puladilakukan oleh manusia.18
Maka dapat
disimpulkan bahwa dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat
dari suatu aktivitasatautindakanyang dilaksanakan sebelumnyayang merupakan
konsekuensidaridilaksanakannya suatukebijakansehinggaakanmembawa
perubahan baik positifmaupun negatif.
Terkaitdenganmasalahpada dampakdalam penelitianini
adalahsuatuperubahanyang terjadiakibatdariadanyarezim WTO terhadap
ketahanan pangan di Indonesia.Ketahanan pangan disini berkolerasi dalam
perekonomian lebih tepatnya pada sektor pangan.Melihat
adanyadampakdapatdilakukana n a l i s i s
denganmembandingkankeadaansebelum dan sesudahterhadap kondisi ketahanan
18
Teori Dampak. Dapat dilihat pada digilib.unila.ac.id, 2011. “TinjauanPustaka.pdf” diakses pada
tanggal 23 Maret 2018, pukul 12.00 WIB.
17
pangan di Indonesia yang di dalam perjalanannya rezim AOA.Di keadaan
sebelumnya, Indonesia pada titik dimana sektor pangan terus berkurangdan para
petani tidak dapat dilindungi dalam kinerjanya untuk menghasilkan produksi
pangan. Tingginya harga komoditas pangan, angka impor serta tersisihkannya
petani dalam lingkup masyarakat menjadi alasan utama mengapasektor pangan
mengalami keterpurukan pada masa SBY-JK.Investasi pemerintah dalam
peningkatan anggaran pertanian yang diiringi dengan penurunan laju impor
pangan membuat swasembada pangan semakin menurun, sehingga investasi dan
laju impor pun semakin besar.Masalah pangan ini yang menjadi lebih kompleks
karena terus terperosoknya ketersediaan pangan di Indonesia yang semakin
minim.
2.2.2 Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan yang merupakan terjemahan dari food security
mencakup banyak aspek dan luas sehingga setiap orang mencoba menterjemahkan
sesuai dengan tujuan dan ketersediaan data. Seperti yang diungkapkan oleh
Reutlinger (1987) bahwa ketahanan pangan diinterpretasikan dengan banyak
cara.19
Pada awalnya ketahanan pangan masih sekitar pertanyaan "dapatkah dunia
memproduksi pangan yang cukup", kemudian pertanyaan tersebut dipertajam lagi
oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) menjadi: "dapatkah
dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan
terjangkau oleh kelompok miskin". Sejak awal 1990-an pertanyaan tersebut jauh
19
Reutlinger, S. 1987. Food Security and Poverty in Developing Countries. In Food Policy, Edited
by Gitinger, J.P. et a/. Published for The World Bank. The Johns Hopkins University Press,
Baltimore and London.hlm 44.
18
lebih lengkap dan komplek yaitu menjadi: "dapatkah dunia memproduksikan
pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok
miskin serta tidak merusak lingkungan hidup". Secara luas pengertian ketahanan
pangan adalah terjaminnya akses pangan buat segenap rumah tangga serta
individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat.20
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan
makanan atau minuman. Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata
berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan masyarakat.
Bila merujuk pada undang-undang tersebut, maka ketahanan pangan
memiliki sub sistem utama yaitu ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan,
sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan,
akses, dan penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara
utuh. Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat
dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia
cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi
20
Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia. Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan.
Majalah Pangan No.21. Vol. V.
19
kebutuhan pangannya tidak merata,maka ketahanan pangan masih dikatakan
rapuh. 21
Secara rinci penjelasan mengenai sub sistem tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Sub sistem ketersediaan (food availability) : yaitu ketersediaan pangan dalam
jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara
baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun
bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan
yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan
yangaktif dan sehat.
2. Akses pangan (food access) : yaitu kemampuan semua rumah tangga dan
individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan
yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi
pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan.
3. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.
Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga.
Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana
distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.
4. Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk
kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan
kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada
21
Nuhfil Hanani AR. 2009. Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan. Makalah. Workshop
Ketahanan Pangan di Wilayah Jawa Timur.
20
pengetahuan rumah tangga/ individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas
dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gisi dan pemeliharaan balita.
Mengingat kondisi Indonesia dalam ketahanan pangan, kebutuhan negara di
masa mendatang mampu dipenuhi oleh tingkat produksi saat ini, namun perlu
diingat bahwa permintaan pangan yang ada cenderung meningkat akibat
meningkatnya populasi manusia, sedangkan jumlah pangan yang tersedia
cenderung tetap bahkan menurun.
Dengan adanya rezim AOA menciptakan kerjasama antara Indonesia dan
WTO dengan tujuan membantu sektor perekonomian agar lebih baik dan
sejahtera.Kerjasama antara AOA dan Indonesia akan bersinggungan pada kondisi
ketahanan pangan negara dimana ketahanan pangan menunjukkan kemampuan
negara untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Setelah dilaksanakannya suatu
kebijakan di Indonesia dapat dilihat yang terjadi membawa akibat terhadap
perubahan ketahanan pangan yang cenderung semakin menurun, petani Indonesia
dianggap belum mampu bersaing di sektor pertanian. Masalah ketahanan pangan
adalah masalah yang multisektor, sehingga ketika ketahanan pangan gagal
diwujudkan maka semua sektor akan terkena imbasnya.
2.2.3 Rezim
Rezim secara umum adalah segala perilaku aktor-aktor Hubungan
Internasional yang mengandung prinsip, norma serta aturan di dalamnya. Perilaku
ini dapat menghasilkan kerjasama dan melalui institusi lah rezim bisa berjalan.22
22
Rizka Meilinda, “Pengertian Rezim dan Teorinya”, Dapat dilihat pada http://rizka-meilinda-
fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-92823-RezimRezim%20Internasional-
Pengertian%20Rezim%20dan%20Teorinya.html, diakses pada tanggal 28 Maret 2018, pukul
09.00 WIB.
21
Definisi tersebut dipertegas dalam pertemuan internasional di Los Angeles, pada
oktober 1980 dan rezim dianggap memiliki kemampuan mengkoordinasikan
prilaku negara karena lebih dari sekedar ”perjanjian sementara” (temporary
agreement) yang mengalami perubahan setiapkali terjadi perpindahan atau
pergeseran dalam ”power” atau ”interest”.23
2.2.4 Efektivitas Rezim
Dalam teori efektivitas rezim (Er), dikemukakan oleh Arild Underdal
seorang Ilmuan politik dibidang analisis pembuatan kebijakan dari Universitas
Oslo (1982). Menurut Underdal suatu organisasi internasional (rezim) dianggap
efektif apabila berhasil melakukan fungsinya atau memecahkan permasalahan
yang dihadapi, terkhusus permasalahan yang memotivasi berdirinya organisasi
tersebut. Rezim akan tercipta apabila didalam suatu kerjasama terdapat konflik di
dalamnya. Efektif atau tidaknya dari sebuah rezim dipengaruhi oleh aktor yang
terlibat dan fokus masalah yang terjadi. Rezim juga dibentuk untuk
merealisasikan kepentingan bersama sehingga mustahil untuk diraih secara
terpisah, maka dari itu diperlukan suatu kerjasama di dalamnya.
Menurut Underdal, terkait efektivitas sebuah rezim terdapat rezim yang
dapat dikatakan sukses ataupun gagal yaitu 24
:
1. Terdapat pada karakter dari masalah itu sendiri: beberapa masalah secara
intelektual kurang rumit atau secara politik lebih “ramah” daripada yang lain
dan karena itu lebih mudah untuk diselesaikan.
23
Unikom, “International Regimes(Rezim Internasional). Dapat dilihat pada
https://repository.unikom.ac.id/34266/1/BAB%20X%20%28INTERNATIONAL%20REGIMES%
20%28REZIM%20INTERNASIONAL%29.pdf, diakses pada tanggal 28 Maret 2018, pukul 10.00
WIB 24
Arild Underdal, “Explaining Regime Effectiveness”, University of Oslo.
22
2. Fokus pada problem-solving capacity: beberapa usaha lebih sukses
dibandingkan dengan yang lainnya karena perangkat institusional yang lebih
powerful atau skill dan energy yang lebih besar digunakan untuk
menyelesaikan masalah.
Secara fungsional, rezim memberikan fasilitas dan solusi untuk
mengakomodasi masalah kepentingan antarnegara ataupun meregulasi kerja sama
yang diinginkan negara dalam area isu tertentu. Ketika negara tergabung dalam
suatu rezim, pemerintah kemudian mengadopsi aturan dan prinsip-prinsip rezim
internasional yang dapat memengaruhi perilaku negara dalam interaksi
internasional. Komitmen ini mengurangi fleksibilitas pemerintah dan dalam batas
tertentu.25
2.3 Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan negara agraris yang memilliki kekayaan sumber daya
alam dan banyak potensi lainnya, terutama dalam sektor pertanian. Namun seiring
perkembangannya, hal tersebut justru membuat Indonesia terus kehilangan sektor
pangan dengan tidak berupaya melindungi nasib para produsen pangan (petani).
Hal tersebut di sebabkan karena tinggi nya harga komoditas pangan, angka impor
serta tersisihkannya petani dalam lingkup masyarakat dalam sektor pangan era
SBY-JK.
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota WTO ditandai dengan arah
kebijakan perdagangan Indonesia. Indonesia menjadi anggota WTO sejak 1
Januari 1995. WTO yang merupakan metamorfosa dari GATT merupakan satu-
25
Putrinyaperwira,2012. “Teori Fungsional dalam Rezim Internasional”,Jurnal.
23
satunya badan internasional yang mengatur perdagangan antar negara. Karena
kondisi ekonomi yang cenderung lemah dan tidak stabil, kebijakan pertanian di
Indonesia mulai terintegrasi dengan WTO. Karena sektor pertanian di bidang
WTO dianggap penting maka WTO membentuk rezim nya dalam perjanjian
Agreement on Agriculture (AOA) yang melibatkan kerjasama multilateral.
AOA berangkat dari keinginan untuk menghilangkan kemiskinan dengan
cara membuat negara-negara bisa mendapatkan produk yang lebih murah,
sementara pada saat yang bersamaan negara-negara miskin bisa meningkatkan
pendapatannya terutama petani dengan cara melakukan ekspor ke negara-negara
maju.26
Dalam kepemimpinannya SBY-JK menciptakan kebijakan program RPPK,
kebijakan Agraria, impor benih, impor beras dan kedelai, ketentuan Bulog tentang
kriteria beras, dan distribusi. Dengan masuknya pertanian dalam peraturan
perdagangan multilateral, maka negara maju yang selama ini mensubsidi produksi
dan ekspor pertanian harus mengurangi subsidi tersebut dengan tujuan reformasi
kebijakan perdagangan di bidang pertanian.
Dengan menggunakan teori dampak dan efektivitas rezim, WTO dalam upaya
bekerja sama dengan Indonesia tidak banyak menjawab persoalan yang lebih
hakiki yakni soal akses atas pangan yang sejahtera dan berkualitas serta
memberikan dampak yang cenderung hasilnya negatif.Selanjutnya kerangka pikir
penelitian ini apabila digambarkan dalam bentuk skema akan terlihat seperi
berikut:
26
AIRS, Hasibuan. 2015. “Post Food Policy Ratification of the Agreement on Agriculture (AOA)–
WTO”, Sinar Mentari : Jakarta. Hlm 24.
24
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
S
AOA&
WTO
Food Security
Indonesia
Dampak efektifitas rezim
WTO
Krisis pangan
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan penelitian Kualitatif. Penelitian
Kualitatif merupakan suatu proses penelitian yang mengeksplorasi suatu
permasalahan. Metode penelitian Kualitatif menjadikan pola pikir peneliti dalam
membangun gambaran secara menyeluruh, menganalisis berbagai kalimat dan
memberikan laporan sacara rinci yang berasal dari informan.
Metode penyajian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif eksplanatori
yaitu dengan penelitian sosial yang luas dengan bertujuan untuk memberikan
penjelasan atas konsep atau pola yang digunakan dalam peneliti. Berdasarkan
definisi mengenai tipe penelitian kualitatif diatas, maka peneliti akan
mendeskripsikan dan menganalisa mengenai “Dampak Agreement On Agriculture
(AOA) WTO terhadap Ketahanan Pangan di Indonesia Era Susilo Bambang
Yudhoyono – Jusuf Kalla”.
3.2 Fokus Penelitian
Fokus penelitian ditujukan untuk membatasi penelitian kualitatif agar
penelitian tidak terjebak dalam beragam data yang didapatkan. Penelitian ini akan
berfokus terhadap bagaimana dampak rezim Agreement On Agriculture (AOA)
26
WTO terhadap ketahanan pangan di Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyono –
Jusuf Kalla, khusus nya pada produk kedelai.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini akan menggunakan sumber dan jenis data kualitatif. Menurut
Miles dan Hubermen menyatakan bahwa data kualitif merupakan sumber dari
deskripsi data yang kaya, dengan data kualitatif peneliti dapat mengikuti,
memahami alur peristiwa, serta menjelaskan sebab-akibat suatu kasus. Jenis data
yang digunakan adalah jenis data sekunder. Peneliti memperoleh data tersebut
melalui jurnal, buku laporan terlutis, foto, koran, situs terpercaya dan dokumen
yang berkaitan dengan objek penelitian.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua teknik dalam pengumpulan
data, diantaranya yaitu :
1. Studi literatur, yaitu pengumpuan data dari sejumlah literature berupa buku,
jurnal ilmiah, surat kabar, dan artikel.
2. Studi dokumentasi, yaitu pengumpulan data dari sejumlah dokumen-dokumen
resmi. Dokumen resmi tersebut seperti data, pernyataan pers, dan laporan dari
badan pemerintahan yang berwenang. Perjanjian AOA, Laporan kerjasama
WTO dan Indonesia, Laporan kerja SBY-JK.
27
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik pengolahan data yang digunakan peneliti dalam menganalisis yaitu
berdasarkan Miles dan Huberman yang menyatakan bahwa kegiatan analisis
terdiri dari tiga tahapan yaitu :
1. Reduksi data
Proses reduksi data merupakan proses menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, mengkategorikan, serta membuang data yang tidak
perlu.
2. Penyajian data (display)
Setelah melakukan proses reduksi, maka tahap selanjutnya adalah
penyajian data. Dalam tahap ini data ditampilkan dalm bentuk catatan
lapangan, tabel dan grafik.
3. Penarikan kesimpulan/verifikasi
Dalam tahap terakhir ini penulis memaparkan temuan baru yang
sebelumnya belum pernah ada, serta deskripsi atau gambaran objek
yang sebelumnya masih bias.
28
BAB IV
KEBIJAKANAOA-WTO TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI
INDONESIA ERA SBY-JK
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik sebagai presiden keenam
Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2004 bersama wakil presidenya
Jusuf Kalla (JK). Sejak era reformasi dimulai, SBY merupakan Presiden
Indonesia pertama yang menyelesaikan masa kepresidenan selama 5 tahun dan
berhasil terpilih kembali untuk periode kedua. Program pertama pemerintahan
SBY-JK dikenal bertujuan memperbaiki sistem ekonomi, memperbaiki kinerja
pemerintahan, serta mewujudkan keadilan dan demokratisasi melalui kepolisian
dan kejaksaan agung. Salah satu kebijakan ekonomi yang dilakukan dalam
program SBY-JK adalah kebijakan dalam sektor pertanian dan ketahanan pangan.
World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi
internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun
1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan
disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen.
Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang
dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya.
3
29
Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan "Uruguay
Round" (1986 - 1994) serta perundingan sebelumnya di bawah "General
Agreement on Tariffs and Trade" (GATT). WTO saat ini terdiri dari 154 negara
anggota, di mana 117 di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah
terpisah.Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan
keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas perlakuan non-diskriminasi
oleh dan di antara negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam
semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan
internasional dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai,
dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang
berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan
membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan
pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan
yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap negara anggota.
Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi
domestik dan tarif produk pertanian menjadi isu yang sangat menentukan jalannya
proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat
terkait dengan permasalahan sosial ekonomi,sementara bagi negara maju,
pemberian subsidi domestik mempunyai dimensi politis yang penting dalam
kebijakan pertanian mereka.Dengan masuknya Indonesia dalam perjanjian
Pertanian (AoA) WTO 1995, maka terjadilah proses liberalisasi pertanian yang
radikal. Liberalisasi pertanian ini menyerahkan sistem pertanian dan nasib petani
30
Indonesia kepada mekanisme pasar bebas, yaitu “free-fight liberalism”
(liberalisme pertarungan bebas). Inti dari penandatangan perjanjian ini, Indonesia
harus meliberalisasikan pasar komoditi pangannya, menghapus hambatan tarif dan
hambatan lainnya, serta segera mencanangkan swastanisasi pangan. Ciri
terpenting dan khas dari penandatangan perjanjian AoA adalah “penyesuaian”
kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan nasional. Kebijakan-kebijakan
nasional yang meliputi sektor pertanian yang dulunya berada di bawah yuridiksi
pemerintah, bergeser di bawah pengaruh WTO. Hal ini menyebabkan terjadinya
erosi kedaulatan nasional, dan mempersempit kemampuan pemerintahan serta
masyarakat untuk menentukan berbagai pilihan dalam kebijakan pangan.
Persetujuan yang dicapai dalam AoA-WTO membutuhkan perundang-
undangan domestik dan kebijakan-kebijakan dari negara-negara anggota untuk
diubah dan disesuaikan dengan keinginan aturan mainnya. Ketidakpatuhan dapat
mengakibatkan pengenaan sanksi perdagangan atas barang-barang ekspor suatu
negara melalui sistem penyelesaian perselisihan, yang berarti telah memberikan
suatu mekanisme penegakan hukum yang kuat pada WTO. Oleh karena itu,
pemerintah Indonesia harus mematuhi aturan-aturan dan memenuhi kewajiban
dalam cakupan luas atas wilayah persoalan yang ditangani WTO.
Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas sangat mempengaruhi seluruh
sendi kehidupan di dunia, termasuk sektor pertanian. Sektor yang merupakan
andalan negara berkembang, termasuk Indonesia, juga harus turut serta mengikuti
arus globalisasi dan perdagangan bebas. Masuknya Indonesia menjadi salah satu
dari organisasi resmi kapitalisme dunia, pada akhirnya, Pemerintah Indonesia
31
secara resmi telah meratifikasi pembentukan WTO yang dituangkan dalam
Undang-undang No. 7/1994 tertanggal 2 November 1994. Ratifikasi ini menjawab
secara pasti, bahwa apapun keputusan dari WTO wajib menjadi hukum nasional
bagi Indonesia.
Pertanian yang diharuskan dalam perjanjian AoA mengganggu kebijakan
di sektor pangan Indonesia, karena kuatnya desakan yang ditujukan pada
pemerintah untuk melakukan penerapan berbagai kebijakan yang menopang
keberlangsungan mekanisme pasar tanpa campur tangan dari pemerintah. Sistem
pasar yang berlaku dalam perjanjian AoA yang enggan akan kehadiran
pemerintah, jelas mengundang masuknya pelaku-pelaku besar, seperti agribisnis,
baik sebagai pedagang, produsen, penyedia input pertanian (benih, pestisida, obat-
obatan), maupun spekulan di bursa komoditas. Jutaan petani subsistens akan
menghadapi masa depan yang gelap, bila pertaniannya bangkrut dihabisi oleh
produk impor yang lebih murah. Liberalisasi pertanian bisa dipastikan akan
menghabisi dan menghancurkan pertanian Indonesia karena ketidakberdayaan
pemerintah dan elemenelemen yang terkait untuk membuat kebijakan yang dapat
mengkoordinir arus liberalisasi pertanian. Karena aturan ini berhasil menciptakan
dimensi yang memiliki kewenangan memberi sanksi bagi anggotanya yang
melanggar.
AoA adalah isu baru dalam Uruguay Round, sama seperti sektor jasa dan HAKI,
yang merupakan bagian dari ekspansi WTO atau isu-isu di luar perdagangan
tradisional. Dengan menempatkan perjanjian pertanian (AoA) di dalam WTO,
WTO mempunyai peran utama sebagai pengendali dan penentu sektor pertanian
32
di negara-negara anggotanya dengan mewajibkan membuka pasar domestik bagi
masuknya komoditas pertanian dari luar atau sebaliknya (market access),
mengurangi dukungan dan subsidi terhadap petani (domestic support), dan
mengurangi dukungan dan subsidi terhadap petani untuk mengekspor (export
subsidy). Secara ringkas, ketiga hal tersebut mengatur hal-hal berikut in:27
1. Pengurangan dukungan domestik, pengurangan total atas subsidi domestik
yang dianggap “mendistorsi perdagangan” akan berkisar pada 20 persen dari
AMS (Aggregate Measure of Support). Untuk negara berkembang
pengurangannya sebesar dua per tiganya, yaitu 13.3 persen. Aturan ini tidak
berlaku bagi negara yang AMSnya tidak melebihi 5 persen (yaitu yang sedikit
atau tidak menjalankan dukungan terhadap pertaniannya) atau untuk negara
berkembang yang AMS-nya kurang dari 10 persen. Pengecualian diberikan
untuk subsidi yang berdampak kecil pada perdagangan serta pembayaran
langsung pada produksi yang terbatas. Negara berkembang juga mendapat
pengecualian dalam hal subsidi input dan investasi.
2. Subsidi ekspor, jumlah subsidi ekspor akan dikurangi sebesar 21 persen dari
tiap produk sesuai dengan rata-rata. Sementara pengeluaran anggaran atas
subsidi ekspor juga akan dikurangi sebesar 36 persen selama 6 tahun. Untuk
negara berkembang, pengurangannya sebesar dua per tiganya, dengan jangka
27
Proposal Operasional T.A. 2008 Respons Usahatani Skala Kecil Terhadap Liberalisasi
Perdagangan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian Dan
Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian 2007
33
waktu implementasi hingga 10 tahun. Bantuan pangan dan ekspor yang tidak
disubsidi tidak masuk dalam pengaturan ini.
3. Perluasan akses pasar, seluruh hambatan impor akan dikonversikan ke tarif,
dan dikurangi hingga 6 persen untuk negara maju, dengan pengurangan
minimum di tiap lini tarif sebesar 10 persen dalam jangka waktu 6 tahun.
Sementara bagi negara berkembang, pengurangannya sebesar 24 persen
selama jangka waktu 10 tahun, dengan pengurangan minimum sebesar 10
persen. Dalam waktu yang bersamaan, persyaratan akses minimum akan mulai
berlaku dari 3 persen konsumsi domestik akan naik menjadi 5 persen pada
akhir perjanjian. Dalam kondisi-kondisi tertentu, negara berkembang dapat
dikecualikan dari komitmen tarifikasi tersebut, bila terjadi sesuatu dengan
bahan pokok tradisionalnya.
Dalam beberapa hal, kewajiban negara berkembang memang kelihatannya lebih
ringan dibanding negara maju. Contohnya, negara maju wajib mengurangi
bantuan dalam negeri kepada petani sebesar 20 persen dan subsidi ekspor 36
persen dalam masa 6 tahun, sedang negara berkembang wajib mengurangi
bantuan dalam negeri hanya sebesar 13 persen dan subsidi ekspor sebesar 24
persen dalam masa 10 tahun. Namun, bila dikaji lebih dalamsebenarnya,
kewajiban itu tidak adil. Pada kenyataannya, negara berkembang tidak
memberikan ekspor subsidi, sedangkan bantuan dalam negeri yang diberikan oleh
negaranegara maju sangat besar. Akibat tingginya subsidi yang diberikan oleh
negara-negara maju terhadap para petaninya, maka impor pangan negaranegara
34
berkembang pun jadi semakin meningkat. Padahal, dengan meningkatnya impor,
jelas, semakin mengancam tingkat ketahanan pangan dari suatu negara.
Setelah adanya program kebijakan pangan oleh SBY-JK, WTO dan Indonesia
memiliki persetujuan bidang pertanian yang menetapkan sejumlah peraturan
pelaksanaan tindakan-tindakan perdagangan di bidang pertanian karna pada
dasarnya Inonesia sebelumnya telah terikat kerjasama oleh WTO. Tiga pilar yang
saling terkait tersebut adalah akses pasar (market access), dukungan domestik
(domestic support) dan subsidi ekspor (export subsidy). Berdasarkan ketentuan-
ketentuan tersebut, para Anggota WTO berkomitmen untuk meningkatkan akses
pasar dan mengurangi subsidi-subsidi yang mendistorsi perdagangan melalui
aturan komitmen masing-masing negara.
Masuknya Indonesia ke dalam perjanjian Pertanian (AOA)- WTO di tahun
1995, maka terjadi proses liberalisasi pertanian yang radikal. Inti dari perjanjian
ini adalah Indonesia diminta meliberalisasikan pasar komoditi pangannya,
menghapus hambatan tariff dan hambatan lainnya, serta diusung untuk segera
mencanangkan swastanisasi pangan.Dengan AOA, maka pola pikirpertanian
adalah memberlakukannya sebagai produk industri/manufaktur yang
diperdagangkan secara bebas. Intinya adalah menghapus semua hambatan bagi
ekspor produk pertanian dan menerapkan perdagangan bebas dan pasar bebas
seutuhnya. AOA akan mengatur bagaimana sektor pertanian menentukan masa
depan pertanian suatu negara, terutama nasib para petani. Elemen kebijakan di
sektor ini pun nantinya akan sangat terikat oleh perjanjian ini. Bagaimana
seharusnya negara berperan di sektor pangan, dan bagaimana mestinya negara
35
bersikap ke sektor swasta dan korporasi transnasional, semua akan diatur oleh
AOA. Dengan penerapan AOA, maka pembangunan sektor pertanian akan
menghadapi ancaman besar, kebijakan yang dibangun oleh pemerintah harus
mengarah pada terbukanya pasar domestik terhadap masuknya berbagai
komoditas pangan dan pertanian dari luar.
a. Akses pasar
Perluasan akses pasar, seluruh hambatan impor akan dikonversikan ke tarif,
dan dikurangi hingga 6% untuk negara maju dengan pengurangan minimum di
tiap lini tarif sebesar 10% dalam jangka waktu 6 tahun dan untuk negara
berkembang pengurangannya sebesar 24% selama jangka waktu 10 tahun dengan
pengurangan minimum sebesar 10%.28
Oleh karena itu negara-negara
diperkenankan melakukan prosedur tarifikasi karena inti dari GATT adalah jika
ingin mengatur arus barang maka gunakan tarif, bukan non-tarif. Selain itu negara
berkembang diminta untuk mengikat seluruh tarif pertaniannya namun tidak
diharuskan untuk melakukan pengurangan tarif. Dalam waktu yang bersamaan,
persyaratan akses minimum akan mulai berlaku dari 3 persen konsumsi domestik
akan naik menjadi 5 persen pada akhir perjanjian. Dalam kondisi-kondisi tertentu,
negara berkembang dapat dikecualikan dari komitmen tarifikasi tersebut, bila
terjadi sesuatu dengan bahan pokok tradisionalnya.29
Aspek utama dari perjanjian AOA mengenai akses pasar adalah : i) akses
pasar produk pertanian yang transparan, prediktabel, dan kompetitif, ii)
28
Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan, 2015. “Kebijakan pangan pasca ratifikasi Agreement
on Agriculture”, jurnal. 29
Ibid
36
peningkatan hubungan antara pasar produk pertanian nasional dan pasar
internasional, iii) penekanan pada mekanisme pasar yang mengarahkan
penggunaan yang paling produktif terhadap sumber daya alam yang terbatas, baik
di sektor pertanian maupun perekonomian secara luas.30
Perjanjian ini
berhubungan pada penurunan tarif dalam produk pertanian yang dianggap sebagai
sektor vital bagi negara-negara di negara berkembang dan negara maju. Upaya
dalam memproteksi pertaniannya, negara-negara anggota WTO cenderung
berusaha melakukan bentuk hambatan non-tarif sehingga poin akses pasar ini
mensyaratkan negara-negara untuk mengurangi dan menghapus hambatan non-
tarif.
Besaran tarif rata-rata Indonesia yang diikat dalam skedul komitmen tahun
1995-2004 atau jumlah mata tarif yang diikat untuk produk pertanian sebanyak
1.341 (tariff line), total tarif untuk seluruh mata tarif turun dari 99.861 menjadi
64.391, tingkat tarif rata-rata sederhana per mata tarif, semula (base year) sebesar
74,2% turun menjadi 48,05% atau turun sebesar 26,5%, padahal ketentuannya
cukup 24%, komoditas yang tarifnya dibound cukup tinggi adalah beras (160%),
gula (95%) dan minuman beralkohol (150%) dan susu (210%).31
Sebagai negara agraris, perdagangan merupakan kunci keberhasilan
pengembangan sistem agribisnis. Kesepakatan World Trade Organization (WTO)
yang dicapai pada tahun 1994 melalui pertemuan Putaran Uruguay (Uruguay
Round) diberlakukan mulai 1 Januari 1995 dan berakhir pada 31 Desember 2005.
30
Hijrah Nasir, 2016. “Pengaruh Agreement On Agriculture Terhadap Ketahanan
Pangan Indonesia”, jurnal. 31
Ibid
37
Kesepakatan di bidang pertanian (AoA) merupakan bagian sangat penting dalam
kesepakatan umum tersebut. Isi komitmen untuk perdagangan hasil-hasil
pertanian penurunan tarif (tariff reduction), tarif kuota (quota tariff), pengamanan
khusus (Special Safegard / SSG), dan subsidi ekspor (export subsidy).
Dalam implementasinya, Indonesia hanya menggunakan instrumen tarif
sebagai alat perlindungan. Namun karena posisi Indonesia lemah, maka tarif yang
dikenakan untuk impor kedelai 0%, padahal dalam AoA-WTO disepakati 27%.
Dampaknya adalah derasnya arus impor kedelai ke Indonesia, sehingga
mengakibatkan jatuhnya harga kedelai dalam negeri. Di pihak lain, ekspor kedelai
dari negara maju juga diperkirakan meningkat. Secara agregat impor kedelai
Indonesia mengalami peningkatan sebesar 9,1% per tahun selama periode 1996-
2005. Impor kedelai dari negara maju ke Indonesia mencapai 50,3% dari total
impor Indonesia dan terus mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan
sebesar 8,5% per tahun selama periode 1996-2005. AS adalah pemasok kedelai
terbesar bagi Indonesia, mengambil pangsa hampir 50% dari seluruh negara
pengekspor kedelai ke Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Rata-rata impor
kedelai Indonesia dari AS mencapai 1,1 juta ton/ tahun.
Selanjutnya Kanada adalah negara pengekspor kedelai terbesar kedua dengan
rata-rata impor Indonesia sebesar 19 ribu ton/tahun. Dengan adanya kemudahan
akses pasar, impor kedelai semakin meningkat, karena akses pasar mendorong
kemudahan impor. Hal ini kemudian semakin diperkuat dengan dihapusnya
monopoli Bulog sebagai importir tunggal pada tahun 1998 serta dibebaskannya
38
bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPn kedelai).32
Berdasarkan hal tersebut,
artinya, perluasan akses pasar yang diciptakan oleh AoA telah mendorong tingkat
impor kedelai yang berasal dari negara maju dan mengakibatkan terjadinya
pelonjakan impor pada kedelai di Indonesia. Meluasnya akses pasar di negara-
negara lain, diharapkan akan memberikan peluang bagi Indonesia untuk
meningkatkan ekspor sehingga berdampak positif bagi pertanian Indonesia.
Namun pada kenyataannya, hal tersebut berbanding terbalik. Dengan adanya
akses pasar, justru malah meningkatkan impor dan mengakibatkan jatuhnya harga
kedelai dalam negeri.
Akses pasar juga mendorong beras impor dapat dengan mudah masuk dalam
negeri karena rendahnya tarif yang dikenakan sehingga instrumen, kebijakan ini
akan mengakibatkan beras dalam negeri harus bersaing dengan beras impor yang
harganya jauh lebih murah. Perjanjian lain yang masuk dalam ruang lingkup dan
terkait dengan AoA terhadap akses pasar adalah adalah Trade Related Aspects of
Intelectual Property Rights (TRIPs) perjanjian internasional kepada Hak
Kekayaan Intelektual (HaKI), perjanjian SPS (Sanitasi dan Fitosanitasi) dan TBT
(Tehnical Brriers to Trade).
1. Akses Pasar TRIPs terhadap HaKI
TRIPs merupakan perjanjian internasional terhadap Haki. Dalam hal ini setiap
negara memberikan paten terhadap produk dan proses atas penemuan-penemuan
di bidang bioteknologi, termasuk juga di lingkup ekonomi yaitu pangan dan
32
Diakses dari http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2016/03/dele_2.dewa_.pdf pada Tanggal 26 November 2018
39
pertanian. Ada enam jenis HaKI yang dimuat di dalam TRIPS: Hak Paten, Hak
Cipta, Merek. Indikasi geografis, desain industri, rangkaian elektronik terpadu.
TRIPS juga merupakan rejim peraturan HaKI dengan obyek perlindungan paling
luas dan paling ketat. Karena merupakan bagian dari WTO, maka pelaksanan
TRIPS dilengkapi dengan sistem penegakan hukum serta penyelesaian sengketa
Berikut hubungan akses pasar TRIPs terhadap HaKI33
:
1. Kesepakatan TRIPS dihasilkan dari proses perundingan yang tidak
transparan, tidak partisipatif, tidak seimbang dan tidak demokratis dimana materi
perundingan didominasi dan didesakkan oleh negara maju.
2. Terdapat indikasi bahwa TRIPs akan meningkatkan arus dana dari negara
berkembang ke negara maju melalui pembayaran royalti, mengingat 97 persen
pemegang paten dunia berasal dari negara maju. Tidak ada indikasi bahwa negara
maju akan melakukan alih teknologi dengan cuma-cuma kepada negara
berkembang, apabila diadakan perlindungan HaKI, mengingat perusahaan
multinasional dari negara majulah sebenarnya yang menjadi subyek perlindungan
HaKI seperti pada paten.
3. TRIPs memiliki ketentuan impor paralel dan lisensi wajib terhadap harga
obat untuk mendukung kesehatan publik sesuai ketentuan TRIPs.
4. TRIPs menegasikan kepemilikan dan inovasi komunal subyek HaKI
individu atau perusahaan, sehingga banyak inovasi terjadi secara komunal dan
pemiliknya adalah masyarakat secara kolektif.
33
Hira Jamthani, 2010. “Memahami Rejim Hak Kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan
(TRIPS)”,jurnal.
40
5. TRIPs menerapkan paradigma perlindungan HaKI yang seragam di negara
anggota WTO. Terdapat pasal-pasal pengaman di dalam ketentuan TRIPs, seperti
lisensi wajib, impor paralel, menjaga kesehatan publik dan lingkungan serta tidak
boleh bertentangan dengan moral publik.
6. Dari sisi keragaman hayati, pasal 27.3(b) TRIPs mengatur hak paten atas
bahan hayati yaitu mikroorganisme serta perlindungan HaKI berupa paten
ataupun sistem unik yang disebut sui generis untuk varietas tanaman.
7. Pelaksanaan TRIPS berhubungan dengan perjanjian internasional dibidang
lingkungan seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH). TRIPs bertujuan
mendorong melindungi teknologi dengan HaKI dan KKH melindungi
pengetahuan tradisional.
8. Konferensi Tingkat Menteri Keempat di Doha menghasilkan satu deklarasi
khusus yang memperbolehkan TRIPs digunakan dengan cara meningkatkan
pelayanan kesehatan publik.
Berdasarkan informasi di atas, artinya akses pasar memberlakukan pertanian
sebagai produk industri/manufaktur yang diperdagangkan secara bebas. Intinya
adalah menghapus semua hambatan bagi ekspor produk pertanian dan
menerapkan perdagangan bebas dan pasar bebas seutuhnya AOA akan mengatur
bagaimana sektor pertanian menentukan masa depan pertanian suatu negara,
terutama nasib para petani. Elemen kebijakan di sektor ini pun nantinya akan
sangat terikat oleh perjanjian ini. Bagaimana seharusnya negara berperan di sektor
pangan, dan bagaimana mestinya negara bersikap ke sektor swasta dan korporasi
41
transnasional, semua akan diatur oleh AOA. Dengan penerapan AOA, maka
pembangunan sektor pertanian akan menghadapi ancaman besar, kebijakan yang
dibangun oleh pemerintah harus mengarah pada terbukanya pasar domestik
terhadap masuknya berbagai komoditas pangan dan pertanian dari luar. Demikian
pula semua dukungan bagi petani Indonesia akan dengan sendirinya dihapus atau
dikurangi lewat ketentuan pengurangan subsidi domestik. Ini berarti segala
macam kredit murah untuk petani atau subsidi input bahan-bahan pertanian tidak
lagi dibolehkan.
2. SPS (Sanitasi dan Fitosanitasi)
Kesepakatan Sanitary and Phytosanitary (SPS) atau SPS Agreement adalah
bagian dari kesepakatan World Trade Organization (WTO) yang berkaitan
dengan hubungan antara kesehatan dan perdagangan internasional.34
Aspek
kesehatan dari Kesepakatan SPS pada dasarnya berarti bahwa anggota WTO dapat
melindungi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan dengan menerapkan
ketentuan-ketentuan untuk mengelola resiko yang berhubungan dengan impor
yang biasanya dalam bentuk persyaratan karantina atau keamanan pangan yang
dapat diklasifikasikan sebagai sanitasi (terkait dengan kehidupan atau kesehatan
manusia atau hewan) atau fitosanitari (terkait dengan kehidupan atau kesehatan
tumbuhan).35
Kesepakatan SPS dijalankan oleh Komite Ketentuan Sanitasi dan Fitosanitasi
(Komite SPS) yang merupakan forum konsultasi dimana anggota WTO secara
34
Karantina pertanian, 2016. “Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures”. 35
Ibid.
42
reguler bertemu untuk berdiskusi tentang ketentuan SPS dan efeknya terhadap
perdagangan, mengawasi pelaksanaan Kesepakatan SPS, dan mencari cara untuk
menghindari terjadinya potensi perbedaan pendapat dimana semua anggota WTO
dapat berpartisipasi.36
Berdasarkan informasi di atas, kesepakatan SPS artinya memberikan batasan
mengenai aturan karantina barang-barang import pertanian untuk perlindungan
terhadap kesehatan manusia, tanaman, tumbuhan dan hewan, yang harus sesuai
dengan standar-standar kesehatan yang dapat dibenarkan secara ilmiah. Aspek
kesehatan dari Kesepakatan SPS pada dasarnya berarti bahwa anggota WTO dapat
melindungi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan dengan menerapkan
ketentuan-ketentuan untuk mengelola resiko yang berhubungan dengan impor.
Ketentuan tersebut dalam bentuk persyaratan karantina atau keamanan pangan
yang dapat diklasifikasikan sebagai sanitasi terkait dengan kehidupan atau
kesehatan manusia atau hewan, atau fitosanitari terkait dengan kehidupan atau
kesehatan tumbuhan. Dalam perdagangan internasional, berdasarkan pada
kesepakatan SPS, seharusnya anggota tidak menggunakan ketentuan SPS yang
tidak diperlukan, tidak berdasarkan pada pertimbangan ilmiah, mengada-ada atau
secara tersembunyi sehingga akan membatasi perdagangan internasional.
3.Tehnical Barriers to Trade (TBT)
TBT merupakan perjanjian mengenai standarisasi baik yang sifatnya
mandatory (wajib) maupun sifatnya voluntary seperti mencakup karateristik
36
Agriulture GovPemerintah Australia, Departemen Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan,
“Kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang Sanitari dan Fitosanitari”, Program
Pengembangan Kapasitas dalam Sanitari dan Fitosanitari.
43
produk, metode proses, terminology, symbol, persyaratan kemasan dan label
produk-produk. Perjanjian TBT bertujuan untuk menghindarkan penggunaan
standar sebagai hambatan teknis yang berkelebihan, salah satu mekanisme penting
dalam perjanjian tbt ialah notifikasi, yang merupakan kewajiban bagi negara
anggota untuk menginformasikan kepada sekretariat WTO dan anggota yang lain
bila mempunyai suatu kebijakan perdagangan baru yang memiliki potensi
menghambat perdagangan internasional notifikasi dalam perjanjian tbt-wto dan
perkembangannya.37
TBT telah menjadi hambatan non-tarif untuk perdagangan
yang penting. TBT muncul ketika kebijakan domestik memaksakan regulasi,
standar teknis, pengujian dan prosedur sertifikasi, atau persyaratan pelabelan
berpengaruh pada kemampuan eksportir untuk mengakses pasar.38
Berdasarkan informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa TBT adalah
perjanjian mengenai standarisasi, baik yang bersifat mandatory (wajib) maupun
yang bersifat voluntary, yang mencakup karateristik produk, metode proses dan
produk, terminology dan simbol, serta persyaratan kemasan (packaging) dan label
(labelling) suatu produk. TBT berpengaruh pada kemampuan eksportir untuk
mengakses pasar dan pada akhirnya telah menjadi hambatan non-tarif untuk
perdagangan yang penting, karena memaksakan regulasi, standar teknis,
pengujian dan prosedur sertifikasi, atau persyaratan pelabelan.
37
Eddy Herjanto, 2012. “Notifikasi Dalam Perjanjian Tbt-Wto Dan Perkembangannya”. 38
Andri Akbar, 2010. “TBT Agremeent: Membangun Tembok Arus Perdagangan”.
44
b. Subsidi Domestik
Dukungan Domestik adalah berbagai bentuk dukungan atau subsidi kepada
petani produsen. Dalam Perjanjian Pertanian, dirancang agar dukungan domestik
diubah sedemikian rupa, sehingga nantinya bisa dihilangkan. Atau kalaupun
Dukungan Domestik itu tetap ada, pengaruhnya diperkecil sehingga tidak sampai
menyebabkan terjadinya distorsi perdagangan atau produksi untuk masing-masing
produk pertanian. Tujuannya untuk mendisiplinkan dan mengurangi dukungan
terhadap petani. Struktur dukungan domestik atau subsidi dibagi dalam tiga
kategori yakni:
1. Green Box
Adalah subsidi yang tidak berpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil
pengaruhnya terhadap perdagangan. Subsidi tersebut harus dibiayai
oleh anggaran pemerintah (tidak dengan membebani konsumen dengan harga
yang lebih tinggi) dan harus tidak melibatkan subsidi terhadap harga. Ketahanan
pangan termasuk tindakan yang dikategorikan didalam kotak hijau karna
merupakan dukungan domestik yang diijinkan dan dampaknya terhadap
perdagangan dianggap minimal.
Untuk memenuhi syarat subsidi kotak hijau tidak boleh mendistorsi
perdagangan atau paling banyak menyebabkan distorsi minimal, mereka harus
didanai oleh pemerintah (bukan oleh membebankan harga tinggi kepada
konsumen) dan tidak boleh melibatkan dukungan harga karena mereka cenderung
menjadi program yang tidak ditargetkan pada produk tertentu dan termasuk
45
dukungan penghasilan langsung untuk petani yang tidak terkait dengan tingkat
produksi atau harga yang termasuk perlindungan lingkungan dan regional
program pengembangan.39
Green box merupakan subsidi karena itu diperbolehkan tanpa batasan, asalkan
mereka mematuhi kriteria khusus kebijakan yang ditetapkan dalam negosiasi saat
ini, beberapa negara berpendapat bahwa beberapa subsidi yang tercantum
mungkin tidak memenuhi kriteria paragraf pertama karena jumlah besar yang
dibayarkan, atau karena sifat dari subsidi ini, distorsi perdagangan yang mereka
timbulkan lebih dari minimal antara subsidi yang dibahas di sini adalah:
pembayaran langsung kepada produsen, termasuk dukungan pendapatan terpisah,
dan pemerintah dukungan keuangan untuk program asuransi pendapatan dan laba
bersih. Beberapa negara lain mengambil pandangan yang berlawanan-bahwa
kriteria saat ini memadai, dan bahkan mungkin perlu dibuat lebih fleksibel untuk
mempertimbangkan lebih baik masalah non-perdagangan seperti perlindungan
lingkungan dan kesejahteraan hewan.40
2. Amber Box
Amber box merupakan semua tindakan dukungan domestik yang dianggap
untuk mendistorsi produksi dan perdagangan (dengan beberapa pengecualian)
yang jatuh ke dalam kotak kuning, didefinisikan sebagai perjanjian pertanian
dalam semua dukungan domestik kecuali yang berwarna biru dan kotak hijau
karena termasuk tindakan untuk mendukung harga, atau subsidi secara langsung
39
Diakses dariWTO.org, Domestic support in agriculture, the box. Pada 23 September 2018 40
Ibid.
46
terkait dengan kuantitas produksi. Dukungan ini tunduk pada batasan: "de
minimis" dukungan minimal diperbolehkan (5% dari produksi pertanian untuk
negara-negara maju, 10% untuk negara-negara berkembang); 30 anggota WTO
yang memiliki subsidi lebih besar daripada tingkat de minimis di awal periode
reformasi Putaran pasca-Uruguay berkomitmen untuk mengurangi subsidi
ini. 41
De minimis adalah bantuan untuk pembangunan desa, dan bantuan untuk
pembatasan produksi. Pertama, de minimis adalah tingkat dukungan yang
dianggap mempunyai pengaruh minimum terhadap distorsi produksi atau
perdagangan. Untuk negara berkembang ditetapkan de minimis tidak boleh lebih
dari 10 persen, sedangkan untuk negara maju ditentukan sebesar paling tinggi 5
persen. Oleh karena itu, dukungan pemerintah untuk setiap produk tetap
diperbolehkan asalkan tidak melebihi tingkat de minimis seperti yang telah
dibahas di atas.Kedua, sejumlah bantuan untuk mendorong pembangunan
pertanian dan pedesaan di negara berkembang, serta dukungan untuk mencegah
penanaman tanaman narkotika. Ketiga, bantuan-bantuan yang termasuk dalam
kategori Blue Box.
Bantuan pada kategori Amber Box diukur dan dikalkulasi melalui Aggregate
Measurement of Support (AMS)untuk setiap produk (product-specific AMS) dan
terpisah dari total bantuan untuk produsen pertanian secara general (non-product-
specific AMS) kemudian diukur secara keseluruhan dengan Total Aggregate
Measurement of Support (Total AMS), yang meliputi jumlah semua bantuan
41
Ibid
47
berupa subsidi domestik yang diberikan pada sektor pertanian, baik ditujukan
kepada basic agricultural products maupun non-product specific42
. Selain Total
AMS, juga dapat diukur melalui Annual and Final Bound Commitment Levels
yang merupakan subsidi pada kategori ini termasuk dalam subjek komitmen
reduksi WTO.
3. Blue Box
Adalah Amber Box dengan persyaratan tertentu yang ditujukan untuk
mengurangi distorsi. Subsidi yang biasanya dikategorikan sebagai Amber Box
akan dimasukkan ke dalam Blue Box jika subsidi tersebut juga menuntut
dikuranginya produksi oleh para petani. Blue box hampir serupa dengan Amber
box, hanya saja blue box merupakan subsidi domestik berupa bantuan langsung
(direct payment) yang diberikan kepada produsen sebagai bentuk ganti rugi akibat
pengurangan produksi dan subsidi domestik pada blue box yangdianggap tidak
merusak harga pasar serta mendistorsi perdagangan. Subsidi ini tidak termasuk
dalam komitmen reduksi WTO43
. Bantuan langsung oleh Blue box berhubungan
dengan luas tanah dan peternakan sebesar 85% atau kurang dari base level of
production sebuah negara. Blue Box merupakan bantuan langsung sebagai
program untuk membatasi produksi suatu komoditas. Bantuan langsung ke
produsen dianggap tidak memengaruhi produksi atau disebut juga decouple
payment.
42
Argo Dewantara, S.IP., M.Si., Drs. GPH. Dipokusumo, M.Si. “Diplomasi Ekonomi Indonesia
Dalam Ketentuan World Trade Organization(Studi Kasus Perdagangan Impor Beras Dari Vietnam
Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), jurnal.
43
Ibid
48
Berdasarkan informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa AOA telah
mengklasifikasikan subsidi ke dalam kategori khusus, yaitu Green Box, Blue Box,
dan Amber Box. Green box merupakan subsidi yang secara tidak langsung
mendukung produk pertanian. Subsidi ini dianggap tidak terlalu mengacaukan
pasar. Blue box merupakan subsidi yang berupa pembayaran langsung kepada
petani untuk membatasi jumlah produksi. Selain itu, juga diperuntukkan bagi
bantuan pemerintah yang bertujuan untuk mendorong sektor pertanian dan
pembangunan pedesaan di negara berkembang. Sedangkan, Amber box adalah
subsidi yang secara langsung dianggap mengacaukan perdagangan, tetapi boleh
diberikan untuk sementara dengan syarat akan dihapuskan secara bertahap.
Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk kebijakan penurunan subsidi baik untuk
produksi maupun dalam bentuk pengalihan/transfer dana kepada produsen.
Hasil dari putaran Uruguay adalah pendirian Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) dan GATT tetap menjadi bagian dari perjanjian-perjanjian WTO
yang tak terpisahkan. Mandat putaran ini adalah untuk memperluas cakupan
aturan dagang GATT untuk bidang yang sebelumnya tidak termasuk karena
dianggap terlalu sulit untuk diliberalisasi (seperti agrikultur dan tekstil) serta
mengatur bidang yang sebelumnya tidak termasuk (jasa, kekayaan intelektual, dan
kebijakan investasi). Tujuan utama Putaran Uruguay adalah, mengurangi subsidi
pertanian, mencabut pembatasan investasi asing, memulai proses pembukaan
perdagangan jasa seperti perbankan dan asuransi, serta memasukkan perlindungan
kekayaan intelektual.
49
Dari segi subsidi domestik, pengurangan subsidi domestik, di mana
negara-negara maju wajib mengurangi subsidi domestiknya sebesar 20 persen
tanpa batas waktu dan negara-negara berkembang sebesar 13,3 persen dalam 10
tahun. Sedangkan subsidi di bawah lima persen di negara-negara maju dan 10
persen di negara-negara berkembang dari total nilai produk pertanian tidak
dilarang. Subsidi domestik diberikan kepada petani dalam bentuk subsidi pupuk
dan bunga kredit, sehingga para petani dapat meningkatkan kualitas dan
produktivitas produk yang dihasilkan, namun hal tersebut justru dibatasi. Hal ini
mengakibatkan rendahnya produksi kedelai dalam negeri karena para petani tidak
mampu menghasilkan kedelai yang berkualitas.
Produksi kedelai di dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 32
persen konsumsi domestik, sedangkan sisanya harus diperoleh melalui impor.
Permintaan impor selama 1995-2002 meningkat dengan laju 35,4 persen per
tahun. Peningkatan volume impor yang tajam terjadi pada tahun 1999, yaitu 1,3
juta ton atau meningkat hampir 300 persen dibandingkan impor tahun
sebelumnya. Sebaliknya, produksi kedelai di dalam negeri selama kurun waktu
yang sama menurun dengan laju 12,0 persen. Impor kedelai diperkirakan akan
makin besar pada tahun-tahun mendatang, karena adanya kemudahan tataniaga
impor, berupa dihapusnya monopoli Bulog sebagai importir tunggal serta
dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) kedelai. Disamping
itu, negara eksportir kedelai terbesar dunia, seperti Amerika Serikat, juga
50
menyediakan subsidi ekspor, sehingga merangsang importir kedelai di Indonesia
untuk memanfaatkan fasilitas itu.44
Berbeda dengan negara-negara maju, Indonesia belum mampu secara
nyata melaksanakan bantuan domestik, baik yang masuk dalam Green Box yang
diperbolehkan, maupun de minimis yang masuk dalam Amber Box. Keterbatasan
dana pembangunan seiring dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan,
mengharuskan Indonesia untuk mengurangi bahkan menghapus berbagai subsidi
dan kebijakan harga dasar yang pernah dilakukan di era 1980-an, yang
mengakibatkan rendahnya produksi kedelai dalam negeri.
c. Subsidi Ekspor
Jumlah subsidi ekspor dikurangi sebesar 21% sementara itu 61 pengeluaran
anggaran atas subsisdi ekspor juga akan dikurangi sebesar 36% selama 6 tahun.
Untuk Negara berkembang, penguranganya sebesar dua pertiga, dengan jangka
waktu implementasi hingga 10 tahun. Bantuan pangan dan ekspor yang tidak
disubsidi tidak masuk dalam peraturan ini.
Berikut beberapa program dalam subsidi ekspor:45
1. Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel
dengan penghapusan elemen subsidi program seperti kredit ekspor, garansi
kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran
melebihi 180 hari.
44
De Adhitya, Kebijakan Perdagangan Internasional, Diakses dari https://www.academia.edu/7150926/KEBIJAKAN_PERDAGANGAN_INTERNASIONAL_KOMODITAS_PERTANIAN_INDONESIA pada 26 November 2018 45
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, faq,subsidi ekspor.
51
2. Memperketat ketentuan kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program
asuransi yang mempunyai masa pembayaran 180 hari atau kurang, yang
mencakup pembayaran bunga, tingkat suku bunga minimum, dan
ketentuan premi minimum.
3. Implementasi penghapusan subsidi ekspor bagi negara berkembang yang
lebih lama dibandingkan dengan negara maju.
4. Hak monopoli perusahaan negara di negara berkembang yang berperan
dalam menjamin stabilitas harga konsumen dan keamanan pangan, tidak
harus dihapuskan.
5. Aturan pemberian bantuan makanan (food aid) diperketat untuk
menghindari penyalahgunaannya sebagai alat untuk mengalihkan
kelebihan produksi negara maju.
6. Beberapa aturan perlakuan khusus dan berbeda (S&D) untuk negara
berkembang diperkuat.
Poin lain yang diatur dalam AOA adalah pelarangan subsidi ekspor dengan
pengecualian sebagai berikut:46
1. Subsidi untuk produk-produk tertentu yang masuk dalam komitmen untuk
dikurangi dan masih dalam batas yang ditentukan oleh skedul komitmen
tersebut.
2. Kelebihan pengeluaran anggaran untuk subsidi ekspor ataupun volume
eskpor yang telah disubsidi yang melebihi batas yang ditentukan oleh
46
Hijrah Nasir, 2016. “Pengaruh Agreement On Agriculture Terhadap Ketahanan
Pangan Indonesia”, jurnal.
52
skedul skedul komitmen tetapi diatur oleh ketentuan “fleksibilitas hilir”
dalam Pasal 9.2(b) AOA.
3. Subsidi eskpor yang sesuai dengan ketentuan special and differential
(S&D) bagi negara-negara berkembang.
4. Subsidi ekspor di luar skedul komitmen tetapi masih sesuai dengan
ketentuan anti-circumvention pada Pasal 10 AOA.
Berdasarkan informasi di atas, artinya kebijakan subsidi ekspor
dimaksudkan untuk mendisiplinkan kebijakan dan tindakan pemerintah yang
menyalurkan bantuan terhadap ekspor dalam bentuk subsidi ekspor. Pengurangan
subsidi ekspor dilaksanakan pada target volume komoditas yang diekspor maupun
dalam bentuk nilai. Pengurangan dalam bentuk nilai diberlakukan kewajiban
penurunan sebesar 36 persen dan penurunan kuantitas volume sebesar 21 persen
dari total ekspor dalam kurun waktu enam tahun 0 untuk negara maju. Sedangkan,
kewajiban pengurangan nilai sebesar 24 persen dan kewajiban pengurangan
volume sebesar 14 persen dalam jangka waktu sepuluh tahun untuk negara
berkembang.
Negara-negara maju mampu memberikan tiga perlindungan sekaligus
kepada para petaninya. Sementara negara berkembang tidak mempunyai sumber
dana yang cukup sehingga negara berkembang memperoleh tekanan yang kuat
dalam forum perdagangan internasional untuk membuka pasar seluas-luasnya,
terutama produk pangan dari negara-negara maju sehingga tidak mampu
melindungi petaninya.
53
Pengurangan subsidi ekspor, di mana negara-negara maju dalam enam tahun
harus menurunkan subsidi ekspornya sebesar 36 persen, serta mencakup 24 persen
dari seluruh kuantitas komoditas ekspor yang di subsidi. Sedangkan untuk negara-
negara berkembang pengurangan itu sebesar 20 persen dari nilai pengeluaran
subsidi, serta mencakup 16 persen dari kuantitas komoditas ekspor yang di subsidi
selama 10 tahun. Subsidi ekspor kepada petani di negara maju merupakan salah
satu penyebab keterpurukan petani di negara berkembang. Akibat serbuan
komoditas pertanian dari negara maju yang disubsidi, para petani di negara
berkembang mati perlahan. Hasil pertanian negara berkembang kalah bersaing
karena tak disubsidi. Selanjutnya, negara berkembang jadi ketergantungan pada
impor komoditas pertanian dari negara maju. Hal tersebut mengakibatkan
Indonesia amat bergantung pada pasokan kedelai dari negara maju khususnya
Amerika Serikat.
Para petani di Indonesia tak mau menanam kedelai karena pasti rugi disebabkan
oleh kedelai lokal kalah murah dibanding kedelai impor. Akibatnya, produksi
kedelai di Indonesia sangat sedikit, hanya 30% dari total kebutuhan.Adanya
penerapan subsidi oleh negara maju yang berdampak pada menurunnya harga
produk pertanian di pasar dunia telah berlangsung secara terus menerus selama
implementasi AoA, pada saat Indonesia menerapkan trade liberization secara
sepihak seperti yang dilakukan dalam konteks AFTA dengan tarif MFN sebesar 0-
5%. Pemberian subsidi ekspor yang dilakukan oleh Amerika Serikat sebagai
negara eksportir terbesar dunia kepada Indonesia juga merangsang importir
54
kedelai untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Akibatnya, impor kedelai semakin
banyak masuk ke pasar dalam negeri.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Pada periode SBY-JK, dilakukan kerjasama multilateral yang diwujudkan
oleh WTO dalam bentuk perjanjian pertanian, Agreement on Agriculture(AOA).
Tujuannya adalah reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian, dalam
rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan
berorientasi pasar. Program reformasi ini berisi komitmen-komitmen spesifik
untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar
melalui penciptaan peraturan dan disiplin yang kuat dan efektif.
Dampak rezim Agreement On Agriculture (AOA) WTO terhadap
ketahanan pangan di Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tidak
membuahkan kerjasama dan hasil yang baik. Terdapat tigaimplikasi utama
mengenai akses pasar, subsidi domestik dan subsidi ekspor. Akses pasarpada
akhirnya terlihat mematok tariff yang tinggi terhadap Negara maju, dengan
demikian negara-negara maju bisa lebih fleksibel untuk mengubah-ubah tingkat
tarif guna menstabilkan pasar domestik mereka tanpa melanggar aturan WTO,
sehingga negara maju dapat memberlakukan tarif impor yang lebih tinggi atas
hasil pertanian dari negara-negara berkembang. Dengan begitu impor pangan
negara-negara berkembang semakin meningkat dan mengancam tingkat ketahanan
pangan suatu negara.
80
Output merupakan aturan baru atau dasar yang muncul dari proses
pembentukan seperti deklarasi, rules of law atau norma-norma terkait dengan
rezim. Aturan mengenai rules of law dapat kita lihat dalam rezim AOA yang
menerapkan 3 pilar utama pada kerjasama Indonesia era SBY-JK mengenai akses
pasar, subsidi domestik dan subsidi ekspor. Lalu outcome, atau implementasi
rezim yang berhubungan dengan perubahan perilaku para anggota rezim atau
Indonesia khususnya pada sektor pertanian, sehingga terlihat apakah kebijakan
tersebut berhasil merubah tingkah laku negara anggota rezim. Dapat diartikan
bahwa, apakah dengan ada nya ketiga pilar yang di ciptakan AOA membawa
perubahan atau tidak untuk Indonesia khususnya dalam sektor pertanian (pangan).
Namun hal ini berujung dengan tidak membuahkan hasil yang baik, justru
sebaliknya semakin membuat sektor pertanian di Indonesia semakin buram, dan
impact (Br) adalah respon alami anggota rezim yang mengubah perilaku rezim,
terkait tingkat keberhasilan masalah atas rezim yang digunakan. Apakah negara
tersebut ikut dalam rezim tersebut atu tidak. Harapan Indonesia terhadap WTO
khususnya fokus terhadap perjanjian yang telah dicanagkan dalam AOA, dapat
membantu perdagangan serta kesejahteraan negara. Akan tetapi AOA disini gagal
dan di dalam perjalanannya ratifikasi AOA mengganggu kelangsungan sektor
pangan di negara berkembang.
Kerjasama antara AOA-WTO era SBY-JK dinyatakan gagal, Serikat
Petani Indonesia mencatat terdapat catatan merah kepemimpinan ini dalam sektor
pertanian. Arah pembangunan yang cengderung liberal dinilai tidak sejalan
dengan visi-misi yang diusung sang pemimpin ketika kampanye, dengan
81
berlakunya rezim AOA di Indonesia bukan menciptakan ketahanan dan
kesejahteraan pangan justru menimbulkan dampak yang tidak baik didalam
Negara. Kerjasama antara AOA dan Indonesia bersinggungan pada kondisi
ketahanan pangan, namun AOA dalam keinginannya untuk menghilangkan
kemiskinan justru membuat negara-negara miskin tidak bisa meningkatkan
pendapatannya terutama petani dengan cara melakukan ekspor ke negara-negara
maju.
6.2 Saran
Adapun saran yang muncul dari penelitian pada skripsi ini adalah selain
karena terikat dengan kesepakatan AoA yang telah diratifkasi oleh Indonesia yang
menyebabkan Indonesia harus menyesuaikan kebijakan ketahanan pangannya,
sebenarnya Indonesia masih bisa menjaga kedaulatan pangannya. Seperti yang
telah dilakukan India, Thailand, Vietnam dan negara lainnya. Untuk itu
pemerintah harus mencari cara agar dapat menjaga kedaulatan pangannya tanpa
harus ada yang dirugikan. Pemerintah Indonesia harus mampu mengintegrasikan
antara kebijakan-kebijakan dalam negeri dalam pengelolaan pasar pertanian
domestik dengan kebijakan politik luar negeri, dalam hal ini kesepakatan WTO.
Hal inimutlak dilakukan pemerintah dalam rangka menghadapi perundingan-
perundingan perdagangan multilateral yang akan dilangsungkan.
Dengan memperhatikan semua dampak dan isu-isu yang berkembang
berkenaan dengan liberalisasi pertanian di Indonesia, maka terlihat dengan jelas
bahwa Indonesia sedikit sekali mendapatkan keuntungan dengan adanya
perjanjian untuk meliberalisasi sektor pertanian. Hal ini perlu ditekankan,
82
mengingat pertanian di Indonesia bukan barang-dagangan, bukan soal
perdagangan, dan bukan komoditas ekspor; melainkan merupakan hajat hidup
orang banyak.
Pertanian adalah kehidupan rakyat dan sekaligus juga masalah sosial
budaya. Produk pertanian menyangkut hajat hidup dan kehidupan rakyat petani
yang serba kecil-kecil dan subsistems. Karenanya tidak bisa sepenuhnya
diserahkan ke mekanisme pasar bebas. Pertanian haruslah tetap di tangan rakyat
Indonesia dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan nasional akan pangan dan
kesejahteraan hidup yang layak. Pertanian bukan untuk kaum pemodal dan bukan
untuk dikuasai pengusaha-pengusaha besar. Itu pula mengapa tanah pertanian juga
merupakan hajat hidup yang tidak boleh diperdagangkan. Bila tanah pertanian
juga akan diperdagangkan sebagai komoditas pasar, maka hancurlah petani
Indonesia.
Ketahanan pangan tinggal menjadi slogan. Sementara, kenyataannya
adalah kehancuran pangan. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah Indonesia
mewujudkan kebijakan pertanian yang pro-petani.Di antaranya, meningkatkan
jumlah produksi sehingga tercapai kecukupan pangan nasional dan meningkatkan
efisiensi biaya produksi sehingga produk pertanian memiliki daya saing harga.
Secara makro, misalnya perlunya regulasi sektor pertanian dan perlindungan yang
lebih baik kepada petani termasuk perlindungan dari berbagai bencana alam,
pengembangan sarana dan prasarana pertanian, meningkatkan fasilitasi bantuan
alat mesin pertanian (alsintan) secara signifikan karena modernisasi pertanian
83
dapat dilihat pada penggunaan metode budidaya yang lebih baik dan efektif, serta
termasuk pengembangan industri alsintan dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmad Noor Muhammad,2016. “Sejarah Perekonomian Indonesia”. Erlangga:
Jakarta.
AIRS, Hasibuan. 2015. “Post Food Policy Ratification of the Agreement on
Agriculture (AOA)– WTO”, Sinar Mentari : Jakarta.
Arild Underdal,2011, “Explaining Regime Effectiveness”, University of Oslo:
USA.
Guerrero, Bernard Joseph Esposo , 2010. “Politics, Globalization, and Food
Crisis Discourse”. School and Labor : USA.
Fakih Mansour, 2009. “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”. Insist
Press: Jakarta, hlm 69
Hira Jhamtani, 2005. “WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga”, Refika
Aditama, Sumber Kasih: Jakarta
Khudori,2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap
KejahatanIndustri Pangan. Resist Book : Yogyakarta.
Ridha Amaliyah, “Dampak Penerapan Agreement on Agriculture terhadap
Ketahanan Pangan Indonesia: Kasus Kedelai Impor”. Universitas Airlangga :
Surabaya, hlm 44.
Laporan
Badan Litbang Pertanian, “Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan”.
Ekaterina Krivonos,2017. Food and Agriculture Organization of The United
Nations, “WTO Agreement on Agriculture.
Evaluasi Terhadap Kebijakan Pertanian Pemerintahan SBY-JK.
Indonesia and World Trade Organization,2018. Dapat dilihat pada
https://www.wto.org/,diakses pada tanggal 23 Januari 2018,pukul 11.00 WIB.
Kebijakan Neoliberal Gagal Membangun Pertanian dan Menyejahterakan Petani”,
2004-2009.
Kebijakan Pertanian di Indonesia, 2015. “Masa Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhyono”.
Kedaulatan Pangan, 2015. Swasembada pangan di era SBY.,Dapat dilihat pada
http://nurlaili-azizah-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-93395-
Politik%20dan%20Keamanan%20Internasional-
FOOD%20SECURITY:%20TREN%20KEAMANAN%20KONTEMPORER.htm
l , diakses pada tanggal 20 Januari 2018.
Nasional.tempo.co, 2014. “SBY: Kebutuhan Meningkat, Kuatkan Ketahanan
Pangan Nasional”.
Serikat Petani Indonesia, 2009. “Pemerintahan Baru dan Pembaruan Agraria”
Serikat Petani Indonesia, Evaluasi Terhadap Kebijakan Pertanian Pemerintahan
SBY-JK tahun 2004-2009 Kebijakan Neoliberal Gagal Membangun Pertanian dan
Menyejahterakan Petani.
Jurnal
Ahmad noormuhammad,2016.”Sejarah Perekonomian Indonesia”.Dapat dilihat
pada https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_191017.aspx ,
diakses pada tanggal 23 Januari 2018, pukul 20.00 WIB
Aziz. Harry Azhar.2008. Kinerja SBY – JK di Bidang Perekonomian. Dapat
dilihat pada www.setneg.go.id, diakses pada tanggak 26 Januari , pukul 09.00
WIB
Akbar Kurnia Putra, 2016. “Agreement On Agriculture Dalam World Trade
Organization”, Jurnal. Dapat dilihat pada https://www.e-
jurnal.com/2017/02/agreement-on-agriculture-dalam-world.html, diakses tanggal
26 Januari 2018, pukul 10.00 WIB.
Andi Ahmad Fadhil, 2013. “Agreement On Agriculture Dan Reforma Agraria”,
Jurnal.
Claudia Tio Elleossa, 2014. “Pengaruh Trips Dalam Bisnis Benih Transgenik Mnc
Terhadap Isu Ketahanan Pangan Studi Kasus: Monsanto Di Lahan Pertanian
Indonesia”, Jurnal.
Dewi Tri W, 2015. “Pengertian Dan Penggolongan Organisasi
Internasional”,Jurnal.
De Adhitya, Kebijakan Perdagangan Internasional, Diakses dari
https://www.academia.edu/7150926/KEBIJAKAN_PERDAGANGAN_INTERN
ASIONAL_KOMODITAS_PERTANIAN_INDONESIA pada 26 November
2018
1Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, faq,subsidi ekspor.
Ida Iskandar, 2018. “Menelusuri Arah Kebijakan Sektor Pertanian Pemerintahan
Indonesia”, Dapat dilihat pada
https://www.google.co.id/search?q=Ida+Iskandar%2C+2018.+“Menelusuri+Arah
+Kebijakan+Sektor+Pertanian+Pemerintahan+Indonesia”%2C+jurnal.&oq=,
diakses pada tanggal 1 Juni 2018, pukul 20.00 WIB
Ikuswahyono,2015. “Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala
Pemerintahan SBY”, Jurnal.
Jamaluddin Hakim,2004. “Relasi Kekuasaan World Trade Organization Dalam
Kebijakan Pangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla”. Dapat dilihat
pada
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/2625/JURNAL.pdf?seque
nce=11&isAllowed=y, diakses pada tanggal 7 Juni 2018, pukul 09.00 WIB
Karantina pertanian, 2016. “Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures”.Dapat
dilihat pada http://karantina.pertanian.go.id/page-20-sekilas-sps.html diakses pada
tanggal 17 Juni 2018, pukul 20.15 WIB
Kedelai Impor, Dilema Antara Menyediakan Pangan Murah. Diakses dari
http://www.iadb.org/INT/Trade/1_english/4SpecialInfo/Conference/2002/iOct202
AgricLiberal/ pada 7 November 2018
Menelusuri Arah Kebijakan Sektor Pertanian Pemerintahan Indonesia, Jurnal.
Mohd Agus Aufiya, 2015. “Kegagalan Kerjasama Organisasi Islam (OKI) Dalam
Peran Mediasi Konflik Di Timur Tengah”, jurnal.
Nurlaili Azizah, 2014.”Food Security, Tren keamanan kontemporer”,Dapat dilihat
pada http://nurlaili-azizah-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-93395-
Politik%20dan%20Keamanan%20Internasional-
FOOD%20SECURITY:%20TREN%20KEAMANAN%20KONTEMPORER.htm
l , diakses pada tanggal 20 Januari 2018, pukul 20.20 WIB
Olav Schram Stokke, 2007. “Determining the Effectiveness of International
Regimes”, Fridtjof Nansens Institutt, Journal.
Program Peningkatan Produksi Dan Nilai Tambah Produk Hortikultura Tahun
2017. Dapat dilihat pada : http://hortikultura.pertanian.go.id. pada 23 September
2018, diakses pada tanggal 4 Juni 2018,pukul 16.00 WIB
Putrinyaperwira,2012. “Teori Fungsional dalam Rezim Internasional”,Jurnal.
Ridha Amaliyah. “Dampak Penerapan Agreement on Agriculture terhadap
Ketahanan Pangan Indonesia: Kasus Kedelai Impor”, jurnal.
Rizka Meilinda, 2014. Rezim Perdagangan Internasional, Dapat dilihat pada
https://www.google.co.id/search?safe=strict&ei=WL8GXPqdD5H8rQHtwrSACQ
&q=Rizka+Meilinda%2C+2014.+Rezim+Perdagangan+Internasional%2C&oq=R
izka+Meilinda%2C+2014.+Rezim , diakses pada tanggal 23 Januari 2018, pukul
15.00 WIB.
SBY: Kebutuhan Meningkat, Kuakan Ketahanan Pangan Nasional , Dapat dilihat
pada www.nasional.tempo.co, Diakses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 23.00
WIB.
Swastika, Dewa dan Sri Nuryanti, 2006. The Implementation of Trade
Liberalization in Indonesia. Dapat dilihat pada http://pse.litbang.deptan.go.id
/ind/pdffiles/ISU4-4a , diakses pada tanggal 7 November 2018, pukul 16.00 WIB
Aziz. Harry Azhar.2008. Kinerja SBY – JK di Bidang Perekonomian. Dapat
dilihat pada www.setneg.go.id, diakses pada tanggak 26 Januari , pukul 09.00
WIB
Sri Hery Susilowati, 2016. Incentive Policy for Young Farmers: Lesson Learned
from Various Countries and the Implications for Indonesian Policy, Jurnal.
Utami Dewi, 2013. “Organisasi dan Administrasi Internasional”, Jurnal.
Xiaozhen Li,2008. “WTO Agreement on Agriculture: A Developing Country
Perspective”,Dapat dilihat pada
http://www.ccsenet.org/journal/index.php/jpl/article/view/733, diakses pada
tanggal 23 Januari 2018, pukul 17.00 WIB.
Website
Basional Kompas.com
http://www.fao.org/ docrep/005/Y4671E/y4671e00.htm
https://news.okezone.com/read/2007/12/31/62/71685/3-tahun-pemerintah-sby-jk-
jalan-di-tempat
top related