dasar teori line balancing
Post on 21-Jan-2016
440 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi Line Balancing1
Line balancing adalah serangkaian stasiun kerja (mesin dan peralatan) yang
dipergunakan dalam pembuatan produk. Line balancing biasanya terdiri dari
sejumlah area kerja yang dinamakan stasiun kerja yang ditangani oleh seorang atau
lebih operator dan ada kemungkinan ditangani dengan menggunakan bermacam-
macam alat.
Adapun tujuan utama dalam menyusun line balancing adalah untuk
membentuk dan menyeimbangkan beban kerja yang dialokasikan pada tiap-tiap
stasiun kerja. Jika tidak dilakukan keseimbangan lintasan maka dapat
mengakibatkan ketidakefisienan kerja di beberapa stasiun kerja dimana diantara
stasiun kerja yang satu dengan stasiun kerja yang lain memiliki beban kerja yang
tidak seimbang. Pembagian pekerjaan ini disebut production line balancing,
assembly line balancing, atau hanya line balancing.
Penyeimbangan mesin-mesin yang dipakai pada proses perakitan pun harus
dilakukan. Demikian juga di dalam membeli dan merancang mesin-mesin yang
memiliki kapasitas yang diperlukan. Selain itu penyeimbangan mesin-mesinyang
dipakai baik itu dalam penggunaan dua mesin untuk mendapatkan kapasitas yang
dibutuhkan maupun memperlambat mesin yang bekerja terlalu cepat atau
menghidupkan atau mematikan mesin secara terputus-putus perlu dilakukan. Selain
itu penyeimbangan mesin-mesin yang dipakai baik itu dalam penggunaan dua
mesin untuk mendapatkan kapasitas yang yang dibutuhkan maupun memperlambat
mesin yang bekerja terlalu cepat atau menghidupkan atau mematikan mesin secara
terputus-putus, dan lain-lain perlu dilakukan.
Area kerja atau stasiun kerja yang ditangani seorang atau lebih operator
dengan berbagai alat akan mengerjakan elemen kerja ketika unit produk melewati
stasiun kerjanya. Jadi dalam proses pengerjaan suatu produk, hampir semua stasiun
1Rosnani Ginting. Sistem Produksi. Yogyakarta: Graha Ilmu, Cet. 1, 2007. h 205-225.
kerja terlibat dan item yang mengalami pengerjaan akan bertambah lengkap pada
setiap stasiun yang dilaluinya.
Waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan pada masing-
masing stasiun kerja biasanya disebut service time atau station time. Sedangkan
waktu yang tersedia pada masing-masing stasiun kerja disebut waktu siklus. Waktu
siklus biasanya sama dengan waktu stasiun kerja yang paling besar. Jangka waktu
yang diperbolehkan untuk melakukan operasi pada stasiun kerja ditentukan oleh
kecepatan assembly line sehingga seluruh sehingga seluruh work center atau staiun
kerja berbagi waktu siklus yang sama. Waktu menganggur (float time) terjadi jika
dari stasiun pekerjaan yag ditugaskan padanya membutuhkan waktu yang sedikit
daripada waktu siklus yang telah diberikan. Maka selain untuk membentuk dan
menyeimbangkan beban kerja, line balancing bertujuan juga untuk
meminimisasikan waktu menganggur ketika operasi pengerjaan pada workcenter
berlangsung sesuai dengan urutan prosesnya. Sehingga keseimbangan yang
sempurna terjadi apabila dalam penugasan pekerjaan tidak menimbulkan waktu
menganggur.
Masalah line balancing telah memberikan perhatian yang cukup besar
mungkun melebihi assembly line yang lazim. Beberapa teknik menghasilkan solusi
yang tepat untuk asumsi-asumsi yang telah diberikan. Teknik lain dirancang untuk
menghasilkan perkiraan solusi berdasarkan pertimbangan yang praktis. Perhatian
utama adalah tidak harus memperoleh kesimbangan yang sempurna tetapi untuk
memperoleh tata letak dan aliran yang optimal sehubungan dengan operasi produksi
lainnya. Pengalokasian elemen-elemen pada stasiun kerja dibatasi oleh dua kendala
utama yaitu precedence constrain dan zoning constrain.
2.1.1. Precedence Constraint
Dalam pembagian elemen pekerjaan dapat diselesaikan dengan beberapa
alternatif. Dalam proses assembling ada dua kondisi yang biasanya muncul, yaitu:
1. Tidak ada ketergantungan dari komponen-komponen dalam proses pengerjaan,
jadi setiap komponen mempunyai kesempatan untuk dilaksanakan pertama kali
dan disini dibutuhkan prosedur penyeleksian untuk untuk menentukan prioritas.
2. Apabila suatu komponen telah dipilih untuk disassembling maka urutan untuk
merakit komponen lain dimulai. Disinilah dinyatakan batasan precedence untuk
pengerjaan komponen-komponen.
Ada beberapa cara untuk menggambarkan kondisi precedence untuk
menggambarkan kondisi ini secara efektif yaitu dengan menggunakan diagram
precedence. Maksud dari diagram ini adalah untuk menggambarkan situasi lintasan
yang nyata dalam bentuk diagram.
Precedence diagram dapat disusun menggunakan dua simbol dasar, antara
lain:
1. Elemen simbol, adalah lingkaran dengan nomor atau huruf elemen terkandung
di dalamnya. Elemen akan diberi nomor atau huruf berurutan untuk menyatakan
identifikasi.
atau
Gambar 2.1. Elemen Simbol
2. Hubungan antar simbol biasanya menggunakan anak panah untuk menyatakan
hubungan dari elemen simbol yang satu terhadap elemen lainnya. Precedence
dinyatakan dengan perjanjian bahwa elemen pada ekor panah harus mendahului
elemen pada kepala panah.
Gambar 2.2. Hubungan Antar Simbol
2.1.2 Zoning Constraint
Selain precedence constraint, pengalokasian dari elemen-elemen kerja
pada stasiun kerja juga dibatasi oleh zoning constraint yang menghalangi atau
1 2 3
2 b
mengharuskan pengelompokan elemen kerja tertentu pada stasiun tertentu. Zoning
constraint yang negatif menghalangi pengelompokan elemen kerja pada stasiun
kerja yang sama. Misalnya operasi 1 mempunyai sifat antagonis dengan operasi 2
sebab bisa menyebabkan percikan atau konseling api maka tidak dapat disatukan
walaupun dari segi makna dapat disatukan. Sebaliknya zoning constraint yang
positif menghendaki pengelompokan elemen-elemen kerja pada 1 stasiun yang
sama dengan alasan misalnya menggunakan peralatan yang sama dan peralatan itu
mahal.
2.2. Beberapa Teknik Line Balancing
Untuk penyeimbangan lintasan peralitan, terdapat beberapa teori yang
dikemukakan oleh para ahli yang meneliti bidang ini. Secara garis besar, metode ini
dibagi dalam dua bagian, yaitu:
1. Pendekatan Analitis
2. Pendekatan Heuristik
Pada awalnya, teori-teori line balancing dikembangkan dengan pendekatan
matematis/ analitis yang akan memberikan solusi optimal, tapi lambat laun
akhirnya para ahli yang meneliti bidang ini mulai menyadari bahwa pendekatan
secara matematis tidak ekonomis.
Hal tersebut membuat para ahli mengembangkan metode heuristik. Metode
ini didasarkan pada pendekatan matematis dan akal sehat. Batasan heuristik
menyatakan pendekatan trial and error dan teknik ini memberikan hasil yang
secara matematis belum optimal tetapi cukup mudah untuk memakainya.
Pendekatan heuristik merupakan suatu cara yang praktis, mudah dimengerti
dan mudah diterapkan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, berikut
ini diberikan beberapa model analitis dan model heuristik untukpenyeimbangan
lintasan perakitan.
2.2.1. Pendekatan Analitis
Penyeimbangan lintasan dengan pendekatan analitis, terbagi atas:
1. Metode 0-1 (Zero-One)
Kita dapat melihat model zero-one yang dikemukakan oleh Patterson dan
Albracht untuk memberikan bentuk matematis yang tepat bagi masalh
penyeimbangan lintasan perakitan. Dalam metode ini, kita dapat menggunakan
notasi:
C : Waktu siklus
tk : Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan elemen k dimana
k = 1,2,3,...,k.
Sk(Pk) : Subset dari semua elemen kerja yang harus mendahului atau sebelum
k
Wi : Subset dari semua elemen kerja yang ditugasi pada stasiun
I,I = 1,2,...,M
M : Batas atas dari jumlah stasiun
Xki : 1, Jika elemen kerja ditugaskan pada stasiun I; 0, Jika lainnya
Jumlah stasiun yang dibutuhkan untuk melengkapi semua predecessor dan
successor dari setiap tugas diberikan oleh formulasi sebagai berikut.
Ek = 1, untuk tk + ∑ t i=0 ,k=1,2 ,. . ., k dan |t k + ∑
j=pkt j
c|untuk lainnya.
Lk = M, untuk tk+∑j∈S k
t j=0 , k=1,2 , .. . , k dan
|t k + ∑
j∈ pkt j
c|untuk lainnya.
Notasi diatas yang pertama menyatakan integer yang paling kecil ≥ a. Definisi
I(M) dari Ek(Lk) dibutuhkan jika simbol dummy dipakai dalam diagram
precedence untuk permulaan atau akhir pekerjaan. Untuk perhitungan
selanjutnya, dibutuhkan batasan-batasan, antara lain:
a. Occurence Constrain
Kendala ini membatasi bahwa penugasan dari masing-masing elemen kerja
k hanya pada suatu stasiun dan ditulis sebagai berikut.
∑i=Ek
Lk
Xk=1, k=1,2 ,. .. , k
b. Precedence Constrain
Untuk masing-masing hubungan precedence dimana mendahului dengan
tepat elemen b (a < b), dibuthkan precedence constrain dengan simulasi
sebagai berikut.
∑i−Ea
a
ix X ai≤∑jEb
bjx X bj
dimana a < b
c. Batasan Waktu Siklus
Jumlah waktu pengerjaan elemen kerja dalam satu stasiun harus lebih kecil
atau sama dengan waktu siklus C.
∑i=Wi
t k X ki≤C dengan i = 1,2,...,M
2. Metode Helgeson Birnie
Metode ini biasanya lebih dikenal dengan ranked positional weight system
(RPW). Langkah pertama adalah membuat diagram precedence dan matriks
precedence. Kemudian dihitung bobot positional untuk setiap elemen yang
diperoleh dari penjumlahan waktu pengerjaan elemen tersebut dengan waktu
pengerjaan elemen lain yang mengikuti elemen tersebut.
Gambar 2.3. Diagram Precedence untuk Menerangkan Metode RPW
Hubungan precedence juga dapat dibuat dalam bentuk matriks dimana setiap
hubungan bernilai -1,0,1. Hubungan precedence yang bernilai +1 jika elemen
yang hendak dihubungkan tersebut dikerjakan sebelum elemen yang mau
dihubungkan dengannya, bernilai -1 jika sebaliknya dan 0 jika tidak ada
hubungan.
Penugasan elemen-elemen terhadap stasiun kerja mengikuti langkah-langkah
berikut:
1. Elemen yang mempunyai bobot tertinggi (rank 1)ditempatkan pada stasiun
1.
2. Hitung antara waktu siklus dengan waktu elemen (a) yang telah ditetapkan
T = C – a1.
3. Kemudian pilih elemen dengan bobot terbesar berikutnya dan dilakukan
pemeriksaan terhadap:
a. Precedence, hanya elemen yang semua pendahulunya sudah
ditempatkan boleh bergabung.
b. Waktu pengerjaan di elemen tersebut harus lebih kecil atau sama
dengan stasiun yang masih tersedia.
c. Langkah 2 dan 3 diulang sampai T = 0 atau tidak ada kemungkinan
untuk menugaskan elemen lagi pada stasiun kerja karena waktu T lebih
kecil dari waktu masing-masing elemen yang belum ditugaskan.
d. Stasiun kerja yang kedua kemudian dimulai dari elemen yang belum
ditugaskan yang bobotnya paling besar.
e. Langkah 2, 3, 4, dan 5 dilanjutkan sampai semua elemen telah
dikelompokkan dalam satu stasiun kerja.
3. Metode Moodie Young
Metode Moodie-Young memiliki dua tahap analisis. Fase (tahap) satu adalah
membuat pengelompokan stasiun kerja berdasarkan matriks hubungan antar-
task, tidak dirangking seperti metode Helgeson-Birnie. Fase dua, dilakukan
revisi pada hasil fase satu.
Fase satu: Elemen pengerjaan ditempatkan pada stasiun kerja yang berurutan
dalam lini perakitan dengan menggunakan aturan largest-candidate. Aturan
largest-candidate terdiri atas penempatan elemen-elemen yang ada untuk
tujuan penurunan waktu. Dari sini, bila dua elemen pengerjaan cukup untuk
ditempatkan di stasiun, salah satu yang mempunyai waktu yang lebih besar
ditempatkan pertama. Setelah masing-masing elemen ditempatkan,
ketersediaan elemen dipertimbangkan untuk tujuan pengurangan nilai waktu
untuk penugasan selanjutnya. Sebagai pemisalan, matriks P menunjukkan
pengerjaan pendahulu masing-masing elemen dan matriks F pengerjaan
pengikut untuk tiap elemen untuk tiap prosedur penugasan.
Fase dua: Pada fase dua ini mencoba untuk mendistribusikan waktu nganggur
(idle) secara merata (sama) untuk tiap-tiap stasiun melalui mekanisme jual dan
transfer elemen antar stasiun. Langkah-langkah pada step dua ini adalah
sebagai berikut.
1. Menentukan dua elemen terpendek dan terpanjang dari waktu stasiun dari
penyeimbangan fase satu.
2. Tentungan setengah dari perbedaan kedua nilai tujuan (GOAL).
3. GOAL = (STmax – STmin) / 2.
4. Menentukan elemen tunggal dalam STmax yang lebih kecil dari kedua nilai
GOAL dan yang tidak melampaui elemen pengerjaan terdahulu.
5. Menentukan semua penukaran yang mungkin dari STmax dengan elemen
tunggal dari STmin yang mereduksi STmax dan mendapatkan STmin akan lebih
kecil dari 2 x GOAL.
6. Lakukan penukaran yang ditunjukkan oleh kandidat dengan perbedaan
mutlak terkecil antara kandidat tersebut dengan GOAL.
7. Bila tidak ada penukaran atau transfer yang dimungkinkan antara stasiun
terbesar dan terkecil, mengusahakan penukaran antara rank pada
pengerjaan berikut: N (stasiun ranking ke N memiliki jumlah waktu idle
terbesar), N-1, N-2, N-3, …, 3, 2, 1.
8. Bila penukaran masih tidak mungkin, lakukan pembatasan dengan nilai
GOAL dan ulangi langkah satu hingga enam.
2.2.2. Pendekatan Heuristik
Penyeimbangan lintasan dengan pendekatan heuristik terbagi atas:
1. Metode Kilbridge Wester (Region Approach)
Dalam metode ini diagram precedence dengan elemen-elemennya
dikelompokkan dalam sejumlah kelompok. Semua elemen yang tergabung
dalam sebuah kolom independent karenanya dapat permutasikan diantara
mereka dalam berbagai cara tanpa melanggar kaidah precedence. Elemen-
elemen juga bisa ditransferkan dari kolom satu ke kolom lain dikanannya tanpa
mengubah precedence dengan menjaga permutabilitas dalam kolom yang baru.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan salam metode ini, antara lain:
1. Buat diagram precedence dari persoalan yang dihadapi
2. Kelompokkan daerah precedence dari kiri ke kanan dalam bentuk kolom-
kolom
3. Gabungkan elemen-elemen dalam daerah precedence yang paling kiri
dalam berbagai cara dan ambil hasil gabungan terbaik yang hasilnya sama
atau hampir sama dengan waktu siklus
4. Apabila ada elemen-elemen yang belum bergabung dan jumlahnya lebih
kecil dari C lanjutkan menggabungkannya dengan elemen di daerah
precedence di kanannya dengan memperhatikan batasan precedence
5. Proses berlanjut sampai semua elemen bergabung dalam suatu stasiun
kerja
Sulit untuk mengatakan metode yang lebih baik, karena kalau dihitung delay
time antara kedua metode hasilnya akan sama. Kalau dilihat dalam kemudahan
penerapannya, misalnya untuk jaringa kerja yang rumit mungkin metode
Kilbridge dan Wester lebih mudah diterapkan. Tetapi pemakaian metode
tertentu saja tergantung dengan keadaan yang dihadapi, mana yang cocok dan
lebih mudah untuk diterapkan. Berikut contoh penerapan metode Kilbridge
Wester. Misalkan diagram precedence berikut ini akan diseimbangkan.
Gambar 2.4. Diagram Precedence untuk Contoh Kasus
Metode Killbridge Wester
Dari diagram precedence dibuat tabel sebagai berikut :
Tabel 2.1. Matriks Precedence Diagram
Kolom Elemen Waktu Proses Jumlah WaktuI A 4 4II B
CDEF
36354 21
III GH
27 9
IV IJ
33 6
V K 6 6
Apabila diambil waktu siklus 12 menit dan perhatikan jumlah kumulatif suatu
kolom maka stasiun kerja pertama akan tediri dari Kolom I dan beberapa
elemen di Kolom II. Karena semua elemen dalam kolom saling tidak
bergantungan maka semua elemen dapat diseleksi. Maka alternatif yang
mungkin untuk stasiun I adalah:
a. Elemen a dan c = 10 menit
b. Elemen a,b,c = 12 menit
c. Elemen a,d = 12 menit
d. Elemen a,b,d = 11 menit
e. Elemen a,d,f = 11 menit
Maka alternatif yang dipilih boleh a,b,c atau a,d,e. Di sini diambil yang sesuai
dengan urutan yaitu a,b,c. Kemudian modifikasi tabel dengan membatasi
elemen yang sudah bergabung dalam satu stasiun kerja dengan garis putus-
putus.
Tabel 2.2. Matriks Precedence Diagram Alternatif
Kolom Elemen Waktu Proses Waktu Proses Jumlah WaktuI A 4 4 4II B
E35 8 9
CDF
634 13
6
III GH
27
6
IV IJ
33 6
V K 6 6
Dari tabel pada kolom 2 elemen yang belum bergabung adalah g dan f. Jumlah
waktu ketiga elemen ini adalah 13 yang berarti lebih besar dari c.
Penggabungan terjadi pada kolom 2 ini dengan kemungkinan penggabungan.
a. Elemen c dan d = waktu 9 menit
b. Elemen c dan f = waktu 10 menit
Peenggabungan yang diambil adalah c dan f dan tabel kembali dimodifikasi.
Stasiun kerja berikutnya stasiun 3 dan dilihat dari tabel elemen yang bisa
bergabung adalah elemen d,g,h dan terakhir stasiun 4 jatuh pada elemen i,j,k.
Jadi, hasil akhir dari penyelesaian dengan metode Kilbridge & Wester adalah
sebagai berikut:
a. Stasiun kerja 1 elemen a,b,e waktu = 12 menit
b. Stasiun kerja 2 elemen c dan f waktu = 10 menit
c. Stasiun kerja 3 elemen d,g,h waktu = 12 menit
d. Stasiun kerja 4 elemen i,j,k waktu = 12 menit
Sesuai dengan batasan precedence tiap elemen hubungan antar stasiunnya
adalah seperti Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Bentuk Hubungan antar Stasiun Hasil dari
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 Stasiun 4
Metode Region Approach
2. Metode Integer (berdasarkan formulasi masalah line balancing U)
Perakitan terdiri dari rangkaian stasiun kerja kumpulan dari tugas yang
dinyatakan berdasarkan rangkaian tugas-tugas. Masalah dalam pemilihan dan
pengelompokkan subjek pada rangkaian ini terdiri atas rangkaian stasiun kerja
yang diberikan berdasarkan langkah-langkah produksi atau pemaksimalan
rata-rata produksi diberikan berdasarkan jumlah stasiun kerja yang biasanya
dalam lintasan perakitan.
Keterkaitan dan kekompleksitasan berdasarkan masalah line balancing
diselesaikan dengan metode riset operasi. Ketika perakitan dirancang pada garis
lurus, umumnya berhubungan dengan traditional line balancing problem
(TLBP). Jika waktu proses untuk tiap tugas diasumsikan tetap, kita akan
memperoleh visi deterministic traditional line balancing problem (DTLBP).
Ketika seminar DTLBP oleh Ssalveson (1995), ada sejumlah artikel yang
membahas mengenai masalah ini. Artikel tersebut dapat dikategorikan dengan
menggunakan prosedur solusi untuk menyelesaikan masalah, termasuk program
integer, program dinamik dan pendekatan heuristik. Kilbridge dan Wester
(1986) dan Ignal (1965) menyediakan pengulangan yang terbaik untuk
pendekatan ini. Dua puluh tahun kemudian Talbot (1986) mengulangi secara
khusus penggunaan pendekatan heuristik yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah ini. Konsesus umum terlihat dari sudut praktis, versi dari masalah ini
telah terselesaikan jika waktu proses dari masing-masing tugas diketahui dalam
bentuk variabel, masalah ini biasanya berhubungan dengan stochastic line
balancing problem (SLBP). Versi dari masalah line balancing sangat kompleks,
prosedur pemecahan dikembangkan untuk masalah ini bergantung kepada
probabilitas distribusi normal yang digunakan mewakili waktu proses acak
algoritma. Algoritma yang dibuat oleh Kao (1976) dilanjutkan dengan program
dinamik dari Held (1963) diikuti proses variabel waktu Carrwoy (1989)
membuat dua algoritma yang dilanjutkan oleh formula Held. Peningkatan
tekanan kompetitif dihasilkan dalam pengingatan ulang perakitan arsitektur
pada beberapa level. Perakitan tradisional tidak fleksibel dan biasanya dibuat
untuk perakitan dalam jumlah besar dan keragaman yang rendah.
Bagaimanapun dengan peningkatan permintaan untuk ragam yang tinggi,
produk berjumlah tinggi seperti automobile, dan pemakaian elektronik baru-
baru ini diperlukan untuk dibuat lebih fleksibel sesuai permintaan konsumen.
Selanjutnya keberhasilan dari sistem seperti just in time dan didesain untuk
meminimalkan bahan mentah dan kerja dalam proses inventori, umunya
bergantung pada fleksibilitas penetapan perakitan.
U-line mempunyai keuntungan diatas konfigurasi garis lurus. Untuk lebih cepat
ada jarak penglihatan yang besar dari pengoperasian dan komunikasi diantara
operator dalam barisan, yang keduanya merupakan kunci untuk meminimalkan
jumlah dari kualitas dan pengawasan yang berhubungan dengan kerusakan
dalam lintasan.
3. Algoritma Genetik
Algoritma genetik ditemukan oleh John Holland. Saat ini algoritma genetik
mulai banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah optimisasi.Algoritma
benetik merupakan metode optimisasi yang tidak berdasarkan matematika,
melainkan berdasarkan fenomena alam yang dalam penelusurannya mencari
titik optimal berdasarkan pada ide yang ada pada genetik, yaitu ilmu yang
membahas tentang sifat keturunan.
Algoritma genetik merupakan merupakan algoritma pencarian yang yang
memanfaatkan analogi mekanisme seleksi alamiah pada teori Darwin dan
mekanisme kawin silang, mutasi, inverse, dan mekanisme-mekanisme lain yang
ada pada genetika.
2.3. Pola Aliran Bahan2
Dalam perencanaan tata letak fasilitas, dikenal 5 jenis pola aliran bahan,
yaitu:
1. Pola Garis Lurus (Straight Line)
2 James Apple. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. Bandung: ITB. 1997. h.121.
Pola aliran ini dapat digunakan jika proses produksi relatif pendek, relatif
sederhana dan hanya mengandung sedikit komponen atau peralatan produksi
yang digunakan. Pola aliran garis lurus ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Pola Aliran Garis Lurus
2. Pola Zig-Zag (Serpenting)
Pola ini dapat diterapkan jika lintasan lebih panjang dari ruangan yang dapat
digunakan untuk ditempatinya, dan karenanya berbelok-belok dengan sendirinya
untuk memberikan lintasan aliran yang lebih panjang dalam bangunan yang luas,
bentuk, dan ukuran yang lebih ekonomis. Pola aliran zig-zag ini dapat dilihat
pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Pola Aliran Zig-Zag
3. Pola Aliaran U (U-Shaped)
Pola aliran ini dapat diterapkan jika produk diharapkan produk jadinya
mengakhiri proses pada tempat yang relatif sama dengan awal proses. Pola
aliran bentuk U ini dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Pola Aliran U-Shaped
4. Pola Aliran Melingkar (Circulair)
Pola ini dapat diterapkan jika diharapkan barang atau produk kembali ke tempat
waktu memulai proses. Pola aliran melingkar ini dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9. Pola Aliran Melingkar
5. Pola Aliran Tak Tentu / Tak Beraturan
Pola aliran ini digunakan untuk memperpendek lintasan aliran antara kelompok
peralatan, stasiun kerja dan komponen lainnya.
2.4. Metode Pengukuran Waktu3
Pengukuran waktu ditujukan untuk mendapatkan waktu baku penyelesaian
pekerjaan yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja normal
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik.
Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa waktu baku yang dicari bukanlah
waktu penyelesaian yang diselesaikan secara tidak wajar seperti terlalu cepat atau
terlalu lambat.
Secara garis besar, metode pengukuran waktu terbagi ke dalam dua bagian,
yaitu:
1. Pengukuran secara langsung
3Iftikar Z Sutalaksana, dkk, Teknik Tata Cara Kerja, Bandung, 1979, Hal. 131-171.
Pengukuran yang dilakukan secara langsung di tempat dimana pekerjaan yang
bersangkutan dijalankan. Dua cara yang termasuk pengukuran langsung adalah
cara jam henti (stopwatch time study) dan sampling kerja (work sampling).
2. Pengukuran secara tidak langsung
Pengukuran secara tidak langsung merupakan pengukuran waktu tanpa harus
berada ditempat kerja yaitu dengan membaca tabel-tabel yang tersedia asalkan
mengetahui jalannya pekerjaan melalui elemen-elemen pekerjaan atau elemen-
elemen gerakan. Yang termasuk pengukuran tidak langsung adalah data waktu
baku dan data waktu gerakan.
Dengan salah satu cara ini, waktu penyelesaian pekerjaan yang dikerjakan
dengan suatu sistem kerja tertentu dapat ditentukan sehingga jika pengukuran
dilakukan terhadap beberapa alternatif sistem kerja, kita dapat memilih yang terbaik
dari segi waktu yaitu sistem yang membutuhkan waktu penyelesaian yang
tersingkat. Adapun beberapa istilah di dalam metode pengukuran waktu, yaitu:
1. Waktu Siklus
Waktu Siklus merupakan data waktu sesungguhnya yang terukur oleh
pengamat yang diawali dan diakhiri oleh suatu elemen operasi yang sama.
Pengukuran waktu siklus haruslah mencakup seluruh elemen operasi (gerakan)
yang mungkin muncul pada saat pekerjaan dilakukan.
a. Pengujian Kecukupan Data
Untuk memastikan data yang dikumpulkan adalah cukup secara objektif.
b. Pengujian Keseragaman Data
Ini dilakukan untuk memastikan bahwa data yang terkumpul berasal dari
suatu sistem yang sama.
2. Waktu Siklus Rata-rata (Ws)
Waktu diperoleh dari dengan cara menjumlahkan seluruh data waktu siklus,
kemudian dibagi dengan banyaknya data yang telah terkumpul.
3. Waktu Normal (Wn)
Dalam melakukan pekerjaannya, seorang operator dapat saja menunjukkan
kecepatan kerja yang tidak konsisten. Operator dapat bekerja secara cenderung
cepat, atau bahkan sebaliknya cenderung lambat. Data waktu yang terukur dari
cara kerja seperti ini, haruslah ditambah dengan rating factor (Rf).
Rumus : Wn = Ws x Rf
4. Waktu Standar (Waktu Baku)
Disamping melakukan pekerjaan rutin, seorang operator mungkin saja hanya
melakukan aktivitas-aktivitas lain yang tidak berhubungan secara langsung
dengan pekerjaan. Aspek ini di koreksi dengan menambahkan suatu nilai yang
disebut dengan allowance (kelonggaran).
Rumus : Wb = Wn x (1 + allowance)
Waktu Baku adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja normal untuk
bekerja secara wajar dalam sistem kerja yang terbaik.
2.4.1. Pengukuran Waktu Jam Henti (Stopwatch Time Study)
Sesuai dengan namanya, maka pengukuran waktu ini menggunakan jam
henti (stopwatch) sebagai alat utamanya. Cara ini tampaknya merupakan cara yang
paling banyak dikenal, dan karenanya paling banyak dipakai.Salah satu yang
menyebabkannya adalah kesederhanaan aturan-aturan yang dipakai.
Ada beberapa aturan pengukuran yang dijalankan untuk mendapatkan hasil
yang baik. Aturan-aturan tersebut dijelaskan dalam langkah-langkah berikut ini.
1. Langkah-langkah sebelum melakukan pengukuran
a. Penetapan tujuan pengukuran
Dalam pengukuran waktu, hal-hal penting yang harus diketahui dan ditetapkan
adalah untuk apa hasil pengukuran, berapa tingkat ketelitian dan tingkat
keyakinan yang diinginkan dari hasil pengukuran tersebut.
b. Melakukan penelitian pendahuluan
Yang dicari dari pengukuran waktu adalah waktu yang pantas diberikan kepada
pekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Tentu suatu kondisi yang ada
dapat dicari waktu yang pantas tersebut, artinya akan didapat juga waktu yang
pantas untuk menyelesaikan pekerjaan dengan kondisi yang bersangkutan. Suatu
perusahaan biasanya menginginkan waktu kerja yang sesingkat-singkatnya agar
dapat meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan demikian tidak
akan diperoleh jika kondisi kerja dari pekerjaan-pekerjaan yang ada
diperusahaan tersebut tidak menunjang tercapainya hasil tadi.
c. Memilih operator
Operator yang akan melakukan pekerjaan yang diukur bukanlah operator dari
pabrik. Orang ini harus memenuhi beberapa syarat tertentu agar pengukuran
dapat berjalan dengan baik, dan dapat diandalkan hasilnya. Syarat-syarat tertentu
adalah berkemampuan normal dan dapat diajak kerja sama. Jika jumlah pekerja
yang bersangkutan banyak, maka jika kemampuan mereka dibandingkan akan
terlihat perbandingan perbedaan antaranya, yaitu dari yang berkemampuan
rendah hingga tinggi. Operator yang dipilih adalah operator yang pada saat
pengukuran dilakukan mau bekerja secara wajar. Walau operator yang
bersangkutan sehari-hari dikenalmemenuhi syarat pertama tadi, bukan berarti
mustahikldia bekerja secara tidak wajar ketika pengukuran dilakukan karena
alasan tertentu.
d. Melatih operator
Walaupun operator yang baik telah didapat, kadang-kadang masih diperlukan
adalah bagi operator tersebut terutama jika kondisi dan cara kerja yang dipakai
tidak sama dengan yang biasa dilakukan operator. Hal ini terjadi jika pada saat
penelitian pendahuluan kondisi kerja atau cara kerja sesudah mengalami
perubahan. Dalam keadaan ini operator harus dilatih terlebih dahulu karena
sebelum diukur operator harus terbiasa dengan kondisi kerja yang telah
ditetapkan. Harap diingat bahwa yang dicari adalah waktu penyelesaian
pekerjaan yang didapat dari suatu penyelesaian yang wajar dan bukan
penyelesaian dari orang-orang yang bekerja kaku dengan berbagai kesalahan.
e. Mengurai pekerjaan atas elemen-elemen pekerjaan
Disini pekerjaan dipecah menjadi elemen pekerjaan yaitu merupakan gerakan
bagian dari pekerjaan yang bersangkutan. Elemen-elemen inilah yang diukur
waktu siklusnya. Waktu siklus adalah waktu penyelesaian satu satuan produksi
sejak bahan baku mulai diproses di tempat kerja yang bersangkutan. Namun satu
siklus tidak harus berarti waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu
produk sehingga menjadi barang jadi. Ada beberapa alasan yang menyebabkan
pentingnya melakukan penguraian pekerjaan atas beberapa elemennya, yaitu
menjelaskan cacatan tentang tata cara kerja yang dibakukan, untuk
memungkinkan melakukan penyesuaian bagi setiap elemen karena ketrampilan
bekerjanya operator karena ketrampilan bekerjanya operator belum tentu sama
untuk semua bagian dari gerakan-gerakan kerjanya, untuk memudahkan
mengamati terjadinya elemen yang tidak baku yang mungkin saja dilakukan
pekerja, untuk memungkinkan dikembangkannya data waktu standard atau
tempat kerja yang bersangkutan.
f. Menyiapkan alat-alat pengukuran
Setelah kelima langkah tersebut dapat dijalankan dengan baik, tibalah sekarang
pada langkah terakhir sebelum melakukan pengukuran yaitu menyiapkan alat-
alat yang diperlukan.
Alat-alat tersebut adalah:
i. Stopwatch
ii. Lembar pengamatan
iii. Pena atau pensil
iv. Papan pengamatan
2. Melakukan pengukuran waktu
Pengukuran waktu adalah pekerjaan mengamati dan mencatat waktu-waktu
kerjanya baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan alat-alat yang
telah disiapkan terlebih dahulu. Bila operator telah siap didepan mesin atau
ditempat kerja lain yang waktu kerjanya akan diukur, maka pengukuran
memilih posisi tempat dia berdiri mengamati dan mencatat. Posisi ini
hendaknya sedemikian rupa sehingga operator tidak terganggu gerakan-
gerakannya ataupun merasa canggung karena terlampau merasa diamati,
misalnya juga pengukur berdiri didepan operator. Posisi ini pun hendaknya
memudahkan pengukur mengamati jalannya pekerjaan sehingga dapat
mengikuti dengan baik saat-saat suatu siklus atau elemen bermula dan berakhir.
Umumnya posisi agak menyimpang dibelakang operator sejauh 1,5 m
merupakan tempat yang baik. Hal pertama yang dilakukan adalah pengukuran
pendahuluan. Tujuan pengukuran pendahuluan ialah untuk mengetahui berapa
kali pengukuran harus dilakukan untuk tingkat ketelitian dan keyakinan yang
diinginkan. Pengukuran pendahuluan pertama dilakukan dengan melakukan
beberapa buah pengukuran yang banyaknya ditentukan oleh pengukur.
Biasanya sepuluh kali atau lebih.
3. Tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan
Tingkat ketelitian dan keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian yang
diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan
pengukuran yang sangat banyak. Tingkat ketelitian menunjukkan
penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian
sebenarnya. Sedangkan tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan
pengukur bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi.
4. Melakukan perhitungan waktu baku
Jika pengukuran-pengukuran telah selesai yaitu semua data yang didapat
memiliki keseragaman yang dikehendaki dan jumlahnya telah memenuhi
tingkat ketelitian dan keyakinan yang diinginkan, maka selesailah kegiatan
pengukuran waktu. Langkah selanjutnya adalah mengolah data tersebut
sehingga memeberikan waktu baku.
2.4.2. Rating Factor
Rating Factor (faktor penyesuaian) merupakan perbandingan performansi
seseorang pekerja atau individual dengan konsep normalnya. Ada beberapa kriteria
rating factor (Rf) dari pekerja yaitu:
1. Pekerja normal
Rf = 100% =1 (waktu normal).
2. Pekerja terampil
Rf > 1 ( waktu pekerja lebih kecil dari waktu normal).
3. Pekerja lamban
Rf < 1 ( waktu pekerja lebih besar dari waktu normal).
Ada beberapa cara menentukan rating factor antara lain:
1. Cara Persentase
Cara ini merupakan cara yang paling awal digunakan dalam melakukan
penyesuaian. Di sini besarnya faktor penyesuian sepenuhnya ditentukan oleh
pengukur melalui pengamatan selama pengukuran.
WN=14,6 x 1,1 = 16,6 menit.
2. Cara Shumard
Cara Shumard memberikan patokan-patokan penilaian melalui kelas-kelas
performansi kerja dimana setiap kelas mempunyai nilai tersendiri.
Tabel 2.3. Penyesuaian Menurut Cara Shumard
Kelas PenyesuaianSuperfast 100
Fast + 95Fast 90
Fast – 85Excellent 80Good + 75Good + 75Good 70
Good – 65Normal 60Fair + 55Fair 50
Fair – 45Poor 40
3. Cara Westinghouse
Cara Westinghouse mengarahkan penilaian pada empat faktor yang dianggap
menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja yaitu keterampilan,
usaha, kondisi kerja dan konsistensi. Setiap faktor terbagi kedalam kelas-kelas
dengan nilainya masing-masing. Untuk keperluan penyesuaian keterampilan
dibagi menjadi enam kelas yaitu:
1. Super Skill
Yaitu untuk pekerja sudah sangat terbiasa melakukan pekerjaan yang
dilakukannya sehingga sangat cepat menyelesaikan pekerjaanya.
2. Exellent Skill
Yaitu untuk pekerja yang terampil, dapat berkoordinasi dengan baik, dan
jarang melakuan kesalahan.
3. Good Skill
Ciri-ciri dari pekerja tipe ini adalah tiada keragu-raguan, bekerjanya stabil,
gerakannya terkordinasi dengan baik.
4. Average Skill
Pekerja tipe ini tamapak sebagai pekerja yang cakap, bekerjanya cukup
teliti, dan secara keseluruhan hasil kerjanya cukup memuaskan.
5. Fair Skill
Tipe pekerja dengan tingkat ini dalah pekerja yang belum terbiasa denagn
lingkungan kerjanya sehingga banyak melakukan kesalahan.
6. Poor Skill
Untuk tingkat ini adalah pekerja yang masih sangat baru sehingga sangat
banyak melakukan kesalahan dan juga tipe pekerja seperti ini tidak dapat
mengambil inisiatif sendiri.
Tabel 2.4. Penyesuaian Menurut Westinghouse
Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Keterampilan
SuperskillA1 +0,15A2 +0,13
ExcellentB1 +0,11B2 +0,08
Good C1 +0,06C2 +0,03
Average D 0,00
FairE1 -0,05E2 -0,10
PoorF1 -0,16F2 -0,22
UsahaExcessive
A1 +0,13A2 +0,12
ExcellentB1 +0,10B2 +0,08
Tabel 2.4. Penyesuaian Menurut Westinghouse (Lanjutan)
Faktor Kelas Lambang PenyesuaianGood C1 +0,05
C2 +0,02
Average D 0,00
FairE1 -0,04E2 -0,08
PoorF1 -0,12F2 -0,17
Kondisi Kerja
Ideal A +0,06Excellently B +0,04
Good C +0,02Average D 0,00
Fair E -0,03Poor F -0,07
Konsistensi
Perfect A +0,04Excellent B +0,03
Good C +0,01Average D 0,00
Fair E -0,02Poor F -0,04
2.3.3. Allowance
Kelonggaran (allowance) diberikan kepada tiga hal yaitu untuk kebutuhan
pribadi, menghilangkan kelelahan dan hambatan yang tidak dapat dihindarkan.
Ketiganya merupakan hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja selama
pengamatan karenanya setelah mendapatkan waktu normal perlu ditambahkan
kelonggaran. Dalam menghitung besarnya allowance, bagi keadaan yang dianggap
wajar diambil harga allowance =100 %. Sedangkan bila terjadi penyimpangan dari
keadaan ini, harga p harus ditambah dengan faktor-faktor yang sesuai dengan
waktu siklus yang diperoleh dan waktu ini dicapai berdasarkan setiap departemen.
Kelonggaran diberikan untuk tiga hal, yaitu:
1. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi (personal)
Yang termasuk didalam kebutuhan pribadi adalah hal-hal sepeti minum
sekedarnya untuk menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, bercakap-cakap
dengan teman sekedarnya untuk menghilangkan ketegangan ataupun
kejenuhan dalam sewaktu bekerja.
2. Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique.
Fatique merupakan hal yang akan terjadi pada diri seseorang sebagai akibat dari
melakukan suatu pekerjaan.
3. Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tidak terhindarkan (delay)
Hambatan-hambatan tidak terhindarkan terjadi karena berada diluar
kekuasaan/kendali pekerja.
Tabel 2.5. Besar Allowance yang Diberikan Berdasarkan Faktor-faktor yang
Berpengaruh
No Faktor Contoh Pekerjaan Kelonggaran (%)
ATenaga yang dikeluarkan
Ekuivalen bebas (kg)
Pria Wanita
1. Dapat diabaikan Bekerja di meja, dudukTanpa beban
0,0 – 6,0 0,0 – 6,0
2. Sangat ringan Bekerja di meja, berdiri0,00 – 2,25
6,0 – 7,5 6,0 – 7,5
3. Ringan Menyekop, ringan2,25 – 9,00
7,5 – 12,0 7,5 – 16,0
4. Sedang Mencangkul9,00 – 18,00
12,0 – 19,0 16,0 – 30,0
5. Berat Mengayun palu yang berat19,00 – 27,00
19,0 – 30,0
6. Sangat berat Memanggul beban27,00 – 50,00
30,0 – 50,0
7. Luar biasa berat Memanggul karung beratDi atas 50,00
B Sikap Kerja1. Duduk Bekerja duduk, ringan 0,00 – 1,00
2.Berdiri di atas dua kaki
Badan tegak, ditumpu dua kaki
1,00 – 2,50
3.Berdiri di atas satu kaki
Satu kaki mengerjakan alat kontrol
2,50 – 4,00
4. BerbaringPada bagian sisi, belakang, atau depan badan
2,50 – 4,00
5. MembungkukBadan dibungkukkan bertumpu pada kedua kaki
4,00 – 10,0
C Gerakan Kerja1. Normal Ayunan bebas dari palu 02. Agak terbatas Ayunan terbatas dari palu 0 – 5
3. SulitMembawa beban berat dengan satu tangan
0 – 5
4.Pada anggota badan terbatas
Bekerja dengan tangan di atas kepala
5 – 10
Tabel 2.5. Besar Allowance yang Diberikan Berdasarkan Faktor-faktor yang
Berpengaruh (Lanjutan)
No Faktor Contoh Pekerjaan Kelonggaran (%)
D Kelelahan Mata *)Pencahayaan
BaikPencahayaan
Buruk
5.Seluruh anggota badan terbatas
Bekerja di lorongan pertambangan yang sempit
10 – 15
1.Pandangan yang terputus-putus
Membawa alat ukur 0,0 – 6,0 0,0 – 6,0
2.Pandangan yang hampir terus-menerus
Pekerjaan-pekerjaan yang teliti
6,0 – 7,5 6,0 – 7,5
3.
Pandangan terus-menerus dengan fokus berubah-ubah
Memeriksa cacat-cacat pada kain
7,5 – 19,0 7,5 – 16,0
4.
Pandangan terus-menerus dengan fokus tetap
Pemeriksaan yang sangat teliti
19,0 – 50,0 16,0 – 30,0
E
Keadaan Temperatur Tempat Kerja **)
Temperatur (°C)Kelemahan
NormalBerlebihan
1. Beku Di bawah 0 Di atas 0 Di atas 122. Rendah 0 - 13 10 – 0 12 – 53. Sedang 13 – 22 5 – 0 8 – 04. Normal 22 – 28 0 – 5 0 - 85. Tinggi 28 – 38 5 – 40 8 – 1006. Sangat tinggi Di atas 38 Di atas 40 Di atas 100F Keadaan Atmosfer ***)
1. BaikRuang yang berventilasi baik, udara segar
0
2. Cukup Ventilasi kurang baik, ada bau-bauan tidak berbahaya
0 – 5
3. Kurang baikAdanya debu-debu beracun dan tidak beracun
5 – 10
4. Buruk
Adanya bau-bauan berbahaya yang mengharuskan menggunakan alat-alat pernapasan
10 – 20
G Keadaan Lingkungan yang Baik
1.Bersih, sehat, cerah dengan kebisingan rendah
0
Tabel 2.5. Besar Allowance yang Diberikan Berdasarkan Faktor-faktor yang
Berpengaruh (Lanjutan)
No Faktor Contoh Pekerjaan Kelonggaran (%)2. Siklus kerja berulang-ulang antara 5-10 detik 0 – 1 3. Siklus kerja berulang-ulang antara 0-5 detik 1 – 34. Sangat bising 0 – 5
5.Jika faktor-faktor yang berpengaruh dapat menurunkan kualitas
0 – 5
6. Terasa adanya getaran lantai 5 – 10
7.Keadaan-keadaan yang luar biasa (bunyi, kebersihan, dll)
5 – 15
Keterangan: *) Kontras antara warna perlu diperhatikan
**) Tergantung juga pada keadaan ventilasi
***) Dipengaruhi juga oleh ketinggian tempat kerja dari permukaan
laut dan keadaan iklim
Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi:
Pria : 0 – 2,5%
Wanita : 2 – 5,0%
top related