epistaksis tht
Post on 27-Oct-2015
42 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
1. DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… 1
2. BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………………...2
3. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi ……………………………………………………………………………..... 3-4
Definisi ………………………………………………………………………………… 5
Etiologi ……………………………………………………………………………....... 5-8
Anamnesa dan pemeriksaan fisik …………………………………………………….. 8-9
Patofisiologi ……………………………………………………………………………. 10
Penatalaksanaan …………………………………………………………………….. 11-16
Komplikasi …………………………………………………………………………….. 17
4. BAB III : KESIMPULAN …………………………………………………………… . 18
5. BAB IV : DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 19
1
BAB I
PENDAHULUAN
Hidung berdarah dalam istilah kedokteran : Epistaksis atau Inggris : Epistaxis atau mimisan
adalah satu keadaan perdarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung. Epistaksis
adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit.
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu
dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati
epistaksis secara efektif. Epistaksis berat walupun jarat diujmpai dapat mengancam keselamatan
jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong.
Di Amerika, epistaksis dilaporkan terjadi pada 60% populasinya. Namun jarang sekali
menyebabkan kematian. Distribusinya bermacam-macam dengan insiden terbanyak pada usia
kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun. Kasus ini terbanyak terjadi pada laki-laki
disbanding wanita.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian
posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis
anterior. Sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri
ethmoidalis posterior. Kasus-kasus epistaksis kebanyakan terjadi pada daerah anterior septum
nasi, dan dapat diatasi dengan kauterisasi. Namun, epistaksis posterior lebih memerlukan
pendekatan yang lebih agresif termasuk metode posterior nasal packing dan endoscopic
cauterization.
Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit dan
berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter. Sebagian
besar darah keluar atau dimuntahkan kembali. Pengobatan yang tepat pada kasus epistaksis
adalah dilakukan penekanan pada pembuluh darah yang berdarah. Hamper 90% kasus epistaksis
anterior dapat diatasi dengan tekanan yang kuat dan terus menerus pada kedua sisi hidung tepat
diatas kartilago ala nasi. (1)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI
Gambar 1 : Anatomi vaskuler suplai darah septum nasi. Pleksus Kiesselbach atau Little’s area
merupakan lokasi epistaksis anterior paling banyak. (5)
Suplai darah cavum nasi berasal dari system karotis yaitu arteri karotis eksterna
membrikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui (1) :
1) Arteri Sphenopalatina
Cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang
memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
3
2) Arteri palatina descendens
Memberikan cabang arteri palatine mayor yang berjalan melalui kanalis incisivus
palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. System karotis interna
melalui arteri ofthalmika mempercabangkan arteri ethmoidalis anterior dan posterior
yang memperdarahi septum dan dinding lateral superior.
Atas
a.karotis interna
a.oftalmikus
a.ethmoidalis anterior a.ethmoidalis posterior
Bawah
a.karotis eksterna
a.maksilaris interna
a.sfenopalatina a.palatina mayor
4
II. Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan
penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan
mengganggu dan dapat pula mengancam nyawa. Factor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk
mengobati epistaksis.(1,2)
III.Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas
disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan local pada hidung atau
kelainan sistemik. Kelainan local misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah,
infeksi local, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit
kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal
dan kelainan congenital.
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung.
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (Little’s
area). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan
mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Secara umum, penyebab
epistaksis dibagi dua yaitu (1,2) :
i. Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma
yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu juga bisa
terjadi akibat adanya benda asing tajam, trauma pembedahan atau akibat iritasi gas yang
merangsang.
5
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang mengalami pembengkakan.
b) Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti
lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermitten,
kadang-kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma serta
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
Gambar 2. MRI. Massa padat hidung sisi kanan Gambar 3. MRI. Massa padat dan
dan epistaksis oleh tumor fibrosa soliter (3) epistaksis oleh tumor fibrosa soliter (3)
6
Gambar 4. Angiogram. Angiofibroma juvenile (3)
d) Kelainan congenital
Kelainan congenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis
hemoragik herediter ( hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber
disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.
e) Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi
peradarahan hidung. Bagian anterior septum nasi bila mengalami deviasi atau perforasi
akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung.
Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma
digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane mukosa septum dan
kemudian perdarahan.
f) Perubahan udara atau tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat
industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung.7
ii. Sistemik
a) Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia, bermacam-
macam anemia serta hemophilia
b) Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti pada aterosklerosis, nefritik kronik,
sirosis hepatis, sifilis, diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat
hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
c) Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah (dengue hemorrhagic fever).
Demam tifoid, influenza dan morbili juga dapat disertai epistaksis.
d) Gangguan hormonal
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-kadang
beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.
IV. Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.
Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian
hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.
Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan, frekuensi,
lamanya perdarahan dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Perlu ditanyakan juga
mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada
hidung. Bila perlu, ditanyakan juga mengenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang
berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi, aterosklerosis, koagulopati, riwayat
perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan
8
seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlopidin serta kebiasaan merokok dan
minum-minuman keras.
Pada pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan hemoptysis atau
hematemesis. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan speculum hidung dibuka dan dengan alat penghisap
dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, secret maupun darah yang sudah
membeku. Sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat
dan factor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang
dibasahi dengan larutan anestesi local yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang
ditetesi larutan adrenalin 1:1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokonstriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah
10-15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakuakan evaluasi.
Gambar 6. Obat-obat dan alat-alat yang diperlukan untuk tatalaksana epistaksis (2)
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau secret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan focus diagnostic yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. (1,2)
9
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,
mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus
diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior pada pasien dengan epistaksis
berulang dan secret hidung.
V. Patofisiologi
Secara anatomi perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang mempercabangkan
arteri ethmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai
vascular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri
sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior
septum. Semua pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui beberapa anastomosis.
Suatu pleksus vascular di sepanjang bagian anterior septum kartiloginosa menggabungkan
sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus Kiesselbach. Karena ciri
vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma fisik dan lingkungan
berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering. (1,4)
10
Gambar 7. Vaskularisasi pada septum nasal (5)
Semua perdarahan hidung disebabkan lepasnya lapisan mukosa hidung yang mengandung
banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai luka pada pembuluh darah yang
mengakibatkan perdarahan. (4)
VI. Penatalaksanaan
Aliran darah akan berhenti setelah darah berhasil dibekukan dalam proses pembekuan darah.
Sebuah opini medis mengatakan bahwa ketika perdarahan terjadi, lebih baik jika posisi kepala
dimiringkan ke depan (posisi dusuk) untuk mengalirkan darah dan mencegahnya masuk ke
kerongkongan dan lambung.
Pertolongan pertama jika terjadi mimisan adalah dengan memencet hidung bagian depan
selama 10-15 menit. Selama pemencetan sebaiknya bernafas melalui mulut. Perdarahan ringan
biasanya kan berhenti dengan cara ini. Lakukan hal yang sama jika terjadi perdarahan berulang.
Jika tidak berhenti sebaiknya kunjungi dokter untuk bantuan. Untuk perdarahan hidung yang
11
kronis yang disebabkan keringnya mukosa hidung, biasanya dicegah dengan menyemprotkan
salin pada hidung hingga tiga kali sehari.
Jika disebabkan tekanan, dapat digunakan kompres es untuk mengecilkan pembuluh darah
(vasokonstriksi). Jika masih tidak berhasil, dapat digunakan tampon hidung. Tampon hidung
dapat menhentikan perdarahan dan media ini dipasang 1-3 hari. (2)
Tujuan pengobatan epistaksis adalah :
- Menghentikan perdarahan
- Mencegah komplikasi
- Mencegah berulangnya epistaksis
Hal-hal yang penting adalah :
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung
depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes mellitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-oabatan misalnya : aspirin, fenilbutazon
Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut atau tidak.
a) Perbaiki keadaan umum penderita. Penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali
bila penderita sangat lemah atau keadaan syok
b) Menghentikan perdarahan
12
i. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan
cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan kea rah septum
selama beberapa menit.
ii. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi
dengan adrenalin dan pantokain/lidokain serta bantuan alat penghisap untuk
membersihkan bekuan darah.
iii. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan
kaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%, asam trikloroasetat 10% atau
dengan elektrokauter. Sebelum kasutik diberikan analgesia topical terlebih dahulu.
Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotic.
c) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin
yang dicampur betadine atau salep antibiotic. Pemakaian pelumas ini agar tampon
mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan
atau dicabut. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga
menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari
dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan
tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2x24 jam. Selama 2 hari
ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari factor penyebab epistaksis.
Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.
Gambar 8. Kauterisasi perdarahan (2)
13
Gambar 9 . Tampon anterior (5)
d) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon
Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2cm dan mempunyai 3
buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya.
Tampon harus menutup koana (nares posterior).
Untuk memasang tampon Bellocq :
Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di ororfaring dan
kemudian ditarik keluar melalui mulut
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon
Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung
Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan
yang lain membantu mendorong tampon ini kea rah nasofaring
Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior,
kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung
sehingga tampon posterior terfiksasi.
Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh
terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik
14
tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq
harus dirawat.
Gambar 10. Tampon Bellocq (6)
Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon
diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. Teknik sama dengan pemasangan
tampon Bellocq.
15
Gambar 11. Balon intranasal untuk mengontrol epistaksis (3)
Disamping pemasangan tampon dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi ada
yang berpendapat obat-obatan ini sedikit sekali manfaatnya.
Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.
16
VII. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai akibat dari
penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis yang hebat dapat terjadi syok, anemia dan
gagal ginjal. Turunnya tekanan darah dapat menimbulkan iskemik cerebri, insufisiensi kroroner
dan infark miokard. Hal-hal inilah yang menyebabkan kemaian. Bila terjadi hal seperti ini maka
penatalaksanaan terhadap syok harus segera dilakukan.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi sehingga perlu diberikan
antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septicemia
atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotic pada setiap
pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih
berlanjut dipasang tampon baru.
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius dan airmata verdarah (bloody tears) akibat mengalirnya darah secara retrograde
melalui duktus nasolakrimalis.
Pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole
atau sudut bibir jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter
balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis
mukosa hidung dan septum. (1,2,6)
VIII. Mencegah Perdarahan Berulang
Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, selanjutnya
perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan
fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pada pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus
bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada
kelainan sistemik. (1)
17
BAB III
KESIMPULAN
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapat berlangsung ringan sampai
berat dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Pada umumnya terdapat dua sumber
perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari
Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistaksis posterior dapat
berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior.
Perdarahan ini dapat berhenti sendiri atau sampai harus segera diberi pertolongan. Pada
kasus yang berat, pertolongan harus dilakukan di Rumah Sakit dengan orang yang
berkompetensi pada bidang ini.
Penentuan asal perdrahan pada kasus epistaksis sangat penting karena berkaitan dengan
cara penatalaksanaannya. Untuk menghentikan perdarahan ini dapat dilakukan tampon anterior,
kauterisasi dan tampon posterior.
Komplikasi pada pemasangan tampon anterior adalah sinusitis, airmata berdarah dan
septicemia. Sedangkan komplikasi pada pemasangan tampon posterior adalah otitis media,
hemotimpanum, laserasi palatum mole dan sudut bibir. Apabila terjadi peradarahan aktif pada
saat peradarahan pada saat pemasangan tampon posterior maka dilakukan ligasi arteri.(4,6)
18
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Nuty W. N, Endang M. , Epistaksis Dalam Soepardi EA, Iskandar H. (Ed). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tneggorok Kepala Leher. 5th edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2001. Hal 155-9.
2. Iskandar M. Teknik Penatalaksanaan Epistaksis. In : Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001.
Hal 143-6.
3. Elsie K, Vincent I, Nolan J. Epistaxis, Vascular Anatomy, Origins and Endovascular Treatment.
American Journal of Roentonology. 2000;174 (3) : 845-51.
4. Rodney J. , Schlosser. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 360:784-89
5. Lund VJ. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Gleeson (Ed) Scott’s Brown
Otolaryngology. Sixth ed. London : Butterworth, 1997 : p1/5/1-30.
6. Hall and Colman. Epistaxis. In: Burton M (ed). Hall and Colman’s Disease of the Ear, Nose and
Throat. Edinburg, London; Churchill Livingstone, 2000: p.119-22.
19
top related