eprints.unm.ac.ideprints.unm.ac.id/5035/1/bab i - bab v.docx · web viewsastra merupakan suatu...
Post on 07-Jun-2019
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra merupakan suatu refleksi dari kehidupan nyata yang diolah dalam
dunia imajinasi pengarang dan dideskripsikan melalui karya sastra. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menyampaikan suatu ide, gagasan dan pesan secara
terselubung (tidak langsung), dengan menggunakan medium bahasa. Sastra
merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai medianya,
sehingga kreatifitas sastra harus mampu melahirkan kreasi yang indah dan
berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia (Semi, 1988: 8).
Karya sastra muncul dari proses kontemplasi pengarang dari fenomena-
fenomena yang terjadi didalam realitas sosial budaya dan politik dimana seorang
pengarang itu menciptakan karyanya. Pengarang menuangkan ekspresinya melalui
teks yang berupa karya sastra seperti prosa,drama dan puisi.Pengarang
menuangkan ekspresi,ide dan gagasan tidak secara gamblang yang dapat langsung
dimengerti oleh pembaca.Sebuah karya sastra hanya dapat dipahami sesuai
dengan tingkat pengetahuan pembaca dengan karya tersebut.Karya sastra berasal
dari perpaduan antara dunia nyata dengan dunia imajinasi pengarang.Sehingga
memunculkan kebenaran yang spekulatif, hanya dapat dipahami secara empiris.
Salah satu pengarang yang karya sastranya banyak memuat fenomena realitas
sosial budaya dan politik adalah Pramoedya Ananta Toer. Karya Pramoedya yang
1
2
menunjukkan fenomena tersebut adalah novel Gadis Pantai. Dalam novel Gadis
Pantai ditemukan teks yang bermuatan dekonstruktif. Salah satu contoh teks
dekonstruktif dalam novel Gadis Pantai yaitu “Bendoro” tokoh dalam novel yang
digambarkan seseorang yang berbudi luhur tetapi setelah didekonstruksi tokoh
“Bendoro” dalam novel Gadis Pantai tidak berbudi luhur, dilihat dari trace(jejak -
jejak teks) yang menjelaskan makna dekonstruktif yang paradoks, kontradiktif
terhadap tokoh “Bendoro” yang digambarkan oleh pengarang.
Adanya indikasi teks dekonstruksi dalam novel Gadis Pantai berdasarkan
identifikasi awal tersebut. Menunjukkan unsur aporia yang dapat ditelusuri
melalui teks hierarki oposisi yang terkandung dalam teks novel Gadis Pantai.
Oleh karena itulah novel Gadis Pantai digunakan sebagai objek material atau
objek kajian dalam penelitian ini.
Dekonstruksi adalah suatu metode pembacaan teks yang berorientasi bahwa
tidak ada teks yang mempunyai makna absolut (makna tunggal). Ketika sebuah
teks mempunyai makna maka teks tersebut akan menghasilkan makna baru yang
meruntuhkan makna pertama yang telah ada. Merujuk pada oposisi biner (system
of differen) dalam dekonstruksi Derrida, pembaca dapat mendekonstruksi makna
dari sebuah karya sastra dan meruntuhkan pemaknaan yang telah dibangun oleh
pengarang.Derrida telah menyusun langkah-langkah dekonstruksi yaitu pertama,
mengindentifikasi hirarki oposisi dalam teksyang diistimewakan secara sistematis
dan yang tidak.Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya
saling ketergantungan atau saling bertentangan (prevalies-nya
3
dibalik).Ketiga,memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata
tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama (Norris, 2006:13).
Pembacaan karya sastra menurut paham Dekonstruksi, tidak
dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana yang
lazim dilakukan.Sebab, sekali lagi tak ada makna yang
dihadirkan oleh suatu yang sudah menentu.Melainkan justru
untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna
ironisnya.Pendekatan dekonstruksi bermaksud untuk melacak
unsur aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, makna
kontradiktif, makna ironi, dalam karya sastra yang dibaca.Unsur
dan bentuk-bentuk dalam karya itu dicari dan dipahami justru
dalam arti kebalikannya. Unsur-unsur yang tidak penting dilacak
dan kemudian dipentingkan, diberi makna, peran, sehingga akan
terlihat (atau: menonjol) peranannya dalam karya yang
bersangkutan.
Adapun penelitian yang relevan yaitu penelitian yang ditulis oleh Mahmudi
Arif, tahun 2013, dengan judul “ Bentuk-Bentuk Hierarki dan Pembalikan Teks
Oposisi dalam novel Cala Ibi karya Nukila Amal (Sebuah Analisis Dekonstruksi
Jacques Derrida).Berdasarkan hasil analisis dalam novel Cala Ibi karya Nukila
Amal ditemukan oposisi yang dominan oposisi binnear atau Hierarki Oposisi
berupa konsepkodrat, mimpi, keluarga (desakan keluarga), keharusan untuk
menikah, dan sifat penyayang keluarga. Istilah-istilah tersebut mengaburkan
posisi dari istilah kebalikannya atau oposisinya yang berupa: Pemikiran, realitas,
4
maya (tokoh Maya), penolakan terhadap pernikahan, dan sifat arogan Maya.
Dari identifikasi oposisi-oposisi binner tersebut dan setelah di temukan oposisi
yang dominan langkah selanjutnya adalah membalik oposisi tersebut dan
meruntuhkan argument yang menguatkannya.Hal ini dimaksudkan untuk mencari
makna paradoks atau makna ironi (makna kebalikan yang ditutupi oleh
pengarang).Dalam teori dekonstruksi hal ini disebut aporia atau keseimbangan.
Bahwa setiap oposisi memiliki ketergantungan satu sama lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk teks hierarki oposisi atau teks dominan dalam
novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer?
2. Bagaimanakah bentuk teks pembalikan oposisi dalam novel Gadis Pantai
karya Pramoedya Ananta Toer?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diajukan, tujuan dari penelitian ini
untuk:
1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk teks hierarki oposisi atau teks dominan dalam
novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
2. Menentukan bentuk teks pembalikan oposisi dalam novel Gadis Pantaikarya
Pramoedya Ananta Toer.
D. Manfaat Penelitian
5
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para pembaca,
baik bersifat teoritis maupun praktis.
1. Manfaat teoritis
a. Menjadi sumber refrensi bagi peneliti lain yang mengkaji novel Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer menggunakan pendekatan
dekonstruksi Jacques Derrida.
b. Sebagai kontribusi ilmu pengetahuan dibidang sastra khususnya di
Indonesia.
2. Manfaat praktis
a. Bagi pembaca penelitian ini dapat menambah minat baca dalam
mengapresiasikan karya sastra.
b. Penelitian ini dapat memperkaya wawasan sastra dan menambah khasanah
penelitian sastra Indonesia sehingga bermanfaat bagi perkembangan sastra
Indonesia.
6
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang akan diuraikan dalam penelitian ini merupakan acuan
untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini. Sehubungan dengan masalah
yang akan diteliti, kerangka teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini
diuraikan sebagai berikut :
1. Sastra
Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah
imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses
penciptaan di dalam semesta alam, bukan menyempurnakannya. Sastra terutama
merupakan suatu luapan emosi yang spontan.Dalam puisi terungkapkan nafsu-
nafsu kodrat yang menyala-nyala, hakikat hidup dan alam (Ballads dalam
Luxemburg, 1984:5).
Sastra berbeda dengan karya lain, dalam penulisan karya sastra, pencerita
yang dalam hal ini merupakan penulis, mencoba melukiskan hidup senyata-
nyatanya. Hal ini dilakukan oleh pencerita agar pembaca dapat mengambil
hikmah dari isi cerita yang diceritakan oleh pencerita (Rosidi, 1983:27).
2. Novel
Novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman
pada saat novel itu ditulis. Novel bersifat realistis, novel berkembang dari bentuk-
bentuk naratif nonfiksi: surat, jurnal, memoir atau biografi,kronik atau sejarah.
Dengan kata lain, novel berkembang dengan dokumen-dokumen. Secara stilistika,
6
8
novel menekankan pentingnya detil dan bersifat “mimesis” dalam arti yang sempit
(Wellek dan Warren, 1988:282-283).
Novel tidak dapat mewarisi kesatuan padat yang dimiliki cerpen.Novel juga
tidak mampu menjadikan topiknya menonjol seperti prinsip mikrokosmis
cerpen.Sebaliknya, novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter,
situasi sosial yang rumit, hubuungan yang melibatkan banyak atau sedikit
karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara
lebih mendetail (Stanton, 2007:90).
3. Pascastruktural
Pascastrukturalisme muncul dari revisi pemikiran strukturalisme.
Strukturalisme dimunculkan oleh Ferdinand de Sausure dalam bidang linguistik
umum, lalu diikuti Chomsky, aliran Praha dengan meletakkan struktur dalam dan
struktur luar pada teori struktur bahasa. Kemudian Levi-Strauss yang dikenal
sebagai bapak strukturalisme Perancis, meletakkan dasar antropologi struktural
dengan menggunakan oposisi binner sebagai strktur alaminya.Tokoh yang
berpengaruh dalam strukturalisme lainnya adalah Jacques Lacan, Roland Barthes,
Roman Jakobson, dan Michael Faucault (Lane dalam Rusbiantoro, 2001: 6-7).
Pascastrukturalisme bukanlah melakukan pertentangan
terhadapstrukturalisme.Pascastrukturalisme lahir dari perbaikan terhadap
strukturalisme.Istilah pascastrukturalisme pada hakikatnya bersifat plural.Hal ini
memiliki makna bahwa tidak ada pascastrukturalisme yang bersifat
tunggal.Semua pendekatan yang dibawah pohon pascastrukturalisme ini sangat
beragam.Pascastrukturalisme seringkali dikacaukan dengan istilah
9
pascamodern.Persamaan antara pascastrukturalisme dan strukturalisme terletak
pada segi, konsep tentang budaya dan konsep kematian subjek.Kedua konsep ini
mendapat kesepakatan dari kedua paham pemikiran tersebut. Baik
pascastrukturalisme dan strukturalisme sama-sama menggunakan bahasa dan
model-model tekstual yang sama.
Meskipun demikian, antara pascastruktural dengan strukturalisme memiliki
beberapa perbedaan.Hal yang paling utama dari perbedaan keduanya terletak
dalam usaha yang kuat dalam menyelidiki pengetahuan, kebenaran, epistimologi,
kekuasaan dan sejarah.Strukturalisme lebih pada usaha yang terarah untuk
mengungkapkan kebenaran yang sifatnya tunggal yang bersifat terdalam dan
objektif.Usaha itu diwujudkan dengan memunculkan subjek yang utama yang
tunggal, yakni terjebak dalam memanfaatkan berbagai konsep Marxis dan
Sigmund Freud.Pascastrukturalisme menganggap langkah-langkah kaum
strukturalis dengan menerapkan studi yang objektif, ilmiah, dan universal itu
merupakan langkah yang menyesatkan.Kritik-kritik kaum pascastruktural
terhadap kaum strukturalis diantaranya adalah persoalan konstruksi sosial dan
historis dari para pembaca dan sistem pengetahuan yang mereka miliki dalam
menentukan langkah dan teori yang ada.Untuk itu, pascastrukturalis berusaha
mengeksplorasi sistem kuasa pengetahuan melalui kondisi-kondisi sosiologis.
Pascastruturalisme mengembangkan satu pemikiran bahwa segala teks budaya
baik sastra dan yang bukan sastra dapat ditafsirkan dengan beraneka ragam cara
dan hasil yang berbeda ataupun hasil yang saling bertentangan. Selain itu, bila
kaum strukturalis hanya berbicara pada persoalan hukum-hukum yang terpolakan
10
secara matematis, pascastrukturalis justru sebaliknya.Pascastrukturalis merayakan
hasrat, kesenangan, dan permainan sebagai bagian dari pembaca mereka. Bila
hasil kebudayaan merupakan suatu produk sosial melalui kesepakatan dan ikatan-
ikatan tertentu, pascastrukturalisme memiliki pandangan bahwa hal itu adalah
produk dari kekuasaan dengan berbagai operasinya. Bila strukturalisme
mengusung kematian subjek, pascastrukturalisme justru memproklamasikan
kelahiran subjek (Susanto, 2012:225-226).
4. Dekonstruksi
Dekonstruksi adalah bagian dari kelompok postmodernis atau pascastruktural
yang ingin lepas putus dengan modernitas, maka pandangan dari modernitas
itulah yang jadi intinya.Oleh karena itu pandangan Derrida terhadap modernitas
tak dapat dilepaskan.Dekonstruksi yang dikembangkan Derrida adalah
penyangkalan terhadap oposisi ucapan atau tulisan, ada atau tak ada, murni atau
tercemar dan akhirnya penolakan terhadap kebenaran tunggal atau logos itu
sendiri. Tulisan menurut Derrida, bila dilihat dengan cara lain, merupakan
prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Dengan
demikian, bisa dikatakan, tulisan malah lebih istimewa ketimbang tuturan.Tulisan
adalah bentuk permainan bebas unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Dia
merupakan proses perubahan makna terus menerus dan perubahan ini
menempatkan dirinya diluar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Dalam hal ini
Derrida melihat tulisan sebagai jejak.Bekas-bekas tapak kaki yang harus kita
telusuri terus menerus jika ingin tahu siapa si empunya kaki. Proses berpikir,
11
menulis, dan berkarya berdasarkan jejak inilah yang disebut Derrida sebagai
differance (Norris, 2006: 8-10)
Pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau metode dalam membaca teks.
Adapun yang khas dalam carabaca dekonstruktif, sehingga dalam perjalanan
selanjutnya dia sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang
dilacaknya, untuk kemudian dibongkar, pertama-tama bukanlah inkonsistensi
logis, argumen yang lemah, ataupun premis yang tidak akurat yang terdapat dalam
teks, sebagai mana yang biasa dilakukan pemikiran moderenisme, melainkan
unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks
tersebut menjadi filosofis.Kasarnya, kemungkinan-kemungkinan filsafat itu
sendiri yang dipersoalkan (Norris, 2006:12).
Secara keseluruhan, proyeksi Derrida merupakan dekonstruksi terhadap
sejarah metafisika dan metafisika sejarah.Dengan membokong gagasan Heidegger
tentang destruksi, Derrida memaknai dekonstruksi tidak hanya sebagai
penghancuran, tetapi sebagai usaha positif yang menjaga dan mengedepankan
kenyataan yang tak tersuarakan, terlupakan, dan subordinat dari tradisi
filsafat.Derrida mencoba mengguncang dan mendesedimen warisan filsafat untuk
membiarkan ide-ide yang sebernanya ada semenjak lama tetapi dibisukan oleh
tradisi muncul ke permukaan (Asyhadie, 2004:11).
Tugas dekonstruksi adalah membongkar (deconstruire) struktur-struktur
metafisis dan retoris yang bermain di dalam teks, bukannya untuk menolak atau
menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk menginskripsikannya
kembali dengan cara lain (Chakravorty Spivak, 2003: 149).
12
Dekonstruksi Derrida selalu diawali dengan hal-hal yang tidak terpikirkan
atau tidak boleh dipikirkan.Jadi, paham ini menolak pandangan bahwa bahasa
memiliki makna yang pasti, sebagaimana yang disodorkan oleh
strukturalisme.Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang
dipergunakan untuk membahasakan objek dan yang bermakna tertentu dan
pasti.Oleh karena itulah dekonstruksi termasuk dalam aliran
poststrukturalisme.Jika strukturalisme dipandang sebagai sesuatu yang sistematik,
bahkan dianggap sebagai the science of sign maka poststrukturalisme menolak hal
tersebut.Sedangkan tujuan yang diinginkan metode dekonstruksi adalah
menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dia
menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
kepincangan di balik teks-teks (Norris, 2006: 13).
Pendekatan dekonstruksi ini bisa diterapkan dalam menganalisis karya sastra
maupun filsafat.Dalam pembacaan karya sastra, dekonstruksi bukan dimaksudkan
untuk menegaskan makna sebagaimana yang biasa dilakukan.Derrida selalu ingin
memulai filsafat dekonstruksinya dari hal-hal yang tidak terpikirkan atau hal-hal
yang tidak boleh dipikirkan.Maksudnya, bahwa unsur-unsur yang dilacaknya,
untuk kemudian dibongkar, bukanlah hal yang remeh temeh, melainkan unsur
yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang menjadikan teks tersebut
menjadi filosofis (Norris, 2006:12).
“Sastra dan kritik sastra, dimana perbedaan keduanya amat susah ditemukan.
Telah ditakdirkan (takdir ini sekaligus menjadi keistimewaannya) untuk
selamanya menjadi bahasa yang rigid dan, sebagai akibatnya, bahasa yang paling
13
labil tempat manusia menamai dan mentransformasikan dirinya” (De mann dalam
Norris2006: 17).
Kalimat yang dilontarkan kritikus sastra Paul de Mann ini adalah contoh yang
nyata tentang bagaimana carapikir kita terhadap sastra yang sekarang disebut
dekonstruksi.Cara ini meskipun paradoks, mengatakan bahwa ternyata pikiran
tidak hanya bekerja dalam teks sastra saja, melainkan juga dalam kritik sastra,
filsafat dan berbagai macam diskursus lainnya, termasuk dekonstruksi itu sendiri
(Norris, 2006:17).
Dekonstruksi tidaklah operasi tekstual yang tidak jelas yang diisyaratkan
dengan gaya prosa khas orang berkuasa, tetapi merupakan sebuah intervensi
konkret di dalam konteks yang dikendalikan oleh sebuah keprihatinan akan
keadilan yang tidak bisa terdekonstruksi (Derrida, 2005: 5)
Dekonstruksi tidak mencari hubungan antara pembacaan tertutup yang pas
untuk teks “sastrawi” dengan strategi-strategi yang diperlukan untuk mengetahui
implikasi-implikasi takterduga bahasa kritik.Karena seluruh bentuk tulisan
muncul dalam rangka melawan kerancuan makna dan maksud, maka tidak ada
pertanyaan yang ditujukan menggoyang status istimewa yang dimiliki dan peran
sekunder dan tertutup bahasa kritik sastra. De Mann menerima bulat-bulat prinsip
Derridean bahwa “tulisan”, dengan dialektika “kegelapan” dan “cahayanya”
mendahului segala kategori yang dicoba lekatkan oleh kebijaksanaan
konvensional terhadap tulisan (Norris, 2006:62).
Dekonstruksi bukanlah sebuah teori dalam pengertian normal, melainkan teori
yang membuka diri untuk ditafsirkan oleh siapapun lantaran dimensinya yang
14
amatlah luas. Setiap upaya untuk mendefinisikan dekonstruksi akan terbentur,
karena Derrida sendiri menolak membatasi pengertian dekonstruksi dalam satu
defenisi per se. Dekonstruksi adalah strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan
langsung jika kita membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi.
Lebih jauh bisa dikatakan bahwa dekonstruksi bersifat anti teori atau bahkan anti
metode, karena yang menjadi analisis didalamnya adalah permainan (play) dan
parodi.
Karena cenderung antiteori atau antimetode, kemunculan dekonstruksi pun
mendapat tanggapan serius dari sebagian besar ilmuwan, terutama bagi mereka
yang masih memegang kuat positivisme dan para “modernis”, baik yang
revisionis maupun dogmatis. Keberatan utama terhadap dekonstruksi adalah
bahwa “metode” ini cenderung relativis atau bahkan nihilistik terhadap diskursus,
sehingga takjarang dikatakan bahwa dekonstruksi hanyalah intellectual gimmick
(tipu muslihat intelektual) yang tidak berisi apa-apa selain permainan kata-
kata.Salah seorang profesor di Amerika, dengan setengah sinis, mengejek kaum
dekonstruksionis telah keracunan virus bernama derridium.Ini adalah kata
plesetan dari delirium, yakni sejenis gangguan mental yang mengakibatkan
halusinasi, kesintingan, dan delusi, yang melambangkan bahwa penderitanya
mengalami instabilitas emosi dan pikiran.Ejekan dan sinisme semacam ini
sebenarnya tidak beralasan jika kita meletakkan pemikiran Derrida dalam konteks
yang lebih luas (Al-Fayyadl, 2005: 8-9).
Sebuah teks selalu memiliki wajah ganda. Ketika kita berpikir mengenai
sebuah makna dan menarik kesimpulan dari makna tersebut, sering kali di saat
15
itulah teks menorehkan makna lain yang berbeda dari makna yang telah kita
ambil. Makna itu sering kali tidak terpikirkan karena mungkin merupakan makna
sekunder yang tidak dikehendaki oleh pengarang. Akan tetapi, keberadaan makna
itu sudah membuktikan bahwa pemahaman kita terhadap sebuah teks tidak pernah
tunggal dan menyimpan potensi penafsiran baru yang kerap kali tak
terduga.Penampakan sebuah teks tidak sedatar penampang
permukaannya.Pengertian-pengertian teks juga tidak sebatas pada pemaknaan
denotatif yang ingin menangkap makna tersurat, tapi juga pemaknaan konotatif
yang tak tersurat, atau logika yang dengan sengaja disembunyikan dibalik teks.
Dekonstruksi Derrida adalah sebentuk upaya untuk memberdayakan pemaknaan
tersirat-logika yang cenderung dilupakan atau diparkir karena prioritas dan pilihan
tertentu dari sebuah teks (Al-Fayyadl, 2005:78)
Dekonstruksi bisa dikatakan salah satu bentuk strategi literer terhadap teks-teks
filsafat. Selama ini, ada kesenjangan antara teks filsafat dan teks sastra. Teks
filsafat merefresentasikan kebenaran dengan bahasa rigoris yang disajikan dalam
bentuk logis, sistematis, dan konferehensip. Sementara itu, pretensi akan
kebenaran yang absolut hampir sulit ditemukan dalam teks sastra, karena di sini
makna tekstual di produksi dalam berbagai tingkat hubungan yang kerap kali
ambigu dan tidak berpusat pada satu kutub penafsiran saja. Dekonstruksi Derrida
mungkin bisa dibilang serangan langsung terhadap gaya berpikir logosentris yang
biasa ditemukan dalam teks-teks filsafat. Kemungkinan-kemungkinan yang
terciptamelalui cara baca dekonstruktif, hingga batas tertentu, akan turut membuat
teks filsafat tak ubahnya teks sastra dan melumerkan garis demarkasi yang secara
16
sewenang-wenang memisahkan dan menempatkan filsafat diatas sastra.
Kompartementalisasi yang diam-diam dibuat antara teks filsafat dan teks sastra
mengabaikan karasteristik teks yang intertekstual dan memiliki struktur yang
terbuka terhadap penafsiran-penafsiran yang takterbatas. Oleh karenanya,
mengembalikan pemikiran atau sistem diskurtif apapun kepada teks dan watak
intertekstualnya bukan saja mengaburkan batas antara filsafat dan sastra, tapi juga
merelatifkan setiap kecenderungan absolut yang hendak ditegakkan dalam sebuah
pemikiran (Al-fayyadl, 2005: 79:80).
Dekonstruksi adalah bentuk perwujudan teks lewat grammatology yang dalam
kehadirannya nanti memiliki ciri-ciri spesifik.Kekhususan itu ditentukan oleh
sikap, intensitas, maupun pengolahan bentuk oleh pengarangnya. Pada sisi lain
membaca teks juga memiliki sifat dekonstruktif. Perolehan makna lewat bentuk
teks harus diangkat ke luar, dibandingkan dengan logika berpikir maupun dengan
kemungkinan tanggapan yang diberikan pengarang terhadap fenomena yang
diolahnya. Dari situ juga akan hadir penafsiran presuposisi yang memperkaya
perolehan makna itu sendiri sehingga de- atau “jarak” terkurangi (Aminuddin,
2010: 129).
a. Teks sebagai Medan Pembacaan/Penulisan
Ditinjau dari pemanfaatannya, dekonstruksi merupakan “ the first instance a
philosophical theory and a theory directed towards the reading of philosophical
writing.” Philosophical writing tersebut bukan hanya terbatas melainkan juga
karya ilmiah maupun karya sastra. Konsepsi demikian diajukan berdasarkan
pemikiran bahwa karya ilmiah, karya filsafat maupun karya sastra penentuannya
17
didasarkan atas kaidah, kesepakatan, maupun institusi kesejarahan (Aminuddin
dkk, 2002 : 173).
Pemusatan perhatian pada medan teks, bukan berarti bahwa dekonstruksi
mengabaikan Phisical World. Pemusatan perhatian pada teks dilandasi pemikiran
bahwa dunia luar ternyatakan dalam kesadaran hanya melalui bahasa. Konsepsi
demikian dapat disejajarkan dengan wawasan semiotik yang menentukan
hubungan sign (tanda) ataupun Symbol bukan dengan objek sebagai realitas
konkret, melainkan dengan referent (acuan sebagaimana tergambar oleh simbol)
atau significatum (gambaran makna sebagai mana dihadirkan sign).
Sebagai double science (penulisan kembar) atau double reading (pembacaan
kembar) dekonstruksi telah membuka perspektif pemaknaan yang baru yang tidak
tersentuh semiotik sebagai kajian yang berhenti pada pemahaman sistem
lambang.Pada sisi lain kebermaknaan bahasa dalam teks secara inheren terkait
dengan tata bahasa dan retorik. Tata bahasa dalam teks dalam hal merujuk pada
hubungan sintagmatik, pada kebermaknaan relasi, dan komposisi. Sementara
retorik menjadikan bahasa dalam teks dapat menampilkan pengertian dan intense
tertentu sejalan dengan keberadaan untaian kata dan untaian kalimat tersebut
sebagai teks. Akan tetapi antara tata bahasa dan retorik tidak selalu menunjukkan
kesejajaran (Aminuddin dkk, 2002 :175).
b. Differance
Istilah differance pertama kali diperkenalkan oleh Derrida dalam ceramahnya
di depan Societe Francaise de Philosophie 27 Januari 1968. Kosakata ini
18
merupakan kosakata yang khusus diciptakan oleh Derrida untuk menggantikan
kosakata-kosakata yang lama dan menurutnya sudah usang atau tidak memadai.
Derrida mengakui bahwa differencesama sekali bukanlah kata-kata atau
konsep yang selalu menunjuk pada referens yang tetap.Karena itu, differance
tidak memiliki eksistensi atau esensi, dan tidak dapat dikategorikan sebagai
bentuk kehadiran atau absensi.Differance hanyalah strategi untuk memperlihatkan
perbedaan-perbedaan yang implisit sekaligus menyodorkan tantangan terhadap
totalitas makna dalam teks (Al-fayadl, 2005:111).
Differance adalah ruang mencari berbagai perspektif terhadap teks. Karena
yang dipentingkan adalah proses, maka tak diperlukan lagi upaya untuk
menyelamatkan teks. Teks harus dibiarkan apa adanya: centang-perenang tidak
stabil, ambigu, rentan dengan paradoks (Al-fayadl, 2005: 112).
Differance adalah kata Prancis.Berasal dari kata differer, yang berarti
“berbeda” sekaligus “menangguhkan”.Di sinilah letak perbedaan kata ini yang
sekaligus membuktikan tulisan lebih unggul ketimbang tuturan, sebagai mana
yang diyakini Derrida.Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan,
penjarakan yang dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain.
Bila dikaitkan dengan linguistik-struktural Sausurean proses differance ini
adalah penolakan terhadap adanya makna absolut, makna transendental, makna
universal, yang diklaim oleh pemikiran moderen umumnya. Dengan demikian,
apa yang dicari dan diburu manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal
yang ada “di depan” tidak ada, tidak satupun bisa dijadikan pegangan, karena satu
satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata menurut Derrida adalah
19
ketidakpastian. Semua harus ditangguhkan (differed) sembari kita terus bermain
bebas dengan perbedaan (to differ). Hal tersebut yang ditawarkan Derrida adalah
permainan ketidakpastian (Norris, 2003:11).
c. Oposisi Biner
Oposisi biner adalah cara pandang yang mirip ideologi. Ideologi menarik
batas yang tegas di antara oposisi konseptual, seperti kebenaran dan kekeliruan,
bermakna dan tidak bermakna, pusat dan pinggiran. Derrida mengatakan kita
harus menghancurkan oposisi yang bisa kita gunakan untuk berpikir dan
melestarikan metafisika dalam pola pikir kita, seperti misalnya: materi atau roh,
subjek atau objek, topeng atau kebenaran, tubuh atau jiwa, teks atau makna,
interior atau eksterior, representasi atau kehadiran, kenampakan atau esensi, dan
lain-lain. Derrida menambahkan, fonosentrisme dan logosentrisme berkaitan
dengan sentrisme itu sendiri; yakni hasrat manusia untuk menempatkan yang
sentral di titik berangkat dan titik akhir.Hasrat pada pusat, tekanan yang memberi
otoritas, inilah yang melahirkan konsep oposisi hierarki.Pengertian yang lebih
tinggi kedudukannya dalam oposisi tersebut masuk dalam kategori kehadiran dan
logos, sementara pengertian yang lebih rendah berfungsi mendefenisiskan
statusnya dan berarti kemunduran. Oposisi antara yang dapat diindra dan yang
dapat dinalar, jiwa dan tubuh, tampaknya mengakhiri “sejarah filsafat Barat”,
dengan mewariskan bebannya pada linguistik modern melalui oposisi makna dan
kata. Oposisi ujaran dan tulisan terjadi dalam pola tersebut (Derrida dalam Sarup,
2003: 62).
20
d. Aporia
Istilah “aporia” adalah istilah yang popular dalam kritik dekonstruktif.Secara
harfiah artinya adalah situasi seimbang.Menunjukkan adanya semacam simpul di
dalam teks yang tidak dapat diuraikan dan dituntaskan.Barthes mengatakan
bahwa, didalam teks segalanya harus diungkai, tak ada yang diartikan. Namun
aporia adalah simpul tekstual yang menolak untuk diungkai, dan beberapa unsur
yang dibahas diatas sebagai kontradiksi, paradoks, atau pergeseran dapat sama-
sama diklasifikasi dibawah tajuk aporia yang bersifat lebih umum( Barry, 2010 :
93 ).
Pembacaan karya sastra menurut paham Dekonstruksi, tidak dimaksudkan
untuk menegaskan makna sebagaimana yang lazim dilakukan.Sebab, sekali lagi
tak ada makna yang dihadirkan oleh suatu yang sudah menentu.Melainkan justru
untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironisnya.Pendekatan
dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsur aporia, yaitu yang berupa makna
paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya sastra yang
dibaca.Unsur dan bentuk-bentuk dalam karya itu dicari dan dipahami justru dalam
arti kebalikannya. Unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian
dipentingkan, diberi makna, peran, sehingga akan terlihat (atau: menonjol)
peranannya dalam karya yang bersangkutan. Misalnya seorang tokoh cerita yang
tidak penting berhubungan hanya sebagai tokoh periperial, tokoh kelompok
pinggiran saja, setelah didekonstruksi ia menjadi tokoh yang penting, yang
21
memiliki fungsi dan makna yang menonjol sehingga tak dapat ditinggalkan begitu
saja dalam memaknai karya itu (Nurgiantoro, 2000: 61).
Cara pembacaan dekonstruksi oleh Levy-Strauss dipandang sebagai sebuah
pembacaan kembar, double reading. Di satu pihak terdapat adanya makna (semu,
maya, pura-pura) yang ditawarkan, dilain pihak dapat pula dilacak adanya makna
kontradiktif, makna ironis. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa setiap teks
mengandung suatu aporia, sesuatu yang justru menumbangkan landasan dan
koherensinya sendiri, menggugurkan makna yang pasti ke dalam
ketidakmenentuan. Tiap teks akan mendekonstruksikan dirinya sendiri namun
sekaligus mendekonstruksi teks-teks yang lain (Nurgiantoro, 2000:60-61).
Dalam penerapannya, langkah-langkah dekonstruksi dapat disistematiskan
sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks, di mana biasanya terlihat
peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan yang mana yang
tidak.
b. Oposisi-oposisi tersebut dibalik, dengan menunjukkan adanya saling
ketergantungan di antara yang saling bertentangan.
c. Memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa
dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama (Norris, 2006: 14).
Derrida sudah memberikan sebuah metode pembacaan cermat sebuah teks
yang mirip dengan pendekatan-pendekatan psikoanalitik terhadap gejala-gejala
neurotik.Pembacaan cermat dekonstruktruktif itu, sesudah mengintrogasi teksnya,
menghancurkan pertahanannya, dan menunjukkan bahwa seperangkat oposisi
22
berpasangan ditemukan di dalamnya.Oposisi itu tersusun secara hierarkis dengan
menempatkan salah satu pasang sebagai yang istimewa. Dekonstruktor kemudian
menunjukkan bahwa identitas yang istimewa itu tergantung pada
pengeksklusiannya atas yang lain dan menunjukkan bahwa keutamaan terletak
pada yang justru disubordinasikan (Faruk, 2012: 217-218).
Dekonstruksi memang berpusar pada teks.Ia tak lepas dari teks, tetapi faham
yang dipegang lebih luas.Teks tak dibatasi maknanya.Bahkan Dekonstruksi juga
menolak struktur lama yang telah lazim.Bagi dekonstruksionis, menganggap
bahwa bahasa teks bersifat logis dan konsisten. Misalkan, sebuah tema besar
bahwa kejahatan akan terkalahkan dengan kebaikan oleh faham dekonstruksi tak
selalu dibenarkan. Di era sekarang sastra boleh saja membalik tema besar
itu.Karenanya, pemahaman teks tak selalu berurutan, melainkan bolak-balik
(Endraswara, 2003: 169).
B. Kerangka Pikir
Kerangka pikir dalam penilitian ini adalah pertama karya sastra terbagi atas
tiga bagian yaitu puisi, prosa dan drama. Kemudian novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer yang termasuk dalam prosa dan objek kajian dalam
penelitian ini, teori dekonstruksi sebagai objek formal atau pisau bedah yang
digunakan dalam penelitian pada novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta
Toer, kemudian masuk ke dalam tahap analisis hierarki teks oposisi, kemudian
menentukan teks pembalikan oposisi sehingga menghasilkan temuan.
23
Bagan kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
DramaPuisi Prosa
Novel Gadis Pantai
Dekonstruksi Jacques Derrida
Teks Pembalikan Oposisi
Herarki Teks Oposisi
Temuan
Karya Sastra
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup dan Desain Penelitian
1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal yang berkaitan
dengan cara kerja guna mendapatkan data hingga menarik kesimpulan. Penelitian
ini merupakan penelitian pustaka yang bersifat deskriptif kualitatif. Masalah yang
akan dianalisis adalah teks dekonstruktif dalam novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer menggunakan pendekatan dekonstruksi Derrida. Dalam
metode penelitian ini akan dijelaskan beberapa aspek yang meliputi desain
penelitian, data dan sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik
analisis data.
2. Desain Penelitian
Penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan
lainnya. Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena kemantapan peneliti
berdasarkan pengalaman penelitiannya dan metode kualitatif dapat memberikan
rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh
metode kuantitatif. Maka dari itu penelitian kualitatif digunakan dalam
menganalisis teks novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dengan
menggunakan pendekatan dekonstruksi sebagai objek formal atau pisau bedah
dalam penelitian deskriptif kualitatif,untuk membedah teks dalam novel Gadis
23
25
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer sebagai objek material (objek kajian) dalam
penelitian.
B. Definisi Istilah
Tujuan definisi istilah yaitu memberikan pemahaman istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian agar penelitian ini menjadi jelas.Novel Gadis
Pantaimenjadi objek kajian.Penelitian ini menggunakan pendekataan
dekonstruksi yaitu metode pembacaan teks Derrida yang memfokuskan kajiannya
pada hirarki oposisi dan pembalikan oposisi dalam teks novel Gadis
Pantai.Peneliti akan memberikan batasan penelitian agar lebih mudah untuk
dipahami.
1. Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu
sendiri. Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur
ataupun teks sebagai realitas, apa adanya, melainkan juga mau
mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga
pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terungkapkan bisa tampil
dan justru menjadi dominan.
2. Oposisi bineradalah sistem perbedaan (system of difference) misalnya
oposisi antara penanda/petanda, tuturan/tulisan, baik/buruk, dan
sebagainya. Dalam oposisi binner ini, menurut tradisi filsafat Barat,
istilah-istilah yang pertama lebih superior dari yang kedua. Oposisi biner
merupakancara pandang yang mirip ideologi. Ideologi menarik batas yang
tegas di antara oposisi konseptual, seperti kebenaran dan kekeliruan,
bermakna dan tidak bermakna, pusat dan pinggiran.
26
3. Hierarki oposisiatau teks dominan adalah peristilahan dari oposisi biner
dalam teks yang diistimewakan secara sistematis, dengan penataan
sedemikian rupa sehingga bisa tampil utuh dimana, teks diarahkan pada
kesimpulan yang bersifat tunggal.
4. Pembalikan oposisi adalah upaya meruntuhkan anggapan terhadap suatu
teks yang berpusat pada kecendrungan pada oposisi tertentu atau
kecenderungan terhadap suatu pusat tertentu (logosentrisme), pembalikan
oposisi menunjukkan adanya ketergantungan diantara yang saling
bertentangan. Hal-hal yang ditutupi oleh pengarang, kemudian
ditampilkan berdasarkan makna kebalikan dari apa yang di istimewakan.
Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa anggapan terhadap suatu teks
tidak pernah utuh, karena akan selalu hadir makna lain dari makna yang
sebenarnya yang ingin dihadirkan.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kutipan-kutipan yang
mengandung hierarki oposisi yang dominan dan pembalikan oposisi di
dalam teks novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer (Lentera Dipantara, 2003).
27
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data yang relevan dengan penelitian. Pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan banyak refrensi yang beraneka ragam yang bersifat
ilmiah antara lain buku teori, jurnal, artikel, skripsi, novel dan sebagainya yang
bersifat ilmiah yang mempunyai relevansi dengan penelitian yang dilakukan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik baca
dan teknik catat. Dibawah ini akan diuraikan :
1. Teknik Baca
Teknik baca dilakukan dengan membaca semua refrensi yang relevan
dengan penelitian khususnya teori dekonstruksi dan sumber data yang
utama yaitu novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
2. Teknik catat
Mencatat semua kutipan-kutipan teks dari novel yang mengandung hirarki
oposisi yang akan dijadikan objek kajian sesuai dengan pendekatan
dekonstruksi.
E. Teknik Analisis Data
Data yang didapatkan melalui proses pengumpulan data selanjutnya,dianalisis
dan hasil analisisnya disajikan secara deskriptif. Tahap analisis data dalam
penelitian ini antara lain :
Berdasarkan pembacaan tersebut dilakukan identifikasi, pengklasifikasian
kemudian data dianalisis sesuai dengan teori dekonstruksi Jacques Derrida sebagai
berikut :
28
a. Menentukan teks yang mengandung hirarki oposisi yang dominan dalam teks
novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
b. Teks yang mengandung hirarki oposisi dalam novel yang telah ditentukan
sebagai objek kajian, kemudian dilakukan pembalikan oposisi. Pembalikan
oposisi menunjukkan adanya ketergantungan diantara yang saling
bertentangan. Hal-hal yang ditutupi oleh pengarang, kemudian ditampilkan
berdasarkan makna kebalikan dari apa yang diistimewakan. Hal ini bertujuan
untuk menunjukkan bahwa anggapan terhadap suatu teks tidak pernah utuh,
karena akan selalu hadir makna lain dari makna yang sebenarnya yang ingin
dihadirkan dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
c. Dari langkah-langkah yang dilakukan diatas akandiberikansebuah pemaknaan
baru terhadap teks yang terkandung dalam Novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer.
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyajian Hasil Analisis Data
Pembacaan teks dalam sebuah novel dengan menggunakan pendekataan
dekonstruksi tidak seperti pembacaan teks yang biasa dilakukan, sehingga tidak
dapat memaknai teks secara unity. Derrida berpendapat bahwa tidak ada teks yang
mempunyai makna absolut, ketika sebuah teks telah diberi makna, maka akan
muncul makna lain selain makna yang telah ada sebelumnya.Pembacaan biasa
selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan kadang berusaha mencari
makna yang lebih benar yang teks itu sendiri barangkali tidak memuatnya.
Pembacaan dekonstruktifhanya ingin mencari keutuhan atau kegagalan tiap upaya
teks menutupi diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
Pendekatan dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsur aporia, yaitu yang
berupa makna paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya sastra
yang dibaca.Unsur dan bentuk-bentuk dalam karya itu dicari dan dipahami justru
dalam arti kebalikannya. Unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian
dipentingkan, diberi makna, peran, sehingga akan terlihat (atau: menonjol)
peranannya dalam karya yang bersangkutan. Misalnya seorang tokoh cerita yang
tidak penting berhubungan hanya sebagai tokoh periperial, tokoh kelompok
pinggiran saja, setelah didekonstruksi tokoh tersebut menjadi tokoh yang penting,
yang memiliki fungsi dan makna yang menonjol sehingga tak dapat ditinggalkan
begitu saja dalam memaknai karya itu (Nurgiantoro, 2000: 61).
28
30
Dari uraian diatas untuk dapat memaknai novel “Gadis Pantai “ secara
konferehensif dan mendalam maka dilakukakan analisis dengan menggunakan
pendekatan dekonstruksi Jacques Derrida.
Langkah-langkah dekonstruksi yang telah disistematiskan oleh Derrida
sebagai berikut: pertama, mengidentifikasi hirarki oposisi dalam teks di mana
biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan
mana yang tidak. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya
saling ketergantungan diantara yang saling bertentangan atau privilise-
nya(Derridadalam Norris,2006:13).
1. Hierarki Oposisi atau Teks Dominan dalam Teks Novel “Gadis Pantai”
(Teks Dominan/yang Diistimewakan dalam Teks)
Oposisi biner adalah cara pandang yang mirip ideologi. Ideologi menarik
batas yang tegas di antara oposisi konseptual, seperti kebenaran dan kekeliruan,
bermakna dan tidak bermakna, pusat dan pinggiran. Derrida mengatakan kita
harus menghancurkan oposisi yang biasa kita gunakan untuk berpikir dan
melestarikan metafisika dalam pola pikir kita, seperti misalnya: materi/roh,
subjek/objek, topeng/kebenaran, tubuh/jiwa, teks/makna, interior/eksterior,
representasi/kehadiran, kenampakan/esensi, dan lain-lain. Derrida menambahkan,
fonosentrisme dan logosentrisme berkaitan dengan sentrisme itu sendiri; yakni
hasrat manusia untuk menempatkan yang sentral di titik berangkat dan titik akhir.
Hierarki Oposisi adalah peristilahan dari oposisi binner dalam teks yang
diistimewakan secara sistematis, dengan penataan sedemikian rupa sehingga bisa
tampil utuh dimana, teks diarahkan pada kesimpulan yang bersifat tunggal.
31
Untuk menentukan hierarki oposisi dalam teks novel “Gadis Pantai” pertama
yang dilakukan yaitu membaca novel “Gadis Pantai” dengan metode pembacaan
normal dan menentukan hierarki oposisi. Kemudian membuat konsep dikotomi
dalam oposisi biner mendasar dalam dua hal yang berlawanan Derrida (dalam
Ratna,2004:225).
Dikotomi oposisi biner dalam novel “Gadis Pantai” sebagai berikut :
TABEL IDikotomi Oposisi Biner
“Gadis Pantai”
Kerinduan gadis pantai Keterasingan gadis pantai
Pendamping hidup/istri Pemuas nafsu
Bendoro yang berbudi luhur Bendoro tidak berbudi luhur
Penduduk kampung nelayan
yang bodoh
Penduduk kampung nelayan
yang cerdas
Analisis Data
a. Kerinduan Gadis Pantai
Hierarki Oposisi atau teks dominan yang dimunculkan pengarang adalah
kerinduan Gadis Pantai. Setelah Gadis Pantai tinggal di rumah Bendoro suami
yang baru dikenal yang menikahinya dengan diwakili sebilah keris. Tempat yang
baru baginya, orang –orang yang asing baginya, ditambah lagi Gadis Pantai tidak
bisa lagi melakukan kebiasaannya seperti dikampung nelayan, seperti mandi di
laut, membantu ibunya menumbuk udang untuk dibuat terasi, membantu
bapaknya memperbaiki jala yang tersangkut karang saat bapaknya pulang melaut.
32
Gadis Pantai sangat merindukan kampung nelayan tanah kelahirannya, tanah
dimana dia tumbuh dewasa berikut kutipannya.
(1) Ia masih teringat waktu tong-tong bambu kepala kampung bertalu tanpa hentinya sampai bayi terakhir dapat melarikan dirikampung yang terkepung maut. Dan dalam gelap itu daun-daun kelapa tua beterbangan cari kepala manusia menjadi korbannya. Waktu penduduk kampung pulang ke tempatnya, tak sebatang rumputpun tinggal berdiri. Batang-batang kelapa silang melintang memagari pantai. Batang kelapa bapak sendiri tinggal satu yang baru saja berbuah, begitu rendah, rasanya bisa dijolok begitu mudah. Tapi seluruh buahnya telah jadi cokelat dan dua minggu kemudian pada rontok. Busuk isinya. Pada waktu itulah iamenderita kelaparan. Tak kurang dari seminggu. Tebat-tebat lenyap dan tanggul-tanggulnya hilang tanpa bekas. Tak seekor bibit bandeng tinggal di tempatnya. Tapi kelaparan waktu itu hanya kelaparan karena tak makan beras-jagung. Setidaknya laut masih memberi makan, kerang-kerangan panjang, kepiting, ganggang laut. Gadis Pantai melompat. Waktu dilihatnya Emak memasuki pintu, ia lari menubruk wanita tua itu dan merangkulnya,“Mak, emak mari pulang.” (Gadis Pantai, 2003 : 43-44)
Kerinduan Gadis Pantai ditonjolkan oleh pengarang, membangun sebuah
persepsi makna bahwa Gadis Pantai sangat merindukan kampung halamannya. Di
kampung nelayan ia dapat berbuat sesuka hatinya, tanpa ada yang mengatur dan
tanpa pengawasan, tanpa ada aturan nilai-nilai kemapanan dan kesopanan yang
membelenggu pikiran serta eksistensinya sebagai seorang manusia yang utuh yang
memiliki hak atas kemauan dan dirinya sendiri.
Kemudian rasa simpatik kepada orang tua Gadis Pantai yang ditinggalkannya
di kampung nelayan, membuatnya risau sangsi kepada dirinya sendiri, ia tidak
bisa lagi membantu kedua orang tuanya di kampung nelayan bekerja untuk
menghidupi keluarganya berikut kutipannya.
(2) Kedua orang wanita itu terdiam. Dan ombak laut berdebur-deburan riuh. Sedang angin bersuling-suling tiada henti-hentinya, membuat Gadis Pantai teringat pada bapak. Tiba-tiba ia bertanya
33
sendiri, “siapa yang masak buat bapak sekarang?”Bujang itu diam saja. Gadis Pantai berbicara sendiri, “mestinya aku. Sekarang bapak tinggal seorang diri. Emak ada di sini.”“Jangan pikirkan orang lelaki, Mas Nganten, biarpun bapak sendiri. Lelaki tahu bawa diri, biarpun di neraka.”
“Dia bapakku, mbok.” (Gadis Pantai, 2003 : 65)
Gadis Pantai yang dulunya wanita yang aktif dalam kehidupan sehari-harinya.
sering bekerja membantu orang tuanya di kampung nelayan, kini ia telah menjadi
seorang istri pembesar (Bendoro), yang tak dibiarkan untuk bekerja, istri seorang
pembesar cuma harus berdandan cantik merawat kecantikan wajah dan tubuh,
belajar keterampilan seperti membatik dan mengaji. Istri seorang pembesar tabuh
untuk ke dapur mengerjakan pekerjaan layaknya ibu rumahtangga segala sesuatu
keperluannya diurus oleh bujang atau pelayannya berikut kutipannya.
(3) Tak tahulah aku,” kata Gadis Pantai, tapi dalam pikirannya terbayang emak yang kini terpaksa menumbuk jagung sendirian. Dan kalau bapak pergi ke laut, dan jam tujuh pagi mulai tidur, ia harus gantungkan sendiri jala pada tiang jemuran dari balok berat yang tinggi itu. Ia harus tarik sendiri talinya, ia harus bikin katrol itu berputar. Tak ada yang bantu menaikkan jala dengan cabang kayu. Sekarang emak harus menumbuk sendiri udang kering buat dapatkan uang beberapa benggol dari orang tionghoa dari kota itu.”Apa sesungguhnya dikerjakan di sini?”(Gadis Pantai, 2003: 69)
Kerinduan Gadis Pantai dikuatkan dominasinya oleh pengarang dengan
mendeskripsikan kerisauan Gadis Pantai yang memikirkan tentang kesenjangan
antara kehidupan di kota tempatnya ia tinggal dengan kehidupan di kampung
nelayan tempatnya ia dibesarkan berikut kutipannya.
(4) Dan ia pun kenangkan kembali kampung nelayan nun jauh di tepi pantai, hari-hari yang penuh tawa, keringat yang mengucur rela, tangan-tangan yang cokelat kuat, dan lemah lembut dan kasar yang pada saling membantu. Ia tersedan-sedan di sini. Semua pada banting membanting. Buat apa? Buat apa? Ia merintih buat kehormatan dan nasi. Di sana di kampung nelayan tetesan deras
34
keringat membuat orang tak sempat membuat kehormatan, bahkan tak sempat mendapatkan nasi dalam hidupnya terkecuali jagung tumbuk yang kuning. Betapa mahalnya kehormatan dan nasi! (Gadis Pantai, 2003 : 133)
Kerinduan Gadis Pantai adalah peristilahan yang diistimewakan oleh
pengarang, yang telah diatur sedemikian rupa dan sistematis agar tampak utuh dan
mengarahkan kepada suatu pemaknaan tunggal. Pengarang dalam novel Gadis
Pantai membangun sebuah makna bahwa Gadis Pantai rindu akan kampung
nelayan tempat di mana dia tumbuh dewasa.
b. Pendamping Hidup/Istri
Hierarki oposisi atau oposisi dominan yang diistimewakan oleh pengarang
adalah pendamping hidup/istri. Pengarang menonjolkan Gadis Pantai adalah
seorang pendamping hidup/istri Bendoro. Seorang wanita dari kampung nelayan
yang dinikahi oleh Bendoro seorang pembesar keturunan ningrat yang bekerja di
kantor adminitrasi Belanda berikut kutipannya.
(5) Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu dia tahu. Kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.(Gadis Pantai, 2003 : 12)
Pernikahan adalah suatu bentuk pelembagaan cinta, dimana dua manusia yang
berbeda genre bersatu dan membangun sebuah keluarga, hidup berdampingan
menjalani kehidupan dan meneruskan keturunan secara biologis. Pasangan yang
telah menikah disebut suami dan istri. Pengarang menonjolkan predikat istri yang
disandang oleh Gadis Pantai, istri seorang terhormat yang bernama Bendoro.
35
Predikat istri yang disandang Gadis Pantai lebih diistimewakan lagi oleh
pengarang dengan menggambarkan dalam cerita kebiasaan yang dilakukan oleh
istri-istri pembesar berikut kutipannya.
(6) “ceh, ceh, ceh. Itu tidak layak lagi bagi wanita utama, Mas Nganten. Wanita utama cukup menggerakkan jari dan semua akan terjadi. Tapi sekarang ini, sahaya inilah yang mengurus Mas Nganten. Sebelum Bendoro memberi izin, Mas Nganten belum bisa bertemu. Mari, mari sahaya mandikan. Pakai selop itu.”(Gadis Pantai, 2003 : 28)
Istri seorang Bendoro tidak lagi bekerja semua keperluannya harus dilayani
oleh pelayannya. Faham kemapanan ditampilkan oleh pengarang mengarahkan
kita kepada persepsi Gadis Pantai adalah istri seorang Bendoro yang mempunyai
kekayaan dan kekuasaan berikut kutipannya.
(7) Tanpa melihat dirasainya orang itu membuka kelambu dan didengarnya bisikan perlahan:“Mas Nganten.”Rasanya jutaan semut rangrang berkerumun di setiap titik dari kulitnya.Ia tak menjawab.“Mas Nganten,” sekali lagi.Seperti boneka otomat ia bergerak memusatkan diri kearah datangnya suara. Kemudian duduk membungkuk berjagangkan kedua belah tangan di atas kasur.“Sahaya Bendoro,” ia berbisik.“Akulah suamimu.”“Sahaya Bendoro.”“Mengucaplah.”Gadis Pantai tak mengerti“Syukur pada Allah.”(Gadis Pantai, 2003 :32)
Pada malam pertama Bendoro dan Gadis Pantai bertemu, Bendoro
memperkenalkan dirinya kepada Gadis Pantai bahwa dia adalah suaminya.
Bendoro telah menikahinya, pengakuan Bendoro kepada Gadis Pantai bahwa dia
adalah suaminya yang menikahinya dengan diwakili sebilah keris, memperkuat
bahwa oposisi Gadis Pantai pendamping hidup/istri adalah oposisi dominan.
36
Saat percakapan Gadis Pantai dengan Bendoro, Gadis Pantai meminta izin
pulang ke kampung nelayan karena rindu dengan keluarganya. Pengarang
menonjolkan predikat Gadis Pantai sebagai istri dari Bendoro berikut kutipannya.
(8) “Kau tak boleh pergi seorang diri.”“Sahaya, Bendoro.”“Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti kerjakan. Diamlah kau sekarang.Malam semakin larut,” lalu seperti ada yang terlupa, “tapi kau belum punya persiapan.”“Apalah yang perlu dipersiapkan Bendoro?”“Husy, kau harus selalu ingat-ingat, tak boleh ada sesuatu yang terjadi yang menyebabkan penghormatan orang berkurang padaku.Bawalah juga beras sekarung.(Gadis Pantai, 2003 :136)
Pada saat Gadis Pantai pulang ke kampung nelayan, Gadis Pantai harus
menjaga kehormatan suaminya. Ia harus mencerminkan tingkah laku dan sikap
sebagaimana istri orang yang terhormat. Peristilahan pendamping hidup/istri
diistimewakan oleh pengarang.
c. Bendoro yang Berbudi Luhur
Hierarki Oposisi atau teks dominan adalah Bendoro yang berbudi luhur.
Pengarang mengistimewakan peristilahan Bendoro yang berbudi luhur. Karakter
Bendoro digambarkan sebagai seorang yang berkharisma, lemah-lembut,
bijaksana, mempunyai kekuasaan dan kekayaan, taat beribadah serta memiliki
jiwa yang sosial berikut kutipannya.
(9) Ia angkat pandangnya sekilas ke depan sana ketika dari samping Bendoro masuk. Ia mengenakan sorban, teluk belanga sutera putih, sarung bugis hitam, selembar selendang berenda melibat lehernya. Selopnya tak dikenakannya pada tangan kanannya ia membawa tasbih, pada tangan kirinya ia membawa bangku lipat tempat menaruhkan Qur’an. Tanpa bicara sepatah pun. Bahkan tanpa menengok kepada seorang lain di dalam khalwat itu, langsung ia menuju ke permadani di depan, meletakkan bangku lipat di
37
samping kiri dan tasbih di samping kanan dan mulai bersembahyang.(Gadis Pantai, 2003 : 36)
Bendoro mengajarkan Gadis Pantai mendirikan shalat. Di kampung nelayan
Gadis Pantai tak pernah shalat bahkan menyucikan diri dengan air whudu tidak
pernah ia lakukan. Pengarang menonjolkan peristilahan Bendoro yang berbudi
luhur, yang mengajari istrinya Gadis Pantai untuk belajar tentang ilmu agama dan
mendirikan shalat. Bendoro tidak hanya mengajarkan shalat tetapi Gadis Pantai
juga diajar membaca ayat suci Qur’an berikut kutipannya.
(10) Ia menggigil waktu Bendoro mengubah duduk menghadapinya, membuka bangku lipat tempat Qur’an, mengeluarkan bilah bambu kecil dari dalam kitab dan ia rasai pandangnya mengawasinya memberi perintah. Seumur hidup baru sekali ia menggigil. Kenangan pada belaian tangannya yang lembut dan lunak lenyap. Tiba-tiba didengarnya ayam dibelakang rumah berkokok kembali. Moga-moga matari telah terbit seperti kemarin, ia mendoa. Dan Bendoro telah menyelesaikan “Bismillahirohmanirrohim”, sekali lagi menatapnya dari permadani sana. Ia tak mampu mengulang menirukan. Ia tak pernah diajarkandemikian. Tanpa setahunya air matanya telah menitik membasahi lubang rukuhnya.(Gadis Pantai, 2003 : 37)
Bendoro mengetahui latar belakang istrinya yang berasal dari kampung
nelayan yang di mana penduduknya tidak berpendidikan. Budi luhur Bendoro
memberikan pendidikan kepada istrinya khususnya pendidikan keagamaan dan
keterampilan seperti membatik, merajut suatu pengetahuan baru yang tidak
didapatkan Gadis Pantai di kampung nelayan tempat ia berasal. Bendoro yang
berbudi luhur dijadikan peristilahan yang dominan oleh pengarang yang
ditampilkan pada redaksi percakapan Gadis Pantai dan Bapaknya di kampung
nelayan berikut kutipannya.
(11) Bapak mengikuti arah tudingan, menggeleng.“aku bawakan benang jala.”
38
“Ya, setiap orang bawa benang jala dari kota.”“Dan tasbih.”“Dari Bendoro, buat bapak saja. Hitam.Dari kayu keras buatan Mekah.”“buat apa tasbih? Bendoro menyampaikan salam. Kalau kampung belum punya surau, Bendoro bersedia membiayai pendiriannya.”(Gadis Pantai, 2003 : 177)
Selanjutnya, Bendoro ingin membangun surau di kampung nelayan, Bendoro
ingin merubah penduduk kampung nelayan menjadi manusia yang bertaqwa dan
mengenal keyakinan lebih dalam khususnya islam, Bendoro tidak hanya ingin
membangun surau di kampung nelayan. Bendoro juga ingin mengirim guru
mengaji ke kampung nelayan agar semua penduduk kampung nelayan bisa
membaca Qur’an, mempelajari ajaran-ajaran agama islam dan mengamalkannya
berikut kutipannya.
(12) “:Bendoro bilang bisa kirim guru ngaji.”“Bagaimana kita bisa upahi dia?”“Bendoro yang upahi.”“Barangkali ikan akan lebih jinak kalau kita ngaji, ya?”“Barangkali Belum dicoba.”(Gadis Pantai, 2003 : 178)
Budi luhur Bendoro yang dijadikan oposisi dominan yang ditonjolkan oleh
pengarang, tidak hanya dalam konteks keagamaan tetapi juga dalam konteks
sosial. Bendoro memberikan fasilitas pendidikan, tempat tinggal kepada
keponakan-keponakannya. Memberikan tenaga pengajar yang terbaik dalam
bidang pendidikan untuk keponakan-keponakannya berikut kutipannya.
(13) Dengar!orangtuamu telah kirimkan kau kemari. Aku telah berikan rumah, sekolah, segalanya terbaik bagimu. Aku berikan guru ngaji terbaik di kota ini. Aku berikan pengajaran baik di dunia ini. Sabda Allah dan nabi apakah yang masih kurang? Kalau semua ini masih tidak mencukupi bagi pendidikanmu.(Gadis Pantai, 2003 : 118)
39
Hierarki Oposisi atau oposisi dominan Bendoro yang berbudi luhur sangat
ditonjolkan oleh pengarang dari kutipan-kutipan di atas yang disebut Derrida
sebagai sebuah jejak-jejak teks. Setelah ditinjau dari redaksi narasi dalam novel
Gadis Pantai peristilahan Bendoro yang berbudi luhur adalah peristilahan yang
dominan yang ditampilkan oleh pengarang secara sistematis.
d. Penduduk Kampung Nelayan yang Bodoh
Hierarki Oposisi atau teks dominan adalah penduduk kampung nelayan yang
bodoh. Penduduk kampung nelayan yang miskin, kotor, tidak pernah beribadah
dan tidak berpendidikan. Oposisi tersebut didominankan oleh pengarang dalam
novel Gadis Pantai berikut kutipannya.
(14) “Mas Nganten,” Mardinah memanggil lagi. Dan tanpa menunggu reaksi ia meneruskan.”Mas Nganten bisa membaca bukan?”Mengerti kelemahannya sendiri Gadis Pantai Terdiam.“Ada surat buat Mas Nganten.”“Aku tak membutuhkan surat dari siapapun.”“Tapi surat ini sangat penting.”(Gadis Pantai, 2003 : 129)
Mardinah merendahkan Gadis Pantai yang tidak dapat membaca. Mardinah
sengaja karena mengetahui latar belakang kehidupan Gadis Pantai yang tidak
pernah mengenyam bangku pendidikan. Pada zaman kolonial Belanda, hanya
anak keturunan bangsawan dan pejabat yang dapat mengenyam bangku
pendidikan. Sedangkan pribumi tidak dapat mengenyam pendidikan karena
fasilitas pendidikan yang ada semua milik kolonial Belanda, pribumi hanya
menjadi buruh dalam kerja paksa (Rodi) simak kutipan di bawah ini.
(15) “Anakku pergi kalau benar ada bukti. Berikan surat itu.”“Ya, berikan.”Pria-pria pengiring itu pun mengundurkan diri ketakutan melihat orang banyak masuk. Dan Mardinah terpaksa menyerahkan surat itu kepada bapak.
40
”Siapa tadi yang bilang bisa baca?”“Aku tapi duapuluh tahun aku tak pernah baca.”Ia pandang-pandang surat itu, mencoba membacanya.“Ayo apa katanya?”“lama benar.”“Aku bilang duapuluh tahun aku tak membaca.”“Kami sudah dengar tapi apa katanya?”“Tapi ini bukan tulisan Jawa.”“Lantas tulisan apa.”“Tulisan iblis kali.”Mardinah mendengus menghinakan.”Tadi sudah kubacakan tapi kalian tak percaya.”“Hitung ada berapa baris surat itu,” bapak meminta.“satu, dua, tiga, ..... duapuluh.”“Yang dibaca Cuma sebaris tadi.Mengapa baris-baris lain tidak?”(Gadis Pantai, 2003 :204-205)
Hierarki Oposisi atau oposisi dominan penduduk kampung nelayan yang
bodoh jelas dalam kutipan di atas. Penduduk kampung nelayan tidak ada satupun
yang mampu membaca dan menulis. Bagaimana pengarang mendeskripsikan
keterbelakangan penduduk kampung nelayan dalam konteks pendidikan. Oposisi
ini sangat jelas di tonjolkan pengarang sebagai oposisi dominan. Penduduk
kampung nelayan yang bodoh setelah diidentifikasi adalah oposisi dominan yang
diistimewakan pengarang dalam teks novel Gadis Pantai.
2. Pembalikan Hierarki Oposisi
Dalam novel “Gadis Pantai” telah diidentifikasi oposisi-oposisi yang dominan
yaitu pernikahan bahagia gadis pantai, kerinduan Gadis Pantai, pendamping
hidup/istri, bendoro yang berbudi luhur dan penduduk kampung nelayan yang
bodoh.Oposisi-oposisi yang disebutkan tadi adalah oposisi dominan yang
diistimewakan sehingga mengesampingkan peristilahan yang kedua sebagaimana
yang dituliskan dalam dikotomi oposisi binner diatas.
41
Setelah menentukan hierarki oposisi yang dominan dalam novel Gadis
Pantai.maka langkah selanjutnya yaitu pembalikan hierarki oposisi dan
meruntuhkannya.Pendekatan dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsur aporia
yaitu yang berupa makna paradoks, kontradiktif, dan makna ironi dari sebuah
karya sastra yang dibaca.Makna paradoks, kontradiktif, dan ironi dilihat dari
hierarki oposisi dominan yang direfresentasikan oleh pengarang dengan
mengistimewakan salah satu oposisi dalam penceritaannya. Oposisi kedua atau
peristilahan kedua dalam tabel dikotomi oposisi biner di atas yang
dikesampingkan pengarang dan dijadikan sebagai pemaknaan skunder, akan
meruntuhkan oposisi pertama atau peristilahan pertama dalam tabel dikotomi
oposisi biner yang diistimewakan oleh pengarang dalam teks novel Gadis Pantai,
berikut tabel pembalikan hierarki oposisi dalam novel Gadis Pantai.
TABEL IIPembalikan Hierarki Oposisi
“Gadis Pantai”Keterasingan gadis pantai Kerinduan gadis pantai
Pemuas nafsu Pendamping hidup/istri
Bendoro tidak berbudi luhur Bendoro yang berbudi luhur
Penduduk kampung nelayan
yang cerdas
Penduduk kampung nelayan
yang bodoh
42
Ananlisis Data
a. Pembalikan Hierarki Oposisi (Oposisi Biner) Kerinduan Gadis Pantai
MenjadiKeterasingan Gadis Pantai
Kerinduan Gadis Pantai dalam konteks psikologi sangat mendasar, karena
ketika seseorang berada pada sebuah tempat yang baru dengan lingkungan sosial
yang baru, memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi. Gadis
Pantai merasa rindu kepada kedua orangtuanya, saudara-saudara dan keluarga di
kampung nelayan. Memori kenangan dan kebiasaan yang dilakukannya saat masih
berada di kampung nelayan selalu mengusik pikirannya. Secara intuitif gadis
pantai sangat tertekan karena di usianya yang belia dia harus meninggalkan orang
tuanya yang belum sempat ia bahagiakan. Di samping itu lingkungan yang baru
rumah Bendoro suaminya sangat tidak ramah. Ia harus mengikuti nilai-nilai
kemapanan yang berlaku di dalam rumah Bendoro seorang pembesar yang
dinikahinya. Kerinduan Gadis Pantai juga disebabkan oleh anggapan terhadap
dirinya sendiri bahwa ia tak membutuhkan kekayaan dan kehormatan untuk
mendapatkan kebahagiaan. Oposisi kerinduan Gadis Pantai tersebut yang
didominankan oleh pengarang.
Teks dominan kerinduan Gadis Pantai yang diistimewakan pengarang
diruntuhkan oleh oposisi yang kedua yaitu keterasingan Gadis Pantai, yang
dikesampingkan oleh pengarang. Hal ini dapat dilihat dari peninjauan jejak-jejak
teks (trace). Menjelaskan bahwa, bukan kerinduan yang dirasakan Gadis Pantai
tetapi keterasingan berikut kutipannya.
(16) Di ruangan ini tak ada lesung. Tak ada bau udang kering. Tak ada babon tongkol tergantung di atas pengasapan. Tak ada
43
yang bergantung di dinding kecuali kaligrafi-kaligrafi Arab yang tak mengeluarkan bau. (Gadis Pantai, 2003 : 26)
Dari kutipan di atas terproyeksikan bahwa oposisi dominan kerinduan Gadis
Pantai yang diistimewakan pengarang terimplikasi oleh oposisi kedua yang
dikesampingkan oleh pengarang yaitu keterasingan Gadis Pantai. Di dalam
oposisi binner peristilahan pertama memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
peristilahan kedua dengan kata lain oposisi pertama adalah suatu pemaknaan
primer sedangkan oposisi kedua adalah suatu makna sekunder. Pengarang dalam
novel Gadis Pantai, menonjolkan kerinduan Gadis Pantai sebagai oposisi dominan
setelah dilakukan pembalikan hierarki oposisi, oposisi kerinduan Gadis Pantai
diruntuhkan oleh peristilahan kedua yaitu keterasingan Gadis Pantai, dengan
meninjau jejak-jejak teks (trace) dalam novel Gadis Pantai. Implikasi peristilahan
kedua terhadap oposisi dominan diperkuat dalam kutipan berikut.
(17) “Aku tak suka di sini, mak.”“Segalanya harus dipelajari, nak.Lama-kelamaan kau akan suka.”“Mak bawa aku pulang.”(Gadis Pantai, 2003 :44)
(18) “Makan, mas Nganten! Mengapa melamun saja?”Gadis Pantai berhenti makan.Ia bangkit.Tanpa menengok masuk ke dalam kamar, langsung masuk ke kasur kesayangan dan mengucurkan air matanya.Ia rasai bagaimana dirinya seperti seekor ayam yang direnggut dari rumpunnya.Harus hidup seorang diri, di tengah orang yang begitu banyak.Tak boleh punya sahabat, Cuma boleh menunggu perintah, Cuma boleh memerintahkan. Betapa sunyi! Betapa dingin.Dan iklim seperti ini tak pernah dirasainya di pantai, betapapun cuaca pagi telah membekukan seluruh minyak kelapa di dalam botol.Ia puaskan tangisnya sampai tertidur.(Gadis Pantai, 2003 :46)
Di tinjau dari jejak-jejak teks dalam novel Gadis Pantai, ditemukan unsur
aporia yaitu makna kontradiktif, makna ironi dan makna paradoks. Kontruksi
44
makna tunggal yang dibangun oleh pengarang Kerinduan Gadis Pantai
diruntuhkan oleh oposisi kedua keterasingan Gadis Pantai. Peninjauan dari jejak-
jejak teks dalam novel Gadis pantai memberikan pemaknaan baru yaitu
keterasingan Gadis Pantai. Bukan kerinduan yang dirasakan oleh gadis pantai
tetapi rasa keterasingan dimana ia berada disebuah tempat dan lingkungan sosial
yang baru. Gadis pantai di hadapkan dengan hal-hal baru dan harus mengikuti
nilai-nilai kemanapan yang tak biasa baginya. Itulah yang menyebabkan Gadis
pantai tak betah tinggal dirumah bendoro dan ingin pulang ke kampung nelayan
bukan kerinduannya yang membuatnya ingin pulang tetapi rasa keterasingannya.
Oposisi dominan yang ditampilkan sedemikian utuh dan sistematis oleh
pengarang yang mengarahkan pembaca kepada pemaknaan tunggal diruntuhkan
setelah dilakukan pembalikan hierarki oposisi terhadap oposisi dominan.
b. Pembalikan Hierarki Oposisi (Oposisi Biner) Pendamping Hidup/istri
Menjadi Pemuas Nafsu
Gadis Pantai adalah seorang istri dari Bendoro seorang bangsawan dan pejabat
tinggi yang bekerja di kantor adminitrasi Belanda. Gadis Pantai dinikahi oleh
Bendoro kemudian di bawa ke kota untuk tinggal bersama. Meninggalkan tanah
kelahirannya kampung nelayan dan tinggal di kota sebagai istri pembesar. Latar
belakang keluarga Gadis Pantai yang sederhana membuatnya sulit untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Sebagai istri seorang bangsawan
dan pejabat tinggi, Gadis Pantai harus menjaga sikapnya memaksakan ia menjadi
dewasa sebelum waktunya. Sebagai seorang nyonya kehidupan Gadis Pantai yang
sederhana berubah menjadi kehidupan yang mapan. Segala keperluan kebutuhan
45
dalam kehidupannya terpenuhi bahkan Gadis Pantai mempunyai bujang atau
pelayan untuk membantu menyiapkan segala keperluannya.
Pengarang membangun sebuah pemaknaan bahwa gadis pantai adalah
pendamping hidup /istri Bendoro. Peristilahan Gadis Pantai adalah pendamping
hidup/istri bendoro didominankan oleh pengarang dalam novel Gadis Pantai.
Pendamping hidup/istri menjadi oposisi dominan yang mengarahkan kita kepada
pemaknaan tunggal, bahwa Gadis Pantai adalah pendamping hidup/istri Bendoro,
sesuai pembahasan hierarki oposisi sebelumnya.
Setelah menemukan hierarki oposisi/oposisi dominan yaitu pendamping
hidup/istri dilakukan pembalikan hierarki oposisi. Oposisi binner pendamping
hidup/istri-pemuas nafsu sesuai dengan dikotomi oposisi binner pada tabel di atas
menunjukkan pendamping hidup/istri adalah oposisi dominan yang diistimewakan
pengarang. Oposisi dominan tersebut diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu
pemuas nafsu dengan dasar peninjauan jejak-jejak teks (trace) dalam novel Gadis
Pantai berikut kutipannya.
(19) Bulan demi bulan lewat. Dan Bendoro hampir tak pernah di temuinya.Tak pernah memasuki kamarnya.Perkawinan Bendoro Bupati semakin dekat.Dan Bendoro semakin jarang di rumah.Kota mulai dihias.Putri dari kraton Solo harus disambut lebih hebat dari putri kabupaten Jepara.(Gadis Pantai, 2003 : 71)
Dari kutipan di atas dapat diorientasikan bahwa oposisi dominan pendamping
hidup/istri terimplikasi oleh oposisi kedua yaitu pemuas nafsu. Dalam kutipan di
atas mendeskripsikan bahwa Bendoro tidak pernah menemui istrinya selama
berbulan-bulan. Nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah pernikahan dimarjinalkan.
Dalam ikatan suami-istri, suami harus menafkahi istrinya lahir maupun batin.
46
Tetapi bendoro tidak melakukannya. Hal tersebut mengarahkan kita pada suatu
pemaknaan bahwa Gadis Pantai hanya merupakan objek seksual Bendoro dengan
kata lain pemuas nafsu. Identifikasi oposisi dominan yang terimplikasi oleh
oposisi kedua deperkuat lagi dengan teks berikut.
(20) Dan jam tiga pagi ia terbangun. Bujang tak ada di bawah ranjangnya lagi.tapi Bendoro telah tergolek di sampingnya.Pada jam lima subuh, waktu bujang masuk ke dalam kamar, dilihatnya Mas Ngantennya masih tergolek. Ia sedang mendekat dan didengarnya suara memanggilnya:Wanita itu meraihkan lengannya, di bawah tengkuk Gadis Pantai, mendudukkannya, merapikan rambutnya yang kacau balau, membenahi baju dan kainnya yang lepas porak-poranda, menarik-narik seprai yang berkerut sana-sini.“Ooh! Mas Nganten tidak sakit,” katanya bujang sekali lagi, dan menurunkannya dari ranjang.“mbok,” sepantun panggilan dengan suara lembut.“Tidak apa-apa Mas Nganten yang sudah terjadi ini takkan terulang lagi.”“Apa yang sudah terjadi.Mbok?”Dan setelah Gadis Pantai terpapah berdiri, bujang menunjukkan seprai yang dihiasi beberapa titik merah kecoklatan , berkata,”Sedikit kesakitan Mas Nganten, dan beberapa titik darah setelah setahun ini tidaklah apa-apa.” (Gadis Pantai, 2003 : 72-73)
(21) “Sahaya, Bendoro.”“Aku terlalu lelah, Mas Nganten.Buatlah aku bermimpi tanpa tertidur.”“Inilah sahaya Bendoro.”“Naiklah ke ranjang, Mas Nganten.”“Sahaya, Bendoro.”Dan naiklah Gadis Pantai ke atas kasur.Ia duduk termangu sambil duduk.“Tidaklah kau lelah seperti aku, Mas Nganten?”“Tidak Bendoro.”“Biarpun begitu, Bertidurlah.”(Gadis Pantai, 2003 : 101)
Gadis pantai hanya bertemu dengan Bendoro pada malam hari di kamar
tidurnya, sesekali saat suaminya memberi tahu bahwa ia tidak pulang hari ini.
Teks di atas menerangkan bahwa oposisi dominan Gadis Pantai sebagai
47
pendamping hidup/istri bendoro ditangguhkan. Inilah yang disebut dengan istilah
differencedalam pembacaan dekonstruktif. Kontruksi makna tunggal yang
dibangun oleh pengarang yaitu Gadis Pantai adalah pendamping hidup/istri
Bendoro ditangguhkan dan diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu pemuas nafsu
yang dikesampingkan oleh pengarang, hal tersebut dilihat dari peninjauan jejak-
jejak teks dalam novel Gadis Pantai berikut kutipannya.
(22) Pagi sebelum matari bayi itu mandi. Kini sudah jam sembilan pagi. Dan Bendoro belum juga datang menengok. Di kampungnya sana, seorang bapak takkan turun ke laut tiga hari sebelum anaknya lahir, dan tiga hari sesudahnya. Si bapak akan tunggu anaknya, akan jaga keselamatannya dan ibunya. Ia ingat tetangganya-baru sekali istrinya melahirkan. Ia berjaga siang malam di luar rumah. Dan waktu bayinya lahir menangis kencang, ia tubruk pintu. Lupa pada wajahnya yang bercorengan air mata.Sekarang kepada siapa anak ini kuserahkan kalau tidak pada bapaknya sendiri?Tidak, tidak mungkin, dia bapaknya, bapaknya sendiri.Tapi mengapa tak juga datang, sekalipun Cuma buat menengok?(Gadis Pantai, 2003 : 252)
Oposisi kedua yaitu pemuas nafsu dikesampingkan oleh pengarang, dan
mengistimewakan oposisi pertama yaitu Gadis Pantai pendamping hidup/istri.
Pada teks di atas menerangkan bahwa Gadis Pantai bukan pendamping Hidup/istri
Bendoro, hanya merupakan objek seksual Bendoro. Pada saat kelahiran anaknya
Bendoro tak ada, sedikitpun tak peduli pada keselamatan bayi dan istrinya.
Perlakuan Gadis Pantai sebagai seorang istri tidak didapatkannya. Setelah
diidentifikasi oposisi dominan dalam teks Gadis Pantai, kemudian dilakukan
pembalikan hierarki oposisi sesuai dengan peninjauan jejak-jejak teks (trace)
maka didapatkanlah pemaknaan baru. Oposisi dominan Gadis Pantai sebagai
pendamping hidup/istri diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu pemuas nafsu. Dapat
48
disimpulkan bahwa Gadis Pantai bukan pendamping hidup/istri Bendoro, Gadis
Pantai hanya merupakan objek seksual/pemuas nafsu Bendoro.
c. Pembalikan Hierarki Oposisi (Oposisi Biner) Bendoro yang Berbudi Luhur
Menjadi Bendoro Tidak Berbudi Luhur
Pengarang mengistimewakan peristilahan Bendoro yang berbudi luhur.
Karakter Bendoro digambarkan sebagai seorang yang berkharisma, lemah-lembut,
bijaksana, mempunyai kekuasaan dan kekayaan, taat beribadah serta memiliki
jiwa yang sosial. Oposisi yang didominankan pengarang yang diidentifikasi dalam
pembahasan hierarki oposisi di atas, pada tahapan ini akan dilakukan pembalikan
teks hierarki oposisi sesuai dengan dikotomi oposisi binner yang telah ditentukan
pada tabel di atas. Oposisi yang telah ditentukan dalam dikotomi oposisi binner
yaitu oposisi Bendoro yang berbudi luhur-Bendoro tidak berbudi luhur. Oposisi
Bendoro yang berbudi luhur yang didominankan oleh pengarang akan dibalikkan
dan diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu Bendoro tidak berbudi luhur sesuai
dengan peninjauan jejak-jejak teks dalam novel Gadis Pantai berikut kutipannya.
(23) Ia lihat orang itu membangunkan bujang dengan kakinya. Dan bujang itu bangun, cepat-cepat menggulung tikar dengan bantal didalamnya, merangkak mundur kemudian berdirimembungkuk,keluar dari pintu lenyapdari pandangan.(Gadis Pantai, 2003 : 31)
Dari teks tersebut menerangkan bahwa oposisi dominan Bendoro berbudi luhur
terimplikasi oleh oposisi kedua Bendoro tidak berbudi luhur. Kutipan di atas
merefresentasekan bahwa Bendoro tidak mengikuti nilai-nilai luhur yang berlaku
sesama manusia. Bendoro membangunkan pelayannya dengan menggunakan kaki.
Hal tersebut adalah suatu tindakan yang melanggar nilai-nilai etika kesopanan.
49
Tindakan itu tidak menggambarkan budi luhur yang dimiliki Bendoro. Dari
peninjauan jejak-jejak teks tersebut maka oposisi dominan Bendoro berbudi luhur
yang diistimewakan pengarang diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu Bendoro
tidak berbudi luhur. Runtuhnya kontruksi pemaknaan yang dibangun pengarang
diperkuat dengan teks berikut berikut kutipannya.
(24) “Sahaya belum lagi mempersembahkan anak ini kepada Bendoro. Inilah putri tuanku Bendoro. Putri tuanku sendiri, bukan anak orang lain.”“Tidurkan dia di tempatnya.”“Sahaya adalah emaknya, sahaya yang hina ini, tuanku. Bagaimana sahaya harus urus dia di kampung nelayan sana? Ia anak seorang bangsawan, tak mungkin diasuh secara kampung.”“Aku tak suruh kau asuh anakku.”“Haruskah sahaya pergi tanpa anak sahaya sendiri, tuanku?”“Kau tak pernah sebanyak itu bicara.”“Apakah yang takkan diperbuat oleh seorang ibu buat anaknya?”“Kau tinggalkan rumah ini!bawa seluruh perhiasan dan pakaian. Semua yang telah kuberikan padamu.Bapakmu sudah kuberikan uang kerugian, cukup untuk membeli dua perahu sekaligus dengan segala perlengkapannya.Kau sendiri ini...,” Bendoro mengeluarkan kanrong berat berisikan mata uang...pesangon.” carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari gedung ini.Lupakan aku ngerti?”“Sahaya, Bendoro.”“Dan ingat.Pergunakan pesangon itu baik-baik. Dan...tak boleh sekali-kali kau menginjakkan kaki di kota ini. Terkutuklah kau bila melanggarnya.Kau dengar?”(Gadis Pantai, 2003 : 257-258)
Bendoro mengusir Gadis Pantai dari rumahnya setelah melahirkan bayi
perempuan, dan memisahkan Gadis Pantai dengan anaknya. Hal tersebut tidak
sesuai dengan oposisi yang didominankan oleh pengarang. Pengarang
membangun konstruksi pemaknaan Bendoro yang berbudi luhur diistimewakan
dalam cerita. Setelah diidentifikasi melalui jejak teks maka kontruksi pemaknaan
50
tersebut diruntuhkan dengan pembalikan hierarki oposisi. Oposisi dominan
Bendoro berbudi luhur diruntuhkan oleh oposisi kedua Bendoro tidak berbudi
luhur ditinjau dari jejak-jejak teks(trace) dalam novel Gadis Pantai. Setelah
dilakukan pembalikan hierarki oposisi maka ditemukan unsur aporia yaitu makna
kontadiktif, makna ironis dan makna paradoks dalam teks novel Gadis Pantai.
Bendoro yang berbudi luhur sebagai oposisi dominan yang diistimewakan
diruntuhkan oleh oposisi kedua Bendoro tidak berbudi luhur.
d. Pembalikan Hierarki Oposisi (Oposisi Biner) Penduduk Kampung Nelayan
yang Bodoh Menjadi Penduduk Kampung Nelayan yang Cerdas
Pengarang merefresentasekan penduduk kampung nelayan yang tidak
berpendidikan, kotor, miskin dan tidak pernah beribadah. Penduduk kampung
yang hanya tahu bagaimana menutupi kebutuhan hidup dengan cara melaut.
Penduduk kampung nelayan tak punya waktu untuk menuntut ilmu atau
mengeyam pendidikan di bangku sekolah. Peristilahan penduduk kampung
nelayan yang bodoh diistimewakan oleh pengarang dan setelah diidentifikasi
peristilahan tersebut menjadi oposisi dominan dalam teks novel Gadis Pantai.
Oposisi binner sesuai dengan dikotomi oposisi dalam tabel di atas yaitu penduduk
kampung nelayan yang bodoh – penduduk kampung nelayan yang cerdas. Oposisi
dominan penduduk kampung nelayan yang bodoh diruntuhkan oleh oposisi kedua
yaitu penduduk kampung nelayan yang cerdas. Hal tersebut dilihat dari jejak-jejak
teks yang menerangkan bahwa oposisi dominan terimplikasi oleh oposisi kedua
atau pemaknaan kedua yang sengaja atau tidak sengaja ditutupi oleh pengarang
berikut kutipannya.
51
(25) Waktu matari sudah menjalankan dinasnya, orang-orang pria telah kumpul kembali di rumah bapak.“Jadi bagaimana?”“Ya, begitulah, semua menurut rencana.”“Benar, dua kuda itu di bunuh?”“Tidak, Cuma dipindahkan ke tempat lain.”“Tapi kusr-kusir itu...”“Cuma ruji gerobaknya kami gergaji tandas.”“Kusir-kusir itu... katanya kuda-kuda dibunuh.”“Ah, memang kuda-kuda itu terpaksa dipukuli agak keras.”“Di mana kuda-kuda itu sekarang.”“Dibawa, ke hutan ditinggalkan di sana.”“Anakku sudah mendarat?”“Sudah tapi ditahan dulu.”“bagaimana pengiring-pengiring itu?”“Mereka semua bersenjata tajam, dalam kegelapan kami pukuli mereka dengan dayung.”“Apa kata mereka?”“Anak bapak akan dibunuh di tengah jalan.”“Apa alasannya?”“Mereka tidak tahu.Mereka hanya tahu melaksanakan perintah dari Demak.”(Gadis Pantai, 2003 : 211).
Teks di atas menerangkan bahwa penduduk kampung nelayan tidak bodoh,
karena mereka bisa membuat suatu rencana yang cerdas untuk menahan agar
Gadis Pantai tidak dibawa pulang ke kota oleh Mardinah utusan kerajaan Demak
yang ingin membunuh Gadis Pantai. Bapak Gadis Pantai dan penduduk kampung
membuat rencana agar Mardinah yang mempunyai niat jahat tidak membawa
pulang Gadis Pantai kembali ke kota. Dokar yang mengantar Mardinah ke
kampung nelayan dihancurkan dan kuda-kudanya disembunyikan ke hutan.
Kampung nelayan seolah-olah diserang oleh bajak laut Mardinah dan
pengiringnya diajak lari ketengah laut, di tengah laut pengiring Mardinah dipaksa
mengakui niat jahatnya oleh penduduk kampung. Setelah pengiring itu mengakui
niat jahatnya mereka di tenggelamkan di tengah laut oleh penduduk kampung dan
52
Mardinah ditahan di kampung nelayan agar tidak ke kota untuk melapor ke polisi
atau marsose.
Rencana yang dibuat oleh penduduk kampung adalah sebuah rencana yang
cerdas, terstruktur dan sistematis. Dari jejak-jejak teks tersebut maka oposisi
dominan penduduk kampung nelayan yang bodoh yang diistimewakan oleh
pengarang diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu penduduk nelayan yang cerdas.
Teks di atas mengarahhkan kita pada refresentasi makna kontradiktif dari
pemaknaan tunggal yang dibangun oleh pengarang. Oposisi dominan penduduk
kampung nelayan yang bodoh setelah dilakukan pembalikan hierarki oposisi,
diruntuhkan oleh oposisi kedua penduduk kampung nelayan yang cerdas.
Kontruksi pemaknaan tunggal yang dibangun oleh pengarang terimplikasi oleh
pemaknaan kedua, setelah dilakukan pembalikan hierarki oposisi maka ditemukan
pemaknaan baru yang kontradiktif, ironi dan paradoks terhadap pemaknaan
tunggal yang dibangun pengarang. Makna baru yang ditemukan yaitu penduduk
kampung nelayan yang cerdas.
B. Pembahasan
Pembacaan karya sastra menurut faham Dekonstruksi, tidak dimaksudkan
untuk menegaskan makna sebagaimana yang lazim dilakukan.Sebab, sekali lagi
tak ada makna yang dihadirkan oleh suatu yang sudah menentu.Melainkan justru
untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan
dekonstruksi bermaksud untuk melacak hierarki oposisi atau teks dominan
kemudian dilakukan pembalikan teks oposisi yang memberikan sebuah
pemaknaan baru dari sebuah karya sastra.
53
Dalam penerapannya, langkah-langkah dekonstruksi dapat di sistematiskan
sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks, di mana
biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan yang
mana yang tidak. Kedua, Oposisi-oposisi itu dibalik, dengan menunjukkan adanya
saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan. Ketiga,
Memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa
dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama (Norris, 2006: 14).
Muatan-muatan teori dekonstruksi ketika diaplikasikan ke dalam teks Novel
Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, telah kita bagi dalam pembahasan
sebelumnya. Namun akan kita bahas lebih lanjut tentang korelasi antara teori dan
objek.
Dalam penelitian novel Gadis Pantai dengan menggunakan teori
dekonstruksi maka dapat dinyatakan pengarang membangun konstruksi makna
bahwa keterasingan seseorang dalam lingkungan sosial yang tidak ramah dan
tidak memberikan rasa nyaman. Akan mewujudkan suatu keinginan untuk
kembali ke tempat atau lingkungan sosial di mana seseorang tersebut berasal,
tempat yang tak asing dan memberikan rasa nyaman serta keakraban. Konstruksi
makna tersebut yang sejatinya dikonstruk oleh pengarang dalam novel Gadis
Pantai. Kerinduan Gadis Pantai yang menjadi hierarki oposisi atau teks dominan
dalam novel Gadis pantai diruntuhkan oleh oposisi kedua yang dipinggirkan atau
dimarjinalkan oleh pengarangyaitu keterasingan Gadis Pantai. Bukan rasa
kerinduan yang membuat Gadis Pantai ingin kembali ke kampung nelayan
melainkan rasa keterasingannya di rumah Bendoro suaminya. Gadis Pantai harus
54
mengikuti norma-norma kenangsawanan yang berlaku di rumah Bendoro yang
tidak sama pada saat dia tinggal bersama keluarganya di kampung nelayan.
Dalam suatu pernikahan seorang istri adalah pendamping hidup seorang
suami, dan mempunyai hak sesuai dengan kedudukannya sebagai istri. Jika hak-
hak seorang istri diabaikan dan nilai-nilai ikatan suami istri dikesampingkan atau
dimarjinalkan. Maka seorang istri hanya akan menjadi objek seksual atau pemuas
nafsu tidak lagi menjadi istri atau pendamping hidup seorang suami. Konstruksi
makna tersebut yang sejatinya dikonstruk oleh pengarang dalam novel Gadis
Pantai. Istilah bahwa Gadis Pantai adalah pendamping hidup/istri Bendoro yang
menjadi teks dominan dalam novel Gadis Pantai diruntuhkan oleh peristilahan
kedua yaitu Gadis Pantai Hanya menjadi pemuas nafsu atau objek seksual
Bendoro. Bendoro hanya menemui Gadis Pantai pada malam hari di dalan
kamarnya. Bendoro menemui Gadis Pantai pada saat Bendoro ingin melepas
hasrat birahinya. Gadis Pantai menjadi pemuas nafsu atau objek seksual untuk
melayani suaminya Bendoro.
Budi luhur manusia dilihat dari tingkah laku tidak dilihat dari garis
keturunan atau kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki. Budi luhur seorang
manusia dilihat dari bagaimana seorang manusia memperlakukan manusia lain
dengan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan. Kontstruksi makna
tersebut yang sejatinya dikonstruk oleh pengarang dalam novel Gadis Pantai.
Bendoro yang berbudi luhur adalah merupakan hierarki oposisi atau teks dominan
dalam novel Gadis Pantai tetapi teks dominan tersebut diruntuhkan oleh oposisi
kedua yaitu Bendoro tidak berbudi luhur. Proses runtuhnya teks dominan
55
diidentifikasi dari jejak-jejak teks dalam novel Gadis Pantai yaitu ketika Bendoro
menceraikan Gadis Pantai setelah melahirkan seorang bayi perempuan. Kemudian
Gadis Pantai dipisahkan dari anak yang baru saja dilahirkan. Gadis pantai diusir
dari rumah oleh Bendoro dan dilarang untuk menginjakkan kaki di rumah
Bendoro. Hal tersebut tidak menunjukkan budi yang luhur dari seorang Bendoro
yang mempunyai darah bangsawan yang terkenal sosial dan religius.
Selanjutnya, tidak semua penduduk yang tinggal di desa yang jauh dari kota
adalah orang yang bodoh. Karena kecerdasan adalah persoalan bagaimana
menggunakan instrumen pikir (akal) untuk berpikir. Cara menggunakan instrumen
pikir (akal) tidak semua didapatkan dari proses belajar mengajar dalam bentuk
formal, bisa juga didapatkan dari pengalaman secara empiris. Dengan cara
mempelajari peristiwa dan fenomena yang terjadi, serta mempelajari situasi dan
kejadian-kejadian yang telah lalu. Pengarang membangun kontruksi makna bahwa
tidak semua penduduk desa bodoh tetapi ada sebagian penduduk desa yang
cerdas, pemaknaan tersebut yang sejatinya dikonstruk oleh pengarang kepada
pembaca dalam novel Gadis Pantai. Penduduk kampung nelayan yang bodoh
adalah hierarki oposisi atau teks dominan dalam novel Gadis Pantai, yang
diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu penduduk kampung nelayan yang cerdas.
Hal tersebut diidentifikasi dari cerita pada saat penduduk kampung nelayan
membuat rencana yang sangat cerdik dan terstruktur ketika merencanakan
membunuh semua utusan Bendoro yang ingin membawa kembali Gadis Pantai
pulang ke kota untuk kembali tinggal bersama Bendoro. Rencana yang sangat
strategis yang dibuat oleh penduduk kampung nelayan secara logika, tidak
56
mungkin dilakukan oleh orang-orang yang bodoh. Oleh karena itu teks dominan
penduduk kampung nelayan yang bodoh diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu
penduduk kampung nelayan yang cerdas.
Dekonstruksi membongkar konstruksi makna tunggal yang dibangun oleh
pengarang dalam novel Gadis Pantai kemudian dimaknai dengan makna
kebalikannya. Makna tunggal atau makna primer diruntuhkan oleh makna skunder
yang dikesampingkan atau dimarjinalkan oleh pengarang dalam novel Gadis
Pantai. Sehingga makna yang dipinggirkan atau sengaja ditutupi oleh pengarang
dapat dimunculkan sebagai bentuk eksistensi atau keberadaan dalam teks novel
Gadis Pantai.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan rumusan masalah dalam penelitian ini
yang menggunakan teori dekonstruksi sebagai objek formal atau pisau bedah
maka dapat disimpulkan bentuk-bentuk hierarki oposisi atau teks dominan dalam
novel Gadis Pantai yaitu Kerinduan Gadis Pantai, Pendamping hidup/istri,
Bendoro yang berbudi luhur, dan penduduk kampung nelayan yang bodoh.
Oposisi-oposisi tersebut yang diistimewakan atau didominankan oleh pengarang
dalam teks novel Gadis Pantai. Pengarang membangun konstruksi pengarang yang
telah diatur sedemikian rupa yang mengarahkan pembaca pada suatu pemaknaan
yang diinginkan oleh pengarang dan mengesampingkan makna-makna yang
dipinggirkan atau dikesampingkan oleh pengarang.
Setelah menentukan hierarki oposisi atau teks dominan dalam teks novel
Gadis Pantai kemudian dilakukan proses pembalikan teks oposisi sesuai dengan
dikotomi oposisi binner yang berkonsep pada hierarki oposisi atau teks dominan.
Dari proses pembalikan teks oposisi maka dapat disimpulkan bentuk teks
pembalikan oposisi yaitu keterasingan Gadis Pantai, pemuas nafsu, Bendoro tidak
berbudi luhur, dan penduduk kampung nelayan yang cerdas.
Teks dominan kerinduan Gadis Pantai diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu
keterasingan Gadis Pantai, Gadis Pantai sebagai pendamping hidup/istri Bendoro
diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu Gadis Pantai hanya sebagai pemuas nafsu
56
58
atau objek seksual Bendoro, teks dominan Bendoro berbudi luhur diruntuhkan
oleh oposisi kedua yaitu Bendoro tidak berbudi luhur, dan teks dominan penduduk
kampung nelayan yang bodoh diruntuhkan oleh oposisi kedua yaitu penduduk
kampung nelayan yang cerdas. Dari proses penentuan hierarki oposisi atau teks
dominan kemudian dilakukan pembalikan teks oposisi maka didapatkan
pemaknaan baru yang kontradiktif dari pemaknaan yang telah ada dalam teks
novel Gadis Pantai.
B. Saran
Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini,
diharapkan adanya penelitian selanjutnya dengan teori dekonstruksi, guna
memberikan tambahan gagasan dan keberagaman teori dalam menganalisis karya
sastra bagi Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Juga
sebagai langkah penyempurnaan dari penelitian yang telah peneliti lakukan.
Selainitu, juga diharapkan adanya penelitian selanjutnya pada novel Gadis Pantai
karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan teori-teori lainnya sehingga
novel Gadis Pantai dapat dimaknai secara konferehensif dengan beragam sudut
pandang dari teori-teori lain yang digunakan untuk meneliti novel Gadis Pantai.
top related