identifikasi kualitas lingkungan dan keragaan budidaya di desa tanjung banon, kelurahan sembulang,...
Post on 23-Jul-2015
123 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Identifikasi Penyakit Ikan, Kualitas Lingkungan dan Kelayakan Usaha Budidaya di Desa
Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam
Romi Novriadi1, Mulyadi2, M.Sanuri2, Jhonner Sihotang3, Oskar Putra4
1) Pengendali hama dan penyakit ikan ahli muda BPBL Batam 2) Pengawas perikanan ahli muda BPBL Batam 3) Pengawas perikanan terampil pelaksana BPBL Batam 4) Penyuluh perikanan terampil BPBL Batam
Koresponding penulis: Komplek Balai Perikanan Budidaya Laut Batam, Jl. Raya Barelang Jembatan III,
PO BOX 60 Sekupang. Batam -29438. E-mail: Romi_bbl@yahoo.co.id ; Staninfo_bblbatam@yahoo.com
A B S T R A K
Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk menilai kondisi kualitas perairan, penyakit dan kelayakan usaha
budidaya di Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Batam. Pengamatan dilakukan pada bulan
Februari 2015 di tiga lokasi budidaya dan dua diantaranya adalah unit produksi ikan laut. Pengambilan
sampel air dilakukan dengan metoda gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008
untuk parameter pH, salinitas, suhu, kedalaman, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) dan
kekeruhan. Metoda pemantauan juga dilakukan dengan metoda wawancara untuk mendapatkan informasi
terkini tentang pengelolaan budidaya ikan. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa kedalaman air
memiliki level yang rendah untuk budidaya ikan laut dan kekeruhan cukup tinggi untuk media persiapan
produksi. Untuk budidaya ikan laut, pH berada pada kisaran 7,67-7,69, suhu 29,2⁰C, salinitas 30 ‰ dan
kekeruhan 2,28-2,65 NTU. Sementara untuk media persiapan air tawar, pH 7,25, suhu 29,8⁰C, salinitas 0
‰ dan kekeruhan 22,6 NTU. Secara umum, untuk seluruh lokasi parameter NO2, NH3 dan PO4 berada di
bawah limit deteksi. Tidak adanya aplikasi biosekuriti, penerapan cara budidaya ikan yang baik serta
terlalu bergantungnya masyarakat terhadap bantuan benih dan berbagai sarana produksi menjadikan
aktivitas budidaya perikanan di Desa Tanjung Banon menjadi tidak berkelanjutan
Kata kunci: Tanjung Banon, Kualitas Air, Biosekuriti, Cara Budidaya Ikan yang Baik
A B S T R A C T
The objective of the present study was to examine the water quality, diseases and aquaculture activity of
Tanjung Banon, Sub District Sembulang, Batam. The study was conducted on February 2015 at three
aquaculture sites which two of them performed mariculture activities. Integrated water sampling was
used based on SNI No. 6989.57:2008 for pH, salinity temperature, water depth, ammonia (NH3), nitrit
(NO2), posfat (PO4) and turbidity. This study also performed an interview to collect the aquaculture
activities data from the farmers. The results shows that the water depth has a low level for mariculture
and the turbidity has a high level for preparation media.For mariculture site, pH ranged from 7.67-7.69,
temperature 29,2⁰C, salinity 30 ‰ and turbidity ranged from 2,28-2,65 NTU. Meanwhile, for preparation
media pH 7,25, temperature 29,8⁰C, salinity 0 ‰ and turbidity was 22,6 NTU. In general, NO2, NH3 dan
PO4 were under detection limits. The absence of biosecurity, good aquaculture practices and too rely on
local government for seed and other facilities make the aquaculture activities at Tanjung banon become
unsustainability
Key words: Tanjung Banon, Water quality, Biosecurity, Good aquaculture practices
1. Pendahuluan
Pengembangan sektor perikanan budidaya pada dasarnya dapat dilakukan dengan cepat,
efektif dan menguntungkan karena memiliki peranan yang cukup penting untuk memenuhi
permintaan akan ketersediaan ikan yang terus meningkat, sebagai sumber devisa negara dan
penyediaan lapangan kerja (Asmawi, 1984). Namun, munculnya wabah penyakit, degradasi
kualitas lingkungan dan pengelolaan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan kepada sistem
standar yang sudah ditetapkan menjadi faktor pembatas dalam menjamin keberlanjutan produksi
budidaya (Novriadi, 2013). Timbulnya wabah penyakit memiliki potensi untuk menyebabkan
kerugian ekonomi hingga mencapai US$ 3 miliar per tahun (Subasinghe et al., 2001) dan
menurunkan jumlah produksi di seluruh dunia (Hill, 2005). Sementara kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh degradasi kualitas lingkungan juga memberikan dampak yang cukup signifikan,
seperti yang dialami oleh pembudidaya ikan Kerapu di Batu licin yang menderita kerugian akibat
limbah eksploitasi bauksit hingga 1,8 Milyar (Novriadi, 2013).
Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan melalui peningkatan
sistem kekebalan tubuh seperti aplikasi vaksin (Attia et al., 2012), pemberian immunostimulan
(Novriadi dan Ibtisam, 2014) dan multivitamin (Ortuño et al., 1999) atau melalui sistem
pengobatan tanpa menggunakan antibiotika dan bahan kimia seperti aplikasi herbal yang
memiliki aktivitas antimikrobial karena memiliki zat aktif seperti alkaloid, flavonoid, pigments,
fenolik, terpenoid dan steroid (Citarasu et al., 1998). Peningkatan sistem kekebalan tubuh
seperti kisah sukses penerapan vaksinasi di Norwegia bahkan memiliki dampak positif terhadap
peningkatan produksi dan berhasil menekan penggunaan antibiotika yang dapat menyebabkan
resistensi pada mikroorganisme tertentu (Defoirdt et al., 2007) dan menimbulkan alergi pada
manusia akibat residu pada produk budidaya (Alderman dan Hastings, 1998; Cabello, 2006).
Sejalan dengan hal tersebut, penerapan biosekuriti untuk meningkatkan kapasitas kelayakan
usaha budidaya juga sangat diperlukan dalam rangka menjamin hasil produksi tetap
berkelanjutan dan memiliki mutu hasil produksi yang optimal.
Pemanfaatan zona perikanan yang berkelanjutan untuk pengembangan produksi perikanan
budidaya perlu mendapatkan perhatian. Hal ini tentunya sangat berkaitan erat dengan program
peningkatan ekonomi masyarakat pesisir yang selama ini mengandalkan aktivitas penangkapan
sebagai sumber pendapatan. Salah satu daerah yang memiliki potensi untuk implementasi dan
pengembangan aktivitas budidaya adalah Desa Tanjung Banon, Kecamatan Galang, Kotamadya
Batam. Sistem budidaya yang sudah dikembangkan meliputi sistem budidaya Keramba Jaring
Apung (KJA) dan Keramba Tancap untuk produksi ikan laut serta sistem budidaya menggunakan
kolam semen dan tanah dengan memanfaatkan sumber mata air untuk pengembangan komoditas
budidaya ikan air tawar. Berkembangnya usaha budidaya, khuusnya untuk produksi ikan laut
tentu akan berimplikasi kepada beberapa hal, antara lain: (1) Terbukanya sumber usaha baru, (2)
mengurangi ketergantungan konsumsi ikan hasil tangkapan dan (3) mengurangi tekanan terhadap
ekosistem terumbu karang (Darmawan et al., 2007). Untuk mendukung optimalisasi produksi,
maka Balai Perikanan Budidaya Laut Batam secara aktif memberikan penyuluhan, masukan dan
bimbingan teknis melalui kegiatan identifikasi kelayakan usaha budidaya dan monitoring
penyakit ikan dan lingkungan. Informasi yang diperoleh melalui kegiatan ini akan dijadikan
dasar untuk menyusun strategi pengelelolaan kesehatan ikan dan sistem budidaya yang efisien
dan efektif agar peluang keberhasilan usaha budidaya semakin tinggi.
2. Metodologi
2.1 Pelaksanaan kegiatan
Kegiatan pemantauan ini dilakukan di Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan
Galang, Kotamadya Batam pada tanggal 12 Februari 2015. Kegiatan pemantauan di lakukan di
wilayah Tanjung Banon dengan pertimbangan bahwa daerah ini memiliki potensi untuk
peningkatan volume produksi ikan laut dan air tawar serta sebagai salah satu daerah binaan yang
mendapatkan bantuan sarana dan prasarana untuk kegiatan budidaya dari Pemerintah Daerah.
2.2 Pengambilan contoh
Metoda pengambilan contoh air pada setiap lokasi budidaya dilakukan menurut metode
gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008, sementara metoda
pengambilan contoh ikan dilakukan secara purposive random sampling yang merupakan metoda
pemilihan sampel untuk kepentingan tertentu (FAO, 2004). Program pengambilan sampel juga
dilakukan dengan mempertimbangkan jalur masuk agen pencemar atau penyakit ke lingkungan
laut, periode pemaparan dan mekanisme transport di badan air (Syakti, et al., 2012).
2.3 Preparasi Sampel
Penanganan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel air kedalam botol plastik tanpa
gelembung udara dan selanjutnya diberi nama sampel dan lokasi pengambilan. Sampel air yang
telah diberi label dipindahkan ke dalam kotak polystyrene yang mengandung es dan
dipertahankan pada suhu 40 C. Untuk identifikasi virus, organ target di fiksasi dalam larutan
ethanol 75% kemudian disimpan dalam kotak polystyrene terpisah untuk mencegah adanya
kontaminasi. Untuk identifikasi bakteri, organ target diinokulasikan ke dalam media umum dan
media khusus, kemudian diisolasi untuk menghindari kontaminasi selama proses transportasi.
2.4 Analisa Data
Analisa distribusi penyakit, kualitas lingkungan dan kelayakan usaha budidaya dilakukan melalui
tiga tahapan, yakni tahapan pre site, on site dan post site. Tahapan pre site merupakan tahapan
pengumpulan data untuk memperoleh informasi tentang keragaan budidaya dan kesehatan ikan
melalui studi literatur dan pencermatan dokumen hasil kegiatan pada periode pemantauan
sebelumnya.
Tahapan on site dilakukan dengan melakukan analisa penyakit ikan, kualitas lingkungan,
diagnosa klinis dan data primer sistem produksi budidaya di lokasi pemantauan pada saat
kegiatan dilakukan. Parameter kualitas lingkungan yang diukur di lapangan (in situ) meliputi
parameter: pH (derajat keasaman), oksigen terlarut (DO), suhu, kedalaman dan kadar garam air.
Sementara data primer usaha budidaya diperoleh melalui wawancara dan pencermatan dokumen
terkini tentang kegiatan usaha budidaya
Tahapan post site dilakukan untuk analisa kualitas air lanjutan di laboratorium (ex situ) yang
meliputi parameter Kekeruhan, Ammonia (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan Posphat (PO4)
dengan menggunakan metode turbidimetri, spektrofotometri dan kolorimetri. Tahapan analisa
post site juga dilakukan untuk identifikasi bakteri secara konvensional dan identifikasi
keberadaan virus dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
konvensional.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Kondisi umum lokasi pemantauan
Secara geografis, Kecamatan Galang memiliki sekitar 120 pulau besar dan kecil dimana 36
pulau sudah berpenghuni dan sekitar 84 pulau lainnya masih belum memiliki penghuni. Pulau-
pulau yang berada di wilayah Kecamatan Galang umumnya merupakan sisa-sisa erosi daratan
pra-tersier yang membentang mulai dari Semenanjung Malaysia di bagian utara hingga Pulau
Moro, Kundur serta Karimun di bagian selatan. Berdasarkan sejarah geologi, wilayah dataran
Kecamatan Galang merupakan bagian dari paparan kontinental di sepanjang Benua Asia hingga
berakhir di Benua Australia. Namun demikian, struktur daratan yang ada tidak memiliki
perbedaan yang signifikan dengan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau lainnya (Anonim, 2013).
Penduduk Kecamatan Galang pada akhir tahun 2012 terdiri dari 9.208 jiwa laki-laki dan
8.260 jiwa perempuan. Secara persentase, dapat digambarkan bahwa jumlah penduduk laki-laki
5% lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Konsentrasi penduduk
terkecil berada di Kelurahan Air Raja dengan 784 jiwa atau sekitar 4,49 %. Sama halnya dengan
Kelurahan Subang Mas, penduduk di Kelurahan Subang Mas juga relatif kecil dengan 830 jiwa
atau sekitar 4,75 % dari total penduduk di Kecamatan Galang. Sementara konsentrasi penduduk
terbesar berada di Kelurahan Rempang Cate dengan 3.790 jiwa atau sekitar 21,70% dari total
penduduk di Kecamatan Galang. Untuk Kelurahan Karas dan Sembulang relatif sama yaitu
sekitar 15,89 % dan 15,01 %. Sedangkan di Kelurahan Galang Baru hanya memiliki penduduk
lebih dari 16,93 %.
Dari sisi kegiatan perikanan, Kecamatan Galang memiliki sumber daya perikanan budidaya
dan tangkap dengan nilai produksi yang cukup besar. Hal ini umumnya didukung oleh kondisi
geografis sebagai wilayah kepulauan. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2012 sebanyak
5.429 ton dengan nilai produksi mencapai Rp. 182,5 Milyar. Sementara dari sektor kegiatan
budidaya, Kecamatan Galang mampu memproduksi 736 ton ikan dengan nilai ekonomi sekitar
Rp. 29,4 Milyar dengan komoditas utama Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus, Kakap putih
Lates calcarifer, Bawal bintang Trachinotus blochii dan Kerapu cantang Hybrid grouper. Benih
untuk kegiatan produksi budidaya umumnya diperoleh dari unit produksi di Balai Perikanan
Budidaya Laut (BPBL) Batam, Situbondo dan Bali. Bila dibandingkan dengan total nilai
produksi perikanan laut Kota Batam yang memiliki nilai ekonomi Rp. 850,2 Milyar, maka
persentase produksi di Kecamatan Galang mencapai 21,46 %.
Gambar 1. Lokasi pemantauan budidaya dan keragaan penyakit ikan dan lingkungan oleh tim
monitoring Balai Perikanan Budidaya Laut Batam.
Berdasarkan data Kecamatan Galang dalam Angka tahun 2013, diketahui bahwa
Kelurahan Sembulang merupakan wilayah yang paling dekat dengan Kantor Kecamatan Galang
dengan jarak tempuh 1 Km, sementara untuk menuju ke Pusat Pemerintahan Kota Batam,
masyarakat Sembulang memiliki jarak tempuh mencapai 57,67 Km. Dari 6 (enam) pulau yang
berada di wilayah administratif kelurahan Sembulang, hanya ada 2 pulau yang telah berpenghuni
yakni Pulau Rempang dan Pulau Prantun, sementara 4 (empat) pulau lainnya belum berpenghuni,
diantaranya adalah Pulau Bekaol, Pulau Berbas, Pulau Nibung dan Pulau Bilis. Dari sebaran
penduduk, diketahui bahwa Kelurahan Sembulang juga memiliki 3 (tiga) perkampungan tua,
yakni: Desa Tanjung Banon, Kampung Dapur enam dan Kampung Sembulang. Berdasarkan
peta geografis, Kelurahan Sembulang memiliki batas:
1. Utara berbatasan dengan Kelurahan Rempang Cate
2. Selatan berbatasan dengan Selat Tiung
3. Barat berbatasan dengan Pulau Panjang (Kelurahan Sijantung)
4. Timur berbatasan dengan Desa Pangkil
Total luas wilayah yang dimiliki Kelurahan Sembulang adalah 125.232 Km2, dengan perincian
luas daratan sebanyak 65.834 Km2 dan luas lautan mencapai 59.398 Km2. Potensi wilayah di
Kelurahan Sembulang sudah tidak diragukan lagi. Namun, belum optimalnya penggunaan
sumber daya alam menjadikan banyaknya lahan yang masih tersedia sebagai alternatif mata
pencaharian masyarakat hinterland di Kelurahan Sembulang yang umumnya berprofesi sebagai
nelayan tangkap
Lokasi
pemantauan
Data keragaan budidaya
Berikut ditampilkan data keragaan budidaya melalui kegiatan wawancara di tiga lokasi
pemantauan.
Tabel 1. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Balil
No Data primer Keterangan
1 Nama pemilik Bp. Balil (Kelompok Usaha Bersama Sukses)
Jumlah anggota kelompok: 13 orang
2 Nomor kontak 081372534076
3 Lokasi budidaya Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan
Galang, Kotamadya Batam. Provinsi Kepulauan Riau
4 Luas budidaya 10 unit KJA HDPE dengan ukuran @ 3 x 3 x 1 m
5 Struktur KJA High Density Poly Ethylene merk dagang Aquatec
6 Tingkat teknologi Sederhana
7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi 4 ton
8 Asal benih Produksi 1: Bantuan benih Kerapu macan dari Dinas KP
Pemprov Kepri sebanyak 2000 ekor (uk: 4-5 cm)
Produksi 2 : Benih tangkapan alam Kerapu lumpur sebanyak
500 ekor
9 Padat tebar Benih bantuan dibagi rata untuk 13 orang anggota kelompok
dan masing-masing menebar 170 ekor benih kerapu macan
untuk KJA ukuran 3x3x3 m3
10 Waktu tebar Februari 2013. Panen perdana 24 Desember 2013 (ukuran ±500
gr). Panen kedua dilakukan pada tanggal 7 Februari 2014
11 Tingkat kelulushidupan Benih bantuan Kerapu macan memiliki SR 40%
12 Jumlah kematian Benih bantuan Kerapu macan mengalami kematian pada masa
awal pemeliharaan setelah tebar dengan jumlah kematian
sebanyak ±300 ekor untuk 3 hari berturut-turut. Kematian ikan
kemudian konsisten terjadi selama fase produksi namun masih
dalam jumlah wajar
13 Sejarah penyakit Kesalahan penanganan
14 Waktu serangan Pada saat awal masa penebaran dan dipicu dengan degradasi
kualitas air akibat dibukanya pelabuhan ferry di dekat lokasi
budidaya.
15 Upaya pengendalian
penyakit
Dilakukan dengan pencucian air tawar dan Iodine. Upaya
pencegahan juga dilakukan dengan mengaplikasikan suplemen
penambah nafsu makan, vitamin dan immunostimulan
16 Bobot serangan Sedang
17 Taksiran kerugian Rp. 4.200.000,-
18 Pakan Ikan rucah (harga Rp. 5000/kg)
Pemberian pakan dilakukan 2 x sehari
19 Biosekuriti Negatif
20 Sertifikat Negatif
Tabel 2. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Atong
No Data primer Keterangan
1 Nama pemilik Bp. Atong / Bp. Muhammad
2 Nomor kontak 081276565918
3 Lokasi budidaya Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan
Galang, Kotamadya Batam. Provinsi Kepulauan Riau
4 Luas budidaya 26 unit KJA dengan ukuran @ 3x3x3 m3
5 Struktur KJA Kayu
6 Tingkat teknologi Sederhana
7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi 12 ton
8 Asal benih 1. Bawal bintang dari Balai Perikanan Budidaya Laut Batam
2. Kerapu cantang dari Balai Perikanan Budidaya Laut Batam
3. Kakap putih dari Tanjung pinang
4. Kerapu kertang berasal dari tangkapan alam
5. Kerapu sunu berasal dari tangkapan alam
9 Padat tebar ± 250 ekor/jaring
10 Waktu tebar Sepanjang siklus produksi
11 Tingkat kelulushidupan 1. Bawal bintang, SR: 40% (tebar awal agustus 2014)
2. Kerapu cantang, SR : 74% (tebar awal Juli 2014
3. Kakap putih dan Kerapu sunu hanya bersifat transit
12 Sejarah penyakit Dimulai sejak 2 minggu awal masa pemeliharaan dengan gejala
klinis:
1.Bawal bintang (warna kulit menghitam, nafsu makan
berkurang dan berenang berputar / whirling)
2.Kerapu cantang (mulut dan kepala selalu ada luka dan radang)
13 Waktu serangan Angin timur (Bulan April – Juni) dan dipicu dengan suhu air
yang meningkat. Peningkatan suhu ini selalu diikuti dengan
kemunculan lintah dan cacing insang
14 Upaya pengendalian
penyakit
Cuci air tawar disertai dengan perendaman dengan Acriflavine
1.Ikan ukuran besar (>10 gr), dicuci dengan air tawar 1 x
seminggu
2.Ikan ukuran kecil (<10 gr), dicuci dengan air tawar 2 – 3 x
seminggu
15 Bobot serangan Sedang
16 Taksiran kerugian >Rp. 5.000.000,-
Berdasarkan kepada jumlah kematian ikan Bawal bintang dan
Kerapu macan selama masa produksi dengan memperkirakan
ukuran dan nilai ekonomis pada saat penilaian
17 Pakan Pelet dan ikan rucah
18 Biosekuriti Negatif
19 Sertifikat Negatif
Tabel 1. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Naharuddin
No Data primer Keterangan
1 Nama pemilik Bp. Naharuddin (Kelompok Usaha Bersama) dengan jumlah
anggota sebanyak 4 orang
2 Nomor kontak 081373494522
3 Lokasi budidaya Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan
Galang, Kotamadya Batam. Provinsi Kepulauan Riau
4 Luas budidaya 5 kolam produksi ikan lele dengan ukuran @ 8 x 5 x 1 m
5 Struktur Kolam Dasar tanah dengan struktur dinding adalah beton
6 Tingkat teknologi Sederhana
7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi 2,5 ton
8 Asal benih 1. Produksi perdana: Bantuan benih ikan lele (ukuran 3-4 cm)
dari Dinas KP3K Kotamadya Batam sebanyak 9000 ekor
2. Produksi lanjutan: Bantuan benih ikan lele (ukuran 3-4 cm)
dari Dinas KP3K Kotamadya Batam sebanyak 9000 ekor
9 Padat tebar 2000 benih / kolam
10 Waktu tebar Pada saat menerima bantuan benih
11 Tingkat kelulushidupan Dari dua siklus produksi rata-rata 70%
12 Sejarah penyakit 1. Produksi perdana gagal total dikarenakan adanya
limpahan air hujan yang menghanyutkan seluruh ikan lele di
unit produksi menunju ke laut
2. Produksi kedua memiliki gejala klinis khas seperti badan
memutih, tegak dan gerakan renang lemah
13 Waktu serangan Setiap bulan pertama pada masa produksi
14 Upaya pengendalian
penyakit
Tidak pernah, namun kelompok pembudidaya juga
mendapatkan bantuan obat-obatan untuk pengendalian penyakit
ikan dari Dinas KP3K Kota Batam
15 Bobot serangan Rendah
16 Taksiran kerugian 1. Produksi perdana: Rp. 15.000.000,-
2. Produksi kedua: Rp. 4.000.000,-
17 Pakan Pakan pellet bantuan dinas KP3K sebanyak 30 karung dengan
volume @ 30 kg
18 Biosekuriti Negatif
19 Sertifikat Negatif
Gambar 1. Kegiatan pengambilan data keragaan budidaya dan kualitas lingkungan
Berdasarkan data keragaan budidaya diketahui bahwa sistem budidaya dengan menggunakan
keramba jaring apung dengan struktur kayu dan polyethylene adalah sistem yang umum
digunakan oleh masyarakat pembudidaya di Desa Tanjung Banon untuk pengembangan
komoditas ikan laut. Berdasarkan laporan Coremap (2009), struktur polyethylene lebih
disarankan karena bahan ini disamping tahan terhadap berbagai pengaruh lingkungan juga lebih
murah jika dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Dari dua lokasi pemantauan, Kelompok
Usaha Bersama Sukses yang dipimpin oleh Bp. Balil telah menggunakan unit KJA berbahan
dasar polyethylene yang merupakan bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau.
Tim monitoring dan pemantauan BPBL
Batam di lokasi budidaya
Unit budidaya milik Bp. Balil (Lokasi 1)
Proses pengambilan data dan wawancara
dengan para pembudidaya
Proses pengambilan data kualitas air
secara langsung di lokasi pemantauan
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1,2 dan 3, umumnya para pembudidaya yang
membentuk kelompok usaha sangat mengandalkan bantuan benih, pakan dan sarana kegiatan
usaha budidaya dari Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dilihat pada siklus produksi Kelompok
Usaha Bersama Sukses yang dipimpin oleh Bp. Balil dan Kelompok Usaha Bersama yang fokus
pada produksi ikan lele Clarias gariepinus pimpinan Bp. Naharuddin. Keterlambatan bantuan
berakibat kepada berhentinya siklus produksi dan tidak optimalnya penggunaan bantuan sara dan
prasarana yang telah diberikan. Menurut laporan Coremap (2009), tantangan untuk
keberlanjutan produksi di wilayah Kepulauan Riau, khususnya di daerah hinterland di wilayah
administratif Kotamadya Batam sangat dipengaruhi oleh empat variabel, diantaranya (1)
ketersediaan benih, (2) ketersediaan tenaga kerja, (3) peluang pasar dan (4) minat masyarakat.
Sampai saat ini budidaya ikan dalam KJA di lokasi pemamtauan belum berkembang. Hal ini
disebabkan karena biaya untuk pembelian benih, pakan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
yang diberikan melalui bantuan proyek pendampingan cukup besar. Pada lokasi milik Bp. Atong
yang seluruh investasi usaha berasal dari dana pribadi, kondisi ini disiasati dengan menggunakan
beberapa unit produksi sebagai lokasi transit dari hasil tangkapan alam yang mendekati ukuran
konsumsi hingga mencapai ukuran jual. Menurut Utama (2008), kekurangan dari berbagai
proyek bantuan selama ini adalah: (1) Kurang optimalnya mekanisme pendampingan, sehingga
kesulitan teknis di lapangan tidak dapat diantisipasi oleh masyarakat pembudidaya, (2)
Implementasi organisasi yang tidak tepat, sehingga masing-masing anggota cenderung untuk
saling menyalahkan bila terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan, dan (3) aturan main
diantara pihak-pihak yang terlibat belum dikoordinasikan dengan baik
Kegiatan kelompok usaha budidaya saat ini tidak terlalu mengesankan bagi masyarakat
pulau, mungkin diakibatkan oleh sifat sosial dan homogenitas masyarakat yang sedemikian
tinggi sehingga kohesifitas sosial yang berkaitan dengan musyawarah untuk membahas hasil
pekerjaan, evaluasi dan saling tegur untuk memperingatkan bila terjadi aktivitas yang tidak
sesuai dalam sistem produksi menjadi sangat rendah. Kondisi ini semakin dipersulit dengan fakta
bahwa sebahagian besar anggota kelompok usaha budidaya memiliki hubungan persaudaraan
ataupun kekerabatan. Dalam konteks masyarakat Desa Tanjung Banon, pengertian tentang
kerjasama dalam satu kelompok dan membentuk usaha bersama dalam sebuah wadah yang
disebut koperasi sangat sulit dipahami. Hal ini utamanya disebabkan oleh paham yang selalu
mengartikan usaha bersama sebagai proses pembangunan badan hukum usaha yang dapat
digunakan secara bersama atau berkelompok untuk pengajuan maupun penerimaan bantuan
sarana dan prasarana pendukung usaha budidaya ikan.
Dalam menjamin keberlanjutan produksi budidaya, penguasaan teknologi dan pengetahuan
sangat penting dan dapat diperoleh melalui pelatiahn budidaya yang rutin dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dan Pusat. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3, diketahui
bahwa tingkat kematian yang tinggi utamanya disebabkan oleh kurangnya pengalaman dan
pengetahuan dalam melakukan aklimatisasi dan pengelolaan sistem produksi. Hal ini
berdasarkan kepada kematian ikan budidaya yang lebih diakibatkan oleh faktor penguasaan
teknis seperti kematian sejumlah 900 ekor benih kerapu macan pada masa tiga hari awal
pemeliharaan akibat kesalahan dalam melakukan aklimatisasi di kelompok Usaha Bersama
Sukses atau kehilangan seluruh ikan lele menjelang masa panen di lokasi milik Bp. Naharuddiin
(Lokasi 3) akibat kurangnya pengetahuan dalam hal konstruksi.
Dalam sistem pemeliharaan ikan yang baik, aspek kesehatan ikan dan lingkungan memiliki
peranan penting dalam mendukung optimalisasi produksi. Berdasarkan hasil pengamatan selama
masa pemantauan di desa Tanjung Banon diketahui bahwa untuk kelompok usaha budidaya yang
menjadi binaan dan mendapatkan bantuan, tindakan pengobatan umumnya dilakukan dengan
pencucian air tawar dan dilajutkan dengan perendaman menggunakan iodine. Sementara untuk
unit budidaya yang merupakan usaha milik sendiri, seperti halnya di lokasi 2 milik Bp. Atong,
tindakan pengendalian dilakukan dengan perendaman secara rutin, dimana untuk ikan besar
perendaman dilakukan dengan frekuensi 1 x seminggu dan untuk ikan kecil, frekuensi
perendaman adalah 2 – 3 x seminggu tergantung kondisi cuaca dan gejala klinis yang
ditunjukkan oleh ikan. Penekanan upaya pencegahan lebih baik dibandingkan pengobatan juga
sangat diharapkan untuk dapat dilakukan, khususnya oleh para pembudidaya binaan dengan
menggunakan suplemen yang telah disediakan oleh Pemerintah Daerah, seperti obat penambah
nafsu makan, vitamin dan immunostimulan. Namun, kajian di lapangan menunjukkan bahwa
kelompok pembudidaya ikan khususnya di Desa Tanjung Banon tidak terlalu memperdulikan
upaya pencegahan dalam pengelolaan kesehatan ikan selama masa produksi. Hal ini berdasarkan
kepada masih utuhnya persediaan vitamin, immunostimulan serta bahan suplemen aktif lainnya
yang telah diberikan kepada anggota kelompok. Sementara untuk usaha mandiri, tindakan
pencegahan juga masih minim dan hanya bergantung kepada aplikasi vitamin pada pakan.
Minimnya aplikasi bahan prophylaksis ini umumnya disebabkan oleh mahalnya bahan suplemen
dan sulitnya mencari obat dengan bahan aktif yang dapat memperkuat sistem imun. Kurangnya
pengetahuan tentang penggunaan dan dampak positif dari upaya pencegahan serta minimnya
bimbingan teknis menyebabkan pembudidaya hanya melakukan tindakan pengendalian
berdasarkan informasi yang diberikan oleh penyelenggara bantuan dengan melakukan
perendaman air tawar dan antiseptik bila ikan menunjukkan gejala klinis terserang penyakit.
Tindakan pengobatan dengan tidak memperhatikan dosis, jenis agen penyebab penyakit,
lingkungan dan kondisi pengobatan akan mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif dan
berakibat kepada penurunan tingkat ketahanan tubuh organisme akuatik (Novriadi dan Kadari,
2013), resistensi penyakit (Alderman dan Hastings, 1998) dan stress yang berakibat pada
kematian ikan budidaya (Thoney dan Hargis, 1991).
Gambar 2. Jenis obat-obatan bantuan Pemerintah Daerah provinsi Kepulauan Riau yang
diberikan kepada kelompok usaha budidaya, meliputi dari kiri ke kanan: Amino liquid untuk
menambah nafsu makan, vitamin dan pemacu pertumbuhan.
Data kualitas air budidaya
Tabel 2. Karakteristik kualitas air di lokasi pemantauan, Lokasi 1 merujuk pada unit KJA milik
Bp. Balil (Kelompok Usaha Bersama Sukses). Lokasi 2 merujuk pada unit produksi Bp. Atong
dan Lokasi 3 merujuk pada unit budidaya lele milik Bp. Naharuddin (kelompok usaha bersama).
Parameter Satuan Hasil Uji Kualitas Air
Metoda Analisa Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3
pH* 7,67 7,69 7,25 SNI 06-6989.11-2004
Suhu* ⁰C 29,2 29,2 29,8 Elektrometri
Kedalaman* m 5 4 1 Bathimetri
Salinitas* g/L 30 30 0 Refraktometri
Nitrit (NO2) mg/L <0.1 <0.1 <0.1 Kolorimetri
Ammonia (NH3) mg/L <0,09 <0,09 <0,09 IKM/5.4.6/BBL-B
Posfat (PO4) mg/L <0,04 <0.04 <0.04 IKM/5.4.8/BBL-B
Kekeruhan NTU 2,65 2,28 22,6 IKM/5.4.9/BBL-B
Keterangan: * : Analisa dilakukan di lokasi pemantauan (In situ)
Data kualitas air hasil pemantauan untuk uji kelayakan usaha budidaya di wilayah Desa
Tanjung Banon, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam ditampilkan pada Tabel 2. Suhu pada
saat pemantauan berada pada kisaran 29,2 – 29,8⁰ C, konsentrasi nitrat <0,01 mg/l, nitrit < 0,1
mg/l, Ammonia <0,09 mg/l dan Posfat <0,04 mg/l. Sementara itu, nilai kekeruhan memiliki
variasi, dimana pada budidaya ikan laut memiliki nilai kisaran 2,28 – 2,65 NTU dan untuk air
persiapan produksi ikan lele Clarias gariepinus memiliki nilai kekeruhan mencapai 22,6 NTU.
Menurut Adipu et al., (2013), jika dibandingkan dengan nilai matriks kesesuaian, nilai
parameter fisika dan kimia umumnya berada dalam kategori sesuai untuk budidaya ikan laut di
KJA. Namun, nilai kekeruhan pada media air persiapan untuk produksi ikan lele C. gariepinus
mencapai 22,6 NTU. Menurut Fisesa et al., (2014), Nilai kekeruhan pada perairan merupakan
gambaran dari banyaknya bahan-bahan yang tersuspensi di perairan, diantaranya adalah liat,
debu, plankton dan organisme renik. Konsentrasi kekeruhan yang melebihi baku mutu akan
berdampak kepada terhambatnya penetrasi cahaya matahari yang masuk keperairan dan
mempengaruhi kehidupan organisme akuatik, seperti gangguan pada sistem pernafasan,
penglihatan dan mekanisme penyaringan makanan.
Kedalaman air dari dua daerah yang menjadi fokus pengamatan untuk produksi budidaya
ikan laut berada pada kisaran 4-5 m. Perbedaan kedalaman walaupun jarak unit KJA tersebut
sedikit berdekatan dapat diakibatkan oleh dimensi kantong jaring, perbedaan pasang dan surut
dan jarak minimal antara dasar jaring KJA dengan dasar perairan. Menurut Adipu et al., (2013)
jika kantong jaring memiliki tinggi 3 m, beda pasang surut 2 m dan jarak minimal antara dasar
jaring dengan perairan adalah 2 m, maka sebaiknya kedalaman untuk produksi ikan laut memiliki
jarak minimal 7 m. Sementara berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan di wilayah Desa
Tanjung Banon, dengan rata-rata tinggi jaring mencapai 3 m dan jarak antara pasang dan surut
adalah 2 m, dapat disimpulkan bahwa kedalaman dengan variasi antara 4 – 5 m merupakan jarak
kedalaman yang tidak optimal bagi produksi ikan laut. Tingkat kedalaman yang sangat rendah
dapat mengakibatkan intensitas serangan parasit yang memiliki siklus hidup di dasar perairan
akan semakin tinggi serta mengakibatkan terganggunya sistem pernafasan dan penglihatan bila
terjadi aktivitas surut yang ekstrim akibat eksploitasi lumpur yang memasuki kolom air media
pemeliharaan ikan. Menurut Ramelan (1998), kedalaman air untuk produksi ikan laut di KJA
harus > 8 m. Pertimbangan untuk menentukan kedalaman maksimal untuk produksi budidaya
ikan juga harus mempertimbangkan besarnya biaya konstruksi, khususnya mooring system,
besarnya biaya operasional dan sulitnya mekanisme instalasi KJA (Beveridge, 1991).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, nilai pH untuk produksi ikan laut berada pada
kisaran 7,67 – 7,69, sementara untuk media air persiapan produksi ikan lele C. gariepinus berada
pada level 7,25. Suhu pada saat pemantauan untuk produksi ikan laut berada pada angka 29,2 ⁰C
dan untuk media persiapan ikan lele C. gariepinus 29,8⁰C. Sementara untuk parameter Ammonia
(NH3), Nitrit (NO2) dan Posfat (PO4) secara umum berada dibawah limit deteksi alat
spektrofotometer UV Visible. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas air untuk parameter pH,
suhu, NH3, NO3 dan PO4 berada dalam kategori layak untuk digunakan sebagai media
pemeliharaan ikan menurut KepMen LH No. 51/2004.
4. Kesimpulan
Pengembangan usaha budidaya perikanan, apabila tidak disertai dengan studi pendahuluan
daya dukung lingkungan perairan dan kepedulian terhadap keseimbangan sumberdaya alam,
maka seringkali berakhir dengan kegagalan. Berdasarkan pengalaman yang telah tersedia
sebelumnya, maka sangat diperlukan kegiatan pemantauan usaha kelayakan budidaya dan kajian
terkini tentang keragaan penyakit dan kualitas lingkungan untuk mendukung optimalisasi hasil
produksi. Berdasarkan hasil kajian dapat dismpulkan bahwa:
1. Kondisi perairan di wilayah Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang
Kotamadya Batam merupakan perairan oigotrofik–mesotrofik dimana unsur haranya masih
sangat rendah dan sangat potensial untuk pengembangan usaha budidaya ikan.
2. Dalam melakukan penataan penempatan keramba di sepanjang garus pantai, perlu dilakukan
perencanaan penempatan agar usaha budidaya memiliki kondisi kelayakan yang sesuai baik
untuk parameter fisika, kimia maupun biologi. Perencanaan pengembangan juga harus
mempertimbangkan estetika dan kelancaran lalu lintas hasil produksi budidaya dan
transportasi masyarakat.
3. Untuk mendukung keyakan usaha, diperlukan pelatihan dan bimbingan teknis khususnya
tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), pelaksanaan sistem biosekuriti dan pengisian
dokumen selama masa produksi. Hal ini dimaksudkan agar kematian ikan akibat faktor teknis
maupun non teknis hingga kerugian ekonomi dapat diminimalisir untuk menjamin
keberlanjutan hasil produksi
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Perikanan Budidaya Laut Batam yang telah
mendukung kegiatan pemantauan kawasan budidaya dan kajian keragaan penyakit dan kualitas
lingkungan melalui DIPA Tahun Anggaran 2015 serta mengucapkan terima kasih kepada seluruh
Staff Kelurahan Sembulang atas informasi geografis yang diberikan.
Daftar pustaka
Aldeman, D.J., Hastings, T.S. (1998). Antibiotic use in aquaculture: development of antibiotic
resistance-potential for consumer health risks. Int. J. Food Sci. Technology (33): 139-155
Anonim. (2013). Kecamatan Galang dalam angka.
Attia A, Mesalhy S, Galil YA, Fathi M (2012) Effect of Injection Vaccination against
Pseudomonas fluorescens on Specific and Non-Specific Immune Response of Nile Tilapia
(Oreochromis niloticus) Using Different Prepared Antigens. 1 : 552 doi : 10.4172 /
scientificreports. 552
Asmawi. (1984). Pemeliharaan ikan dalam kerambah. Gramedia. Jakarta. 82 halaman.
Beveridge, M. (1991). Cage aquaculture. Fishing News Books. Elsevier. Amsterdam. p.264
Cabello, F.C. (2006). Heavy use of prophylactic antibiotics in aquaculture: a growing problem
for human and animal health and for the environment. Environ Microbiol (8): 1137-1144
Citarasu, T., Immanuel, G., Marian, M.P. (1998). Effects of feeding Artemia enriched with
stresstol and cod liver oil on growth and stress resistance in the Indian white shrimp Penaeus
indicus post larvae. Asian Fish Sci (12):65-75
Darmawan. A., Suraji, B., Wiryawan, W., Koswara., Martosudarmo, W. (2007). Panduan
Penyusunan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Coremap II Departemen
Kelautan dan perikanan.
Defoirdt. T., Boon, N., Sorgeloos, P., Verstraete, W., Bossier, P. (2007). Alternatives to
antibiotics to control bacterial infections : luminescent vibriosis in aquaculture as an
example. Trends in Biotechnology 25 (10) : 472-479.
FAO. (2004). Fish marketing and credit in Viet Nam. In FAO Fisheries Technical Paper ID:
167171. Fisheries and Aquaculture Department.p. 1-3
Fisesa, E.D., Setyobudiandi, I., Krisanti, M. (2014). Kondisi perairan dan struktur komunitas
makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Jurnal
Depik, 3(1):1-9 Hill, B.J. (2005). The need for effective disease control in international aquaculture. Dev. Biol.
(Basel) (121): 3–12
Novriadi, R. (2013). Studi komparasi dan dampak hasil keputusan gugatan perdata pencemaan
lingkungan budidaya ikan laut di pulau Bintan. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan, 8 (2): 41-45
Novriadi, R., Kadari, M. (2013). Perlakuan kultur gnotobiotik Artemia dengan β-glukan:
Kajian potensi β-glukan untuk memperkuat resistensi terhadap vibriosis. Aquacultura
Indonesiana 14 (3): 99-106
Ortuño, J., Esteban, M.A., Meseguer, J. (1999). Effect of high dietary intake of vitamin C on
non-specific immune response of gilthead seabream (Sparus aurata L.) Fish Shell. Immunol.,
9: 429–443
Ramelan, H.S. (1998). Pengembangan budidaya ikan laut di Indonesia dalam: Kumpulan
makalah seminar teknologi perikanan pantai. Denpasar 6-7 Agustus 1998. Balitbang
Departemen Pertanian dan JICA. p. 1-37
Subasinghe, R. dkk. (2001). Aquaculture development, health and wealth. In aquaculture in the
third millennium. Technical proceedings of the conference on aquaculture in the third
millennium (Subasinghe, R.P. et al., eds). pp. 167-191. Bangkok and FAO, NACA
Syakti, A.D., N.V. Hidayati dan A.S. Siregar. (2012). Agen pencemaran laut. IPB Press.
Bogor. p. 100.
Thoney, D. A. dan W. J. Hargis, (1991). Monogenea (platyhelminthes) as hazards for fish in
confinement. Annual Rev. of fish Diseases, 133-153
Utama, F.W. (2008). Analisis kelayakan usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang,
Kabutapen Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Institut Pertaninan Bogor
top related