identifikasi kualitas lingkungan dan keragaan budidaya di desa tanjung banon, kelurahan sembulang,...

15
Identifikasi Penyakit Ikan, Kualitas Lingkungan dan Kelayakan Usaha Budidaya di Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam Romi Novriadi 1 , Mulyadi 2 , M.Sanuri 2 , Jhonner Sihotang 3 , Oskar Putra 4 1) Pengendali hama dan penyakit ikan ahli muda BPBL Batam 2) Pengawas perikanan ahli muda BPBL Batam 3) Pengawas perikanan terampil pelaksana BPBL Batam 4) Penyuluh perikanan terampil BPBL Batam Koresponding penulis: Komplek Balai Perikanan Budidaya Laut Batam, Jl. Raya Barelang Jembatan III, PO BOX 60 Sekupang. Batam -29438. E-mail: [email protected] ; [email protected] A B S T R A K Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk menilai kondisi kualitas perairan, penyakit dan kelayakan usaha budidaya di Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Batam. Pengamatan dilakukan pada bulan Februari 2015 di tiga lokasi budidaya dan dua diantaranya adalah unit produksi ikan laut. Pengambilan sampel air dilakukan dengan metoda gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008 untuk parameter pH, salinitas, suhu, kedalaman, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) dan kekeruhan. Metoda pemantauan juga dilakukan dengan metoda wawancara untuk mendapatkan informasi terkini tentang pengelolaan budidaya ikan. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa kedalaman air memiliki level yang rendah untuk budidaya ikan laut dan kekeruhan cukup tinggi untuk media persiapan produksi. Untuk budidaya ikan laut, pH berada pada kisaran 7,67-7,69, suhu 29,2C, salinitas 30 dan kekeruhan 2,28-2,65 NTU. Sementara untuk media persiapan air tawar, pH 7,25, suhu 29,8C, salinitas 0 ‰ dan kekeruhan 22,6 NTU. Secara umum, untuk seluruh lokasi parameter NO2, NH3 dan PO4 berada di bawah limit deteksi. Tidak adanya aplikasi biosekuriti, penerapan cara budidaya ikan yang baik serta terlalu bergantungnya masyarakat terhadap bantuan benih dan berbagai sarana produksi menjadikan aktivitas budidaya perikanan di Desa Tanjung Banon menjadi tidak berkelanjutan Kata kunci: Tanjung Banon, Kualitas Air, Biosekuriti, Cara Budidaya Ikan yang Baik A B S T R A C T The objective of the present study was to examine the water quality, diseases and aquaculture activity of Tanjung Banon, Sub District Sembulang, Batam. The study was conducted on February 2015 at three aquaculture sites which two of them performed mariculture activities. Integrated water sampling was used based on SNI No. 6989.57:2008 for pH, salinity temperature, water depth, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) and turbidity. This study also performed an interview to collect the aquaculture activities data from the farmers. The results shows that the water depth has a low level for mariculture and the turbidity has a high level for preparation media.For mariculture site, pH ranged from 7.67-7.69, temperature 29,2C, salinity 30 ‰ and turbidity ranged from 2,28-2,65 NTU. Meanwhile, for preparation media pH 7,25, temperature 29,8C, salinity 0 ‰ and turbidity was 22,6 NTU. In general, NO2, NH3 dan PO4 were under detection limits. The absence of biosecurity, good aquaculture practices and too rely on local government for seed and other facilities make the aquaculture activities at Tanjung banon become unsustainability Key words: Tanjung Banon, Water quality, Biosecurity, Good aquaculture practices

Upload: romi-novriadi

Post on 23-Jul-2015

123 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Identifikasi Penyakit Ikan, Kualitas Lingkungan dan Kelayakan Usaha Budidaya di Desa

Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam

Romi Novriadi1, Mulyadi2, M.Sanuri2, Jhonner Sihotang3, Oskar Putra4

1) Pengendali hama dan penyakit ikan ahli muda BPBL Batam 2) Pengawas perikanan ahli muda BPBL Batam 3) Pengawas perikanan terampil pelaksana BPBL Batam 4) Penyuluh perikanan terampil BPBL Batam

Koresponding penulis: Komplek Balai Perikanan Budidaya Laut Batam, Jl. Raya Barelang Jembatan III,

PO BOX 60 Sekupang. Batam -29438. E-mail: [email protected] ; [email protected]

A B S T R A K

Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk menilai kondisi kualitas perairan, penyakit dan kelayakan usaha

budidaya di Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Batam. Pengamatan dilakukan pada bulan

Februari 2015 di tiga lokasi budidaya dan dua diantaranya adalah unit produksi ikan laut. Pengambilan

sampel air dilakukan dengan metoda gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008

untuk parameter pH, salinitas, suhu, kedalaman, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) dan

kekeruhan. Metoda pemantauan juga dilakukan dengan metoda wawancara untuk mendapatkan informasi

terkini tentang pengelolaan budidaya ikan. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa kedalaman air

memiliki level yang rendah untuk budidaya ikan laut dan kekeruhan cukup tinggi untuk media persiapan

produksi. Untuk budidaya ikan laut, pH berada pada kisaran 7,67-7,69, suhu 29,2⁰C, salinitas 30 ‰ dan

kekeruhan 2,28-2,65 NTU. Sementara untuk media persiapan air tawar, pH 7,25, suhu 29,8⁰C, salinitas 0

‰ dan kekeruhan 22,6 NTU. Secara umum, untuk seluruh lokasi parameter NO2, NH3 dan PO4 berada di

bawah limit deteksi. Tidak adanya aplikasi biosekuriti, penerapan cara budidaya ikan yang baik serta

terlalu bergantungnya masyarakat terhadap bantuan benih dan berbagai sarana produksi menjadikan

aktivitas budidaya perikanan di Desa Tanjung Banon menjadi tidak berkelanjutan

Kata kunci: Tanjung Banon, Kualitas Air, Biosekuriti, Cara Budidaya Ikan yang Baik

A B S T R A C T

The objective of the present study was to examine the water quality, diseases and aquaculture activity of

Tanjung Banon, Sub District Sembulang, Batam. The study was conducted on February 2015 at three

aquaculture sites which two of them performed mariculture activities. Integrated water sampling was

used based on SNI No. 6989.57:2008 for pH, salinity temperature, water depth, ammonia (NH3), nitrit

(NO2), posfat (PO4) and turbidity. This study also performed an interview to collect the aquaculture

activities data from the farmers. The results shows that the water depth has a low level for mariculture

and the turbidity has a high level for preparation media.For mariculture site, pH ranged from 7.67-7.69,

temperature 29,2⁰C, salinity 30 ‰ and turbidity ranged from 2,28-2,65 NTU. Meanwhile, for preparation

media pH 7,25, temperature 29,8⁰C, salinity 0 ‰ and turbidity was 22,6 NTU. In general, NO2, NH3 dan

PO4 were under detection limits. The absence of biosecurity, good aquaculture practices and too rely on

local government for seed and other facilities make the aquaculture activities at Tanjung banon become

unsustainability

Key words: Tanjung Banon, Water quality, Biosecurity, Good aquaculture practices

1. Pendahuluan

Pengembangan sektor perikanan budidaya pada dasarnya dapat dilakukan dengan cepat,

efektif dan menguntungkan karena memiliki peranan yang cukup penting untuk memenuhi

permintaan akan ketersediaan ikan yang terus meningkat, sebagai sumber devisa negara dan

penyediaan lapangan kerja (Asmawi, 1984). Namun, munculnya wabah penyakit, degradasi

kualitas lingkungan dan pengelolaan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan kepada sistem

standar yang sudah ditetapkan menjadi faktor pembatas dalam menjamin keberlanjutan produksi

budidaya (Novriadi, 2013). Timbulnya wabah penyakit memiliki potensi untuk menyebabkan

kerugian ekonomi hingga mencapai US$ 3 miliar per tahun (Subasinghe et al., 2001) dan

menurunkan jumlah produksi di seluruh dunia (Hill, 2005). Sementara kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh degradasi kualitas lingkungan juga memberikan dampak yang cukup signifikan,

seperti yang dialami oleh pembudidaya ikan Kerapu di Batu licin yang menderita kerugian akibat

limbah eksploitasi bauksit hingga 1,8 Milyar (Novriadi, 2013).

Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan melalui peningkatan

sistem kekebalan tubuh seperti aplikasi vaksin (Attia et al., 2012), pemberian immunostimulan

(Novriadi dan Ibtisam, 2014) dan multivitamin (Ortuño et al., 1999) atau melalui sistem

pengobatan tanpa menggunakan antibiotika dan bahan kimia seperti aplikasi herbal yang

memiliki aktivitas antimikrobial karena memiliki zat aktif seperti alkaloid, flavonoid, pigments,

fenolik, terpenoid dan steroid (Citarasu et al., 1998). Peningkatan sistem kekebalan tubuh

seperti kisah sukses penerapan vaksinasi di Norwegia bahkan memiliki dampak positif terhadap

peningkatan produksi dan berhasil menekan penggunaan antibiotika yang dapat menyebabkan

resistensi pada mikroorganisme tertentu (Defoirdt et al., 2007) dan menimbulkan alergi pada

manusia akibat residu pada produk budidaya (Alderman dan Hastings, 1998; Cabello, 2006).

Sejalan dengan hal tersebut, penerapan biosekuriti untuk meningkatkan kapasitas kelayakan

usaha budidaya juga sangat diperlukan dalam rangka menjamin hasil produksi tetap

berkelanjutan dan memiliki mutu hasil produksi yang optimal.

Pemanfaatan zona perikanan yang berkelanjutan untuk pengembangan produksi perikanan

budidaya perlu mendapatkan perhatian. Hal ini tentunya sangat berkaitan erat dengan program

peningkatan ekonomi masyarakat pesisir yang selama ini mengandalkan aktivitas penangkapan

sebagai sumber pendapatan. Salah satu daerah yang memiliki potensi untuk implementasi dan

pengembangan aktivitas budidaya adalah Desa Tanjung Banon, Kecamatan Galang, Kotamadya

Batam. Sistem budidaya yang sudah dikembangkan meliputi sistem budidaya Keramba Jaring

Apung (KJA) dan Keramba Tancap untuk produksi ikan laut serta sistem budidaya menggunakan

kolam semen dan tanah dengan memanfaatkan sumber mata air untuk pengembangan komoditas

budidaya ikan air tawar. Berkembangnya usaha budidaya, khuusnya untuk produksi ikan laut

tentu akan berimplikasi kepada beberapa hal, antara lain: (1) Terbukanya sumber usaha baru, (2)

mengurangi ketergantungan konsumsi ikan hasil tangkapan dan (3) mengurangi tekanan terhadap

ekosistem terumbu karang (Darmawan et al., 2007). Untuk mendukung optimalisasi produksi,

maka Balai Perikanan Budidaya Laut Batam secara aktif memberikan penyuluhan, masukan dan

bimbingan teknis melalui kegiatan identifikasi kelayakan usaha budidaya dan monitoring

penyakit ikan dan lingkungan. Informasi yang diperoleh melalui kegiatan ini akan dijadikan

dasar untuk menyusun strategi pengelelolaan kesehatan ikan dan sistem budidaya yang efisien

dan efektif agar peluang keberhasilan usaha budidaya semakin tinggi.

2. Metodologi

2.1 Pelaksanaan kegiatan

Kegiatan pemantauan ini dilakukan di Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan

Galang, Kotamadya Batam pada tanggal 12 Februari 2015. Kegiatan pemantauan di lakukan di

wilayah Tanjung Banon dengan pertimbangan bahwa daerah ini memiliki potensi untuk

peningkatan volume produksi ikan laut dan air tawar serta sebagai salah satu daerah binaan yang

mendapatkan bantuan sarana dan prasarana untuk kegiatan budidaya dari Pemerintah Daerah.

2.2 Pengambilan contoh

Metoda pengambilan contoh air pada setiap lokasi budidaya dilakukan menurut metode

gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008, sementara metoda

pengambilan contoh ikan dilakukan secara purposive random sampling yang merupakan metoda

pemilihan sampel untuk kepentingan tertentu (FAO, 2004). Program pengambilan sampel juga

dilakukan dengan mempertimbangkan jalur masuk agen pencemar atau penyakit ke lingkungan

laut, periode pemaparan dan mekanisme transport di badan air (Syakti, et al., 2012).

2.3 Preparasi Sampel

Penanganan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel air kedalam botol plastik tanpa

gelembung udara dan selanjutnya diberi nama sampel dan lokasi pengambilan. Sampel air yang

telah diberi label dipindahkan ke dalam kotak polystyrene yang mengandung es dan

dipertahankan pada suhu 40 C. Untuk identifikasi virus, organ target di fiksasi dalam larutan

ethanol 75% kemudian disimpan dalam kotak polystyrene terpisah untuk mencegah adanya

kontaminasi. Untuk identifikasi bakteri, organ target diinokulasikan ke dalam media umum dan

media khusus, kemudian diisolasi untuk menghindari kontaminasi selama proses transportasi.

2.4 Analisa Data

Analisa distribusi penyakit, kualitas lingkungan dan kelayakan usaha budidaya dilakukan melalui

tiga tahapan, yakni tahapan pre site, on site dan post site. Tahapan pre site merupakan tahapan

pengumpulan data untuk memperoleh informasi tentang keragaan budidaya dan kesehatan ikan

melalui studi literatur dan pencermatan dokumen hasil kegiatan pada periode pemantauan

sebelumnya.

Tahapan on site dilakukan dengan melakukan analisa penyakit ikan, kualitas lingkungan,

diagnosa klinis dan data primer sistem produksi budidaya di lokasi pemantauan pada saat

kegiatan dilakukan. Parameter kualitas lingkungan yang diukur di lapangan (in situ) meliputi

parameter: pH (derajat keasaman), oksigen terlarut (DO), suhu, kedalaman dan kadar garam air.

Sementara data primer usaha budidaya diperoleh melalui wawancara dan pencermatan dokumen

terkini tentang kegiatan usaha budidaya

Tahapan post site dilakukan untuk analisa kualitas air lanjutan di laboratorium (ex situ) yang

meliputi parameter Kekeruhan, Ammonia (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan Posphat (PO4)

dengan menggunakan metode turbidimetri, spektrofotometri dan kolorimetri. Tahapan analisa

post site juga dilakukan untuk identifikasi bakteri secara konvensional dan identifikasi

keberadaan virus dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

konvensional.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Kondisi umum lokasi pemantauan

Secara geografis, Kecamatan Galang memiliki sekitar 120 pulau besar dan kecil dimana 36

pulau sudah berpenghuni dan sekitar 84 pulau lainnya masih belum memiliki penghuni. Pulau-

pulau yang berada di wilayah Kecamatan Galang umumnya merupakan sisa-sisa erosi daratan

pra-tersier yang membentang mulai dari Semenanjung Malaysia di bagian utara hingga Pulau

Moro, Kundur serta Karimun di bagian selatan. Berdasarkan sejarah geologi, wilayah dataran

Kecamatan Galang merupakan bagian dari paparan kontinental di sepanjang Benua Asia hingga

berakhir di Benua Australia. Namun demikian, struktur daratan yang ada tidak memiliki

perbedaan yang signifikan dengan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau lainnya (Anonim, 2013).

Penduduk Kecamatan Galang pada akhir tahun 2012 terdiri dari 9.208 jiwa laki-laki dan

8.260 jiwa perempuan. Secara persentase, dapat digambarkan bahwa jumlah penduduk laki-laki

5% lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Konsentrasi penduduk

terkecil berada di Kelurahan Air Raja dengan 784 jiwa atau sekitar 4,49 %. Sama halnya dengan

Kelurahan Subang Mas, penduduk di Kelurahan Subang Mas juga relatif kecil dengan 830 jiwa

atau sekitar 4,75 % dari total penduduk di Kecamatan Galang. Sementara konsentrasi penduduk

terbesar berada di Kelurahan Rempang Cate dengan 3.790 jiwa atau sekitar 21,70% dari total

penduduk di Kecamatan Galang. Untuk Kelurahan Karas dan Sembulang relatif sama yaitu

sekitar 15,89 % dan 15,01 %. Sedangkan di Kelurahan Galang Baru hanya memiliki penduduk

lebih dari 16,93 %.

Dari sisi kegiatan perikanan, Kecamatan Galang memiliki sumber daya perikanan budidaya

dan tangkap dengan nilai produksi yang cukup besar. Hal ini umumnya didukung oleh kondisi

geografis sebagai wilayah kepulauan. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2012 sebanyak

5.429 ton dengan nilai produksi mencapai Rp. 182,5 Milyar. Sementara dari sektor kegiatan

budidaya, Kecamatan Galang mampu memproduksi 736 ton ikan dengan nilai ekonomi sekitar

Rp. 29,4 Milyar dengan komoditas utama Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus, Kakap putih

Lates calcarifer, Bawal bintang Trachinotus blochii dan Kerapu cantang Hybrid grouper. Benih

untuk kegiatan produksi budidaya umumnya diperoleh dari unit produksi di Balai Perikanan

Budidaya Laut (BPBL) Batam, Situbondo dan Bali. Bila dibandingkan dengan total nilai

produksi perikanan laut Kota Batam yang memiliki nilai ekonomi Rp. 850,2 Milyar, maka

persentase produksi di Kecamatan Galang mencapai 21,46 %.

Gambar 1. Lokasi pemantauan budidaya dan keragaan penyakit ikan dan lingkungan oleh tim

monitoring Balai Perikanan Budidaya Laut Batam.

Berdasarkan data Kecamatan Galang dalam Angka tahun 2013, diketahui bahwa

Kelurahan Sembulang merupakan wilayah yang paling dekat dengan Kantor Kecamatan Galang

dengan jarak tempuh 1 Km, sementara untuk menuju ke Pusat Pemerintahan Kota Batam,

masyarakat Sembulang memiliki jarak tempuh mencapai 57,67 Km. Dari 6 (enam) pulau yang

berada di wilayah administratif kelurahan Sembulang, hanya ada 2 pulau yang telah berpenghuni

yakni Pulau Rempang dan Pulau Prantun, sementara 4 (empat) pulau lainnya belum berpenghuni,

diantaranya adalah Pulau Bekaol, Pulau Berbas, Pulau Nibung dan Pulau Bilis. Dari sebaran

penduduk, diketahui bahwa Kelurahan Sembulang juga memiliki 3 (tiga) perkampungan tua,

yakni: Desa Tanjung Banon, Kampung Dapur enam dan Kampung Sembulang. Berdasarkan

peta geografis, Kelurahan Sembulang memiliki batas:

1. Utara berbatasan dengan Kelurahan Rempang Cate

2. Selatan berbatasan dengan Selat Tiung

3. Barat berbatasan dengan Pulau Panjang (Kelurahan Sijantung)

4. Timur berbatasan dengan Desa Pangkil

Total luas wilayah yang dimiliki Kelurahan Sembulang adalah 125.232 Km2, dengan perincian

luas daratan sebanyak 65.834 Km2 dan luas lautan mencapai 59.398 Km2. Potensi wilayah di

Kelurahan Sembulang sudah tidak diragukan lagi. Namun, belum optimalnya penggunaan

sumber daya alam menjadikan banyaknya lahan yang masih tersedia sebagai alternatif mata

pencaharian masyarakat hinterland di Kelurahan Sembulang yang umumnya berprofesi sebagai

nelayan tangkap

Lokasi

pemantauan

Data keragaan budidaya

Berikut ditampilkan data keragaan budidaya melalui kegiatan wawancara di tiga lokasi

pemantauan.

Tabel 1. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Balil

No Data primer Keterangan

1 Nama pemilik Bp. Balil (Kelompok Usaha Bersama Sukses)

Jumlah anggota kelompok: 13 orang

2 Nomor kontak 081372534076

3 Lokasi budidaya Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan

Galang, Kotamadya Batam. Provinsi Kepulauan Riau

4 Luas budidaya 10 unit KJA HDPE dengan ukuran @ 3 x 3 x 1 m

5 Struktur KJA High Density Poly Ethylene merk dagang Aquatec

6 Tingkat teknologi Sederhana

7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi 4 ton

8 Asal benih Produksi 1: Bantuan benih Kerapu macan dari Dinas KP

Pemprov Kepri sebanyak 2000 ekor (uk: 4-5 cm)

Produksi 2 : Benih tangkapan alam Kerapu lumpur sebanyak

500 ekor

9 Padat tebar Benih bantuan dibagi rata untuk 13 orang anggota kelompok

dan masing-masing menebar 170 ekor benih kerapu macan

untuk KJA ukuran 3x3x3 m3

10 Waktu tebar Februari 2013. Panen perdana 24 Desember 2013 (ukuran ±500

gr). Panen kedua dilakukan pada tanggal 7 Februari 2014

11 Tingkat kelulushidupan Benih bantuan Kerapu macan memiliki SR 40%

12 Jumlah kematian Benih bantuan Kerapu macan mengalami kematian pada masa

awal pemeliharaan setelah tebar dengan jumlah kematian

sebanyak ±300 ekor untuk 3 hari berturut-turut. Kematian ikan

kemudian konsisten terjadi selama fase produksi namun masih

dalam jumlah wajar

13 Sejarah penyakit Kesalahan penanganan

14 Waktu serangan Pada saat awal masa penebaran dan dipicu dengan degradasi

kualitas air akibat dibukanya pelabuhan ferry di dekat lokasi

budidaya.

15 Upaya pengendalian

penyakit

Dilakukan dengan pencucian air tawar dan Iodine. Upaya

pencegahan juga dilakukan dengan mengaplikasikan suplemen

penambah nafsu makan, vitamin dan immunostimulan

16 Bobot serangan Sedang

17 Taksiran kerugian Rp. 4.200.000,-

18 Pakan Ikan rucah (harga Rp. 5000/kg)

Pemberian pakan dilakukan 2 x sehari

19 Biosekuriti Negatif

20 Sertifikat Negatif

Tabel 2. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Atong

No Data primer Keterangan

1 Nama pemilik Bp. Atong / Bp. Muhammad

2 Nomor kontak 081276565918

3 Lokasi budidaya Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan

Galang, Kotamadya Batam. Provinsi Kepulauan Riau

4 Luas budidaya 26 unit KJA dengan ukuran @ 3x3x3 m3

5 Struktur KJA Kayu

6 Tingkat teknologi Sederhana

7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi 12 ton

8 Asal benih 1. Bawal bintang dari Balai Perikanan Budidaya Laut Batam

2. Kerapu cantang dari Balai Perikanan Budidaya Laut Batam

3. Kakap putih dari Tanjung pinang

4. Kerapu kertang berasal dari tangkapan alam

5. Kerapu sunu berasal dari tangkapan alam

9 Padat tebar ± 250 ekor/jaring

10 Waktu tebar Sepanjang siklus produksi

11 Tingkat kelulushidupan 1. Bawal bintang, SR: 40% (tebar awal agustus 2014)

2. Kerapu cantang, SR : 74% (tebar awal Juli 2014

3. Kakap putih dan Kerapu sunu hanya bersifat transit

12 Sejarah penyakit Dimulai sejak 2 minggu awal masa pemeliharaan dengan gejala

klinis:

1.Bawal bintang (warna kulit menghitam, nafsu makan

berkurang dan berenang berputar / whirling)

2.Kerapu cantang (mulut dan kepala selalu ada luka dan radang)

13 Waktu serangan Angin timur (Bulan April – Juni) dan dipicu dengan suhu air

yang meningkat. Peningkatan suhu ini selalu diikuti dengan

kemunculan lintah dan cacing insang

14 Upaya pengendalian

penyakit

Cuci air tawar disertai dengan perendaman dengan Acriflavine

1.Ikan ukuran besar (>10 gr), dicuci dengan air tawar 1 x

seminggu

2.Ikan ukuran kecil (<10 gr), dicuci dengan air tawar 2 – 3 x

seminggu

15 Bobot serangan Sedang

16 Taksiran kerugian >Rp. 5.000.000,-

Berdasarkan kepada jumlah kematian ikan Bawal bintang dan

Kerapu macan selama masa produksi dengan memperkirakan

ukuran dan nilai ekonomis pada saat penilaian

17 Pakan Pelet dan ikan rucah

18 Biosekuriti Negatif

19 Sertifikat Negatif

Tabel 1. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Naharuddin

No Data primer Keterangan

1 Nama pemilik Bp. Naharuddin (Kelompok Usaha Bersama) dengan jumlah

anggota sebanyak 4 orang

2 Nomor kontak 081373494522

3 Lokasi budidaya Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan

Galang, Kotamadya Batam. Provinsi Kepulauan Riau

4 Luas budidaya 5 kolam produksi ikan lele dengan ukuran @ 8 x 5 x 1 m

5 Struktur Kolam Dasar tanah dengan struktur dinding adalah beton

6 Tingkat teknologi Sederhana

7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi 2,5 ton

8 Asal benih 1. Produksi perdana: Bantuan benih ikan lele (ukuran 3-4 cm)

dari Dinas KP3K Kotamadya Batam sebanyak 9000 ekor

2. Produksi lanjutan: Bantuan benih ikan lele (ukuran 3-4 cm)

dari Dinas KP3K Kotamadya Batam sebanyak 9000 ekor

9 Padat tebar 2000 benih / kolam

10 Waktu tebar Pada saat menerima bantuan benih

11 Tingkat kelulushidupan Dari dua siklus produksi rata-rata 70%

12 Sejarah penyakit 1. Produksi perdana gagal total dikarenakan adanya

limpahan air hujan yang menghanyutkan seluruh ikan lele di

unit produksi menunju ke laut

2. Produksi kedua memiliki gejala klinis khas seperti badan

memutih, tegak dan gerakan renang lemah

13 Waktu serangan Setiap bulan pertama pada masa produksi

14 Upaya pengendalian

penyakit

Tidak pernah, namun kelompok pembudidaya juga

mendapatkan bantuan obat-obatan untuk pengendalian penyakit

ikan dari Dinas KP3K Kota Batam

15 Bobot serangan Rendah

16 Taksiran kerugian 1. Produksi perdana: Rp. 15.000.000,-

2. Produksi kedua: Rp. 4.000.000,-

17 Pakan Pakan pellet bantuan dinas KP3K sebanyak 30 karung dengan

volume @ 30 kg

18 Biosekuriti Negatif

19 Sertifikat Negatif

Gambar 1. Kegiatan pengambilan data keragaan budidaya dan kualitas lingkungan

Berdasarkan data keragaan budidaya diketahui bahwa sistem budidaya dengan menggunakan

keramba jaring apung dengan struktur kayu dan polyethylene adalah sistem yang umum

digunakan oleh masyarakat pembudidaya di Desa Tanjung Banon untuk pengembangan

komoditas ikan laut. Berdasarkan laporan Coremap (2009), struktur polyethylene lebih

disarankan karena bahan ini disamping tahan terhadap berbagai pengaruh lingkungan juga lebih

murah jika dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Dari dua lokasi pemantauan, Kelompok

Usaha Bersama Sukses yang dipimpin oleh Bp. Balil telah menggunakan unit KJA berbahan

dasar polyethylene yang merupakan bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau.

Tim monitoring dan pemantauan BPBL

Batam di lokasi budidaya

Unit budidaya milik Bp. Balil (Lokasi 1)

Proses pengambilan data dan wawancara

dengan para pembudidaya

Proses pengambilan data kualitas air

secara langsung di lokasi pemantauan

Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1,2 dan 3, umumnya para pembudidaya yang

membentuk kelompok usaha sangat mengandalkan bantuan benih, pakan dan sarana kegiatan

usaha budidaya dari Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dilihat pada siklus produksi Kelompok

Usaha Bersama Sukses yang dipimpin oleh Bp. Balil dan Kelompok Usaha Bersama yang fokus

pada produksi ikan lele Clarias gariepinus pimpinan Bp. Naharuddin. Keterlambatan bantuan

berakibat kepada berhentinya siklus produksi dan tidak optimalnya penggunaan bantuan sara dan

prasarana yang telah diberikan. Menurut laporan Coremap (2009), tantangan untuk

keberlanjutan produksi di wilayah Kepulauan Riau, khususnya di daerah hinterland di wilayah

administratif Kotamadya Batam sangat dipengaruhi oleh empat variabel, diantaranya (1)

ketersediaan benih, (2) ketersediaan tenaga kerja, (3) peluang pasar dan (4) minat masyarakat.

Sampai saat ini budidaya ikan dalam KJA di lokasi pemamtauan belum berkembang. Hal ini

disebabkan karena biaya untuk pembelian benih, pakan dan pemeliharaan sarana dan prasarana

yang diberikan melalui bantuan proyek pendampingan cukup besar. Pada lokasi milik Bp. Atong

yang seluruh investasi usaha berasal dari dana pribadi, kondisi ini disiasati dengan menggunakan

beberapa unit produksi sebagai lokasi transit dari hasil tangkapan alam yang mendekati ukuran

konsumsi hingga mencapai ukuran jual. Menurut Utama (2008), kekurangan dari berbagai

proyek bantuan selama ini adalah: (1) Kurang optimalnya mekanisme pendampingan, sehingga

kesulitan teknis di lapangan tidak dapat diantisipasi oleh masyarakat pembudidaya, (2)

Implementasi organisasi yang tidak tepat, sehingga masing-masing anggota cenderung untuk

saling menyalahkan bila terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan, dan (3) aturan main

diantara pihak-pihak yang terlibat belum dikoordinasikan dengan baik

Kegiatan kelompok usaha budidaya saat ini tidak terlalu mengesankan bagi masyarakat

pulau, mungkin diakibatkan oleh sifat sosial dan homogenitas masyarakat yang sedemikian

tinggi sehingga kohesifitas sosial yang berkaitan dengan musyawarah untuk membahas hasil

pekerjaan, evaluasi dan saling tegur untuk memperingatkan bila terjadi aktivitas yang tidak

sesuai dalam sistem produksi menjadi sangat rendah. Kondisi ini semakin dipersulit dengan fakta

bahwa sebahagian besar anggota kelompok usaha budidaya memiliki hubungan persaudaraan

ataupun kekerabatan. Dalam konteks masyarakat Desa Tanjung Banon, pengertian tentang

kerjasama dalam satu kelompok dan membentuk usaha bersama dalam sebuah wadah yang

disebut koperasi sangat sulit dipahami. Hal ini utamanya disebabkan oleh paham yang selalu

mengartikan usaha bersama sebagai proses pembangunan badan hukum usaha yang dapat

digunakan secara bersama atau berkelompok untuk pengajuan maupun penerimaan bantuan

sarana dan prasarana pendukung usaha budidaya ikan.

Dalam menjamin keberlanjutan produksi budidaya, penguasaan teknologi dan pengetahuan

sangat penting dan dapat diperoleh melalui pelatiahn budidaya yang rutin dilakukan oleh

Pemerintah Daerah dan Pusat. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3, diketahui

bahwa tingkat kematian yang tinggi utamanya disebabkan oleh kurangnya pengalaman dan

pengetahuan dalam melakukan aklimatisasi dan pengelolaan sistem produksi. Hal ini

berdasarkan kepada kematian ikan budidaya yang lebih diakibatkan oleh faktor penguasaan

teknis seperti kematian sejumlah 900 ekor benih kerapu macan pada masa tiga hari awal

pemeliharaan akibat kesalahan dalam melakukan aklimatisasi di kelompok Usaha Bersama

Sukses atau kehilangan seluruh ikan lele menjelang masa panen di lokasi milik Bp. Naharuddiin

(Lokasi 3) akibat kurangnya pengetahuan dalam hal konstruksi.

Dalam sistem pemeliharaan ikan yang baik, aspek kesehatan ikan dan lingkungan memiliki

peranan penting dalam mendukung optimalisasi produksi. Berdasarkan hasil pengamatan selama

masa pemantauan di desa Tanjung Banon diketahui bahwa untuk kelompok usaha budidaya yang

menjadi binaan dan mendapatkan bantuan, tindakan pengobatan umumnya dilakukan dengan

pencucian air tawar dan dilajutkan dengan perendaman menggunakan iodine. Sementara untuk

unit budidaya yang merupakan usaha milik sendiri, seperti halnya di lokasi 2 milik Bp. Atong,

tindakan pengendalian dilakukan dengan perendaman secara rutin, dimana untuk ikan besar

perendaman dilakukan dengan frekuensi 1 x seminggu dan untuk ikan kecil, frekuensi

perendaman adalah 2 – 3 x seminggu tergantung kondisi cuaca dan gejala klinis yang

ditunjukkan oleh ikan. Penekanan upaya pencegahan lebih baik dibandingkan pengobatan juga

sangat diharapkan untuk dapat dilakukan, khususnya oleh para pembudidaya binaan dengan

menggunakan suplemen yang telah disediakan oleh Pemerintah Daerah, seperti obat penambah

nafsu makan, vitamin dan immunostimulan. Namun, kajian di lapangan menunjukkan bahwa

kelompok pembudidaya ikan khususnya di Desa Tanjung Banon tidak terlalu memperdulikan

upaya pencegahan dalam pengelolaan kesehatan ikan selama masa produksi. Hal ini berdasarkan

kepada masih utuhnya persediaan vitamin, immunostimulan serta bahan suplemen aktif lainnya

yang telah diberikan kepada anggota kelompok. Sementara untuk usaha mandiri, tindakan

pencegahan juga masih minim dan hanya bergantung kepada aplikasi vitamin pada pakan.

Minimnya aplikasi bahan prophylaksis ini umumnya disebabkan oleh mahalnya bahan suplemen

dan sulitnya mencari obat dengan bahan aktif yang dapat memperkuat sistem imun. Kurangnya

pengetahuan tentang penggunaan dan dampak positif dari upaya pencegahan serta minimnya

bimbingan teknis menyebabkan pembudidaya hanya melakukan tindakan pengendalian

berdasarkan informasi yang diberikan oleh penyelenggara bantuan dengan melakukan

perendaman air tawar dan antiseptik bila ikan menunjukkan gejala klinis terserang penyakit.

Tindakan pengobatan dengan tidak memperhatikan dosis, jenis agen penyebab penyakit,

lingkungan dan kondisi pengobatan akan mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif dan

berakibat kepada penurunan tingkat ketahanan tubuh organisme akuatik (Novriadi dan Kadari,

2013), resistensi penyakit (Alderman dan Hastings, 1998) dan stress yang berakibat pada

kematian ikan budidaya (Thoney dan Hargis, 1991).

Gambar 2. Jenis obat-obatan bantuan Pemerintah Daerah provinsi Kepulauan Riau yang

diberikan kepada kelompok usaha budidaya, meliputi dari kiri ke kanan: Amino liquid untuk

menambah nafsu makan, vitamin dan pemacu pertumbuhan.

Data kualitas air budidaya

Tabel 2. Karakteristik kualitas air di lokasi pemantauan, Lokasi 1 merujuk pada unit KJA milik

Bp. Balil (Kelompok Usaha Bersama Sukses). Lokasi 2 merujuk pada unit produksi Bp. Atong

dan Lokasi 3 merujuk pada unit budidaya lele milik Bp. Naharuddin (kelompok usaha bersama).

Parameter Satuan Hasil Uji Kualitas Air

Metoda Analisa Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3

pH* 7,67 7,69 7,25 SNI 06-6989.11-2004

Suhu* ⁰C 29,2 29,2 29,8 Elektrometri

Kedalaman* m 5 4 1 Bathimetri

Salinitas* g/L 30 30 0 Refraktometri

Nitrit (NO2) mg/L <0.1 <0.1 <0.1 Kolorimetri

Ammonia (NH3) mg/L <0,09 <0,09 <0,09 IKM/5.4.6/BBL-B

Posfat (PO4) mg/L <0,04 <0.04 <0.04 IKM/5.4.8/BBL-B

Kekeruhan NTU 2,65 2,28 22,6 IKM/5.4.9/BBL-B

Keterangan: * : Analisa dilakukan di lokasi pemantauan (In situ)

Data kualitas air hasil pemantauan untuk uji kelayakan usaha budidaya di wilayah Desa

Tanjung Banon, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam ditampilkan pada Tabel 2. Suhu pada

saat pemantauan berada pada kisaran 29,2 – 29,8⁰ C, konsentrasi nitrat <0,01 mg/l, nitrit < 0,1

mg/l, Ammonia <0,09 mg/l dan Posfat <0,04 mg/l. Sementara itu, nilai kekeruhan memiliki

variasi, dimana pada budidaya ikan laut memiliki nilai kisaran 2,28 – 2,65 NTU dan untuk air

persiapan produksi ikan lele Clarias gariepinus memiliki nilai kekeruhan mencapai 22,6 NTU.

Menurut Adipu et al., (2013), jika dibandingkan dengan nilai matriks kesesuaian, nilai

parameter fisika dan kimia umumnya berada dalam kategori sesuai untuk budidaya ikan laut di

KJA. Namun, nilai kekeruhan pada media air persiapan untuk produksi ikan lele C. gariepinus

mencapai 22,6 NTU. Menurut Fisesa et al., (2014), Nilai kekeruhan pada perairan merupakan

gambaran dari banyaknya bahan-bahan yang tersuspensi di perairan, diantaranya adalah liat,

debu, plankton dan organisme renik. Konsentrasi kekeruhan yang melebihi baku mutu akan

berdampak kepada terhambatnya penetrasi cahaya matahari yang masuk keperairan dan

mempengaruhi kehidupan organisme akuatik, seperti gangguan pada sistem pernafasan,

penglihatan dan mekanisme penyaringan makanan.

Kedalaman air dari dua daerah yang menjadi fokus pengamatan untuk produksi budidaya

ikan laut berada pada kisaran 4-5 m. Perbedaan kedalaman walaupun jarak unit KJA tersebut

sedikit berdekatan dapat diakibatkan oleh dimensi kantong jaring, perbedaan pasang dan surut

dan jarak minimal antara dasar jaring KJA dengan dasar perairan. Menurut Adipu et al., (2013)

jika kantong jaring memiliki tinggi 3 m, beda pasang surut 2 m dan jarak minimal antara dasar

jaring dengan perairan adalah 2 m, maka sebaiknya kedalaman untuk produksi ikan laut memiliki

jarak minimal 7 m. Sementara berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan di wilayah Desa

Tanjung Banon, dengan rata-rata tinggi jaring mencapai 3 m dan jarak antara pasang dan surut

adalah 2 m, dapat disimpulkan bahwa kedalaman dengan variasi antara 4 – 5 m merupakan jarak

kedalaman yang tidak optimal bagi produksi ikan laut. Tingkat kedalaman yang sangat rendah

dapat mengakibatkan intensitas serangan parasit yang memiliki siklus hidup di dasar perairan

akan semakin tinggi serta mengakibatkan terganggunya sistem pernafasan dan penglihatan bila

terjadi aktivitas surut yang ekstrim akibat eksploitasi lumpur yang memasuki kolom air media

pemeliharaan ikan. Menurut Ramelan (1998), kedalaman air untuk produksi ikan laut di KJA

harus > 8 m. Pertimbangan untuk menentukan kedalaman maksimal untuk produksi budidaya

ikan juga harus mempertimbangkan besarnya biaya konstruksi, khususnya mooring system,

besarnya biaya operasional dan sulitnya mekanisme instalasi KJA (Beveridge, 1991).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, nilai pH untuk produksi ikan laut berada pada

kisaran 7,67 – 7,69, sementara untuk media air persiapan produksi ikan lele C. gariepinus berada

pada level 7,25. Suhu pada saat pemantauan untuk produksi ikan laut berada pada angka 29,2 ⁰C

dan untuk media persiapan ikan lele C. gariepinus 29,8⁰C. Sementara untuk parameter Ammonia

(NH3), Nitrit (NO2) dan Posfat (PO4) secara umum berada dibawah limit deteksi alat

spektrofotometer UV Visible. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas air untuk parameter pH,

suhu, NH3, NO3 dan PO4 berada dalam kategori layak untuk digunakan sebagai media

pemeliharaan ikan menurut KepMen LH No. 51/2004.

4. Kesimpulan

Pengembangan usaha budidaya perikanan, apabila tidak disertai dengan studi pendahuluan

daya dukung lingkungan perairan dan kepedulian terhadap keseimbangan sumberdaya alam,

maka seringkali berakhir dengan kegagalan. Berdasarkan pengalaman yang telah tersedia

sebelumnya, maka sangat diperlukan kegiatan pemantauan usaha kelayakan budidaya dan kajian

terkini tentang keragaan penyakit dan kualitas lingkungan untuk mendukung optimalisasi hasil

produksi. Berdasarkan hasil kajian dapat dismpulkan bahwa:

1. Kondisi perairan di wilayah Desa Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang

Kotamadya Batam merupakan perairan oigotrofik–mesotrofik dimana unsur haranya masih

sangat rendah dan sangat potensial untuk pengembangan usaha budidaya ikan.

2. Dalam melakukan penataan penempatan keramba di sepanjang garus pantai, perlu dilakukan

perencanaan penempatan agar usaha budidaya memiliki kondisi kelayakan yang sesuai baik

untuk parameter fisika, kimia maupun biologi. Perencanaan pengembangan juga harus

mempertimbangkan estetika dan kelancaran lalu lintas hasil produksi budidaya dan

transportasi masyarakat.

3. Untuk mendukung keyakan usaha, diperlukan pelatihan dan bimbingan teknis khususnya

tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), pelaksanaan sistem biosekuriti dan pengisian

dokumen selama masa produksi. Hal ini dimaksudkan agar kematian ikan akibat faktor teknis

maupun non teknis hingga kerugian ekonomi dapat diminimalisir untuk menjamin

keberlanjutan hasil produksi

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Perikanan Budidaya Laut Batam yang telah

mendukung kegiatan pemantauan kawasan budidaya dan kajian keragaan penyakit dan kualitas

lingkungan melalui DIPA Tahun Anggaran 2015 serta mengucapkan terima kasih kepada seluruh

Staff Kelurahan Sembulang atas informasi geografis yang diberikan.

Daftar pustaka

Aldeman, D.J., Hastings, T.S. (1998). Antibiotic use in aquaculture: development of antibiotic

resistance-potential for consumer health risks. Int. J. Food Sci. Technology (33): 139-155

Anonim. (2013). Kecamatan Galang dalam angka.

Attia A, Mesalhy S, Galil YA, Fathi M (2012) Effect of Injection Vaccination against

Pseudomonas fluorescens on Specific and Non-Specific Immune Response of Nile Tilapia

(Oreochromis niloticus) Using Different Prepared Antigens. 1 : 552 doi : 10.4172 /

scientificreports. 552

Asmawi. (1984). Pemeliharaan ikan dalam kerambah. Gramedia. Jakarta. 82 halaman.

Beveridge, M. (1991). Cage aquaculture. Fishing News Books. Elsevier. Amsterdam. p.264

Cabello, F.C. (2006). Heavy use of prophylactic antibiotics in aquaculture: a growing problem

for human and animal health and for the environment. Environ Microbiol (8): 1137-1144

Citarasu, T., Immanuel, G., Marian, M.P. (1998). Effects of feeding Artemia enriched with

stresstol and cod liver oil on growth and stress resistance in the Indian white shrimp Penaeus

indicus post larvae. Asian Fish Sci (12):65-75

Darmawan. A., Suraji, B., Wiryawan, W., Koswara., Martosudarmo, W. (2007). Panduan

Penyusunan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Coremap II Departemen

Kelautan dan perikanan.

Defoirdt. T., Boon, N., Sorgeloos, P., Verstraete, W., Bossier, P. (2007). Alternatives to

antibiotics to control bacterial infections : luminescent vibriosis in aquaculture as an

example. Trends in Biotechnology 25 (10) : 472-479.

FAO. (2004). Fish marketing and credit in Viet Nam. In FAO Fisheries Technical Paper ID:

167171. Fisheries and Aquaculture Department.p. 1-3

Fisesa, E.D., Setyobudiandi, I., Krisanti, M. (2014). Kondisi perairan dan struktur komunitas

makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Jurnal

Depik, 3(1):1-9 Hill, B.J. (2005). The need for effective disease control in international aquaculture. Dev. Biol.

(Basel) (121): 3–12

Novriadi, R. (2013). Studi komparasi dan dampak hasil keputusan gugatan perdata pencemaan

lingkungan budidaya ikan laut di pulau Bintan. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan

Perikanan, 8 (2): 41-45

Novriadi, R., Kadari, M. (2013). Perlakuan kultur gnotobiotik Artemia dengan β-glukan:

Kajian potensi β-glukan untuk memperkuat resistensi terhadap vibriosis. Aquacultura

Indonesiana 14 (3): 99-106

Ortuño, J., Esteban, M.A., Meseguer, J. (1999). Effect of high dietary intake of vitamin C on

non-specific immune response of gilthead seabream (Sparus aurata L.) Fish Shell. Immunol.,

9: 429–443

Ramelan, H.S. (1998). Pengembangan budidaya ikan laut di Indonesia dalam: Kumpulan

makalah seminar teknologi perikanan pantai. Denpasar 6-7 Agustus 1998. Balitbang

Departemen Pertanian dan JICA. p. 1-37

Subasinghe, R. dkk. (2001). Aquaculture development, health and wealth. In aquaculture in the

third millennium. Technical proceedings of the conference on aquaculture in the third

millennium (Subasinghe, R.P. et al., eds). pp. 167-191. Bangkok and FAO, NACA

Syakti, A.D., N.V. Hidayati dan A.S. Siregar. (2012). Agen pencemaran laut. IPB Press.

Bogor. p. 100.

Thoney, D. A. dan W. J. Hargis, (1991). Monogenea (platyhelminthes) as hazards for fish in

confinement. Annual Rev. of fish Diseases, 133-153

Utama, F.W. (2008). Analisis kelayakan usaha budidaya ikan kerapu macan di Pulau Panggang,

Kabutapen Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Institut Pertaninan Bogor