isi laporan akhir disertasi doktor
Post on 17-Oct-2021
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PE�EL
RESPO�S IM
DE�GA� A�T
DA� PEMBU
Drh
Dibiayai dari D
Perjanjian Penuga
FAKUL
U�
LAPORA� AKHIR
E�ELITIA� DISERTASI DOKTOR
�S IMU� ME�CIT YA�G DIIMU�ISAS
A�TIGE� CYSTICERCUS CELLULOS
MBUATA� A�TIBODI MO�OKLO�A
Ketua
Drh. Ida Bagus �gurah Swacita,MP
�ID� : 0007105809
ari Dana RM Universitas Udayana dengan Sur
enugasan Penelitian �o.175.40/U�14.2/P�L.01.0
2013 tanggal 16 Mei 2013
KULTAS KEDOKTERA� HEWA�
U�IVERSITAS UDAYA�A
�opember 2013
�ISASI
LOSAE
O�AL
n Surat
L.01.03.00/
HALAMA� PE�GESAHA�
Judul Penelitian : Respons Imun Mencit yang Diimunisasi dengan
Antigen Cysticercus cellulosae dan Pembuatan
Antibodi Monoklonal
Peneliti/Pelaksana
Nama Lengkap : Drh. Ida Bagus Ngurah Swacita, MP
NIDN : 0007105809
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Program Studi : Kedokteran Hewan
Nomor HP : 081338504709
Alamat Surel (e-mail) : ngurah.swacita@gmail.com
Anggota : -
Nama Lengkap : -
Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
Penanggung Jawab : drh. Ida Bagus Ngurah Swacita,MP
Tahun Pelaksanaan : 2013
Biaya Keseluruhan : Rp.36.925.000,-
Denpasar, 15 Nopember 2013
Mengetahui,
Plt. Dekan FKH Unud, Peneliti,
(Dr.drh. Tjok Gde Oka Pemayun,MS)
(Drh. Ida Bagus Ngurah Swacita,MP)
NIP 19570630 198710 1 001 NIP 19581007 198702 1 001
Mengetahui
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Udayana
Prof. Dr. Ir. I Ketut Satriawan, MT.
NIP 19640717 198903 1 001
RI�GKASA�
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respons imun mencit yang
diimunisasi dengan antigen suspensi larva cacing pita babi (C.cellulosae) dan mem-
buat antibodi monoklonal anti-C. cellulosae. Kadar protein dari antigen C cellulosae
ini diukur, kemudian antigen ini digunakan untuk mengimunisasi mencit Balb/c.
Respons imun mencit yang telah diimunisasi selanjutnya diukur titernya dengan uji
ELISA. Sel limfosit mencit yang memberikan respons imun dengan titer tertinggi
digunakan untuk membuat antibodi monoklonal (AbMo).
Sel limfosit mencit yang memproduksi antibodi terhadap antigen larva, difusikan
dengan sel mieloma. Hasil fusi dari kedua sel ini menghasilkan sel hibrid
yang disebut sel hibridoma. Sel hibridoma yang tumbuh, selanjutnya diskrining
dengan uji ELISA. Sel hibridoma yang hanya memproduksi AbMo anti-C. cellulosae
selanjutnya dipakai untuk memproduksi AbMo dalam jumlah besar.
Karakterisasi AbMo anti-C. cellulosae ditentukan dengan uji ELISA dan Western
blotting menggunakan antigen C. cellulosae dan plasma babi normal (kontrol
negatif).
Mencit yang diimunisasi dengan antigen C. cellulosae menunjukkan respons imun
dengan menghasilkan antibodi terhadap C. cellulosae. Berdasarkan hasil fusi,
diproduksi sebanyak 51 klon sel hibridoma dan setelah diskrining ternyata hanya tiga
klon sel hibridoma yang menghasilkan AbMo-anti-C. cellulosae. Antibodi
monoklonal yang dihasilkan, diberi nama sesuai tempat tumbuhnya pada lubang plat
mikro ELISA, yaitu BE6, BE7, dan EE9. Karakterisasi AbMo ini mampu melacak
antigen C. cellulosae pada cairan larva dan dapat mengenali protein antigen C.
cellulosae dengan berat molekul 78 kDa.
Kata kunci : Cysticercus cellulosae, mencit, respons imun, antibodi monoklonal.
ii
PRAKATA
Taeniasis/Sistiserkosis termasuk parasitik zoonosis, yaitu penyakit yang dapat
menular dari manusia ke hewan atau sebaliknya. Penyakit ini masih banyak
ditemukan di beberapa negara termasuk Indonesia terutama di daerah yang tingkat
sanitasi lingkungannya masih rendah. Propinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi
infeksi taeniasis/sistiserkosis tertinggi di dunia adalah Irian Jaya (Papua), sedangkan
di daerah lainnya, seperti Bali dan Sumatra Utara, taenisis pada manusia masih sering
ditemukan. Diagnosis penyakit ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan jaringan babi
seperti lidah, otot pipi, otot diafragma, pemeriksaan daging pada ternak babi di RPH,
uji serologis dan biopsi kulit pada manusia. Semua cara diagnostik penyakit ini, masih
memiliki kelemahan, untuk itu perlu diteliti cara diagnostik menggunakan antibodi
monoklonal yang hasilnya nanti dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosis kasus
taeniasis/sistiserkosis pada hewan maupun manusia.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dikti/Universitas Udayana yang telah membiayai penelitian ini. Demikian
pula, terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan penelitian ini.
Denpasar, 15 Nopember 2013
Penulis,
Drh. Ida Bagus Ngurah Swacita,MP
iii
DAFTAR ISI
Daftar Isi Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................i
RINGKASAN ................................................................................................... ii
PRAKATA ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vii
BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...................................... 8
BAB 4. METODE PENELITIAN ................................................................... 9
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................13
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................23
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Uji Deskriptif Respons Imun Mencit............................................................13
2. Analisis statistik Respons Imun Mencit (OD 405nm).................................13
3. Hasil Fusi Sel Limfosit Asal Mencit yang kebal terhadap C. cellulosae
dengan Sel Mieloma (NS1)...........................................................................14
4. Karakteristik antibodi monoklonal anti- C. cellulosae................................17
5. Hasil Pemurnian AbMo Anti-C.cellulosae (OD 450nm).............................19
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Grafik Respons Imun Mencit Setelah Diimunisasi (Vaksin)....................14
2. Pertumbuhan Klon Sel Hibridoma pada Media DMEM-HT....................15
3. Contoh Hasil Skrining Sel Hibridoma dengan Uji ELISA.......................16
4. Pengukuran Titer Antibodi Monoklonal (AbMo) anti-C.cellulosae ........18
5. Reaktivitas AbMo dengan cairan larva C.cellulosae dan cairan plasma
serta ekstrak daging normal asal babi .....................................................19
6. Sel Hibridoma Penghasil AbMo Disimpan dalam Nitrogen Cair...........20
7. Pemurnian AbMo anti-C. cellulosae Menggunakan Kolom Agarose
Protein A...................................................................................................20
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Ketersediaan sarana dan prasarana penelitian .................................. ..........27
2. Personalia Tenaga Peneliti ..............................................................................28
3. Artikel Publikasi ..............................................................................................32
vii
1
BAB I PE�DAHULUA�
Taeniasis/sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing T.
solium yang berdampak serius pada kesehatan hewan maupun manusia. Di daerah endemis
penyakit ini sangat erat hubungannya dengan kemiskinan, sanitasi yang buruk, tidak
tersedianya jamban keluarga serta adanya akses ternak babi makan kotoran manusia pada
halaman rumah maupun tegalan (Assa et al., 2012; Dharmawan et al., 2012). Bali,
Sumatera Utara, dan Papua merupakan wilayah endemis di Indonesia (Sutisna et al., 2000;
Morgono et al., 2001; Purba et al., 2002; Wandra et al., 2003, 2006; Subahar et al., 2005;
Suroso et al., 2006; Sudewi et al., 2008; Assa et al., 2012; Dharmawan et al., 2012). Di
wilayah ini, cysticercosis selain menyerang babi juga merupakan salah satu penyebab
kematian pada manusia akibat migrasi larva T. solium (C. cellulosae) ke otak yang dikenal
dengan neurosistiserkosis. Kejadian neurosistiserkosis telah banyak dilaporkan di berbagai
negara (Cruz et al., 1999; Singhi dan Singhi, 2004; Arimbawa et al., 2004; Towns et al.,
2004; Hawk et al., 2005).
Sistiserkosis dapat menular ke manusia melalui konsumsi daging mentah atau dimasak
kurang sempurna yang mengandung larva cacing tersebut (Suroso et al., 2006;; Sudewi et
al., 2008; Assa et al., 2012; Dharmawan et al., 2012). Untuk mencegah penularan
penyakit dari ternak ke manusia, maka sangat diperlukan adanya metode pemeriksaan
daging yang murah, sensitif, dan spesifik. Pemeriksaan daging yang diterapkan saat ini
oleh instansi terkait adalah secara inspeksi (Direktorat Kesmavet, 2005). Metode tersebut
mempunyai sensitivitas yang sangat rendah, sehingga peluang memberikan hasil negatif
palsu (false negative) cukup tinggi, terutama pada ternak dengan intensitas infeksi yang
rendah. Belakangan ini banyak dikembangkan uji serologis untuk melacak keberadaan C.
cellulosae dengan mendeteksi keberadaan antibodi terhadap cacing tersebut (Dharmawan
et al., 2012). Uji ini sering memberikan hasil positif palsu (false positif), karena sering
terjadinya reaksi silang dengan parasit lain serta keberadaan antibodi akan tetap terdeteksi
walaupun parasitnya sudah tidak ada pada ternak tersebut. Oleh karena itu, perlu
tersedianya metode diagnostik untuk melacak keberadaan C. cellulosae dengan
menerapkan prinsip imunologis untuk melacak antigen parasit tersebut dengan
menggunakan antibodi monoklonal (Artama, 1999; Astawa, 2002; Astawa et al., 2004).
2
Dalam pencegahan penyakit terutama penyakit parasitik yang bersifat zoonosis, deteksi
keberadaan agen penyakit pada ternak sebagai pembawa agen penyakit sangat
dibutuhkan. Hasil pemeriksaan yang akurat sangat esensial dalam diagnosis penyakit,
keamanan pangan asal hewan serta sertifikasi suatu peternakan, terutama terhadap
penyakit-penyakit ternak yang bersifat subklinis seperti taeniasis/sistiserkosis. Penyakit
ini pada ternak selain menyebabkan kerugian ekonomi akibat penurunan kualitas daging
dan daging harus diapkir, juga merupakan sumber penularan penyakit kepada manusia
(bersifat zoonosis).
Taeniasis/sistiserkosis bersifat endemis di beberapa daerah di Indonesia. Prevalensi
sistiserkosis pada manusia di Papua saat ini masih menduduki urutan tertinggi di dunia
(Rajshekhar et al., 2003; Margono et al., 2006; Suroso et al., 2006; Wandra et al. 2006).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh cysticercosis working group di Papua
menunjukkan bahwa prevalensi taeniasis/sistiserkosis sejak 37 tahun yang lalu tidak
terjadi penurunan. Prevalensi tertinggi ditemukan di Jayawijaya dan Panai (Wandra et
al., 2006). Assa et al. (2011) melaporkan bahwa rata-rata seroprevalensi sistiserkosis di
Papua 40,54% dengan kasus terbesar ditemukan di Distrik Asolokobal 92,80% dan
terendah di Distrik Wamena Kota 5,88%. Seroprevalensi sistiserkosis pada masyarakat
Bali relatif tinggi yaitu 5,20%-21,00%, sedangkan prevalensi infeksi taeniasis berkisar
antara 0,40%-23,00% (Wandra et al. 2006).
Beberapa masyarakat di Indonesia, misalnya di Bali memiliki budaya makan daging
yang belum dimasak atau dimasak belum sempurna seperti lawar (masakan khas yang
dibuat dari bahan daging babi mentah atau setengah matang) yang kemungkinan dapat
menularkan penyakit ini. Sistiserkosis pada manusia akibat infeksi larva cacing T. solium
(C. cellulosae) dapat menyerang sistem saraf pusat yang dikenal dengan istilah neuro-
sistiserkosis. Penyakit ini menyebabkan kematian dengan gejala epilepsi (Arimbawa et
al., 2004).
Dalam pemeriksaan daging terkait dengan keberadaan C.cellulosae sampai saat ini masih
menggunakan metode inspeksi. Dari aspek akurasi, metode tersebut masih memiliki
sensitifitas yang sangat rendah. Berbagai uji serologis telah dikembangkan untuk
mendeteksi adanya infeksi C.cellulosae pada hewan. Uji ini ditujukan terhadap hewan
yang masih hidup dengan pemeriksaan antibodi pada serum. Untuk tujuan pemeriksaan
3
daging di tempat pemotongan ataupun daging yang beredar di pasar metode ini tidak
sesuai.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu dikembangkan uji imunodiagnostik yang
dapat melacak keberadaan C.cellulosae pada daging melalui perasan daging. Salah satu
uji prospektif yang bisa dikembangkan adalah uji ELISA untuk mendeteksi antigen
melalui pemeriksaan perasan daging. Tersedianya antibodi monoklonal terhadap antigen
C. cellulosae akan memungkinkan dapat dikembangkan uji yang akurat, cepat, dan
murah untuk mendeteksi keberadaan C.cellulosae pada daging.
4
BAB II. TI�JAUA� PUSTAKA
Penyakit infeksi cacing pita (taeniasis) dan larva cacing pita (sistiserkosis) tergolong
sebagai penyakit zoonosis parasitik. Penyakit ini masih banyak ditemukan di negara-
negara berkembang (Subahar et al., 2001). Situasi ini terkait dengan keadaan higiene,
sanitasi lingkungan, dan tingkat pendidikan di daerah tersebut (Carrique-Mas et al.,
2001; Dorny et al., 2002). Beberapa kebiasaan seperti kegemaran penduduk
mengkonsumsi daging yang belum dimasak atau dimasak kurang sempurna, ikut andil
dalam penyebarannya (Owen et al., 2001).
Manusia terinfeksi sistiserkosis, bila makan daging mentah atau kurang matang yang
mengandung C. cellulosae. Sebaliknya, ternak terinfeksi sistiserkus bila menelan telur
cacing pita dewasa. Jika manusia makan daging babi yang mengandung C. cellulosae,
maka dalam usus manusia sistiserkus ini akan berkembang menjadi cacing pita T. solium
(cacing pita daging babi). Sebaliknya, babi akan terinfeksi C.cellulosae, jika menelan
telur cacing T. solium (Satrija, 2005).
Taeniasis dan sistiserkosis pada manusia di berbagai negara, terutama di negara
berkembang, masih tergolong tinggi dan masih merupakan masalah kesehatan yang
penting (Selvam et al, 2004). Infeksi oleh cacing dewasa dapat menimbulkan gangguan
pencernaan seperti diare, rasa tidak nyaman pada saluran pencernaan dan nyeri perut
(EC-HCPDG, 2000) yang selanjutnya dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan pada
manusia yang terinfeksi. Sementara itu, infeksi larva cacing T. solium (C. cellulosae)
dapat menimbulkan berbagai gejala klinis bergantung pada lokasi infeksi dan derajat
infeksi (Garcia dan Del Brutto, 2000; Hawk et al, 2005). Cysticercus cellulosae pada
manusia dapat ditemukan pada otak dan sumsum tulang belakang, mata, otot rangka dan
jaringan di bawah kulit (Garcia et al, 2003; Singhi dan Singhi, 2004; Sharma et al,
2003). Adanya sistiserkus pada otak manusia dapat menimbulkan sakit kepala, gejala
parkinson, mual, muntah dan bahkan epilepsi (Sawhney et al, 1998; Rajshekhar et al.,
2003).
Infeksi C.cellulosae pada hewan umumnya tidak ditandai dengan gejala klinis yang jelas.
Namun, adanya cysticercus di berbagai organ/jaringan secara ekonomi sangat merugikan
karena daging menjadi tidak layak konsumsi dan harus diapkir (Cai et al, 2006). Daging
5
yang terinfeksi juga merupakan sumber penularan cacing pita pada manusia (Kio et al,
2005).
Larva cacing pita yang menyebabkan sistiserkosis pada manusia adalah larva dari cacing
T.solium (C.cellulosae) (Kraft, 2007). Sistiserkus pada manusia dapat menimbulkan
penyakit saraf. Jika telur cacing pita termakan atau tertelan oleh manusia, maka telur
akan menetas dan menembus dinding usus halus untuk selanjutnya menuju berbagai
jaringan tubuh lain dan organ-organ vital manusia yang kemudian membentuk siste
(cacing gelembung). Bila menyerang otak atau jantung, infeksi C.cellulosae akan
menimbulkan penyakit yang serius seperti epilepsi, sakit kepala, gangguan psikiatri dan
gejala lainnya (Cai et al, 2006).
Penentuan infeksi cacing pita dewasa pada manusia dapat dilakukan dengan melacak dan
mengidentifikasi segmen (proglotid) dan telur cacing dalam tinja Namun, berdasarkan
metode konvensional ini, telur cacing T. solium dan T. saginata sukar dibedakan (EC-
HCPDG, 2000). Sementara itu, pelacakan adanya sistiserkosis pada hewan dapat
dilakukan dengan pemeriksaan daging di rumah potong. Sistiserkus dapat ditemukan pada
berbagai organ/jaringan seperti otot rangka, lidah, diafragma, jantung, otak dan mata.
Infeksi sistiserkosis sangat sulit dilacak pada hewan hidup (D’Sauza dan Afees, 1999).
Dewasa ini, teknik serologi telah mulai dikembangkan. Uji serologis sangat membantu
dalam mendiagnosis sistiserkosis (Selvam et al, 2004, Cai et al, 2006). Kesulitan yang
sering dihadapi dalam pengembangan uji serologi untuk melacak antibodi terhadap cacing
pita adalah adanya reaksi silang antara satu jenis cacing pita dengan cacing pita lainnya .
Misalnya beberapa protein dari C.cellulosae bereaksi silang dengan protein dari larva
cacing pita T. hydatigena pada babi (Olivo et al, 1988; Cai et al, 2006).
Infeksi cacing pita masih sering ditemukan, terutama di daerah yang penduduknya masih
terbiasa untuk mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna, di daerah
dengan kebersihan lingkungan yang buruk dan di daerah yang memungkinkan babi
makanannya tercemar oleh tinja manusia (Kio et al, 2005). Tingkat kejadiaanya
umumnya tinggi di daerah yang sedang berkembang seperti Amerika Latin, Afrika, Asia
Tenggara, dan negara-negara di Eropa Timur, dan infeksi juga sering dialami oleh para
imigran yang berasal dari daerah tersebut (Ito et al, 2003; Sciutto et al, 2000). Penularan
T. solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan Inggris dan di negara-negara
Skandinavia.
6
Masa inkubasi infeksi sistiserkosis pada manusia adalah beberapa minggu sampai dengan
10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi. Taenia solium dimungkinkan ditularkan
secara langsung dari orang ke orang. Telur dari cacing ini dapat menyebar ke lingkungan
selama cacing tersebut masih ada di dalam saluran pencernaan, kadang-kadang dapat
berlangsung lebih dari 30 tahun; telur cacing tersebut dapat hidup dan bertahan di
lingkungan selama beberapa bulan (Ditjen P3L, 2005)
Diagnosis infeksi sistiserkosis pada manusia dapat dilakukan dengan biopsi jaringan
seperti otot dan kulit untuk menemukan adanya cysticercus pada otot dan jaringan di
bawah kulit (Garcia et al, 2003, Sharma et al, 2003). Adanya sistiserkus pada otak
(neurosistiserkosis) pada manusia sangat sulit dilacak. Pemeriksaan dengan teknik
computerized tomography (CT) scan dapat terlihat adanya bagian skolek dari larva cacing
(Rajshekhar dan Chandy, 1997), Belakangan ini, uji serologi telah mulai dikembangkan
untuk melacak sistiserkosis pada manusia. Adanya infeksi cacing dewasa pada manusia
dapat dilakukan dengan pemeriksaan proglotid dan telur cacing dalam tinja. Namun,
dengan teknik ini sangat sulit dibedakan antara telur cacing pita T. solium dan T.saginata.
Adanya sistiserkus pada hewan dapat diperiksa dengan pemeriksaan daging di rumah
potong. Di daerah yang banyak peternakan babi seperti di Papua, Sumatera Utara, dan
Bali, kejadian sistiserkosis pada manusia dan ternak babi masih sering ditemukan
(Wandra et al, 2005). Penyebaran cysticercus pada babi dapat ditemukan di
mesenterium, otot, hati dan berbagai organ lainnya. Diduga, sistiserkus yang sering
ditemukan pada babi adalah C.cellulosae.
Antibodi monoklonal (AbMo) merupakan antibodi yang hanya bereaksi dengan satu jenis
epitop. Antibodi ini dibuat dengan cara memfusikan sel mieloma dengan limfosit asal
mencit yang kebal terhadap antigen tertentu. Kerena sel mieloma merupakan sel tumor
yang mampu memperbanyak diri secara in vitro dengan tidak terbatas, fusinya dengan sel
limfosit yang kebal terhadap antigen tertentu akan memungkinkan diproduksinya antibodi
dalam jumlah besar terhadap suatu antigen (Campbell, 1991). Selain itu, reaksinya yang
khas terhadap suatu antigen menyebabkan AbMo sangat berpotensi untuk dikembangkan
dalam membuat kit diagnosis terhadap penyakit tertentu. Dewasa ini, AbMo telah dibuat
terhadap antigen dari berbagai jenis patogen (Astawa, 2002, Astawa et al., 2004; Zheng et
al., 2001). Reaksinya yang khas memungkinkan AbMo dipakai untuk membedakan agen
penyakit yang mempunyai hubungan dekat (Zheng et al., 2001). Antigen parasit seperti
7
cacing pita spesies tertentu banyak yang bereaksi silang dengan antigen cacing pita dari
spesies lainnya (Olivo et al., 1988). Karena itu, tersedianya AbMo terhadap berbagai
jenis antigen larva cacing pita akan sangat memungkinkan untuk dikembangkannya kit
diagnosis yang dapat melacak untuk larva dari semua cacing pita.
Studi pendahuluan yang telah dilakukan dalam kaitan dengan penelitian disertasi ini
adalah mendapatkan isolat larva (C.cellulosae) dari Papua dan Bali. Penelitian yang sudah
dilakukan adalah pembuatan suspensi larva dan menentukan kadar protein larva tersebut.
Saat ini yang sedang dan akan dilakukan selanjutnya adalah mengimunisasi mencit dengan
antigen suspensi C.cellulosae, menentukan titer antibodinya; produksi antibodi
monoklonal anti- C.cellulosae, dan penggunaan antibodi monoklonal untuk mendeteksi
C.cellulosae pada daging babi dalam upaya menentukan keamanan daging.
8
BAB III TUJUA� DA� MA�FAAT PE�ELITIA�
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Mempelajari respons imun mencit yang diimunisasi dengan antigen suspensi
C.cellulosae,
2) Pembuatan antibodi monoklonal anti-C.cellulosae, dan karakterisasinya.
Manfaat dari penelitian ini adalah tersedianya antibodi monoklonal anti-C.cellulosae yang
dapat dikembangkan untuk uji diagnostik yang lebih akurat, cepat, dan murah untuk
mendeteksi kasus taeniasis/sistiserkosis pada hewan ternak maupun pada manusia.
9
BAB IV. METODE PE�ELITIA�
Respons Imun Mencit yang Diimunisasi dengan Antigen C.cellulosae
1. Penyiapan Mencit
Mencit yang digunakan untuk hewan coba dalam penelitian ini adalah Balb/c betina
berumur enam minggu. Mencit Balb/c sebanyak 6 ekor, dibagi dalam enam kandang, dan
setiap kandang berisi satu ekor. Setiap mencit diadaptasikan dalam kandang selama
seminggu, diberi pakan pelet (±10 gram) dan air minum (±15 ml) sekali sehari pada pagi
hari.
2. Penyiapan Antigen C. cellulosae
Larva cacing pita T.solium (C.cellulosae) yang diperoleh dari Karangasem-Bali, disiapkan
sebagai antigen dengan cara sebagai berikut. Pertama, C.cellulosae dibersihkan dari sisa
lemak dan daging babi, kemudian dicuci sampai bersih dengan larutan PBS yang
mengandung antibiotika (PBS-Ab). Kedua, Pembuatan suspensi C.cellulosae 10% (10
gram C. cellulosae dalam 100 ml larutan PBS-Ab). Cysticercus cellulosae ditimbang
sebanyak 10 gram, digerus sampai halus dengan mortal, kemudian ditambahkan larutan
PBS-Ab perlahan-lahan sampai volumenya 100 ml. Suspensi C. cellulosae disaring
dengan cara memindahkan dari spuit jarum besar (18G) ke spuit jarum paling kecil (25G).
Suspensi C. cellulosae diukur kadar proteinnya, selanjutnya diencerkan sampai kadar
proteinnya menjadi 200µg/ml. Dimasukkan ke dalam beberapa ependorf masing-masing
berisi 1,5 ml (aliquot), kemudian disimpan dalam freezer (-20oC) sampai digunakan untuk
imunisasi mencit.
3. Imunisasi Mencit
Dalam penelitian ini, imunisasi mencit menggunakan antigen suspensi C. cellulosae.
Imunisasi mencit dilakukan dengan metode Astawa (2002). Dalam hal ini, mencit
diimunisasi empat kali dengan skema berikut.
1. Suspensi antigen C. cellulosae, 45 hari sebelum pengukuran titer antibodi, diemulsikan
dalam Freund’s Complete Adjuvant dan disuntikkan pada enam ekor mencit masing-
masing dengan dosis 0,2 ml secara intraperitoneal.
2. Antigen yang sama, 30 hari dan 15 hari sebelum pengukuran titer antibodi,
diemulsikan dalam Freund’s incomplete adjuvant dan disuntikkan pada enam ekor
mencit yang sama masing-masing dengan dosis 0,2 ml secara intraperitoneal.
10
3. Seminggu sebelum pengukuran titer antibodi, mencit diimunisasi dengan antigen yang
sama tetapi tidak diemulsikan dalam adjuvant.
4. Pengukuran Titer Antibodi
Mencit yang telah diimunisasi diambil serumnya dan adanya antibodi anti-C.cellulosae
serta besarnya titer antibodi diuji dengan uji ELISA dan Western blotting.
Pembuatan Antibodi Monoklonal (AbMo)
1. Mencit yang telah diimunisasi selama 45 hari yang diambil serumnya dan menunjukkan
adanya antibodi anti-C.cellulosae serta memiliki titer tertinggi, di-booster dengan
antigen suspensi sistiserkus yang sama tanpa adjuvant, berturut-turut pada hari kelima,
keempat, dan ketiga sebelum fusi dengan sel mieloma.
2. Sel limfosit asal mencit yang kebal (menghasilkan antibodi) terhadap sistiserkus
sebanyak 108 difusikan dengan 2 x 10
7 sel mieloma (NS1) menggunakan polyethylene
glycol (PEG) 45 %. Sel hasil fusi kemudian disuspensikan dengan medium selektif
DMEM-HAT (Dulbeco Modified Essential Medium Hypoxanthine Amainopterin Thymine)
yang mengandung 106
sel “feeder” per ml media dan sel selanjutnya dibiakan dalam plat
mikro ELISA 96 sumuran pada suhu 37oC. Media selektif akan membunuh sel mieloma,
tetapi tidak membunuh sel mieloma yang berfusi dengan limfosit. Sel yang berfusi ini
menghasilkan sel hybrid yang disebut sel hibridoma. Tujuh hari setelah fusi, sel hibridoma
dibiakan dalam media DMEM-HT sampai muncul klon hibridoma yang menghasilkan
antibodi terhadap antigen sistiserkus.
3. Skrining klon hibridoma yang menghasilkan AbMo khas antigen C. cellulosae
dilakukan dengan uji ELISA menggunakan antigen cysticercus. Hibridoma yang terbukti
menghasilkan AbMo khas antigen sistiserkus kemudian di-klon ulang dengan cara
pengenceran terbatas sesuai dengan prosedur yang dijabarkan oleh McKearn (1980).
Kloning ulang dilakukan agar diperoleh klon hibridoma yang dimulai dari satu sel
sehingga antibodi yang diproduksinya benar-benar monoklonal, yaitu hanya mengenali
satu jenis epitop. Sel hibridoma ini kemudian diisolasi dan dipakai untuk menyiapkan
AbMo dalam jumlah besar. AbMo stok ini dibuat dengan cara menumbuhkan hibridoma
dalam media DMEM-HT sampai terlihat tanda-tanda kematian sel. Cairan supernatannya
kemudian ditampung, disimpan dalam -20oC, endapannya (sel hibridoma) disimpan
dalam nitrogen cair dan dipakai sebagai AbMo stok.
11
Karakterisasi Antibodi Monoklonal anti-C. cellulosae
Penentuan kekhasan AbMo anti-C. cellulosae dengan Uji ELISA
Antigen C. cellulosae dan plasma babi normal (kontrol negatif) diencerkan dalam
coating buffer (15mM Na2CO3, 35mM NaHCO3 pH 9,6), selanjutnya sebanyak 100µl
antigen dimasukkan ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA dan diinkubasi pada
suhu 4oC semalam. Pencucian dilakukan dengan Phosphate Buffer Saline (PBS) yang
berisi 0,05% Tween 20 (PBS-T) sebanyak tiga kali, selanjutnya ke dalam setiap
lubang plat mikro ELISA ditambahkan 100 µl blocking buffer (5% susu skim dalam
PBS-T). Setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit,
susu skim dibuang,
kemudian ditambahkan 100 µl AbMo ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA dan
diinkubasikan kembali pada suhu 37oC selama 60 menit. Pencucian kembali
dilakukan seperti di atas, dan kemudian ditambahkan 100 µl anti-mouse IgG-horse
radish peroksidase (Bio-Rad USA, pengenceran 1: 2000 dalam PBS-T) ke dalam
setiap lubang plat mikro ELISA dan diinkubasikan kembali pada suhu 37oC selama 60
menit. Setelah pencucian seperti di atas, ditambahkan 100 µl substrat TMB (Bio-Rad,
USA) ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA. Kepekatan warna substrat kemudian
dibaca dengan multiscan spectrophotometer menggunakan filter 405nm.
Penentuan kekhasan AbMo anti-C.cellulosae dengan uji Western blotting
Protein sistiserkus diencerkan dalam sample reducing buffer (SDS 2,3%, mercapto-
ethanol 5%, Tris-HCl 0,0625 M. pH. 6,0, gliserol 10%, bromophenol blue 0,001%)
dan dianalisis dengan SDS-PAGE (Sodium Dedocylsulphate - Polyacrylamide Gel
Electrophoresis). Protein sistiserkus yang telah dipisahkan dalam gel kemudian
ditransfer ke membran nitroselulosa. Membran nitroselulosa dipotong kecil-kecil dan
direaksikan dengan AbMo. Adanya ikatan antara AbMo dengan protein sistiserkus
divisualisasikan dengan penambahan anti-mouse IgG-alkaline phosphatase dan
substrat BCIP/NBT.
12
Pembuatan AbMo Titer Tinggi pada Kultur Sel Hibridoma
Sel hibridoma yang menghasilkan AbMo ditumbuhkan dalam media DMEM-HT
(Dulbeco Modified Essential Medium-Hypoxanthine Thymine) dengan 20% FCS (fetal
calf serum) sampai diperoleh jumlah kultur yang banyak (±100 ul). Sel hibridoma
terus ditumbuhkan sampai terlihat tanda-tanda kematian sel, kemudian disentrifus
dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Cairan supernatan dan selnya kemudian
ditampung, dialiquot, dan disimpan dalam -20oC.
Pemurnian AbMo dengan Kolom Agarose Protein A
Kolom agarose protein A dipasang pada statif, kemudian dicuci dengan wash buffer
10 ml, selanjutnya dicuci dengan binding buffer 10 ml. Antibodi monoklonal yang
akan dimurnikan, dicampur dengan binding buffer 1: 1, kemudian disentrifus dengan
kecepatan 10000g selama 5 menit, kemudian AbMo ini dimasukkan ke dalam kolom,
ditunggu sampai habis menetes pada tanda resin. Kolom dicuci dengan 10 ml binding
buffer, kemudian kolom diisi 5 ml Elution buffer (diencerkan 5x dengan PBS). Fraksi
elusi (Eluet) ditampung setiap 1 ml dalam ependorf dan segera ditambahkan 50µl
,eutralisation buffer dalam setiap 1 ml Eluet. Fraksi yang mengandung AbMo
ditentukan dengan uji ELISA, dan hasilnay dibaca pada spektrofotometer
menggunakan filter 450 nm. Kolom dicuci dengan 10 ml elution buffer dan diikuti
dengan 5 ml akuades yang mengandung 0,02% sodium azide. Jika sisa larutan tinggal
2 ml di atas resin, kolom ditutup dan disimpan pada suhu 4oC.
Data hasil pembuatan AbMo dan karakterisasinya, dijelaskan secara deskriptif.
13
BAB V HASIL DA� PEMBAHASA�
5.1 Respons Imun Mencit yang Diimunisasi dengan Antigen C. cellulosae
Sampel larva cacing pita babi (C. cellulosae) diambil dari Kabupaten Karangasem,
Provinsi Bali. Sampel larva dipisahkan dari daging, kemudian dimasukkan ke dalam botol-
botol kecil dan disimpan pada suhu -20oC. Dari sampel larva ini, kemudian dibuat antigen
suspensi C. cellulosae 10% dalam larutan PBS-Ab. Kadar protein dari antigen ini,
kemudian diukur dengan Quibit Fluorometer dan hasilnya didapatkan sebesar 467 µg/ml.
Antigen C. cellulosae diencerkan menjadi 200 µg/ml, selanjutnya digunakan untuk
mengimunisasi mencit Balb/c betina umur 6 minggu. Program imunisasi pada mencit
dilakukan 4 tahap dan setelah proses imunisasi selesai, darah mencit diambil dari sinus
orbitalis, kemudian disentrifus 1500 rpm selama 5 menit. Serum mencit diambil,
kemudian dilakukan pengukuran terhadap respons imunnya dengan uji ELISA. Data hasil
pengukuran respons imun mencit tersebut, kemudian dianalisis dan hasilnya disajikan di
bawah ini.
Tabel 1. Uji Deskriptif Respons Imun Mencit
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Imunisasi (vaksin) 8 1,10012 0,247849 0,087628
Tanpa Imunisasi 4 0,68300 0,055660 0,027830
Tabel 2. Analisis statistik Respons Imun Mencit (OD 405nm)
Levene’s Test for
Equality of Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig (2-tailed)
Equal variances
assumed 1,801 0,209 3,250 10 0,009
Equal variances not
assumed 4,537 8,287 0,002
Uji diskriptif menunjukkan bahwa rerata optical dencity (OD) respons imun mencit yang
diimunisasi dengan antigen C. cellulosae (1,10012 ± 0,247849) lebih tinggi bila
dibandingkan dengan mencit yang tidak imunisasi (0,68300 ± 0,055660). Demikian pula,
hasil analisis statistik pada Tabel 2 dan Gambar 1, menunjukkan bahwa perlakuan
14
imunisasi sangat nyata (P<0,01) dapat menimbulkan respons imun pada mencit bila
dibandingkan dengan mencit tidak diimunisasi (kontrol).
Gambar 1. Grafik Respons Imun Mencit Setelah Diimunisasi (Vaksin)
Respons imun merupakan aktivasi dari klon limfosit mencit yang dapat mengenal antigen
C. cellulosae yang telah pernah terpapar sebelumnya karena perlakuan imunisasi secara
berulang. Fase awal dari respons imun adalah mengenal antigen dan ekspansi klon yang
diperlukan, fase berikutnya adalah deferensiasi dari sel yang memberi respons dan
rekrutmen serta aktivasi sistem efektor (misalnya produksi antibodi), aktivasi dari sel
makrofag, pembentukan sel sitotoksik dan lain-lain (Kresno, 1996). Imunisasi mencit
dengan antigen C. cellulosae dapat menimbulkan respons imun selular maupun humoral.
Limfosit T yang bertanggung jawab untuk respons imun selular, dirangsang untuk
memproduksi sejumlah zat yang diperlukan untuk memacu berbagai reaksi, sedangkan
aktivasi dari sel B mengakibatkan sel ini berproliferasi dan berdiferensiasi kemudian
memproduksi antibodi. Respons imun sekunder pada mencit umumnya timbul lebih cepat
dan lebih kuat daripada respons imun primer. Hal ini disebabkan adanya sel T dan sel B
15
memori serta antibodi yang tersisa. Masuknya antigen C. cellulosae pada imunisasi
berikutnya, sudah dikenal oleh sel B spesifik secara lebih efisien dan dapat bertindak
sebagai antigen-presenting Cell (APC). Karena jumlah sel T dan sel B lebih banyak
dibandingkan sel lainnya, maka kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen C.
cellulosae lebih besar sehingga titer antibodi terhadap C. cellulosae juga cepat meningkat
(Kuntarti, 2009; Judarwanto, 2012).
5.2 Hasil Fusi Sel Limfosit yang telah Imunisasi dengan antigen C. cellulosae
dengan sel Mieloma (�S1)
Hasil fusi antara sel limfosit mencit dengan sel mieloma membentuk sel hibrid yang
disebut sel hibridoma. Pengamatan pertumbuhan sel hibridoma baru tampak mulai hari ke-
10 setelah fusi (Gambar 2). Jumlah sel hibridoma yang diproduksi sebanyak 51 klon, dan
dari 51 klon ini, selanjutnya diskrining dengan uji ELISA. Hasil skrining menunjukkan
hanya 7 klon yang memberikan hasil reaktivitas kuat (Tabel 3).
Gambar 2. Pertumbuhan Klon Sel Hibridoma pada Media DMEM-HT
Tabel 3. Hasil Fusi Sel Limfosit Asal Mencit yang kebal terhadap C. cellulosae
dengan Sel Mieloma (�S1)
Imunogen Jumlah sel
Hibridoma
ELISA Jumlah
AbMo khas
anti-C.
cellulosae
Skrining I (42 klon) Skrining II (51 klon)
Reaktivitas
kuat
Reaktivitas
lemah
Reaktivitas
kuat
Reaktivitas
lemah
C.
cellulosae
51 7 4 3 7 3
Skrining dengan uji Uji ELISA didapatkan 7 klon sel hibridoma yang menghasilkan antibodi
monoklonal terhadap C. cellulosae. Contoh sel hibridoma yang menghasilkan AbMo
16
terhadap C. cellulosae disajikan pada Gambar 3. Dari ketiga AbMo anti-C. cellulosae yang
diproduksi oleh sel hibridoma, semuanya bereaksi hanya dengan antigen C. cellulosae.
Semua AbMo yang diproduksi perlu dikarakterisasi lebih lanjut, yang meliputi penentuan
kekhasan AbMo anti-C. cellulosae dengan uji ELISA, dan penentuan berat molekul protein
antigen C. cellulosae yang bereaksi dengan AbMo. AbMo yang dihasilkan oleh sel
hibridoma selanjutnya diberi nama sesuai dengan lubang tempat klon sel hibridoma tersebut
ditemukan, yaitu BE6, BE7, dan EE9.
Gambar 3. Contoh Hasil Skrining Sel Hibridoma dengan Uji ELISA
Antibodi monoklonal terhadap C. cellulosae dapat dibuat dengan cara memfusikan sel
mieloma (sel tumor) dengan sel limfosit mencit yang telah dikebalkan dengan antigen C.
cellulosae tersebut. Dalam hal ini mencit Balb/c dikebalkan dengan antigen C. cellulosae
asal babi. Beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan produksi AbMo antara
lain antigen yang dipakai untuk imunisasi mencit, metode skrining yang dipakai untuk
melacak sel hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap antigen C. cellulosae, dan
kualitas pertumbuhan sel mieloma (Astawa, 2002; Tenaya, 1997). Dalam penelitian ini
antigen yang dipakai untuk imunisasi mencit adalah protein C.cellulosae yang diekstrak
dengan PBS dan digerus dengan mortal. Dengan cara seperti ini diperoleh protein C.
cellulosae yang larut dalam air, sehingga sebagian besar protein yang diperoleh adalah
protein larva. Dengan demikian respons imun mencit yang muncul setelah imunisasi,
sebagian besar merupakan antibodi terhadap C. cellulosae. Antigen yang sama juga dipakai
dalam uji ELISA untuk melacak sel hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap C.
cellulosae. Namun untuk menghindari adanya sel hibridoma yang mengahasilkan antibodi
17
terhadap jaringan normal dari inang (babi) asal larva cacing itu diperoleh, maka AbMo juga
diuji dengan cairan tubuh (plasma/ekstrak jaringan) babi. Banyak peneliti menggunakan
antigen yang tidak dimurnikan untuk mengimunisasi mencit dalam pembuatan AbMo
(Astawa dkk., 2004). Namun yang lebih penting adalah metode yang dipakai untuk melacak
sel hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap antigen yang diinginkan. Banyak peneliti
menggunakan uji ELISA untuk skrining AbMo karena sangat sederhana dan dapat dipakai
untuk melacak sampel dalam jumlah besar (Ohnisi dkk, 2005, Astawa dkk, 2004). Setiap
hasil positif dengan uji ELISA, harus diuji lebih lanjut dengan uji yang lain seperti uji
Western blotting agar semua antibodi yang diperoleh benar-benar bereaksi secara khas
terhadap C. cellulosae.
5.3 Karakterisik Monoklonal Antibodi-Anti C. cellulosae
Dalam penelitian ini diperoleh tiga AbMo yang bereaksi secara khas dengan antigen
larva cacing pita T.solium (C cellulosae). Karakteristik AbMo tersebut disajikan di bawah ini.
Tabel 4. Karakteristik antibodi monoklonal anti- C. cellulosae.
Nama
AbMo
Uji ELISA Western Blotting
Antigen
C. cellulosae
Titer Plasma babi
normal
Antigen
C. cellulosae
Plasma babi
normal
Ekstrak
daging
normal
BE6 +++ 27 -- 78 kDa -- --
BE7 +++ 27 -- 78 kDa -- --
EE9 ++ 23 -- -- -- --
Keterangan :
+++ = positif kuat
++ = positif sedang
-- = negatif
Penentuan Kekhasan AbMo anti-C. cellulosae dengan Uji ELISA
Dari tujuh klon sel hibridoma yang dikembangkan, ternyata hanya tiga yang menghasilkan
antibodi monoklonal (AbMo) khas anti- C. cellulosae (Gambar 4).
Kemampuan AbMo untuk melacak antigen C. cellulosae yang diperoleh dari daging babi
terinfeksi, dilakukan dengan uji ELISA. Dalam hal ini AbMo diencerkan berkelipatan 2.
Dua AbMo yaitu BE6 dan BE7 memiliki reaktivitas kuat (+++) dengan titer >27 (OD
405nm) dan satu AbMo (EE9) bereaktivitas sedang (++) dengan titer 23 (Gambar 4).
18
Gambar 4. Pengukuran Titer Antibodi Monoklonal (AbMo)-anti C. cellulosae
AC6 (-), BE6 (titer >27), EC10 (-), BE7 (titer >2
7), DC1 (-), EE9 (titer 2
3),
BG8 (-), K (kontrol/plasma babi normal)
Metode skrining tampaknya merupakan faktor yang penting bagi seleksi sel hibridoma yang
menghasilkan antibodi terhadap larva cacing pita T. solium. Dalam penelitian ini antigen
yang dipakai dalam uji ELISA untuk skrining hibridoma adalah cairan kista larva cacing pita
T. solium yang diperoleh dari daging babi terinfeksi. Dengan antigen ini, uji ELISA
dipastikan akan melacak antibodi terhadap antigen larva cacing maupun terhadap antigen
daging babi yang secara normal terdapat dalam cairan kista larva. Ini dimungkinkan karena
imunisasi mencit dengan antigen yang juga berasal dari cairan larva yang sudah tentu juga
mengandung antigen asal babi. Namun, dengan uji ELISA menggunakan plasma babi
normal, hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap cairan daging babi dapat
disingkirkan.
Penentuan Kekhasan AbMo anti-C. cellulosae dengan Western blotting (WB)
Pada uji WB, tidak semua AbMo yang diproduksi bereaksi dengan antigen C. cellulosae asal
babi. Dua AbMo yaitu BE6 dan BE7 mengenali pita protein C. cellulosae dengan berat
molekul 78 kDa, sedangkan satu AbMo (EE9) tidak mengenali pita protein C. cellulosae.
Ketiga AbMo tidak bereaksi dengan cairan plasma dan ekstrak daging babi normal (Gambar
5). Satu AbMo yang tidak bereaksi pada uji WB mungkin disebabkan oleh tidak dikenalinya
antigen larva cacing pita yang telah mengalami denaturasi pada penyiapan antigen untuk uji
2-3
2-2
2-6
2-1
2-0
2-5
2-7
EC10 AC6 BE6 K BG8 EE9 BE7 DC1
2-4
19
WB. Dalam penyiapan antigen untuk uji WB, antigen larva cacing pita telah mengalami
denaturasi dengan SDS dan mercaptoethanol. Ini berbeda dengan uji ELISA yang
menggunakan antigen tidak didenaturasi dengan senyawa tersebut. Belum diketahui
spesifisitas pita protein yang dikenali oleh AbMo yaitu 78 kDa. Uji masih harus dilakukan
untuk menentukan apakah pita protein tersebut khas larva cacing pita T. solium, atau juga
ditemukan pada larva cacing pita lainnya, seperti larva cacing pita T. hidatigena sering
dijumpai pada babi dan larva cacing pita T. saginata yang umum ditemukan pada sapi dan
kadang-kadang ditemukan juga pada babi.
Gambar 5. Reaktivitas AbMo dengan cairan larva (C.cellulosae) dan cairan plasma
serta ekstrak daging normal asal babi.
(Marker (A), AbMo BE6 (B), BE7 (C), EE9 (D), Cairan plasma normal asal
babi (E), Ekstrak daging normal asal babi (F)
Dengan uji ELISA indirek, AbMo mampu melacak antigen larva cacing pita T. solium
dengan reaktivtas kuat (BE6 dan BE7). Satu AbMo (EE9) menunjukkan reaktivitas sedang.
Reaktivitas AbMo dalam uji ELISA yang hasilnya beraneka ragam menunjukkan bahwa
kemampuan sel hibridoma untuk mensekresi AbMo juga berbeda-beda. Dalam beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa AbMo yang dihasilkan oleh klon hibridoma juga
mempunyai reaktivitas, afinitas dan titer yang berbeda-beda.
Pembuatan AbMo Titer Tinggi pada Kultur Sel Hibridoma
Sel hibridoma BE6, BE7 dan EE9 yang menghasilkan AbMo yang bereaksi secara khas
dengan C. cellulosae ditumbuhkan pada media DMEM HT dengan 20% FCS. Sebagian sel
hibridoma ditumbuhkan sampai mati dan sebagian lagi ditumbuhkan dengan mengganti/
A B C D E F
150kDa--
100kDa--
75kDa--
50kDa--
37kDa--
25kDa--
20
memperbaharui medianya sehingga diperoleh AbMo titer tinggi. Setiap sel hibridoma
ditumbuhkan sampai mencapai kultur yang banyak (±100µl). Media dan selnya dikoleksi dan
disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Cairan supernatannya ditampung,
dialiquot dan disimpan pada suhu -20oC, sedangkan selnya dimasukkan ke dalam media FCS-
DMSO dengan perbandingan 9:1, dialiquot, dan disimpan dalam nitrogen cair (Gambar 6).
Gambar 6. Sel Hibridoma Penghasil AbMo Disimpan dalam �itrogen Cair
Pemurnian AbMo dengan Kolom Agarose Protein A
Antibodi monoklonal dimurnikan menggunakan kolom Agarose Protein A (Gambar 7),
dan hasil pemurniannya (eluet) ditampung dalam ependorf yang berisi masing-masing 1
ml. Eluet tersebut kemudian diuji ELISA untuk mengetahui eluet ke berapa AbMo muncul
dan berapa titernya. Hasil pengujian eluet dapat dilihat seperti di bawah ini.
Gambar 7. Pemurnian AbMo anti-C. cellulosae Menggunakan Kolom Agarose
Protein A
21
Tabel 5. Hasil Pemurnian AbMo Anti-C. cellulosae (OD 450nm)
Pengenceran 1
AbMo
2
Eluet 1
3
Eluet 2
4
Eluet 3
5
Eluet 4
6
Eluet 5
(1:2) 1,440 1,255 1,256 1,102 0,121 0,106
(1:4) 1,704 1,564 1,651 1,091 0,118 0,128
(1:8) 1,701 1,582 1,524 0,912 0,130 0,143
(1:16) 1,800 1,517 1,591 0,611 0,135 0,148
(1:32) 1,682 1,518 1,579 0,442 0,138 0,144
(1:64) 1,561 1,504 1,621 0,300 0,131 0,153
(1:128) 1,712 1,614 1,645 0,234 0,132 0,138
(1:256) 0,203
Hasil pemurnian AbMo menunjukkan bahwa AbMo muncul pada eluet 1 dan 2 dengan
titer masing-masing 27, sedangkan pada eluet 3 sedikit mengandung AbMo, dan eluet 4,
serta 5 tidak mengandung AbMo.
22
BAB VI SIMPULA� DA� SARA�
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa respons imun mencit
yang diimunisasi dengan antigen suspensi C. cellulosae menunjukkan adanya
antibodi terhadap C. cellulosae, dan telah berhasil diproduksi antibodi monoklonal
anti-C. cellulosae yang diberi nama BE6, BE7, dan EE9. Karakterisasi AbMo ini
mampu melacak antigen C. cellulosae pada cairan larva dan dapat mengenali protein
antigen C. cellulosae dengan berat molekul 78 kDa.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas
AbMo anti- C. cellulosae sebelum mengaplikasikan AbMo ini untuk melacak ternak
atau manusia terinfeksi cysticercosis atau taeniasis.
23
DAFTAR PUSTAKA
Arimbawa, M., Kari, I K. dan Laksminingsih, N.S. 2004. Neurocysticercosis. Pediatrica
Indonesiana 44 (7-8) : 165-170.
Artama, W.T. 1999. Antibodi Monoklonal dan Rekombinan Antibodi serta Aplikasinya
dalam Imunoterapi. Prosiding Seminar Bioteknologi, Bogor. Hal. 79 - 95.
Assa I, Satrija F, Lukman DW, Dharmawan NS dan Dorny P. 2012. Faktor Risiko Babi
yang Diumbar dan Pakan Mentah Mempertinggi Prevalensi Sistiserkosis. Jurnal Veteriner
Vol.13 (4) : 345-352.
Astawa, N.M. (2002). Antibodi monoklonal sebagai reagen diagnostik yang spesifik
untuk infeksi avian reovirus. Jurnal Veteteriner (3) : 133-139
Astawa, N.M, Hartaningsih, N., Dharma, D.M.N. Supartika, E. dan Masa Tenaya, W.
(2004). Antibodi Monoklonal dan Diagnosis Imunopatologi Penyakit Jembrana pada Sapi
Bali. Disampaikan dalam Lokakarya “ Upaya Pencegahan Dan Diagnosis Penyakit
Jembrana Pada Sapi Bali” Hotel Patra Jasa Bali, 1 Desember 2004
Cai X, Zheng Y, Lou Z, Jing, Z.Hu, Z, Lu, C, 2006. Immunodiagnoisis of Taeniasis in
China. The Journal of Applied research. 6: 69-76.
Campbell, A.S.. 1991. Laboratory Techniques in Biochemistry and Molecular Biology:
Monoclonal Antibody and Immunosensor Technology. Amsterdam. Elsevier
Carrique-Mas J, Iihoshi N, Widdowson MA, Roca Y, Morales G, Quiroga J, Cejas F,
Caihura M, Ibarra R, Edelsten M. 2001. An epidemiological study of Taenia solium
cysticercuosis in a rural population in the Bolivian Chaco. Acta Trop. 80 (3): 229-235.
Cruz, ME, Schantz, PM, Cruz I. Preux, PM. Banitez, W. Tsang, VC, Fermoso Dumas, M.
1999. Epilepsi and neurocycercosis in an Andean community. Int. J Epidemiol. 29: 799-
803.
Dai W, Wang WO, Zhang CYl, 2001.Advancement of imunodiagnosis of cysticercosis.
Clin J Parasit Dis Con (Chin) 14 :227-228.
Dharmawan NS, Swastika,K, Putra I M, Wandra T, Sutisna P, Okamoto M, Ito K. 2012.
Present situation and problem of cysticercosis in animal in Bali and Papua. Jurnal
Veteriner Vol. 13 (2) : 154-162.
D’Sauza PE, Hafeez MD, 1999. Comparaison of routine meat inspection, CIEF and
ELISA to detect Cysticercus cellulosa infectiond in pigs. Indian Vet j 76 : 285-288
Direktorat Kesmavet, 2005. Pedoman Teknis Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem
di Rumah Pemotongan Hewan. Ditjen Bina Produksi Peternakan, Deptan, Jakarta. Hal. 1
- 16
24
Ditjen P3L (Pengenalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan). Depkes RI, 2005. Manual
Pemberantasan Penyakit Menular. Online http://www.pppl.depkes.go.id/ (diakses 21-1-
2008)
EC-HCPDG (European Comission- Health Consumer Protection Directorate General),
2000, Opinion of the Scientific Committee on Veterinary Measures relating to public
Health on the control of taeniasis/cysticercosis in man and animals
Garcia HH, Del Brutto OH. 2000. Taenia solium cysticercosis. Infect. Dis. Clin. North.
Am. 14:97-119.
Garcia HH, Gonzalez AE, Evans CA, Gilman RH, 2003. Cysticercosis Working Group in
Peru, Taenia solium cysticercosis. Lancet 362:547-56.
Hawk MW, Shahlaie K, Kim KD, Theis JH. 2005. Neurocysticercosis: a review. Surg
Neurol 63:123-32.
Ito A, Nakao M,Wandra T. 2003. Human taeniasis and cysticercosis in Asia. Lancet.
362:1918-1920.
Judarwanto, W. 2012. Respons Imun Selular dan Manifestasi Klinis. Posting 2 Maret
2012. www.google.com/allergiclinic.wordpress.com/respons-imun-selular-dan-
manifestasi-klinis. Diakses tanggal 19 Desember 2012.
Kio EB, Masoud H, Yalda A, Mahmoudi M, Farahani H. 2005. Study on human taeniasis
by admistering anti-tanenia drug. Iranian J Publ Health 34:47-50
Kraft, R, 2007. Cysticercosis: An Emerging Parasitic Disease. Amrican Family
Physichian. 76: Online. http://www.aafp.org/ (Diakses 21-1-2008).
Kresno SB. 1996. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Kuntarti. 2009. Sistem Imun. https://docs.google.com/staff.ui.ac.id/sistem imun. Diakses
tanggal 26 September 2009.
Margono, S. S., Wandra, T., Swasono, M.F., Murni, S., Craig, P.S. dan Ito, A. (2006).
Taeniasis/cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia : Parasitol. Intl. 55 : S 143-148.
McKearn, T.J. (1980). Cloning hybridomas by limiting dilution in liquid phase: In”
Monoclonal antibodies : new dimension in biological analyisis. (R..H. Kennet , T.J.
McKearn dan K.B. Bectol Eds), Plenum Press. New York and London p 374.
Olivo A, Plancarte A, Flisser A. (1988). Presence of antigen B from Taenia solium
cysticercosis in other Platyhelminthes. Int J Parasitol.18:543-545.
Owen IL, Pozio E, Tamburrini A, Danaya RT, Bruschi F, Gomez Moarles MA. 2001.
Focus of human trchinellosis in Papua New Guinea. Am. J. Trop. Med. Hyg. 65 (5): 553-
557.
25
Purba, W.H., Miko, T.Y., Ito, A., Widarso, Hamid, A. Subahar, R. dan Margono, S.S.
(2002). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sistiserkosis pada Penduduk
Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua, Tahun 2002.
Rajshekhar V, Chandy MJ. 1997. Validation of diagnostic criteria for solitary cerebral
cysticercus granuloma in patients presenting with seizures. Acta Neurol Scand 96:76-81.
Rajshekhar, V, Joshi DD, Doanh NQ, Ven De, N.Xiaonong, Z. 2003. Taenia solium
taeniasis/cysticercosis in Asia: epidemiology, impact and issues. Acia Trop 87: 53-60
Satrija, F. 2005. Helmintologi : Ciri Umum dan Morfologi Helminth. Bogor. Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor. Hal. 1-5.
Sawhney IM, Singh G, Lekhra OP, Mathuriya SN, Parihar PS, Prabhakar S. 1998.
Uncommon presentations of neurocysticercosis. J Neurol Sci 154:94-100.
Sciutto, E., Fragoso, G. and Fleury, A. 2000. Taenia solium disease in humans and pigs:
an ancient parasitosis disease rooted in developing countries and emerging as a major
health problem of global dimensions. Microb. Infect. 2 : 1875 - 1890.
Selvam, P., Eugene, P., D’Souza, Jagannath, M.S. 2004 Serodiagnosis of Taenia solium
cysticercosis in pigs by indirect haemagglutination test. Vet. Arhiv. 74 : 453 - 458,
Sharma ,T., Sinha, S., Shah, N., Gopal, L., Shanmugam, M.P. and Bhende, P. 2003.
Intraocular cysticercosis: clinical characteristics and visual outcome after vitreoretinal
surgery. Ophthal. 110 : 996 - 1004.
Simanjuntak, G.M. 2010. Studi Taeniasis/Cystisercosis di Kabupaten Jayawijaya Propinsi
Irian Jaya. Badan Litbang Kesehatan. Diakses tanggal 13 Mei 2010.
Singhi, P. and Singhi, S. 2004. Neurocysticercosis in children. J. Child. ,eurol. 19 : 482 -
492.
Subahar R, Hamid A, Purba W, Wandra T, Karma C, Sako Y, Margono SS, Craig PS, Ito
A. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot
serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans R Soc
Trop Med Hyg. 95: 388-390.
Subahar R, Hamid A, Purba F, Widarso, Ito A, Margono SS, 2005 Taeniasis/sistiserkosis
di antara beberapa anggota keluarga di beberapa Desa di kabupaten Jaya Wijaya, Papua.
Jurnal Ilmiah Makara vol. 9 Online : http://www.research.ui.ac.id/ diakses Januari 2008.
Sudewi, AAR, Wandra, T, Artha, A, Nkouawa, A. Ito, A. 2008. Taenia solium
cysticercosis in Bali, Indonesia : Serology and mtDNA analysis.
Trans.R.Soc.Trop.Med.Hyg.102: 96-98
26
Suroso, T., Margono, S.S., Wandra, T. and Ito, A. (2006). Challenges for Control of
Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia. Parasitol. Inter. 55 : 161 – 165
Sutisna, P., Kapti, I N., Allan, J.C., Rodriguez, R.C. 2000. Prevalensi taeniosis dan
sistiserkosis di Banjar Pamesan, Desa Ketewel, Gianyar, Bali. Maj. Kedokteran Udayana.
31 : 226-234.
Tenaya, I W.M. 1997. Production and Characterization of monoclonal antibody against a
72kDa protein of Serpulina pilosicoli strain 1648. Thesis, Murdoch University, Western
Australia.
Towns, J.M., Hoffman, C.J. and Kohn, M.A. 2004. Neurocysticercosis in Oregon 1995-
2000. J. of Emerg. Infec. Dis. 10 (3) : 508 – 510.
Wandra, T., Ito, A. Yamasaki, H., Suroso, T. and Margono, S.S. 2003. Taenia solium
cysticercosis, Irian Jaya, Indonesia. J. of Emerg. Infec. Dis. 9 (7) : 884 – 885.
Wandra T, Depary AA, Sutisna P, Margono SS, Suroso T, Okamoto M, Craig PS, Ito A,
2006. Taeniasis in cysticercosis in Bali and north Sumatera, Indonesia. Paasitology
International 55 : S155-S160
Zheng L, Zhang S, Wood C, Kapil S. Wilcox GE, Loughin T, Minocha AC. 2001.
Differentiation of two bovine lentiviruses by a monoclonal antibody on the basis of the
epitope specificity. Clin and Diag Lab Immunol 8 :283-287
27
Lampiran 1. Ketersediaan sarana dan prasarana penelitian
Sarana
1. Peralatan Laboratorium
�ama Alat Fungsi
Laminar Flow cabinet
Ultrasentrifugasi (Beckmen)
Mikroskop fasekontras
Spektrofotometer multiskan
Inkubator CO2
Tabung Nitrogen cair
Autoklaf
Ruang steril tempat pengerjaan biakan sel
Pemurnian sel
Melihat biakan sel
Membaca ELISA
Inkubasi biakan sel
Menyimpan sel dalam keadaan beku
Mensterilkan alat
2. Fasilitas pendukung
Lab Parasitologi FKH Unud, Lab Virologi FKH Unud, dan Lab Bioteknologi Balai Besar
Veteriner Denpasar, Bali
Perpustakaan : - Perpustakaan Pusat Unud
- Perpustakaan BBV Denpasar
28
Lampiran 2. Biodata pengusul/peneliti
A.Identitas Diri Ketua Peneliti
1 Nama Lengkap Drh.Ida Bagus Ngurah Swacita, MP.
2 Jabatan Fungsional Lektor Kepala
3 Jabatan Struktural -
4 NIP/Karpeg 19581007 198702 1 001
5 NIDN 0007105809
6 Tempat dan Tanggal lahir Singaraja, 7 Oktober 1958
7 Alamat rumah Jl.Suli Gang VI Buntu No.6 Denpasar
8 Nomor Telepon/HP 0361-224648/081338504709
9 Alamat Kantor Jl. P.B. Sudirman Denpasar-Bali
10 Nomor telepon/Fax 0361-223791
11 Alamat email ngurah.swacita@gmail.com
12 Lulusan yang telah dihasilkan S-1= ± 50 orang S-2 = - S-3= -
13 Mata kuliah yang diampu 1.Kesehatan Masyarakat Veteriner I
2.Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner
3.Kesehatan Masyarakat Veteriner II
4.Zoonosis
5.Kesehatan Lingkungan
B. Riwayat Pendidikan
S1 S2
Nama Perguruan Tinggi UNAIR UGM
Bidang Ilmu Kedokteran Hewan Sain Veteriner
Tahun Masuk-Lulus 1979 - 1985 1990 – 1993
Judul Skripsi/Tesis Beberapa Karakter Isolat
Virus Newcastle Disease
dari Burung Kakatua
Protease Jahe(Zingiber officinale R.):
Fraksinasi dan Efeknya pada
Histokimia Miofibril
Nama Pembimbing Drh.Rahayu Ernawati Drh.R.Wasito, MSc.PhD
C. Pengalaman Penelitian
�o Tahun Judul Penelitian Sumber Dana Jumlah (Juta Rp)
1 2009 Pengembangan Imunodiagnostik da-
lam Pemeriksaan Kesehatan Daging
untuk Mendeteksi Keberadaan Larva
Cacing Trichinella sp
Dikti (Hibah
Bersaing)
41,00
2 2010 Pengembangan Imunodiagnostik da-
lam Pemeriksaan Kesehatan Daging
untuk Mendeteksi Keberadaan Larva
Cacing Trichinella sp
Dikti (Hibah
Bersaing)
46,00
3 2012 Pelacakan Antigen Cysticercus
cellulosae pada Daging Babi
PNBP UNUD
(Hibah Unggulan
45,85
29
Menggunakan Antibodi Monoklonal Udayana)
4 2013 Respons Imun Mencit yang
Diimunisasi dengan Antigen
Cysticercus cellulosae dan
Pembuatan Antibodi Monoklonal
DIPA BLU Unud
(Hibah Doktor)
36,925
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat
No Tahun Judul Pengabdian Masyarakat Sumber Dana Jumlah (Juta Rp)
1 2009 Pelayanan Vaksinasi Rabies di
Kelurahan Serangan, Desa Sidakarya,
Desa Pemogan, Kelurahan Peduangan,
Kota Denpasar 10 Januari 2009
Pemda
Denpasar
2,0
2 2009 Pelayanan Vaksinasi Rabies di
Kelurahan Padangsambian, Kelurahan
Dauh Puri, Desa Dauh Puri Kauh, Desa
Tegal Harum, Kelurahan Pemecutan,
Kota Denpasar 11 Januari 2009
Pemda
Denpasar
2,0
3 2009 Pelayanan Vaksinasi Rabies di Desa
Munggu dan Desa Cemagi, Kecamatan
Mengwi, Kabupaten Badung, 20
Januari 2009
Pemda
Badung
2,0
4 2009 Pelayanan Vaksinasi Rabies di Desa
Sempidi dan Kelurahan Abianbase,
Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung, 21 Januari 2009
Pemda
Badung
2,0
5 2011 Penyuluhan Penyakit Rabies di Desa
Buana Giri, Kecamatan Bebandem,
Kabupaten Karangasem, 19 Agustus
2011
Universitas
Udayana
2,0
6 2011 Pelayanan Kesehatan serta Vaksinasi
Babi dan Sapi di Desa Buana Giri,
Kecamatan Bebandem, Kabupaten
Karangasem, 20 Agustus 2011
Universitas
Udayana
2,0
7 2013 Spraying, Vaksinasi Septichemia
Epizootica dan Pelayanan Kesehatan
Sapi Bali di Banjar Samuan Kawan
Samuan Kangin, Desa Carangsari,
Kecamatan Petang, Kabupaten Badung,
20 Oktober 2013
Universitas
Udayana
2,0
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah
No Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor/Tahun Nama Jurnal
1 Pengempukan Daging Sapi dengan
Protease Jahe
Vol 3 No.2. 2002
JVet
2 Reduksi Angka Lempeng Total
Bakteri pada Daging Sapi yang diberi
Vol.XVIII No.2. 2002
Bull.Sains Vet.
30
Ekstrak Bawang Putih
3 Analisis Nilai Gizi Daging Itik Bali Vol.6 No.4. 2005 JVet
4 Kajian Tentang Berat Relatif
Beberapa Organ Visceral Itik Bali
Vol.7 No.4. 2006 JVet
5 Isolasi Toxoplasma gondii pada Ayam
Buras.
Vol.3 No.2. 2011 Bull Vet Udayana
6 Pengaruh Sistem Peternakan dan
Lama Penyimpanan Terhadap
Kualitas Telur Itik
Vol.3. No.2. 2011 Bull Vet Udayana.
7 Deteksi Toxoplasma gondii pada
Mencit yang Diinfeksi Inokulat
Jantung dan Otak Ayam Buras
Vo.4 No.2. 2012 Bull Vet Udayana.
F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada Pertemuan Ilmiah
No Nama Pertemuan Ilmiah Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1 Seminar Diseminasi Praktik
Baik Proses Pembelajaran
dari Hibah Pengajaran
PHK-I Tahun Ajaran 2009
Penerapan Metode
Pembelajaran Student Centered
Learning (SCL) dan
Penggunaan Multimedia untuk
Meningkatkan Kompetensi Mhs
16 April 2010
Kampus Bukit
Jimbaran
Universitas Udayana
2 Seminar Nutrisi pada
Diabetes Militus
Kesehatan Daging 19 September 2010
FK Unud
3 Diseminasi Institutional
Good Practices Teaching
Grants-Hibah Pengajaran
Universitas Udayana
Penerapan Metode
Pembelajaran Student Centered
Learning (SCL) di FKH Unud
19 April 2011
Pascasarjana
Universitas Udayana
4 Seminar Research Excellent
Universitas Udayana
Respons Imun Mencit yang
Diimunisasi dengan Cysticercus
cellulosae
30 Januari 2013
FK
Universitas Udayana
G. Pengalaman Penulisan Buku
No Judul Buku Tahun Jumlah halaman Penerbit
1 KESMAVET
Kesehatan Masyarakat Veteriner
2008 215 Universitas Udayana
2 HIGIENE MAKANAN 2009 336 Universitas Udayana
H. Pengalaman Perolehan HKI
No Judul/Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID
- - - - -
31
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik
No Judul/Tema Tahun Tempat Penerapan Respon Masyarakat
- - - - -
J. Penghargaan yang pernah diraih
No Jenis Penghargaan Institusi Pemberi penghargaan Tahun
1. Piagam Tanda Kehormatan
Satyalencana Karya Satya
XX tahun
Presiden Republik Indonesia
(Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono)
2012
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat digunakan sebagaimana
mestinya.
Denpasar, 15 Nopember 2013
(Drh.Ida Bagus Ngurah Swacita, MP)
32
LAMPIRAN 3. Publikasi
Produksi dan Karakterisasi Antibodi Monoklonal
Anti-Cysticercus cellulosae
Ida Bagus Ngurah Swacita1)
, I Made Damriyasa2)
, N.Sadra Dharmawan3)
,
N.Mantik Astawa4)
, Ida Ayu Pasti Apsari5)
, Ida Bagus Made Oka6)
,IW.Masa Tenaya7)
Fakultas Kedokteran Hewan Unud1,2,3,4,5,6)
, Balai Besar Veteriner Denpasar7)
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah membuat antibodi monoklonal anti-Cysticercus
cellulosae dan mempelajari karakterisasinya. Sampel antigen dibuat dari larva T.
solium (C.cellulosae) kemudian digunakan mengimunisasi mencit Balb/c. Mencit
tersebut diukur respons imunnya dengan uji ELISA, selanjutnya sel limfosit mencit
tersebut digunakan untuk pembuatan antibodi monoklonal (AbMo). Limfosit asal
mencit yang memproduksi antibodi terhadap antigen C.cellulosae, difusikan dengan
sel mieloma (NS1). Hasil fusi dari kedua sel ini menghasilkan sel hibrid yang disebut
hibridoma; sel ini selanjutnya diskrining dengan uji ELISA. Sel hibridoma yang
hanya menghasilkan AbMo, dipakai untuk memproduksi AbMo dalam jumlah besar
secara in vitro. Karakterisasi AbMo anti-C. cellulosae diuji dengan ELISA dan
Western blotting. Mencit yang diimunisasi dengan antigen C. cellulosae menunjukkan
respons imun dengan membentuk antibodi terhadap C.cellulosae. Berdasarkan hasil
fusi, diproduksi sebanyak 51 klon sel hibridoma dan setelah diskrining, ternyata hanya
tiga klon sel hibridoma yang menghasilkan AbMo anti-C. cellulosae. Antibodi
monoklonal yang dihasilkan, diberi nama sesuai lubang tempat tumbuhnya pada plat
mikro ELISA, yaitu BE6, BE7, dan EE9. Karakterisasi dari AbMo ini mampu
melacak antigen C. cellulosae dari cairan larva dan mengenali pita protein
antigen dengan berat molekul 78kDa.
Kata kunci : Cysticercus cellulosae, mencit, antibodi monoklonal, karakterisasi.
Production and Characterization of Monoclonal Antibodies
Anti-Cysticercus cellulosae
Ida Bagus Ngurah Swacita1)
, I Made Damriyasa2)
, N.Sadra Dharmawan3)
,
N.Mantik Astawa4)
, Ida Ayu Pasti Apsari5)
, Ida Bagus Made Oka6)
,W.Masa Tenaya7)
Faculty of Veterinary Medicine-Udayana University,1,2,3,4,5,6)
,
Veterinary Bereau Investigated, Denpasar7)
ABSTRACT
The purpose of this study is to make a monoclonal antibody anti - Cysticercus
cellulosae and characterization study. Samples antigen prepared from T. solium larvae
(C. cellulosae) was then used to immunize Balb/c. The immune response of mice
assessed by ELISA test, then the lymphocytes of mice used for the manufacture of
monoclonal antibodies (MoAb).
33
Origin lymphocytes of mice that produce antibodies against C. cellulosae antigen,
fused with myeloma cells (NS1). Results fusion of two cells produces hybrid cells
called hybridomas; cells are then screened by ELISA test. Hybridoma cells that
produce only MoAb, used to produce large quantities in vitro. Characterization MoAb
anti-C.cellulosae tested by ELISA and Western blotting. Mice were immunized with
C.cellulosae antigen showed an immune response producing antibodies to
C.cellulosae. Based on the results of fusion, produced a total of 51 hybridoma cell
clones and after being screened, only three clones of hybridoma cells that produce
MoAb anti – C.cellulosae. MoAb produced, named after the hole where the growth of
the ELISA microplate, the BE6, BE7, and EE9. Characterization of this MoAb
capable of tracking cellulosae of fluid larvae and recognize antigen protein bands with
molecular weight 78kDa
Key words : Cysticercus cellulosae, mice, monoclonal antibody, characterization.
PE�DAHULUA�
Taeniasis adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing pita dewasa, sedangkan
sistiserkosis adalah infeksi yang disebakan oleh larva cacing pita, baik pada hewan
maupun manusia. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit penting pada
manusia, dan masih banyak ditemukan di berbagai negara, terutama di negara-negara
yang sedang berkembang termasuk Indonesia (Rajshekhar et al., 2003). Tingkat
kejadian infeksi cacing pita pada manusia di Indonesia tergolong masih tinggi,
tertutama di daerah miskin dengan tingkat sanitasi lingkungan rendah, tidak
tersedianya jamban keluarga serta adanya akses ternak babi makan kotoran manusia
(Assa et al., 2012; Dharmawan et al., 2012). Di daerah Jaya Wijaya Papua,
misalnya, tingkat kejadian infeksi Taeniasis pada manusia mencapai 8% dan infeksi
sistiserkosis mencapai 32% (Subahar et al., 2001; 2005, Cai et al., 2006).
Taeniasis/Sistiserkosis bersifat endemis di beberapa daerah di Indonesia. Prevalensi
sistiserkosis pada manusia di Papua saat ini masih menduduki urutan tertinggi di
dunia (Rajshekhar et al., 2003; Margono et al., 2006; Suroso et al., 2006; Wandra et
al., 2006; Simanjuntak, 2010). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
cysticercosis working group di Papua menunjukkan bahwa prevalensi
taeniasis/sistiserkosis sejak 37 tahun yang lalu tidak terjadi penurunan. Prevalensi
tertinggi ditemukan di Jayawijaya dan Panai (Wandra et al., 2006). Assa et al. (2012)
melaporkan bahwa rata-rata seroprevalensi sistiserkosis di Papua 40,54% dengan
kasus terbesar ditemukan di Distrik Asolokobal 92,80% dan terendah di Distrik
34
Wamena Kota 5,88%. Demikian pula di daerah lainnya seperti di beberapa desa di
Bali, Sumatera Utara, dan Papua merupakan wilayah endemis di Indonesia (Sutisna et
al., 2000; Morgono et al., 2001; Purba et al., 2002; Wandra et al., 2003, 2006;
Subahar et al., 2005; Suroso et al., 2006; Sudewi et al., 2008; Assa et al., 2012;
Dharmawan et al., 2012). Seroprevalensi sistiserkosis pada masyarakat Bali relatif
tinggi yaitu 5,20%-21,00%, sedangkan prevalensi infeksi taeniasis berkisar antara
0,40%-23,00% (Wandra et al., 2006). Di wilayah ini, sistiserkosis selain menyerang
babi juga merupakan salah satu penyebab kematian pada manusia akibat migrasi larva
T.solium (C.cellulosae) ke otak yang dikenal dengan nama neurosistiserkosis.
Kejadian neurosistiserkosis telah banyak dilaporkan di berbagai negara (Rajshekhar
dan Chandy, 1997; Sawhney et al., 1998; Cruz et al., 1999; Ito el al., 2003; Singhi dan
Singhi, 2004; Arimbawa et al., 2004; Towns et al., 2004; Hawk et al., 2005).
Dalam siklus hidupnya, cacing pita pada manusia umumnya disebabkan oleh
Taenia solium, dan hewan yang berperan sebagai inang antara adalah babi (Galan-
Puchades dan Feuntes, 2000). Larva cacing pita yang ditemukan pada babi disebut
sistiserkus (cacing gelembung). Manusia dapat terinfeksi bila makan daging terinfeksi
yang tidak dimasak sempurna (Galan-Puchades dan Feuntes, 2000; Suroso et al.,
2006; Sudewi et al., 2008; Assa et al., 2012; Dharmawan et al., 2012).
Untuk mencegah penularan penyakit dari ternak ke manusia, maka sangat
diperlukan adanya metode pemeriksaan daging yang murah, sensitif, dan spesifik.
Pemeriksaan daging yang diterapkan saat ini oleh instansi terkait adalah secara
inspeksi (Direktorat Kesmavet, 2005). Metode tersebut mempunyai sensitivitas yang
sangat rendah, sehingga peluang memberikan hasil negatif palsu cukup tinggi,
terutama pada ternak dengan intensitas infeksi yang rendah. Belakangan ini banyak
dikembangkan uji serologis untuk melacak keberadaan C.cellulosae dengan
mendeteksi keberadaan antibodi terhadap cacing tersebut (Sudewi et al., 2008). Uji ini
sering memberikan hasil positif palsu, karena sering terjadinya reaksi silang dengan
parasit lain serta keberadaan antibodi akan tetap terdeteksi walaupun parasitnya sudah
tidak ada pada ternak tersebut. Oleh karena itu, perlu tersedianya metode diagnostik
untuk melacak keberadaan C.cellulosae dengan menerapkan prinsip imunologis untuk
melacak antigen parasit tersebut dengan menggunakan antibodi monoklonal (Artama,
1999; Astawa, 2002; Astawa et al., 2004). Tujuan penelitian ini adalah memproduksi
antibodi monoklonal anti-C.cellulosae dan mempelajari karakteristiknya.
35
METODOLOGI PE�ELITIA�
Penyiapan Antigen Larva Taenia solium (Cysticercus cellulosae).
Cysticercus cellulosae dibersihkan dari sisa lemak dan daging babi, kemudian
dicuci dengan larutan PBS yang mengandung antibiotika (PBS-Ab). Larva ditimbang
sebanyak 10 gram, digerus sampai halus dengan mortal, kemudian ditambahkan
larutan PBS-Ab perlahan-lahan sampai volumenya 100 ml. Suspensi C. cellulosae
disentrifus dengan kecepatan rendah (1000 rpm selama 5 menit), supernatannya
ditampung, kemudian diukur kadar proteinnya, selanjutnya dialiquot, disimpan dalam
freezer (-20oC) sampai digunakan untuk imunisasi mencit.
Imunisasi Mencit Balb/c
Imunisasi mencit dilakukan dengan metode sesuai dengan prosedur yang
dijabarkan oleh (Astawa, 2002). Dalam hal ini, mencit diimunisasi empat kali dengan
skema berikut. Suspensi antigen C. cellulosae, 45 hari sebelum fusi, diemulsikan
dalam Freund’s Complete Adjuvant, kemudian disuntikkan kepada empat ekor
mencit masing-masing dengan dosis 0,2 ml secara intraperitoneal. Antigen yang
sama, 30 dan 15 hari sebelum fusi, diemulsikan dalam Freund’s incomplete adjuvant
kemudian disuntikkan kepada empat ekor mencit yang sama masing-masing dengan
dosis 0,2 ml secara intraperitoneal. Seminggu setelah penyuntikan ketiga, mencit
kembali diimunisasi dengan antigen yang sama tetapi tidak diemulsikan dalam
adjuvant kepada empat ekor mencit dengan dosis 0,2 ml secara intraperitoneal.
Pengambilan serum mencit dilakukan seminggu setelah mencit diimunisasi terakhir,
dan pengukuran respons imunnya dilakukan dengan uji ELISA. Mencit yang
menunjukkan respons imun dengan nilai OD tertinggi digunakan untuk produksi
antibodi monoklonal.
Pembuatan Antibodi Monoklonal (AbMo)
Mencit yang telah diimunisasi selama 45 hari yang diambil serumnya dan
menunjukkan adanya antibodi terhadap sistiserkus serta memiliki titer tertinggi, di-
booster dengan suspensi antigen sistiserkus yang sama tanpa adjuvant berturut-turut
pada hari kelima, keempat, dan ketiga sebelum dilakukan fusi dengan sel mieloma.
Sel limfosit asal mencit yang kebal (menghasilkan antibodi) terhadap sistiserkus
36
sebanyak 108 difusikan dengan 2 x 10
7 sel mieloma (NS1) menggunakan
polyethylene glycol (PEG) 45 %. Sel hasil fusi kemudian disuspensikan dengan
medium selektif DMEM-HAT (Dulbeco Modified Essential Medium - Hypoxanthine
Aminopterin Thymine) yang mengandung 106
sel feeder per ml media dan sel
selanjutnya dibiakan dalam plat mikro biakan sel 96 sumuran pada suhu 37oC. Media
selektif akan membunuh sel mieloma, tetapi tidak membunuh sel mieloma yang
berfusi dengan limfosit. Sel yang berfusi ini menghasilkan sel hybrid yang disebut sel
hibridoma. Tujuh hari setelah fusi, sel hibridoma dibiakan dalam media DMEM-HT
sampai muncul klon hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap antigen
sistiserkus. Skrining klon hibridoma yang menghasilkan AbMo khas antigen C.
cellulosae dilakukan dengan uji ELISA menggunakan antigen sistiserkus. Hibridoma
yang terbukti menghasilkan AbMo khas antigen sistiserkus kemudian di-klon ulang
dengan cara pengenceran terbatas sesuai dengan prosedur McKearn (1980). Kloning
ulang dilakukan agar diperoleh klon hibridoma yang dimulai dari satu sel sehingga
antibodi yang diproduksinya benar-benar monoklonal, yaitu hanya mengenali satu
jenis epitop. Sel hibridoma ini kemudian diisolasi (AbMo stok) dan dipakai untuk
menyiapkan AbMo dalam jumlah besar.
Karakterisasi AbMo anti-Cysticercus cellulosae
Penentuan kekhasan AbMo anti-Cysticercus cellulosae dengan Uji ELISA
Antigen C. cellulosae dan plasma babi normal (kontrol negatif) diencerkan
dalam coating buffer (15mM Na2CO3, 35mM NaHCO3 pH 9,6), selanjutnya sebanyak
100µl antigen dimasukkan ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA dan diinkubasi
pada suhu 4oC semalam. Pencucian dilakukan dengan Phosphate Buffer Saline (PBS)
yang berisi 0,05% Tween 20 (PBS-T) sebanyak tiga kali, selanjutnya ke dalam setiap
lubang plat mikro ELISA ditambahkan 100 µl blocking buffer (5% susu skim dalam
PBS-T). Setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit,
susu skim dibuang,
kemudian ditambahkan 100 µl AbMo ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA dan
diinkubasikan kembali pada suhu 37oC selama 60 menit. Pencucian kembali
dilakukan seperti di atas, dan kemudian ditambahkan 100 µl anti-mouse IgG-horse
radish peroksidase (Bio-Rad USA, pengenceran 1: 2000 dalam PBS-T) ke dalam
setiap lubang plat mikro ELISA dan diinkubasikan kembali pada suhu 37oC selama 60
menit. Setelah pencucian seperti di atas, ditambahkan 100 µl substrat TMB (Bio-Rad,
37
USA) ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA. Kepekatan warna substrat kemudian
dibaca dengan multiscan spectrophotometer menggunakan filter 405nm.
Penentuan kekhasan AbMo anti-Cysticercus cellulosae dengan uji Western
blotting
Protein sistiserkus diencerkan dalam sample reducing buffer (SDS 2,3%,
mercapto-ethanol 5%, Tris-HCl 0,0625 M. pH. 6,0, gliserol 10%, bromophenol blue
0,001%) dan dianalisis dengan SDS-PAGE (Sodium Dedocylsulphate-
Polyacrylamide Gel Electrophoresis). Protein sistiserkus yang telah dipisahkan dalam
gel kemudian ditransfer ke membran nitroselulosa. Membran nitroselulosa dipotong
kecil-kecil dan direaksikan dengan AbMo. Adanya ikatan antara AbMo dengan
protein sistiserkus divisualisasikan dengan penambahan anti-mouse IgG-alkaline
phosphatase dan substrat BCIP/NBT.
Pemurnian AbMo dengan Kolom Agarose Protein A
Kolom agarose protein A dipasang pada statif, kemudian dicuci dengan wash
buffer 10 ml, selanjutnya dicuci dengan binding buffer 10 ml. Antibodi monoklonal
yang akan dimurnikan, dicampur dengan binding buffer 1: 1, kemudian disentrifus
dengan kecepatan 10000 g selama 5 menit, kemudian AbMo ini dimasukkan ke
dalam kolom, ditunggu sampai habis menetes pada tanda resin. Kolom dicuci dengan
10 ml binding buffer, kemudian kolom diisi 5 ml Elution buffer (diencerkan 5x
dengan PBS). Fraksi elusi (eluet) ditampung setiap 1 ml dalam ependorf dan segera
ditambahkan 50µl ,eutralisation buffer. Eluet yang mengandung AbMo ditentukan
dengan uji ELISA, dan hasilnya dibaca pada spektrofotometer menggunakan filter
450 nm. Kolom dicuci dengan 10 ml elution buffer dan diikuti dengan 5 ml akuades
yang mengandung 0,02% sodium azide. Jika sisa larutan tinggal 2 ml di atas resin,
kolom ditutup dan disimpan pada suhu 4oC.
Data hasil pembuatan AbMo dan karakterisasinya, dijelaskan secara deskriptif.
HASIL DA� PEMBAHASA�
Respons Imun Mencit yang Diimunisasi dengan Antigen C. cellulosae
Sampel larva cacing pita babi (C. cellulosae) diambil dari Kabupaten
Karangasem, Provinsi Bali (Donatur : Prof. Dr. drh. N. Sadra Dhamawan, MS).
38
Sampel larva dibuat antigen suspensi C. cellulosae 10% dalam larutan PBS-Ab,
dialiquot dalam ependorf, kemudian diukur kadar proteinnya dengan Quibit
Fluorometer dan hasilnya didapatkan sebesar 467 µg/ml.
Program imunisasi pada mencit dilakukan empat tahap dan setelah proses
imunisasi selesai, serum mencit diambil, kemudian diukur respons imunnya dengan
uji ELISA. Data hasil pengukuran respons imun mencit tersebut, dianalisis dan
hasilnya disajikan di bawah ini.
Tabel 1. Analisis statistik Respons Imun Mencit (OD 405 nm)
Perlakuan Mencit Rerata ± Standar deviasi
Imunisasi (vaksin) 1,10012 ± 0,247849 a
Tanpa Imunisasi 0,68300 ± 0,055660 b
Uji statistik menunjukkan bahwa rerata optical dencity (OD) respons imun
mencit yang diimunisasi dengan antigen C. cellulosae (1,10012 ± 0,247849) lebih
tinggi bila dibandingkan dengan mencit yang tidak imunisasi (0,68300 ± 0,055660),
dan secara statistik menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Respons imun merupakan aktivasi dari klon limfosit mencit yang dapat
mengenal antigen C. cellulosae yang telah pernah terpapar sebelumnya karena
perlakuan imunisasi secara berulang. Fase awal dari respons imun adalah mengenal
antigen dan ekspansi klon yang diperlukan, fase berikutnya adalah deferensiasi dari
sel yang memberi respons dan rekrutmen serta aktivasi sistem efektor (misalnya
produksi antibodi), aktivasi dari sel makrofag, pembentukan sel sitotoksik dan lain-
lain (Kresno, 1996). Imunisasi mencit dengan antigen C. cellulosae dapat
menimbulkan respons imun selular maupun humoral. Limfosit T yang bertanggung
jawab untuk respons imun selular, dirangsang untuk memproduksi sejumlah zat yang
diperlukan untuk memacu berbagai reaksi, sedangkan aktivasi dari sel B
mengakibatkan sel ini berproliferasi dan berdiferensiasi kemudian memproduksi
antibodi. Respons imun sekunder pada mencit umumnya timbul lebih cepat dan lebih
kuat daripada respons imun primer. Hal ini disebabkan adanya sel T dan sel B memori
serta antibodi yang tersisa. Masuknya antigen C. cellulosae pada imunisasi
berikutnya, sudah dikenal oleh sel B spesifik secara lebih efisien dan dapat bertindak
sebagai antigen-presenting cell (APC). Karena jumlah sel T dan sel B lebih banyak
dibandingkan sel lainnya, maka kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen C.
cellulosae lebih besar sehingga titer antibodi terhadap C. cellulosae juga cepat
meningkat (Kuntarti, 2009; Judarwanto, 2012).
39
Hasil Fusi Sel Limfosit yang telah Imunisasi dengan antigen C. cellulosae
dengan sel Mieloma (�S1)
Hasil fusi antara sel limfosit mencit dengan sel mieloma membentuk sel hibrid
yang disebut sel hibridoma. Pengamatan pertumbuhan sel hibridoma baru tampak
mulai hari ke-10 setelah fusi (Gambar 1). Jumlah sel hibridoma yang diproduksi
sebanyak 51 klon, dan dari 51 klon ini, selanjutnya diskrining dengan uji ELISA.
Hasil skrining menunjukkan hanya 10 klon yang memberikan hasil reaktivitas kuat
(Tabel 2).
Gambar 1. Pertumbuhan Klon Sel Hibridoma pada Media DMEM-HT
Tabel 2. Hasil Fusi Sel Limfosit Asal Mencit yang kebal terhadap C. cellulosae
dengan Sel Mieloma (�S1)
Imunogen Jum-
lah sel
Hibri-
doma
ELISA Jumlah
AbMo khas
anti-C.
cellulosae
Skrining I (42 klon) Skrining II (51 klon)
Reaktivitas
kuat
Reaktivitas
lemah
Reaktivitas
kuat
Reaktivitas
lemah
C.
cellulosae
51 7 4 3 7 3
Skrining dengan uji ELISA didapatkan 10 klon sel hibridoma yang
menghasilkan reaktivitas kuat terhadap C. cellulosae. Kesepuluh klon sel hibridoma
ini terus ditumbukan dalam media DMEM-HT, dan akhirnya hanya tiga yang
menghasilkan AbMo anti-C. cellulosae. Semua AbMo yang berhasil diproduksi,
bereaksi hanya dengan antigen C. cellulosae. Antibodi monoklonal ini perlu
dikarakterisasi lebih lanjut, antara lain meliputi penentuan kekhasan AbMo anti-C.
cellulosae dengan uji ELISA, penentuan berat molekul protein antigen C. cellulosae
yang bereaksi dengan AbMo, dan pemurnian AbMo. Antibodi monoklonal yang
40
dihasilkan oleh sel hibridoma, diberi nama sesuai dengan lubang tempat klon sel
hibridoma tersebut ditemukan, yaitu BE6, BE7, dan EE9.
Antibodi monoklonal terhadap C. cellulosae dapat dibuat dengan cara
memfusikan sel mieloma (sel tumor) dengan sel limfosit mencit yang telah dikebalkan
dengan antigen C. cellulosae tersebut. Dalam hal ini mencit Balb/c dikebalkan
dengan antigen C. cellulosae asal babi. Beberapa faktor penting yang menentukan
keberhasilan produksi AbMo antara lain antigen yang dipakai untuk imunisasi mencit,
metode skrining yang dipakai untuk melacak sel hibridoma yang menghasilkan
antibodi terhadap antigen C. cellulosae, dan kualitas pertumbuhan sel mieloma
(Astawa, 2002; Tenaya, 1997). Dalam penelitian ini antigen yang dipakai untuk
imunisasi mencit adalah protein C.cellulosae yang diekstrak dengan PBS dan digerus
dengan mortal. Dengan cara seperti ini diperoleh protein C. cellulosae yang larut
dalam air, sehingga sebagian besar protein yang diperoleh adalah protein larva.
Dengan demikian respons imun mencit yang muncul setelah imunisasi, sebagian
besar merupakan antibodi terhadap C. cellulosae. Antigen yang sama juga dipakai
dalam uji ELISA untuk melacak sel hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap
C. cellulosae. Namun untuk menghindari adanya sel hibridoma yang mengahasilkan
antibodi terhadap jaringan normal dari inang (babi) asal larva cacing itu diperoleh,
maka AbMo juga diuji dengan cairan tubuh (plasma/ekstrak jaringan) babi. Banyak
peneliti menggunakan antigen yang tidak dimurnikan untuk mengimunisasi mencit
dalam pembuatan AbMo (Astawa et al., 2004). Namun yang lebih penting adalah
metode yang dipakai untuk melacak sel hibridoma yang menghasilkan antibodi
terhadap antigen yang diinginkan. Banyak peneliti menggunakan uji ELISA untuk
skrining AbMo karena sangat sederhana dan dapat dipakai untuk melacak sampel
dalam jumlah besar (Ohnishi et al., 2005, Astawa et al., 2004). Setiap hasil positif
dengan uji ELISA, harus diuji lebih lanjut dengan uji yang lain seperti uji Western
blotting agar semua antibodi yang diperoleh benar-benar bereaksi secara khas
terhadap C. cellulosae.
Karakterisik Monoklonal Antibodi-Anti C. cellulosae
Dalam penelitian ini diperoleh tiga AbMo yang bereaksi secara khas dengan
antigen larva cacing pita T.solium (C.cellulosae). Karakteristik AbMo tersebut
disajikan di bawah ini.
41
Tabel 3. Karakteristik antibodi monoklonal anti- C. cellulosae.
Nama
AbMo
Uji ELISA Western Blotting
Antigen
C. cellulosae
Titer Plasma
babi
Antigen
C. cellulosae
Plasma
babi
Ekstrak
daging babi
BE6 +++ 27 -- 78 kDa -- --
BE7 +++ 27 -- 78 kDa -- --
EE9 ++ 23 -- -- -- --
Keterangan :
+++ = positif kuat
++ = positif sedang
-- = negatif
Penentuan Kekhasan AbMo anti-C. cellulosae dengan Uji ELISA
Dari 10 klon sel hibridoma yang dikembangkan, ternyata hanya tiga yang
menghasilkan antibodi monoklonal (AbMo) khas anti- C. cellulosae (Gambar 2). Pada
Gambar 2 menunjukkan bahwa supernatan yang menghasilkan AbMo adalah BE6
dengan titer >27
, BE7 dengan titer >27
dan EE9 dengan titer 23.
Kemampuan AbMo untuk melacak antigen C. cellulosae yang diperoleh dari
daging babi terinfeksi, dilakukan dengan uji ELISA. Dalam hal ini AbMo diencerkan
berkelipatan 2. Dua AbMo yaitu BE6 dan BE7 memiliki reaktivitas kuat (+++) dengan
titer >27 (OD 405nm) dan satu AbMo (EE9) bereaktivitas sedang (++) dengan titer 2
3.
Gambar 2. Pengukuran Titer Antibodi Monoklonal (AbMo)-anti C. cellulosae
2-3
2-2
2-6
2-1
2-0
2-5
2-7
EC10 AC6 BE6 K BG8 EE9 BE7 DC1
2-4
42
Metode skrining tampaknya merupakan faktor yang penting bagi seleksi sel
hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap larva cacing pita T. solium. Dalam
penelitian ini antigen yang dipakai dalam uji ELISA untuk skrining hibridoma adalah
cairan larva cacing pita T. solium yang diperoleh dari daging babi terinfeksi. Dengan
antigen ini, uji ELISA dipastikan akan melacak antibodi terhadap antigen larva cacing
maupun terhadap antigen daging babi yang secara normal terdapat dalam cairan larva.
Ini dimungkinkan karena imunisasi mencit dengan antigen yang juga berasal dari cairan
larva yang sudah tentu juga mengandung antigen asal babi. Namun, dengan uji ELISA
menggunakan plasma babi normal, hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap
cairan daging babi dapat disingkirkan
Penentuan Kekhasan AbMo anti-C. cellulosae dengan Western blotting
Pada uji Western blotting, tidak semua AbMo yang diproduksi bereaksi dengan
antigen C. cellulosae asal babi. Dua AbMo yaitu BE6 dan BE7 mengenali pita
protein C. cellulosae dengan berat molekul 78 kDa, sedangkan satu AbMo (EE9) tidak
mengenali pita protein C. cellulosae. Ketiga AbMo tidak bereaksi dengan cairan plasma
dan ekstrak daging babi normal (Gambar 2). Satu AbMo yang tidak bereaksi pada uji
Western Blotting mungkin disebabkan oleh tidak dikenalinya antigen larva cacing pita
yang telah mengalami denaturasi pada penyiapan antigen untuk uji Western blotting.
Dalam penyiapan antigen untuk uji Western blotting, antigen larva cacing pita telah
mengalami denaturasi dengan SDS dan mercaptoethanol. Ini berbeda dengan uji ELISA
yang menggunakan antigen tidak didenaturasi dengan senyawa tersebut. Belum
diketahui spesifisitas pita protein yang dikenali oleh AbMo yaitu 78 kDa. Uji masih
harus dilakukan untuk menentukan apakah pita protein tersebut khas larva cacing pita
T. solium, atau juga ditemukan pada larva cacing pita lainnya, seperti larva cacing pita
T. hidatigena sering dijumpai pada babi dan larva cacing pita T. saginata yang umum
ditemukan pada sapi dan kadang-kadang ditemukan juga pada babi.
Dengan uji ELISA indirek, AbMo mampu melacak antigen larva cacing pita T.
solium dengan reaktivtas kuat (BE6 dan BE7). Satu AbMo (EE9) menunjukkan
reaktivitas sedang. Reaktivitas AbMo dalam uji ELISA yang hasilnya beraneka ragam
menunjukkan bahwa kemampuan sel hibridoma untuk mensekresi AbMo juga berbeda-
beda. Dalam beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa AbMo yang dihasilkan oleh
klon hibridoma juga mempunyai reaktivitas, afinitas dan titer yang berbeda-beda.
43
Gambar 3. Reaktivitas AbMo dengan cairan larva (C.cellulosae) dan
cairan plasma serta ekstrak daging normal asal babi.
(Marker (A), AbMo BE6 (B), BE7 (C), EE9 (D), Cairan plasma normal asal
babi (E), Ekstrak daging normal asal babi (F)
Pemurnian AbMo dengan Kolom Agarose Protein A
Antibodi monoklonal dimurnikan menggunakan kolom Agarose Protein A
(Gambar 4), dan hasil pemurniannya (eluet) ditampung dalam ependorf yang berisi
masing-masing 1 ml. Eluet tersebut kemudian diuji ELISA untuk mengetahui eluet ke
berapa AbMo muncul dan berapa titernya. Hasil pengujian eluet disajikan di bawah ini.
Gambar 4. Pemurnian AbMo anti-C. cellulosae Menggunakan Kolom Agarose
Protein A.
A B C D E F
150kDa--
100kDa--
75kDa--
50kDa--
37kDa--
25kDa--
44
Tabel 4. Hasil Pemurnian AbMo Anti-C. cellulosae (OD 450nm)
Pengenceran 1
AbMo
2
Eluet 1
3
Eluet 2
4
Eluet 3
5
Eluet 4
6
Eluet 5
1:2 1,440 1,255 1,256 1,102 0,121 0,106
1:4 1,704 1,564 1,651 1,091 0,118 0,128
1:8 1,701 1,582 1,524 0,912 0,130 0,143
1:16 1,800 1,517 1,591 0,611 0,135 0,148
1:32 1,682 1,518 1,579 0,442 0,138 0,144
1:64 1,561 1,504 1,621 0,300 0,131 0,153
1:128 1,712 1,614 1,645 0,234 0,132 0,138
1:256 0,203
Hasil pemurnian AbMo menggunakan kolom agarose protein A menunjukkan
bahwa AbMo muncul pada eluet 1 dan 2 dengan titer masing-masing 27, sedangkan
pada eluet 3 sedikit mengandung AbMo; eluet 4 dan 5 tidak mengandung AbMo.
Antibodi monoklonal yang belum dimurnikan memiliki optical density (1,440-1,800)
lebih tinggi daripada eluet 1 dan 2 (1,255-1,651). Hal ini terjadi karena AbMo masih
mengandung fraksi protein lainnya yang berasal dari fetal calf serum pada saat
ditumbuhkan dalam media DMEM-HT yang mengandung FCS 20%.
SIMPULA� DA� SARA�
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa telah berhasil
diproduksi antibodi monoklonal anti- C.cellulosae yang diberi nama BE6, BE7 dan
EE9. Karakterisasi AbMo ini mampu melacak antigen C.cellulosae pada cairan larva
dan dapat mengenali protein antigen C.cellulosae dengan berat molekul 78 kDa.
UCAPA� TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dikti/Rektor
Universitas Udayana atas bantuan dana penelitiannya dan Kepala Balai Besar
Veteriner Denpasar-Bali atas bantuan dan fasilitas laboratoriumnya untuk tempat
penelitian.
45
DAFTAR PUSTAKA
Arimbawa M, Kari IK, dan Laksminingsih NS. 2004. Neurocysticercosis. Pediatrica
Indonesiana 44 (7-8) : 165 - 170.
Artama WT. 1999. Antibodi Monoklonal dan Rekombinan Antibodi serta Aplikasinya
dalam Imunoterapi. Prosiding Seminar Bioteknologi, Bogor. Hal. 79 - 95.
Assa I, Satrija F, Lukman DW, Dharmawan NS, dan Dorny P. 2012. Faktor Risiko Babi
yang Diumbar dan Pakan Mentah Mempertinggi Prevalensi Sistiserkosis. Jurnal
Veteriner Vol.13 (4) : 345-352.
Astawa NM. (2002). Antibodi monoklonal sebagai reagen diagnostik yang spesifik
untuk infeksi avian reovirus. J. Vet. 3 : 133-139
Astawa NM, Hartaningsih N, Dharma DMN, Supartika E, dan Tenaya, IWM. (2004).
Antibodi Monoklonal dan Diagnosis Imunopatologi Penyakit Jembrana pada Sapi
Bali. Disampaikan dalam Lokakarya “ Upaya Pencegahan Dan Diagnosis Penyakit
Jembrana Pada Sapi Bali” Hotel Patra Jasa Bali, 1 Desember 2004
Cai X, Zheng Y, Lou Z, Jing Z, Hu Z, and Lu C. 2006. Immunodiagnoisis of Taeniasis in
China. The Journal of Applied Research. 6: 69-76.
Cruz ME, Schantz, PM, Cruz I, Preux PM, Banitez W, Tsang VC, and Fermoso DM.
1999. Epilepsi and neurocycercosis in an Andean community. Int. J Epidemiol. 29:
799-803.
Dharmawan NS, Swastika K, Putra I M, Wandra T, Sutisna P, Okamoto M, and Ito A.
2012. Present situation and problem of cysticercosis in animal in Bali and Papua.
Jurnal Veteriner Vol. 13 (2) : 154-162.
Direktorat Kesmavet. 2005. Pedoman Teknis Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem
di Rumah Pemotongan Hewan. Ditjen Bina Produksi Peternakan, Deptan, Jakarta.
Hal. 1 - 16
Galan-Puchades MT, and Feuntes MV. 2000. The Asian taenia and the possibilty of
cysticercosis. The Korean journal of Parasitology. 28: 1-7.
Hawk MW, Shahlaie K, Kim KD, and Theis JH. 2005. Neurocysticercosis: a review. Surg
Neurol 63:123-32.
Ito A, Nakao M, and Wandra T. 2003. Human taeniasis and cysticercosis in Asia. Lancet.
362:1918-1920.
Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S, Craig, PS, dan Ito A. (2006).
Taeniasis/cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia : Parasitol. Intl. 55 : S 143-
148.
McKearn TJ. (1980). Cloning hybridomas by limiting dilution in liquid phase: In”
Monoclonal antibodies : new dimension in biological analysis. (R.H. Kennet , T.J.
McKearn dan K.B. Bectol Eds), Plenum Press. New York and London p 374.
Ohnishi K, Sakaguchi M, and Kaji Tohiro. 2005. Immunological Detection of Severe
Acute Respiratory Syndrome Corona Virus by Monoclonal Antibodies. Jpn J. Infect
Dis 58: 88 - 94
Purba WH, Miko TY, Ito A, Widarso, Hamid A, Subahar R, dan Margono SS. (2002).
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sistiserkosis pada Penduduk
Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua, Tahun 2002.
Rajshekhar V, and Chandy MJ. 1997. Validation of diagnostic criteria for solitary cerebral
cysticercus granuloma in patients presenting with seizures. Acta Neurol Scand 96:76-
81.
Rajshekhar V, Joshi DD, Doanh NQ, Ven De N, and Xiaonong Z. 2003. Taenia solium
taeniasis/cysticercosis in Asia: epidemiology, impact and issues. Asia Trop 87: 53-60
46
Sawhney IM, Singh G, Lekhra OP, Mathuriya SN, Parihar PS, and Prabhakar S. 1998.
Uncommon presentations of neurocysticercosis. J Neurol Sci 154:94-100.
Simanjuntak GM. 2010. Studi Taeniasis/Cystisercosis di Kabupaten Jayawijaya Propinsi
Irian Jaya. Badan Litbang Kesehatan. Diakses tanggal 13 Mei 2010.
Singhi P, and Singhi S. 2004. Neurocysticercosis in children. J. Child. ,eurol. 19 : 482 -
492.
Subahar R, Hamid A, Purba W, Wandra T, Karma C, Sako Y, Margono SS, Craig PS, dan
Ito A. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot
serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans R
Soc Trop Med Hyg. 95: 388-390.
Subahar R, Hamid A, Purba F, Widarso, Ito A, dan Margono SS. 2005. Taeniasis/sistiser-
kosis di antara beberapa anggota keluarga di beberapa Desa di Kabupaten Jaya
Wijaya, Papua. Jurnal Ilmiah Makara vol. 9 Online : http://www.research.ui.ac.id/
diakses Januari 2008.
Sudewi AAR, Wandra T, Artha A, Nkouawa A, and Ito A. 2008. Taenia solium
cysticercosis in Bali, Indonesia : Serology and mtDNA analysis. Trans. R. Soc. Trop.
Med. Hyg. 102: 96-98
Suroso T, Margono SS, Wandra T, and Ito A. (2006). Challenges for Control of
Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia. Parasitol. Inter. 55 : 161 – 165
Sutisna P, Kapti IN, Allan JC, dan Rodriguez RC. 2000. Prevalensi taeniosis dan
sistiserkosis di Banjar Pamesan, Desa Ketewel, Gianyar, Bali. Maj. Kedokteran
Udayana. 31 : 226-234.
Towns JM, Hoffman CJ, and Kohn MA. 2004. Neurocysticercosis in Oregon 1995-
2000. J. of Emerg. Infec. Dis. 10 (3) : 508 – 510.
Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Suroso T, and Margono SS. 2003. Taenia solium
cysticercosis, Irian Jaya, Indonesia. J. of Emerg. Infec. Dis. 9 (7) : 884 – 885.
Wandra T, Depary AA, Sutisna P, Margono SS, Suroso T, Okamoto M, Craig PS, and Ito
A. 2006. Taeniasis in cysticercosis in Bali and North Sumatera, Indonesia.
Parasitology International 55 : S155-S160.
top related