kajian novel larasati karya pramoedya ananta toer
Post on 23-Jun-2015
2.864 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pengambaran dan Pengartian Cinta di Masa Revolusi Melalui Pandangan Tokoh Utama; Kajian Novel Larasati
Karya Pramoedya Ananta Toer
Bagaimana novel Larasati menggambarkan dan mengartikan cinta di masa revolusi melalui pandangan tokoh utama?
Name : Putri Hardiman Alamsyah
School : Pelita Harapan Sentul City
Candidate Number :001164-011
Subject : Bahasa Indonesia
Assignment : Extended Essay
Supervisor : Ibu Helmy Pardede
Word Count : 3632 words
1
DAFTAR ISI
Abstrak------------------------------------------------------------------------------1
Bab I.Pendahuluan----------------------------------------------------------------2
1.1 Latar Belakang Masalah---------------------------------------------2
1.2 Tujuan------------------------------------------------------------------3
Bab II. Novel dan Pengarang----------------------------------------------------42.1 Sinopsis Novel---------------------------------------------------------42.2 Latar Belakang Pengarang-------------------------------------------5
Bab III. Analisa--------------------------------------------------------------------63.1. Analisa Penokohan Larasati----------------------------------------63.2 Analisa Pengartian dan Pengartian Cinta Tanah Air Melalui Tokoh Larasati-------------------------------------------------------123.3 Analisa Konflik Internal dan Eksternal Tokoh Larasati--------17
Bab IV. Kesimpulan-------------------------------------------------------------21
Daftar Pustaka--------------------------------------------------------------------23
2
ABSTRAK
‘Revolusi pasti menang,’ Ara menjerit menjawab. ” tetapi di saat orang sekelilingnya
merendahkan dia “Mata piket itu nampak bertanya-tanya menyelidiki: Apa akan kau
kerjakan? Dan segera ia menjerit untuk kedua kalinya. “Aku juga berjuang dengan
caraku sendiri.” (Toer 25)
Pertanyaan yang akan dijawab dalam esai ini adalah bagaimana novel
Larasati menggambarkan dan mengartikan cinta di masa revolusi melalui
pandangan tokoh utama? Extended Essay ini akan menjelaskan arti cinta pada masa
Revolusi di dalam novel roman Larasati ini. Setelah menggunakan penelitian, analisa
penokohan Larasati, analisa konflik internal dan eksternal, dan analisa penggambaran
dan pengartian cinta Tanah Air, dapat disimpulkan bahwa Larasti adalah salah satu
tokoh wanita pejuang revolusi yang tangguh berhati lapang.
Larasati adalah tokoh utama wanita yang sangat bersemangat untuk
mendukung revolusi walaupun tidak secara langsung terjun ke medan perang tetapi
dengan menggunakan apapun yang bisa dia pergunakan. Dia adalah seorang seniwati,
seorang artis yang memakai status pekerjaannya untuk menyebarkan semangat
revolusi kepada orang-orang yang dia temui.
Kesimpulan dari Extended Essay ini akan memberikan gambaran dan
pengertian kepada para pembaca akan apa sebenarnya arti cinta di masa-masa
Revolusi.
Word Count :180
3
Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam novel ini Pramoedya begitu gampangnya menyampaikan amarahnya,
perasaannya, dan juga kritiknya secara tidak langsung terhadap para inlander,
penjajah, bahkan pemimpin Indonesia sendiri yang menurutnya banyak korup dan
terkadang omong kosong. Dari konflik, deskripsi, dan berbagai dialognya, terlihat
bahwa dia begitu menonjolkan semangat dan kesungguhan kaum muda.
Pertama kali membaca buku Larasati, hanya satu yang berkesan kepada
penulis yaitu moral dari bukunya. Karena sang penulis tidak dapat menangkap pesan
moralnya pada sekali baca, buku ini harus dibaca berulang-ulang kali untuk
mendapatkan maknanya. Dan pada akhirnya yang berkesan adalah semangat revolusi
yang terdapat di dalam tokoh Larasati. Hidup Larasati yang terombang-ambing akibat
Revolusi yang sangat dia nanti-nantikan. Seorang wanita tidak memiliki hidup yang
sempurna tanpa cinta. Larasati selalu didambakan oleh banyak orang saat menjadi
seorang artis layar lebar tetapi karena kolonisasi Belanda dia menjadi kurang laku.
Dalam buku Larasati diceritakan betapa rumitnya Negara Indonesia di masa
revolusi. Setiap orang mempunyai masalah masing-masing, dan setiap orang terpaksa
harus mengorbankan hal-hal tertentu untuk dirinya sendiri. Ada seorang republiken
yang mencoba membela negaranya karena cintanya kepada tanah airnya, ada juga
seorang lelaki yang menjadi seorang inlander, yang rela menghianati bangsanya
sendiri untuk hidup enak dan bercukupan. Apakah cinta berasal dari diri sendiri? Apa
4
bila kita datang dari negara yang dijajah oleh bangsa asing, haruskah kita merelakan
cinta kita untuk negara kita dijajah juga?
1.2 Tujuan
‘Revolusi pasti menang,’ Ara menjerit menjawab. ” tetapi di saat orang sekelilingnya
merendahkan dia “Mata piket itu nampak bertanya-tanya menyelidiki: Apa akan kau
kerjakan? Dan segera ia menjerit untuk kedua kalinya. “Aku juga berjuang dengan
caraku sendiri.” (Toer 25)
Bila diperhatikan sepintas ada sedikit hal yang berbau cinta di dalam buku ini,
tetapi apabila dianalisa lebih dalam, banyak hal yang bersangkut paut dengan cinta di
dalamnya. Seperti cinta Larasati terhadap Ibunya, cintanya terhadap revolusi ,
cintanya terhadap seorang lelaki, dan terutama cintanya kepada Tanah Airnya. Novel
ini telah meninggalkan kesan yang mendalam terhadap penulis. Suatu kesan yang
telah menyadarkan penulis tentang peranan wanita dalam masa revolusi yang
berjuang dengan caranya masing-masing. Seorang wanita di masa lalu dipandang
sebagai seseorang yang netral, lemah lembut dan juga makhluk yang penuh dengan
cinta. Wanita gampang untuk mencintai sesuatu karena mereka adalah makhluk yang
berpegang teguh kepada logik dan emosi. Penulis memilih untuk mengangkat topik
cinta karena tersadar betapa seberapa besarnya rasa cinta tokoh Larasati kepada
negaranya.
Melalui makalah ini akan menjawab pertanyaan, Bagaimana novel Larasati
menggambarkan dan mengartikan cinta di masa revolusi melalui pandangan
tokoh utama?
5
Bab II
Novel dan Pengarang
2.1 Sinopsis Novel
Biasanya pada buku jaman dulu menceritakan perjuangan dari sisi orang-
orang besar ataupun tentara yang sehari-hari berada di medan perang, tetapi buku ini
berpusat pada kehidupan seorang aktris cantik jelita, namanya Larasati. Dia biasa
tampil di panggung-panggung maupun berakting dalam berbagai film. Kadang
dunianya dipenuhi kesenangan, termasuk dikelilingi para pria-pria yang senantiasa
berebut ingin memiliki dirinya. Pada suatu hari dia pergi meninggalkan Yogya
menuju Jakarta untuk meraih impiannya untuk bermain film lagi karena, setelah
beberapa tahun sintuasi politik yang tak membaik membuat seakan-akan setiap hari
orang lupa dan tak butuh seni. Namun ternyata apabila Larasati ingin bermain film,
dia harus bermain film di bawah kendali NICA (Netherlands-Indie Civil
Administration). Di Jakarta, pada saat itu telah dikuasai NICA, dia pun melihat
kenyataan betapa pahitnya penindasan yang dilakukan NICA terhadap kaum republik.
Bahkan ternyata di sana banyak pula dia temui tentara inlander, orang-orang
Indonesia yang rela mengkhianati bangsanya sendiri demi mendapatkan hidup enak
dan berkecukupan. Keyakinan dan kecintaan Larasati terhadap revolusi makin
mengurang. Dalam keadaan yang semakin terasa tidak mudah, Larasati terus berusaha
agar dirinya dapat berguna bagi revolusi, walupun harus menghadapi segala halangan.
6
2.2 Latar Belakang Pengarang
Pramoedya dilahirkan di sebuah desa bernama Blora, dibesarkan oleh Ayah
yang seorang guru sekolah pemerintahan akan tetapi meninggalkannya demi
membangun sekolah Budi Utomo (sekolah liar), yang akhirnya mendampak kepada
keuangan keluarga. Sang Ayah dari Pramoedya terlibat dalam perjudian dan
berdampak terhadap keluarganya terutama sang Ibunya, yang meninggal karena TBC.
Kehidupan remaja Pramoedya sangat mempengaruhinya saat pembuatan sebuah
karya. Terutama dari Ibu dan Neneknya dari pihak Ibu, Neneknya adalah Ibu tiri dari
Ibunya dan juga inspirasi karya Gadis Pantai.
7
Bab III
ANALISA
3.1. Analisa Penokohan Larasati
Tokoh Larasati digambarkan sebagai perempuan kuat yang setia terhadap
revolusi, rela berkorban dan melakukan perjuangan yang besar. Larasati sangat
berpegang teguh dengan semangat revolusi sama dengan berbagai orang revolusionis
lainnya di Indonesia. Akan tetapi Larasati bukan hanya seorang wanita, dia adalah
seorang artis yang laku sebelum masa penjajahan Belanda. Dia sangatlah mencintai
Tanah Airnya yaitu Indonesia yang pada saat itu sedang dijajah negara Belanda.
Karakter Larasati berbeda dengan tipikal wanita-wanita lainnya, dia akan melakukan
berbagai cara untuk menunjukan rasa cintanya kepada Tanah Airnya.
Setiap orang pasti diuji kesetiaannya dengan berbagai macam cobaan. Untuk
memastikan kesetiaannya terhadap hal-hal tertentu, tentunya di dalam buku ini
Larasati telah teruji kesetiaannya oleh berbagai macam pihak.
… “Apa keuntunganku? Dengan bangsaku sendiri aku merasa lebih terjamin.
Belanda tidak nonton aku di film. Dan sekiranya mau masuk Nica, bukan main goblok
aku ini kalau mengabarkan pada orang lain.” (Toer 21)
Larasati hanya bisa mendukung dengan memakai status seniman yaitu seorang artis,
dengan cara bermain film republiken. Akan tetapi dia hanya ditawarkan untuk
bermain film dibawah kendali NICA, dan pastinya dia menolak tawaran itu. Tak
pernah sedikitpun dia berpikir untuk mengkhianati negaranya sendiri, Tanah Airnya.
8
“Akirnya berkata menghiba dengan nada menyerah kalah, “Kalau mau bunuh aku,
bunuhlah. Tapi aku bukan Nica”. (Toer 75)
Setelah sampai ke Cikampek diceritakan bahwa Larasati telah dikira seorang
NICA oleh seorang kakek yang merupakan tetangga ibunya mengira bahwa Larasati
adalah seorang NICA. Dengan demikian, sang kakek memukul Larasati dengan
tongkatnya, sehingga dada Larasati terasa sakit. Telah disampaikan dengan berbagai
macam cara untuk menunjukan bahwa dia bukanlah seorang inlander tetapi tetap saja
tak berguna. Dan pada akhirnya sang kakek berhenti sewaktu melihat uang ORI
(Oeang Republik Indonesia). Saat Larasati bertemu dengan Ibunya yang bernama
Lasmidjah, dipertanyakan status kekeluargaannya dengan Lasmidjah; “Kau bukan
bermaksud kerjasama Belanda?” Ara menggeleng “ Tidak jadi makan apa
nanti?”(Toer 82).
Tidak pernah terpikirkan di dalam benak Larasati sebelumnya pertanyaan itu,
dan pada saat itu juga barulah dia khawatir. Tidak mungkin Larasati meminta makan
dari Ibunya yang juga kelaparan, dan tidak mungkin juga dia merelakan cintanya
kepada revolusi hanya untuk kepuasan pribadinya dengan menyerahkan dirinya
menjadi seorang inlander. Tetap dengan kokohnya memegang revolusi, Larasati tetap
maju untuk mendukung revolusi.
… “Malam ini kami ikut bertempur. Mengapa diam semua?”
“Ara!.” Seru Ibunya.
9
“Apa yang ditakuti, bu? Kita semua hidup terus menerus dalam ketakutan. Apa kalian
biasanya ketakutan? Tidak ada. Kalau revolusi menang, tidak seorang pun perlu
takut lagi. Mari berangkat!” (hal 93)
Pada kutipan diatas bisa dilihat seberapa besarnya Larasati rela berkorban
untuk revolusi. Walaupun Larasati adalah seorang wanita, tetapi hal tidak
menghalangi dirinya untuk mengikuti perang melawan tentara Belanda. Dia
menyadari ajal mungkin akan menjemputnya bila dia mengikuti perang ini, akan
tetapi Larasati tetap berani untuk mengikuti perang tersebut. Dan pada saat itu juga
Larasati dipenuhi dengan ketakutan dan kebingungan akan keberadaanya di medan
perang. Akhirnya dia pun melepaskan semua kekhawatiran dan ketakutannya, ketika
dirinya terjun ke medan perang itu. “Husy,” sentak Larasati. “Aku menghadapi
manusia, bukan hewan. Kalau kau sendiri begini juga aku akan tolong, Djohan.”
(Toer 61).
Saat Larasati ditahan oleh Djohan, dia diperlihatkan sel-sel tempat orang
tahanan dan Larasati diancam apabila dia memberontak maka hal yang sama akan
menimpa dirinya. Tetapi Larasati bersikeras memberontak dengan memasuki salah
satu tahanan sel yang berisi seorang kakek tua yang telah disiksa oleh para Nica. Saat
dihampiri sang kakek tua yang sakit-sakitan itu, Larasati melontarkan beberapa
pertanyaan. Walaupun tidak banyak komunikasi diantara mereka hati Larasati
tersentuh dan meninggalkan kesan yang dalam saat melihat saat itu. Meskipun
Larasati tidak mengenal sang kakek itu, Larasati dengan berbesar hati telah
mengesampingkan ancaman Djohan untuk lebih memberikan perhatian kepada sang
kakek itu sekecil apapun.
10
… “kau sayang pada Ibumu nak?.” Larasati mengangguk. “Kalau begitu kau
mestinya datang. Aku hanya bisa berdoa untuk keselematanmu.”
“Kalau aku ditahan disana?” Nenek itu tak menjawab… ( Toer 118)
Melalui kutipan ini tersirat bagaimana Larasati telah mempertimbangkan
ancaman si Arab dan keselamatan ibunya, sehingga akhirnya dia memutuskan untuk
memenuhi keinginan si pemuda Arab itu. Pada saat dia berpisah dengan Chaidir,
teman Larasati yang bekerja sebagai penulis, Larasati bertemu dengan Jusman dan
ditahan di dalam kediaman Jusman sebagai “kekasihnya”. Larasati berkediaman di
rumah Jusman hanya karena ingin bersatu kembali dengan ibunya walaupun harus
merelakan badannya.
Diceritakan di dalam buku, bahwa Larasati datang jauh-jauh dari Yogyakarta
ke Cikampek untuk bertemu dengan ibunya yang sudah setahun lamanya tidak
bertemu dan sepanjang perjalanan dia selalu berdebat dengan dirinya sendiri tentang
revolusi. Kesetiannya yang tiada hentinya kepada Tanah Airnya telah menggambaran
kokohnya karakteristik Larasati kepada para pembacanya. Walaupun banyak halangan
terjadi di perjalanannya ke Cikampek tetap saja dia teguh untuk membela Tanah
Airnya, “Salvo buat Ara yang setia!” seseorang memekik (Toer 29). Sewaktu dia
berangkat menaiki kereta, banyak lelaki-lelaki yang berteriak “Merdeka” ataupun
namanya “Ara!”
11
“Untuk pertama kali ini Ara menangis begitu lama, seorang diri. Ia menangisi jiwa-
jiwa muda yang begitu rela, yang begitu tanpa dosa. Dan, katanya dalam hati, aku
adalah penjelmaan dari dosa ini sendiri” (Toer 29)
Kalimat diatas mengartikan seberapa dia memikirkan orang-orang lain yang
telah berkorban untuk revolusi, dan seberapa mudanya dan tanpa dosanya mereka.
Tak pernah terlintas bahwa Larasati sendiri mempunyai kesulitan untuk
mengekspresikan seberapa besar cintanya terhadap Tanah Airnya. Apabila dia lelaki
gampang sekali Larasati untuk memberontak para penjajah Belanda dan mendukung
revolusi. Akan tetapi dia adalah seorang wanita dan seniman, maka dia hanya bisa
mendukung dengan cara yang lain. Dia menggunakan kejuruannya sebagai mana
seorang seniman yang mendukung revolusi.
Perjalanan Larasti untuk mendukung revolusi menjadi hal yang penuh dengan
hambatan dan tantangan. Semangat dan juga daya juang yang ditunjukkan oleh
Larasati terlihat jelas dimulai dari perjalanannya dari Yogyakarta hingga akhir roman
kehidupannya. Larasti tak pernah sekali pun mengeluh akan perjalanannya dari
pertama kali menginjak kakinya di Cikampek dan menghadapi nasibnya itu. Larasati
mengikuti hatinya dan menjalani semuanya dengan tulus ikhlas. Dengan
mengorbankan apa yang dia bisa korbankan, tetap saja tak memutuskan semangatnya
untuk mendukung revolusi sampai akhirnya dia terlibat dengan majikan ibunya.
Saat Larasati pertama kali bertemu dengan Jusman, adalah saat dimana
Larasati ingin menjemput dan membawa pulang ibunya agar cepat kembali ke rumah
pondok mereka. Tetapi setelah bertemu dengan Jusman, Larasati menghadapi
12
tantangan untuk tetap hidup sebagai republiken. Agar dia bisa hidup Larasati harus
mencoba untuk menghidupkan dirinya sendiri dan juga ibunya. Tak pernah muncul
dibenaknya sebelumnya bagaimana Larasati harus menghidupi hidupnya ini tanpa
bantuan dari Belanda pada saat penjajahan Belanda itu. Pada akhirnya dia harus
berjuang hidup untuk dirinya sendiri dan ibunya, di rumah Jusman sebagai
kekasihnya.
Tanpa melepaskan semangatnya sebagai republiken dia merelakan dirinya
untuk menjadi kekasih Jusman. Walaupun dibatasi kebebasannya Larasati tetap ingin
mengikuti perkembangan Revolusi. Maka dengan cara dia meminta Koran harian dan
radio untuk mengikuti perkembangan revolusi Indonesia.
Telah sebulan Ara tinggal dalam genggaman kekuasaan pemuda Arab itu. Ia tak
dapat merasakan lagi dirinya mati atau hidup hanya masih ada satu keiinginan
tinggal : ia ingin mendapatkan hubungan dengan dunia luar. Ia ingin tahu tentang
nasib Revolusi. (Toer 145)
13
3.2 Analisa Penggambaran dan Pengartian Cinta Tanah Air Melalui Tokoh
Larasati.
Setiap orang pasti mempunyai makna cinta pada diri mereka sendiri, kadang
ada yang berbau romantis dan terkadang juga sadis, pada akhir cerita cinta masing-
masing. Cinta itu bisa dibilang sebagai perasaan yang paling terdalam di dalam hati
manusia, tak pernah ada orang yang bisa mengartikan cinta dalam satu kalimat
ataupun hal lainnya. Cinta itu sebenarnya tidak boleh terlalu general karena sudah
pasti bahwa setiap individu itu berbeda dan hal-hal yang terlalu general.
Kemungkinan bisa saja melenceng menjadi hal yang berbeda jauh pada diri kita
sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Revolusi adalah peralihan sistem
pemerintahan dengan mengandalkan ataupun menggunakan kekuatan senjata ataupun
paksaan. Bagi Larasati Revolusi itu dimulai saat dia bertemu dengan seorang letnan
Jepang bernama Nisjizumi yang menawarkan sebuah peran di dalam film propaganda
Jepang, namun sampai dengan waktu yang cukup lama belum juga dia menerima
kabar dari Nisjizumi. Dan sejak itu Larasati tersadarkan akan segala macam
kemunafikan kaum revolusioner, keloyoan, omong kosong dari pemimpin-pemimpin,
penghianatan dan berbagai kisah cinta. Dari perjalanan Yogyakarta ke Cikampek,
Larasati telah bertemu dengan berbagai macam orang-orang yang memandang
revolusi dengan caranya mereka masing-masing dan begitu pula dengan dirinya
sendiri.
14
Hal yang diangkat disini adalah bagaimana revolusi itu bukanlah hal yang
jahat atau penuh dengan kebencian. Pernahkah terlintas tentang betapa cintanya kita
kepada Negara kita? Tanah Tumpah darah kita? Mengapa orang-orang selalu merasa
terhina apabila negaranya dicela? Mereka merasa terhina karena yang dihina
sebenarnya adalah sesuatu yang dicintainya, bagian dari hidupnya yaitu bangsanya.
Beberapa manusia mungkin berperang karena tujuannya adalah uang ataupun hal
material lainnya. Tetapi apabila diperhatikan, ada juga beberapa orang yang membela
negaranya dalam berperang karena ingin membela negaranya dari ancaman-ancaman,
jajahan negara lain. Salah satu contohnya adalah Larasati. “Aku juga punya Tanah
Air. Jelek-jelek tanahairku sendiri, bumi dan manusia yang menghidupi aku selama
ini. Cuma binatang ikut Belanda” (Toer 13).
Larasatipun mengakui seberapa jeleknya Tanah Airnya akan tetapi dia juga
tersadarkan seberapa dia berhutang terhadap Tanah Airnya yang telah menghidupi dia
selama ini dan hanyalah binatang yang merelakan menjual cinta mereka NICA atau
Belanda untuk hidup yang berkecukupan.
Di mata Larasati hanyalah binatang yang tega menyerah kepada para penjajah,
dan apalagi bila tujuannya adalah karena kepuasaan tersendiri atau barang-barang
material yang ditujunya. Penulis menunjuKkan bahwa seorang penghianat adalah
manusia-manusia yang tidak mencintai dirinya sendiri, mereka lebih memilih menjual
cinta negaranya kepada pejajahan Belanda daripada membelanya.
Larasatipun akhirnya mendukung revolusi dengan caranya sendiri yaitu
sebagai artis atau seniman. Dia menyebarkan semangat revolusi kepada berbagai
15
macam orang yang dia temui di jalannya dan juga menggunakan status artisnya dia
untuk memperkuat dukungan revolusi.
Bagi Larasati revolusi adalah sesuatu yang berhak didukung, apalagi apabila
revolusi untuk negaranya sendiri. Apabila seseorang jatuh cinta pasti, seseorang itu
akan berjuang mati-matian mencintai hal yang dia cintai itu. Sama saja seperti cinta
pada Tanah Air kita, pasti setiap sersan, prajurit dan letnan yang telah merelakan
hidupnya untuk menjadi prajurit Negara pasti mencintai negeri mereka. Secara refleks
manusia pasti mencintai negaranya mereka sendiri, walaupun ditujukan secara
langsung maupun tidak langsung. Setiap orang pasti menunjukan rasa cintanya
dengan cara yang berbeda-beda.
Rasa cinta Larasati terhadap negaranya terlihat jelas melalui setiap hal yang
bersentuhan dengan hidupnya. Kesederhanaanya dengan pakaian kebaya yang
menyimbolkan kekhasan tanah jawa, uang ORI yang dia simpan walaupun pada saat
itu beredar uang Jepang dan uang merah, statusnya yang tidak bersuamikan orang
Jepang ataupun Belanda pada saat itu dan tetap memilih Oding yang adalah seorang
pribumi tulen, dan juga ketidak inginannya mendapat sebutan miss yang layaknya
dipakai oleh orang-orang Belanda.
Pada saat itu uang yang beredar adalah uang merah (mata uang Belanda) dan
juga YEN (uang Jepang). Dan pada saat itu uang ORI sangatlah tidak berarti. Larasati
di dalam buku, menyimpan uang ORI (Oeang Republik Indonesia) itu menunjukan
betapa cintanya dia terhadap mata uang Negara sendiri. Meskipun uang untuk
membeli barang-barang material sangatlah dibutuhkan untuk dia dan Ibunya tetapi dia
16
hanya mempunyai uang ORI dan tidak mempedulikan ketidak berartian uang ORI.Dia
mengangap statusnya sebagai bangsa pribumi dengan tetap menyimpan uang ORI itu.
Layaknya wanita Jawa pada umumnya, Larasati menggunakan kebaya sebagai
pakaian yang dikenakannya. Pada saat perjalanan Larasti dari Yogyakarta menuju
Cikampek, apabila diperhatikan di dalam novel, dia memakai baju kebaya.
Seharusnya dimasa penjajahan Belanda, wanita-wanita mengenakan baju-baju barat,
kecuali Larasati. Dia tidak merasa risih dan juga malu untuk mengenakan kebaya
bahkan diapun tidak merasa disulitkan dengan pakaian itu. Hal ini menjadi cerminan
untuk memperlihatkan betapa dia mencintai Tanah Airnya di dalam berbagai macam
hal.
Walaupun beberapa orang memanggil dia dengan sebutan “miss” tetapi
Larasati menolaknya dan tidak menyukai menggunakan status “Miss”, karena dia
adalah orang Indonesia bukanlah orang Belanda atau Barat. Larasati lebih memilih
dipanggil dengan sebutan “Ara” yang adalah potongan dari namanya Larasati. Ara
sendiri berarti cantik.
Cinta Larasti kepada Tanah Airnya memang telah diceritakan dengan bebagai
macam daya juang yang telah dia lewati. Dan akhirnya dia mendapatkan apa yang dia
pantaskan, yaitu cintanya kepada seorang Pribumi, seorang republiken juga Kapten
Oding. Larasati telah dideskripsikan di dalam buku sebagai perempuan yang
sangatlah cantik dan unik, dengan figur seperti itu dia bisa saja memilih lelaki-lelaki
Barat yang kaya ataupun tampan, tetapi dia lebih memilih lamaran Kapten oding
daripada Jusman.
17
Dari pribadi seorang Larasati tergambarkan bagaimana suatu revolusi yang
membutuhkan kekerasan senjata tidak selamanya menjadi suatu hal yang keji karena
memakan banyak jiwa tetapi perjuangan tersebut didasari suatu kecintaanyang luhur
untuk tanah air. Perubahan menuju kebaikan dan kesejahteraan. Perubahan menuju
kemerdekaan dan bebas dari keterjajahan. Perubahan dengan semangat kesatuan demi
solidaritas sesama rakyat karena kecintaan akan tanah air. Ketidak relaan diri akan
tertindasnya cinta. Oleh cinta dan karena cinta revolusi terjadi dan cita-cita tercapai.
18
3.3 Analisa Konflik Internal dan Eksternal Tokoh Larasati
INTERNAL
‘Revolusi pasti menang,’ Ara menjerit menjawab. ” tetapi di saat orang sekelilingnya
merendahkan dia “Mata piket itu nampak bertanya-tanya menyelidiki: Apa akan kau
kerjakan? Dan segera ia menjerit untuk kedua kalinya. “Aku juga berjuang dengan
caraku sendiri.” (Toer 25)
Salah satu konflik internal yang terdapat di dalam buku Larasati ini adalah
konfliknya sebagai pejuang revolusi dengan gendernya sebagai seorang wanita.
Sebagai seorang wanita di jaman dahulu, dia tidak mempunyai derajat yang sama
dengan para lelaki. Wanita selalu digambarkan sebagai seseorang yang selalu berkerja
rumah tangga dan sedangkan lelaki selalu digambarkan sebagai yang terjun ke dunia
luar untuk menghidupi keluarganya.
Apabila seorang istri ditinggalkan oleh suaminya, sang pencari nafkah,
seseorang yang selalu digambarkan menghidupi keluarganya, maka istrinya tidak
mampu untuk hidup sendiri? Wanita selalu dianggap manusia yang harus tinggal
dirumah tidak boleh keluar kecuali mendapatkan ijin suaminya. Akan tetapi buku
Larasati telah membuat gambaran wanita yang baru dimasanya.
Karakter Larasati adalah seorang pejuang revolusi dan seseorang yang sangat
mencintai Tanah Airnya. Dia akan melakukan berbagai hal untuk bisa mendukung
19
revolusi, dan walaupun Larasati adalah seorang wanita dia akan mengubah cara
gambaran hidup seorang wanita pada biasanya.
Sebagai wanita jaman sekarang, pasti tidak akan diam saja apabila dibilang
derajatnya lebih bawah daripada lelaki. Dan semangat yang sama ada juga di dalam
Larasati, walupun banyak hambatan-hambatan karena dia seorang wanita tidak pernah
sekalipun alasan itu mengekang dia untuk mendukung revolusi. Pada saat desa kecil
dimana Larasati dan Ibunya tinggal diserang, Larasati tidak bersembunyi dia malah
berikut serta mengikuti perangnya dengan night gown nya. Walaupun merasa
ketakutan sewaktu menginjak medan perang tetapi Larasati akhirnya menyerang juga
mengikuti letnan-letnan yang adalah teman-temannya.
Dapat ditemukan bahwa umur Larasati adalah 28 di dalam buku, dan belum
menikah. Kebiasaan orang Jawa pada jaman dahulu adalah untuk wanita sebisanya
menikah cepat setelah menginjak umur 16, tetapi Larasati berumur 28 tetapi masih
belum menikah.
20
EKSTERNAL
Setelah menyetujui untuk tinggal di rumah Jusman, Larasati barulah tersadar
bahwa hal itu menghambat pendukungan revolusi Larasati. Setelah tinggal beberapa
lama di rumah Jusman, dia merasa berada di ombang-ambing emosi, saat mengetahui
Yogya telah jatuh dia pun berbisik pada dirinya sendiri bahwa dia juga telah jatuh.
Semangat Larasati saat itu telah padam tapi kembali berapi-api saat dia
tersadarkan akan satu keinginannya yaitu, hubungan dengan dunia luar, sejak dia
tidak diperbolehkan keluar dari rumah oleh Jusman. Larasati juga tersadar bahwa
selama sebulan tinggal dirumah Jusman tak pernah sekalipun ada Koran harian
masuk, surat ataupun buku di dalam rumah itu. Pada akhirnya Larasatipun meminta
kepada Jusman untuk dibelikan sebuah radio untuk mendengarkan musik dan juga
mendengarkan berita-berita terbaru tentang revolusi Negara. Sebisa mungkin Larasati
ingin mendapatkan kabar terbaru dari dunia luar untuk menenangkan hatinya itu.
Dengan demikian Larasati bisa juga membaca kejadian-kejadian yang telah dia
lewati.
Perjalanan jauh Larasti pergi dari Yogyakarta ke Cikampek adalah untuk
menyebarkan semangat revolusi dan juga untuk bertemu dengan Ibunya yang sudah
setahun lamanya tidak bertemu. Walaupun terkesan sebagai Ibu dan anak yang
mempunyai hubungan yang baik, apabila diperhatikan lagi maka akan mendapatkan
kesan bahwa ibunya selalu cenderung tidak memihak akan pilihan Larasati.
21
Pada saat perang terjadi di desa, dimana Larasati dan Ibunya tinggal. Larasti
memilih untuk mengikuti perang, dan pada saat dia bersemangat untuk mengikuti
perang, sang Ibu cenderung tidak menyetujui pilihan Larasati itu. Ibunya menganggap
bahwa Larasati adalah seorang wanita dan sangatlah tidak wajar untuk turun ke
medan perang. Pada saat Jusman telah terluka di rumah sakit dan potongan tangan
Jusman dikirim kerumah, Larasati terkena sedikit darah Jusman di tangannya akan
tetapi pada saat dia mendengar kabar tentang revolusi, dia tidak menkhwatirkan
Jusman ataupun membersihkan noda darahnya yang terdapat di dirinya tetapi Larasati
lebih memilih untuk melanjutkan membaca Koran untuk mencari-cari berita terbaru
tentang revolusi yang sedang terjadi. Ketika di masa itu, Lasmidjah Ibunya Larasati,
meneriaki Larasati akan ketidakpeduliannya pada Jusman yang sedang terluka, secara
tidak langsung Lasmidjah ingin Larasati menjenguk Jusman dan merawatnya, dan
untuk melupakan semua-muanya tentang revolusi.
22
Bab IV
Kesimpulan
Tujuan dari esai ini adalah untuk menjawab pertanyaan, bagaimana novel
Larasati menggambarkan dan mengartikan cinta di masa revolusi melalui
pandangan tokoh utama? Dengan menganalisa buku karya Pramoedya, Larasari.
Telah terjawab, dengan melalui tokoh Larasati kita bisa melihat satu gambaran
roman kehidupan cinta di masa Revolusi. Cintanya menggapai kebahagiaan pribadi
dan juga kebahagiaan akan tanah airnya. Dari Buku Larasati ini juga, telah
memberikan berbagai macam contoh penggambaran dan pengartian cinta di masa
revolusi, seperti sewaktu Mahdjohan lebih memilih merelakan cintanya kepada Tanah
Airnya, untuk ditukarkan dengan hal-hal material, atau seperti Larasati yang selalu
mempunyai semangat yang membara untuk mendukung revolusi, dan tiadalah lagi
yang bisa memberikan contoh inspirasi Pramoedya selain tokoh-tokoh wanita seperti
Larasati.
Biasanya Revolusi pasti penuh dengan cerita-cerita yang menyedihkan,
bagaimana setiap kali ada tembakan terbayang akan pertumpahan darah dan kesan
yang tertinggal adalah kesedihan atau penyesalan. Tetapi setelah perang berakhir
selalu saja terlupakan kesedihan atau penyesalan, sebaliknya yang tumbuh adalah
kebahagiaan akan kemenangan yang selama ini diperjuangkan.
Sebenarnya Buku Larasati bisa menyimpulkan berbagai macam kesimpulan,
akan tetapi yang disimpulkan disini adalah bahwa revolusi membutuhkan suatu sikap
23
rela berkorban, kesetiaan dan juga daya juang yang didasari oleh cinta dan secara
khusus dalam novel Larasati ini mengangkat topik cinta kepada Tanah Air. Dan untuk
mencari perihal tentang cinta di masa-masa revolusi membutuhkan analisa lebih
lanjut.
24
DAFTAR PUSTAKA
1.) Toer, Pramoedya Ananta. Larasati. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
2.) Boef, August Hans den dan Snoek, Kees. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir:
Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Komunikasi Bambu,
2008
3.) “The Beginning Of Dutch Colonialism”. Indonesia's History and Background.
2000 AsianInfo.org. 10 Nov 2008 <http://www.asianinfo.org/asianinfo/indonesia/pro-
history.htm>.
4.) Allen, Pam. “Reading Pramoedya”. Inside Indonesia. 2007 © Inside Indonesia. 10
Nov 2008 <http://insideindonesia.org/content/view/41/29/>
5.) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
25
top related