kata pengantar - universitas brawijayablog.ub.ac.id/abiridho/files/2013/11/tugas-proposal.docx ·...
Post on 25-Dec-2019
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS RELASI KEHIDUPAN PENGEMIS DENGAN INDIKATOR
KESEJAHTERAAN SOSIAL
(Studi Kasus di Kota Malang)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisis Data Kualitatif
Disusun oleh:
Abi ridho wicaksono 1150301070111015
Kelas: Publik D
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah Wa Syukurillah puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyusun
makalah Kebijakan Lingkungan dengan judul “ANALISIS RELASI KEHIDUPAN
PENGEMIS DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN SOSIAL DI KABUPATEN
MAGETAN” ini dengan baik.
Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, diantaranya Bapak Dosen Pengampu Mata Kuliah Analisis Data
Kualitatif, orang tua, dan teman-teman mata kuliah Analisis Data Kualitatif.
Saya mengerti bahwa makalah ini jauh dari sempurna, sehingga saya berharap
pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah
ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Malang, 21 Oktober 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................................5
B. Rumusan Penelitian...............................................................................................................6
C. Tujuan Penelitian...................................................................................................................6
BAB II.................................................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................................7
A. Pengemis...............................................................................................................................7
B. Tinjauan Tentang Keluarga....................................................................................................9
BAB III..............................................................................................................................................19
METODE PENELITIAN.......................................................................................................................19
A. Jenis Penelitian....................................................................................................................19
B. Fokus Penelitian...................................................................................................................19
C. Lokasi dan Situs Penelitian...................................................................................................20
D. Jenis dan Sumber Data.........................................................................................................20
E. Teknik Pengumpulan Data...................................................................................................21
F. Instrumen Penelitian...........................................................................................................23
G. Metode Analisis Data...........................................................................................................23
BAB IV..............................................................................................................................................25
PEMBAHASAN..................................................................................................................................25
A. Faktor-faktor penyebab pengemis.......................................................................................25
B. Pola Kerja Para Pengemis....................................................................................................26
C. Kondisi Keluarga Para Pengemis..........................................................................................27
D. Peran Pemerintah dalam Mengatasi Masalah Pengemis.....................................................28
E. Peran Mahasiswa dalam Mengatasi Masalah Pengemis......................................................30
BAB V...............................................................................................................................................32
PENUTUP.........................................................................................................................................32
A. KESIMPULAN........................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................34
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangIndonesia merupakan negara berkembang yang identik dengan kemiskinan baik di
kota maupun di desa. Di setiap kota, pasti ada daerah yang perumahannya berhimpitan satu
dengan yang lain, banyaknya pengemis, pengamen, anak jalanan dan masih banyak lagi.
Keadaan yang menggambarkan masyarakat miskin perkotaan, bahkan di malam hari banyak
orang-orang yang tidur dipinggir jalan. Dalam kehidupan umum secara sosial pengemis lebih
cenderung dikaitkan dengan peminta-minta, dalam kegiatannya mereka melakukan berbagai
cara untuk mendapatkan penghasilan sebanyak-banyaknya, tidak jarang mereka
menggunakan berbagai cara untuk melakukannya. Akibatnya terjadi kesemrautan, ketidak
nyamanan, dan tidak tertib serta cenderung mengurangi keindahan. Kondisi demikian sangat
memprihatinkan dan harus segera diatasi.
Banyak cara telah dilakukan baik oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah
dan juga individu-individu pemerhati kemiskinan dan permasalahannya untuk mengatasinya
seperti transmigrasi penduduk dari daerah padat ke daerah yang masih jarang penduduknya,
penanggulangan bertambahnya penduduk dengan program Keluarga Berencana (KB), dan
lain-lain. Semua itu ternyata belum berhasil, dan bahkan pemerintah terkesan tidak serius
dalam menghadapi fenomena tersebut. Semua itu berdasarkan pada kenyataan di lapangan
memang fenomena itu tidak berkurang tetapi justru semakin banyak.
Pengemis merupakan masalah yang umum dijumpai di berbagai kota termasuk Kota
Malang. Munculnya pengemis jalanan di latar belakangi oleh banyak faktor, diantaranya
adalah rendahnya pendidikan dan keterampilan, rendahnya pendapatan dan terbatasnya
kesempatan kerja. Jumlah pengemis di Kota Malang setiap tahunnya mengalami peningkatan
dikarenakan di kota memiliki struktur sosial, ekonomi, dan administrasi yang lebih kompleks,
sehingga para pengemis tertarik untuk datang ke kota untuk mencari uang. Hal ini bisa dilihat
dari tabel data yang bersumber dari Dinas Sosial Kota Malang:
Tabel 1.
Tahun Jumlah Pengemis (anak-anak hingga orang tua)
2005 277 orang
2006 320 orang
2007 378 orang
Tempat-tempat pengemis untuk mencari rejeki adalah tempat-tempat yang banyak
dilewati orang-orang dan kendaraan bermotor. Tempat-tempat seperti ini yang ada di Kota
Malang adalah di kawasan Alun-Alun, perempatan jalan, kampus, Malang Plasa, Gajah
Mada, Mitra1, pasar, terminal stasiun dan tempat ibadah. Hal ini mengakibatkan dampak
negatif bagi Kota Malang yaitu dapat mengganggu kenyamanan dan ketentraman masyarakat.
Pada umumnya fisik dari pengemis di Kota Malang sehat. Selama mengemis mereka
berpenampilan kotor dan kumuh. Usia pengemisnya sekitar 35 tahun keatas. Mereka tinggal
di rumah kotrakan yang berada di sekitaran daerah Sukun, Buring, Dieng dekat UNMER,
Galunggung, Singosari dan Pakis. Pendidikan yang mereka miliki relatif rendah yaitu lulusan
SMP dan SD. Pengemis di Kota Malang memiliki banyak beban tanggungannya, tetapi
kondisi ekonomi mereka terbilang mapan karena dapat membiayai beban tanggungan
keluarga yang cukup banyak hanya dengan berpenghasilan sebagai pengemis.
Di sekitar Kota Malang banyak dijumpai pengemis yang sedang beraktifitas mencari
uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka mengemis diberbagai tempat yang
strategis. Pengemis dewasa ini tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan primer saja
tetapi sudah merupakan pekerjaan tetap yang prospek keberadaannya akan berlanjut terus.
Dari uraian diatas, laporan penelitian ini akan membahas “KEHIDUPAN PENGEMIS DI
KOTA MALANG”.
B. Rumusan Penelitian1. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi mereka untuk menjadi pengemis?
2. Bagaimana pola interaksi antar pengemis dalam melakukan kegiatan mereka?
3. Bagaimana hubungan pengemis tersebut dengan keluarganya?
4. Bagaimana peran pemerintah dan mahasiswa dalam mengatasi masalah pengemis
di Kota Malang?
C. Tujuan Penelitian1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi mereka untuk menjadi
pengemis.
2. Untuk mengetahui hubungan antara pengemis dengan pengemis lainnya dan pola
kerja mereka.
3. Untuk mengetahui hubungan pengemis tersebut dengan keluarganya
4. Untuk mengetahui peran pemerintah dan mahasiswa dalam mengatasi masalah
pengemis di Kota Malang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PengemisPengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta
di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.
Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana pengemis yang masuk dalam
kategori orang miskin di perkotaan yang sering mengalami praktek diskriminasi dan
pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 :
220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan
masyarakat pada umumnya. Menurut Departemen Sosial R.I (1992) Pengemis adalah orang-
orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai
alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.
Masalah pengemis adalah masalah yang pelik. Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu
sudut pandang. Masalah pengemis, pengamen, dll., merupakan masalah dari berbagai aspek,
seperti politik, sosial, dan ekonomi. Tergantung dari kacamata mana kita memandangnya.
Banyak alasan yang mendasari seseorang atau sekelompok orang terjun menjadi pengemis.
Pengemis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam
kategori mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang mengemis karena malas dalam
bekerja. Pengemis pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu
dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak
mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan
dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah
kumpul kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak
keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran.
Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa.
Pengemis adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari pembangunan, dan di
sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat secara umum. Mereka hidup
terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di perkotaan. Sebagai kelompok marginal, pengemis
tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masarakat sekitarnya. Stigma ini
mendeskripsikan pengemis dengan citra yang negatif. Pengemis dipersepsikan sebagai orang
yang merusak pemandangan dan ketertiban umum seperti : kotor, sumber kriminal, tanpa
norma, tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas, apatis,
bahkan disebut sebagai sampah masyarakat.
Pandangan semacam ini mengisyaratkan bahwa pengemis dianggap sulit memberikan
sumbangsih yang berarti terhadap pembangunan kota karena mengganggu keharmonisan,
keberlanjutan, penampilan, dan konstruksi masyarakat kota. Hal ini berarti bahwa pengemis
tidak hanya menghadapi kesulitan hidup dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam konteks
hubungan sosial budaya dengan masyarakat kota. Akibatnya komunitas pengemis harus
berjuang menghadapi kesulitan ekonomi, sosial psikologis dan budaya. Namun demikian,
pengemis memiliki potensi dan kemampuan untuk tetap mempertahankan hidup dan
memenuhi kebutuhan keluarganya. Indikasi ini menunjukkan bahwa pengemis mempunyai
sejumlah sisi positif yang bisa dikembangkan lebih lanjut. ada lima ketegori pengemis
menurut sebab menjadi pengemis, yaitu:
1. Pengemis Berpengalaman: lahir karena tradisi. Bagi pengemis yang lahir karena
tradisi, tindakan mengemis adalah sebuah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan
kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif sebab).
2. Pengemis kontemporer kontinu tertutup: hidup tanpa alternatif. Bagi kelompok
pengemis yang hidup tanpa alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-
satunya pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinyu mengemis, tetapi mereka tidak
mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan bekerja yang akan menjamin hidupnya
dan mendapatkan uang.
3. Pengemis kontemporer kontinyu terbuka: hidup dengan peluang. Mereka masih
memiliki alternatif pilihan, karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka
kembangkan untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak dapat
berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut dengan sebaik-baiknya atau karena
kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan peluang tersebut.
4. Pengemis kontemporer temporer: hidup musiman. Pengemis yang hanya sementara
dan bergantung pada kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka
biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah asalnya karena musim
kemarau atau gagal panen menjadi salah satu pemicu berkembangnya kelompok ini.
5. Pengemis rerencana: berjuang dengan harapan. Pengemis yang hidup berjuang dengan
harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara (kontemporer). Mereka mengemis
sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan lain setelah waktu dan situasinya
dipandang cukup.
B. Tinjauan Tentang Keluarga a. Pengertian Keluarga
Keluarga (family) sebagaimana yang telah dikonsepkan oleh Nyoman Dhana
(dalam Suyono, 1985: 191) adalah hubungan darah dan perkawinan yang disebut dengan
istilah lain yaitu kelompok kekerabatan. Sejalan dengan hal tersebut Peck menganggap
keluarga sebagai komunitas pertama yang merupakan wahana untuk mengembangkan dan
memelihara sosialitas manusia atau keluarga merupakan kontek sosial tempat seseorang
individu dibentuk menjadi makhluk sosial (1993: 35 – 36). Sedangkan menurut Wikipedia
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa
orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling
ketergantungan.
Istilah keluarga biasanya digunakan untuk menentukan unit sosial terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya yang belum menikah (nuclear
family). Namun kadang-kadang istilah keluarga juga menunjukkan unit sosial yang luas tidak
terbatas pada ayah, ibu, dan anak-anaknya saja, tetapi juga mencakup kakek, nenek, paman,
bibi, keponakan, dan sanak keluarga yang lainnya (extended family).
Dari berbagai definisi tentang keluarga tersebut diatas dapat dikatakan, bahwa
keluarga adalah suatu bentuk pertalian yang sah antara suami istri melalui perkawinan
dimana mereka hidup secara rukun dalam mengembangkan kepribadian masing-masing. Dari
pertalian tersebut lahirnya keturunan yang secara hukum menjadi tanggung jawab dari kedua
pihak untuk pembinaan pengembangan mereka.
b. Kedudukan dan Tanggung Jawab Keluarga
Anak, keluarga, dan masa depan bangsa merupakan tiga hal yang saling berkaitan. Di
antara ketiga bagian tersebut, keluarga mempunyai kedudukan kunci dan sentral dalam
pembinaan. Dalam pembentukan watak, bahwa pengaruh yang kuat dapat berpindah-pindah
dari satu pihak kepihak lain. Namun di dalam hal ini sudah jelas, bahwa keluarga sebagai
sumber pengaruh tidak dapat dihindari kecuali kalau pada suatu waktu dengan sengaja
memisahkan diri dari keluarganya sebelum selesai pembentukan wataknya (Soemardjan,
1993: 202). Seperti apa yang dinyatakan oleh Charles Cooley dalam Alisjahbana, 1986: 185
bahwa “keluarga adalah kelompok pertama menjadi dasar pembentukan watak dan cita-cita
individu”.
Adapun pembagian usia kehidupan pada manusia dari masa bayi sampai masa remaja,
sebagaimana dikemukakan Simanjuntak dari pendapat Bigot Khounstam dan Pallaand (Andi
Maappiare, 1982: 23) adalah.
a. Masa bayi dan kanak-kanak
- Masa bayi : 0 – 1 tahun.
- Masa kanak-kanak : 2 – 7 tahun.
b. Masa sekolah : 7 – 12 tahun.
c. Masa sosial
- Masa kanak-kanak puerai : 13 – 14 tahun.
- Masa pra-pubertas : 14 – 15 tahun.
- Masa pubertas : 15 – 18 tahun.
- Masa remaja : 18 – 21 tahun.
Berkaitan dengan perbatasan dan pembagian batas usia di atas, maka pada hasil
observasi di lokasi penelitian, anak-anak yang terlihat sebagai pengemis itu sendiri dengan
usia antara 7 – 14 tahun (masa sekolah atau masa kanak-kanak). Masa perkembangan usia
tersebut di atas adalah masa pembinaan yang sangat penting dari keluarga. Seperti
komunikasi antara orang tua dan anak maupun pergaulan antara orang tua, anak dan tanggung
jawab orang tua terhadap anak akan membawa dampak pada anak di masa depan.
Selanjutnya Lobby Loekmono (dalam Kartini Kartono, 1985: 4) menyatakan bahwa
“perkembangan anak dimulai dan dimungkinkan dalam keluarga oleh karena itu pengaruh
keluarga sangat besar dalam proses perkembangan pembinaan potensi, dan pembentukan
pribadi anak”. Senada dengan hal tersebut Aryatmi (dalam Kartini Kartono, 1985: 27)
menyatakan “keluarga adalah lingkungan hidup pertama dan utama bagi setiap anak. Dalam
keluarga ini anak mendapat rangsangan, hambatan atau pengaruh yang pertama-tama dalam
pertumbuhan dan perkembangannya, baik perkembangan biologis maupun perkembangan
jiwanya atau pribadinya”.
Dengan melihat kedudukan keluarga tersebut di atas maka tiap keluarga hendaknya
memberi perhatian inti pokok perkembangan anak seperti kasih sayang dan perhatian,
pertumbuhan yang normal, imunisasi terhadap berbagai penyakit, perawatan kesehatan yang
didasari, dan kesempatan mengecap pendidikan. Dengan kata lain hendaknya anak dapat
bergantung pada komitmen tersebut setiap saat.Selanjutnya dalam pasal 2 undang-undang
nomor 4 tahun 1979 merumuskan hak-hak seorang anak sebagai berikut:
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbinganberdasarkan kasih
sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhankhusus untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar.
Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dankehidupan
sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadiwarga Negara yang
baik dan berguna.
Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalamkandungan
maupun sesudah dilahirkan.
Anak berhak atas perlindungan dari lingkungan hidup yang dapatmembahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangan yangwajar (Soemitra, 1990: 16 – 17).
Memperhatikan hak-hak anak tersebut, maka keberadaan anak-anak yang terlibat
sebagai pengemis, sebagaimana yang dialami oleh pengemis-pengemis kecil yang ada di
Kota Malang, sebenarnya juga memiliki hak yang sama seperti apa yang telah dinyatakan
tersebut di atas. Namun demikian kedudukan sebagai seorang anak, terlepas juga dari
kewajibannya sebagai anak yakni anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak
mereka yang baik (Mawardi, 1975: 56).
Kewajiban anak terhadap orang tua tersebut diatas, kadang-kadang membawa
implikasi yang salah terutama bagi anak-anak yang tergolong usia kanak-kanak. Oleh karena
itu penanaman nilai dalam keluarga sangat menentukan baik tidaknya masa depan anak
tersebut.
Sementara itu Singgih D. Gunarsa menyatakan bahwa fungsi keluarga itu meliputi:
1. Keluarga berfungsi untuk melanjutkan garis keturunan.
2. Keluarga berfungsi untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian
sehingga bayi yang kecil menjadi anak yang besar yang berkembang dan
diperkembangkan seluruh kepribadiannya, sehingga tercapai gambaran
epribadian yang mantap, dewasa, dan harmonis.
3. Keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal, tempat dimana
anak memperkembangkan dan diperkembangkan kemampuan-kemampuan
dasar yang dimiliki, sehingga mencapai prestasi sesuai dengan kemampuan
dasar yang dimiliki dan diperlihatkan perubahan prilaku dalam berbagai
aspeknya seperti yang diharapkan atau direncanakan.
4. Keluarga berfungsi sebagai tempat untuk menerapkan aspek sosial agar bisa
menjadi anggota masyarakat yang mampu berinteraksi dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial.
5. Keluarga berfungsi sebagai tempat persemaian bagi benih-benih
kesadaranakan adanya suatu yang luhur, yaitu kesadaran akan memiliki agama
dan norma-norma ethis moral seperti tindakan baik, buruk, selalu dijadikan
pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari.
6. Keluarga berfungsi sebagai organisasi ekonomi (Gunarsa, 1995: 230
– 231;Ahmadi, 1988: 91 – 92; Raymon, 1995: 319).
Dengan memahami beberapa fungsi keluarga tersebut diatas, kita mudah pula
memahami betapa pentingnya peranan keluarga, sebagai unit sosial paling kecil dalam
masyarakat, keluarga telah menunjukkan dan memberikan peranan yang sangat mahal dan
penting artinya dalam pembentukan pribadi seseorang. Keluarga merupakan lembaga pertama
dalam kehidupan seseorang, menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Keluarga memberi
dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan. Namun demikian keberadaan
dan keterbatasan keluarga akan berpengaruh pula pada pembentukan diri seseorang.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sujanto (1986: 72) bahwa: keluargalah yang
mula-mula memberikan pendidikan, memberi pengaruh kepada perkembangan seseorang.
Sekalipun hanya dengan memberikan kebiasaan-kebiasaan seperti yang diperoleh dari orang
tuanya dahulu. Dalam keluargalah seseorang mendapatkan kesempatan yang banyak untuk
memperoleh pengaruh perkembangan, yang diterimanya dengan jangan meniru, mengikuti
dan mengindahkan apa yang dilakukan, dan apa yang dikatakan oleh seluruh anggota.
Pendek kata dapat dikatakan bahwa keberadaan keluarga itu termasuk kedalam
fasilitas (terbatas atau mencukupi) akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang.
Terutama pada keluarga yang berada di bawah garis kecukupan, mau tidak mau semua
anggota keluarga akan terlibat dalam segala upaya untuk memenuhi kebutuhannya.
Irwanto Julianto (dalam Kartini Kartono, 1985: 4) menulis bahwa “Orang tua
berkewajiban untuk menyajikan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan
perkembangan anaknya hingga menjadi makhluk- makhluk dewasa”. Hal ini termuat
juga dengan jelas dalam undang-undang nomor 1 tahun 1994 pasal 45 ayat (1) bahwa:
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban
orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus menerus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua putus (Soeminto, 1990: 29).
Disamping adanya kewajiban sebagaimana yang disebutkan diatas, orang tua juga
memiliki hak untuk memberi aturan atau mengarahkan anak-anaknya sampai mengerti apa
artinya tanggung jawab penuh dan memikul sendiri akibat suatu perbuatan atau kesalahan.
Seperti yang dinyatakan oleh Utama (dalam Kartini Kartono, 1985, 38) bahwa “salah satu
kewajiban dan hak utama dari orang tua yang tak dapat dipindahkan adalah mendidik anak-
anaknya.
Dengan adanya hak dan kewajiban orang tua, sebagaimana yang disebutkan diatas,
bukan berarti hak orang tua memiliki, menentukan dan bahkan memeras mereka. Namun
demikian kadang-kadang keadaan keluarga (faktor kemiskinan) itu sering melibatkan anak-
anak ikut bekerja mencari nafkah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gilin (dalam Gunarsa,
1995: 232) bahwa “kemiskinan dapat dianggap sebagai kondisi dimana seseorang tidak dapat
menyesuaikan diri dengan standar kehidupan dalam kelompoknya dan juga tidak mampu
mencapai tingkat fisik dan mental tertentu untuk menyesuaikan.
Selanjutnya Emil Salim mengemukakan beberapa ciri-ciri kemiskinan adalah:
1. Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup,
modal dan keterampilan, sehingga untuk memperoleh pendapatan terbatas;
2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan
kekuatan sendiri;
3. Tingkat pendidikan rendah, tidak sampai tamat Sekolah Dasar, waktu mereka habis
untuk belajar;
4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan, tidak memiliki tanah, walau ada kecil sekali;
5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak memiliki
keterampilan (skill) atau pendidikan, sedangkan kota di banyak negara tidak siap
menampung gerak urbanisasi penduduk desa (1981: 8).
Dari ciri-ciri diatas, terlihat bahwa faktor kemiskinan menyangkut dua hal yaitu
pendidikan dan ekonomi orang tua yang rendah. Dalam tulisan Irwan Julianto dari hasil
pengamatannya, bahwa eksplotasi tenaga kerja merupakan masalah utama,seperti terlihat di
Indonesia dan Negara berkembang lainnya (1985: 2).
Masalah pengemis bukanlah suatu fenomena baru di Indonesia (Budisantoso, 1989).
Seseorang bekerja sebenarnya karena alasan ekonomi bukan karena alasan budaya
(Talcott,1933). Oleh karena itu isu utama yang ada bukan bekerja begitu saja, melainkan
adanya potensi untuk mengeksploitasi. Sebagian besar orang tua sebenarnya berterima kasih
jika anak-anak mereka dapat bekerja di dalam tempat yang berlindung dan tidak berpindah-
pindah, bekerja disiplindan keterampilan berproduksi, jauh dari resiko di jalanan (Irwanto,et
al,1955).
Tetapi apabila anak-anak itu tidak memperoleh perlindungan yang memadai (fisik
maupun hukum) mempunyai resiko tinggi putus sekolah, jam kerja yang panjang dan
pekerjaan mereka tidak menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, maka
partisipasi mereka bekerja menjadi masalah (Irwnato, et al, 1955). Seperti permasalahan
pengemis. Dengan mengamati perkembangan pengemis-pengemis yang kian membengkak di
Kota Malang, maka perhatian terhadap pengemis (khususnya anak-anak) yang pada
umumnya masih memerlukan pendidikan adalah tindakan yang sangat penting. Berbagai
faktor yang berhubungan dengan problematika para pengemis tersebut harus ditangani dari
sekarang. Oleh karena itu perlu disusun suatu langkah strategis secara nasional untuk
memecahkan masalah tersebut agar mereka dapat menikmati kehidupan yang layak, bersama
dengan keluarganya. Penanganan yang kurang tepat atau terhambat terhadap keberadaan
pengemis tersebut akan menjadi beban dari pelaksanaan roda pembangunan di masa
mendatang.
Uraian diatas dengan jelas menunjukkan bahwa keluarga mempunyai kedudukan dan
tanggung jawab yang sangat penting dalam membina anak untuk mencapai masa depan yang
lebih baik. Tugas keluarga tidak hanya sekedar penghubung antara manusia atau individu
dengan masyarakat. Tetapi juga melaksanakan fungsi-fungsi lainnya yang berkaitan erat
dengan tanggung jawab secara fisik yaitu tugas membesarkan anak, dan tanggung jawab
secara moral yakni memberikan pendidikan kepada anak. Kedudukan inilah yang
mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku anak seperti yang
dilakukan oleh pengemis (anak-anak). Tepat seperti yang dinyatakan oleh Khairuddin (1985:
76) bahwa:
Keluarga adalah kelompok pertama yang mengenalkan nilai-nilai disiplin pertama
yang dikenalkan kepadanya dalam kehidupan sosial. Dalam interaksi ini si anak mempunyai
hubungan baik dengan orang dewasa (misal bapak, ibu, kakak-kakaknya dan lain sebagainya)
maupun teman sebaya. Terhadap pengaruh orang-orang dewasa pada umumnya anak bersifat
patuh dan menerimanya dengan percaya,atau disebut dengan morality of constraint.
Dengan demikian keluarga merupakan pendidik yang pertama, artinya keluarga diserahi
tanggung jawab dalam membimbing putra-putrinya menuju kedewasaan. Dalam upaya itu
kedua orang tua dituntut untuk melaksanakan peran bimbingan agar anak-anaknya dapat
tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang tangguh dan berkualitas dalam
mensukseskan pembangunan bangsa. Seperti apa yang dinyatakan oleh Soemardjan (1993)
bahwa “Tugas keluarga adalah untuk mempersiapkan para warganya, terutama anak-anak,
agar mereka dikemudian hari dapat bertahan dan menentukan jalan yang baik untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
A. Tinjauan Tentang Sosialisasi
Secara luas sosialiasi dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana warga masyarakat
dididik untuk mengenal, memahami, menaati dan menghargai norma-norma dan nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat, sedangkan secara khusus sosialisasi mencakup suatu proses
di mana warga masyarakat mempelajari kebudayaannya, belajar mengendalikan diri serta
mempelajari peranan-peranan dalam masyarakat (Soekanto, 1982: 140).
Selanjutnya Vembriarto (dalam Khairuddin, 1985: 76) menyimpulkan bahwa
sosialisasi:
1. Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana
individu menahan, mengubah implusimplus dalam dirinya dan mengambil cara
hidup atau kebudayaan masyarakatnya.
2. Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-
pola, nilai dan tingkah laku, serta standar tingkah laku dalam masyarakat
dimanapun ia hidup.
3. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun
dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya. S. Takdir
Alisjahbana mengistilahkan sosialisasi atau enkulturasi adalah proses
pembudayaan (1986: 182). Proses pembudayaan adalah sangat penting dalam
menjaga integrasi masyarakat, pembudayaan nilai sangat penting menurut S.
Takdir Alisjahbana karena nilai-nilai dan norma-norma adalah faktor yang
menentukandalam integrasi kelompok masyarakat, pemindahan nilai-nilai, norma-
norma dan usaha untuk menjamin kesetiaan terus menerus kepada nilai-nilai dan
norma ini. Hal ini merupakan urusan terpenting dari masyarakat dalam hubungan
dengan anggota-anggotanya (Alisjahbana, 1986: 182).
Dari ketiga pendapat di atas dapat dikatakan bahwa sosialisasi atau enkulturasi adalah
proses pewarisan kebudayaan suatu masyarakat dari generasi yangsatu ke generasi yang
berikutnya. Pewarisan atau pembudayaan dalam hal ini adalah nilai-nilai atau norma-norma
yang berlaku di masyarakat.
Proses sosialisasi atau enkulturasi inilah yang membuat makhluk biologi menjadi
makhluk manusia, dibuktikan dari berbagai peristiwa anak-anak yang dibesarkan diluar
proses pembudayaan, salah satunya yang sangat terkenal adalah peristiwa Kasper Hauser
yang pada permulaan abad ke-19, karena intrik politik, ia menjadi besar dengan tidak
berhubungan dengan orang lain, sehingga ketika ia didalam tahun 1828 datang ke Nuremberg
sebagai seorang dewasa intelegensinya adalah sebagai seorang anak, ia tak pandai berbicara
dan menganggap segala sesuatu sebagai makhluk yang hidup (Alisjahbana, 1986: 183).
Peristiwa ini membuktikan bahwa apabila manusia tidak belajar atau diberi pelajaran
tentang kebudayaannya maka manusia tidak akan memiliki kepribadian manusia yang
berbudaya. Dari proses inilah manusia butuh manusia lain, jelas dapat kita tebak yang
pertama adalah manusia-manusia di lingkungan keluarga dimana ia dilahirkan. Dari uraian
diatas dapat dikatakan bahwa dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat,
setiap individu akan selalu mengalami proses sosialisasi dalam keluarga, yang selanjutnya
proses sosialisasi tersebut akan diteruskan oleh lingkungan di luar keluarga. Seperti yang
dinyatakan Haviland (1988: 39) bahwa ”Proses sosialisasi itu dimulai segera sesudah
kelahiran. Dalam semua masyarakat, pelaksana enkulturasi (sosialisasi) yang pertama adalah
para anggota keluarga tempat seseorang dilahirkan.”
Lebih lanjut Haviland menjelaskan bahwa: Kalau umur individu bertambah, orang-
orang dari luar keluarga dilibatkan dalam proses sosialisasi ini, di dalamnya dapat termasuk
kerabat-kerabat lain, seperti saudara laki-laki ibu, dan sesudah pasti kawan-kawan individu
yang disebutkan terakhir dapat terlihat secara informal dalam bentuk kelompok-kelompok
bermain, atau secara formal dalam asosiasi-asosiasi usia, di mana anak-anak sebenarnya
mengajari anak-anak lain.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa perkembangan perilaku yang dimiliki oleh
seseorang, tidak saja faktor di lingkungan keluarga, akan tetapi lingkungan sosial juga ikut
serta mempengaruhi dalam perkembangan mental seseorang. Meskipun faktor lingkungan
sosial ikut mempengaruhi pembentukan pribadi anak, akan tetapi faktor keluargalah yang
paling menentukan baik buruknya anak tersebut. Hal ini mengingat karena pendidikan anak
dalam keluarga merupakan awaldan sentral bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan si
anak menjadi individu yang dewasa (Julianto dalam Kartini Kartono, 1985: 8). Kemudian
Soesilo (dalam Kartini Kartono, 1985: 19) menyatakan bahwa ”Di samping keluarga sebagai
tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak
mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan.”
Melihat keluarga merupakan lembaga yang pertama dalam kehidupan anak, maka
dapat dikatakan bahwa keluarga adalah merupakan wadah pertama kali anak itu mengalami
proses sosialisasi awal. Yang kemudian proses sosialisasi ini diteruskanoleh lingkungan
sosial. Dengan melihat begitu pentingnya peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak,
maka dalam hal ini Vembriarto (1982: 45) menjelaskan bahwa ada beberapa kondisi yang
menyebabkan pentingnya peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak yaitu:
1. Keluarga merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi face
to face secara tetap; dalam kelompok demikian perkembangan anak dapat diikuti
dengan seksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara priba didalam
hubungan sosial lebih mudah terjadi.
2. Orang tua mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidk anak karena
anak merupakan buah cinta kasih hubungan suami istri.
3. Karena hubungan sosial dalam keluarga itu bersifat relatif tetap maka orang tua
memainkan peranan yang sangat penting terhadap proses sosialisasi anak.
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa suasana keluarga mempunyai peranan
penting dalam menentukan tingkah laku anak. Demikian pula hubungan orang tua dengan
anak yang berlangsung manis merupakan mata rantai pembinaan watak anak. Oleh karena itu
peranan bimbingan orang tua dalam pembentukan dan perkembangan pribadi anak tidak
dapat disangsikan lagi. Faktor keluarga, seperti tingkat pendidikan orang tua, suasana
hubungan antara anggota keluarga, keutuhan keluarga, dan sikap orang tua terhadap anak
sangat berpengaruh bagi kesehatan mental dan penampilan diri anak.
Seiring dengan hal tersebut diatas, maka Goode (1993) menyatakan bahwa: Proses
sosialisasi berlangsung sejak anak-anak, yaitu proses di mana ia belajar mengetahui apa yang
dikehendaki oleh anggota keluarga lain dari padanya, yang akhirnya menimbulkan kesadaran
tentang kebenaran yang dikehendaki. Sosialisasi masa anak-anak dalam hal ini adalah dalam
lingkungan keluarga. Dan anak merupakan simbol berbagai macam hubungan peran yang
penting diantara orang-orang dewasa dalam keluarganya. Fungsi yang lain dari keluarga
diantaranya adalah pemeliharaan anggota keluarga, penempatan anak dalam masyarakat dan
kontrolsosial. Dan idealnya sang anak memulai hidupnya dengan lindungan penuh dari
keluarganya.
Uraian di atas dengan jelas menunjukkan bahwa proses sosialisasi dalam keluarga
pada prinsipnya mencakup pewarisan atau pembudayaan nilai-nilai yang tidak dimiliki oleh
si anak. Tentu saja nilai-nilai yang diberikan oleh orang tua adalah nilai-nilai yang berlaku
secara umum di masyarakat. Selanjutnya Ibid (dalam Khairuddin, 1985: 84) menyatakan
bahwa “Dalam lingkungan keluarga ada tiga tujuan sosialisasi, yaitu: orang tua mengajarkan
kepad aanaknya tentang penguasaan diri, nilai-nilai, dan peranan-peranan sosial.”
Dengan melihat kedudukan orang tua yang memiliki peranan yang sangat penting
menentukan bagi perkembangan anak, maka kedudukan orang tua dapat dikatakan sebagai
pendidik kodrati, artinya secara kodrati mereka (orang tua ) diserahi tanggung jawab dalam
membimbing putra-putrinya menuju kedewasaan. Dalamupaya itu mereka dituntut untuk
melaksanakan peran bimbingan agar anak – anaknya dapat tumbuh dan berkembang menjadi
manusia-manusia yang tangguh danberkualitas dalam mensukseskan pembangunan bangsa.
Bimbingan dapat diberikan melalui pemberian perhatian, nasehat, janji-janji dan
penghargaan. Hal ini sesuaidengan pendapat Suharsana (1976) bahwa:
Bimbingan orang tua dapat berupa perhatian, nasehat, janji-janji dan penghargaan.
Dalam kontek bimbingan juga terdapat indikator-indikator berupa petunjuk, teladan, dan
contoh dari orang tua terhadap anak. Hal ini akan berdampak positif bila dilaksanakan dengan
baik.
Semua uraian diatas menjadi obyek yang perlu diteliti untuk mengetahui bagaimana
proses sosialisasi yang berlangsung pada diri anak-anak yang terlibat sebagai pengemis.
Termasuk bagaimana cara penanaman nilai yang dilakukan oleh orang tuanya.
Tabel 2. Alur pikir dan Sistematika penulis.
Keadaan ekonomi perkotaan
Kehidupan pengemis
Kesenjangan sosial, ekonomi masyarakat perkotaan
Kondisi keluarga pengemis
Hubungan sesama pengemis
Faktor-faktor yang menyebabkan menjadi
pengemis
Memiliki tanggung jawab atas keluarga
Kualitas pendidikan yang rendah
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Denzin
dan Lincoln dalam Moleong (2009: 5) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menggunakan latar alamiah yang bermaksud untuk menafsirkan fenomena
yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Sedangkan
Penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat
sekarang berdasarkan gejala-gejala yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian
deskriptif bertujuan untuk menemukan gejala seadanya di lapangan (fact finding) serta
menemukan hubungan antara gejala tersebut untuk kemudian ditindaklanjuti dengan analisa
dan intrepretasi terhadap data gejala tesebut. (Nawawi, 2005: 63).
Oleh karena itu penelitian ini dapat diwujudkan sebagai usaha memecahkan masalah
dengan membandingkan persamaan atau perbedaan gejala, mengadakan klasifikasi gejala,
menilai gejala, menetapkan standar, menetapkan hubungan antara gejala-gejala yang
ditemukan dan lain sebagainya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa metode deskriptif
merupakan langkah-langkah representasi obyektif tentang gejala-gejala yang terdapat di
dalam masalah yang diselidiki. Sehingga, metode deskriptif ini memusatkan pada pemecahan
masalah yang ada pada masa sekarang. Data gejala yang dikumpulkan mula-mula disusun,
diuraikan, dianalisis serta selanjutnya menerima alternatif pemecahan masalah.
B. Fokus PenelitianSalah satu faktor penting dalam suatu penelitian adalah menentukan fokus penelitian.
Perlunya fokus penelitian ini adalah untuk membatasi studi dalam penelitian sehingga obyek
yang akan diteliti tidak melebar dan terlalu luas. Fokus penelitian ini juga ditujukan agar
penelitian ini bisa lebih terarah dan lebih terinci serta tidak menyimpang dari rumusan
masalah yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian tersebut, maka fokus dalam penelitian ini
adalah :
1. Kondisi keluarga pengemis, yang didalamnya berisi:
a. Hubungan baik dengan keluarga
2. Hubungan sesama pengemis, yang didalamnya berisi:
a. Interaksi dan pola kerja antar pengemis
3. Faktor-faktor yang menyebabkan menjadi pengemis.
C. Lokasi dan Situs PenelitianLokasi penelitian adalah tempat diadakannya suatu penelitian, sedangkan situs
penelitian merupakan letak sebenarnya dimana peneliti mengadakan penelitian untuk
mendapatkan data yang valid, akurat dan benar-benar dibutuhkan dalam penelitian. Peneliti
juga diharapkan dapat menangkap keadaan yang sebenarnya dari obyek yang diteliti
termasuk ciri-ciri lokasi, lingkungannya serta segala kegiatan yang ada di dalamnya. Lokasi
penelitian ini dipilih berdasarkan atas meningkatnya jumlah pengemis di Kota Malang setiap
tahunnya. Sehingga lokasi penelitian meliputi di kawasan Alun-Alun kota, perempatan di
Jalan Veteran.
Kemudian situs penelitian oleh ditetapkan melalui dua syarat yang antara lain (1)
berlandaskan pada lokasi penelitian, dan (2) berdasarkan asumsi awal peneliti mengenai
kehidupan pengemis. Oleh karena itu peneliti akan melakukan penelitian dan kemudian
menetapkan pengemis di Kota Malang sebagai situs penelitian. Pemilihan situs penelitian
berdasarkan kehidupan pengemis tersebut juga mempertimbangkan keobyektifan data yang
akan diambil peneliti baik dari sudut pandang pembuat kebijakan maupun pihak-pihak
terdampak kebijakan. Namun demikian, situs penelitian tersebut dapat kemudian bertambah
ataupun berkurang seiring dengan berjalannya proses penelitian di lapangan.
D. Jenis dan Sumber DataSumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam
penentuan metode pengumpulan data. Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah
subyek dari mana saja data dapat diperoleh (Arikunto, 2002, h.107). alat yang menjadi
sumber informasi adalah benda atau seseorang yang dapat dijadikan sebagai narasumber data
karena lebih dianggap menguasai bidang permasalahan yang berhubungan erat dengan
pelaksanaan suatu kegiatan. Ada dua jenis sumber data, yaitu data primer dan data sekunder
dan data primer. Kedua data tersebut sangat penting atau diperlukan untuk kegiatan sejumlah
informasi yang relevan dengan data tentang variabel-variabel penelitian dan untuk
menyederhanakan data yang akan dikumpulkan, agar dalam penelitian dapat membuat
kesimpulan-kesimpulan dari data yang dikumpulkan. Penjelasan mengenai jenis data sebagai
berikut :
1. Data primer
Yaitu sumber data yang dikumpulkan peneliti secara langsung dari sumbernya.
Sumber tersebut diperoleh melalui informan yang berhubungan dengan obyek penelitian
meliputi observasi (pengamatan) serta wawancara mendalam (in depht interview) dengan
para pengemis yang berada di Kota Malang. Selain itu wawancara juga dilakukan kepada
masyarakat mengenai pengemis di Kota Malang.
Alasan penulis mengambil mengambil kehidupan pengemis di Kota Malang sebagai
Studi Kasus di penulisan ini adalah :
a. Merebaknya jumlah pengemis di Kota Malang.
b. Belum ada solusi yang konkrit dari Pemerintah kota dalam mengatasi
persoalan pengemis di Kota Malang.
2. Data sekunder
Adalah data yang terlebih dahulu ditelusuri dan dilaporkan oleh orang lain di luar
peneliti. Berarti data ini tidak secara langsung berhubungan dengan responden. Data sekunder
meliputi : dokumen-dokumen, arsip-arsip, catatan-catatan dan laporan resmi yang berkaitan
dengan penelitian ini. Data sekunder diambil dari rekaman kegiatan sehari-hari pengemis.
Selain itu akan dilakukan kroscek dengan jenis data lain seperti rekaman media massa, jurnal-
jurnal atau sumber lain.
E. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data merupakan teknik atau metode yang digunakan oleh
penulis untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan. Dalam penelitian ini, teknik
penelitian yang digunakan di bedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Observasi
Observasi adalah proses pencatatan pola perilaku subyek (orang), obyek (benda)
atau kejadian yang sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-
individu yang diteliti (Indriantoro dan Supomo, 1999). Teknik observasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah observasi non partisipan, yakni peneliti tidak melibatkan diri
dalam lingkungan yang sedang diamati sehingga mempengaruhi obyek amatan tersebut,
peneliti hanya sebagai pengumpul data saja. Yang akan diamati dalam proses observasi ini
akan dilakukan secara fleksibel melihat kondisi obyek dan lokasi penelitian. Pengamatan
yang dilakukan oleh peneliti menyesuaikan dengan obyek penelitian dan berlandaskan teori
dan pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti. Peneliti akan menggunakan catatan lapangan
yang merupakan catatan-catatan digunakan untuk mecatat informasi yang diperoleh selama
melakukan penelitian di lapangan. Instrumen ini digunakan agar peneliti dapat terhindar dari
kesalahan akan apa yang telah diamati. Berikut adalah deskripsi pengamatan di lapangan
Pagi Sebelum memulai aktivitasnya sebegai pengemis, Sumarti menyiapkan
bekal dan peralatan yang dibutuhkan. Kemudian setelah sarapan
seadanya, Sumarti dan Basir berpencar, Sumarti mengeis di daerah alun-
alun kota, sedangkan Basir mengemis di perempatan Jl. Veteran. Mereka
mengemis sampai jam 11-12 siang.
Sore Setelah istirahat siang, mereka melanjutkan kegiatan mengemis mereka di
tempat yang berbeda lagi. Basir di daerah perempatan dieng, sedangkan
Sumarti di daerah arjosari.
Malam Di malam harinya mereka mengemis bersama di daerah Soekarno-Hatta
sampai jam 10 malam.
2. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang menggunakan pertanyaan
secara lisan kepada subyek penelitian (Indriantoro dan Supomo, 1999, h.157). dalam
melakukan wawancara, peneliti menggunakan teknik wawancara secara terstruktur untuk
memudahkan dalam mendapatkan data secara maksimal. Akan tetapi setelah di lapangan,
peneliti akan mencoba untuk lebih fleksibel bila arah wawancara mulai berubah dengan
melakukan wawancara secara spontan dan mengalir. Wawancara ini akan dilakukan terhadap:
a. Basir;
b. Sumarti.
3. Dokumentasi
Kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data-data sekunder yang meliputi
dokumen atau arsip-arsip yang dianggap berhubungan dengan obyek penelitian. Dokumen-
dokumen yang ada dipelajari untuk memperoleh data dan informasi dalam penenlitian ini.
Dokumen tersebut meliputi laporan atau berbagai artikel dari majalah, koran atau jurnal yang
berkaitan dengan topik penelitian.
F. Instrumen PenelitianInstrumen penelitian merupakan alat yang digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya
mengumpulkan data. Dalam penelitian kualitatif, Moleong (2009:4) mengemukakan bahwa
“instrumen penelitian atau alat pengumpul data adalah peneliti itu sendiri. Jika tidak
memasukkan peneliti sebagai instrumen penelitian, sangat tidak mungkin sebab tidak dapat
menyesuaikan diri dengan fakta-fakta di lapangan. Jadi dalam penelitian ini peneliti
merupakan instrument pokok, sedangkan instrumen penunjangnya adalah:
1. Pedoman wawancara (interview guide), yaitu serangkaian pertanyaan diajukan
pada pihak-pihak sumber data dalam penelitian.
2. Catatan lapangan (field notes), dipergunakan untuk mencatat apa yang didengar,
dilihat, dialami dan dipikirkan dalam pengumpulan data di lapangan.
3. Pedoman observasi (observation schedule), yaitu serangkaian arahan atau pedoman
dalam melakukan observsi yang disusun berdasarkan pertanyaan penelitian.
4. Alat perekam (tape recorder) sebagai alat bantu untuk merekam hasil wawancara
dan kamera sebagai bahan bantu penulis mengamati kejadian di lapangan.
5. Alat tulis, sebagai alat bantu dalam pencatatan hal-hal penting di lapangan.
G. Metode Analisis DataAnalisis data sangat penting karena dengan melakukan analisis data, maka data dapat
dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir peneliti.
Analisis data untuk data-data yang bersifat kualitatif dilakukan dengan cara
menggambarkannya dengan kata-kata atau kalimat sesuai dengan hasil data yang diperoleh.
Menurut Bogdan dan Biklen dalam Moloeng (2009: 248), analisis data kualitatif adalah
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisir data, memilah-
milahnya menjadi suatu yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.
Analisis data yag digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data interaktif.
Sejalan dengan analisis interaktif yang dimaksud, maka dalam penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat. Adapun alur kegiatan analisis data
interaktif menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2010: 15-17) meliputi:
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yaitu kegiatan yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk
memperoleh data yang valid. Pengumpulan data ini dilakukan melalui
wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, observasi ke
lapangan dan dokumentasi.
2. Reduksi Data
Reduksi data yaitu kegiatan yang bertujuan untuk menajamnkan,
menggolongkan, membuang data yang dianggap tidak perlu, dan mengorganisasi
data dengan cara yang sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan proses
penarikan kesimpulan atau verifikasi.
3. Penyajian Data
Penyajian data yaitu berisi sekumpulan informasi tersusu yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan atau veifikasi. Dengan melihat
penyajian data, kita dapat memahami apa yang terjadi dan apa yang harus
dilakukan.
4. Menarik Kesimpulan atau Verifikasi
Proses penarikan kesimpulan atau verifikasi ini dilakukan secara longgar, tetapi
terbuka dan dirumuskan secara rinci dan mengakar. (Sumber: Miles dan
Hubberman dalam Sugiyono (2010: 20)).
Penyajian data
Reduksi Data
Menarik kesimpulan
Pengumpulan dataPengumpulan data
Tabel 2. Model Analisis Data Interaktif (Miles dan Hubberman dalam Sugiyono (2010: 20)
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor penyebab pengemisPada dasarnya ada lima faktor sebagai penyebab utama, mengapa mereka melakukan
praktek mengemis. Kelima faktor yang dimaksud diantaranya faktor mental, faktor ekonomi,
faktor sempitnya lapangan pekerjaan, faktor krisisnya air serta faktor pendidikan. Faktor-
faktor tersebut secara simultan dapat memberi tekanan yang begitu besar pada anak, apa lagi
perhatian yang sangat kurang sehingga ia meninggalkan rumah dan mencari kebebasan,
perlindungan dan dukungan dari “jalanan” dan dari rekan- rekan senasibnya.
1. Faktor pendidikan
Relatif rendahnya tingkat pendidikan warga sebagai akibat dari rendahnya kesadaran
warga untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor perekonomian
mereka yang begitu rendah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan dapat mempengaruhi
perkembangan mental mereka. Mestinya pendidikan harus sudah diberikan kepada anak sejak
dini sehingga hal itu merupakan penanaman mental terhadap anak-anak tersebut sebagai
generasi penerus bangsa. “Bagaimana mau mencari kerja sekolah saja tidak” itulah ungkapan
yang sering kita dengar pada anak-anak yang putus sekolah dan pada orang-orang yang tidak
mengenal dunia pendidikan. Sehingga faktor ini akan berpengaruh pada faktor-faktor lainnya
seperti mental, faktor pendidikan, lapangan pekerjaan dan lain sebagainya.
2. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi sangat mempengaruhi hadirnya pengemis. Taraf perekonomian
mereka yang rata-rata sangat rendah juga merupakan salah satu faktor untuk melakukan
praktek pengemis. Dengan kondisi geografis yang tandus menyebabkan tidak bisanya lahan
pertanian yang dimiliki digarap secara maksimal.
3. Faktor sempitnya lapangan pekerjaan
Tidak adanya lapangan pekerjaan yang tersedia di daerah tersebut yang mampu
mengadopsi mereka untuk mendapatkan penghasilan tiap bulannya. Bahkan untuk makan
sehari-hari pun sangat sulit. Walaupun dari kebanyakan mereka punya lahan pertanian yang
mestinya bisa digarap namun mereka tidak dapat menggarap secara maksimal terutama pada
musim kemarau. Apalagi bagi kebanyakan orang yang tidak mempunyai lahan untuk bisa ia
garap.
4. Faktor mental
Faktor mental juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap maraknya
pengemis di mana-mana. Mental sangat berpengaruh terhadap cara orang untuk menghadapi
kehidupan termasuk para pengemis. Dari sisi ekonomi sesungguhnya taraf kehidupan para
pengemis sama dengan penduduk sekitarnya yang tidak menjadi pengemis dan bahkan ada
penduduk disekitarnya memiliki taraf perekonomian yang lebih rendah dari parapengemis.
Namun karena mental yang begitu rendah mereka lebih memilih untuk menjadi pengemis
dari pada untuk menjadi buruh bangunan atau mengolah tanah yang dimiliki. Faktor mental
terjadi disebabkan akibat tidak adanya penanaman moral yang baik sejak usia dini. Ini
sebagai akibat dari rendahnya mutu pendidikan. Sehingga dengan mental yang lemah, mudah
bagi para pengemis untuk melakukan cara yang lebih mudah untuk mendapatkan uang untuk
kelangsungan hidup keluarganya dengan melakukan praktek mengemis di kota-kota, seperti
Kota Malang. Bahkan tidak menutup kemungkinan terdapat pengemis yang melakukan
kejahatan untuk memenuhi kebutuhannya seperti mencuri, mencopet dan lain sebagainya.
5. Faktor krisisnya air
Jika kita lihat secara kasat mata mungkin orang-orang berpikiran faktor ini tidaklah
berpengaruh terhadap keberadaan pengemis. Namun, kekurangan air merupakan masalah
klasik yang dihadapi oleh warga daerah pedalaman. Air sebagai kebutuhan pokok manusia
begitu sulit untuk diperoleh warga terlebih warga yang berada di daerah pedalaman (tempat
pengemis berasal). Walaupun bisa mendapatkan air mereka harus membeli dengan harga
yang mahal. Ada juga warga butuh waktu seharian untuk mendapatkan air untuk kebutuhan
mereka. Karena itu kendala air ini merupakan masalah yang utama dan pertama-tama mesti
ditanggulangi. Masalah air sangat berpengaruh terhadap kebutuhan manusia yang tidak
terpenuhi baik untuk mengolah lahan, kebutuhan minum, sehingga kejadian inilah yang
nantinya berakibat pada faktor-faktor lainnya sepertimental, lapangan pekerjaan,
perekonomian dan lain sebagainya.
B. Pola Kerja Para PengemisAktivitas mengemis yang dilakukan pada umumnya dilakukan pada pagi, sore dan
malam hari selain tidak panas ada tempat-tempat tertentu cukup ramai misalnya di alun-alun.
Dalam melakukan aktivitasnya sebagai pengemis, mereka tidak pernah berpencar terlalu jauh,
bahkan kadang-kadang mereka berkumpul atau bergerombol sambil
bersendagurau. Hubungan atau interaksi antara sesama pengemis berkaitan dengan pola-pola
kerja mereka dalam melakukan aktivitas mengemis. Interaksi mereka cukup baik dan bisa
bekerja sama. Hal ini merupakan upaya mereka dalam mengantisipasi dan menghadapi
tantangan yang mungkin ada di lapangan. Misalnya dalam menentukan tempat operasi,
mereka selain merundingkan terlebih dahulu jika mau berpindah tempat dan selalu bersama-
sama. Jika salah satu mendapat dari seseorang, maka ada kecenderungan yang lain ikut
meminta pada orang yang sama, kadang kala mereka tidak mau pergi sebelum orang yang
dimintai uang belum memberikan uang. Bahkan sampai memegang baju orang yang akan
dimintai sumbangan. Orang-orang yang dimintai uang bisa saja orang yang sedang berjalan,
orang-orang yang sedang makan di pedagang kaki lima, orang yang sedang melakukan parkir
sepeda motor atau kendaraan, orang yang sedang menunggu pesanan jadi disenggol-senggol,
baik wanita maupun pria. Hal ini lah yang menyebabkan kerugian bukan hanya pada
konsumen namun juga para penjual atau pedagang karena keberadaan pengemis ini akan
mengganggu kerja dari para pedagang di samping itu pelanggan akan merasakan bahwa
tempat ia melakukan pembelian barang atau makanan tidak baik. Dalam meminta uang
kepada orang-orang di daerah operasi mereka, pengemis tersebut acap kali tanpa berucap
namun mengulurkan tangannya yang menandakan meminta uang atau sumbangan pada
orang-orang. Dengan nada pelan pula para pengemis mengatakan “Pak Minta”, “Bu Minta”.
Saya juga menemukan pengemis yang tiada bersuara namun duduk diam di suatu tempat.
Namun demikian meskipun mereka menentukan jumlahnya, jika yang dimintai uang
memberi uang tidak sesuai dengan yang dimintanya pengemis tersebut tetap menerimanya
dan segera beranjak dari tempat tersebut. Ada juga pengemis yang meminta uang tidak
menentukan berapa jumlahnya, namun diserahkan kepada orang yang dimintai uang. Jadi
jumlahnya bergantung pada keikhlasan orang yang dimintai orang. Para pengemis tersebut
tidak yang mengetuai yang mana memiliki peran sebagai pelindung mereka, yang menjadi
bos bagi mereka adalah diri mereka sendiri, sehingga kegiatan tidak diorganisir oleh orang
lain, namun atas kemauan mereka sendiri. Jadi kasus di Kota Malang berbeda dengan yang
ada di kota-kota besar seperti di Jakarta, yang kemungkinan kegiatan mereka terorganisir.
C. Kondisi Keluarga Para PengemisKeluarga adalah hal yang paling pertama dan yang paling utama di mana para
pengemis itu di didik dan dibesarkan. Keberadaan pengemis tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan keluarga mereka. Keluarga yang dimaksud yaitu kedua suami/istri, anak-anak,
dan keluarga-keluarga lainnya seperti paman, saudara, kakek, nenek dan sebagainya. Melihat
bahwa aktifitas mengemis yang dilakukan sering kali diikuti salah satu keluarga yakni
anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan pengemis tersebut dengan keluarganya bisa
dikatakan relatif baik. Minimal mereka mengemis mendapat legalitas darikeluarganya.
Ditinjau dari sisi ini jelas sekali menampakkan bahwa ada hubungan baik dengan pihak
keluarganya meskipun mereka berada dijalanan.
D. Peran Pemerintah dalam Mengatasi Masalah PengemisPeran pemerintah dalam menanggulangi masalah gepeng adalah denganmembuat
kebijakan sosial. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yangdibuat untuk
merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni menangani masalahsosial dalah hal ini
menangani masalah gepeng. Sebagai kebijakan publik,kebijakan sosial memiliki dua fungsi
yaitu fungsi preventif (pencegahan) dan fungsikuratif (penyembuhan).
1. Fungsi Preventif (Pencegahan)
Fungsi Preventif menyangkut pencegahan terhadap masuknyapengemis ke Kota
Malang.
a. Bantuan Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan ada beberapa bantuan yang telah diberikankepada
warga antara lain:
1. Bantuan berupa pakaian sekolah dan alat tulis kepada semua
murid.Bantuan ini diberikan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi
Balisetiap tahunnya.
2. Bantuan berupa buku pelajaran, buku agama, sarana laboratorium,
dansarana olahraga.
b. Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Bantuan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan
caramembentuk kelompok usaha bersama (KUBE). Setiap kelompok
beranggotakan 10 KK. Setiap kelompok KUBE mendapat bantuan bibit
ternak sapi oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Timur.
c. Bantuan Pemberian Keterampilan
Bantuan pemberian keterampilan diberikan berupa keterampilan
membuat anyaman dengan bahan baku daun lontar. Juga diberikan
bantuanketerampilan cara pembuatan gula aren.
d. Bantuan Air Bersih
Bantuan air bersih dengan pembuatan sumur bor.
e. Bantuan Perbaikan Jalan
Bantuan perbaikan jalan direalisasikan dengan pengaspalan pada
jalan- jalan yang belum di aspal.
f. Bantuan Bedah Rumah
Bantuan bedah rumah diberikan oleh Gubernur Bali sehingga layak
untuk ditempati.
2. Fungsi Kuratif (Penyembuhan)
Fungsi kuratif menyangkut penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
menangani masalah pengemis.
a. Pengadaan Razia
Pengadaan razia dilakukan oleh Satpol PP di KotaMalang. Dalam hal ini
terjadi koordinasi antara Dinas Kesejahteraan Sosial dengan Satpol PP.
Dinas Kesejahteraan Sosial memberikan informasi tentang keberadaan
pengemis kepada Satpol PP, kemudian yang berwenang mengadakan
razia adalah Satpol PP.
Bukan hal yang mudah untuk menyelesaikan masalah pengemis. Di zaman krisis
ekonomi global seperti sekarang, ditambah lagi dengan semakin banyaknya pertumbuhan
jumlah penduduk, tidak sedikit masyarakat yang merasa kesulitan dalam memenuhi
kebutuhannya. Sehingga banyak di antara mereka yang terpaksa harus hidup di jalanan untuk
bertahan hidup. Misalnya dengan menjadi pengemis. Selama ini, razia yang dilakukan oleh
Satpol PP belum efektif. Terbukti dengan masih banyaknya pengemis yang masih berkeliaran
di Kota Malang.
b. Penampungan Pengemis
Pengemis yang terjaring razia oleh Satpol PP dibawa ke Dinas
Kesejahteraan Sosial. Di Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Malang,
pengemis yang terjaring razia ditempatkan di halaman Dinas
Kesejahteraan Sosial Kota Malang.
c. Pemberian Bimbingan Mental
Pemberian bimbingan mental dilakukan langsung di Dinas Kesejahteraan
Sosial Kota Malang dengan mengundang tokoh agama dari Departemen
Agama Kota Malang, Polisi, Satpol PP, dan dari Dinas Kesejahteraan
Sosial sendiri.
d. Pemulangan Pengemis
Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Malang hanya dapat melakukan
pemulangan pengemis ke daerah asal karena pengemis yang terjaring
berasal dari luar Kota Malang. Pengemis dibawa ke Dinas Kesejahteraan
Sosial di daerah asal. Pemulangan hanya dilakukan maksimal 8 kali per
tahun dan menggunakan anggaran APBD. Kalau pemulangan yang
dilakukan kurang dari 8 kali per tahun, maka sisa dana dari APBD akan
dikembalikan.
E. Peran Mahasiswa dalam Mengatasi Masalah PengemisMahasiswa merupakan insan akademisi bangsa yang menjadi penerus bangsa dimasa
yang mendatang. Oleh karena itu diperlukan beberapa peranan mahasiswa untuk menanganai
permasalahan sosial seperti pengemis yang kian marak di Kota Malang. Universitas
Brawijaya merupakan sebuah unviversitas yang memiliki ribuan mahasiswa dari berbagai
wilayah dan golongan serta terdiri dari berbagai jurusan yang seharusnya mampu membantu
pemerintah dalam menanganani permasalahan pengemis ini. Berbagai upaya yang dapat
dilakukan oleh mahasiswa terutama mahasiswa Brawijaya untuk menangani permasalahan
pengemis ini antara lain:
a. Organisasai Kemahasiswaan
Organisasai kemahasiswaan (ormawa) di Brawijaya sangat banyak, mulai dari
himpunan mahasiswa jurusan (HMJ), Senat Mahasiswa Fakultas (SMF), Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM), Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), dan Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM). Seluruh ormawa ini memiliki program kerja berupa pengabdian pada
masyarakat (P2M) dan bakti sosial. Pada program kerja
tersebut dapat disisipkan suatu kegiatan berupa “gerakan bebas pengemis diKota Malang”.
Gerakan ini terdiri dari berbagai kegiatan dibawah kordinasi BEM, sehingga seluruh ormawa
dapat dikumpulkan dan mempunyai visi yang sama. Kegiatan-kegiatan yang dapat
dilaksanakan antara lain:
1. Pemasangan Sepanduk dan Brosur
Salah satu peran mahasiswa untuk mengatasi permasalahan pengemis ini adalah
dengan memasang sepanduk di tempat-tempat strategis yang berisi himbauan
kepada masyarakat untuk tidak memberikan sesuatu kepada pengemis atau
larangan pengemis memasuki area ini agar masyarakat sadar mengenai
permasalahan pengemis ini. Selain itu ditempat-tempat terpencil dapat dibuatkan
brosur-brosur yang dapat dibaca oleh warga di pedesaan sehingga seluruh lapisan
masyarakat akan mengetahui dampak dari pengemis, sehingga mereka mampu
menunjukkan sikap terhadap para pengemis yang ditemuinya. Salah satu brosur
yang dapat dibuat adalah:
Jika selruh ormawa dilibatkan dalam kegiatan ini pasti seluruh Kota Malang akan
dihiasi dengan brosur-brosur dan himbauan-himbauan yangdapat menyadarkan masyarakat.
2. Penyuluhan Berbasis Lapangan Kerja
Pengemis-pengemis yang sering mangkal di Kota Malang sebagian besar tidak
mempunyai lapangan kerja oleh karena itu diperlukan suatu pelatihan ketrampilan
sesuai kesenangan dan kegemaran dari pengemis tersebut. Mahasiswa dapat
melakukan kegiatan ini dengan mencari pembicara yang tepat sesuai bidang kajian
mengingat di Brawijaya banyak terdapat dosen-dosen yang mahir dalam dunia
wirausaha.
3. Seminar Terbuka Untuk para Siswa
Mahasiswa Brawijaya dapat menyelenggarakan seminar bagi siswa-siswa di Kota
Malang. Tujuan dari seminar ini adalah untuk menanamkan sikap kepada para
siswa mengenai pengemis. Biasanya mereka belum mengetahui secara pasti
dampak yang ditimbulkan mengenai pengemis ini, sehingga mereka biasanya
sangat mudah tergerak hatinya untuk memberikan uang kepada pengemis tersebut.
PENGEMIS DILARANG MASUK DI AREA INI
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULANBerdasarkan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat penulis simpulkan
sebagaiberikut.
1. Banyak tempat-tempat strategis yang djadikan sebagai lahan yang sangat bagus
bagi para pengemis di Kota Malang diantaranya tempat keramaian yang banyak
dikunjungi oleh masyarakat.
2. Yang menjadi latar belakang kenapa banyak pengemis di Kota Malang yaitu
faktor mental, faktor kekurangan tempat kerja, faktor ketersediaan air bersih
(lokal) serta faktor pendidikan.
3. Pola interaksi atau pola kerja meminta-minta dari pengemis adalah adanya kerja
sama diantara sesama para pengemis.
4. Adapun peran pemerintah dalam menangani masalah pengemis-pengemis ini
adalah ada penanganan secara preventif dan secara kuratif.
A. SARAN
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut.
1. Bagi pemerintah diharapkan agar membuat suatu Ranperda (Rancangan Peraturan
Daerah) untuk diajukan ke DPRD sebagai lembaga legislative untuk dibahas dan
disahkan. Raperda ini terkait dengan upaya meminimalisasi keberadaan pengemis
di setiap daerah khususnya di Kota Malang.
2. Bagi masyarakat dihimbau agar tidak memberikan sesuatu dalam bentuk apapun
kepada para pengemis kecuali bagi para pengemis yang memiliki cacat fisik
sehingga nantinya para pengemis tersebut merasa jera karena tidak mendapatkan
apa-apa.
3. Disarankan bagi pemerintah agar diadakan lokalisasi khusus bagi pengemis dan
mengadakan pelatihan keterampilan bagi para pengemis sehingga memiliki bekal
dan giat untuk berusaha bekerja dan bisa mengusahakan adanya sosialisasi kepada
pengemis agar sadar bahwa profesi yang mereka lakukan kurang baik.
4. Membuat baliho atau papan pengumuman yang diletakkan di tempat-tempat
strategis yang berisi himbauan kepada masyarakat untuk tidak memberikan
sesuatu kepada pengemis atau larangan gpengemis memasuki area ini.
5. Bagi pemerintah agar mengalokasikan anggaran untuk pembuatan rumah singgah
untuk meningkatkan profesionalitas kerja Dinas Kesejahteraan Sosial dalam
menangani gepeng.
6. Bagi aparat yang berwenang agar mengadakan razia dan pengawasan secara ketat
sehingga meminimalkan terdapatnya pengemis di kawasan-kawasan yang dapat
mengganggu ketenangan orang banyak.
DAFTAR PUSTAKA
INTERNET
Wikipedia. Keluarga. (online) Dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga (20 Oktober 2012)
Intan Wahyu Megasari. Karakteristik pengemis jalanan di Kota Malang. (online) Dari :
http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/karakteristik-pengemis-jalanan-di-
kota-malang-intan-wahyu-megasari-37497.html (20 Oktober 2012)
JURNAL
Jurnal Penelitian : Saptono Iqbali. “Gelandangan – Pengemis (GEPENG) di Kecamatan
Kubu Kabupaten Karangasem”.
top related