laporan penelitian - berkas.dpr.go.id · di antaranya pembatasan pembuatan ... alat kesehatan, dan...
Post on 16-Dec-2018
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Laporan Penelitian
EVALUASI PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
(Studi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Riau)
Peneliti:
Tri Rini Puji Lestari
Hartini Retnaningsih
Rahmi Yuningsih
Yulia Indahri
Elga Andina
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Jakarta
2015
Evaluasi Pelaksanaan JKN
1
Executive Summary
I. LATAR BELAKANG
Sebelum tahun 2014 Indonesia telah menjalankan jaminan kesehatan
secara terfragmentasi melalui PT. Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero),
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda). Hal ini menyebabkan biaya kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan
menjadi sulit terkendali. Untuk itu, Pemerintah telah membuat program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan
diimplementasikan pada 1 Januari 2014. Program JKN tersebut bertujuan untuk
memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat
Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera.
Melalui JKN diharapkan dapat dicapai jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk
Indonesia pada tahun 2019.
Pada tanggal 3 November 2014 telah diluncurkan program Kartu Indonesia
Sehat (KIS) oleh Presiden Joko Widodo. KIS berlandaskan pada Peraturan Presiden
Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
yang diterbitkan pada 10 November 2014. KIS merupakan kartu identitas bagi
penerima program jaminan perlindungan sosial. Jumlah peserta KIS ditentukan
oleh Kementerian Sosial dan jangkauan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam KIS
lebih luas. Namun jika masyarakat umum ingin mendaftar secara swadaya, bisa
datang ke kantor BPJS terdekat.
Namun demikian, menurut Koalisi Pemantau Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jamkes Watch dan Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI), sejak diresmikannya pelaksanaan JKN, telah terjadi berbagai
permasalahan dalam pelayanan kesehatan. Di antaranya pembatasan pembuatan
kartu kepesertaan BPJS di daerah, praktik percaloan di Kantor Cabang BPJS dan
rumah sakit, sosialisasi BPJS yang kurang mengena dan tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat di tingkat yang paling bawah (grass root). Selain itu adanya
perbedaan pelayanan antara pasien umum dengan pasien program BPJS,
pembatasan waktu rawat inap bagi pasien BPJS, dan terbatasnya kuota
Evaluasi Pelaksanaan JKN
2
kamar untuk pasien program BPJS. Ditemui juga perbedaan tarif di rumah sakit
tipe A, B, C, untuk penyakit-penyakit kronis. Sementara fasilitas Neonatal Intensive
Care Unit (NICU) di rumah sakit tipe C dan D juga berbeda tarif. Sehingga rujukan
ekslusif menjadi bermasalah. Biaya ambulans juga menjadi permasalahan karena
harus ditanggung sendiri oleh pasien pada saat dirujuk ke rumah sakit lain.
Kemudian terindikasi adanya permainan dalam penetapan jenis dan merek obat
oleh dokter rumah sakit yang bersifat komersial. Penyediaan alat bantu fisik
pasien yang tidak ditanggung oleh BPJS, seperti kaki, tangan dan bola mata palsu,
penegakan hukum/sanksi tegas untuk rumah sakit yang nakal, minimnya
biaya/tarif pelayanan/kunjungan dokter dalam program BPJS. Selain itu,
kebanyakan staf BPJS tidak melayani selama 24 jam yang berpengaruh pada
pengadaan mobil ambulans di setiap kantor cabang BPJS dan adanya intervensi
Menteri Kesehatan ke dalam BPJS sebagai Badan Penyelenggara.
Di sisi lain, meskipun sudah ada beberapa kebijakan yang ditempuh
Pemerintah terkait dengan program JKN dan KIS, pemberlakuan KIS menyebabkan
terjadinya dualisme program jaminan kesehatan untuk PBI yang berakibat pada
tumpang tindih kepesertaan dan alokasi anggaran antara JKN dan KIS. Kurangnya
upaya sosialisasi juga sebagai penyebab terjadinya kebingungan dalam masyarakat
dengan adanya JKN dan KIS. Dengan demikian, masih banyak sekali permasalahan
program JKN yang harus terus dibenahi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis faktor yang menyebabkan JKN belum dapat dilaksanakan dengan
baik serta dapat diketahui strategi ke depan untuk penyempurnaan pelaksanaan
JKN.
II. METODOLOGI
Metode dan pendekatan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan pendekatan evaluasi kebijakan formal, yang ditujukan untuk menghasilkan
informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai variasi-variasi hasil
pelaksanaan dan dampak yang dapat dilacak dari program JKN dengan
menggunakan undang-undang, dokumen-dokumen program, dan wawancara
dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan JKN. Data primer dan
sekunder dikumpulkan dengan cara studi dokumen/kepustakaan, Focus Group
Evaluasi Pelaksanaan JKN
3
Discussion (FGD), dan studi lapangan dengan wawancara mendalam (in-depth
interview). Penelitian lapangan diawali dengan FGD dengan Dewan Pengawas BPJS
dan pemerhati masalah kesehatan masyarakat, yang dilanjutkan turun lapangan ke
Provinsi NTT pada tanggal 6 s.d. 12 April 2015 dan Provinsi Riau pada tanggal 18
s.d. 24 Mei 2015.
III. TEMUAN PENELITIAN
A. Provinsi NTT
Program JKN sudah dicanangkan sejak 1 Januari 2015, akan tetapi sampai
pertengahan tahun 2015 Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) masih
diberlakukan, dengan pertimbangan bahwa kesehatan merupakan hak asasi
manusia, oleh karenanya setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak
memperoleh jaminan dan perlindungan kesehatan. Selain itu, kebijakan ini juga
dianggap masih sejalan dengan UU Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa
kesehatan merupakan urusan wajib dan menjadi kewenangan pemerintah daerah
sehingga untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap jaminan dan
perlindungan kesehatan, pemerintah daerah perlu memberikan kesempatan yang
luas bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Jumlah peserta JKN sebanyak 507.766 orang (40,11%) penerima bantuan
iuran dari pusat. Pekerja penerima upah sebanyak 140.611 orang (11,11%) yang
terdiri dari PNS 98.482 orang, TNI/POLRI/PNS Kemhan/POLRI 22.111 orang,
pejabat negara 19 orang, pegawai pemerintah non PNS 323 orang, dan pegawai
swasta/BUMN/lainnya 19.676 orang. Pekerja bukan penerima upah yaitu pekerja
mandiri sebanyak 34.550 orang (2,73%). Sementara bukan pekerja sebanyak
27.200 orang (2,15%) yang terdiri dari investor 2 orang, pemberi kerja 19 orang,
penerima pensiun eks-Askes sosial 26.967 orang, veteran 192 orang, perintis
kemerdekaan 12 orang, penerima pensiun swasta 8 orang. Peserta Jamkesda dan
PJKMU askes (transisi) sebanyak 9.782 orang (0,77%) yang berasal dari
Kabupaten Alor. Hingga saat penelitian dilakukan hanya Kabupaten Alor yang
sudah mengintegrasikan dengan Jamkesda ke dalam JKN. Sehingga jika
dijumlahkan sebanyak 719.909 orang yang memiliki jaminan kesehatan atau
Evaluasi Pelaksanaan JKN
4
sebanyak 56,86% peserta JKN dari jumlah total penduduk lima kabupaten/kota
yang ada di provinsi NTT.
Terdapat sebelas Puskesmas, tujuh belas dokter keluarga, dan enam klinik
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat dasar. Sedangkan
penyelenggara pelayanan kesehatan rujukan terdapat dua belas rumah sakit.
Kepesertaan JKN dari PBI yang didanai oleh APBN sebesar 87.869 jiwa. Sedangkan
kepesertaan dari PBI yang didanai oleh APBD belum ada mengingat masih
menunggu hasil verifikasi dan validasi data yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota
Kupang.
Terkait pelaksanaan JKN di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP),
alokasi dana kapitasi untuk pembayaran dukungan biaya operasional pelayanan
kesehatan di Puskesmas yang sebesar 30% terdiri dari 8% untuk pembayaran
obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan 22% untuk pembayaran
operasional lainnya seperti belanja pegawai (0,1%), belanja barang dan jasa
(11,6%) yang terdiri dari belanja bahan habis pakai (0,72%), belanja jasa kantor
(3,32%), belanja perawatan kendaraan bermotor (1,03%), belanja cetak dan
penggandaan (1,41%), belanja sewa gedung atau rumah atau gudang atau parkir
(0,2%), belanja makanan dan minuman kegiatan (1,12%), belanja pakaian dinas
dan atributnya (0,19%), belanja perjalanan dinas (dalam daerah dan luar daerah)
(3,29%), belanja pemeliharaan peralatan komputer atau laptop atau printer
(0,12%), belanja jasa kerja honorarium tenaga ahli atau instruktur (0,19%); dan
belanja modal (10,2%) yang terdiri dari belanja modal pengadaan peralatan
kantor (1,02%), belanja modal pengadaan perlengkapan kantor (2,40%), belanja
modal pengadaan
komputer/PC/notebook/printer/scanner/UPS/stabilizer/perlengkapan komputer
(3,75%), belanja modal pengadaan meubel (1,10%), belanja modal pengadaan
peralatan dapur (0,004%), belanja modal pengadaan alat-alat studio (1,44%),
belanja modal pengadaan alat-alat komunikasi (0,05%), belanja modal pengadaan
konstruksi jaringan air (0,28%) dan belanja modal pengadaan instalasi listrik dan
telepon (0,17%).
Sedangkan alokasi dana non kapitasi pada Puskesmas Kota Kupang diatur
dalam Keputusan Walikota Kupang Nomor 81B/Kep/HK/2014 tentang Alokasi
Dana Non Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Puskesmas. Dalam keputusan
Evaluasi Pelaksanaan JKN
5
tersebut, alokasi dana non kapitasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan
pada Puskesmas rawat inap dan Puskesmas Pembantu dengan pertolongan
persalinan ditetapkan sebesar 40% dengan rincian 20% untuk tenaga dokter dan
80% untuk tenaga paramedis. Sedangkan sisanya sebesar 60% disetor ke kas
daerah.
Keterbatasan fasilitas pelayanan kesehatan seperti SDM dan peralatan
medis di puskesmas menyebabkan hanya 78 penyakit dari 155 penyakit yang
ditetapkan oleh BPJS yang dapat ditangani di FKTP. Akibatnya pelayanan
kesehatan dasar belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dan itu artinya tidak
efisiennya pelaksanaan JKN.
Pasien yang datang berobat masih menggunakan kartu Jamkesmas dan
kartu Jamkesda. Hal ini dikarenakan selama 1,5 tahun pelaksanaan JKN,
administrasi BPJS masih belum menjangkau seluruh masyarakat dengan
pencetakan kartu untuk mereka. Saat ini sedang dalam proses transformasi
kepesertaan dari peserta Program Jamkesmas dan Jamkesda menuju peserta BPJS
Kesehatan yang nantinya ditandai dengan kartu JKN.
Sebagian besar pasien yang berobat merupakan Penerima Bantuan Iuran
(PBI). Untuk itu, dengan pengalihan peserta Jamkesda menjadi peserta JKN
merupakan hal yang berat bagi Pemerintah Kota Kupang karena harus
memikirkan pembayaraan premi yang berkelanjutan bagi masyarakat yang
selama ini memegang kartu Jamksesda. Ketika dengan Jamkesda Pemerintah Kota
kupang hanya membayar sejumlah uang untuk orang yang sakit dan mendapat
pengobatan atau perawatan, sedangkan jika seluruh masyarakat pemegang kartu
Jamkesda dialihkan ke BPJS maka Pemerintah Kota Kupang harus membayar
premi setiap bulan tanpa memperdulikan apakah masyarakat sehat atau sakit.
Banyak masyarakat yang tidak paham bawa mereka harus datang berobat
di Puskesmas yang telah ditunjuk. Kondisi ini umumnya terjadi pada masyarakat
yang berada di wilayah perbatasan antara wilayah kerja puskesmas satu dengan
wilayah kerja puskesmas lainnya. Biasanya petugas menyarankan agar pasien
tersebut memindahkan terlebih dahulu pelayanannya ke Puskesmas yang ia pilih
atau datang berobat ke puskesmas yang sudah ditentukan BPJS.
Pelaksanaan JKN menyebabkan jumlah total kunjungan pasien meningkat.
Dampak yang dirasakan pasien adalah antrian yang panjang untuk mendapatkan
Evaluasi Pelaksanaan JKN
6
pelayanan kesehatan. Selain itu pasien juga merasa pelaksanaan JKN belum efektif
karena pelayanan di Puskesmas terlalu banyak birokrasi dengan prosedur yang
berbelit-belit dan pasien masih ada obat yang tidak ditanggung JKN sehingga harus
dibeli sendiri.
Variabel yang digunakan untuk pembagian uang jasa menggunakan
indikator pendidikan sehingga menyebabkan kecemburuan sosial antar tenaga
kesehatan, sedangkan pekerjaan yang dilakukan sama.
Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di tingkat lanjutan, setelah
mendapatkan surat rujukan dari FKTP, dapat melalui dua cara yaitu, pertama
melalui unit rawat jalan dan kedua melalui IGD (instalasi Gawat Darurat). Di RSUD
Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang, ditemukan akses untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan tingkat lanjutan, didapat 64,54% dari total kunjungan IGD dan 78,34%
dari total kunjungan rawat jalan merupakan peserta JKN. Tingginya penggunaan
IGD sebagai pintu masuk bagi peserta JKN untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan di rumah sakit patut dicurigai sebagai bentuk bypass sistem rujukan
dalam pelayanan kesehatan di kota Kupang.
Ada beberapa faktor yang menghambat terlaksananya ajkna secara baik,
yaitu:
1) Dari pihak rumah sakit
• Administrasi dan prosedur
a) Pasien tidak memiliki kartu
Masih banyak pasien yang datang tanpa kartu, yang menyebabkan harus
dilakukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan BPJS.
b) tidak ada rujukan
Ada pasien yang datang tanpa rujukan, karena (1) sudah terbiasa
mendapatkan layanan langsung di rumah sakit, (2) tidak percaya pada
layanan kesehatan tingkat pertama. (3) kurang pengetahuan mengenai
prosedur layanan BPJS Kesehatan.
c) antrian pasien menjadi panjang di loket
Waktu antri sebelum mendapatkan pelayanan bervariasi. 33% pasien
yang disurvey menyatakan hanya menunggu 5 menit sebelum diperiksa,
namun 41,7% mengaku harus menunggu hingga 60 menit.
Evaluasi Pelaksanaan JKN
7
Lama antrian di apotek juga beragam yaitu 5 menit – 33% ;30 menit-
16,7% ; 1 jam- 33,3% ; hingga 2 jam – 16,7%.
d) proses pencatatan dan coding yang khusus sehingga jika tidak teliti
dapat menyebabkan layanan kesehatan tidak dapat diklaim. Prosedur
pencairan lama sehingga uang jasa sampai dengan penelitian dilakukan
para petugas rumah sakit belum menerimanya.
• Keterbatasan fasilitas
Untuk melakukan pelayanan kesehatan di RSUD memiliki 1.255 tenaga kerja
yang terdiri dari 112 dokter (umum, gigi, dan spesialis) dan 1.144 tenaga
lain. Sehingga beban kerja meningkat dan waktu tunggu pasien untuk
mendapatkan pelayanan di RSUD cukup lama.
Keterbatasan jumlah ruang bersalin yang tersedia, yaitu hanya 3 unit
menyebabkan ketersediaan bidan yang melebihi 200 orang tidak dapat
dimanfaatkan secara optimalisasi dalam memberikan pelayanan kesehatan.
• Kurangnya stok obat
a. Stok obat tidak cukup
b. Masih ada obat yang tidak ditanggung.
2) Dari pihak pasien
• Tanggungan biaya JKN tidak meliputi biaya transportasi, sehingga
menghalangi pasien yang tinggal jauh dari rumah sakit untuk mendapatkan
layanan kesehatan.
• Masih ada pelayanan yang belum bisa dinikmati karena keterbatasan
fasilitas rumah sakit
• Umumnya pasien tidak terlalu paham dengan aturan dan prosedur
administrasi BPJS
Pelaksanaan JKN di Provinsi NTT mendapat sambutan positif dari
masyarakat karena dapat membantu masyarakat yang tidak mampu untuk
mengakses pelayanan kesehatan. Terlepas dari keterbatasan yang ada, selama ini
Evaluasi Pelaksanaan JKN
8
pemerintah Provinsi NTT telah melakukan berbagai upaya agar JKN dapat
dilaksanakan dengan baik, diantaranya dengan diterbitkannya beberapa kebijakan
daerah terkait pelaksanaan JKN. Pemerintah Provinsi NTT juga sudah
mengeluarkan Surat Edaran Gubernur NTT mengenai kewajiban pemerintah
daerah untuk menginformasikan dan menganggarkan biaya pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan orang tidak mampu serta menghimbau kepada
seluruh masyarakat NTT untuk ikut ambil bagian dalam program JKN yang
dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan.
B. Provinsi Riau
Di Pekanbaru hanya ada pasien peserta BPJS Kesehatan, sedangkan peserta
KIS belum dicanangkan oleh pemerintah. Sejak tahun 2011 hingga kini Jamkesda
Provinsi Riau masih berlaku di fasilitas pelayanan kesehatan. Dasar pelaksanaan
Jamkesda antara lain dikarenakan adanya konsep desentralisasi pembangunan
kesehatan yang menjadi tanggung jawab daerah dalam meningkatkan kualitas dan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dengan meminimalkan
kendala masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan akibat faktor
keterbatasan ekonomi. Tujuannya adalah agar peserta dan anggota keluarganya
memperoleh pelayanan dan pembiayaan kesehatan yang ditanggung sepenuhnya
oleh pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Berdasarkan Surat Kesepakatan Gubernur Provinsi Riau bersama dengan
Para Bupati/Walikota se-Provinsi Riau pada tanggal 8 Oktober 2014, Jamkesda
Provinsi Riau mulai diintegrasikan dengan program JKN. Kondisi ini membutuhkan
anggaran yang besar untuk membayar premi para peserta Jamkesda ketika
kepesertaan mereka harus dipindahkan ke BPJS. Hingga saat ini Pemerintah Kota
Pekanbaru sedang mencari formula anggaran bagi pengalihan peserta Jamkesda
menjadi peserta BPJS.
Jumlah peserta JKN dari semua jenis kepesertaan di Provinsi Riau baru
mencapai 35% atau 1.140.442 dari 3.171.823 penduduk Provinsi Riau (data
sampai dengan bulan Mei 2015). Sedangkan untuk pelaksanaan pelayanan KIS, di
Provinsi Riau belum beredar KIS. Menurut Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan
Dinas Kesehatan Provinsi Riau, KIS merupakan istilah baru pengganti JKN pada
Evaluasi Pelaksanaan JKN
9
pemerintahan saat ini. Adapun PBI KIS merupakan peserta Jamkesmas. PBI KIS
merupakan PMKS di Provinsi Riau yaitu sebanyak 321.448 orang. Pemilik KIS
terbanyak ada di Kabupaten Kampar sebanyak 75.134 orang, Indragiri Hilir 61.061
orang, Pekanbaru 58.868 orang, Bengkalis 33.852 orang, Rokan Hulu 20.125 orang,
Meranti 16.950 orang, Rokan Hilir 15.138 orang, Pelalawan 11.300 orang, Siak
10.080 orang, Indragiri Hulu 9.941 orang, Kuantan Singingi 5.455 orang, dan
Dumai 3.544 orang.
Kendali mutu dan biaya dilakukan oleh organisasi profesi seperti IDI, PDGI
dan juga akademisi dari Universitas Riau. Permasalahan dalam pelaksanaan JKN di
Provinsi Riau antara lain pendataan kepesertaan membutuhkan Nomor Induk
Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga. Namun masih banyak penduduk yang
belum memiliki NIK.
Pelaksanaan JKN di Provinsi Riau merupakan pilot project pay for
performance yang akan diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Selain Riau,
Provinsi Sumatera Barat juga merupakan daerah pilot project tersebut. Adapun
pay for performance merupakan pembayaran kapitasi berdasarkan kinerja.
Terkait pelaksanaan JKN di FKTP, alokasi dana kapitasi yang diterima oleh
Puskesmas dari BPJS Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa
pelayanan kesehatan sebanyak 60% dan dukungan biaya operasional pelayanan
kesehatan sebanyak 40%. Pembagian jasa pelayanan kesehatan kepada tenaga
kesehatan dan tenaga non kesehatan ditetapkan dengan mempertimbangkan
variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan dan kehadiran.
Masyarakat dan fasilitas kesehatan milik swasta sangat antusias bergabung
ke dalam JKN. Untuk di Kota Pekanbaru, hampir semua rumah sakit milik swasta
bergabung ke dalam JKN. Namun bergabungnya rumah sakit swasta belum
diimbangi dengan peningkatan tenaga verifikasi klaim rumah sakit. Keterbatasan
tenaga verifikasi menjadikan tagihan klaim JKN menumpuk untuk diverifikasi dan
berimbas terhadap penundaan pembayaran klaim oleh BPJS kepada rumah sakit.
Terkait pelaksanaan JKN di FKTP, sampai bulan April 2015 sebanyak 54 klinik
pratama dan masih dibutuhkan penambahan sebanyak 15 klinik. Di puskesmas
Muara Fajar, SDM yang tersedia masih terbatas yaitu 36 orang dengan rincian
sebagai berikut: Ada 4 orang dokter umum, 1 orang doketr gigi, 1 orang tenaga
kesehatan masyarakat, 10 orang bidan, 10 orang perawat, 1 orang perawat gigi, 1
Evaluasi Pelaksanaan JKN
10
orang tenaga gizi, 2 orang asisten apoteker, 1 orang tenaga kesehatan lingkungan,
1 orang analis, dan 2 orang tenaga honorer. Dengan masa kerja rata-rata 5-10
tahun. Keterbatasan SDM menyebabkan pegawai Puskesmas selain memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, juga melakukan fungsi manajerial dalam
pelaporan terkait pelaksanaan JKN dan tugas lainnya.
Semenjak pelaksanaan JKN, jumlah pasien yang meminta rujukan
meningkat, demikian juga dengan jumlah total pasien yang datang ke puskesmas
juga meningkat, sehingga beban kerja juga meningkat. Akan tetapi, kesejahteraan
tenaga kesehatan masih belum diperhatikan, diantaranya adanya jasa pelayanan
medis yang berbeda-beda antar profesi yang ada ditiap puskesmas
kabupaten/kota dengan di provinsi.
Kurangnya sosialisasi dan pemberian informasi terkait penyelenggaraan
JKN, menyebabkan sebagian pasien tidak tahu pemeriksaan laboratorium apa saja
yang ditanggung JKN, kecelakaan tunggal tidak ditanggung JKN, bagaimana
prosedur berobat dengan Kartu JKN dan prosedur rujukan. Sehingga banyak
pasien yang tidak membawa kartu JKN jika berobat ke puskesmas, banyaknya
pasien yang datang ke puskesmas hanya untuk meminta rujukan saja, dan banyak
pula pasien yang datang berobat tetapi bukan berasal dari wilayah kerja
Puskesmas Muara Fajar.
Untuk pelaksanaan JKN di tingkat lanjutan, Eka Hospital merupakan salah satu
rumah sakit swasta di Pekanbaru yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sejak
27 Januari 2015. Adapun kuota yang disediakan pihak rumah sakit untuk peserta
BPJS Kesehatan adalah untuk VVIP 8 tempat tidur (tt), VIP 12 tt, Kelas I 20 tt, Kelas
II 12 tt, dan Kelas III 30 tt.
Untuk memudahkan identifikasi pasien BPJS, Eka Hospital mengelola loket
khusus BPJS dan menggunakan sistem database BPJS untuk memastikan identitas
pasien. Namun demikian pihak rumah sakit tidak membedakan antara pelayanan
pasien umum dengan pasien BPJS. Petugas di rumah sakit juga bersikap atentif
dalam memberikan informasi dan pelayanan kepada pasien.
Ada beberapa faktor yang menghambat pelaksanaan JKN dapat terlaksana
secara maksimal yaitu:
1) Dari pihak rumah sakit
a. Tenaga verifikator BPJS masih belum memadai
Evaluasi Pelaksanaan JKN
11
Hal ini mengakibatkan keterlambatan laporan penagihan kepada BPJS,
yang jika dibiarkan lebih lama maka akan menyebabkan kerugian bagi
manajemen rumah sakit.
b. Sistem BPJS belum optimal
Sering terjadi error ketika menggunakan basis data BPJS, yang
menyebabkan gangguan dalam memasukkan data, mengecek data pasien,
hingga menyebabkan keterlambatan penerbitan SEP.
c. Kendala dalam pengadaan obat
Beberapa pengadaan obat FORNAS belum tersedia. Kadang pihak rumah
sakit juga diprotes oleh pasien karena menggunakan obat yang sama
dengan yang diresepkan di puskesmas. Obat yang dapat disediakan hanya
dari Fornas, sedangkan tidak semua vendor mau memastikan ketersediaan
obat karena harganya lebih murah dari harga pasar.
d. Terbatasnya fasilitas dan SDM menyebabkan waktu tunggu pasien menjadi
lama.
Secara umum masyarakat menyambut baik dan merasa terbantukan
dengan adanya program JKN. Meskipun masih ada masyarakat yang beranggapan
bahwa prosedur JKN membingungkan dan merasa susah kalau berobat dengan JKN
karena antrean panjang dan tidak tahu cara pengurusannya.
Selama ini para petugas kesehatan telah berupaya agar pelaksanaan
program JKN berjalan dengan baik dengan memberikan informasi/penjelasan
pada pasien apa saja yang ditanggung JKN dan tata cara rujukan dan tetap
berupaya memberikan pelayanan yang baik.
IV. SARAN
Dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan JKN maka dapat disampaikan
beberapa saran berikut:
• Proses verifikasi dan validasi data orang miskin dan tidak mampu yang akan
dibayarkan iuran PBI-nya oleh daerah harus segera di selesaikan.
Evaluasi Pelaksanaan JKN
12
• Koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam sistem pelaksanaan JKN
harus terus dilaksanakan dan ditingkatkan agar terjadi kesamaan persepsi
dan pamahaman dalam pelaksanaan JKN.
• Sosialisasi terkait pelaksanaan JKN pada semua sektor yang terlibat dalam
pelaksanaan JKN (petugas BPJS, petugas di fasilitas kesehatan dan dinas
kesehatan/pejabat daerah, maupun masyarakat luas) harus terus
dilaksanakan.
• Perlu adanya dukungan penyediaan SDM, sarana dan prasarana baik secara
kuantitas maupun kualitas terkait pelaksanaan JKN.
top related