lp alo
Post on 09-Feb-2016
6 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1. DEFINISI ALO Acute Lung Odema (ALO) atau edem paru akut adalah akumulasi cairan di
interstisial dan alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat
disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi
gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia
(Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011).
Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di
ekstravaskuler dalam paru. Kelainan ini disebabkan oleh dua keadaan yaitu
peningkatan tekanan hidrostatis dan peningkatan permeabilitas paru (Muttaqin,
2008).
Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke
ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada
keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui
kapiler endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan
mengalir ke pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam
sirkulasi (Flick, 2000, Hollenberg, 2003).
Edema paru disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat
disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Edema paru terjadi ketika cairan
yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan.
2. FAKTOR RESIKO ALOFaktor risiko terjadinya edema paru menurut Harun dan Sally (2009) dapat terjadi pada
beberapa keadaan di bawah ini antara lain :
1. Kardiak :
Gagal ventrikrl kiri
Penyakit katup mitral
2. Penyakit pada vena pulmonal
penyakit oklusi vena primer
mediastinitis sklerotik kronik
aliran vena pulmonal yang abnormal
stenosis atau atresi vena congenital
3. neurogenik
trauma kepala
tekanan intrakranial meningkat
3. PATOFISIOLOGI ALOPada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah
kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial sesuai dengan selisih antara tekanan
hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang
keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika
cairan memasuki ruang interstisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular,
yang kemudian dikembalikan oleh siistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma
dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan
keluar dari kirosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan
sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein ( Maria, 2010).
Terdapat dua mekanisme terjadinya edem paru
1. Membran kapiler alveoli
Edem paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan `dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal
terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruangan
interstisial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan
pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun dan Sally, 2009).
Q (iv-int) = Kf [ ( Piv – Pint ) – df ( Iiv – Iint ) ]Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstisial
Piv = tekanan hidrostatik intravaskular
Pint = tekanan hidrostatik interstisial
Iiv = tekanan osmotik koloid intravaskular
Iint = tekanan osmotik koloid interstisial
Df = koefisien refleksi protein
Kf = kondukstan hidraulik
2. Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari
pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstisial peribronkhial dan
perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstisium alveolar ini, cairan lebih
sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik
tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan
maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan
istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas
sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika
terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi
dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih
besar yang dapat mencegah terjadinya edem. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya
edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi
(Smeltzer dan Bare, 2000; Price dan Wilson, 2006; Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).
4. ETIOLOGI ALO 1. Ketidak-seimbangan Starling Forces:
Peningkatan tekanan kapiler paru:
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai
melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada
manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12
mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.
Etiologi dari keadaan ini antara lain:
a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis
mitral).
b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
c) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria
pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday,
penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi. Tetapi hipoalbuminemia saja tidak
menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru.
Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan
edema paru.
Peningkatan tekanan negatif intersisial:
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural, contoh
yangs sering menjadi etiologi adalah:
a) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
b) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
Peningkatan tekanan onkotik intersisial. Sampai sekarang belum ada contoh secara
percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan
alveolar.Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu yang berhubungan dengan
edema paru akibat kerusakan pembatas ini dar ipada akibat ketidakseimbangan Starling
Force.
Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl
thiourea).
Aspirasi asam lambung.
Pneumonitis radiasi akut.
Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
Disseminated Intravascular Coagulation.
Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik:
Post Lung Transplant.
Lymphangitic Carcinomatosis.
Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
High Altitude Pulmonary Edema.
Neurogenic Pulmonary Edema.
Narcotic overdose.
Pulmonary embolism
Eclampsia
Post cardioversion
Post Anesthesia
Post Cardiopulmonary Bypass
(Harun & Sally, 2009)
5. KLASIFIKASI ALO Berdasarkan penyebabnya edema paru akut dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Kardiogenik1) Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit
lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri
dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri
tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu memompa
darah lagi seperti biasa.
2) Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi
pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-
obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri
menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana
kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel
kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-
paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
3) Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur
aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu
menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali
melalui katub menuju paru-paru.
4) Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel
kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria
2. Non-KardiogenikPada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon
peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang dapat
dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
2) Kondisi yang berpotensi serius
Disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-
racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.
3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh
Pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti
edema paru
4) High altitude pulmonary edema
Yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih
dari 10,000 feet.
5) Trauma otak
Perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang parah, atau
operasi otak dapat ada kalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru,
menyebabkan neurogenic pulmonary edema. Diduga dasar mekanisme edema paru
neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus (akibat penyebab di atas) yang
menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik, yang kemudian menyebabkan
pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmonal dan penurunan
“compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi penurunan pengisian ventrikel kiri, tekanan
atrium kiri meningkat dan terjadilah edema paru.
6) Paru yang mengembang secara cepat
Dapat adakalanya menyebabkan re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi
pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari
cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat
dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
7) Penyebab yang jarang terjadi
Overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema.
Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus
pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan
pulmonary edema.
8) Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-
paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute
lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita
hamil.
Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak Dan Nonkardiak
Edema Paru Kardiak Edema Paru Non Kardiak
Riwayat Penyakit :Jantung
Penyakit Jantung Akut Penyakit Dasar di luar
Pemeriksaan Klinik : Akral dingin
S3 gallop/Kardiomegali
Distensi vena jugularis
Ronki basah
Akral hangat
Pulsasi nadi meningkat
Tidak terdengar gallop
Tidak ada distensi vena jugularis
Ronki kering
Pemeriksaan Penunjang :EKG : Iskhemia/infark
Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung mungkin meningkat
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg
Intrapulmonary shunting : meningkat ringan
Cairan edema/protein serum < 0,5
EKG : biasanya normal
Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung biasanya normal
Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg
Intrapulmonary shunting : sangat meningkat
Cairan edema/serum protein > 0,7
Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik
(dikutip dari Lorraine et al, 2005)
Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiak dibagi menjadi 3 kelompok
1. Peningkatan afterload (Pressure overload )
Terjadi beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah
hipertensi dan stenosis aorta
2. Peningkatan preload (Volume overload )
Terjadi beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral,
insufisiensi aorta, dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt (ventricular septal
defect )
3. Gangguan kontraksi otot jantung primer
Pada infark miokard akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada
kardiomiopati kongestif terdapat gangguan kontraksi otot jantung secara umum.
Penyebab edema paru non kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi :
Peningkatan permeabilitas kapiler paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi bahan kimia, dan
trauma berat
Peningkatan tekanan kapiler paru : pada sindrom vena kava superior, pemberian cairan
berlebih, dan transfusi darah
penurunan tekanan onkotik plasma : sindrom nefrotik dan malnutrisi
6. MANIFESTASI KLINIK ALOGejala paling umum dari pulmonary edem adalah sesak nafas. Ini mungkin adalah
penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat
mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edem akut. Gejala-gejala
umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas dari pada
normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea),
kepeningan atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien
dengan pulmonary edem. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter
mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara
mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam
alveoli selama bernafas.
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium :
Stadium 1 Adanya distensi dari pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada
stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik
juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi
karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat.
Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-
to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada
kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada
keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006)
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Anamnesis
Edema paru kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal nocturnal dyspnea, karena
kejadiannya yang bisa sangat cepat dan terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara
ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena
mereka merasa ketakutan, batu-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam.
Pasien biasnaya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas
dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan, sesak hebat,
mungkin disertai sianosis, sering berkeringat dingin, batuk dengan sputum yang
berwarna kemerahan (frothy sputum).
2. Pemeriksaan fisik.
Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, akan terlihat retraksi inspirasi pada
sela intercostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative
intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan
terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai
wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II
pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat
3. Pemeriksaan Laboraturium
Pemeriksaan darah meliputi ureum, kreatinin, analisa gas darah, elektrolit, urinalisa.
Analisa gas darah arterial (ABG) menunjukkan hipoksia. Tekanan parsial karbondioksida
bervariasi. Pasien bisa mengalami alkalosis dan asidosis respiratorik yang sangat parah.
Asidosis metabolic muncul jika output kardiak rendah.
4. Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray)
dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung
dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral
column,dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih
gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-
ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan
lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-
kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal
dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari
alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan
informasi yang minimal tentang penyabab yang mungkin mendasarinya.
Gambaran Radiologi yang ditemukan:1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)
2. Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)
Gambar 1: Edema Intesrtitial Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi
pleura, diafragma kanan letak tinggi).
Gambar 2: Kardiomegali dan edema paru1) Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
2) Edema “butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)
Gambar 3: Bat’s WingEdema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai
kelainan sebelumnya, contoh: emfisema).
Gambar 4. Foto radiologi edema paru kardiogenik (gambar A) dan edema paru non
kardiogenik (gambar B)
Gambar 5. Perbedaan foto thorax antara edema paru kardiogenik dan non kardiogenik
5. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau
infark pada infark miokard akut dengan edema paru.Pasien dengan krisis hipertensi
gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri.
Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana
akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghiland dalam 1 minggu.
Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan
yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut tonus
simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau
katekolamin.
6. Enzim jantung (CK-CKMB, Troponin T)
7. Echocardiografi transtorakal
Ekokardiogram bisa memperlihatkan otot jantung yang lemah, katup jantung yang bocor
atau sempit, atau cairan yang mengelilingi jantung.
8. Angiografi koroner
9. Kateterisasi arteri pulmoner
Mengidentifikasi gagal jantung sisi kiri yang ditunjukkan dengan kenaikan tekanan baji
arteri pulmoner (pulmonary artery wedge pressure)
(Lippincott Wiiliams & Wilkins, 2008).
8. PENATALAKSANAANAlgoritma penatalaksanaan pasien dengan edema paru akut (dikutip dari ESC, 2012)
Menurut Santoso Karo et al. (2008) penatalaksanaan pada edema pulmoner adalah sebgai
berikut:
a. Posisi ½ duduk
b. Oksigen (40%-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk
(pasien makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan > 60
mmHg dengan O2 konssentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi atau tidak
mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction dan ventilator. Oksigenasi dipantau melalui pulsa oksimetri dan
pengukuran gas darah arteri (Smeltzer dan Bare, 2000).
c. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila perlu.
d. Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru karena
mengurangi preload. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6
mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik >95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberikan hasil memuaskan maka dapat
diberikan Nitrogliserin IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon
dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan
sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau
selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
e. Morfin sulfat 3-5 mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari). Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik
ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan
juga mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari
morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga pernafasan. Penggunaan
morfin tidak boleh diberikan bila edema paru dsebabkan oleh cidera vascular otak,
penyakit paru kroni, atau syok kardiogenik. Pasien harus diawasi bila terjadi depresi
pernapasan berat; antagonis morfin (Naloxone hydrochloride (Narcan) harus tersedia
(Smeltzer, 2000).
f. Diuretik Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam
atau dilanjutkan drip ontinue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam. Efek bifasik
dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi sehingga aliran (preload). Efek kedua
adalah diuresis yang mencapai puncaknya setelah 30-60 menit. Penurunan tekana
darah, peningkatan frekuensi jantung dan penurunan haluaran urin merupakan petunjuk
bahwa sistem peredaran darah tidak mampu mentoleransi diuretik dan harus diambil
tindakan untuk mengatasi hipovolemia yang terjadi. Pasien dengan hyperplasia prostat
harus diawasi adanya tanda retensi urin (Smeltzer dan Bare, 2000).
g. Bila perlu (tekanan darah turun /tanda hipoperfusi) : Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau
doputamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. Bila TD 70-100 mmHg disertai gejala-
gejala dan tanda syok, berikan Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak membaik
dengan Dopamin dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan Norephinephrine 0,5-30
mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10 mcg/kgBB/menit. Bila tanpa
gejala syok berikan Dobutamine 2-20 mcg/kgBB/menit IV.
h. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
i. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.
j. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
k. Operasi pada komplikasi akut infark miokard sepertiregurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel/corda tendinae.
Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tindakan keperawatan yang dapat dilakukan oleh
perawat adalah sebagai berikut:
a. Secara seksama pantau pasien yang berisiko untuk melihat apakah ada tanda
edema pulmoner, terutama takipnea, taikardi, dan bunyi napas abnormal. Periksa
adanya edema perifer, yang juga bisa mengindikasikan bahwa cairan terakumulasi
dalam jaringan pulmoner.
b. Beri oksigen sesuai perintah dan pantau adanya efek.
c. Pantau tanda vital tiap 15 sampai 30 menit saat memberikan nitroprusside dalam
dextrose 5% dalam air melalui tetesan I.V.
9. KOMPLIKASIKomplikasi yang dapat ditimbulkan adalah gagal napas. Selain itu kebanyakan
komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-komplikasi
yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema
dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-
paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada
pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak
(Panji, 2008).
10. ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian
Menurut Doegoes, 1999 pengkajian pada penderita edema pulmoner adalah sebagai
berikut:
1. Identitas, umur, jenis kelamin
2. Riwayat masuk:
Pasien biasanya dibawa ke RS setelah mengalami sesak napas, sianosis atau batuk-
batuk disertai kemungkinan adanya demam tinggi ataupun tidak. Kesadaran kadang
sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada kasus trauma.
3. Riwayat penyakit sebelumnya:
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin
ditemui pada pasien.
4. Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak
keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
5. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif),
sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut
meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
6. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah
menurun, denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
7. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
8. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot
aksesoris pernafasan
9. Sistem genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal.
10. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare.
11. Studi Laboratorik :
a. Hb : menurun/normal
b. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal
c. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
d. Enzim jantung : Troponin I atau T, CKMB
B. Diagnosa KeperawatanBerdasarkan Nanda 2012, diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai
berikut:
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukkan cairan dalam paru.
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus
(perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli)
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder
terhadap pemasangan selang endotrakeal
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung
5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
terhadap prosedur medis
6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal
PEMERIKSAAN ANALISA GAS DARAH (AGD)
Deskripsi :Analisis gas darah merupakan pemeriksaan untuk mengukur keasaman (pH), jumlah oksigen
dan karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi kerja paru-
paru dalam menghantarkan oksigen ke dalam sirkulasi darah dan mengambil karbondioksida
dari dalam darah. Analisis gas darah meliputi pemeriksaan PO2, PCO3, pH, HCO3, dan
saturasi O2.
ManfaatMengevaluasi pertukaran gas oksigen dan karbondioksida, fungsi pernafasan (termasuk
hipoksia dan status asam-basa), dan beberapa penyakit pernafasan seperti asma dan penyakit
pulmonari obstrukstif kronik, serta emboli (termasuk emboli lipid) dan pembedahan arteri
koroner.
Indikasi Umum :
1. Abnormalitas Pertukaran Gas
Penyakit paru akut dan kronis
Gagal nafas akut
Penyakit Jantung
Pemeriksaan Keadaan Pulmoner (rest dan exercise)
2. Gangguan Asam Basa
Asidosis metabolik
Alkalosis metabolik
Interpretasi Hasil Analisa Gas Darah (AGD) A. Interpretasi Hasil Pemeriksaan pH
Serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion
hidrogen dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam (seperti asam laktat dan asam
keto).
Nilai normal pH serum :
Nilai normal : 7.35 - 7.45
Nilai kritis : < 7.25 - 7.55
Implikasi Klinik 1. Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia (peningkatan pembentukan
asam)
2. Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia (kehilangan asam)
3. Bila melakukan evaluasi nilai pH, sebaiknya PaCO2 dan HCO3 diketahui juga untuk
memperkirakan komponen pernafasan atau metabolik yang mempengaruhi status asam
basa
B. Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Karbon Dioksida (PaCO2 ) PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 kyang terlarut dalam
plasma. Dapat digunakan untuk menetukan efektifitas ventilasi dan keadaan asam basa dalam
darah.
Nilai Normal : 35 - 45 mmHg SI : 4.7 - 6.0 kPa
Implikasi Klinik :
1. Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/ nervousness dan emboli paru.
Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapatkan perhatiaan khusus.
2. Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau penurunan fungsi pusat
pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mmHg perlu mendapat perhatian khusus.
3. Umumnya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi sedangkan penurunan nilai
menunjukkan hiperventilasi.
4. Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2 sebesar 1.3 mmHg.
C. Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Oksigen (PaO2 ) PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah oksigen yang
terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru dalam menyediakan
oksigen bagi darah.
Nilai Normal (suhu kamar, tergantung umur) ; 75 - 100 mmHg SI : 10 - 13.3 kPa
Implikasi Klinik :
1. Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), penyakit
obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan fisik atau neoromuskular dan
gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu mendapatkan perhatian
khusus.
2. Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat bantu
(contoh; nasal prongs, alat ventilasi mekanik) hiperventilasi dan polisitemia (peningkatan sel
darah merah dan daya angkut oksigen)
D. Interpretasi Hasil Saturasi Oksigen (SaO2) Jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin, ditulis sebagai persentasi total oksigen yang
terikat pada hemoglobin.
Nilai Normal : 95 - 99 % O2
Implikasi Klinik
1. Saturasi oksigen digunakan untuk mengevaluasi kadar oksigenasi hemoglobin dan
kecakupan oksigen pada jaringan
2. Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma menggambarkan jumlah oksigen yang
terikat pada hemoglobin sebagai ion bikarbonat
E. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Karbon Dioksida (CO2) Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat, 5% sebagai
larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat. Kandungan CO2 plasma terutama adalah
bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini
terutama bersifat asam dan diatur oleh paru-paru. Oleh karena itu nilai CO2 plasma
menunjukkan konsentrasi bikarbonat.
Nilai Normal Karbon Dioksida (CO2) : 22 - 32 mEq/L SI : 22 - 32 mmol/L
Implikasi Klinik :
1. Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfisema, dan
aldosteronisme
2. Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik asidosis dan
hiperventilasi
3. Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan nitrofurantoin
F. Anion Gap (AG) Anion gap digunakan untuk mendiagnosis asidosis metabolikPerhitungan menggunakan elektrolit yang tersedia dapat membantu perhitungan kation dan
anion yang tidak terukur. Kation dan anion yang tidak terukur termasuk Ca+ dan Mg2+.
Anion yang tidak terukur meliputi protein, posfat sulfat dan asam organik. Anion gap dapat
dihitung menggunakan dua pendekatan yang berbeda. Na+ - (Cl- + HCO3) atau Na + K - (Cl
+ HCO3) = AG
Nilai Normal Pemeriksaan Anion Gap : 13 - 17 mEq/L
Implikasi Klinik:
1. Nilai anion gap yang tinggi (dengan pH tinggi) menunjukkan penciutan volume
ekstraseluler atau pada pemberian penisilin dosis besar.
2. Anion gap yang tinggi dengan pH rendah merupakan manifestasi dari keadaan yang
sering dinyatakan dengan singkatan "MULEPAK" yaitu akibat asupan metanoll, uremia,
asidosis laktat, etilen glikol, paraldehid, intoksikasi aspirin dan ketoasidosis.
3. Anion gap rendah dapat terjadi pada hipoalbuminemia, dilution, hipernatremia,
hiperkalsemia yang terlihat atau toksisitas litium.
4. Anion gap yang normal dapat terjadi pada metabolik asidosis akibat diare, asidosIs tubular
ginjal atau hiperkalsemia.
Faktor-faktor yang berkontribusi pada nilai-nilai analisa gas darah yang abnormal 1. Obat-obatan dapat meningkatkan pH darah: sodium bikarbonat
2. Kegagalan untuk mengeluarkan semua udara dari spuit akan menyebabkan nilai PaCO2
yang rendah dan nilai PaO2 meningkat
3. Obat-obatan yang dapat meningkatkan PaCO2 : aldosterone, ethacrynic acid,
hydrocortisone, metolazone, prednisone, sodium bicarbonate, thiazides.
4. Obat-obatan yang dapat menurunkan PaCO2 : acetazolamide, dimercaprol, methicillin
sodium, nitrofurantoin, tetracycline, triamterene.
5. Obat-obatan yang dapat meningkatkan HCO3-: alkaline salts, diuretics
6. Obat-obatan yang dapat menurunkan HCO3-: acid salts.
7. Saturasi oksigen dipengaruhi oteh tekanan parsial oksigen dalam darah, suhu tubuh, pH
darah, dan struktur hemoglobin.
Interpretasi Hasil AGDSecara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:
pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau alkalosis.
Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45.
PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah menggambarkan
hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat. PO2 dibawah 60 mmHg
mengindikasikan perlunya pemberian oksigen tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-
100 mmHg
PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme normal,
PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi menggambarkan
hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada kondisi gangguan metabolisme, PCO2
dapat menjadi abnormal sebagai kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2
adalah 35-45 mmHg
HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme, seperti
ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik dan begitu pula
sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika ginjal mengkompensasi
gangguan pernafasan agar pH kembali dalam rentang yang normal. Kadar HCO3-
normal berada dalam rentang 22-26 mmol/l
Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus
ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada kondisi PCO2 =
40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0. BE bernilai positif menunjukkan kondisi
alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE bernilai negatif menunjukkan kondisi asidosis
metabolik. Nilai normal BE adalah -2 sampai 2 mmol/l
Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Nilai
normalnya adalah 95-98 %
Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat keadaan yang
menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:
Asidosis respiratorikAdalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat
dapat terjadi pada keadaan seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan,
atau intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah keadaan
hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan ekskresi H+ dan retensi
bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal.
Alkalosis respiratorikPerubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH meningkat. Kondisi ini
sering terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui
ekspirasi. Penting bagi dokter untuk menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah
akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab
hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik akibat ventilator.
Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat dan K+ jika proses sudah
kronik.
Asidosis MetabolikDitandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun. Biasanya
disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik dalam darah
atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi respon yang cepat
dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun. Terlihat sebagai pernafasan
kussmaul. Pemberian ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan justru akan berbahaya,
karena menghambat kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab
asidosis metabolik, dapat dilakukan penghitungan anion gap melalui rumus
(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-)
Batas normal anion gap adalah 10 – 12 mmol/l. Rentang normal ini harus disesuaikan pada
pasien dengan hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk mencegah terjadinya asidosis dengan
anion gap yang lebih. Koreksi tersebut dihitung dengan memodifikasi rumus diatas menjadi
(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-) – (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l)Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam organik lain
seperti laktat, keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat berkurangnya suplai
oksigen atau berkurangnya perfusi, sehingga terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil
sampingan berupa laktat. Pada keadaan gagal ginjal, ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-
asam organik sehingga terjadi asidosis dengan peningkatan anion gap.
Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan kehilangan
bikarbonat atau retensi H+. Contohnya pada renal tubular asidosis, gangguan GIT (diare berat),
fistula ureter, terapi acetazolamide, dan yang paling sering adalah akibat pemberian infus NaCl
berlebihan.
Alkalosis metabolikAdalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula. Adanya
peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-paru. Penyebab yang paling
sering adalah iatrogenik akibat pemberian siuretik (terutama furosemid), hipokalemia, atau
hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan
asam melalui GIT bagian atas, dan pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat)
secara berlebihan. Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan gangguan ginjal,
karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.
Langkah-langkah yang dianjurkan untuk mengevalusai
nilai gas darah arteri sbb:
1. Evaluasi pH, pH <7, 35 asidosis
pH > 7, 45 alkalosis
pH = 7,4 normal
pH normal dapat menunjukkan gas darah yang benar-benar normal atau pH yang normal ini
mungkin suatu indikasi ketidakseimbangan yang terkompensasi. Ketidakseimbangan yang
terkompensasi adalah suatu ketidakseimbang dimana tubuh sudah mampu memperbaiki pH
baik dengan perubahan respiratorik maupun metabolic (tergantung pada masalah utama).
Contoh:
- Pasien dengan asidosis metabolic primer dimulai dengan kadar bikarbonat /HCO3 yang
rendah tapi dengan kadar CO2 yang normal . Segera sesudah itu paru-paru mencoba
mengkompensasi ketidakseimbangan dengan mengeluarkan sejumlah besar
CO2/hiperventilasi
- Pasien dengan Asidosis respiratorik primer mulai dengan kadar CO2 yang tinggi, segera
sesudah itu ginjal mencoba mengkompensasi dengan mempertahankan bikarbonat . Jika
maneuver kompensasi mampu mengembalikan rasio bikarbonat terhadap asam karbonat
kembali menjadi 20:1 kompensasi sempurna dan karenanya pH normal akan tercapai
2. Menentukan penyebab primer gangguan dengan mengevaluasi PaCO2 dan HCO3 dalam hubungannya dengan pH
pH>7,4 alkalosis
a. jika PaCO2<40 mmHg
gangguan primer adalah alkalosis respiratorik (situasi ini timbul jika pasien mengalami
hiperventilasidan lebih banyak CO2 yang dikeluarkan ingat kembali bahwa CO2 terlarut
dalam air menjadi asam karbonik, bagian asam dari sistem buffer asam karbonik-
bikarbonat)
b. jika HCO3 >24 mEq/L
gangguan primer adalah alkalosis metabolic (situasi ini timbul jika tubuh memperoleh
terlalu banyak bikarbonat, suatu substansi alkali, bikarbonat adalah basa, atau bagian
alkali dari system buffer asam karbonik bikarbonat) pH< 7,4 asidosis
a. jika PaCO2>40 mmHg
gangguan utama adalah asidosis respiratorik (situasi ini timbul jik pasien mengalami
hipoventilasi dan karenanya menahan terlalu banyak CO2, suatu substansi asam)
b. jika HCO3 <24 mEq/L
gangguan primer adalah asidosis metabolic (situasi ini timbul jika kadar bikarbonat
tubuh turun, baik karena kehilangan langsung bikarbonat atau karena penambahan asam
seperti asam laktat atau keton)
3. Menentukan apakah kompensasi telah terjadi Hal ini dengan melihat nilai selain ganggguan primer. Jika nilai ini bergerak kearah yang
sama dengan nilai primer, kompensasi sedang berjalan.
Contoh:
pH PaCO2 HCO3
1. 7,20 60 mmHg 24 mEq/L
2. 7,40 60 mmHg 37 mEq/L
Analisa no 1. pH =7,20 turun PaCO2 =60 meningkat HCO3= 24 normal
(Menunjukkan asidosis respiratorik akut tanpa kompensasi)
Analisa no 2 pH= 7,40 normal Pa CO2=60 meningkat HCO3=37 meningkat
(menunjukkan asidosis respiratorik kronis, kompensasi sudah terjadi dimana HCO3 meningkat
ke kadar yang sesuai untuk menyeimbangkan PaCO2 yang tinggi dan menghasilkan suatu pH
yang normal)
Contoh lain:
pH =7,28 PaCO2= 28,8 HCO3= 11 mEq/L BE=-3
Analisa: pH= 7,28 turun /asidosis PaCO2= 28,8 turun/alkalosis respiratorik HCO3=11
turun/asidosis metabolic BE=-3/asidosis metabolic (karena nilai HCO3 mengindikasikan adanya
asidosis/mengikuti penyimpangan yang terbesar dari nilai normal, maka proses gangguan
primernya adalah asidosis metabolic dan proses kompensasinya alkalosis respiratori
LAPORAN PENDAHULUAN
ACUTE LUNG ODEMA (ALO) DAN INTERPRETASI HASIL BGA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Medikal di Ruang 5 (CVCU) Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang
Oleh :Desak Made Diah Purnama Sari
140070300011106
JURUSAN KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2015
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104
Harun S dan Sally N. Edem Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, SetiatiS,editor. Buku Ajar Ilmu Penyaki tDalam 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-
3.
Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.Anestesia &
Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Panji. 2008. Edema Paru Akut (kardiak). http://panji102blogspot.com/2008/06/edema-paru-akut-
kardiak.html. Diakses tanggal 6 September 2015. Pukul 20.00 WIB.
Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed.
Philadelpia: LWW Publisher.
Lippincott Williams & Wilkins. 2011. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Alih
bahasa: Paramita. Editor: Bambang Sarwiji. Jakarta: PT Indeks.
Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96
Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit
Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-19
No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Rasional
1 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru.
Pola nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 × 24 jam, dengan kriteria hasil:-Tidak terjadi hipoksia atau hipoksemia-Tidak sesak-RR normal (16-20 × / menit)-Tidak terdapat kontraksi otot bantu nafas-Tidak terdapat sianosis
1. Berikan HE pada
pasien tentang
penyakitnya
2.Atur posisi semi fowler
3. Observasi tanda dan
gejala sianosis
4.Berikan terapi
oksigenasi
5.Observasi tanda-
tanda vital
6.Observasi timbulnya
gagal nafas.
7.Kolaborasi dengan tim
medis dalam
memberikan
pengobatan
1.Informasi yang adekuat dapat membawa
pasien lebih kooperatif dalam memberikan
terapi
2. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada
sumbatan proses respirasi dapat berjalan
dengan lancar.
3.Sianosis merupakan salah satu tanda
manifestasi ketidak-adekuatan suply O2 pada
jaringan tubuh perifer .
4. Pemberian oksigen secara adequat dapat
mensuplai dan memberikan cadangan oksigen,
sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis merupakan tanda
terjadinya gangguan nafas disertai dengan
kerja jantung yang menurun timbul takikardia
dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6.Ketidakmampuan tubuh dalam proses
respirasi diperlukan intervensi yang kritis
dengan menggunakan alat bantu pernafasan
(mekanical ventilation).
7.Pengobatan yang diberikan berdasar indikasi
sangat membantu dalam proses terapi
keperawatan
2 Gangguan
pertukaran Gas
berhubungan
dengan
perubahan
membran kapiler-
alveolus
(perpindahan
cairan ke dalam
area
intertitial/alveoli)
Fungsi pertukaran gas
dapat maksimal setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 ×
24 jam dengan kriteria
hasil:
-Tidak terjadi sianosis
-Tidak sesak
- RR normal (16-20 × /
menit)
- BGA normal:
partial pressure of
oxygen (PaO2): 75-
100 mm Hg
partial pressure of
carbon dioxide
(PaCO2): 35-45 mm
Hg
oxygen content
(O2CT): 15-23%
oxygen saturation
(SaO2): 94-100%
bicarbonate (HCO3):
22-26 mEq/literpH:
1. Berikan HE pada
pasien tentang
penyakitnya
2. Atur posisi pasien
semi fowler
3. Bantu pasien untuk
melakukan reposisi
secara sering
4. Berikan terapi
oksigenasi
5. Observasi tanda-
tanda vital
6. Kolaborasi dengan
tim medis dalam
memberikan
pengobatan
1. Informasi yang adekuat dapat membawa
pasien lebih kooperatif dalam memberikan
terapi
2. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada
sumbatan proses respirasi dapat berjalan
dengan lancer
3. Posisi yang berbeda menurunkan resiko
perlukaan akibat imobilisasi
4. Pemberian oksigen secara adequat dapat
mensuplai dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga mencegah terjadinya
hipoksia
5. Dyspneu, sianosis merupakan tanda
terjadinya gangguan
6. nafas disertai dengan kerja jantung yang
menurun timbul takikardia dan capilary refill
time yang memanjang/lama.
7. Pengobatan yang diberikan berdasar
indikasi sangat membantu dalam proses
terapi keperawatan
7.35-7.45
3 Resiko tinggi
infeksi
berhubungan
dengan area
invasi
mikroorganisme
sekunder
terhadap
pemasangan
selang
endotrakeal
Infeksi tidak terjadi
setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3 × 24 jam,
dengan kriteria hasil:
Pasien mampu
mengurangi kontak
dengan area
pemasangan selang
endotrakeal
Suhu normal (36,0C)
Berikan HE pada pasien
tentang kondisi yang
dialaminya
1. Observasi tanda-
tanda vital.
2. Observasi daerah
pemasangan selang
endotrakheal
3. Lakukan tehnik
perawatan secara
aseptic
4. Kolaborasi dengan
tim medis dalam
memberikan
pengobatan
Informasi yang adekuat dapat membawa
pasien lebih kooperatif dalam memberikan
terapi
1. Meningkatnya suhu tubuh dpat dijadikan
sebagai indicator terjadinya infeksi
2. Kebersihan area pemasangan selang
menjadi factor resiko masuknya
mikroorganisme
3. Meminimalkan organisme yang kontak
dengan pasien dapat menurunkan resiko
terjadinya infeksi
4. Pengobatan yang diberikan berdasar indikasi
sangat membantu dalam proses terapi
keperawatan
top related