makalah sistem filsafat pancasila
Post on 28-Jan-2016
54 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang
merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap
bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan
kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam kehidupan berbangsa, serta sebagai
pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari. Pancasila lahir 1 Juni 1945,
ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan
Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah Satu, Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Lima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah,
Mr. Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa
Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu
pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa
yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh
warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa
yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah
berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua
tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pokok-Pokok Sila Pancasila (isi arti pancasila)
Secara arti kata pancasila mengandung arti, panca yang berarti “Lima” dan sila yang
berarti “Dasar”. Dengan demikian, pancasila artinya lima dasar. Tetapi disini pengertian
pancasila berdasarkan sejarah pancasila itu sendiri.
Apabila kita ingin benar-benar melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuan, maka kita tidak saja harus melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
dari Batang Tubuh (the body of the konstitutin) atau lebih dikenal isi dari UUD 1945 itu,
tetapi juga ketentuan-ketentuan pokok yang termaksud dalam pembukaan UUD 1945. Oleh
karena pembukaan UUD 1945 (walaupun tidak tercantum dalam satu dokumen dengan
Batang Tubuh UUD 1945, seperti konstitusi (RIS) atau UUDS 1950) misalnya adalah bagian
mutlak yang tidak dipisahkan dari Konstitusi Republuk Indonesia Tahun 1945; pembukaan
dan Batang Tubuh kedua-duanya telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustua 1945.
Apabila kita berbicara tentang UUD 1945. maka yang dimaksud ialah Konstitusi (UUD) yang
disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut pada tanggal 18 Agustus
1945 yang diumumkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun 1946 No.7 halaman 45-48,
yang terdiri atas :
1. Pembukaan (Preambule) yang meliputi 4 alinea ;
2. Batang Tubuh atau isi UUD 1945, yang meliputi;
3. Penjelasan
Adapun Pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat bagian itu yang amat penting
ialah bagian/alinea ke 4 yang berbunyi sebagai berikut: “Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah Kemerdekaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
2
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dalam penjelasan resmi arti pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa dalam Pembukaan
UUD 1945 terkandung empat pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
berdasar atas Persatuan;
Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
Negara Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan;
Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Khusus bagian/alinea ke-4 dari pembukaan UUD 1945 adalah merupakan asas pokok
Pembentukan pemerintah Negara Indonesia. Isi bagian ke-4 dari Pembukaan UUD 1945 itu
dibagi ke dalam 4 hal:
1. Tentang hal tujuan Negara Indonesia, tercantum dalam kalimat “Kemudian daripada
itu dan seluruh tumpah darah indonesia, yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
Memajukan kesejahteraan rakyat;
Mencerdaskan kehidupan bangsa;
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
2. Tentang hal ketentuan diadakannya Undang-Undang Dasar tercantum dalam kalimat
yang berbunyi: “maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”;
3. Tentang hal bentuk Negara dalam kalimat: yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat;
4. Tentang hal Dasar Falsafah Negara Pancasila.
Adapun Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah disahkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 itu sebagian besar bahan-
3
bahannya berasal dari Naskah Rancangan Pembukaan UUD yang disusun oleh Panitia
Perumus (panitia kecil) yang beranggotakan 9 orang yang diketua oleh Ir.Soekarno pada
tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, naskah politik yang bersejarah itu
dijadikan Rancangan Pembukaan UUD sebagai bahan pokok dan utama bagi
penyusunan/penetapan Pembukaan (Preambule) UUD yang akan ditetapkan itu.
Naskah politik yang bersejarah yang disusun pada tanggal 22 Agustus 1945 itu, dikemudian
hari oleh Mr.Muhamad Yamin dalam pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Persiapan
Kemerdekaan (BPPK) pada tanggal 11 Juni 1945 dinamakan “Piagam Jakarta” dan baru
beberapa tahun kemudian dimuat dalam bukunya yang berjudul Proklamasi dan Konstitusi
pada tahun 1951.
Dalam naskah politik yang disebut dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 inilah untuk pertama
kali dasar falsafah Negara pancasila ini dicantumkan secara tertulis, setelah diusulkan oleh
Ir.Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Adapun panitia perumus yang
beranggotakan 9 orang yang telah menyusun Piagam Jakarta itu adalah salah satu panitia
kecil dari Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK) yang dibentuk pada tanggal 29
April 1945.
Di atas telah dijelaskan tentang pentingnya Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun
besar arti pentingnya Pembukaan Undang-Undang Dasar itu ialah karena pada aline ke 4 itu
tercantum ketentuan pokok yang bersifat fundamental, yaitu dasar falsafah Negara Republik
Indonesia yang dirumuskan dalam kata-kata berikut: ….”maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada:
1. Ketuhanan Mang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4
Kelima dasar ini tercakup dalam satu nama/istilah yang amat penting bagi kita bangsa
Indonesia yaitu “Pancasila”. Istilah atau perkataan pancasila ini memang tidak tercantum
dalam Pembukaan maupun dalam Batang Tubuh UUD 1945. Di alinea ke-4 dari Pembukaan
UUD 1945 hanyalah disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada lima
prinsip atau asas yang tersebut di atas, tanpa menyebutkan pancasila. Bahwa kelima prinsip
atau dasar tersebut adalah pancasila, kita harus menafsirkan sejarah (maupun penafsiran
sistematika) yakni menghubungkannya dengan sejarah lahirnya pancasila itu sendiri pada
tanggal 1 Juni 1945, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Berkenaan dengan perkataan pancasila, menurut Prof.Mr.Muhamad Yamin
(Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia) pada halaman 437 antara lain
sebagai berikut “Perkataan Pancasila” yang kini telah menjadi istilah hukum, mula-mula
ditempa dan dipakai oleh Ir.Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 untuk
menamai paduan sila yang lima. Perkataan itu diambil dari peradaban Indonesia lama
sebelum abad XIV. Kata kembar itu keduanya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu panca dan
sila yang memiliki arti yang berbeda. Pancasila dengan huruf i biasanya memiliki arti berbatu
sendi yang lima (consisting of 5 rocks; aus fund Felsen bestehend). Pancasila dengan huruf i
yang panjang bermakna “5 peraturan tingkah laku yang penting”.
Kata sila juga hidup dalam kata kesusilaan dan kadang-kadang juga berarti etika. Dalam
bahasa Indonesia kedua pengertian diatas dirasakan sudah menjadi satu paduan antara sendi
yang lima dengan lima tingkah laku yang senonoh.
Dari uraian diatas, bahwa pancasila sebagai istilah perkataan Sansekerta yang sudah dikenal
di tanah air kita sejak abad XIV. Sedangkan pancasila dalam bentuk formalnya sebagai dasar
Falsafah Negara Republik Indonesia baru diusulkan pada tanggal 1 Juni 1945.
B. Pengertian Sistem
Pengertian sistem menurut Wikipedia Indonesia adalah sistem berasal dari bahasa
Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri
komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran
informasi, materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan
suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa
dibuat.
5
Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam
suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara.
Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang
saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara dimana yang berperan sebagai
penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.
Pengertian Sistem Menurut Para Ahli
Istilah sistem merupakan istilah dari bahasa yunani “system” yang artinya adalah himpunan
bagian atau unsur yang saling berhubungan secara teratur untuk mencapai tujuan bersama.
Pengertian sistem menurut sejumlah para ahli :
1. L. James Havery
Menurutnya sistem adalah prosedur logis dan rasional untuk merancang suatu rangkaian
komponen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi
sebagai suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.
2. John Mc Manama
Menurutnya sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang
saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil
yang diinginkan secara efektif dan efesien.
3. C.W. Churchman.
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang dikoordinasikan untuk
melaksanakan seperangkat tujuan.
4. J.C. Hinggins
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang saling berhubungan.
5. Edgar F Huse dan James L. Bowdict
Menurutnya sistem adalah suatu seri atau rangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan
dan bergantung sedemikian rupa sehingga interaksi dan saling pengaruh dari satu bagian akan
mempengaruhi keseluruhan.
6
C. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
1. Tahu Dan Pengetahuan, Ilmu dan Filsafat
a. Tahu dan Pengetahuan
Gejala awal orang belajar; menuntut ilmu dan filsafat adalah karena manusia ada
gejala ingin tahu terhadap segala hal, terutama hal-hal yang menarik minatnya. Tanpa bekal
tahu, maka ilmu dan filsafat tidak mungkin akan didapat. Berbagai hasil dari tahu yang ia
telah miliki maka manusia mempunyai pengetahuan, berbagai tahu tentang bercocok tanam,
maka ia mempunyai pengetahuan bercocok tanam. Lalu apakah tahu itu? Dan bagaimana
mendapatkannya? Tahu didapat karena manusia kontak dengan objek atau benda-benda
diluar dirinya atau juga dengan dirinya sendiri dan proses kontaknya itu dalam kesadaran
(yang artinya manusia memahami apa yang dialaminya) dan kemudian tersimpan dalam
pikiran (ingatan/memori) dan mengendap (save). Selama tersimpan (memori) itulah manusia
mempunyai tahu, dan tahu yang banyak tentang sesuatu hal yang sama disebut mempunyai
pengetahuan. Misalnya tahu banyak tentang memasak maka ia mempunyai pengetahuan
memasak, tetapi memiliki pengetahuan yang sesuatu belum tentu telah mempunyai ilmu
tentang sesuatu tersebut, karena ilmu memerlukan syarat-syarat lebuh lanjut.
Cara mendapatkan pengetahuan ada dua cara, yaitu pertama usaha sendiri dengan
cara pengamatan atau tangkapan sendiri, dengan melihat dan merasakan sendiri atau secara
lebih luas lagi dengan pengalaman indera sendiri, dari jenis ini pengetahuan bersifat sangat
subjektif. Dan yang kedua melalui perantaraan orang lain, yang ini ada dua macam, yang
pertama secara langsung misalnya diberitahukan secara individu, atau melalui forum
informasi umum (khalayak), sedang yang kedua secara tidak langsung, atau melalui media
informasi, baik melalui media informasi elektronik, maupun media cetak. Dari berbagai cara
tersebut manusia dapat memperoleh pengetahuan sesuai yang ia terima dan inginkan.
2. Sumber Timbulnya Pengetahuan
Ada tiga pandangan/aliran tentang sumber timbulnya pengetahuan, yaitu :
a) Aliran Emperisme; mengatakan bahwa semua pengetahuan awalnya diperoleh dari hasil
tangkapan indera manusia. Tokoh aliran ini adalah John Locke (1632-1704) dengan
teorinya “tabula rasa”, yang artinya bahwa anak yang baru lahir diibaratkan sebagai
kertas putih yang masih kosong belum terisi pengetahuan.
7
b) Aliran Rationalisme; mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah pada “akal
manusua”. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1660) dengan metode keraguannya
“cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir maka saya ada”.
c) Aliran Kritisisme (Fenomenalisme); mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh atas
dasar keterpaduan antara tangkapan indera dengan kerja akal manusia, atau bersifat
empiris-rasionalis. Memang awalnya pengetahuan didapat melalui upaya indera, tetapi
proses selanjutnya yang mengolah adalah akal manusia. Tokohnya adalah seorang
filosofi Jeramn Ammanuel Kant (1723-1804).
I. Aspek Ontologis
Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila menurut Notonagoro(1971), hakikat dasar
ontologis Pancasila adalah manusia. Mengapa? Karena manusia merupakan subjek hukum
pokok dari sila-sila Pancasila.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan
yang adil dan beradab, berkesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia pada hakikatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Dengan demikian, secara ontologis hakikat dasar keberadaan dari sila-sila Pancasila
adalah manusia. Untuk hal ini, Notonagoro(1971) lebih lanjut mengemukakan bahwa
manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang
mutlak. Yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, serta jasmani dan rohani. Selain itu,
sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk
pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, secara hierarkis sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila pancasila
(Kaelan, 2005).
Selanjutnya, Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki
susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan, serta mempunyai sifat dasar
kesatuan yang mutlak, yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makhluk individu
sekaligus juga sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri, sekaligus sebagai makhluk
Tuhan Konsekuensinya, segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai
Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak
berupa sifat kodrat manusia monodualis tersebut.
8
Kemudian, seluruh nilai-nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi
bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus
dijabarkan dan bersumberkan pada nilai-nilai Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara,
tujuan negara, tugas/kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum negara, moral negara
serta segala aspek penyelenggaraan negara lainnya.
II. Aspek Epistemologi
Kajian epistemologi filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari
hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena
epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu
tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Oleh karena itu, dasar epistemologi Pancasila sangat berkaitan erat dengan
konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
Menurut Titus (1984;20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi,
yaitu :
a. Tentang sumber pengetahuan manusia
b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; serta
c. Tentang watak pengetahuan manusia.
Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek kajian pengetahuan pada hakikatnya
meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Adapun
tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-
nilai yang ada pada bangsa Indonesia itu sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles,
bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa materialis Pancasila.
Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila
memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila
maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah
bersifat hierarkis dan berbentuk piramida, yaitu :
a. Sila pertama pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya;
b. Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga,
keempat, dan kelima;
c. Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan
menjiwai sila keempat dan kelima;
9
d. Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga, serta
mendasari dan menjiwai sila kelima, serta
e. Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Demikianlah, susunan pancasila memiliki sistem logis, baik yang menyangkut
kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut kualitas
ataupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti
sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran
pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Kedudukan dan kodrat manusia pada
hakikatnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, sesuai dengan sila
pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat
mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.
Selanjutnya, kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu sintesis yang
harmonis diantara potensi-potensi kejiwaan manusia, yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia
untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi. Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan
kelima, epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya
dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sebagai suatu paham epistemologi, Pancasila memandang bahwa ilmu pengetahuan
pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat
manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan
pengetahuan dalam hidup manusia itulah sebabnya Pancasila secara epistemologis harus
menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi
dewasa ini.
III. Aspek Aksiologi
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis
atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologi, maka nilai-nilai yang terkandung
dalamnya pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Selanjutnya, aksiologi Pancasila
mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam
kajian filsafat dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan
10
sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness), dan kata kerja yang artinya
sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena; 229).
Di dalam Dictionary of Sociology’ an Related Sciences dikemukakan bahwa nilai
adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok.
Dengan demikian, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada
suatu objek, sesuatu itu mengandung nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang melekat
padanya, misalnya bunga itu indah, perbuatan itu baik, indah dan baik adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Jadi, nilai itu sebenarnya adalah suatu
kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu karena
adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat bergantung pada titik
tolak dan sudut pandang setiap teori dalam menentukan pengertian nilai. Kalangan materialis
memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material, sedangkan kalangan
hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun, dari
berbagai macam pandangan tentang nilai dapat dikelompokkan pada dua macam sudut
pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai, yaitu
manusia. Hal ini bersifat subjektit, tetapi juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya
nilai sesuatu itu melekat pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan pandangan dari paham
objektivisme.
Notonagoro(1971) merinci tentang nilai, ada yang bersifat material dan nonmaterial.
Dalam hubungan ini, manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda bergantung pada
pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada yang mendasarkan pada orientasi
nilai material, tetapi ada pula yang sebaliknya, yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial.
Nilai material relatif lebih mudah diukur menggunakan panca indera ataupun alat pengukur.
Akan tetapi, nilai yang bersifat rohaniah sulit diukur, tetapi dapat juga dilakukan dengan hati
nurani manusia sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, serta karsa dan keyakinan
manusia (Kaelan, 2005).
Menurut Notonagoro(1971), nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi
nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian, nilai-
nilai Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara
lengkap dan harmonis, seperti nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau
estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, ataupun nilai kesucian yang secara keseluruhan
11
bersifat sistemik-hierarkis. Sehubungan dengan ini sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi basis dari semua sila-sila Pancasila (Darmodihardjo: 1978).
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila
(subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan
yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung
nilai bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai
sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu
yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia
dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya
dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia.
D. Hierarkhi/Jenjang Pengetahuan
Pengetahuan manusia dapat dikelompokkan dalam 3 jenjang atau tingkatan, yaitu :
a) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge)
Pengetahuan biasa disebut juga pengetahuan sehari-hari yang dimiliki setiap orang,
pengetahuan praktis yang berguna bagi kehidupan orang. Pengetahuan ini bersifat
individual, subjektif dan terpecah-pecah (pragmatis) yang umumnya diperoleh melalui
kebiasaan, yaitu pengalaman yang berulang-ulang.
b) Pengetahuan ilmiah atau ilmu (scientivic knowledge)
Pengetahuan adalah syarat bagi manusia untuk memperoleh ilmu/ilmu pengetahuan.
Pengetahuan mempunyai kedudukan dan kualifikasi sebagai ilmu pengetahuan
apabila mengandung empat syarat yaitu ada objek, ada metode, ada system dan
berlaku umum.
b.1 Ada objeknya, yaitu yang merupakan sasaran penyelidikan, hal ini ada dua macam
: objek material dan objek formal. Objek material adalah benda-benda atau hal yang
menjadi sasaran, sedang objek formal adalah aspek dari sasaran yang ingin dikaji.
b.2 Ada metodenya, yaitu suatu cara pendekatan, bahwa suatu ilmu memerlukan cara-
cara pendekatan yang khas tertentu untuk mendapatkannya.
b.3 Ada sistemnya, yaitu suatu kebulatan keutuhan tersendiri bahwa setiap ilmu
mempunyai kebulatan dan keutuhan sendriri terpisah dengan ilmu lain diluarnya.
b.4 Harus berlaku umum, maksudnya adalah bahwa pengetahuan yang telah didapat
harus dapat dipresentasikan dan diterima serta dibenarkan oleh orang banyak terutama
oleh pakar dibidangnya. Selama tidak demikian maka pengetahuan tersebut menjadi
pengetahuan subjektif yang hanya dimiliki dan dibenarkan oleh yang bersangkutan.
12
c) Pengetahuan Filsafat (philosophic knowledge)
Syarat-syarat pengetahuan filsafat sama sebagaimana pengetahuan ilmiah, yaitu
berobjek, bermetode, bersistem, dan berlaku umum, yang berbeda dari segi kedalaman dan
keluasannya.
Selain dari segi metode dan sistem yang pada dasarnya sama, maka dari segi objek
dan sifat umumnya yang dimiliki mempunyai perbedaan-perbedaan yang tegas. Dari segi
objek, objek material filsafat adalah meliputi segala sesuatu yang ada di alam semesta ini,
sedangkan objek formal dari filsafat adalah mengkaji hakikat atau esensi dari segala sesuatu
(objek material) tersebut, dan hakikat inilah ciri khas yang dicari filsafat sehingga lazim
dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu mencari hakikat. Selanjutnya dari segi sifat umum,
filsafat mempunyai sifat yang lebih umum lagi, yaitu seumum-umumnya atau universal (tidak
terikat pada ruang dan waktu). Lalu timbul pertanyaan “ apa hakikat itu?”. Hakikat adalah
unsur-unsur (dasar) yang terdalam dari sesuatu hal (benda) yang mempunyai sifat abstrak,
mutlak, tetapi tidak berubah.
E. Pemahaman Arti Filsafat
Pemahaman tentang arti filsafat dibedakan kedalam tiga macam menurut
pendekatannya atau tinjauan, yaitu pertama arti menurut pendekatan etimologis, kedua arti
menurut pendekatan terminologis, dan arti dari tinjauan kandungan isinya.
1) Arti Etimologis
Filsafat dalam bahasa inggris disebut philosophy, istilah ini semula berasal dari
bahasa Yunani “filosofia”, dan istilah ini berasal dari akar kata filo/filia dan sofia. Filo yang
artinya cinta (dalam artinya yang luar termasuk suka, ingin sekali), karena cinta dan
keinginannya yang besar maka orang lalu berusaha untuk menggapai keinginannya itu. Sofia
artinya kearifan/kebijaksanaan bisa juga kebenaran. Bijaksana juga kata asing yang artinya
adalah pandai atau tahu yang mendalam. Dengan demikian, arti filsafat adalah cinta atau
keinginan yang besar untuk mendapatkan kearifan, kebijaksanaan dan kebenaran
pengetahuan.
2) Arti dari tinjauan Terminologis/Histories
Arti terminology berkaitan dengan penggunaan istilah itu sendiri. Kata filsafat
bermula lahir dari penggunaan kata dasar dari sofis, yang artinya bijaksana, serta tahu, serba
benar yang mewarnai kehidupan orang-orang Yunani pada zamannya. Sehingga lahirlah
aliran sofisme yang berkembang pada masyarakat Yunani pada abad ke 4 SM. Aliran sofisme
yang umumnya berkembang dalam lembaga-lembaga pendidikan, mereka menyatakan bahwa
13
apa yang mereka ajarkan kepada anak didik adalah yang paling benar, paling baik, paling
bijak, dan dengan slogan ini sebagai upaya menarik kaum muda belajar pada lembaga
pendidikan yang dikelolanya, dan ternyata banyak kawula muda masuk pada lembaga-
lembaga ini walaupun dengan biaya cukup tinggi. Pada masa aliran sofisme tumbuh subur ini
berdiri juga suatu perguruan yang dipimpin oleh seorang filosof terkenal yang bernama
Socrates (469-399 SM). Lembaganya juga memberi pengajaran yang diikuti berbagai
kalangan dari mulai orang tak punya hingga keturunan bangsawan, semuanya tidak ditarik
bayaran. Lebih dari itu lembaganya tidak mau salah masuk aliran sofisme, karena menurut
Socrates, tidak pantas memberi nama sofisme (bijaksana) karena nama itu hanya milik Tuhan
yang menciptakan alam ini, sedang ia hanya ingin mendekatinya saja. Ia ingin, cinta kepada
kebijaksanaan, cinta kepada sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan, Allah pencipta alam semesta
ini. Dengan kajiannya yang tekun Socrates telah menemukan kebenaran, paling umum dan
objektif dibanding dengan ajaran ajaran kaum sofis lainnya dan bahkan telah menemukan
kebenaran Tuhannya, itulah sebabnya dia tidak mau menggunakan istilah sofis, akan tetapi
menggunakan istilah filosofis. Namun dengan pendiriannya ini kemudian melahirkan
masalah bagi dirinya terhadap kaum sofis dan negaranya, yang akhirnya harus menerima
hukuman mati karena konsistensi pendiriannya itu.
3) Arti Filsafat ditinjau dari isi makna kandungannya
Seperti telah diutarakan di muka, bahwa filsafat juga memiliki syarat-syarat
sebagaimana ilmu pengetahuan yang lain, yaitu berobjek (material, maupun formal),
bermetode, bersistem, dan bersifat umum universal. Makna khas dari filsafat adalah upaya
untuk mencari informasi yang sedalam-dalamnya dari objek materialnya, itulah yang tidak
lain merupakan objek formal dari filsafat. Mancari unsur dasar yang sedalam-dalamnya inilah
yang merupakan kandungan isinya dari filsafat, yaitu unsur dasar yang sedalam-dalamnya
yang bersifat mutlak, tetap dan tidak berubah, dan unsur itu hanya ada dalam alam pikir
(ratio) manusia, jadi bersifat abstrak. Unsur-unsur ini lazim disebut dengan nama hakikat,
atau essensi dari segala sesuatu objek materialnya.
F. Filsafat Pancasila Dalam Konteks Pendidikan Kewarganegaraan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia
pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental, dan
menyeluruh. Untuk itu, sila-sila Pancasila merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan
utuh, hierarkis, dan sistematis. Dalam pengertian inilah, sila-sila Pancasila merupakan suatu
14
sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila tidak terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-
sendiri, tetapi memiliki esensi serta makna yang utuh.
Pancasila sebagai sistem filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung
makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan harus
berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu
persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan yang merupakan masyarakat
hukum (legal society).
Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa
manusia sebagai warga negara, yaitu sebgai bagian persekutuan hidup yang mendudukkan
kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara
yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, pada
hakikatnya bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
berbudaya atau makhluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu
negara sebagai suatu organisasi hidup, manusia harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu
bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat
sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu konsekuensinya, hidup
kenegaraan itu haruslah didasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan
negara. Maka itu, negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin,
baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan
tujuan negara sebagai tujuan bersama, dalam hidup kenegaraan harus diwujudkan jaminan
perlindungan bagi seluruh warga. Dengan demikian, untuk mewujudkan tujuan, seluruh
warga negara harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan
bersama (hakikat sila kelima).
G. Fungsi Dan Tujuan Filsafat Pancasila
Fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia yaitu:
a) Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
b) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia
c) Pancasila sebagai sumber hukum dasar bangsa Indonesia
15
Tujuan filsafat pancasila sebagai berikut:
a. Untuk membentuk kepribadian yang seimbang yaitu keseimbangan dengan unsur
intelektual jasmani dan rohani.
b. Untuk membentuk manusia yang berjiwa pancasila sejati yang taat kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung keadilan, memiliki kejujuran serta bertanggung jawab.
c. Untuk menumbuhkan wawasan berfikir integralistik, menjunjung tinggi nilai filosofis
dari pancasila serta mampu menerapkan metode ilmiah mempelajari
norma-norma/kaidah dan nilai-nilai yang digali dari pancasila.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat adalah berpikir
secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sedangkan Pancasila sebagai sistem filsafat adalah
suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama antara sila yang
satu dengan sila yang lain untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan yang utuh yang mempunyai beberapa inti sila, nilai dan landasan yang mendasar.
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan
konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu
sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam
dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:
1. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan kata
lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah
maka itu bukan Pancasila.
2. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan
sebagai berikut:
Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4 dan 5;
Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5;
Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan menjiwai sila 5;
Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.
Inti sila-sila Pancasila meliputi:
Tuhan, yaitu sebagai kausa prima.
Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial.
Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri.
Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong.
Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
B. Saran
17
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran
yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
18
Tim Dosen Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Hasanuddin. 2010.
Pendidikan Kewarganegaraan. UPT MKU UNHAS: Makassar.
Darmodiharjo, Darji. 1996. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Fukuyama, F. 1989. The End of History, dalam National Interest, No.16. Dikutip dari
Modernity and Its Future. Polity Press: Cambridge.
Kaelan. 2005. Filsafat Pancasila sebagai Filsafat Bangsa Negara Indonesia. Makalah pada
Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan: Jakarta.
Notonagoro. 1971. Pengertian Dasar bagi Implementasi Pancasila untuk ABR1. Departemen
Pertahanan dan Keamanan: Jakarta.
Poespowardoyo, Soeryanto. 1989. Filsafat Pancasila. Gramedia: Jakarta.
Pranarka, A.W.M. 1985. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. CSIS: Jakarta.
Suseno, Franz, Magnis. 1987. Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Modern. PT
Gramedia: Jakarta.
Titus Harold, Marilyn S., Smith, and Richard T. Nolan. 1984. Living Issues Philosophy,
diterjemahkan oleh Rasyidi. Penerbit Bulan Bintang: Jakarta.
http://www.sarjanaku.com/2011/05/pengertian-pancasila.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem
http://liavietri.blogspot.com/2010/02/pengertian-sistem.html
http://sahabatriswanto.blogspot.com/2011/01/tujuan-filsafat-pancasila.html
http://ai-hendriani.blogspot.com/p/t-pancasila-sebagai-sistem-flsafat.html
19
top related