pembahasan makalah agama fix
Post on 23-Oct-2015
47 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ekonomi Islam
Dengan hancurnya komunisme dan sistem ekonomi sosialis pada awal tahun 90-an membuat
sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata, sistem
ekonomi kapitalis membawa akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah
miskin dan negara kaya yang jumlahnya relatif sedikit semakin kaya.
Dengan kata lain, kapitalis gagal meningkatkan harkat hidup orang banyak terutama di negara-
negara berkembang. Bahkan menurut Joseph E. Stiglitz (2006) kegagalan ekonomi Amerika dekade 90-
an karena keserakahan kapitalisme ini.
Ketidakberhasilan secara penuh dari sistem-sistem ekonomi yang ada disebabkan karena
masing-masing sistem ekonomi mempunyai kelemahan atau kekurangan yang lebih besar dibandingkan
dengan kelebihan masing-masing. Kelemahan atau kekurangan dari masing-masing sistem ekonomi
tersebut lebih menonjol ketimbang kelebihannya.
Karena kelemahannya atau kekurangannya lebih menonjol daripada kebaikan itulah yang
menyebabkan muncul pemikiran baru tentang sistem ekonomi terutama dikalangan negara-negara
muslim atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu sistem ekonomi syariah.
Negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim mencoba untuk mewujudkan suatu sistem
ekonomi yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist, yaitu sistem ekonomi Syariah yang telah berhasil
membawa umat muslim pada zaman Rasulullah meningkatkan perekonomian di Zazirah Arab. Dari
pemikiran yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist tersebut, saat ini sedang dikembangkan Ekonomi
Syariah dan Sistem Ekonomi
Syariah di banyak negara Islam termasuk di Indonesia. Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi
Syariah merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi Syariah dan Sistem
Ekonomi Syariah bukan untuk menyaingi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, tetapi
lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk
menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke muka bumi
ini dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan
umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai ekonomi tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat
Muslim tetapi, seluruh umat yang ada di muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat
memenuhi kebutuhan hidup secara melimpah ruah di dunia, tetapi juga dapat memenuhi ketentraman
jiwa sebagai bekal di akhirat nanti. Jadi harus ada keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di
dunia dengan kebutuhan untuk akhirat.
C. Sistem Ekonomi Islam
1. Definisi Ekonomi Islam
Tidak ada definisi ekonomi islam baku yang dapat digunakan sebagai pedoman umum, yang
menjadikan secara pasti perbedaan definisi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional. Beberapa
ekonom muslim berusaha mendefinisikan, tetapi hal itu tidak terlepas dari konteks permasalahan-
permasalahan ekonomi yang mereka hadapi sehingga kesan yang terjadi ada perbedaan dalam
mendefinisikan “ekomomi islam” dari beberapa ekonom muslim sendiri. Oleh karena itu, perbedaan
pendefinisian lebih diartikan sebagai usaha para ekonom muslim untuk menjawab masalah ekonomi
yang ditangkapnya, sesuai dengan Al-Quran dan Hadist.
Muhammad Abdul Mannan mendefinisikan ekonomi islam sebagai upaya untuk
mengoptimalkan nilai islam dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Mannan mengatakan :
Ekonomi islam merupakan ilmu pengetahuan social yang mempelajari masalah-masalah
ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai islam. (Mannan, 1993 : 19)
Definisi Mannan hampir semakna dengan apa yang didefinisikan oleh M. M Metwally.
Metwally menekankan pada usaha dalam mempelajari masalah masyarakat islam dalam memenuhi
kebutuhanya :
Ekonomi islam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang
beriman) dalam suatu masyarakat islam yang mengikuti Al-Quran, Hadist Nabi, Ijma dan
Qiyas. (Metwally, 1995 : 1)
Sementara itu, Hasanuzzaman mengatakan masalah pokok yang ada dalam perekonomian
yang menjadikan masalah besar bagi kehidupan nantinya adalah masalah ketidakadilan atau
distribusi. Hasanuzzaman menyatakan :
Ilmu ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang
mencegah ketidakadilan dalam pemperoleh sumber-sumberdaya material sehingga tercipta
kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat.
(Chapra, 2001 : 121)
Selain itu, ekonomi islam bisa ditinjau dari perilaku orang islam dalam memenuhi
kebutuhanya sehari-hari dari produksi hingga distribusi secara sistematis. Sebagaimana yang
dikatakan Khursid Ahmad :
Ekonomi islam adalah suatu usaha sistematis untuk memahami masalah ekonomi dan perlaku
manusia dalam hubunganya kepada persoalan tersebut menurut perspektif islam. (Chapra, 2001
: 121)
Sedangkan perbedaan masalah ekonomi yang dihadapi manusia disebabkan oleh kegiatan
manusia antar satu dengan yang lain berbeda karena perbedaan geografi, demografi dan ideologi.
Manusia tidak bisa mengefisienkan kegiatan ekonomi dalam satu konsep maka, upaya untuk
mengantisipasi hal tersebut hendaknya dikembalikan pada Al-Quran dan Hadist untuk menemukan
penyelesaian. Hal ini sebagaimana dikatakan Nejatullah Siddiqi :
Bahwa ekonomi islam adalah jawaban dari pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan
ekonomi pada jamannya. Dalam upaya ini mereka dihantui oleh Al-Quran dan As-Sunnah, akal
dan pengalaman. (Chapra, 2001 : 121)
Menurut Arkham Khan, ekonomi islam berarti juga metode mengakomodasi berbagai faktor
ekonomi dengan melibatkan seluruh manusia yang mempunyai potensi yang berbeda guna
melibatkan sumber daya ekonomi yang ada di bumi. Ilmu ekonomi memusatkan pada studi tentang
kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya atas dasar kerjasama
dan partisipasi.
Ilmu ekonomi islam bertujuan untuk melakukan studi terhadap kesejahteraan (falah) manusia
yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber-sumber daya di bumi berdasarkan kerjasama
dan partisipasi. (Chapra, 2001 : 121)
Ekonomi Islam adalah ilmu yang memperlajari kegiatan-kegiatan manusia dalam
perekonomian di segala aspek kehidupan. Ekonomi islam lebih ditekankan sebagai sains yang
bertugas menyibak permasalahan-permasalahan manusia dalam mengimplementasikan ajaran islam
dalam perekonomian, sebagaimana Syed Nawad Haider Naqvi katakan :
Ekonomi islam adalah perwakilan perilaku kaum muslimin dalam suatu masyarakat muslim
tipikal ( Chapra, 2001 :121)
Berbeda dengan apa yang dikemukakan Umer Chapra, ekonomi islam merupakan
representasi Al-Quran dan Al-Hadist yang membangun kehidupan manusia dalam kehidupan yang
lebih baik dari konsep ekonomi manapun. Hal ini terjadi bila kebebasan manusia dalam
menyelenggarakan kebutuhan hidupnya didasarkan pedoman Al-Quran dan Al-Hadist. Definisi
Chapra sebagai berikut :
Ekonomi islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang
seirama dengan maqasid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan
ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan
solidaritas keluarga dan social serta jaringan moral masyarakat. (Chapra, 2001 : 121)
Sejalan dengan definisi Umer Chapra, Louis Cantori menyatakan :
Ekonomi islam pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk memformulasikan suatu ilmu
ekonomi yang berorientasi kepada manusia dan masyarakat yang tidak mengakui individualism
yang berlebih-lebihan sebagaimana dalam ekonomi klasik. (Chapra, 2001 : 121)
Munawar Iqbal menitik beratkan bahwa penyelenggaraan kebutuhan manusia harus
didasarkan pada aturan Al-Quran, dan lebih lanjutnya pedoman teknis dalam melakukan praktek
ekonomi harus merupakan derivasi dari aturan-aturan syariah yang ada dalam Hadist. Iqbal
mengemukakan :
Ekonomi islam adalah sebuah disiplin ilmu yang mempunyai akar dalam syariat islam. Islam
memandang wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling utama. Prinsip-prinsip dasar
yang dicantumkan dalam Al-Quran dan Hadist adalah batu ujian untuk menilai teori-teori baru
berdasarkan doktrin-doktrin ekonomi islam. Dalam hal ini himpunan hadist merupakan sebuah
buku sumber yang sangat berguna. (Rahardjo, 1999 : 22)
3. Prinsi-Prinsip Dasar Sistem Ekonomi Islam
a. Kebebasan Individu
Manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu keputusan yang berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan kebebasan ini manusia dapat bebas
mengoptimalkan potensinya. Kebebasan manusia dalam Islam di dasarkan atas nilai-nilai tauhid
suatu nilai yang membebaskan dari segala sesuatu, kecuali Allah. Nilai tauhid akan membentuk
pribadi manusia yang berani dan kepercayaan diri karena segala sesuatu yang diperlakukan
hanya dipertanggungjawabkan sebagai pribadi di hadapan Allah. Firman Allah dalam surah An-
Nissa’ (4) ayat 85.
“Barang siapa memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian
(pahala) dari padanya. Dan barang siapa yang memberi syafa’at buruk, niscaya ia akan
memikul bagian (dosa) dari padanya”
Tidak ada sesuatu apapun yang bisa membantu dirinya, kecuali dirinya sendiri. Dalam
surah Al-Muddastsir (74) ayat 38, Allah berfirman:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”
Kebebasan manusia sebagai seorang hamba Allah merupakan modal utama bagi
seorang muslim untuk membentuk kehidupan ekonomi yang Islami. Tanpa kebebasan tersebut
seorang muslim tidak dapat melaksanakan kewajiban mendasar sebagai seorang khalifah.
b. Hak Terhadap Harta
Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta. Hak pemilikan harta hanya
diperoleh dengan cara-cara sesuai dengan ketentuan Islam yang didasarkan atas kemaslahatan
masyarakat sehingga keberadaan harta akan menimbulkan sikap saling menghargai dan
menghormati. Hal ini dikarenakan harta hanyalah titipan Allah semata.
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu. Dan janganlah membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (QS An-Nissa’ (4) : 29)
c. Ketidaksamaan Ekonomi dalam Batas yang Wajar
Islam mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi antar orang perorangan. Dalam hal
ini menentukan kehidupan manusia untuk lebih bisa memahami keberadaan dirinya sebagai
manusia yang satu dengan yang lain telah didesain oleh Allah untuk saling memberi dan
menerima.
Islam tidak mengajurkan kesamaan ekonomi, tetapi ia mendukung kesamaan sosial,
Islam tidak mengajurkan adanya perbedaan pemberlakuan antara sesamanya, satu dengan yang
lain mempunyai hak dan kewajiban ekonomi sama dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Kesamaan sosial ini membentuk keharmonisan dalam kehidupan manusia. Tetapi tetap ada
perbedaan dalam kekayaannya. Tetapi kekayaan yang didapatnya jangan sampai hanya dipakai
sendiri saja. Seperti yang dijelaskan di QS Al-Hasyr (59) ayat 7:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”
Demikian juga kekayaan diberikan satu dengan yang lain berbeda manusia dianjurkan
tidak iri, seperti firman Allah di QS An-Nissa’ (4) ayat 32 berikut:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian
kamu lebih banyak dari sebagian yang lain”
Manusia juga dianjurkan untuk bersikap adil dalam memenuhi hajat hidup
masyarakat, seperti yang tertera di QS Al-Araf (7) ayat 29:
“Katakanlah Tuhanku menyukai keadilan”
d. Jaminan Sosial
Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah negara dan setiap warga
negara dijamin memperoleh kebutuhan pokoknya masing-masing. Memang menjadi tugas utama
bagi negara untuk menjamin warga negaranya, dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan
prinsip hak untuk hidup. Allah berfirman di QS adz-Dzaariyaat (51) ayat 19:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian”
Dalam sistem ekonomi Islam negara mempunyai tanggung jawab untuk
mengalokasikan sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan rakyat secara umum. Islam
memperhatikan masalah pengelolaan harta melalui pengaturan zakat, infaq, shodakoh, dan
sebagainya sebagai sarana untuk mendapatkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.
e. Distribusi Kekayaan
Islam mencegah penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat dan
menganjurkan distribusi kekayaan kepada semua lapisan masyarakat. Antara satu orang dengan
orang lain sudah mempunyai batas rejeki yang telah ditentukan oleh Allah, maka usaha untuk
melakukan tindakan diluar jalan syariah merupakan perbuatan dzalim, seperti firman Allah di
QS Al-Baqarah (2) ayat 188:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil. . .”
f. Larangan Menumpuk Kekayaan
Sistem ekonomi Islam melarang individu mengumpulkan harta kekayaan secara
berlebihan. Seorang muslim berkewajiban mencegah dirinya dan masyarakat supaya tidak
berlebihan dalam pemilikan harta, seperti firman Allah QS Al-Maidah (5) ayat 87:
“Hai orang-orang beriman janganlah kamu haramkan yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang melampaui batas”
Sikap sederhana dalam memiliki harta materi merupakan sikap manusia yang sehat.
Allah berfirman di QS Al-Maidah (5) ayat 90:
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”
g. Kesejahteraan Individu dan Masyarakat
Islam mengakui kehidupan individu dan masyarakat saling berkaitan antara satu
dengan yang lain. Masyarakat akan menjadi faktor dominan dalam bentuk sikap individu
sehingga karakter individu banyak dipengaruhi oleh karakter masyarakat, demikian juga
sebaliknya.
Dalam Islam hubungan individu dan masyarakat ini berpengaruh besar untuk
membangun beradaban manusia di massa depan. Untuk itu mendapatkan peradaban yang baik
dalam membangun masyarakat, seperti firman Allah pada QS Al-Maidah (5) ayat 2:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah sesungguhnya Allah amat berat siksanya”
4. Nilai-Nilai Instrumental Sistem Ekonomi Islam
Tiap sistim ekonomi, menurut aliran pemikiran dan agama tertentu, memiliki nilai
instrumental tersendiri. Menurut Ahmad M.Syaefudin (A.M.Syaefudin,1984:66) dalam sistim
kapitalis nilai instrumentalnya adalah persaingan sempurna, kebebasan keluar masuk pasar tanpa
restriksi, bentuk pasar yang atomistic dan monopolistic. Dalam sistem Marxis nilai instrumentalnya
adalah perencanaan ekonomi yang bersifat sentral dan mekanistik, kepemilikan factor produksi oleh
kaum proletar secara kolektif. Dalam Sistem Ekonomi Islam, ada lima nilai instrumental yang
strategis yang mempengaruhi tingkah laku orang muslim, masyarakat dan pembangunan ekonomi
pada umumnya. Nilai-nilai instrumental tersebut adalah:
a. Zakat
Zakat merupakan salah satu dari lima nilai instrumental yang strategis dan sangat
berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi
umumnya. Tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi
mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan.
Salah satu yang menunjang kesejahteraan hidup di dunia dan menunjang hidup di akherat
adalah adanya kesejahteraan sosial-ekonomi. Ini merupakan seperangkat alternatif untuk
mensejahterakan umat Islam dari kemiskinan dan kemelaratan. Untuk itu perlu dibentuk
lembaga-lembaga sosial Islam sebagai upaya untuk menanggulangi masalah sosial tersebut.
Sehubungan dengan hal itu, maka zakat dapat berfungsi sebagai salah satu sumber dana
sosial-ekonomi bagi umat Islam. Artinya pendayagunaan zakat yang dikelola oleh Badan Amil
Zakat tidak hanya terbatas pada kegiatan- kegiatan tertentu saja yang berdasarkan pada orientasi
konvensional, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi umat, seperti
dalam program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan zakat produktif
kepada mereka yang memerlukan sebagai modal usaha.
Zakat memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan atau
pembangunan ekonomi. Berbeda dengan sumber keuangan untuk pembangunan yang lain, zakat
tidak memiliki dampak balik apapun kecuali ridha dan mengharap pahala dari Allah semata.
Namun demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak ada sistem kontrolnya. Nilai strategis
zakat dapat dilihat melalui:
(1) zakat merupakan panggilan agama. Ia merupakan cerminan dari keimanan seseorang.
(2) sumber keuangan zakat tidak akan pernah berhenti. Artinya orang yang membayar zakat,
tidak akan pernah habis dan yang telah membayar setiap tahun atau periode waktu yang
lain akan terus membayar.
(3) zakat secara empirik dapat menghapus kesenjangan sosial dan sebaliknya dapat
menciptakan redistribusi aset dan pemerataan pembangunan.
b. Pelarangan Riba
Dalam al-quran surat al-Baqara(2) ayat 275,276,278 dengan tegas dan jelas Allah
menyebut larangan riba. Larangan serupa juga ditemui pada al-Quran surah 3:130 dan surah 30
ayat 39.Di dalam surah –surah tersebut Allah dengan tegas melarang riba, walaupun
diungkapkan dengan berbagai macam cara yang berbeda. Dalam kepustakaan ekonomi Islam
disebutkan berbagai macam riba, namun dalam bab ini yang sangat relevan untuk dibicarakan
adalah Riba nasiah. Riba nasiah adalah riba dalam bentuk tambahan tambahan yang terjadi
dalam hutang-piutang berjangka waktu sebagai imbalan jangka waktu tersebut. Riba ini disebut
juga riba jahiliyah, karena dulu sering dilakukan di zaman jahiliyah. Riba nasiah dilarang karena
mengandung unsure eksploitasi manusia atas manusia. Kalau dikaji dengan teliti, riba nasiah ini
menghilangkan unsur tolong-menolong antar sesama.
Riba nasiyah ini mirip sekali dengan bunga yang dibebankan oleh bank. Banyak sekali
hli ahli dalam ekonomi yang menyatakan pendapat yang berbeda tentang kedua hal tersebut, ada
yang mengatakan bahwa bunga bank adalah haram,karena sama dengan riba nasiyah.Ada pula
yang mengatakan bahwa bunga bank ini adalah halal karena dipergunakan untuk kepentingan
umum. Oleh karena banyaknya perbedaan pendapat tersebut,untuk membedakanya,Bank
Pengmbangan Islam yang mulai berjalan sejak 20 Oktober 1975 mengganti istilah intrest
menjadi administration fee, yakni biaya yang dipergunakan untuk menggaji karyawan, dan
keperluan lain lain yang berhubungan dengan kegiatan bank tersebut.
c. Kerjasama Ekonomi
Kerjasama (cooperative) dalam ekonomi Islam adalah merupakan kontra dari kompetisi
bebas dari ekonomi kapitalis dan kediktatoran ekonomi sosialis. Doktrin kerjasama dalam
ekonomi Islam dapat meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kesenjangan sosial, mencegah
penindasan ekonomi dan distribusi kekayaan yang tidak merata, melindungi kepentingan
ekonomi lemah. Dengan ekonomi yang berdasarkan kerjasama ini menghendaki organisasi
dengan prinsip syirkah, yang kuat membantu yang lemah. Qiradh atau syirkah dalam Islam jelas
berbeda dengan ekonomi non-Islami yang individualistis yang mengajarkan konflik antar
pesaing dan memenangkan yang terkuat, sehingga melahirkan usaha untuk memupuk kekayaan,
pemusatan kekayaan, pemusatan kekuatan dan ketidakadilan ekonomi, pertentangan antar kelas
dan akhirnya kejatuhan bangsa dan kebudayaan.
Kerjasama atau cooperation merupakan bentuk lain dari organiasi bisnis yang
berorientasi pada jasa yang dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi realisasi tujuan-
tujuan ekonomi. Kerjasama adalah gabungan individualisme dan kepedulian sosial yang terjalin
erat, yang bekerja demi kesejahteraan orang lain, sehingga memberikan harapan bagi
pengembangan daya guna seseorang.
Prinsip kerjasama dalam Islam terdapat dalam Qur`an Surat : al-Maidah ayat 2:
�ُع�ْد�َو�اِن� َو�اْل � �ِم �ْث �ِإل ا َع�َل�ى �وا �ُع�اَو�ُن �َت َو�َال �ْق�و�ى َو�اْلَّت �ِّر� �ِب اْل َع�َل�ى �وا �ُع�اَو�ُن َو�َت
�ُع�ْق�اِب� اْل ْد�يْد� َش� اْلَلَه� �ِن� ِإ اْلَلَه� �ْق�وا َو�اَت
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5:2)
Bentuk-bentuk Kerjasama (Kemitraan)
1. Kerjasama dalam Perdagangan (as-Syirkah/kemitraan usaha)
Syirkah secara etimologi berarti, “percampuran/penggabungan dua hal atau lebih, sehingga
didalamnya tidak bisa dibeda-bedakan lagi”. Sedangkan secara istilah ekonomi berarti,
“kerjasama antara dua belah oihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan konstribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan”.
Dalam hal ini Syirkah terbagi pada lima macam, yakni;
a. Syirkah ‘Inan, dimana para pihak yang terlibat didalamnya mempunyai posisi dan komposisi
yang sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, keuntungan, bahkan resiko.
b. Syirkah Mufawwadhah, dimana para pihak yang terlibat mempunyai posisi dan komposisi
yang berbeda, baik modal, pekerjaan, keuntungan dan resiko, sesuai dengan kesepakatan.
c. Syirkah Wujuh, dimana para pihak yang bersekutu didalamnya sama-sama tidak
mengeluarkan modal, tetapi hanya menjalankan usaha milik pihak lain. Dengan keuntungan
dibagi diantara mereka berdasarkan kesepakatan.
d. Syirkah Abdan, dimana dua orang yang berserikat menerima dan melakukan suatu
pekerjaan,yang hasil atau imbalannya dibagi diantara meeka sesuai kesepekatan juga.
e. Syirkah Mudharabah, (kemitraan modal) dimana para pihak yang terlibat dalam suatu
pekerjaan bersekutu dengan pemilik modal sebagai pengelola usahanya, yang keuntungannya
dibagi sesuai dengan kesepakatan mereka bersama, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik
modal.
2. Kerjasama dalam Pertanian
a. Al-Muzara’ah. Yakni penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan
hasilnya dibagi dua.
b. Al-Musaqah. Yakni kerjasama antara pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan
agar kebun tersebut dipelihara dan dirawat. Bila kebun tersebut bisa dipanen, maka hasilnya
dibagi pada upah dan keuntungan masing-masing pihak
d. Jaminan Sosial
Tujuan dari jaminan sosial adalah untuk menjamin tingkat dan kualitas hidup yang
minimum bagi seluruh lapisan masyarakat. Jaminan sosial secara tradisional berkonotasi dengan
pengeluaran sosial baik untuk kepentingan Negara ataupun untuk kebajikan humanis dan tujuan
bermanfaat lainnya menurut syariat Islam. Nilai jaminan sosial akan mendekatkan manusia
kepada Allah dan karunia-Nya, membuat manusia bersih dan berkembang, menghilangkan sifat
tamak, sifat mementingkan diri sendiri, dan hambatan-hambatan terhadap stabilitas dan
pertumbuhan sosio-ekonomi. Jaminan sosial akan membuat manusia lebih siap memasuki hari
perhitungan karena telah mnejual dirinya untuk mencari kenikmatan Illahi. Pengeluaran sosial
manusia dalam Islam akan memperoleh imbalan nyata dalam kehidupan didunia dan akhirat.
e. Peran Negara
Peran negara pada umumnya,sangat menentukan dalam pelaksanaan nilai-nilai sistem
Ekonomi Islam. Dalam hal ini negara berperan sebagai pemilik manfaat sumber-sumber,
produsen, distributor dan sekaligus sebagai lembaga pengawasan kehidupan ekonomi (lembaga
hisbah). Dalam peran ini diperlukan sekali aspek hukum, perencanaan,pengawasan alokasi,
distribusi sumberdaya dan Sdana,pemerataan pendapatan dan kekayaan,serata pertumbuhan
dan stabilitas ekonomi.
5. Nilai Filosofis Sistem Ekonomi Islam
a. Sistem ekonomi Islam bersifat terikat yakni nilai.
b. Sistem ekonomi Islam bersifat dinamik, dalam arti penelitian dan pengembangannya
berlangsung terus-menerus.
D. Dasar-Dasar Ekonomi Islam
1. Bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera baik di dunia dan di akhirat,tercapainya
pemuasan optimal berbagai kebutuhan baik jasmani maupun rohani secara seimbang, baik
perorangan maupun masyarakat. Dan untuk itu alat pemuas dicapai secara optimal dengan
pengorbanan tanpa pemborosan dan kelestarian alam tetap terjaga.
2. Hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-
hal yang halal pula.
3. Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya terlentar.
4. Dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin yang selalu meminta, oleh karena itu harus
dinafkahkan sehingga dicapai pembagian rizki.
5. Pada batas tertentu, hak milik relatif tersebut dikenakan zakat.
6. Perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang.
7. Tiada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama dan yang menjadi ukuran perbedaan adalah
prestasi kerja.
E. Landasan Hukum
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kallam Allah, yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang ditulis di mushaf, agar menjadi hujjah bagi Rasulullah bahwa dia adalah
utusan Allah dan menjadi undang-undang dasar bagi orang yang mendapat petunjuk Allah.
a. Ayat tentang pengelolaan harta
Manusia dilarang menggunakan harta pada hal-hal yang merugikan sesamanya dan pada hal
yang kurang bermanfaat:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim,sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuhnya perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala” (QS.An-Nisaa (4):10)
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu ke
hakim,supaya kamu memakan sebagian dan harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa,padahal kamu mengetahui.” (QS.Al-Baqarah (2):188)
Jika manusia telah mendapatkan rezeki,wajib berzakat untuk memberikan berjah demi
kemashlatan:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan
orang miskin yang tidak dapat bagian” (QS.Adz-Dzariat (51):19)
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu; bagi orang (miskin)
yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”
(QS.Al-Ma’arij (70): 24-25)
b. Ayat tentang perdagangan
Manusia dalam mencari rezeki harus memperhatikan kehendak sesama,tidak saling memaksa
dan atas dasar suka sama suka:
“Hai orang-oran yang beriman,janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil,kecuali dengan jalan prniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu” (QS.An-Nisa (4):29)
Manusia juga harus adil dan jujur dalam berdagang:
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu” (QS.Ar-Rahman (55):9)
2. Hadits
Al-Hadits adalah berita yang berasal dari Nabi. Bisa dalam wujud qauliyah (perkataan),
fi’liyah (perbuatan) dan taqrir (persetujuan terhadap perkataan orang lain)
a. Hadits tentang riba
“Sesungguhnya riba itu bias terjadi pada jual beli secara utang (kredit)” (HR.Bukhari
Muslim dan Ahmad)
Dari Jubair ra,Rasulullah SAW mencela penerima dan pembayar bunga,orang yan mencatat
beguitu pula orang yang menyaksikan. Beliau bersbda; “Mereka semua sama-sama berada
dalam dosa” (HR,Muslim,Tirmizi dan Ahmad)
Dari Ubada bin Sami ra, Nabi bersabda; “Emas untuk emas,perak untuk perak,gandum
untun gandum.Barang siapa membayar lebih atau menerima lebih dia telah berbuat
riba,pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa)” (HR.Muslim dan Ahmad)
b. Hadits tentang utang
“Sebaik-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar utang” (HR.Muslim)
“Barang siapa member kesempatan kepada si pengutang yang dalam kesulitan untuk
mengundurkan waktu pelunasan utangnya,atau meringankan perhitungan baginya, maka
Allah akan menaungi dibawah naungan ‘arsy-Nya kelak pada hari ketika tak ada naungan
selain naungan-Nya” (HR.Muslim)
“Barang siapa berutang sedangkan ia benar-benar berniat aka melunasinya, maka Allah
akan menugaskan sekelompok malaikat untuk menjaganya dan mendoakan baginya
sehingga ia dapat melunasinya” (HR.Ahmad dri Aisyah)
3. Ijtihad
Ijtihad adalah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-
dalil syara’ secara terperinci yang bersifat operasional dengan cara istimbat (mengambil kesimpulan
hukum)
Ijtihad dapat digunakan dalam peristiwa-peristiwa tertentu,antara lain :
a. Peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang dzanniyu-wurud (hadits-hadits ahad) dan
dzanniyuddalalah ( nash Al-Qur’an dan Al-Haits yang masih dapat ditafsirkan dan di
ta’wilkan)
b. Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nash-nya sama sekali.Seorang mujtahid hendak
menetapkan hukumnya dengan perantara qiyas,istihsan,istihsab,urf dan mashlaha Al-
mursalah.
4. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah terhadap
hukum syar’i pada suatu peristiwa. Ijma’ dapat dibagi menjadi dua, yakni :
a. Ijma’ Sharih (ijma’ hakiki), yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu
peristiwa. Masing-masing mujtahid bebas mengeluarkan pendapat dan dijadikan sebagai
sumber hukum syariat.
b. Ijma’ Sukuti (ijma’ I’tibari), yaitu sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan
pendapatnya dengan fatwa dan sebagian lagi berdiam diri yang berarti dia menyetujui
pendapat tersebut. Ijma’ ini merupakan sumber hukum yang kedudukannya relatif.
5. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa
yang terdapat nash bagi hukumnya.
Macam-macam qiyas :
a. Qiyas Aula, yaitu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan
(mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya
(mushaqbih).
b. Qiyas Musawi, yaitu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukumnya
yang terdapat pada mulhaq-nya adalah sama dengan yang terdapat pada mulhaqbih.
c. Qiyas Dalalah, yaitu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi
tida mewajibkan hukum kepadanya.
d. Qiyas Syibhi, yaitu qiyas yang mulhaq-nya dapat di qiyaskan kepada dua mulhaqbih yang
mengandung banyak persamaan dengan mulhaq.
6. Al ‘Urf (kebiasaan)
Urf adalah apa yang saling diketahui dan saling dijalani orang secara terus-menerus, baik
perkataan maupun perbuatan.
Macam-macam ‘urf :
a. Urf Shahih, yaitu adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan
dengan dalil syara’, tidak mengharamkan yang halal dan tidak membatalkan yang wajib.
Contoh: adat kebiasaan membayar mahar.
b. Urf Fasid, yaitu adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berlawanan dengan
ketentuan syariat, karena membawa kepada menghalalkan yang haram dan
7. Al-Istihsan
Istihsan adalah menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut syara’,pengertia dibagi
menjadi dua :
a. Menutamakan qiyas Khaffi (yang tersembunyi) dari qiyas Jalli (jelas) berdasarkan dalil
b. Mengecualikan Juz’iah (menyangkut kebutuhan manusia) dari hukum Kully berdasarkan
dalil
8. Al-Istishlah
Istishlah adalah menetapkan hukum suatu peristiwa hukumyang tidak disebut nash dan
ijma’,berlandaskan pada pemeliharaan mashlahat yang tidak ada dalil dari syara’ yang
menunjukkan diakui atau ditolak.
9. Al-Istishhab
Istishhab artinya pelajaran yang diambil dari sahabat Rasullullah SAW. Menurut para
ulama ushul,yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya,sampai adanya
dalil untuk mengubah keadaan itu.
10. Mashlahatul Al-Mursalah
Mashlahatul Al-Mursalah artinya yang mutlak. Disebut mutlak karena tidak ada dalil
yang menyatakan benar dan salah.
F. Masalah Ekonomi Islam
1. Dominasi Literatur Ekonomi Konvensial
Dominasi ekonomi konvensional saat ini mempengaruhi anggapan masyarakat bahwa tidak
ada ilmu ekonomi yang mampu menjawab masalah-masalah aktual kecuali ekonomi konvensional.
Hal ini menjadikan justifikasi bagi masyarakat untuk mengesampingkan ide dari pengetahuan lain,
seperti ekonomi Islam. Hal ini diakibatkan adanya hegemoni “literatur” ekonomi konvensiaonal
terhadap ekonomi Islam, sehingga setiap perilaku kita tidak lepas dari representasi ekonomi
konvensional, baik dari unsur budaya atau politik yang terakselerasi lewat produk-produknya.
Tidak terasa hal ini membangun “keyakinan dan kebenaran” ekonomi konvensional dalam
ruang bawah sadar masyarakat. Dengan legitimasi keyakinan ini masyarakat berbondong-bondong
mengonsumsi produk ekonomi konvensional.
2. Praktek Ekonomi Konvensional Lebih Dahulu Dikenal
Praktek sistem ekonomi konvensional lebih dahulu dikenal oleh masyarakat. Masyarakat
bersentuhan langsung dengan sistem ekonomi konvensional, di berbagai bidang, produksi,
konsumsi dan yang lainnya. Sehingga pemahaman baru sulit diterima masyarakat yang lebih dulu
bersentuhan dengan sistem ekonomi konvensional.
Konsep ekonomi Islam cenderung ditanggapi secara antipati oleh beberapa kalangan yang
menganggap sebagian produk ekonomi Islam kurang bisa diterima, misalnya riba. Hal ini juga
kurangnya sosialisasi konsep ekonomi Islam, sehingga masyarakat belum jauh mengetahui
keseluruhan konsep ekonomi Islam.
3. Tiada Representasi Ideal Negara yang Menggunakan Sistem Ekonomi Islam
Di beberapa negara yang menggunakan Islam sebagai pedoman dasar kenegaraannya
ternyata tidak menunjukkan kemakmuran, terkadang termasuk miskin. Ketentuan ekonomi Islam
tidak sama diterapkan di masing-masing negara, tergantung konteks permasalahan tiap negara.
Bahkan, dalam sistem ekonomi dunia, ekonomi Islam kurang diakui sebagai sistem ekonomi
negara-negara Islam, yang notabene memiliki dasar hukum Islam.
Selain itu praktek ekonomi Islam tidak tergantung dari sistem hukum dalam negara tertentu.
Pada dasarnya manusia yang beriman implementasi dalam penyelenggaraan kebutuhan hidupnya
diilhami nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits.
4. Pengetahuan Sejarah pemikiran Ekonomi Islam Kurang
Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan pengetahuan Eropa tidak lepas dari peranan
pengetahuan Islam. Masa transformasi pengetahuan yang terjadi pada abad pertengahan kurang
dikenal masyarakat. Tokoh-tokoh Eropa lebih terkenal di telinga masyarakat seperti Adam Smith,
Robert Malthus, David Ricardo, dibandingkan dengan tokoh-tokoh ekonomi Islam seperti Abu
Yusuf, Ibnu Ubaid, Ibnu Taimiyah, dan lainnya.
.Untuk dapat memanfaatkan harta dengan baik,seseorang bisa menyalurkannya melalui
lembaga-lembaga yang telah ditentukan,antara lain :
1. Shadaqah
Shodaqah atau sedekah adalah pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain, terutama kepada orang-orang miskin,di setiap kesempatan terbuka yang
tidak ditentukan baik jenis, jumlah maupun waktunya. Lembaga sedekah sangat digalakkan
oleh ajaran islam untuk menanamkan jiwa sosial dan mengurangi penderitaan orang lain.
Sedekah tidak terbatas pada pemberian yang bersifat material saja, tetapi juga dapat berupa
jasa yang bermanfaat bagi orang lain. Bahkan senyum yang dilakukan dengan ikhlas untuk
menyenangkan orang lain, termasuk dalam kategori sedekah. Landasan hokum tentang
sedekah disebut dalam Al-Qur’an surah 2:195, 2:263, 2:264, 2:276, 9:58, 9:60, 9:79, 9:104,
58:13
2. Infaq
Infaq adalah pengeluaran sukarela yang dilakukan seseorang, setiap kali ia
memperoleh rezeki, sebanyak yang dikehendakinya sendiri.
3. Hibah
Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk
kepentingan imbalan. Dasar hukumnya terdapat dalam Al-Qur’an surah 3:38, 2:177, dan
beberapa hadits Nabi. Ada beberapa rukun hibah yang harus ada, agar hibah menjadi sah,
antara lain :
a. Pemberi hibah adalah pemilik sah barang yang dihibahkan dan pada waktu pemberian
diberikan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
b. Penerima hibah adalah setiap orang, baik perorangan maupun badan hukum.
c. Perbuatan menghibahkan itu diiringi dengan ijab Kabul, yakni serah terima antara
pemberi dan penerima.
d. Benda yang dihibahkan dapatterdiri dari segala macam barang, baik bergerak maupun
tidak bergerak. Bahkan manfaat atau hasil suatu barang dapat dihibahkan juga.
Hibah juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain :
a. Pemberi hibah harus orang dewasa, yang cakap melakukan tindakan hukum dan punya
barang yang dihibahkan. Dalam perkembangannya sekarang, tidak hanya orang, tetap
juga badan hokum bahkan Negara dapat menjadi pemberi hibah kepada Negara lain.
b. Barang yang dihibahkan harus mempunyai nilai yang jelas, tidak terikat dengan harta
pemberi hibah.
c. Penerima hibah adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum. Kalau ia masih
dibawah umur, diwakili oleh walinya atau seseorang yang diwasiatkan untuk
menerimanya.
d. Ijab Kabul merupakan syarat sahnya suatu hibah
e. Hibah tidak dapat dibatalkan, kecuali hibah yang dilakukan oleh seorang ayah kepada
anaknya selama barang itu belum dikuasai oleh pihak ketiga.
f. Hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali hibah itu
akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal denikian, perlu ada
batas maksimal hibah tidak melebihi sepertiga harta peninggalan.
g. Hibah dapat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
Namun untuk kepastian hukum, sebaiknya pelaksanaannya dilakukan secara tertulis
sesuai dengan anjuran Al-Qur’an dalam surah 2:282 dan 283.
Hibah juga mempunyai fungsi, yaitu :
a. Menjembatani kesenjangan antara golongan yang mampu dan tidak mampu
b. Sarana mewujudkan keadilan sosial
c. Upaya untuk menolong golongan lemah
Hikmah dari hibah, yaitu :
a. Menghidupkan rasa kebersamaan dan tolong-menolong
b. Menumbuhkan sifat sosial dan kedermawanan
c. Mendorong manusia berbuat baik
d. Menjalin hubungan antar sesama manusia
e. Salah satu cara pemerataan rezeki atau pendapatan
(Moh.Daud Ali, 1985 : 6-24)
4. Qurban
Qurban adalah penyembelihan hewan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan
sesama manusia dalam lingkungan kehidupan selama tiga hari sesudah sholat Idul Adha.
Menurut ajaran islam kesediaan berqurban merupakan lamban ketakwaan seseorang kepada
Tuhan (Q.S. 108: 1-2). Tradisi berqurban merupakan salah satu lembaga pemanfaatan harta
kekayaanuntuk memenuhi perintah Allah dan sangat dianjurkan kepada mereka yang mampu
melakukannya. Yang dapat dijadikan qurban adalah berbagai jenis hewan dengan syarat
tertentu (misal sapi, kambing, unta, kerbau, dan lain-lain). Dagingnya sebagian dibagikan
kepada fakir miskin sebagian lagi dapat dinikmati oleh orang yang berqurban.
Hikmah dari berqurban antara lain :
a. Membina rasa kasih saying, saling membantu antar sesame manusia
b. Sarana pendidikan ketulus-ikhlasan dalam melaksanakan perintah Tuhan
c. Cara untuk mendekatkan diri pada Allah dan sesama manusia dalam pergaulan hidup
5. Zakat
Zakat merupakan rukun islam yang ketiga. Zakat adalah bagian dari harta yang wajib
diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu, dengan
syarat-syarat tertentu pula. Harta yang dikeluarkan akan membersihkan semua harta yang
dizakati dan memelihara pertumbuhannya. Zakat disebut dalam Al-Qur’an antara lain dalam
surah 2:43, 2:177, 2:277, 5:55, 19:13, 22:41, 23:4, 30:39, 33:33, 73:20, 98:5.
Zakat dapat dibedakan menjadi dua, antara lain :
a. Zakat Mal atau Zakat Harta
Zakat mal adalah bagian dari harta seseorang atau badan hukum yang wajib
dikeluarkan untuk golongan orang-orang tertentu setelah dipunyai selama jangka waktu
tertentu dalam jumlah minimal tertentu pula. Kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya
itu adalah :
emas,perak dan uang
binatang ternak
barang dagangan
barang tambang dan barang hasil temuan
hasil bumi dan hasil laut serta hasil jasa seseorang
Masing-masing golongan harta kekayaan ini berbeda-beda nisab (jumlah
minimum harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya), haul (jangka waktu yang
ditentukan bila seseorang wajib mengeluarkan zakat), dan kadar zakatnya (ukuran
besarnya zakat yang harus dikeluarkan). Di dalam Al-Qur’an surah 9 ayat 60, Tuhan
menyebut delapan golongan oranng-orang yang berhak menerima zakat, antara lain :
(1) Fakir, yaitu orang yang tidak mempunyai pekerjaan sehingga tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya
(2) Miskin, yaitu orang yang mempunyai pekerjaan tetapi belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya
(3) Amil, yaitu orang yang mengurus zakat
(4) Muallaf, yaitu orang yang baru masuk islam dan masih lemah imannya
(5) Riqab, yaitu hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan unuk menebus
dirinya supaya menjadi orang merdeka
(6) Gharim, yaitu orang yang berhutang
(7) Sabilillah, yaitu orang yang melakukan sesuatu untuk kepentingan agama dan ajaran
islam
(8) Ibnu Sabil, yaitu orang yang kehabisan biaya atau bekal dalam menempuh perjalanan
yang baik
b. Zakat Fitrah
Zakat Fitrah adalah pengeluaran yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang
mempunyai kelebihan dari nafkah keluarga yang wajarpada malam dan hari raya Idul
Fitri. Banyaknya zakat 2,5 Kg atau 3,5 Liter yang dapat dibayar dengan uang seharga
beras tersebut. Dan kualitas beras tersebut harus sama dengan yang dimakan oleh orang
yang berzakat. Seorang kepala keluarga harus memfitrahi dirinya sendiri dan yang
menjadi tanggungannya, seperti anak, istri, orang tua bahkan pembantunya. Pengeluaran
zakat fitrah boleh dilakukan sejak permulaan bulan ramadhan. Namun yang paling utama
adalah pada malam idul fitri dan selambat-lambatnya sebelum pelaksanaan sholat idul
fitri.
6. Waqaf
Wakaf artinya menahan, yakni menahan suatu benda yang kekal zatnya untuk diambil
manfaatnya sesuai dengan ajaran islam. Orang yang telah mewakafkan hartanya tidak berhak
lagi atas barang tersebut. Wakaf adalah salah satu lembaga pemanfaatan harta yang sangat
digalakkan dalam ajaran islam, karena pahalanya tidak putus-putus diterima oleh orang yang
melakukannya, selama barang tersebu tidak rusak dan terus dimanfaatkan. Menurut ketentuan
hokum islam, ada beberapa unsur dan syarat yang harus dipenuhi agar wakaf terwujud, yaitu :
a. Ada orang yang mewakafkan hartanya
b. Ada harta yang di wakafkan
c. Ada tujuan yang jelas
d. Ada pernyataan atau ikrar dari orang yang berwakaf
e. Ikrar itu harus diucapkan menurut ketentuan yang berlaku
G. Implementasi Ekonomi Islam
1. Kebangkitan Kembali Ekonomi Islam
Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk
mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali
mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era
tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan
yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak
tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di
berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga
keuangan syariah.
Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400-an lembaga keuangan dan perbankan
yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia
lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah fantastis 15 % setahun. Kinerja bank –
bank Islam cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah
satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan
terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang
terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yanag berpusat di
Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah membuka unit-unit syariah.
Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah
yang mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas
Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard
School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga
populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini Harvard
University sebagai universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan Harvard
University Forum yang membahas tentang ekonomi Islam.
2. Bank Syariah di Indonesia
Di Indonesia, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia.
Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan
syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang
membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang
berakibat pada likuidas, kecuali babk Islam.
Pada November 1997, 16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55
buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan
perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga
simpanan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan
tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank
syari`ah selamat dari negative spread.
Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an
triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa
suntikan obligasi dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.
Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melakukan kebijakan uang
ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku
bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank
konvensional yang mengetatkan kucuran kredit, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan
mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini
terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank
Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih
juga berlangsung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 milyard,
dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat
sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%).
Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam
Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga
memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik
dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah.
Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa
bank yang konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain bank Syariah Mandiri, Bank
IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank
BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi
Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan
Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor riel.
Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat
Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di
mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya,
dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba.
3. Sistem Bagi Hasil
Sebagai dimaklumi bahwa dalam ekonomi kapitalisme, bunga bank (interest rate)
merupakan nadi dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput
dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur
ekonomi negara, hingga perdagangan internasional. Salah satu sebab ketertarikan pasar terhadap
bunga bank adalah kepastian hasil. Sedangkan setiap usaha tidak bisa dipastikan harus berhasil
sejumlah sekian, karena pada kenyataannya, setiap usaha pasti berhadapan dengan resiko yang
mengandung kemungkinan rugi, untung, dan pulang modal. Keuntungan pun bisa besar, sedang
dan kecil. Namun, selama berabad-abad, ekonomi dunia telah didominasi sistem bunga, sehingga
telah mengkristal dalam setiap aktivitas bisnis masyarakat dunia.
Dampak perkembangan yang begitu besar pada sektor moneter jelas menghambat
perkembangan sektor riil. Jika diasumsikan money supply (uang beredar) tetap, maka sistem
kredit dengan bunganya yang ada pada pasar-pasar moneter akan menyedot uang beredar.
Sehingga bukan hanya ketidakstabilan moneter yang terjadi, tetapi juga kemerosotan sektor riil.
Secara global kemerosotan ini akan berpengaruh pada returns yang diperebutkan pada sektor
moneter. Sehingga jika ini terus yang menjadi kecenderungannya, maka wajar sebagian pakar
memprediksi terjadinya krisis ekonomi yang besar, tidak hanya di negara-negara dunia ketiga,
tetapi juga negara-negara maju (negara pemilik modal).
Syari’ah Islam dengan tegas meyakini bahwa bunga bank yang bersifat pre-determined
akan mengeksploitasi perekonomian, cenderung terjadi misalokasi sumber daya dan penumpukan
kekayaan dan kekuasaan pada segelintir orang. Hal ini akan membawa pada ketidakadilan,
ketidakefisienan, dan ketidakstabilan perekonomian. Seperti dikemukakan Umer Chapra (1996),
bungalah yang telah menyebabkan semakin jauh jarak antara pembangunan dan tujuan yang akan
dicapai. Bunga juga merusak tujuan-tujuan yang ingin didapat, pertumbuhan ekonomi,
produktivitas dan stabilitas ekonomi.Bahkan Roy Davies dan Glyn Davies, dalam bukunya A
History of Money from Ancient Times to the Present Day (1996) mengatakan bahwa bunga telah
memberi andil besar dalam lebih dari 20 krisis yang terjadi sepanjang abad 20.
Dalam ekonomi syari’ah, dikotomi sektor moneter dan riil tidak dikenal. Sektor moneter
dalam definisi ekonomi Islam adalah mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil,
sehingga jika menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam adalah
perekonomian riil, khususnya perdagangan. Inilah yang dianjurkan Islam,”Allah menghalalkan
jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba”.(QS.2:275). Jual beli atau perdagangan adalah
kegiatan bisnis sektor riel.
Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian
menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga. Karena sesungguhnya, bagi hasil
sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki kefitrahan untung atau rugi. Tidak seperti
karakteristik bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu positif. Jadi penerapan sistem bagi hasil
pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena memang
kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.
Jadi, solusi ekonomi Islam terhadap bunga (riba) dalam sistim pinjam meminjam dana
yang digunakan untuk berbisnis adalah “Sistim Bagi Hasil” (Profit-Loss Sharing), baik melalui
skim mudharabah atau musyarakah. Dalam kasus pertanian bisa dalam bentuk muzara’ah. Selain
dalam bentuk bagi hasil, solusi Islam untuk menggantikan bunga juga dapat memakai produk jual
beli (bai’), seperti ba’i murabahah, salam dan istishna’.
Secara umum, sistim bagi hasil ini ada yang disebut dengan mudharabah, yaitu bentuk
usaha bisnis yang dilakukan oleh dua pihak dimana dalam menjalankan usaha bisnis ini satu pihak
bertindak sebagai pemodal dan pihak lainnya bertindak sebagai pelaksana bisnis (enterpreneur).
Sementara itu, musyarakah dimaksudkan sebagai suatu bentuk usaha bisnis/syarikat yang
modalnya di biayai oleh semua partai yang terlibat dalam bisnis tersebut. Kedua bentuk bisnis ini,
jauh lebih berkeadilan dibandingkan dengan bentuk bisnis dalam ekonomi konvensional, sebab
apapun keuntungan atau resiko yang terjadi terhadap bisnis ini, ke semua partai yang terlibat
dalam bisnis ini memiliki hak yang sama terhadap hasil usaha yang diperoleh.
Bila bisnis mereka berhasil, maka semua pihak akan menerima keuntungan dan
sebaliknya, bila bisnis mereka bankrut maka kerugianpun harus ditanggung bersama. Jumlah
pembagian keuntungan yang akan diperoleh mereka dalam mudharabah adalah berdasarkan
penjanjian bersama, katakanlah 60% untuk pembagi modal dan sisanya, 40% untuk mereka yang
memenej bisnis.
Namun, bila usaha mudharabah mengalami kerugian, maka pelaksana tidak bertanggung
jawab atas kehilangan modal yang diberikan pemodalnya. Ini tidak berarti para pelaksana tidak
mengalami kerugian apapun, sebab ianya juga dirugikan atas jasa dan jerih payahnya yang
disumbangkan untuk memajukan bisnis mereka. Dengan kata lain, pemodal rugi atas modalnya,
dan pelaksana rugi atas usaha dan jerih payahnya.
Bila kita melihat dalam sistim ekonomi ribawi (bunga), peminjam sudah ditentukan
besarnya jumlah bunga yang harus dibayarkan ke bank dengan tidak mempertimbangkan apakah
dana yang dipinjam itu berhasil dibisniskan atau tidak. Dengan kata lain, berhasil atau tidak bisnis
para peminjam modal, peminjam harus membayar pinjaman plus bunganya. Sedangkan dalam
ekonomi Islam baik dalam bentuk usaha mudharabah mahupun musyarakah, jumlah pembagian
hasil yang diterima belumlah diketahui secara pasti sebelum usaha itu berhasil atau gagal.
Mereka hanya tahu persentase pembagian hasil, tetapi mereka tidak pernah tahu berapa
jumlah pembagian hasil sebenarnya yang akan mareka terima sebelum usaha itu berhasil atau
tidak. Dalam sistim ini, keuntungan dan kerugian adalah menjadi tanggung jawab bersama.
Perbedaan pembagian hasil yang pre-determined (ex-ante) dalam sistim ekonomi ribawi inilah
yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan dalam ekonomi umat sehingga ia dilarang oleh Islam
dibandingkan dengan sistim ekonomi Islam yang pembagian hasilnya berdasarkan post-
determined (ex-post) yang jauh lebih adil dan mensejahterakan umat
top related