pemikiran dan madhhab h{isab ru’yah di indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/bab 4.pdfislam...
Post on 03-May-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
57
BAB IV
PELAKSANAAN H{ISAB dan RU’YAH DI INDONESIA
A. Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesia
Pada dasarnya, persoalan h}isab ru’yah tidak hanya meliputi persoalan
penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini penentuan awal Ramadhan,
Shawal, dan Dhulhijjah).1 Namun karena persoalan penentuan awal bulan
Qamariyah ini lebih mempunyai gereget -lebih berpotensi menimbulkan
perbedaan- maka wajar jika persoalan h}isab ru’yah lebih identik dengan
persoalan awal bulan Qamariyah tersebut daripada persoalan lainnya.
Berpijak pada alur logika tersebut, penulis memfokuskan pembahasan ini
pada pemikiran (h}isab ru’yah) penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal
ini awal Ramadhan dan Shawal).
Akar perbedaan pemikiran h}isab ru’yah di Indonesia pada dasarnya
tidak berbeda dengan akar perbedaan pemikiran para fuqaha’ (terdahulu),
yakni perbedaan pemahaman Al-Qur’an dan hadith-hadits h}isab ru’yah.2
1 Di antara kedua belas bulan Hijriyah yang paling mendapat perhatian umat Islam adalah
Ramadlan, Syawal, Dzulhijjah, sebab di dalamnya terdapat kewajiban berpuasa dan haji atas
umat Islam. Lihat Q.S. al-Baqarah: 185 dan 197. Penetapan awal bulan Hijriyah selain ketiga
bulan tersebut dapat dipakai hisab. Karena dalam hal ini tidak diperlukan ithba>t al-Qad}i. Penetapan bulan ini semata-mata untuk perhitungan waktu, tidak benar-benar untuk
kepentingan ibadah. Baca Imam Abu al-Hayan, Al-ah}r al-Muh}it} Jilid II (Kairo: Beirut, t.th), 62. 2 Secara redaksional, dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang secara tegas menerangkan kewajiban
pemakaian metode penetapan awal bulan Qamariyah. Namun sangat banyak ditemukan hadits-
hadits hisab ru’yah yang secara redaksional berbeda-beda, tetapi esensinya tidak jauh berbeda.
Sebagaimana hadith riwayat Abu Dawud dan Aishah r.a.: ‚Nabi saw sangat memerhatikan
(akhir) bulan sha’ban melebihi bulan-bulan yaang lain kemudian beliau berpuasa karena melihat
(hila>l) Ramadlan. Apabila hila>l terhalang awan, beliau menghitung bilangan bulan menjadi 30
hari, selanjutnya beliau berpuasa.‛ Lihat Abu H{usain Muslim bin al-H{ajjaj, S{ah}ih} Muslim (Kairo: Dar al-Fikr, t.th), 481. Bandingkan Muhammad bin Isma’il al-Bukhari>, Matan al-
58
Hanya saja dalam wacana pemikiran h}isab ru’yah di Indonesia, ragam
pemikirannya lebih majemuk dibanding ragam pemikiran dalam wacana
h}isab ru’yah pada kalangan para fuqaha’ (terdahulu). Hal ini karena
persentuhan Islam sebagai great tradition dengan budaya lokal atau little
tradition yang sering menimbulkan corak budaya tersendiri di luar dugaan.
Dalam konteks ini disebut paham keislaman yang bersifat lokal, seperti
Islam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java.3 Fenomena
semacam inilah yang sering melahirkan pemikiran tersendiri, dalam
pemikiran h}isab ru’yah seperti pemikiran h}isab rukyah oboge atau asapon.4
Pemikiran-pemikiran h}isab ru’yah di Indonesia tersebut di antaranya:
1. Pemikiran H{isab Ru’yah Madhhab Tradisional ‘ala Islam Jawa
Pemikiran ini sering disebut dengan pemikiran aboge yakni cara
penentuan awal Ramadlan, Shawal, dan Dhulhijjah dengan bersandarkan
pada perhitungan tahun Jawa lama (khuruf aboge) dan ru’yah al-Hila>l
(observasi dengan mata telanjang saat tenggelamnya matahari).5
Dalam pemikiran aboge ada beberapa prinsip utama, yakni,
pertama, prinsip penentuan tanggal selain berdasarkan kalender Hindu-
Bukhari (Mesir: Dar Ih}ya’ al-‘Arabiyah, t.th), 327. Bandingkan juga Muhammad ‘Ali bin
Muhammad al-Shaukani>, Nail al-Aut}a>r, Jilid IV (Bierut: Dar al-Fikr, t.th ), 262. 3 Mengenai pemikiran Islam jawanya Geertz dapat dibaca dalam Clifford Geertz, Abangan, santri, priyayi dalam Masyarakat jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).
4 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah (Jakarta: Erlangga, 2002), 82.
5 Menurut penelitian Andy Ahmad Zaelany, bahwa penentuan hari raya lebaran secara tradisional
‘ala Islam jawa sudah dikenal lama oleh masyarakat Jawa. Hampir semua masyarakat
mengenalnya-atau paling tidak mendengarnya- sebagaimana ynag dipraktikkan oleh penduduk
yang tinggal di Dusun Golak, terletak di Desa Genteng Kecamatan Ambarawa Semarang Jawa
Tengah. Hasil penelitian ini dapat dilihat dalam Andy Ahmad Zaelany, Menentukan Hari Lebaran Ala Islam Jawa Kasus Dusun Golak, Ambarawa (Jurnal Ulumul Qur’an, vol. vI, 1996),
62-70.
59
Muslim-Jawa, adalah dina niku tukule enjing lan ditanggal dalu (hari itu
lahirnya pagi dan diberi tanggal malam harinya).
Kedua, bahwa jumlah hari dari bulan puasa menurut cara
perhitungan aboge selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada
cara perhitungan hari falak (versi pemerintah). Adapun istilah aboge
dapat dirinci bahwa a berasal dari alip, salah satu dari delapan tahun
siklus windu, bo mengacu pada rebo (hari Rabu), dan ge berasal dari
wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Ini berarti pada tahun Alip
selalu dimulai pada hari Rabu Wage, dengan mengetahui ini maka akan
dapat menghitung hari jatuh riyaya (hari lebaran) setiap tahun.
Cara yang lebih singkat adalah mengambil hari permulaan tahun (1
Sura) dan menggunakan rumus waljiro. Wal adalah bulan Shawal, ji
berarti tanggal siji (satu), dan ro adalah berarti loro (dua), yaitu hari
pasarannya. Ini berarti bahwa hari lebaran jatuh pada tanggal 1 Shawal
dihitung dengan menghitung satu dari hari mingguan dan dua hari pasaran
pada permulaan tahun. Misalnya, kalau permulaan tahun itu ehe, dan
tanggal satu Sura pada hari Ngahad Pon, maka hari lebaran akan jatuh
pada hari Ngahad wage.6
Ketiga, dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan awal bulan
Shawal digunakan istilah pletek7 yang berarti terbukti atau semua
6 Clifford Greetz, Abangan…510. Dan bandingkan juga dengan Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa (Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1978), 7-10.
7 Istilah pletek disini dapat dikaitkan dengan prinsip yang pertama, yaitu bahwa tanggal dihitung
mulai Maghrib hari itu. Semisal hari lebaran nasional jatuh pada hari Kamis, sekitar pukul 18.00
yang ditandai dengan takbiran dan sesajen. Adapun shalat Id diselenggarakan keesokan harinya,
60
masyarakat telah melihat bulan dengan mata telanjang, sebagaimana
dasar dari hadith-hadith h}isab ru’yah. Sehingga wajar jika pengikut
pemikiran ini memulai puasa atau lebaran selalu setelah satu hari dari
penetapan Pemerintah. Sebagaimana hasil penelitian Andy Ahmad
Zaelany, bahwa pemikiran h}isab ru’yah madhhab tradisional ‘ala Islam
Jawa selama ini sebagaimana yang dipraktikkan di masyarakat Dusun
Golok Desa Genteng Kecamatan Ambarawa Semarang Jawa Tengah.8
Namun jika ditilik dari perjalanan historisnya pemikiran h}isab
ru’yah madhhab tradisional ‘ala Islam Jawa ini ternyata berasal dari
pemikiran h}isab ru’yah (kalender) Saka9 yang diperbaharui oleh Sultan
Agung Hanyokrokusumo,10
yakni disesuaikan dengan perhitungan lunar
(Qamariyah) dan tidak lagi menggunakan sistem perhitungan solar
(Shamsiyah). Peralihan tersebut terjadi pada tanggal 1 Sura tahun Alip
1555 (tahun Jawa) yang bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1633 M yakni
hari jumat Legi.11
Dari tahun 1633 M sampai sekarang, kalender ini sudah
yakni Jumat pagi. Perbedaan ini bisa menjadi dua hari bila bulan Ramadlan hanya 29 hari. Hal
ini karena dalam kalender Hijriyah-Jawa bulan puasa selalu berjumlah 30 hari. Lihat Andy
Ahmad Zaelany, Menentukan Hari Lebaran,...67. 8Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah,...84.
9 Saka secara bahasa Jawa berarti perbuatan, berasal dari kata Sansekerta Syaka yang berarti
bangsa Seyth. Sedangkan menurut kamus Jawa Kuno (Kawi): saka atau sakabda yaang berarti
tahun saka (mulai tahun 76 M oleh Sahwaha), yakni perhitungan menurut perjalanan matahari,
atau dalam arti tahun Hindu yang dimulai bertahtanya Adji Saka. Lihat C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Terj. S. Gunawan (Jakarta: Bratara Karya Aksara, 1985), 93. Bandingkan L.
Wardiwarsito, Kamus Jawa Kuno (Kawi)-Indonesia (Jakarta: Nusa Indah, 1978), 330.
Bandingkan juga S. Prawiro Atmojoyo, Bausastra Jawa-Indonesia, Jilid II (Jakarta: Masagung,
1980), 158-159. 10
Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo adalah Raja pada Kerajaan
Mataram II pada tahun 1613-1645 M, lihat MUI Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalender Islam Sultan Agung adalah Kalender Nasional (Yogyakarta: Offset, 1987), 12.
11 Kartono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam (Yogyakarta:
Aditya Media, 1995), 200.
61
3 kali mengalami penyesuaian, sehingga sampai sekarang kalender ini
sudah mengalami perubahan empat kali dasar permulaan awal tahun,
yakni mulai dengan pemikiran h}isab ru’yah ajumgi (tahun Alip mulai
pada hari Jumat Legi), kemudian akawon (tahun Alip mulai pada hari
Kamis Kliwon), kemudian aboge (tahun Alip mulai pada hari Rabu
Wage), kemudian asapon (tahun Alip mulai pada hari Selasa Pon).12
Metode yang terakhir inilah (pemikiran asapon) yang sampai sekarang ini
dipegang oleh mayoritas umat Islam Jawa (Kejawen) terutama dikalangan
lingkungan Keraton Yogyakarta.13
Dari realita tersebut, tampak bahwa sampai saat ini ternyata tidak
hanya pemikiran aboge saja yang hidup di masyarakat, namun pemikiran
asapon yang notabene merupakan pemikiran h}isab ru’yah madhhab
tradisional yang terbaru juga hidup di masyarakat. Malahan menurut
perhitungan kalender Jawa, pemikiran aboge sudah harus diganti dengan
pemikiran asapon.14 Tetapi dalam dataran realitas ternyata pemikiran
aboge masih berlaku juga dikalangan umat Islam Jawa.
2. Pemikiran H{isab Ru’yah Madhhab Ru’yah
Dalam wacana h}isab ru’yah di Indonesia, Madhhab Ru’yah ini
selalu diidentikkan dengan pemikiran h}isab ru’yah Nahdlatul Ulama.15
12
Prinsip perhitungan kalender Jawa, baik pemikiran ajumgi, akawon, aboge, dan asapon, pada
dasarnya sama, hanya berbeda dalam penentuan awal tahun Alipnya. 13
Tjokorda Ria Sudharta, I Gusti Oka Hermawan, W.Winda Winaban, Kalender 301 Tahun (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 22.
14 H. G. Den Hollander, Beknopt Leerboekje der Cosmografie, Terj. I Made Sugita (Jakarta: J.B.
Wolters Groningen, 1951), 81-83. 15
Hanya karena pemikiran secara institusi yang lebih dikenal dan karena Nahdlatul Ulama
merupakan organisasi kemasyarakatan yang besar di Indonesia, maka pemikirannya menjadi
62
Namun pengidentikan ini kiranya tidak dapat diterima seratus persen
kebenarannya. Karena pada dasarnya dalam Madhhab Ru’yah terdapat
beberapa madhhab kecil yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang
prinsipil, dan Nahdlatul Ulama sendiri termasuk salah satu dari madhhab
kecil tersebut. Madhhab-madhhab kecil tersebut muncul karena adanya
perbedaan pemahaman term ru’yah. Di antaranya dalam hal:16
a. Pemahaman Mat}la’17
Ada pendapat yang menyatakan bahwa h}asil ru’yah disuatu
tempat berlaku untuk seluruh dunia. Hal ini dengan argumentasi bahwa
khit}ab dari hadith-hadith h}isab ru’yah ditujukan pada seluruh umat
Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-
batas daerah kekuasaan. Pemikiran inilah yang terkenal dengan ru’yah
internasional yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriah
Internasiaonal, dimana dalam konteks keindonesiaan diwakili oleh
kelompok Hizbut Tahrir.18
Pendapat lain menyatakan bahwa h}asil ru’yah di suatu tempat
hanya berlaku bagi suatu daerah kekuasaan hakim yang meng-ithba>t-
kan h}asil ru’yah tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan ru’yah fi al-
wila>yah al-h}ukmi sebagaimana pemikiran yang selama ini dipegang
(terkesan) membesar dan mendominasi dalam pemikiran Madhhab Ru’yah, sehinggah
menggelembung dan tersimbolkan sebagai (satu-satunya) Madhhab Ru’yah di Indonesia. 16
B. J. Habibie, Ru’yah Dengan Teknologi (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 14-16. 17
Mat}la’ adalah tempat terbitnya benda-benda langit, dalam bahasa Inggris disebut Rising Place.
Sementara itu dalam istilah falak, mat}la’ adalah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya
hilal atau dengan kata lain mat}la’ adalah batas geografis keberlakuan ru’yah. Susiknan Azhari,
Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 139. 18
Hizbut Tahrir adalah jamaatul Muslimin Hisbullah yang mengampanyekan Daulah Islamiyyah.
Wali al-Fatah, Khila>fah ‘Ala> Minh}a>j al-Nubuwwah (Jakarta: al-Jama’ah, 1990), 83.
63
oleh Nahdlatul Ulama secara institusi. Penulis memberi qayyid
Nahdlatul Ulama secara institusi atau struktural, karena dalam
Nahdlatul Ulama secara kultural terdapat pemikiran yang beragam dan
demokratis.19
Selain itu juga ada pendapat hanya memberlakukan
ru’yah sebatas pada daerah yang dianggap memang memungkinkan
adanya ru’yah tersebut. Dalam konteks keindonesiaan, pemikiran ini
kiranya tidak berkembang, dan kalaupun ada mungkin hanya pada
perorangan saja.
b. Pemahaman Keadilan
Hal ini sebenarnya tidak hanya murni permasalahan ru’yah,
namun juga sangat terkait dengan permasalahan h}isab. Karena
penilaian bahwa seseorang ‚adil‛ dalam hal melihat hila>l sangat
berkaitan dengan perhitungan hisab di mana hila>l itu dilihat. Apa yang
dicontohkan Abdullah Taufik20
dalam kasus 1 shawal 1412, 1413, dan
1424 H merupakan kasus tersebut, dimana laporan ru’yah tidak dapat
diterima karena masih di bawah ufuk21. Kemudian tahun 1418 H juga
19
Sisi demokratisnya tampak dari adanya kebebasan warga NU dalam memegang pemikiran
h}isab ru’yah, sebagaimana banyak pesantren yang notabene basis NU, namun memegang
pemikiran hisab murni, seperti Pondok Pesantren al-Falah Ploso Mojo Kediri. Di samping
memang NU sendiri memberi kebebasan berfikir dalam hal ini, selama tidak difatwakan kepada
masyarakat awam, lihat Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama (Hasil Muktamar dan Munas Ulama ke-1 th. 1926 sampai dengan ke-29 th. 1994), (Surabaya: PP RMI
bekerjasama dengan Dinamika Pres, 1997), 301. 20
Wakil ketua Mahkama Agung dimasa pemerintahan Gus Dur ketika masih menjabat sebagai
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam dalam setiap menyampaikan makalahnya
dalam forum Orientasi Tenaga teknisi H{isab Ru’yah yang diselenggarakan ileh PTA se-Indonesia
selama ini. 21
Ufuk adalah kaki langit (horison), yaitu lingkaran besar yang membagi bola langit menjadi dua
bagian yang sama (bagian langit yang kelihatan dan bagian langit yang tidak kelihatan).
Lingkaran ini menjadi batas pemandangan mata seseorang. Tiap-tiap orang yang berlainan
64
terulang lagi, hanya saja terdapat perbedaan, yakni untuk 1418 pada
waktu itu semua sistem sepakat bahwa pada saat matahari terbenam
tanggal 28 Januari 1998 hila>l awal Shawal sudah wujud (di atas 0-1,5
derajat), tetapi belum imka>n al-Ru’yah (dapat dilihat). Berkaitan
dengan itu, Muker H{isab Ru’yah tahun 1996, 1997, dan 1998 belum
dapat memutuskan awal Syawal 1418 berdasarkan perhitungan yang
ada, dan pada akhir Ramadlan tersebut memang ada laporan ru’yah
dari Bawean dan Cakung, tetapi ditolak oleh Menteri Agama setelah
memerhatikan pendapat sebagian besar peserta sidang ithba>t. Dalam
sidang tersebut, diantara ormas Islam hanya Muhammadiyah yang
meminta supaya laporan kesaksian tersebut diterima, dan yang lain
menolak dengan alasan belum imka>n al-Ru’yah.22
Berangkat dari permasalahan madhhab-madhhab kecil dalam
wacana h}isab ru’yah di Indonesia tersebut, menurut penulis, hal ini
merupakan jelmaan dari ragam pemikiran Madhhab Ru’yah pada
kalangan fuqaha>’ terdahulu.23
3. Pemikiran H{isab Ru’yah Madhhab H{isab
Sebagaimana dalam pemikiran Madhhab Ru’yah, dalam Madhhab
H{isab pun terdapat ragam pemikiran madhhab-madhhab kecil sebagai
tempat, berlainan pula kaki langitnya. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 223.
22 Mengenai keputusan Menteri Agama tentang penetapan 1 Shawal tahun 1412, 1413, 1414, dan
1418 H dapat dilihat dalam Depag, Himpunan Keputusan Menteri Agama tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadlan dan Shawl Tahun 1381-1418 H/1962-1997 M.
23 Mengenai ragam pemikiran Madhhab Ru’yah pada kalangan fuqaha>’ dapat dilihat tuntas dalam
Syihabuddin Ahmad bin H{ajar al-Haitami>, Tuh}fah al-Muhta>j, Jilid III (Kairo: eirut, t.t), 382.
Dan lihat juga Abdul Hamid al-Sharwani>, H{ashiyyah al-Sharwan>ni>, Jilid III (Kaairo: eirut, t.t),
332.
65
dampak dari adanya perbedaan sistem yang dipakai atau yang dipegangi.
Di Indonesia, sistem h}isab yang berkembang pada dasarnya banyak sekali,
hanya saja jika ditilik dari dasar pijakannya, ia terbagi dalam dua macam
yakni hisab ‘urfi24 dan hisab h}aqi>qi>25.
Hisab ‘urfi dalam konteks keindonesiaan diwakili oleh pemikiran
h}isab ru’yah madhhab tradisional ‘ala Islam Jawa yang terekam dalam
sistem aboge dan sistem asapon. Sedangkan hisab h}aqi>qi> dapat dilihat
dari pendirian yang mendasarkan pada ijtima>’, yakni sistem yang
berpendapat bahwa hakikat bulan Qamariyah itu dimulai sejak terjadinya
ijtima>’. Hal ini dalam kalangan pemikir hisab terkenal dengan istilah
ijtima>’ al-Nayyirain ithba>tun baina al-Shahrain, dan ini sesuai dengan
ketentuan astronomi bahwa konjungsi merupakan batas antar dua lonar
months. Oleh karena ijtima>’ itu hanya terjadi sekali dalam sebulan dan
tidak ada hubungannya dengan tempat-tempat di muka bumi, maka waktu
ijtima>’ dapat dialami secara berlainan menurut perhitungan waktu
setempat. Ijtima>’ bisa terjadi pada pagi hari di suatu tempat, dan di saat
yang sama terjadi pada siang hari atau malam hari di tempat lain. Oleh
karena itu, dalam praktiknya awal bulan Qamariyah ditetapkan
berdasarkan ijtima>’ yang terjadi sebelum matahari terbenam atau sebelum
24
H{isab ‘urfi adalah sistem hisab penentuan awal bulan Qamariyah yang didasarkan pada waktu
rata-rata peredaran bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab
ini dimulai sejak ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra (17 H) sebagai acuan untuk
menyusun kalender Islam abadi. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), 79. Lihat juga Muhammad Nur, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariah (Jakarta: Depag RI, 1983), 7.
25 H{isab h}aqi>qi> adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang
sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan,
melainkan tergantung posisi hilal setiap awal bulan. ibid,.7.
66
tengah malam, atau sebelum terbit fajar, sesuai dengan perbedaan cara
pandang tentang kapan dimulainya hari.
Ada juga sistem h}isab yang mendasarkan pada posisi hila>l, yakni
penentuan awal bulan Qamariyah tidak hanya didasarkan pada ijtima>’
melainkan harus diperhatikan posisi hila>l di atas ufuk saat terbenam
setelah terjadinya ijtima.’.
Dalam sistem ini terbagi menjadi tiga yakni:
a. Sistem yang berpedoman pada ufuk haqiqi yakni ufuk yang berjarak 90
derajat dari titik zenith. Prinsip utama dalam sistem ini adalah sudah
masuk bulan baru, bila hasil hisab menyatakan hila>l sudah di atas ufuk
haqiqi (positif) walaupun tidak imka>n al-Ru’yah. Sehingga sistem ini
dikenal dengan sistem hisab wuju>d al-Hila>l sebagaimana prinsip yang
dipegang oleh Muhammadiyah secara institusi.26
b. Sistem yang berpedoman pada ufuk mar’i, yakni ufuk haqiqi dengan
mempertimbangkan refraksi(bias cahaya) dan tinggi tempat observasi,
sebagaiman pendapat yang dipegang madhhab kecil (kalender) Menara
Kudus.27
c. Sistem yang berpedoman pada imka>n al-Ru’yah, jadi meskipun posisi
hila>l sudah wujud di atas ufuk haqiqi atau mar’i, awal bulan Qamariyah
26
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan majlis tarjih Muhammadiyah, cet. III, t.t.,
291-292. Lihat juga Oman Fathurrahman, Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal 1418/1998 yang disampaikan dalam acara lokakarya imsakiyyah PPM IAIN Walisongo Semarang, 20
November 1997. 27
Pendapat ini dipegang oleh ulama kharismatik (almarhum) KH. Turaihan Kudus yang begitu
disegani dan banyak pengikutnya, baca Slamet Hambali, Penentuan 1 Syawal 1414 H/1994 M, dalam al-Ahkam No. 10, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1993.
67
masih tetap belum dapat ditetapkan, kecuali apabila hila>l sudah
mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat.
Mengenai sistem imka>n al-Ru’yah, pada bulan Maret 1998 para
ulama ahli h}isab dan ru’yah dan para perwakilan organisasi masyarakat
Islam mengadakan musyawarah kriteria imka>n al-Ru’yah untuk
Indonesia. Di mana keputusan musyawarahnya baru dihasilkan pada
tanggal 28 September 1998. Keputusannya adalah :
1. Penentuan awal bulan Qamariyah didasarkan pada sistem h}isab h}aqi>qi>
tah}qi>qi> dan atau ru’yah.
2. Penentuan awal bulan Qamariyah yang terkait dengan pelaksanaan
ibadah mahd}ah, yaitu awal Ramadlan, Shawal, dan Dzulhijjah
ditetapkan dengan memperhitungkan hisab h}aqi>qi> tah}qi>qi dan ru’yah.
3. Kesaksian ru’yah dapat diterima apabila ketinggian hila>l 2 derajat dan
jarak ijtima>’ ke ghuru>b matahari minimal 8 jam.
4. Kesaksian ru’yah hila>l tidak dapat diterima apabila ketinggian hila>l
kurang dari 2 derajat, maka awal bulan ditetapkan berdasarkan
istikma>l.
5. Apabila ketinggian hila>l 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat
ditetapkan.
6. Kriteri imka>n al-Ru’yah tersebut di atas akan dilakukan penelitian
lebih lanjut.
7. Menghimbau kepada seluruh pimpinan organisasi ke masyarakat Islam
untuk menyosialisasikan keputusan ini.
68
8. Dalam melaksanakan ithba>t, pemerintah mendengarkan pendapat-
pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli.
Dalam menanggapi ketetapan tersebut, walau sudah disepakati
adanya batasan minimal imka>n al-Ru’yah, namun ternyata belum
disepakati tentang boleh dan tidaknya penetapan awal bulan dengan
berpedoman pada imka>n al-Ru’yah. Nahdlatul Ulama tidak
membolehkannya, sementara Muhammadiyah juga masih berpegang pada
hisab wuju>d al-Hila>l.
Walaupun dalam Muker 1999/2000, baik Nahdlatul Ulama
maupun Muhammadiyah menyatakan akan membahas masalah kriteria
imka>n al-Ru’yah tersebut pada muktamarnya masing-masing, namun
sampai sekarang mereka masih juga berpegang pada prinsip masing-
masing. Sehingga saat ini sistem imka>n al-Ru’yah terkesan sebagai
madhhab Pemerintah.
Oleh karena itu, dengan melihat fenomena semacam itu, kiranya
wajar jika di Indonesia selama ini sering terjadi perbedaan dalam
penetapan awal dan akhir Ramadlan serta awal Dhulhijjah.
B. Dinamika Penetapan Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Idul Fitri di Indonesia
Persoalan penentuan hila>l bulan Ramadlan dan Syawal/Hari Raya
„Idul Fitri yang diterima sebagai bentuk ritus ajaran agama Islam yang
bersumber dari hadits Nabi Saw., dimana realitanya mengandung polemik di
beberapa kalangan umat Islam. Hal semacam ini berimplikasi menjadi sebuah
persoalan yang dilematis dan sering kali menimbulkan perbedaan pendapat
69
sehingga menyisakan permusuhan antar umat Islam itu sendiri. Keadaan ini
semakin memebingungkan terlebih bila satu sama lain kelihatan kontras
dalam perbedaan bahkan kadang saling menyingkirkan satu sama lain.
Kontroversi semacam ini akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia,
seperti yang baru-baru ini terjadi pada penentuan awal Ramadlan dan „Idul
Fitri tahun 1430 H. Sebagian umat Islam ada yang memulai awal Ramadlan
hari Jum‟at (21/8/09) dan melaksanakan shalat „Id pada Sabtu (19/9/09)
seperti yang dilakukan oleh jama‟ah Istighosah al-„Ainul Bāhirah desa Keras
kecamatan Diwek Jombang, ada yang memulai awal Ramadlan hari Sabtu
(22/08/09) dan berlebaran Minggu (20/9/09) sebagaimana yang dilakukan
mayoritas umat Islam Indonesia sesuai dengan ketetapan sidang itsbat
pemerintah, sementara itu ratusan jama‟ah Tariqah Naqsabandiyah
Chalidiyah al-'Aliyah yang berpusat di Dusun Kapas, Desa Dukuhklopo
Peterongan Jombang memulai awal puasa hari Minggu (23/08/09) dan
berlebaran Senin (21/9/09).28
Sedangkan umat Islam penganut Aboge (Alif
Rabo Wage) di Probolinggo dan Pasuruan yang menggunakan hitungan
kalender Jawa melaksanakan shalat „Id pada hari Selasa (22/9/09).29
Hal ini
mestinya tidak terjadi apabila para Ulama yang menjadi panutan Umat bisa
memahami dan mengamalkan syari‟at dengan benar.
Umat Islam yang berhari raya berdasarkan keyakinan tidak
menggunakan metode h}isab dan ru‟yah seperti yang dilakukan oleh jama‟ah
Istighosah al-„Ainul Bāhirah desa Keras kecamatan Diwek Jombang dan
28
‚Tiga Kali Shalat ‘Id di Hari Berbeda‛, Jawa Pos, 22 September 2009, 9. 29
‚Aboge Baru Berlebaran Kemarin‛, Jawa Pos, 23 September 2009, 9.
70
yang menggunakan hitungan kalender jawa seperti penganut Aboge serta
berdasarkan h}isab wujud al-H{ilal ataupun klaim ru‟yah, tidak memiliki dasar
yang kuat bahkan juga tidak memiliki argumentasi syar‟i yang
diperhitungkan. Mereka salah, karena tidak merujuk pada pendapat ulama
terdahulu yang berpegang pada Al-Qur‟an dan Sunnah. Ada tiga sisi
kesalahan yang mereka lakukan, yaitu: tidak mentaati pemimpin,
bertentangan dengan hasil h}isab falak qath’i, dan mengabaikan persatuan
umat.30
1. Tidak Mengikuti Keputusan Pemerintah
Sejak masa awal-awal Islam puasa Ramadlan dan Hari Raya 'Idul
Fitri ditentukan dengan penetapan seorang Hakim. Hal ini berlaku hingga
sekarang, begitu juga dengan penentuan awal bulan Dzulhijjah untuk
menetapkan hari wukuf di Arafah, dan inilah kebiasaan yang dilakukan
oleh Muslimin.31
Hal ini berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di Indonesia.
Penetapan bulan Ramadlan dan Syawal merupakan wewenag pemerintah.
Tidak seorang atau organisasipun yang berhak menetapkan awal bulan,
meskipun penetapan itu dibungkus dengan istilah pemberitahuan.
Demikian pula, tidak seorangpun boleh berseberangan dengan keputusan
pemerintah, karena hal itu akan menimbulkan fitnah dan perpecahan umat.
Hal inilah yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. Beberapa ayat Al-
30
Moh. Najib Buchori, http ://www.ppalanwar.com/news/5/63/mensikapi-perbedaan-idul-Fitri-
1427-H-d,detail_news_mawaid}/. 31
Maimun Zubair, Nus}us} al-Akhyar fi al-S{aum wa al-Ift}a>r (Rembang; Penerbit al-Ma’had al-
Diniyah al-Anwar, 1997), 7.
71
Qur‟an, Hadith, dan teks ulama terdahulu mengindikasikan kewajiban taat
kepada Pemerintah;
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا اهلل وأطيعوا الرسول وأويل األمر منكم فإن تنازعتم يف شيء فردوه إىل اهلل والرسول إن كنتم تؤمنون باهلل واليوم اآلخر ذلك خري
(95وأحسن تأويال )النساء:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur‟an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS an-Nisā‟:59)32
Tentang ayat di atas Imām Qurtubī dalam Tafsir-nya mengatakan
bahwa ayat sebelumnya adalah porsi dawuh Allah kepada para pemimpin
agar menyampaikan amanat dan memerintah dengan adil. Dan ayat ini
adalah porsi perintah kepada rakyat. Pertama-tama seorang rakyat harus
mentaati Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya. Kedua, mentaati Rasulullah. Dan ketiga, mentaati pemimpin negara.
Penafsiran sesuai dengan pendapat mayoritas, Abū Hurairah, Ibnu Abbas,
dan ulama lain. Qurtubi> juga mengutip dari Sahl bin Abdullah al-Tusturī
yang mengatakan bahwa pemimpin negara harus ditaati dalam 7 (tujuh)
masalah: Pencetakan Dirham dan Dinar, peneraan alat ukur, hukum, Haji,
Jum‟ah, dua hari raya, dan perang.33
32
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005),
88. 33
Maimun Zubair, Risālah fi Mauqifinā Haula al-S{aum wa al-Ifthār ‘āmun 1427 H (Rembang :
Penerbit al-Ma’had ad-Diniyyah al-Anwar, 1997), 9-10.
72
Sedang Imām Shaukanī berpendapat bahwa yang dimaksud ulul
amri adalah para Imām, sult}an, qad}i dan semua orang yang memiliki
kekuasaan shar‟ī, bukan kekuasaan shaithanī. Dan maksud mematuhi
mereka adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangannya sepanjang
bukan perkara maksiat.34
Dalam hal ini Sahl bin Abdullah berkata:
“Manusia senantiasa berada di dalam kebaikan sepanjang mereka
menghormati pemimpin dan ulama. Jika mereka menghormati kedua
kelompok ini maka Allah akan mensejahterkan kehidupan dunia dan
akhirat mereka. Dan jika mereka meremehkan kedua kelompok ini, maka
Allah akan merusak kehidupan dunia dan akhirat mereka”.35
Sejumlah Hadith yang mencapai bilangan mutawatir juga
mengindikasikan hal sama. Bagi mereka yang bersedia berpegang pada
Hadith, tentu tidak ragu lagi baginya tentang kewajiban mematuhi
pemimpin negara. Bahkan dalam sebuah Hadith sahih disebutkan:
ياح عن أنس بن مالك ث نا يي بن سعيد عن شعبة عن أب الت د حد ث نا مسد حداللو عنو قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم اسعوا وأطيعوا وإن است عمل رضي
عليكم عبد حبشي كأن رأسو زبيبة ) رواه البخارى ىف الكتاب األحكام، الباب السمع و الطاعة لألمام ما مل تكن معصية (
“Telah meriwayatkan kepadaku Musaddad ; telah meriwayatkan
kepadaku Yahya bin Sa‟īd dari Syu‟bah dari Abī al-Tiyyāh dari Anas bin
Mālik ra. Berkata ; bahwa Rasulullah Saw bersabda : Dengarkanlah dan
taatilah walaupun yang diutus untuk mengurusi kamu adalah hamba dari
kaum Habasyi yang seakan-akan kepalanya mirip dengan anggur kering /
kismis.”.36
34
Shaukanī, Fath al-Qadīr (Bairut : Dār al- Fikr, 1997), I, 726. 35
Qurtubi>, Tafsir al-Jami’ al-Ahka>m al-Qur’an (Bairut : Darul Fikr, 1999), V, 249. 36
HR. Imām Bukhārī : 6609.
73
Hadith lain menyebutkan tentang kewajiban mentaati pemimpin
sepanjang mereka mendirikan shalat, tidak memperlihatkan kekufuran
secara nyata, dan tidak memerintahkan maksiat. Hadith tersebut di atas
mengimplikasikan bahwa meskipun seorang pemimpin melakukan
kezhaliman paling dhalim sekalipun tetap harus ditaati sepanjang
kezhaliman tersebut tidak sampai mengakibatkan kekufuran yang nyata,
dan selama perintahnya tidak termasuk maksiat. Dintara perintah
pemimpin yang wajib ditaati adalah mengemban tugas dan menduduki
jabatan keagamaan dimana hal itu tidak termasuk maksiat. Demkian pula
perintah untuk berperang, memungut hak-hak yang menjadi kewajiban
rakyat, menegakkan syariat dalam persengketaan, dan melaksanakan had
bagi mereka yang layak mendapatkannya.
Secara umum, mematuhi pemimpin adalah kewajiban bagi mereka
yang berada di bawah wilayah kekuasaannya sepanjang tidak berimplikasi
maksiat. Dan dalam kasus semacam itu, berinteraksi dengan pemimpin
negara bisa menjadi hal niscaya, tentu dengan batasan seperti tersebut di
atas. Dan dalil-dalil yang menunjuk kewajiban mamatuhi pemimpin sudah
mencapai bilangan mutawatir. Bahkan Al-Qur‟an sendiri mengisyaratkan
hal tersebut seperti termaktub dalam surat al-Nisā‟ di atas.37
Dari penuturan di atas dapat diketahui bahwa sikap berseberangan
mereka dengan keputusan pemerintah -dalam hal ini diwakili oleh
Departemen Kementrian Agama- tentang penetapan awal bulan Ramadlan
37
Maimun , Risālah, 11-13.
74
dan Shawal yang tidak memiliki landasan shar‟ī yang benar tidak
diperkenankan, karena perbedaan itu dapat menyulut fitnah diantara umat
Islam serta dapat menimbulkan salah duga terhadap mereka.38
2. Bertentangan dengan kalkulasi falak
Menurut pendapat yang kuat, penetapan awal bulan hanya bisa
dilakukan dengan melihat hila>l39, dan bukan dengan keberadaan hila>l di
atas ufuk meskipun tidak mungkin terlihat. Pendapat ini disetujui kalangan
pakar falak dan kalangan lain serta disepakati mayoritas ulama.
Menurut kalangan ahli falak, yang dimaksud dengan melihat hila>l
adalah kemungkinan hila>l dapat dilihat sesuai dengan ketinggiannya di
atas ufuk. Dan mereka menyatakan bahwa hila>l mungkin dilihat jika
ketinggiannya mencapai lebih dari satu derajat40
.
Dengan demikian jelaslah, orang-orang yang menetapkan awal
bulan Syawwal -dengan dasar bahwa keberadaan hila>l sekecil apapun
dapat dijadikan acuan untuk menetapkan awal bulan- jauh dari kebenaran
dan bertentangan dengan Sunnah. Sebab, Syariat mendasarkan hukum
puasa dan lebaran pada ru'yah41
baik dalam pengertian aktual42
maupun
potensial, dan bukan sekedar keberadaan hila>l. Rasulullah Saw. bersabda:
38
Moh. Najib Buchori, http ://www.ppalanwar.com/news/5/63/mensikapi-perbedaan-‘idul-Fitri-
1427-H-d,detail_news_mawaidl/. 39
Bulan sabīt dalam bahasa Inggris disebut Cresent, yaitu bulan sAbīt yang nampak pada
beberapa saat sesudah ijtima’, yakni antara tanggal satu sampai menjelang terjadinya rupa semu
Bulan pada terbit awwal. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta :
Pustaka Palajar, 2005), 64. 40
Standar imkanurru’yah menurut Departemen Agama adalah lebih besar dari 2 derajat 41
Istilah ini terkenal dalam kalangan masyarakat Indonesia yang berarti melihat atau mengamati
hila>l dengan mata ataupun dengan teleskop pada saat Matahari terbenam menjelang bulan baru
Qamariyah.
75
ال تصوموا حىت تروا اهلالل وال تفطروا حىت ترووه
“Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan janganlah kalian
membatalkan puasa (mengakhiri masa puasa) hingga melihat hila>l”.43
Hal ini didukung oleh pendapat para ulama. Berikut kutipan
beberapa pendapat ulama:
a) Salah satu hal yang dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan adalah
kalkulasi falak. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi orang tersebut dan
orang lain yang mempercayainya. Bahkan Imām Abbãdī seperti dikutip
Imām Qalyubī mengatakan “Bahwa jika kalkulasi eksak falak (hisab
qath'ī) mengindikasikan ketidak-mungkinan ru'yah maka kesaksian
ru'yah dari seorang yang bisa dipercaya („adil) sekalipun tidak bisa
diterima. Dalam keadaan demikian puasa tidak diperkenankan. Dan
menentang hal tersebut adalah kesombongan”.44
b) Seperti dikatakan oleh Imām Subkī “Kesaksian seorang yang adil
(kredibel) tentang ru'yah bisa diterima hanya ketika kalkulasi falak
mengindikasikan kemungkinan ru'yah. Tetapi jika kalkulasi falak
mengindikasikan ketidak-mungkinan ru'yah, dan kalkulasi tersebut
dilakukan dengan metode yang eksak, maka kesaksian tersebut tidak
dapat diterima. Sebab dengan demikian ru'yah menjadi sesuatu yang
mustahil”. Lebih lanjut Imām Subkī mengatakan “Bahwa kemustahilan
42
Ru’yatul Hilal Aktual secara etimologis adalah benar-benar melihat bulan sabit. Sedangkan
secara terminologis adalah salah satu metode penentuan awal bulan Qamariyah yang memadukan
antara hisab dan ru’yah. 43
HR. Bukhārī : 1773. 44
Qalyubī dan Umairah, Hasiyat Qalyubī wa Umairoh 'ala Sharh al-Mahallī (Bairut : Dār al-
Kutub al-Ilmiyah, 2003), Juz II, 63.
76
semacam ini termasuk kemustahilan definitif yang berawal dari
kemustahilan asumtif. Dan dalam kasus semacam ini keputusan seorang
hakim harus dibatalkan. Dalam al-Iy'āb Subkī menilai bahwa
kesimpulan di atas lebih tepat (istaujaha). Ia membantah jika kalkulasi
falak dikatakan hanya bersifat asumtif dan karenanya tidak
mengimplikasikan kemustahilan. Menurutnya kemustahilan itu bisa saja
terjadi jika hasil berbagai kalkulasi falak yang eksak sepakat atas
kemustahilan tersebut. Seandainya kesepakatan itu benar benar terjadi,
maka kesaksian ru'yah tidak dapat diterima. Sebab syarat objek
kesaksian adalah dimungkinkannya objek kesaksian tersebut, baik dari
sudut tinjauan akal, kebiasaan maupun syara'. Disamping itu, kesaksian
hanya bersifat asumtif. Dan yang asumtif tidak bisa mengugurkan yang
definitive”.45
c) Jika satu atau dua orang bersaksi tentang ru'yah sedangkan hasil
kalkulasi falak mengindikasikan ketidak-mungkinan ru'yah tersebut,
maka menurut Subkī kesaksian itu tidak dapat diterima. Sebab kalkulasi
falak bersifat definitif sedangkan kesaksian hanya bersifat asumtif. Dan
yang asumtif tidak bisa menggugurkan hal yang bersifat definitif. Al-
Haetamī dalam Tuhfah membedakan hasil kalkulasi falak yang
disepakati dan yang tidak. Dan menurutnya, pendapat ini lebih tepat. Ia
mengatakan bahwa jika sejumlah ahli falak yang mencapai bilangan
mutawatir sepakat atas ketidak-mungkinan ru'yah dan kalkulasi mereka
45
Al-Turmusī, Mauhibat dhi al-Fad} (Bairut : Dār al-Fikr, 2000), IV, 158-159.
77
menggunakan metode eksak, maka kesaksian ru'yah ditolak. Dan jika
tidak demikian, maka kesaksian dapat diterima.46
d) Imām Subkī di dalam fatawa menyebutkan jika kalkulasi falak yang
eksak menafikan kemungkinan ru'yah, maka hakim harus menolak
kesaksian siapapun berkenaan dengan ru'yah. Imām Subkī juga
menyebutkan bahwa salah satu kewajiban seorang hakim adalah
menilai kesaksian saksi dalam perkara apapun. Jika fakta empiris
mendustakan kesaksian tersebut, maka ia harus menolaknya. Dan dalam
keadaan demikian kesaksian tidak lagi bernilai sakral. Lebih jauh Imām
Subkī mengatakan bahwa syarat seorang saksi adalah, apa yang
dipersaksikan merupakan hal yang mungkin secara empiris, rasional
maupun syar‟ī. Oleh karena itu jika h}isab qat}'ī mengindikasikan
ketidak-mungkinan, maka secara shar'ī menerima kesaksian adalah hal
mustahil. Sebab dengan demikian perkara yang dipersaksikan juga
menjadi hal yang mustahil. Dan Shara' tidak mungkin berpijak pada
kemustahilan. Sedangkan kesaksian seorang saksi bisa saja dilakukan
atas dasar halusinasi, kesalahan ataupun kebohongan.47
e) Qod}i 'Iyad} mengatakan “Bahwa pendapat Imam Subki> (pendapat diatas)
tidak bertentangan dengan pendapat fuqaha' yang menyatakan bahwa
h}isab tidak bisa dijadikan pijakan. Sebab apa yang mereka katakan
46
Abī Bakar 'Utsmān bin Muhammad Shat}t}ā, ''I'ānah al-T{ālibīn (Bairut : Dār al-Fikr, 2007),
II,359. 47
Taqiyuddin Ali bin Abdul Kãfi al-Subki>, Fata>wa al-Subki> (Bairut : Darul Kutub al-Ilmiyah,
2004), Juz I, 219-220.
78
berkenaan dengan kasus sebaliknya, yaitu ketika h}isab mengindikasikan
kemungkinan ru'yah”.48
3. Mengabaikan Persatuan Umat
Kesalahan ketiga adalah umat Islam telah meninggalkan suatu
kewajiban, yaitu kewajiban menyatukan suara umat dalam persoalan
agama sepanjang tidak ada keadaan darurat yang mengharuskan
perbedaan. Berupaya menyatukan umat dalam melaksanakan puasa,
lebaran dan ritual keagamaan lain adalah tuntutan. Jika kita tidak mampu
mencapai kesatuan universal yang mencakup seluruh umat Islam di dunia,
maka setidak-tidaknya kita harus mengupayakan kesatuan parsial yang
hanya mencakup sebagian umat di satu wilayah.
Umat Islam di satu negara atau satu daerah tidak boleh dibiarkan
terkotak-kotak: sebagian berpuasa karena berasumsi hari itu telah
memasuki bulan Ramadhan dan sebagian lain belum berpuasa karena
menganggap hari itu masih berada di bulan Sha'ban dan di bulan
berikutnya sekelompok orang masih berpuasa dan kelompok lain sudah
berlebaran. Ini situasi yang tidak dapat dibenarkan. Dan yang disepakati
Ulama adalah bahwasannya hukumnya Hakim/penetapanya Pemerintah
(Kontor Kementrian Agama), bisa menghilangkan perbedaan di dalam
permasalahan yang diperdebatkan (Penetapan awal bulan Ramadhan dan
Shawal). Maka ketika Pemerintah/Menteri Agama (Mahkamah
Agung/Majlis Ulama Indonesia/Organisasi Agama Islam) mengeluarkan
48
Qad}i> 'Iyad} bin Musa, Hasiyat al-Umdah ala Sharh Ihka>m al-Ah}ka>m (Bairut : Darul Fikr, 2001),
Juz 3, 328.
79
penetapan awal Puasa Ramadlan atau Hari Raya „Idul Fitri, maka umat
Islam wajib mentaatinya, karena hal tersebut adalah merupakan kepatuhan
terhadap kebaikan.49
Kebersebrangan mereka dengan ketetapan pemerintah dan
mayoritas umat Islam dapat menyulut fitnah, perpecahan, dan saling
kebencian diantara umat. Secara shar'ī ini adalah hal tercela. Allah SWT
telah berfirman:
ل ر سبيل المؤمني ن ولو ما ومن يشاقق الرسول من ب عد ما ت ب ي و اهلدى وي تبع غي ت وىل ونصلو جهنم وساءت مصريا
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.50
Disamping itu sikap semacam ini juga memberikan angin segar
bagi para musuh Islam sekaligus membantu mewujudkan tujuan besar
mereka, yaitu memecah belah umat Islam secara religius maupun sosial.
Seorang tokoh musuh Islam, Bernard Louis, seperti dikutip Syaikh Dr.
Said Ramdlan al-But}i> dalam al-Jihad fi al-Islam, mengatakan:
“Westernisasi di kawasan Arab telah memecah belah kawaasan tersebut. Dan
perpecahan politis ini dikuti dengan perpecahan sosial budaya. Sebenarnya
mencaplok kawasan ini hanya bisa dilakukan dengan jalan memecah belah.
Politisi manapun di dunia, jika ditanyakan kepadanya tentang bagaimana
menundukkan kawasan Arab, pasti ia hanya memilih cara yang dilakukan barat,
yaitu memecah belah kawasan dengan isu sektarian, memecah belah sosial
budaya, mengobarkan permusuhan, memperluas wilayah perselisihan, dan
49
Maimun Zubair, Nus}ūs} Al-Akhyār Fī Al-S{aum Wa Al-Ift}ār (Rembang : Penerbit al-Ma’had al-
Diniyyah al-Anwar, 1998), 19-20. 50
Al-Qur’an ; 4: 115.
80
mengintensifkan publikasi perselisihan tersebut. Tidak diragukan lagi, orang yang
melakukan ini akan merasa bersedih jika ia menyaksikan perdamaian diatanra
kelompok-kelompok Islam dan akan merasa berbahagia jika terjadi peperangan
diantara mereka. Barangkali orang yang menafikan Barat dalam menyulut sumbu
peperangan memiliki satu diantara dua kemungkinan: menipu atau tertipu.51
C. Upaya Melakukan Rekontruksi Solusi
Upaya pemerintah untuk menjembatani metode H{isab dan Ru’yah
masih jauh dari hasil yang diharapkan. Masalahnya, solusi yang diajukan
sebagai jalan tengah itu dianggap belum mewadahi kriteria wuju>d al-Hila>l.
Dan kemudian, dianggap cenderung meligitimasi metode Ru’yah belaka
dengan angka-angka visibilitas hilal yang dianggap tidak berdasar. Karena
itu, harus ada solusi lain yang lebih bisa mewadahi keduanya. Untuk itu
penulis coba memformulasikan dibagian ini.
Yang pertama, tentang ketinggian hila>l. Untuk menjembatani antara
H{isab dan Ru’yah, metode imkan al-Ru’yah memasang kriteria ketinggian
hilal minimal 2 derajat dengan usia hilal minimal 8 jam. Kriteria ini
sebenarnya memang tidak punya landasan kuat, kecuali hanya
menerjemahkan kriteria Ru’yah dalam bentuk angka. Bahwa, supaya terlihat
oleh mata, maka hila>l harus berumur 8 jam dengan ketinggian 2 derajat.
Sementara, kriteria ini pun tidak menjamin hilal akan kelihatan, karena
berbagai hal termasuk karena mendung, atau rendahnya lokasi pengamatan,
ataupun cahaya latar yang kuat. Hal ini membuktikan bahwa metode Ru’yah
harus dilakukan dalam bingkai H{isab. Bukan sebaliknya, H{isab dipahami
51
Moh. Najib Bukhori, http://www.ppalanwar.com/news/5/63/Mensikapi-Perbedaan-‘Idul-Fitri-
1427H-/d,detail_news_mawaidl/.
81
dalam bingkai Ru’yah. Jika H{isab harus menyesuaikan diri kepada Ru’yah,
hasilnya akan menjadi tidak menentu.52
Yang kedua, tentang ijtima’ qabla ghuru>b atau konjungsi sebelum
Maghrib. Menurut penulis, kapan pun konjungsinya sebenarnya tidak
menjadi masalah. Yang penting, bulan baru datangnya setelah ijtima’. Jika
belum terjadi ijtima’, pasti masih bulan lama. Dan sesaat setelah ijtima’ itu,
bulan baru pun datang.
Metode imkan al-Ru’yah menyanggah wuju>d al-Hila>l sebagai tidak
punya pijakan ilmiah, karena hanya bermain di tataran teoritis yang tidak
bisa dibuktikan dengan mata. Tentu saja sanggahan seperti ini kurang tepat,
karena kesimpulan tentang bulan baru itu secara ilmiah bisa dibenarkan.
Tentang terjadinya ijtima’ ini, memang wilayahnya berada pada
metode H{isab dan tidak bisa dilihat secara langsung oleh mata, bahwa
Matahari, Bulan, dan Bumi sudah berada dalam posisi segaris. Justru di
sinilah metode Ru’yah terbukti harus di letakkan dalam bingkai Hisab. Jika
tidak, pengamatan yang dilakukan akan menjadi tidak menentu, dan
berpotensi keliru. Karena tidak tahu kapan terjadinya ijtima’.
Perlu melakukan H{isab terlebih dahulu, sehingga diperoleh hitungan
di atas kertas bahwa ijtima’ terjadi pada jam sekian-sekian, kemudian
melakukan Ru’yah. Kalau pun karena sesuatu hal-misalnya mendung tebal-
lantas hila>l tidak terlihat, maka itu tidak meruntuhkan hasil H{isab. Justru
52
Sebagai contoh, berapa derajatkah ketinggian hila>l supaya terlihat di puncak gunung? Dan
hasilnya apa juga valid bagi mereka yang tinggal di lembah di kota yang sama, dimana hila>l pasti
membutuhkan derajat yang lebih tinggi lagi. Tentu saja, tidak bisa dijadikan patokan. Kalau kita
mengambil patokan yang di gunung, pasti tidak cocok buat yang ada di lembah dan sebaliknya.
82
Ru’yah-nya yang harus dipertanyakan. Karena, secara ilmiah sudah dihitung
dengan akurasi yang bisa dipertanggung jawabkan dan teruji selama
bertahun-tahun.
Yang ketiga, tentang konsep datangnya bulan baru yang harus seiring
dengan tenggelamnya matahari. Selama ini datangnya bulan baru selalu
ditepatkan dengan pergantian siang ke malam hari di waktu Maghrib.
Padahal, usia bulan Hijriyah adalah 29,5 hari53
. Dan hila>l menjelang Maghrib
itu bisa saja muncul sebelum terjadinya ijtima’.
Jadi kriteria utamanya bukan hila>l yang harus terlihat di sekitar
Maghrib, melainkan adalah terjadinya ijtima’. Dalam kasus munculnya hila>l
sebelum ijtima’ itu, tentu tidak akan bisa teratasi oleh metode Ru’yah.
Karena metode Ru’yah tidak pernah tahu kapan terjadinya ijtima’. Peristiwa
konjungsi (ijtima’) itu hanya bisa diketahui dengan metode Ru’yah bi al-
‘Ilmi (H{isab). Jadi Ru’yah harus diletakkan dalam bingkai H{isab. Yakni
dengan meletakkan konsep ijtima’ sebagai pembatas datangnya bulan baru.
Menurut penulis, sebaiknya ada pemisahan pemahaman antara saat
pergantian bulan dengan pergantian hari dalam kalender Hijriyah. Pergantian
bulan adalah saat-saat dimana Bulan sudah melewati saat ijtima’ atau
konjungsinya. Sedangkan pergantian hari ditandai dengan tenggelamnya
matahari.
Dengan cara ini tidak rancu lagi bahwa bulan Ramadhan sudah datang
sesaat setelah ijtima’, sesaat setelah berakhirnya bulan Sha’ban. Kalau pun,
53
Tepatnya satu bulan adalah 29,530589 hari sama dengan periode bulan mengitari bumi. Agus
Mustofa, Jangan Asal ikut-ikutan Hisab dan Rukyat (Surabaya: PADMA press, 2013), 59.
83
ijtima’ itu terjadi sebelum Maghrib, maka sisa waktu sampai Maghrib itu
digenapkan ke bulan Sha’ban, itu tidak ada masalah. Tetapi, secara
substansial, bulan Sha’ban sebenarnya sudah berakhir. Dan bulan Ramadhan
sudah datang.
Contoh kasus yang sesuia dengan masalah di atas adalah saat
penetapan awal Ramadhan 1433 H dimana antara H{isab dan Ru’yah
mengalami kondisi kontroversial. Awal Sha’bannya sama, yakni 21 Juni
2012, akhir Sha’bannya pun sama yakni ditandai oleh peristiwa ijtima’ pada
tanggal 19 Juli 2012, pukul 11.24 WIB. Tetapi anehnya, awal Ramadhannya
berbeda. Yang menggunakan wujud al-Hila>l, satu Ramadhannya jatuh pada
20 Juli 2012, sedangkan yang menggunakan Ru’yah menetapkan satu
Ramadhannya 21 Juli 2012.54
Ini, menjadi contoh penjelas, bahwa metode Ru’yah harus
ditempatkan dalam bingkai H{isab yang akurat. Jika dibalik, kasusnya akan
menjadi tidak menentu dan cenderung keliru. Karena, sejak awal sudah
kurang tepat dalam menetapkan asumsi. Tidak pada kriteria yang obyektif
melainkan bertumpu pada kriteria yang subyektif.
54
Kenapa bisa terjadi demikian, ketika ijtima’ terjadi tanggal 19 Juli pukul 11.24 WIB,
sebenarnya secara Astronomi bulan Sha’ban sudah berakhir. Sehingga, sisa hari sampai dengan
datangnya Maghrib itu hanyalah berupa penggenapan saja ke akhir bulan Sha’ban, masih disebut
sebagai tanggal 29 Sha’ban. Tetapi begitu melewati Maghrib, harinya sudah berganti ke tanggal
1 Ramadhan. Pergantian bulan terjadi di siang hari pukul 11.24 WIB, tetapi pergantian tanggal
terjadi sesudah Maghrib. Dengan cara ini menjadi jelas kondisinya.
Tetapi menjadi aneh, ketika metode Ru’yah memutuskan tanggal 1 Ramadhannya baru jatuh
keesokan harinya, dengan alasan sore itu hila>l tidak kelihatan. Disebabkan usia bulan masih di
bawah 8 jam, dan ketinggian hilal di bawah 2 derajat. Bahkan secara ilmiah lantas menyulut
pertanyaan, kenapa penggenapan akhir Sha’ban bisa sampai lebih dari 1 hari. Yakni, mulai pukul
11.24 WIB di siang hari (19 Juli) sampai siang hari berikutnya (20 Juli), dan masih ditambah lagi
sampai datangnya Maghrib. Mestinya, sebuah penggenapan tidak memakan waktu dari satu hari,
24 jam. (pada kasus ini, penggenapannya sampai sejauh lebih dari 30 jam).
84
Oleh sebab itu dengan memisahkan saat pergantian bulan dan
pergantian hari, kondisinya akan menjadi clear. Sehingga bisa memberikan
koridor yang jelas kepada para peru’yah, bahwa saat melakukan Ru’yah itu
sebenarnya bulan sudah berganti. Masalahnya tinggal apakah hila>l-nya
kelihatan ataukah tidak, kalau kelihatan, hasilnya meyakinkan. Dan kalua
tidak kelihatan, mesti dilakukan kajian apakah karena hila>l-nya tertutup
awan, atau terlalu kuat latar cahayanya sehingga tak tertangkap mata, atau
kondosi atmosfer yang terlalu menyerap cahaya tipis hila>l, atau kurang
tinggi lokasi pengamatannya. Untuk opsi terakhir mungkin terasa
kontroversial, karena selama ini pengamatan hila>l selalu dilakukan di
pantai.55
Yang keempat, dalam kasus ijtima’ terjadi setelah Maghrib, tidak ada
masalah ketika bisa dipisahkan antara saat pergantian bulan dan saat
pergantian hari. Kapan pun ijtima’ terjadi, maka disitulah saat-saat
pergantian bulan. Meskipun, hari belum berganti atau sudah berganti, yang
ditandai oleh terbenamnya matahari.
Jika ijtima’ terjadi sebelum Maghrib, maka setelah Maghrib itu
langsung masuk awal bulan. Dan jika ijtima’ terjadi sesudah Maghrib, maka
bulan sudah berganti, tetapi harinya digenapkan kepada bulan sebelumnya.56
Yang kelima, tentang pemisahan antara waktu astronomi dan waktu
ibadah. Penentuan waktu astronomi dan waktu ibadah sebaiknya dipisahkan.
55
Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan,...241. 56
Misalnya, pada tanggal 29 Sha’ban ijtima’ terjadi sesudah maghrib, maka menggenapkan bulan
Sha’ban sampai datangnya Maghrib keesokan hari. Saat itu barulah ditetapkan sebagai tanggal 1.
Dengan cara ini tidak ada penggenapan yang melebihi 24 jam.
85
Waktu astronomi disandarkan pada realitas benda-benda langit, sedangkan
waktu ibadah ditentukan berdasarkan ketentuan syariat.
Keduanya memang bisa bertemu disatu titik ketika momentumnya
tepat. Tetapi, juga bisa berbeda ketika permulaan waktu astornomi tidak
persis sama dengan permulaan waktu ibadah. Konkretnya, ketika ijtima’
terjadi pada tanggal 19 Juli 2012, pukul 11.24 WIB, maka itulah waktu
astronomi yang menandai bulan Sha’ban sudah berakhir, dan bulan
Ramadhan sudah datang. Namun, tidak seketika itu lantas melakukan ibadah
puasa Ramadhan. Karena ibadah puasa dilakukan dengan waktu tertentu,
yaitu semenjak menjelang fajar sampai datangnya Maghrib.
Karena itu, tidak ada keharusan untuk menepatkan awal Ramadhan
dengan awal puasa Ramadhan. Awal bulan Ramadhan ditentukan oleh
pergerakan Bulan, sedangkan awal puasa Ramadhan ditentukan berdasarkan
pergerakan Matahari. Sehingga, momentumnya berbeda.
Dengan cara ini, penetapan awal Ramadhan menjadi tidak kompleks,
dan lebih pasti. Karena hanya bergantung kepada satu variabel saja, yaitu
ijtima’. Begitu ijtima’ terjadi, maka bulan Sha’ban habis, dan berganti
dengan bulan Ramadhan.
Untuk waktu ibadahnya terserah kepada masing-masing pihak yang
menggunakan H{isab atau pun Ru’yah. Bagi yang menganut wujud al-Hila>l
bakal menetapkan awal ibadah puasanya setelah matahari terbenam hari itu
juga. Sedangkan bagi yang menganut metode Ru’yah, jika sore itu hila>l
86
terlalu tipis dan tidak kelihatan oleh mata telanjang, mungkin akan
menetapkan awal ibadah puasanya lusa.
Masing-masing punya landasan shar’inya, dengan konsekwensi dan
pertanggungjawaban yang bersifat ‘ubudiyah. Yang menggunakan metode
H{isab, bersandarnya pada ayat berikut ini.
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir/menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur‛.57
Kalimat فليصمه الشهر منكم شهد فمن tidak menyebut dengan hila>l
(moon), melainkan menyebut shahr (month). Artinya jika seseorang sudah
57
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia,
2012), 35.
87
meyakini bahwa saat itu bulan Ramadhan sudah datang maka hendaknya ia
segera berpuasa.58
Dan di sisi lain, bagi yang melakukan Ru’yah juga bisa menetapkan
ibadah puasanya dimulai hari sesudahnya dengan bersandar pada hadith-
hadith berikut ini.
Hadith yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, hadith nomor 1775:
ث نا مالك عن نافع عن عب ث نا عبد اللو بن مسلمة حد هما حد د اللو بن عمر رضي اللو عن أن رسول اللو صلى اللو عليو وسلم ذكر رمضان ف قال ال تصوموا حىت ت روا اهلالل وال
59ت فطروا حىت ت روه فإن غم عليكم فاقدروا لو
Hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, hadith nomor 1795:
ث نا يي بن يي قال ق رأت على مالك ع هما عن حد ن نافع عن ابن عمر رضي اللو عن فطروا النب صلى اللو عليو وسلم أنو ذكر رمضان ف قال ال تصوموا حىت ت روا اهلالل وال ت
60حىت ت روه فإن أغمي عليكم فاقدروا لو
Hadith yang diriwayatkan oleh Imām Al-Nasā'ī , hadith nomor 2088 :
ل بن ىشام عن إسعيل ع ن اا م د ب ن زي اد ع ن أب ىري رة ق ال ق ال خب رنا مؤم ش عبة ع ن وا رسول اللو صلى اللو عليو وسلم صوموا لرؤيتو وأفطروا لرؤيتو فإن غم عليكم الش هر ف عدو
61ثالثي
Dengan begitu pertanggungjawabannya sudah masuk wilayah ibadah
dan syariatnya. Tetapi, untuk penentuan awal bulan Ramadhan, dasarnya
58
Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan,...244. 59
Ahmad bin ‘Alī bin Hajar al-‘Asqalānī, Fath}ul Bāri> bi Sharh}i S{ah}i>h} al-Bukhārī : Kitāb al-S{aum
(Bairut : Dār al-Fiqr, 1991), IV, 614. 60
Abī al-Husain Muslim al-Hajjāj al-Qasyairī, S{ah}i>h} Muslim: kitab al-S{iyām (Bairut : Dār al-
Kutub al-‘Almiyyah, 1992), II, 759. 61
Jala>luddi>n al-Suyut}i>, Sunan al-Nasā’ī Bisharh}i al-H{fidh Jala>luddi>n al-Suyut}i> wa H{ashiyah al-
Ima>m al-Tandi>, Kitab al-S{iya>m (Bairut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), IV, 133.
88
tidak bisa dijumpai dalam Al-Qur’an dan hadith, sehingga tidak ketemu
pijakan syar’inya. Awal bulan ramadhan harus disandarkan pada pijakan
ilmiah, dan bersandar pada posisi segaris antara Matahari, Bulan, dan Bumi.
Dengan demikian, ini akan menjadi solusi yang semakin mendekatkan
antara penganut metode Hisab dan penganut metode Ru’yah. Argumentasi
wujud al-Hila>l dan Ru’yah sama-sama memperoleh tempat. Pijakannya pun
menjadi lebih kokoh dan tidak rancu. Waktu astronominya disandarkan
kepada ijtima’, dan waktu ibadahnya disandarkan kepada Al-Qur’an dan
hadith.
Yang keenam, apabila pemisahan antara waktu astronomi dan waktu
ibadah sudah disepakati, maka bisa melangkah lebih jauh lagi pada batas-
batas waktu ibadah yang lebih spesifik. Ini karena waktu astronomi
datangnya bulan Ramadhan adalah ditentukan oleh Bulan, sedang waktu
puasa sebenarnya ditentukan oleh Matahari. Selama ini kontroversi
penetapan awal bulan itu selalu dikaitkan dengan saat-saat peralihan hari,
yakni disekitar Maghrib.
Padahal yang sedang diperdebatkan itu sebenarnya adalah ibadah yang
diawalinya baru besok pagi. Puasa dimulai saat menjelang fajar, sedangkan
shalat ‘Id dilakukan pada waktu d }uha (esok hari). Oleh sebab itu tidak perlu
lagi mempermasalahkan tentang hila>l yang datang sekitar waktu Maghrib,
karena waktu puasa dan shalat ‘Id-nya masih beberapa jam lagi. Jika
dihitung-hitung, waktu sahur itu masih lama sekitar 9-10 jam dari Maghrib.
Dan waktu shalat ‘Id masih sekitar 12 jam dari maghrib. Artinya, jika hila>l
89
pada saat maghrib itu berusia 0 jam, maka pada saat sahur, hila>l Ramadhan
sudah akan berusia 9-10 jam. Dengan begitu puasa yang dilakukan itu benar-
benar berada di bulan Ramadhan, bukan di bulan Sha’ban, karena usia hila>l
sudah lebih dari 8 jam, sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.
Dan jika saat itu menjelang akhir bulan Ramadhan, maka seandainya
hila>l Shawal baru muncul di sekitar Maghrib, keesokan harinya pukul 06.00
pagi itu pun sudah pati 1 Shawal, dengan usia Bulan/hilal sekitar 12 jam.
Sebaliknya, jika menetukan 1 Shawal baru lusanya, maka sesungguhnya
tidak shalat di tanggal 1 Shawal, melainkan di tanggal 2 Syawal. Dan dengan
analogi yang sama, jika itu diterapkan pada hila>l Ramadhan, berarti memulai
puasa Ramadhan bukan pada tanggal 1 Ramadhan, melainkan pada tanggal 2
Ramadhan. Kasus ini terjadi pada Ramadhan 1433 H, atau tahun 2012 M
yang lalu.62
Inilah pentingnya memisahkan antara penetapan waktu Astronomi
dan waktu ibadah. Kedua-duanya akan memperoleh pijakan yang jelas. Yang
satu berdasarkan kaidah ilmiah bertumpu pada ijtima’nya bulan, dan yang
lainnya berdasarkan dalil shar’i, bertumpu pada Al-Qur’an maupun hadith.
Dimana di dalil shar’i inilah yang dimungkinkan berbeda antara penganut
metode H{isab dan penganut metode Ru’yah. Yang wujud al-Hila>l mengacu
pada Al-Qur’an tentang shahr (month) sedangkan yang imkan al-Ru’yah
mengacu pada hadith tentang hila>l (moon). Keduanya sah-sah saja, karena
62
Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan,...247.
90
memang ada dalilnya. Dan masing-masing pihak akan merasa lega karena
memperoleh pembenaran atas ijtihadnya.
D. Tawaran Formulasi Penyatuan Madhhab H{isab dan Madhhab Ru’yah
Karena banyaknya madhhab dalam penentuan awal Ramadhan,
Shawal, dan Dhulhijjah di Indonesia, maka banyak juga pihak yang tergugah
untuk mengupayakan penyatuan. Terbukti dari berbagai pengalaman,
perbedaan seringkali membingungkan masyarakat awam, bahkan seringkali
mengoyak jalinan ukhuwah islamiyah. Akan tetapi, sampai sekarang belum
ada pendapat yang dapat diterima oleh semua pihak. Namun demikian,
upaya penyatuan Pemerintah dengan madhhab imka>n al-Ru’yah dengan
format kekuasaan ithba>t pada Pemerintah sebenarnya merupakan upaya yang
lebih mempunyai peluang untuk dapat diterima oleh semua pihak. Upaya
Pemerintah ini pada dasarnya berpijak pada upaya tercapainya keseragaman,
kemaslahatan, dan persatuan umat Islam Indonesia. Hal ini sebagaimana
dasarnya: h}ukmu al-H}ikam ilza>>mun wa yarfa’u al-Khila>f63 (keputusan
hakim/Pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan pendapat).
Sehingga keputusan yang diambil Pemerintah, yang berupaya
mengakomodir semua madhhab, semestinya dapat diterima dan diikuti oleh
semua pihak. Namun dalam dataran realitas, ternyata masing-masing pihak
mengeluarkan keputusan sendiri-sendiri. Walaupun pada dasarnya mereka
sudah menyatakan mengakui dan menerima upaya penyatuan Pemerintah
63
Shamsuddin Muhammad Ibnu ‘Abbas al-Shahir bi al-Shafi’I S{aghir, Niha>yahJilid III (Kairo:
Dar al-Fikr, t.th), 149. Lihat pula Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ‘Ala al-Madha>hib al-‘Arba’ah Jilid I (Kairo: Dar al-Fikr), 433-435.
91
tersebut, namun NU dalam menghadapi Idhul Adha 1420 H misalnya,
mengeluarkan ikhbar. Walaupun hanya sekadar ikhbar ternyata terkesan
wajib dipegangi dan diamalkan oleh warganya. Pemikiran ini berdasarkan
pada pemikiran Imam Ramli dalam Niha>yah al-Muh}tar dan Afifuddin bin
Umar dalam al-Fata>wa> al-Shar’iyyah.64
Begitu juga dengan Muhammadiyah, sebagaimana dalam kasus
mencolok ketika penetapan awal Ramadhan 1435 H/2014 M.
Muhammadiyah mengeluarkan fatwa terlebih dahulu tentang penetapan 1
Ramadhan 1435 H tanpa menungguh pelaksanaan ru’yah Pemerintah, bahkan
tanpa menunggu pengumuman (ithba>t) dari Pemerintah. Di samping itu,
ternyata masing-masing pihak juga tampak belum bisa menerima tawaran
(upaya penyatuan) pemerintah dengan sepenuh hati.
Padahal upaya Pemerintah -dengan madhhab imka>n al-Ru’yah-
tersebut pada dasarnya sudah berusaha mengakomodir semua pihak dengan
mendekatkan atau menjembatani dua madhhab besar yakni Madhhab Ru’yah
dan Madhhab H{isab di Indonesia. Karena Madhhab imka>n al-Ru’yah (sistem
ru’yah yang bersendikan h}isab) pada dasarnya merupakan upaya memadukan
antara Madhhab H{isab dengan Madhhab Ru’yah. Jadi Madhhab imka>n al-
Ru’yah berupaya bagaimana hasil h}isab-nya dapat sesuai dengan ru’yah dan
ru’yah-nya tepat sasaran sesuai dengan data h}isab-nya, hal ini mengingat
objek sasarannya sama, yakni hila>l.
64
‚…dan perkataan bahwa ikhbar (pengumuman) orang yang adil itu diamalkan pada sebagian
besar bab-bab dalam fiqih.‛ Baca Afifuddin bin ‘Umar, al-Fata>wa> al-Shar’iyyah (Hadramaut:
Dar al-Fikr, t.th), 149.
92
Berdasarkan lembaran sejarah pemikiran h}isab ru’yah, ternyata
embrio madhhab imka>n al-Ru’yah sudah lama diperbincangkan dikalangan
ulama fiqih, di antara yang memelopori adalah al-Qulyubi>, Ibn Qasim al-
Ubbadi>, al-Sharwani>, dan al-Subki>.65
Hanya saja, kriteria imka>n al-Ru’yah-
nya belum ada kesepakatan atau belum ada kriteria yang dapat diterima
semua pihak.
Penulis melihat bahwa kriteria tinggi hila>l yang dapat diru’yah atau
penentuan bulan baru berdasarkan umur bulan dari wakru ke waktu, akan
selalu berubah. Hal ini dapat dipahami sejalan dengan perubahan alam raya
dan posisinya, sekalipun perbedaannya sangat halus sekali.
Karena melihat pentingnya kriteria imka>n al-Ru’yah tersebut,
Pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama merasa perlu memberikan
solusi alternatif dengan menawarkan kriteria yang dapat diterima semua
pihak dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Madhhab yang
berupaya bagaimana mendapatkan hasil penetapan di mana data h}isab-nya
sesuai dengan pelaksanaan ru’yah, sedangkan ru’yah-nya tepat sasaran sesuai
dengan data h}isab-nya secara ilmiah.
Hanya saja untuk menentukan kriteria dalam formulasi madhhab
imka>n al-Ru’yah, penulis berpendapat akan keharusan diadakannya
penelitian secara kontinu setiap tahun bahkan setiap terjadi perubahan gejala
65
Mereka lebih sepakat bahwa ru’yah diartikan dengan imka>n al-Ru’yah (posisi hila>l untuk
diru’yah). Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan ru’yah adalah segala hal yang dapat
memberikan dugaan kuat (dhanni) bahwa hila>l telah ada di atas ufuk dan mungkin untuk di
ru’yah. Lihat dalam Shihabuddin al-Qulyubi>, H{shiyyah al-Minha>j al-T{a>libi>n, ijilid II (Kairo:
Must}afa al-Babi al-Halabi>, 1956), 49. Lihat juga Al-Sharwani>, H{ashiyyah Sharwa>ni>, jilid III
(Kairo: Bairut, t.th), 373.
93
alam (menurut kacamata astronomi). Ini merupaka salah satu upaya
mendapatkan data yang akurat. Karena secara astronomi, penulis melihat
bahwa kriteria imka>n al-Ru’yah, berdasarkan data umur bulan dari waktu-ke
waktu, akan mengalami perubahan.
Jadi, formulasi yang lebih tepat dalam upaya penyatuan Madhhab
Hisab dengan Madhhab Ru’yah adalah madhhab imka>n al-Ru’yah
kontemporer. Dalam artian bahwa kriteria imka>n al-Ru’yah-nya berdasarkan
data-data h{isab kontemporer dari hasil penelitian kontemporer yang akurat,
sehingga dapat menghasilkan kriteria imka>n al-Ru’yah yang akurat juga.
top related