pengolahan limbah cair batik menggunakan aerobic roughing filter untuk menurunkan kadar cod...
Post on 06-Aug-2015
582 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH UNIT PROSES
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR BATIK MENGGUNAKAN
AEROBIC ROUGHING FILTER UNTUK MENURUNKAN KADAR
COD (Chemical Oxygen Demand) DAN WARNA
DOSEN PEMBIMBING :
BADARUDDIN MU’MIN, MT
NIP 19884118 200812 2 003
OLEH :
GINA LOVASARI H1E108020
M.SADIQUL IMAN H1E108059
PROGAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2011
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat dan karunai-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul Pengolahan Limbah Cair Batik Menggunakan Aerobic
Roughing Filter Untuk Menurunkan Kadar COD (Chemical Oxygen Demand)
dan Warna ini.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Unit Proses. Penyusunan makalah ini berdasarkan format yang telah
diberikan. Namun demikian, penulis menyadari keterbatasan yang dimiliki dalam
penyusunan makalah ini sehingga makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah
ini menjadi lebih baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Badaruddin Mu’min,
M.T selaku dosen pengajar dan pembimbing dalam penyusunan makalah ini.
Penulis mengharapkan agar makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya
dan juga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Banjarbaru, Januari 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu sektor industri yang berkembang pesat di Indonesia salah
satunya adalah sektor industri batik. Dalam proses produksinya, industri batik
banyak menggunakan bahan-bahan kimia dan air. Penggunaan bahan kimia
biasanya pada saat proses pewarnaan maupun pencelupan kain batik. Keberadaan
polutan yang terdapat pada limbah cair industri batik ini dapat berupa padatan
tersuspensi, bahan kimia maupun zat organik. Pembuangan limbah cair industri
batik biasanya memiliki konsentrasi biological oxygen demand (BOD) dan
chemical oxygen demand (COD) maupun warna yang melebihi baku mutu yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu pengolahan limbah cair industri
batik perlu diterapkan, sebab jika limbah langsung dibuang ke badan air penerima
maupun lingkungan, maka penurunan kualitas lingkungan dan kerusakan
ekosistem sekitar industri batik tidak dapat dihindari.
Limbah cair industri batik kemudian dijadikan suatu penelitian dalam
pengolahan limbah dengan menggunakan aerobic roughing filter aliran horisontal
dalam menghilangkan kadar COD dan warna pada limbah cair industri batik agar
ramah lingkungan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa
efektif penggunaan aerobic roughing filter aliran horisontal dalam menghilangkan
kadar COD dan warna pada limbah cair industri batik.
1.3 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah dapat memberikan informasi-
informasi mengenai proses pengolahan limbah cair batik secara aerobic roughing
filter aliran horisontal dalam menghilangkan kadar COD dan warna, sehingga
menjadi salah satu teknologi alternatif yang dapat diterapkan oleh pemilik industri
batik untuk mengurangi pencemaran lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Proses Pembuatan Batik Secara Umum
Teknik membuat batik adalah proses pekerjaan dari mori batik sampai
menjadi kain batik. Proses pengolahan batik secara umum meliputi:
1. Proses Persiapan Bahan Baku
a. Persiapan Bahan Baku Mori
Proses persiapan bahan baku mori terdiri dari proses-proses
penyediaan mori, perendaman, pengetelan, penganjian tipis, penghalusan
permukaan mori dan pemolaan. Adapun maksud dari tahapan di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut : perendaman dan pengetelan, dimaksudkan
untuk menstabilkan dimensi, terhilangkan kanji dan zat finish lain,
penganjian tipis dilakukan untuk mendapatkan permukaan yang rata,
sehingga memudahkan proses pembatikan dan penghilangan lilin batik,
penghalusan permukaan mori dilakukan agar pemolaan dapat lebih mudah
dilaksanakan.
b. Persiapan Bahan Baku Lilin
Proses persiapan bahan baku lilin batik, lilin batik dibuat dari
bermacam-macam bahan yang dicampur menjadi satu dengan
perbandingan tertentu sesuai dengan sifat lilin yang di kehendaki. Bahan-
bahan yang digunakan dalam pembuatan lilin batik terdiri dari
gondorukem, damar mata kucing, parafin, lilin tawon, gajih atau lemak
binatang, minyak kelapa, dan lilin batik bekas lorodan, tetapi tidak semua
bahan tersebut di atas ada dalam pembuatan lilin batik.
2. Proses Pembatikan
Adalah proses pelekatan lilin batik pada mori batik sesuai dengan pola
yang diinginkan. Ada beberapa cara, antara lain :
a. Pelekatan lilin secara tulis dengan alat canting tulis, urutan pengerjaannya
sebagai berikut:
Pembatikan Klowong,
Pembatikan Isen-isen.
b. Pembatikan Tembokan, pengerjaannya sebagai berikut:
Pembatikan Klowong,
Pembatikan Isen-isen,
Pembatikan Tembokan.
Ketiga tahapan pembatikan dengan alat canting tulis dikerjakan pada dua
permukaan.
c. Pelekatan lilin dengan alat cap, urutan pengerjaannya adalah sebagai
berikut :
Pencapan Klowong dan Isen-isen.
Pencapan Tembokan.
Untuk bahan mori yang tebal dan rapat kedua urutan pengecapan
dilakukan pada kedua permukaan bahan, sedangkan untuk bahan mori yang
tipis pengecapan dilakukan hanya pada satu permukaan saja.
3. Proses Pewarnaan
Proses pewarnaan batik dilakukan pada suhu kamar dan secara garis
besar dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a. Pewarnaan secara coletan, jenis warna yang digunakan antara lain zat
warna rapid, zat warna indigosol dan zat warna reaktif.
b. Pewarnaan secara celupan, zat warna yang digunakan dalam pewarnaan
batik secara celupan antara lain zat warna napthol, zat warna indanthrene,
zat warna reaktif dan zat warna soga alam.
4. Proses Pelepasan Lilin Batik
Terdiri dari 2 cara pelepasan, yaitu
a. Proses kerokan (proses pelepasan sebagian lilin) adalah proses pelepasan
sebagian batik cengan cara dikerok dan untuk penyempurnaan proses ini
diperlukan adanya penyikatan dimana terlebih dahulu dalam larutan kostik
soda.
b. Proses lorodan (proses pelepasan seluruh lilin) adalah proses pelepasan
lilin batik dengan cara direbus dalam air mendidih yang diberi kanji atau
soda atau natrium silikat tergantung jenis bahan zat warna yang digunakan
supaya proses pelepasan lilin secara keseluruhan dapat sempurna.
5. Proses Penyelesaian
Maksud dari proses penyelesaian adalah memperbaiki penampilan
produk batik yang dihasilkan, termasuk meningkatkan ketahanan warna dan
pengemasan (Anonim, 1997 dalam Purwaningsih, 2008).
Gambar 2.1. Alur Proses Pembuatan Batik Beserta Limbahnya
(Sumber : Anonim, 1997 dalam Purwaningsih, 2008).
2.2 Limbah Industri Batik
Kualitas limbah cair industri batik sangat tergantung jenis proses yang
dilakukan, pada umumnya limbah cair bersifat basa dan kadar organik yang tinggi
yang disebabkan oleh sisa-sisa pembatikan.
Pada proses pencelupan (pewarnaan) umumnya merupakan penyumbang
sebagian kecil limbah organik, namun menyumbang wama yang kuat, yang
mudah terdeteksi, dan hal ini dapat mengurangi keindahan sungai maupun
perairan.
Pada proses persiapan, yaitu proses nganji atau penganjian, menyumbang
zat organik yang banyak mengandung zat padat tersuspensi. Zat padat tersuspensi
apabila tidak segera diolah akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan dapat
digunakan untuk menilai kandungan COD dan BOD.
Kebanyakan penggunaan bahan pencelup dengan struktur molekul organik
yang stabil tidak dapat dihancurkan dengan proses biologis, untuk menghilangkan
warna air limbah yang efisien dan efektif adalah dengan perlakuan secara
biologis, fisik dan kimia (Alaerts, 1984 dalam Purwaningsih, 2008).
2.3 Karakteristik Air limbah Batik
Karakteristik air limbah dapat digolongkan dalam sifat fisika, kimia dan
biologi. Dengan mengetahui jenis polutan yang terdapat dalam air limbah, dapat
ditentukan unit proses yang dibutuhkan.
a. Karakter Fisika
Karakter fisika air limbah meliputi temperatur, bau, warna, dan
padatan. Temperatur menunjukkan derajat atau tingkat panas air limbah yang
diterakan kedalam skala. Bau merupakan parameter yang subyektif.
Pengukuran bau tergantung pada sensitivitas indera penciuman seseorang.
Adanya bau yang lain pada air limbah, menunjukkan adanya komponen-
komponen lain di dalam air tersebut. Misalnya, bau seperti telur busuk
menunjukkan adanya hidrogen sulfida. Pada air limbah, warna biasanya
disebabkan oleh adanya materi disolved, suspended, dan senyawa-senyawa
koloidal, yang dapat dilihat dari spektrum warna yang terjadi. Padatan yang
terdapat di dalam air limbah dapat diklasifikasikan menjadi floating,
settleable, suspended atau dissolved.
b. Karakter kimia
Karakter kimia air limbah meliputi senyawa organik dan senyawa
anorganik. Senyawa organik adalah karbon yang dikombinasi dengan satu
atau lebih elemen-elemen lain (O, N, P, H). Saat ini terdapat lebih dari dua
juta senyawa organik yang telah diketahui. Senyawa anorganik terdiri atas
semua kombinasi elemen yang bukan tersusun dari karbon organik. Karbon
anorganik dalam air limbah pada umumnya terdiri atas sand, grit, dan
mineral-mineral, baik suspended maupun dissolved. Misalnya: klorida, ion
hidrogen, nitrogen, fosfor, logam berat dan asam.
c. Karakter Biologis
Mikroorganisme ditemukan dalam jenis yang sangat bervariasi hampir
dalam semua bentuk air limbah, biasanya dengan konsentrasi 105-108
organisme/ml. Kebanyakan merupakan sel tunggal yang bebas ataupun
berkelompok dan mampu melakukan proses kehidupan (tumbuh,
metabolisme, dan reproduksi). Secara tradisional, mikroorganisme dibedakan
menjadi binatang dan tumbuhan. Namun, keduanya sulit dibedakan. Oleh
karena itu, mikroorganisme kemudian dimasukkan kedalam kategori protista,
status yang sama dengan binatang ataupun tumbuhan. Virus diklasifikasikan
secara terpisah. Keberadaan bakteri dalam unit pengolahan air limbah
merupakan kunci efisiensi proses biologis. Bakteri juga berperan penting
untuk mengevaluasi kualitas air (Purwaningsih, 2008).
2.4 Pengaruh Limbah Industri Batik Terhadap Lingkungan
Pengelolaan lingkungan adalah usaha atau upaya agar tanah, air dan udara
tidak tercemar oleh air buangan, sehingga tidak menimbulkan pencemaran
potensial lebih lanjut pada penderita pencemaran potensial yaitu manusia dan
mahluk hidup lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pengelolaan
lingkungan adalah terkendalinya dan terpeliharanya kesehatan secara menyeluruh
(Sumarwoto, 1993 dalam Purwaningsih, 2008).
Lingkungan hidup adalah kesatuan dengan kesemua benda, daya, keadaan
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya
(Rusidana, 2006 dalam Purwaningsih, 2008).
Air bekas cucian pembuatan batik yang menggunakan bahan-bahan kimia
banyak mengandung zat pencemar/racun yang dapat mengakibatkan gangguan
terhadap lingkungan, kehidupan manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan.
Zat warna dapat mengakibatkan penyakit kulit dan yang sangat membahayakan
adalah dapat mengakibatkan kanker kulit (Sugiharto, 1987 dalam Purwaningsih,
2008).
Dengan banyaknya zat pencemar yang ada di dalam air limbah, akan
menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut dalam air. Hal ini
mengakibatkan matinya ikan dan bakteri-bakteri di dalam air, juga dapat
menimbulkan kerusakan pada tanaman atau tumbuhan air, sehingga proses self
purification yang seharusnya dapat terjadi pada air limbah menjadi terhambat
(Sugiharto, 1987 dalam Purwaningsih, 2008).
Semakin banyak zat organik dalam perairan akan mengalami pembusukan
akibat selanjutnya adalah timbulnya bau hasil penguraian zat organik. Di samping
bau yang ditimbulkannya, maka menumpuknya ampas akan memerlukan tempat
yang banyak dan mengganggu keindahan tempat di sekitarnya. Dan selain bau dan
tumpukan ampas yang mengganggu, maka warna air limbah yang kotor akan
menimbulkan gangguan pemandangan (Purwaningsih, 2008).
2.5 Parameter-Parameter Penelitian
2.5.1 Chemical Oxygen Demand (COD)
Untuk menyatakan kualitas air dibutuhkan beberapa parameter yang
terkait. Salah satu diantaranya adalah Chemical Oxygen Demand (COD) atau
Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) yang didefinisikan sebagai jumlah oksigen
(mgO2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam
sampel air atau banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat
organik menjadi CO2 dan H2O. Pada reaksi oksigen ini hampir semua zat yaitu
sekitar 85% dapat teroksidasi menjadi CO2 dan H2O dalam suasana asam,
sedangkan penguraian secara biologi (BOD) tidak semua zat organik dapat
diuraikan oleh bakteri (Fardiaz, 1992 dalam Purwaningsih, 2008).
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik
yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis, dan
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut didalam air. (Alaerts, 1984 dalam
Purwaningsih, 2008).
Menurut Metcalf and Eddy (1991) dalam Purwaningsih, (2008), COD
adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik
dalam air, sehingga parameter COD mencerminkan banyaknya senyawa organik
yang dioksidasi secara kimia. Tes COD digunakan untuk menghitung kadar bahan
organik yang dapat dioksidasi dengan cara menggunakan bahan kimia oksidator
kuat dalam media asam.
Beberapa bahan organik tertentu yang terdapat pada air limbah, kebal
terhadap degradasi biologis dan ada beberapa diantaranya yang beracun meskipun
pada kosentrasi yang rendah. Bahan yang tidak dapat didegradasi secara biologis
tersebut akan didegradasi secara kimiawi melalui proses oksidasi, jumlah oksigen
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi tersebut dikenal dengan Chemical Oxygen
Demand (COD) (Cheremisionoff and Elizabeth, 1981 dalam Purwaningsih,
2008).
COD merupakan salah satu parameter indikator penting untuk pencemar di
dalam air yang disebabkan oleh limbah organik, keberadaan COD di dalam
lingkungan sangat ditentukan oleh limbah organik, baik yang berasal dari limbah
rumah tangga maupun industri, secara umum konsentrasi COD yang tinggi dalam
air menunjukkan adanya bahan pencemar organik dalam jumlah banyak.
Kadar COD dalam air limbah berkurang seiring dengan berkurangnya
konsentrasi bahan organik yang terdapat dalam air limbah, kosentrasi bahan
organik yang rendah tidak selalu dapat direduksi dengan metode pengolahan yang
konvensional.
Perairan dengan nilai COD yang tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian, nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya
kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/l
dan pada limbah industri dapat mencapai ± 60.000 mg/L. Angka COD merupakan
ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat
dioksidasi melalui proses mikrobiologis, dan mengakibatkan berkurangnya
oksigen terlarut didalam air oleh karena itu kosentrasi COD dalam air harus
memenuhi ambang batas yang ditentukan sesuai dengan industri masing-masing
(SK GUB. DIY No: 281/KPTS/1998 dalam Purwaningsih, 2008).
Analisis BOD dan COD dari suatu air limbah dan menghasilkan nilai-nilai
yang berbeda karena kedua uji mengukur bahan yang berbeda. Nilai COD selalu
lebih tinggi dari nilai BOD. (Jenie & Rahayu, 1993 & Effendi 2003 dalam
Purwaningsih, 2008).
Perbedaan diantara kedua nilai disebabkan banyak faktor antara lain :
a. Bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak tahan terhadap
oksidasi kimia seperti lignin.
b. Bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi
biokimia tetapi tidak dalam uji BOD5 seperti sellulosa, lemak berantai
panjang atau sel-sel mikroba.
c. Adanya bahan toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi
tidak uji COD.
Menurut Benefield (1982) dalam Purwaningsih (2008), perbedaan COD
dan BOD dapat dilihat sebagai berikut :
a. Angka BOD adalah jumlah komponen organik biodegradable dalam air
buangan, sedangkan tes COD menentukan total organik yang dapat
teroksidasi, tetapi tidak dapat membedakan komponen biodegradable/non
biodegradable.
b. Beberapa substansi inorganik seperti sulfat dan tiosulfat, nitrit dan besi ferrous
yang tidak akan terukur dalam tes BOD akan teroksidasi aleh kalium
dikromat, membuat nilai COD – inorganik yang menyebabkan kesalahan
dalam penetapan komposisi organik dalam laboratorium.
c. Hasil COD tidak tergantung pada aklimasi bakteri sedangkan pada tes BOD
sangat dipengaruhi aklimasi seeding bakteri.
Untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air dapat dilakukan
suatu uji yang lebih cepat dibandingkan dengan uji BOD, yaitu berdasarkan reaksi
kimia dari suatu bahan oksidan yang disebut uji COD. Uji COD yaitu suatu uji
yang menetukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan seperti
kalium dikhromat (K2Cr2O7) atau kalium permanganat (KMnO4) sebagai sumber
oksigen atau Oxidizing Agent yang digunakan untuk mengoksidasi bahan-bahan
organik yang terdapat didalam air. (Droste, 1997 dalam Purwaningsih, 2008).
Air yang telah tercemar limbah organik sebelum reaksi oksidasi berwarna
kuning, dan setelah reaksi oksidasi berubah menjadi warna hijau. Jumlah oksigen
yang diperlukan untuk reaksi oksidasi terhadap limbah organik seimbang dengan
jumlah Kalium bichromat yang digunakan pada reaksi oksidasi. Semakin banyak
Kalium bichromat yang digunakan pada reaksi oksidasi, berarti semakin banyak
oksigen yang diperlukan. Uji COD pada umumnya menghasilkan nilai kebutuhan
oksigen yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji BOD, karena bahan-bahan
yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi
dalam uji COD. Selulosa adalah salah satu contoh yang sulit diukur melalui uji
BOD karena sulit dioksidasi melalui reaksi biokimia, akan tetapi dapat diukur
melalui uji COD.
2.5.2 Warna
1. Pengertian Zat Warna
Zat warna adalah senyawa yang dapat dipergunakan dalam bentuk
larutan atau dispersi kepada suatu bahan lain sehingga berwarna. Warna dalam
air dapat disebabkan oleh adanya ion-ion metal alam, yaitu besi (Fe) dan
mangan (Mn), humus yang dihilangkan terutama untuk penggunaan air
industri dan air minum. Warna yang biasanya diukur adalah warna sebenarnya
atau warna nyata, yaitu warna setelah kekeruhan dihilangkan, sedangkan
warna nampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh zat terlarut
dalam air tapi juga zat tersuspensi (Darnianti, 2008).
Pemeriksaan warna ditentukan dengan membandingkan secara visual
warna dari sampel dengan larutan standart warna yang diketahui
konsentrasinya. Air limbah yang baru dibuat biasanya berwarna abu-abu
apabila senyawa-senyawa organik yang ada mulai pecah oleh bakteri. Oksigen
terlarut dalam limbah direduksi sampai menjadi nol dan warnanya berubah
menjadi hitam (gelap). Pada kondisi ini dikatakan bahwa air limbah sudah
busuk. Dalam menetapkan warna tersebut dapat pula diduga adanya pewarna
tertentu yang mengandung logam-logam berat. (Departemen Perindustrian,
1987 dalam Darnianti, 2008).
Menurut Wisnu Arya Wardhana (1995) dalam Mulyadi (2009), zat
warna merupakan suatu bahan yang digunakan untuk mewarnai suatu subsrat,
misalnya tekstil, kapas, tembok, plastik, kulit ,bahan makanan dan sebagainya.
Tersusun dari Chromogen dan Auxochrome Chromogen adalah senyawa
aromatik yang mengandung chromopore, yaitu zat pemberi warna yang
berasal dari radikal kimia seperti nitroso (-NO), nitro (-NO2), azo (-N=N),
etilen (-C=C–), karbonil (-C=O), karbon–nitrogen (-C=NH dan -CH=N),
belerang (-C=S dan -C–S–S–C–). Gugus auksokrom adalah gugus yang
mengaktifkan kerja kromofor dan memberikan daya ikat terhadap serat yang
diwarnainya. Gugus auksokrom yang termasuk golongan kation : -NH2; -NH;
-NMe2; + NMe2Cl- .dan gugus auksokrom yang termasuk golongan anion : -
SO3H; -OH; -COOH, seperti -O-; -SO3(Isminingsih dan Djufri, 1978 dalam
Mulyadi 2009).
Warna merupakan akibat suatu bahan terlarut atau tersuspensi dalam
air, disamping adanya bahan pewarna tertentu yang kemungkinan
mengandung logam berat. Warna air limbah menunjukan kualitasnya, air
limbah yang baru akan berwarna abu-abu, dan air limbah yang sudah basi atau
busuk akan berwarna gelap (Mahida, 1984 dalam Purwaningsih, 2008). Warna
tertentu dapat menunjukkan adanya logam berat yang terkandung dalam air
buangan.
Yang dimaksud zat warna adalah senyawa yang dapat dipergunakan
dalam bentuk larutan, sehingga penampanya berwarna. Warna air limbah
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu warna sejati dan warna semu. Warna yang
disebabkan oleh warna organik yang mudah larut dan beberapa ion logam
disebut warna sejati, jika air tersebut mengandung kekeruhan atau adanya
bahan tersuspensi dan juga oleh penyebab warna sejati, maka warna tersebut
dikatakan warna semu (Chatib, 1998 dalam Purwaningsih, 2008). Dan juga
karena adanya bahan-bahan yang tersuspensi yang termasuk bersifat koloid.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Black dan Cristman (1979) dalam
Purwaningsih (2008) ditemukan bahwa organik di dalam air limbah adalah
koloid yang bermuatan negatif.
Zat warna adalah suatu senyawa yang kompleks yang dapat
dipertahankan di dalam jaringan molekul-molekul. Zat warna merupakan
gabungan dari zat organik yang tidak jauh, sehingga zat warna harus terdiri
dari chromogen sebagai pembawa warna dan Auxochrome sebagai pengikat
antara warna dan serat. Chromogen adalah senyawa aromatik yang berisi
Crhomopore, yaitu zat pemberi warna yang berasal dari radikal kimia, seperti
kelompok azo (N=N). agar warna dapat masuk dengan baik ke kedalam bahan
yang akan diberi warna, maka diperlukan bahan dari Auxochrome, yaitu
radikal yang memudahkan terjadinya pelarutan, misalnya kelompok
pembentuk garam –NH2 atau OH (Wardhana, 1995 dalam Purwaningsih,
2008).
Kecerahan dipengaruhi oleh warna air, semakin dalam penetrasi sinar
matahari dapat menembus lapisan air, semakin produktif pula perairan
tersebut. Hal ini seiring dengan banyaknya fitoplankton di perairan tersebut.
Kekeruhan ialah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan derajat
kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang.
Kekeruhan sangat berhubungan erat dengan warna perairan, sedangkan
konsentrasinya sangat mempengaruhi kecerahan dengan cara membatasi
transmisi sinar matahari kedalamnya. Akibat biologis dari kekeruhan adalah
menurunnya aktifitas fotosintesa tumbuhan, karena, fotosintesis secara
langsung tergantung pada cahaya. Kekeruhan merupakan salah satu faktor
penting yang menyangkut produktifitas perairan, serta aliran energi.
Warna yang timbul pada perairan disebabkan oleh buangan industri di
hulu sungai atau dapat juga berasal dari bahan hancuran sisi-sisi tumbuhan
oleh bakteri. Santaniello (1971) dalam Purwaningsih (2008) menyatakan
bahwa industri-industri yang mengeluarkan warna adalah industri kertas dan
pulp, tekstil, petrokomia, dan kimia, air yang digunakan oleh masyarakat
umum diijinkan dengan kriteria bahwa air tersebut mengandung tidak lebih
dari 75 unit warna (standar kobal-platinum), sedangkan yang disarankan tidak
lebih dari 10 warna. Hal ini penting mengingat zat-zat warna banyak
mengandung logam-logam berat yang bersifat toksis. Dismping bersifat toksis,
fotosintesis juga terhambat di perairan yang mengandung 50 warna.
2. Penggolongan Zat Warna
Jenis zat warna ada dua, yaitu:
a. Zat Warna Alam
Zat warna alam adalah zat warna yang berasal dari alam, baik yang
berasal dari tanaman, hewan, maupun bahan metal.
Zat warna yang berasal dari tumbuhan
Tumbuhan-tumbuhan penghasil zat pewarna alami yang tumbuh di
Indonesia kurang lebih sebanyak 150 jenis tanaman, tetapi yang paling
efektif untuk dapat digunakan san dapat diproduksi menjadi powder
maupun dalam bentuk pasta hanya beberapa jenis saja.
Zat warna dari tumbuhan yang biasanya digunakan antara lain:
indigofera (warna biru), Sp Bixa orrellana (warna orange purple),
Morinda citrifolia (warna kuning).
Zat warna yang berasal dari hewan
Jenis hewan yang biasa dijadikan zat warna antara lain: Kerang
(Tyran purple), Insekta (Ceochikal), dan Insekta warna merah (Loe).
b. Zat Warna Sintesis
Zat warna sintesis adalah zat warna buatan dengan bahan dasar
buatan, misalnya: Hirokarbon Aromatik dan Naftalena yang berasal dari
batubara.
Hampir semua zat warna yang digunakan dalam industri batik
merupakan zat warna sintetik, karena zat warna jenis ini mudah diperoleh
dengan komposisi yang tetap, mempunyai aneka warna yang banyak, mudah
cara pemakaiannya dan harganya relatif tidak tinggi.
Menurut Susanto (1973) dalam Purwaningsih (2008), zat warna yang
digunakan dalam proses pembatikan adalah sebagai berikut:
a. Zat Warna Napthol
Zat warna napthol adalah suatu zat warna tekstil yang dapat
dipakai untuk mencelup secara cepat dan mempunyai warna yang kuat.
Zat warna napthol adalah suatu senyawa yang tidak larut dalam air yang
terdiri dari dua komponen dasar, yaitu berupa golongan napthol AS (Anilid
Acid) dan komponen pembangkit warna, yaitu golongan diazonium yang
biasanya disebut garam. Kedua komponen tersebut bergabung menjadi
senyawa berwarna jika sudah dilarutkan. Zat warna napthol disebut
sebagai Ingrain Coours karena terbentuk di dalam serat dan tidak terlarut
di dalam air karena senyawa yang terjadi mempunyai gugus azo. Zat
warna Naphtol dibedakan menjadi :
Beta Naphtol (Zat Es)
Adalah zat warna azo yang lama, jumlah warnanya terbatas yang
ada hanya merah. Orange, biru dan hijau hampir tidak ada. Golongan
zat ini mempunyai ketahanan luntur yang baik, juga tahan chlor tetapi
tidak begitu tahan terhadap gosokan. Zat warna golongan ini sering
disebut zat warna es atau ice colour.
Naphtol As
Adalah zat warna azo yang baru, jumlah warnanya banyak dimana
hampir semua warna ada. Senyawa-senyawa naphtol As mempunyai
daya serap terhadap sellulosa sehingga proses pengeringan setelah
pencelupan dengan senyawa tersebut tidak perlu dikerjakan lagi.
Demikian pula tahan gosok dan hasil celupan lebih baik karena naphtol
As sedikit mengadakan migrasi ke dalam garam diazonium sewaktu
proses pembangkitan.
b. Zat Warna Indigosol
Zat warna indigosol disebut juga zat warna bejana larut, yaitu
leuco esier natrium dari zat warna yang telah distabilkan, dalam proses
pencelupannya perlu dibangkitkan warnanya dengan dioksidasi sehingga
berubah menjadi bentuk yang tidak larut dan berwarna.
c. Zat Warna Reaktif
Zat warna reaktif adalah suatu zat warna yang dapat mengadakan
teaksi dengan serat, sehingga zat warna tersebut merupakan bagian dari
serat. Zat warna reaktif merupakan golongan zat warna yang mempunyai
gugus aktif, sehingga dengan bahan utama akan terjadi hubungan secara
chemical lingkage. Oleh karena itu hasil pencelupan zat warna teaktif
mempunyai ketahanan cuci yang sangat baik dan lebih kilap dari zat warna
direk.
d. Zat Warna Indanthreen
Zat warna indanthreen merupakan salah satu zat warna bejana yang
berupa puder berwarna, tidak larut dalam air. Supaya larut dalam air, perlu
ditambahkan larutan kostik soda dan Natrium hidrosulfit sebagai zat
pereduksi.
2.6 Roughing Filter (RF)
Dalam pengolahan limbah cair dapat digunakan dengan berbagai
instalansi, yang salah satunya adalah instalansi aerobic roughing filter. Dari
berbagai studi maupun aplikasi di lapangan diketahui bahwa aerobic roughing
filter bisa digunakan untuk pengolahan limbah cair. Aerobic roughing filter
merupakan suatu unit pengolahan yang menggunakan batu krikil yang
mempunyai ukuran antara 4-20 mm yang dapat digunakan untuk memisahkan
padatan dalam air dan mampu mengurangi beban organik yang tinggi. Sebagai
salah satu alternatif pengolahan limbah cair, maka penggunaan aerobic roughing
filter perlu dilakukan penelitian tentang kinerja instalansi aerobic roughing filter
aliran horizontal sebagai alternatif pengolahan (Kasam et al, 2009).
Kombinasi roughing filter dengan filter aliran lambat yang digunakan
sebagai pengolahan air sungai dengan kekeruhan 150 NTU mampu menurunkan
kekeruhan 88-95%. Instalansi roughing filter juga dapat digunakan sebagai
pengolahan air minum yang mengandung kekeruhan, total suspended solid (TSS),
dan Fe (Jafari Dastanaie et al, 2007 dalam Kasam et al, 2009).
Roughing filter (RF) merupakan pengolahan pendahuluan untuk
menurunkan kekeruhan air di mana air melewati bak dengan media yang kasar
seperti kerikil atau gerabah. RF ini sudah dipakai lebih dari 25 negara di antaranya
Argentina, Bolivia, Madagaskar, Ghana, India, Australia, dan sebagainya. RF
kebanyakan digunakan sebagai pengolahan pendahuluan untuk meremoval
partikel dalam jumlah besar dan lebih sulit untuk menafsirkan peningkatan
efisiensi dari pengolahan berikutnya seperti filter lambat (Levine et al, 1985
dalam Titistiti & Hadi, 2010).
Roughing filter biasanya menggunakan kerikil dengan diameter yang
berbeda – beda, pada bagian mukanya menggunakan kerikil dengan diameter
besar, pada bagian berikutnya menggunakan kerikil dengan diameter yang lebih
kecil, demikian seterusnya. Sehingga pada tiap – tiap bagian tersebut menyaring
padatan dengan diameter yang berbeda – beda pula (Wegelin,1996 dalam Titistiti
& Hadi, 2010). Prinsip dasar kerja roughing filter dapat dilihat pada gambar 2.2 di
bawah ini.
Gambar 2.2 Konsep Prinsip Kerja Roughing Filter Dibandingkan
Dengan Sedimentasi (Sumber : Titistiti & Hadi, 2010).
Instalansi roughing filter seringkali diprioritaskan sebagai teknologi
pretreatment untuk kebutuhan air perkotaan. Dimana tipe filter yang berbeda juga
dikembangkan untuk pengolahan pada kualitas air baku yang berbeda. Prefilter
dan roughing filter secara ekstensif juga digunakan pada rencana penyediaan air
pada beberapa Negara berkembang, dan rencana air bawah tanah di Negara
industri. Intake filter mampu mereduksi material padatan 50-70% dan roughing
filter mampu memisahkan material partikulat 90% lebih (Wegelin & Martin, 1996
dalam Kasam et al, 2009).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Metode Penelitian
3.1.1 Persiapan Instalansi
Instalansi roughing filter yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dari
bahan kayu yang dilapisis plastik, berukuran panjang 85 cm, lebar 35 cm, dan
tinggi 25 cm dan terdiri dari dua kompartemen. Media yang digunakan berbentuk
gravel, dimana kompartemen I diameter gravel 10 mm dan kompartemen II
diameter gravel 5 mm, seperti gambar 3.1. adapun desain dari instalansi adalah
sebagai berikut :
Panjang (L) = 85 cm, lebar (W) = 35 cm, Tinggi (H) = 25 cm
Volume : L x W x H = (85 x 35 x 25) = 74375 cm3 = 0,074 m3.
Waktu detensi (Td) direncanakan 6 jam, sehingga debit aliran (Q) = Vol/Td, Q =
0,074/6 = 0,0123 m3/jam (Kasam et al, 2009).
Gambar 3.1 Desain Instalansi Aerobic Roughing Filter
(Sumber : Kasam et al, 2009).
3.1.2 Runing dan Sampling
Air limbah batik yang berasal dari industri Nakula Sadewa, Triharjo,
Sleman, dimasukkan kedalam bak netralisasi yang berfungsi sebagai bak
penampung, selanjutnya dialirkan melalui kompartemen I dan kompartemen II.
Sedangkan pengambilan sampel dilakukan pada outlet kompartemen I dan outlet
kompartemen II. Adapun untuk pengujian COD, sampel diambil setiap dua hari
yaitu hari ke-1, 3, 5, 7 dan 9. Sedangkan untuk uji warna dilakukan setiap hari
sampai hari ke-10. Pengujian sampel berdasarkan metode spectrofotometri dengan
refluks tertutup (SNI 06-6989.2-2004) untuk analisis COD dan metode Pengujian
Kualitas Fisika Air (SK SNI M-03-1989-F) (Kasam et al, 2009).
3.2 Hasil
Setelah dilakukan running dan pengujian terhadap sampel pada outlet
kompartemen I dan II, maka diketahui konsentrasi COD dan warna seperti pada
tabel 3.1, gambar 3.2 dan gambar 3.3.
Tabel 3.1 Konsentrasi Warna pada Inlet dan Outlet
(Sumber : Kasam et al, 2009).
Gambar 3.2 Konsentrasi COD pada Berbagai Waktu Operasi Instalansi
(Sumber : Kasam et al, 2009).
Gambar 3.3 Konsentrasi Warna pada Berbagai Waktu Operasi Instalansi
(Sumber : Kasam et al, 2009).
3.3 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.1 dan
gambar 3.2 terjadi penurunan konsentrasi COD walaupun tidak signifikan.
Penurunan konsentrasi COD hanya 3,077 % dari inlet 1034,105 mg/l dan outlet
998,750 mg/l. Hasil ini jelas belum memenuhi standar baku mutu limbah cair
untuk industri batik menurut SK GUB. DIY No: 281/KPTS/1998 yaitu 100 mg/l.
Penurunan konsentrasi ini dapat disebabkan oleh kemampuan dari kerikil yang
digunakan sebagai media filtrasi dalam menyaring zat-zat yang ada dalam limbah.
Penurunan konsentrasi COD dikarenakan flok yang terbentuk oleh ion
senyawa organik berikatan dengan ion koagulan yang bersifat positif. Penurunan
konsentrasi yang tidak signifikan ini disebabkan karena terjadinya penyumbatan
atau clogging di dalam instalasi yang dapat mengakibatkan terakumulasinya
bahan organik, sehingga akan mempercepat laju aliran limbah sampai ke outlet
yang mengakibatkan kurangnya waktu tinggal limbah cair dalam instalasi.
Tolok ukur COD dapat digunakan untuk mengetahui banyaknya oksigen
yang diperlukan untuk menguraikan bahan organik. Makin besar kadar oksigen
yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik, maka kadar COD juga akan
semakin tinggi.
Berdasarkan hasil pengujian yang ditunjukkan pada gambar 3.3 perubahan
konsentrasi warna yang terjadi juga tidak signifikan. Pada gamabr 3.3 terlihat
terjadinya penurunan dan kenaikan konsentrasi warna. Hasil rata-rata data dari
penelitian, penurunan konsentrasi parameter warna sebesar 3,628 % dari
konsentrasi inlet 311,481 PtCo dan konsentrasi outlet 296,208 PtCo. Hasil ini
jelas belum memenuhi standar baku mutu warna menurut SK GUB. DIY No:
281/KPTS/1998 yaitu 50 PtCo.
Tidak stabilnya perubahan konsentrasi warna ini disebabkan oleh zat
warna yang digunakan oleh industri batik ini lebih banyak menggunakan pewarna
dari bahan sintetik (azo/naphtol) daripada bahan alami (indigofera) sehingga
proses transfer udara tidak mampu untuk memecah ikatan zat warna yang ada
dalam limbah batik tersebut. Karena zat warna sintetik hanya dapat diuraikan
dengan melakukan penambahan zat kimia lain yang dapat mendegradasi zat warna
tersebut.
Biodegradasi senyawa azo dapat terjadi dalam sistem anaerob dan aerob.
Tahap pertama degradasi adalah pembelahan kelompok azo pada kondisi anaerob,
sehingga terjadi penghilangan warna. Tahap kedua pada kondisi aerob, senyawa
aromatik sederhana dapat didegradasi melalui hydroxylation dan membuka cincin.
Tahap ini dilakukan untuk mendekomposisi lebih lanjut kemungkinan amina
aromatic yang bersifat racun dan karsinogenik. Perombakan warna pada
pengolahan anaerob dapat dilakukan pada kondisi pH 6-7 dan temperatur 45°C.
Pada tahap anaerob tidak hanya warna yang dapat dihilangkan, tetapi juga bahan
yang sulit diuraikan secara biologi dapat didegradasi menjadi bahan yang mudah
diuraikan secara biologi.
Penurunan konsentrasi yang tidak signifikan dikarenakan di dalam reaktor
aerobic roughing filter aliran horizontal ini tidak terjadi pengolahan air limbah
batik secara maksimal.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan yaitu :
1. Instalasi roughing filter dengan aliran horizontal tidak dapat menurunkan
konsentrasi COD dan warna secara signifikan yang disebabkan adanya
clogging serta bahan pewarna sintetis yang cukup sulit didegradasi dengan
gravel ukuran besar serta waktu detensi yang relative singkat.
2. Penurunan konsentrasi COD 3,077 % dari konsentrasi inlet 1034,105 mg/l
dan konsentrasi outlet 998,750 mg/l. Hasil ini masih berada diatas baku
mutu yaitu 100 mg/l.
3. Sedangkan penurunan konsentrasi warna sebesar 3,628 % dari konsentrasi
inlet 311,481 PtCo dan konsentrasi outlet 296,208 PtCo. Parameter ini
juga masih berada di atas baku mutu yaitu 50 PtCo.
4.2 Saran
Untuk para pemilik industri batik dapat mengaplikasikan pengolahan
imbah cair batik dengan aerobic roughing filter untuk teknologi yang ramah
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Darnianti. 2008. Penurunan Kadar Warna Limbah Cair Industri Pencucian Jeans dengan Kitosan dan Jamur Lapuk Putih (Trametes versicolor).http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4409/1/09E00132.pdfDiakses tanggal 29 Desember 2010
Kasam, Andik Yulianto & Aulia Eka Rahmayanti. 2009. Penurunan COD dan Warna pada Limbah Cair Industri Batik dengan Menggunakan Aerobic Roughing Filter Aliran Horizontal.http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/61092731.pdfDiakses tanggal 28 Desember 2010
Muljadi. 2009. Efisiensi Instalansi Pengolahan Limbah Cair Industri Batik Cetak dengan Metode Fisika-Kimia dan Biologi Terhadap Penurunan Parameter Pencemar (BOD, COD, dan logam Berat Krom (Cr)) (Studi Kasus di Desa Butulan Makam Haji Sukoharjo).http://tk.uns.ac.id/file/Ekuilibrium/Volume%208%20No%201/2009%20vol%208%20no%201%20hal%2007%20-%2016.pdfDiakses tanggal 29 Desember 2010
Purwaningsih, Indah. 2008. Pengolahan limbah Cair Industri Batik CV. Batik Indah Raradjonggrang Yogyakarta dengan Metode Elektrokoagulasi ditinjau dari Parameter Chemical Oxygen Demand (COD) dan Warna.http://www.diskusiskripsi.com/2010/05/pengolahan-limbah-cair-industri-batik.htmlDiakses tanggal 29 Desember 2010
Titistiti, Astika & Wahyono Hadi. 2010. Pengaruh Roughing Filter dan Slow Sand Filter dalam Pengolahan Air Minum dengan Air Baku dari Intake Karangpilang terhadap Parameter Kimia. http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10102-Paper.pdfDiakses tanggal 29 Desember 2010
top related