peran pemangku umat hindu dalam …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46912...juga...
Post on 17-Feb-2020
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERAN PEMANGKU UMAT HINDU DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT: STUDI KASUS PURA MERTASARI RENGAS
TANGERANG SELATAN
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh: AHMAD FAUZI
NIM: 1112032100055
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/ 2019 M
ii
iii
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PERAN PEMANGKU UMAT HINDU DALAM
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT:STUDI KASUS PURA MERTASARI
RENGAS TANGERANG SELATAN telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada3 April 2019. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama
(S,Ag) pada jurusan Studi Agama-Agama.
Jakarta, 3 April 2019
SidangMunaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Dr. Media Zainul Bahri, MA.
NIP:19751019 200321 1 003
Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Halimah SM, M.Ag
NIP: 19590413 199603 2 001
Anggota
Penguji I
Prof. Dr. M. Ihsan Tanggok, M.Si
NIP: 19651129 199403 1 002
Penguji II
Syaiful Azmi, MA
NIP: 19710310 199703 1 005
Pembimbing
Dr. M. Amin Nurdin, MA
NIP:19550303 198703 1 002
v
ABSTRAK
Ahmad Fauzi
Judul Skripsi : “Peran Pemangku Umat Hindu dalam Kehidupan Bermasyarakat: Studi Kasus Pura Mertasari Rengas Tangerang Selatan.” Kelurahan Rengas merupakan sebuah tempat yang mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk agama Islam dengan terlihatnya banyak bangunan mushola dan masjid sebagai tempat Ibadan umat Islam, namun terlihat sebuah bangunan milik umat Hindu, yaitu Pura Mertasari sebagai tempat ibadah umat Hindu beridiri tegak dan cukup besar di tengah-tengah masyarakat umat Islam, walaupun demikian mereka tetap hidup normal dan rukun. Hal ini bisa terjadi karena peran seorang tokoh agama yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kajian pokok studi ini adalah menggambarkan peran tokoh agama umat Hindu yang disebut dengan nama Pemangku yang ada di Pura Mertasari yang mempengaruhi umat Hindu untuk menjalankan kehidupan dengan masayarakt di sekitar dengan menganalisa interaksi masyarakat umat Hindu dan Islam yang sudah berjalan Puluhan tahun baik di bidang sosial, budaya dan keagamaan. Selain itu penulis juga menganalisa faktor apa yang menyebabkan terciptanya kehidupan masyarakat Hindu dengan Islam yang harmonis walaupun umat Hindu di Rengas sangatlah minoritas. Untuk menjelaskan masalah diatas penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan melakukan pendekatan sosiologis, antropologis dan pendekatan historis.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa Pemangku sebagai tokoh agama umat Hindu pada pokoknya sebagai pemimpin persembahyangan karena Pemangku adalah tokoh rohaniawan umat Hindu yang membimbing umat Hindu dalam aspek spiritualitas, namun penulis menemukan bahwa selain Pemangku sebagai tokoh rohaniawan bagi umat Hindu, Pemangku juga berperan dalam kehidupan bermasyarakat bagi umat Hindu, mereka harus hidup dengan masyarakat yang non-Hindu dan harus tetap bisa menjadi warga masyarakat yang baik agar terciptanya kerukunan di masyarakat. Menurut pengakuan para umat Hindu dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat yang baik terdapat pengaruh dari Pemangku, baik dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Pada acara pertemuan banjar, dan pembacaan Dharmawacana oleh Pemangku salah satunya isinya adalah tuntunan menjalankan kehidupan bermasyarakat, agar terciptanya kehidupan yang harmonis baik di dalam keluarga, dengan sesama umat Hindu ataupun dengan para pemeluk agama lainnya, khususnya di lingkungan Pura Mertasari.
Kata Kunci : Tokoh Agama, Pemangku, Kehidupan Masyarakat yang Harmonis, Islam dan Hindu, Rengas Tangerang Selatan.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdunillahirabbil ‘alamiin, segala Puja dan Puji saya panjatkan
kepada Gusti Allah maha pengasih yang tak pernah pilih kasih dam Maha
penyayang yang sayangnya tak terbilang atas nikmat, hidayah, dan rahmat yang
dilimpahka kepada hamba-Nya.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Kanjeng
Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan kita para pengikutnya, sehingga
penulis mampu menyelesaikah skripsi yang berjudul “Peran Pemangku Umat
Hindu dalam Kehidupan Bermasyarakat:
Studi Kasus Pura Mertasari Rengas Tangerang Selatan.
Berkat kekuatan yang diberikan oleh Allah SWT skripsi ini bisa saya
selesaikan, usaha yang maksimal telat penulis lakukan untuk menyelesaikan tugas
akhir di Program Sarjana (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Dalam penyelesaian Skripsi ini, tentunya banyak sekali bantuan yang
penulis dapatkan dari berbagai pihak. Baik itu materil, maupun non materil, sebab
itu sepantasnya penulis mengucapkan terimaksih banyak kepada beliau semua atas
bantuannya. Terutama kepada :
1. Orang tau tercinta: Ibunda Nuriyah dan Ayahanda Adhari. Terimakasih
yang sebesar-besarnya penulis haturkan atas ketulusan dan kesabaran,
kasih dan saying yang tiada pernah berujung, doa yang setiap hari mereka
panjatkan, dukungan moral dan material yang tak pernah putus
memberikan semangat ketika penulis putus asa, semoga gusti Allah selalu
memberikan kesehatan, kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat
vii
kelak. Aamiin. Dan Terimakasih juga untuk adikku tercinta Roisyah yang
dalam diamnya telah mendoakan penulis sehingga terselesaikannya skripsi
ini.
2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA,
Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Yusuf
Rahman, MA, Ketua Jurusan Studi Agama-Agama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Dr. Media Zainul Bahri, M.A, Sekretaris jurusan
Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dra. Halimah
Mahmudy M,Ag.
3. Dr. M. Amin Nurdin, MA, selauku Dosen Pembimbing Skripsi, yang
memberikan kontribusi yang besar dalam penyempurnaan Skripsi penulis,
dengan arahan, kritik dan saran, terutama kesediaan waktunya dalam
membimbing, sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini dengan baik, dan
Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.
4. Seluruh Staf Akademik Fakultas Ushuluddin, Para karyawan/karyawati
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Para
karyawan/karyawati Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini.
5. Para Narasumber yang sangat baik dan meluangkan waktunya untuk di
wawncarai: Bapak Wayan Pinda Asmara selaku Pemangku Pura Mertasari,
bapak I Made Seroja Yudhantara selaku ketua Pasraman Pura Mertasari,
bapak Gede Sidarta selaku ketua Banjar Mertasari, dan seluruh umat
Hindu yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, bapak
viii
Mardi selaku staf kelurahan Rengas, bapak Amin selaku MUI kelurahan
Rengas, bapak Miftahuljannah selaku ketua DKM masjid nurul iman
kelurahan Rengas, dan bapak Wasrad selaku sekretaris RT 06 kelurahan
Rengas.
6. Terimakasih kepada seluruh keluarga Prodi Studi Agama-Agama angkatan
2012 yang telah berjuang bersama dan saling dukung dan mendoakan
untuk selalu semangat menyelesaikan skripsi ini.
7. Terimakasih juga kepada keluarga besar PRAMUKA Racana UIN Jakarta
yang sudah memberikan pengalaman sebagai ilmu yang bermanfaat untuk
penulis, terutama ankatan lemot sebagai temen satu perjuangan yang
memberikan pengalam yang sangat berharga sebagai kenangan terindah di
masa depan kelak, semoga kita sukses dunia akhirat.Aamiin. dan
terimakasih juga kepada keluarga besar PERMADA jabodetabek sebagai
wadah dan penuntun untuk penulis kuliah di UIN Jakarta.
8. Terimakasih atas dukungan dan kesabarannya kepada Linda Intan Herlina
dan keluarga yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada
penulis. Dan Sahabat-sahabat kosan dan seluruh sahabat penulis yang tak
henti memberikan doa dan dukungannya.
9. Terimakasih juga kepada keluarga besar KKN jemari dan keluarga besar
dari Ranca Gede Kecamatan Kresek yang sudah menjadi keluarga kedua
penulis dan memberikan doa dan dukunganya kepada penulis sampai
selesainya skripsi ini.
Semoga semua pihak yang telah tersebut ataupun tidak yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, mendapat balasan dari Gusti Allah
ix
SWT. Akhirnya semoga apa yang penulis usahakan ini mendapat rahmat dan
ampunan serta ridha dari Gusti Allah SWT. Aamiin
Jakarta, 16 April 2019
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................................ i LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. iv ABSTRAK ........................................................................................................................ v KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Bekalang Masalah .................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................... 6 D. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 8 E. Metode Penelitan ............................................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 15
BAB II PEMANGKU UMAT HINDU
A. Definisi Peran .................................................................................................... 17 B. Definisi Pemangku Umat Hindu ....................................................................... 20 C. Syarat Menjadi Pemangku ................................................................................ 20 D. Definisi Kepemimpinan .................................................................................... 23 E. Definisi Masyarakat ................................................................................ ……. 24
BAB III GAMBARAN UMUM PURA MERTASARI KELURAHAN
RENGAS A. Pengertian Pura ................................................................................................ 28 B. Fungsi Pura ....................................................................................................... 31 C. Sejarah Singkat Pura Mertasari ........................................................................ 35 D. Struktur Kepengurusan Pura Mertasari ............................................................ 37 E. Monografi Kelurahan Rengas .......................................................................... 39
BAB IV ANALISIS PERAN PEMANGKU TERHADAP UMAT HINDU
DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT A. Peran Pemangku Terhadap Umat Hindu dalam Menjalankan
Kehidupan Bermasyarakat ............................................................................... 42 B. Urgensi Pemangku terhadap Umat Hindu dalam Kehidupan
Bermasyarakat .................................................................................................. 48 C. Analisis Pemangku Sebagai Pemimpin non-formal Umat Hindu .................... 59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................................... 70 B. Saran .................................................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 74 LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan masyarakat yang harmonis di sebuah negara tidak terlepas dari
nilai-nilai agama di dalam upaya membangun etika masyarakat. Sebagaimana
konsep Global Responsibility yang diungkapkan oleh Hans Kung bahwa ada
beberapa pola dalam membentuk tanggungjawab dunia. Pertama, tidak akan
bertahan tanpa adanya etika dunia (No Survival Without a Wordl Ethic); kedua,
tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian keberagamaan (No Wordl Peace
Without Religion Peace); ketiga, tidak ada dialog keberagamaan tanpa
mempelajari dasar-dasar agama (No Religion Dialogue Without Investigating The
Foundation of The Religion).1
Kehadiran peran agama dalam konteks Indonesia sangat diperlukan karena
Indonesia sebagai salah satu Negara dan bangsa yang dihuni oleh masyarakat
yang memiliki nilai-nilai keyakinan yang berbeda-beda terhadap sesuatu yang
dianggap sakral (agama). Indonesia sebagai salah satu negara dari belahan dunia
yang berada di bagian timur bumi, memiliki keaneka ragaman kekayaan, baik
sumber daya alam maupun sumber daya masyarakat.2
Selain dari pada itu Indonesia juga dikenal sebagai Negara kesatuan,
terdapat berbagai suku bangsa atau etnik relatif banyak yang berbeda di Indonesia.
Sebagai mana para ahli antropologi dan sosiologi mencatat sekitar 300 suku
1Nurcholish Madjid, Passing Over Melintasi Batas Agama (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1998), h. 185. 2Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 10-11.
2
bangsa memiliki bahasa, tradisi, dan agama (kepercayaan) yang berbeda-beda.3
Dari enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia, Hindu adalah
salah satunya. Agama Hindu secara historis adalah agama yang paling tua di
dunia. Diinspirasikan oleh wahyu (“oleh nafas tuhan”), para rsi zaman dahulu
menyanyikan lagu yang suci di hutan dan di tepian sungai India, jauh ribuan tahun
sebelum Moses, Budha atau Kristus, lebih dari ribuan tahun lagu ini dinyanyikan
oleh para rsi, yang menggabungkan kebijaksanaan yang melahirkan agama
Hindu.4
Agama Hindu yang ajaran dan pelaksanaan ibadahnya lebih banyak berupa
upacara-upacara persembahan, tidak terkecuali sangat membutuhkan keberadaan
seorang rohaniawan untuk membantu pelaksanaan ritual-ritual tersebut.
Rohaniawan dalam agama Hindu yang bertugas secara langsung mengantarkan
suatu upacara dikenal dengan berbagai nama. Dilihat dari tingkat penyuciannya
umumnya dibedakan menjadi dua golongan yaitu rohaniawan yang tergolong
Dwijati dengan sebutan Pandita. Dan rohaniawan yang tergolong Ekajati dengan
sebutan Pemangku.5
Walaupun agama Hindu sering membuat upacara-upacara
persembahyangan yang membuat keramaian dan sedikit menggangu jalan atau
aktivitas warga di sekitarnya, tetapi mereka tetap hidup rukun dan damai. Di balik
semua kerukunan yang terjadi terdapat peran tokoh agama Hindu yang
mendasarinya, yaitu Pemangku. Pemangku atau Piandita berasal dari kata
“pangku” yang disamakan artinya dengan “nampa,” “menyangga” atau “memikul
3Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Universitas Indonesia, 1964), cet.
ke-2, h. 55. 4Bangsi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita, 2005), h.3. 5I Gst. MD Ngurah, Buku Penelitian Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi (Surabaya:
Paramita,1999), cet ke-I, h.162.
3
beban” atau “memikul tanggung jawab.” Dalam hal ini memikul beban atau
tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara antara orang yang punya kerja
dengan Ida Sanghyang Widi Wasa dan atau Ida Bhatara Kawitan.6 Pemangku juga
memiliki dua tingkatan ‘yaitu yang pertama Pemangku tapakan widhi, dan yang
kedua Pemangku dalang’.7
Pemangku mengajarkan kepada umat Hindu untuk hidup dengan baik
susuai dengan salah satu filsafat Hindu Tri Hita Karana yang salah satunya sangat
menjunjung tinggi kehidupan dengan sesama manusia.8 Karena hal itulah mereka
hidup rukun dan saling mengerti satu sama lain juga terjadi komunikasi yang baik
antara pemeluk agama Hindu dan pemeluk agama lain yang berada di sekitar Pura
Mertasari.
Dalam menciptakan masyarakat yang harmonis bisa diistilahkan seperti
ketika hendak membangun sebuah rumah, maka akan dipilih kayu yang sangat
kuat, pertimbanghan ini bukan didasarkan atas faktor usia semata tetapi kayu yang
berusia tua dianggap memiliki les (inti) yang sangat kuat. Demikian pula bila
ingin membnagun masyarakat yang kokoh di atas tiang kebenaran maka sosok-
sosok yang dituakan dalam masyarakat itu harus memiliki les (inti nurani) yang
teguh.9
Para penganut agama Hindu yang berada di tengah-tengah pemeluk agama
lain selalu berkomunikasi dengan baik dan rukun, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur kehidupan beragama dan komunikasi antar
6K. M. Suhardana, Pedoman Pinandita (Surabaya: Paramita, 2015), h. 6. 7I Made Sujana dan I Nyoman Susila, Manggala Upacara (Denpasar: Widya Dharma,
2012), h. 72. 8Wawancara pribadi dengan Bapak Wayan Pinda Asmara sebagai Pemangku Pura
Mertasari Rempoa pada tanggal 22 Oktober 2017. 9Jero Mangku Suweka Oka Sugiarta dan Gede Agus Budi Adnyana, Agem-Agem
Pemangku: Dari Sadhana, Tahapan Pawintenan Hingga Mantra (Bali: Gandapura, 2013), h. 22.
4
umat beragama di Indonesia bisa dibilang sudah cukup banyak, mulai dari UUD
1945, sejumlah undang-undang, peraturan pemerintah (PP), sampai dengan
peraturan menteri. Sejumlah regulasi yang dibuat pemerintah merupakan jaminan
bagi umat beragama dalam mendeskripsikan dan melaksanakan keyakinan
agamanya di ruang publik, agar tidak saling menggangu, menghalangi,
menciderai, dan menyakiti satu sama lain.10 Hal ini berkaitan dengan adat dan
budaya masyarakat setempat yang sangat di junjung tinggi sehingga terciptanya
masyarakat yang rukun dan saling menghormati, adat budaya atau culture,
sejatinya adalah peradaban. Adat budaya yang sebenarnya adalah adat budaya
yang dilandasi nilai-nilai luhur agama.11
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (1998), peran diartikan beberapa tingkah
laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat dan
harus dilaksanakan.12 Dalam pandangan perspektif interaksionis (sosiologis),
peran adalah bersifat adaptif. Artinya, peran tidak dilihat sebagai sesuatu yang
telah dilakukan dalam pribadinya, melainkan sesuatu yang secara konstan
dinegosiasikan oleh induvidu dengan cara-cara yang tentative dan kreatif.13
Pemangku adalah seorang yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama
Hindu yang memiliki peran khusus untuk semua umat Hindu, terutama dalam
memimpin upacara persembahyangan. Dalam hal ini penulis mencoba
menjelaskan peran Pemangku dalam agama Hindu secara lebih luas, selain
10H. Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama (Pusat Kerukunan
Umat Beragama Kementrian Agama Republik Indonesia ) h. 10. 11I. Putu Sastra Wingarta, Bali-Ajeg: Ketahanan Nasional di Bali Konsepsi dan
Implementasinya Perspektif Paradigma Nasional (Jakarta: Grafika Indah, 2006), h. 174. 12Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta :
Balai Pustaka,1998), h, 667. 13Juneman, Teori-Teori Transosientasional Dalam Psikologi Sosial. Di dalam jurnal
Humaniora Vol.2 No.2 Oktober 2011, h.1360.
5
pemangku berperan sebagai pemimpin dalam upacara persembahyangan
Pemangku juga berperan mengarahkan umatnya untuk bersikap baik dalam
kehidupan bermasyarakat.
Pemangku adalah seorang yang telah mencapai kesucian diri lahir batin
melalui proses ritual, Pemangku digolongkan sebagai orang yang mempunyai
kedudukan mulia di dalam masyarakat Hindu. Tugas dan kewajiban seorang
Pemangku setiap harinya adalah dalam hubungan dengan pembinaan kehidupan
ritual dan spiritual, Pemangku bertugas untuk menuntun umat dalam menciptakan
ketertiban dan kehidmatan pelaksanaan upacara di Pura tempatnya bertugas, serta
mengatur persembahyangan, maupun mengatur sajen yang akan dipersembahkan.
Diluar kegiatan upacara di Pura, Pemangku bertugas untuk menjaga dan
memelihara kelestarian di Pura dan lingkungan sekitarnya termasuk dengan
masyarakat yanga ada di sekitar Pura.14
Rengas adalah sebuah Kelurahan yang ada di Ciputat Timur dimana
mayoritas masyarakatnya beragama Islam, terbukti dengan banyak nya tempat
ibadah umat Islam yang ada di daerah Rengas, terdata ada 23 mushola dan 6
masjid.15 Namun demikian terdapat masyarakat penganut agama Hindu ditengah-
tengah padatnya pemeluk agama Islam, dengan adanya satu bangunan yang
beridiri tegak sebagai tempat peibadatan umat Hindu. Bangunan itu sering disebut
dengan kata Pura. Pura Mertasari sebagai tempat peribadatan umat Hindu teletak
di Jalan Teratai Putih, Rempoa Permai, RT 4 RW 11, Rengas, Ciputat Timur,
Tangerang Selatan. Ditengah kepadatan penduduk Rengas yang sebagian besar
14I Gst. MD Ngurah, Buku Penelitian Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, h.162. 15Buku data Monografi Kelurahan Rengas Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan provinsi Banten tahun 2016, hal.3.
6
menganut agama Islam, lalu ada sebuah bangunan yang cukup besar sebagai
tempat ibadah umat Hindu yang jika tanpa hubungan yang baik antara umat Islam
dan umat Hindu, tidak menutup kemunkinan akan terjadi keributan di daerah
tersebut, namun dalam kenyataannya mereka dapat hidup dengan rukun, hal itu
terjadi lantaran peran yang diberikan oleh tokoh agama masing-masing yang
akhirnya umat saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Maka dari itu
penulis mencoba untuk mendeskripsikan peran dari Pemangku dalam memberikan
pengaruhnya terhadap masayarakat Hindu, khususnya dalam kehidupan sehari-
hari mereka di dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Umat Hindu
ternyata hidup nyaman dengan komunitas agama lain (Islam) karena peran dari
Pemangku. Oleh karena alasan tersebut di atas, membuat penulis membahas
tentang peran dari Pemangku berjudul “ Peran Pemangku terhadap Umat Hindu
dalam Menjalankan Kehidupan Bermasyarakat” (studi kasus pada Pura
Mertasari).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana peran Pemangku dalam membangun kehidupan sosial umat Hindu
dengan masyarakat sekitar yang non-Hindu?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam pembahasan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
Mengetahui bagaimana peran Pemangku terhadap umat Hindu dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat.
7
Manfaat dalam penelitian ini dalam digolongkan kedalam tiga sisi :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis
dalam agama Hindu tentang peran Pemangku terhadap umat Hindu dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat, sekurang-kurangnya dapat
berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia akademis.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam studi agama-
agama yang khususnya berkaitan dengan agama Hindu tentang
peran Pemangku untuk umat Hindu dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat.
b. Bagi Lembaga Pendidikan
Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan
kualitas sumber keilmuan yang ada, termasuk untuk para pelajar
dan pendidik yang ada didalamnya.
c. Manfaat Akademis
Dengan manfaat akademis ini, yaitu sebagai prasyarat
untuk meraih gelar sarjana strata satu (S1) atau sarjana agama
(S.Ag) di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
8
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil pengamatan dan studi di Perpustakaan telah ditemukan
beberapa penelitian sebelumnya. Adapun review studi terdahulu yang penulis kaji
adalah :
Deden Ruhyadi Anwar, dalam skripsi yang berjudul ‘Peran Sentral
Pemangku Dalam Agama Hindu’, studi kasus pada Pura Raditya Dharma di
Cibinong Bogor Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta (2010),
dalam skripsi ini membahas peran sentral pemangku dalam kehidupan keagamaan
umat Hindu adalah memimpin dan bertugas melayani umat Hindu dalam segala
hal yang berkaitan dengan keagamaan.
Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada jenis Peran Pemangku, yaitu
penelitan sebelumnya hanya membahas peran Pemangku dalam hal keagamaan,
sedangkan penulis akan membahas peran Pemangku lebih banyak lagi terutama
peran dalam kehidupan bermasyarakat. Persamaannya pada sama-sama membahas
peran Pemangku dalam hal agama.
Dimas Sigit Cahyokusumo, dalam skripsi yang berjudul ‘Peranan Institut
DIAN-Interfidei Dalam Membangun Hubungan Harmoni Antar-Agama’, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta (2014), skripsi ini membahas sebuah
usaha terus menerus untuk menciptakan Negara yang damai dan sejahtera dengan
melibatkan seluruh elemen, baik perorangan, kelompok aktivis, dan lembaga yang
konsisten dalam mewujudkan hal itu. Di antara lembaga yang mewujudkan hal
itu, adalah lembaga DIAN-Interfidei. Lembaga ini adalah forum yang mencakup
dan mendorong semua latar belakang agama serta tidak mewakili agama manapun
atau keyakinan tertentu. DIAN-Interfidei terlibat secara tunggal diantara
9
kehidupan masyarakat Indonesia, baik secara konseptual dan praktis yang timbul
dari wacana pluralisme. Hal ini juga memberikan ruang dalam bertukar
pengalaman bagi masyarakat tentang keberagamaan untuk kemudian mengambil
inisiatif. Dan bekerja untuk umat manusia atas dasar perdamaian, keadilan, dan
keutuhan ciptaan. Berkaitan dengan peranan lembaga terhadap hubungan antar
agama, lembaga mencoba memberikan wacana dan mengikuti perkembangan
dinamika hubungan antar agama di masyarakat. Untuk selanjutnya diharapkan
dapat memperkaya dalam memberikan alternatif masalah yang akan datang atau
yang sedang terjadi sekaligus memberikan pengetahuan serta pemahaman kepada
masyarakat bahwa membangun hubungan antar agama merupakan syarat mutlak
untuk dijunjung tinggi dalam rangka mencapai kehidupan yang harmoni.
Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada pembahasan yang
melakukan peran untuk masyarakat, penelitian sebelumnya yang melakukan
peranan pada masyarakat adalah DIAN-Interfidei, sedangkan penulis membahas
yang melakukan peran terhadap kehidupan bermasyarakatnya adalah Pemangku,
seorang tokoh umat Hindu. Persamaannya adalah sama-sama membahas tentang
kerukunan hidup bermasyarakat.
Lailatul Fawaidah, dalam skripsi yang berjudul ‘Peran Pandita
Perempuan Dalam Upacara Catur Muka di Pura Amrta Jati Cinere Jakarta
Selata’, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta (2015), skripsi ini
menulis perempuan dalam agama Hindu memiliki kesempatan yang sama dengan
laki-laki untuk menjadi pemimpin upacara Keagamaan, beberapa konsep Hindu
yang menjelaskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan berpengaruh secara
penting terhadap kedudukan dan dianggap sebagai pusat kepemimpinan
10
perempuan Hindu pada upacara Catur Muka di Pura Amarta Jati Cinere.
Kepemimpinan perempuan Hindu tergambar dari posisi dan perannya dalam
memimpin beberapa upacara-upacara penting seperti ritual Memasar, ritual
Memben dan lain sebagainya.
Perbedaannya dengan penelitian ini penulis membahas Pemangku laki-laki
dalam peran kehidupan masyarakat, sedangkan penelitian sebelumnya membahas
Pemangku perempuan dalam menjadi pemimpin upacara. Persamaanya dengan
penelitian sebelumnya adalah sama-sama membahas peran Pemangku.
Nur Fariza, dalam skripsi yang berjudul ‘Peran Parisadha Budha Dharma
Niciren Syosyu Indonesia Terhadap Pembentukan Perilaku Umat’, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta (2017), skripsi ini membahas peran
lembaga penelitian parisadha Budha Dharma Niciren Syosyu Indonesia dalam
memberikan kontribusi dan kegiatannya untuk membentuk perilaku umat, yang
tidak hanya menyangkut aspek keimanan, dan ritual yang diatur secara khusus,
melainkan menyangkut aspek sosial-ekonomi seperti memberikan sedekah dengan
bakti sosial, dan aspek kemanusiaan seperti membantu dan membahagiakan orang
lain sehingga tercipta kerukunan antar umat beragama.
Perbedaan dengan penelitian ini yaitu siapa yang melaksanakan kerukunan
umat beragama, penulis membahas yang melakukan peran untuk kerukunan umat
beragama adalah Pemangku sedangkan penelitian sebelumnya membahas yang
melaksanakan kerukunan beragama adalah dari agama Budha.
Rahmat Hidayat, dalam skripsi yang berjudul ‘Pandangan Umat Budha
Terhadap Peran Dan Fungsi Bhikkhu Di Vihara Bidda Metta’, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta (2017), skripsi ini membahas
11
tentang pandangan atau tanggapan yang diberikan oleh para pemeluk agama
Budha terhadap peran dan fungsi seorang Bhikkhu dalam hal pendidikan,
keagamaan dan hubungan sosial kemasyarakatan menurut sudut pandang masing-
masing dalam ruang lingkup di Vihara Budha Metta.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada objek yang ada, yaitu skripsi
ini membahas tentang tokoh agama Budha, sedangkan penulis membahas tentang
tokoh agama Hindu, persamaan dengan penelitian ini cukup banyak yaitu sama-
sama tokoh agama dan sama-sama membahas tentang fungsi dan peran tokoh
agama tersebut, juga sama dalam pembahasan subjek kemasyarakatan yang
diteliti.
Dengan melihat karya-karya di atas, di sini penulis mendapatkan sumber
data, sehingga meski terdapat beberapa kesamaan dari apa-apa yang dibahas oleh
penulis lain sebelumnya, tentunya masih ada beberapa hal yang belum dibahas
secara mendalam, sehingga bagi penulis hal ini perlu untuk dilanjutkan dalam
penelitiannya, hingga yang membedakan skripsi ini dengan karya sebelumnya
bahwasanya skripsi ini lebih menjelaskan tentang peran seorang Pemangku dalam
kehidupan bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif,
seperti yang dikemukakan oleh Bog dan Taylor yang berpendapat bahwa metode
12
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku seseorang yang diamati.16
2. Jenis Data
Data diperoleh melalui sumber primer dan sekunder.
a. Data primer yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri atau
seseorang atau suatu organisasi langsung dari obyeknya.17 Data primer
diambil dengan mekakukan wawancara langsung dengan beberapa
Pemangku Pura Mertasari Rempoa, dan penganut agama Hindu.
b. Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari hasil penelitian
orang lain yang sudah dioleh menjadi data. Dalam penelitian ini yang
menjadi data sekunder adalah artikel, jurnal, serta situs di internet yang
berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.18
3. Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan data,
diantaranya yaitu:
a. Studi Kepustakaan
Dalam riset pustaka ini penulis memanfaatkan perpustakaan untuk
memperoleh data penelitiannya. Data-data kepustakaan yang penulis
gunakan meliputi, buku, dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah dan
media cetak lainnya.
16Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1990 ), h. 3. 17Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian (Jakarta: STIA Lembaga
Administrasi Negara, 1999), h. 65. 18Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 225.
13
b. Teknik Wawancara
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi
dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam
suatu topik tertentu.19 Adapun informasi yang akan penulis wawancarai
diantaranya adalah beberapa Pemangku di Pura dan beberapa umat Hindu
lainnya.
c. Teknik Observasi
Observasi biasa diartikan sebagai cara menghimpun data yang
dilakukan dengan mengamati langsung, dengan mencatat gejala-gejala
yang sedang diteliti.20 Teknik observasi dalam penelitan ini untuk
mengamati secara langsung kegiatan Pemangku dalam memberikan
perannya terhadap umat Hindu di Pura.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan sebagai
berikut:
a. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang diangkat dari
expresiensi atau pengalaman konkrit sekitar agama yang dikumpulkan dari
sana-sini, baik sejarah (masa lampau) maupun dari kejadian-kejadian
sekarang.21 Auguste Comte dan Henri Saint Simon adalah pendiri
sosiologi, bagi Comte, sosiologi mengikuti jejak ilmu alam, observasi
empiris terhadap masyarakat manusia akan memunculkan kajian rasional
19Sugiono, Penelian Kualitatif (Jakarta: Prenada Media Group 2009), cet.3, h. 109. 20Anas Sudijono, Diklat Metodologi Research dan Bimbingan Skrispi (Yogyakarta: U.D
Ramah,1981), h. 18. 21Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama: Pengantar Awal Metodologi
Studi Agama-Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 49-50.
14
dan positifistik mengenai kehidupan sosial yang akan memberikan prinsip-
prinsip pengorganisasian bagi ilmu kemasyarakatan.22 Demikian
pendekatan ini digunakan penulis karena berdasarkan penelitian yang
dikaji yaitu berhubungan langsung atau berinteraksi sosial dengan
pemeluk agama Hindu di sekitar Pura Mertasari.
5. Teknik Analisa Data
Faktor terpenting dari sebuah penelitian adalah penggunaan metode yang
tepat, metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analisis, deskriptif
yaitu bersifat menggambarkan atau menguraikan suatu hal menurut apa adanya.23
Dan analisis yaitu penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan
sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.24 Jadi metode ini yaitu
metode yang dilakukan dengan cara menguraikan sekaligus menganalisa data-data
yang menjadi hasil pengkajian dan pendalaman atas bahan-bahan penelitian.
Dengan menguraikan (deskriptif) dan menganalisa, penulis berharap
dapat memberikan gambaran secara maksimal atas objek penelitian
(permasalahan) yang dikaji dan didalami di penelitian ini. Terakhir, hasil kajian
dan pendalaman atas permasalahan dalam skripsi ini disajikan dengan
menggunakan metode informal. Metode informal merupakan penyajian hasil
analisis data dalam bentuk narasi.
6. Panduan Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini menggunakan standar yang ditetapkan
dalam buku, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi),
22Peter Connol, Aneka Pendektan Studi Agama. Penerjemah Imam Khoiri (Yogyakarta:
LKiS,2002), h. 274. 23Darwin Winata, Kamus Saku Ilmiah Populer (T.tp.: Gamapress, t.t), h. 115. 24Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2012), h. 58.
15
yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN
Syarif Hidyatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika disini dimaksudkan sebagai gambaran atas pokok bahasan
dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan dalam memahami dan
mencerna masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun sistematika tersebut
adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisikan sub-sub judul sebagai berikut:
Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Metode Penelitan, dan Sistematika Penulisan.
Bab II Menjelaskan tentang Pemangku Pemimpin Umat Hindu, Mencakup
tentang Definisi Peran, Definisi Kepemimpinan, Definisi Pemangku Umat Hindu,
Syarat Menjadi Pemangku, dan Definisi Masyarakat.
Bab III Menjelaskan tentang Gambaran Umum Pura Mertasari Kelurahan
Rengas. Mencakup tentang Pengertian Pura, Fungsi Pura, juga Sejarah Singkat
Pura Mertasari, Struktur Kepengurusan Pura Mertasari, dan Monografi Kelurahan
Rengas
Bab IV Membahas tentang Analisis Peran Pemangku Terhadap Umat
Hindu dalam Kehidupan Bermasyarakat, Peran Pemangku Terhadap Umat Hindu
dalam Menjalankan Kehidupan Bermasyarakat, Relevansi Pemangku terhadap
Umat Hindu dalam Kehidupan Bermasyarakat, Analisis Pemangku Sebagai
Pemimpin non formal Umat Hindu.
16
Bab V Adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan yang akan menjawab
latar belakang masalah dan saran-saran dari penulis untuk pejabat dan semua
masyarakat Rengas. Terakhir adalah daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang
merupakan referensi dalam penulisan skripsi ini.
17
BAB II
PEMANGKU UMAT HINDU
A. Definisi Peran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran diartikan sebagai sesuatu
yang jadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama (dalam terjadi
sesuatu hal atau peristiwa).1 Adapun peranan, jika merujuk kepada Kamus Besar
Bahasa Indonesia memiliki makna sesuatu yang menjadi bagian atau yang
memegang pimpinan yang utama. Definisi peran dalam ilmu sosial lebih
menekankan kapada elemin tertentu yang melekat kapada individu dan memiliki
implikasi untuk dijalankan agar dapat menjadi bagian dari masyarakat secara
keseluruhan. Peran tersebut bisa berupa dokter yang harus bisa menyembuhkan
pasien yang sakit, atau juga guru yang harus bisa memberikan wawasan ilmu
pengetahuannya. Peran lainnya seperti petani, pedagang, pengusaha, peternak,
politisi, pemuka agama, juga mempunyai tugas yang harus dilakukan.2
Adapun pengertian konsep perenan dalam ilmu sosial sesungguhnya bisa
juga mengacu kepada pengertian peran dalam bahasa Indonesia menjadikan
pembahasan selanjutnya akan disebut dengan bersifat lintas istilah, baik itu peran
maupun peranan.
1W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
h.735. 2Sosiolog George Herbert Mead mengidentifikasi dua fase diri yang terkait dengan
pembentukan peran, yang ia namakan “I” dan “Me”. Mead menyatakan bahwa diri pada dasarnya adalah proses sosial yang berlangsung dalam dua fase yang dapat di bedakan. “I” adalah aspek kreatif dari seorang individu adapun “Me” lebih bertendensi kepada objektivikasi individu di dalam kelompok sosial. Dengan kata lain “I” lebih bersifat sebagai subjek, sedangkan “Me” lebih bersifat sebagai objek; dan dua apek tersebut selalu ada dalam seorang individu. Lebih jelasnya lihat tulisan tetang Mead dalam Goerge Ritzer dazn Duglas J. Goodman Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. Ke-I, h.285, dan Peter Worsley (ed.) Modern Sosiology; introductory readings, (New York: Penguin Books, 1978), edisi ke-2, h.45-51.
18
Thomas J. Sullivan dan Kentrick S. Thompson menjelaskan bahwa peran
seseorang di masyarakat tidak jauh berbeda dengan peran seorang aktor di
panggung sandiwara.3 Sesorang aktor di panggung harus patuh terhadap naskah
yang sedang dimainkannya yang dibuat oleh sutradara. Hanya saja perbedaan
seorang individu dengan aktor adalah jika aktor harus taat terhadap perintah
sutradara berdasarkan naskah yang ada. Maka seorang individu di masyarakat
terkadang berperan berdasarkan kepentingan yang ingin dicapai dan fungsi
tindakan dari sebuah sistem sosial yang berlaku.
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya
maka dia menjalankan suatu peranan.4 Disamping status, hal kedua yang penting
dalam struktur sosial adalah peran. Peran diartikan pola perilaku normatif yang
diharapkan pada status tertentu. Dengan kata lain, sebuah status memiliki peran
yang harus dijalani sesuai dengan aturan (norm) yang berlaku.5
Peranan juga didefinisikan sebagai aktivitas yang dijalankan seseorang
atau suatu lembaga/organisasi. Peran yang harus diajalankan oleh suatu lembaga
atau organisasi biasanya diatur dalam suatu ketetapan yang merupakan fungsi dari
lembaga tersebut, peranan ada dua macam yaitu peranan yang diharapkan
(expected role) dan peranan yang dilakukan (actual role). Dalam melaksanakan
peranan yang diembannya, terdapat faktor pendukung dan penghambat.6 Dengan
3Thomas J. Sullivan dan Kentrick S. Thompson, Sosicology; Consepts, issues and
applications (New York: McMilan Publishing Company, 1986), h.51. 4Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Peranan (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002),
h.243. 5M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk Memahami
Konsep-Konsep Dasar (Jakarta:UIN Jakarta Press,2006), h.47. 6Kustini, ed., Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama Dalam Pelaksanaan Pasal
8,9, Dan 10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomer 9 Dan 8
19
demikian yang dapat disimpulkan dari pengertian di atas adalah peran merupakan
tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seseorang/individu maupun kelompok
sesuai dengan norma, aturan dan status yang dimiliki. Tiap individu
memunkinkan untuk menjalankan beberapa peran sesuai dengan status yang
melekat pada dirinya.
Pengertian Peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Peran
mempunyai arti “perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan dalam masyarakat”.7
Dalam tinjauan sosiologi Peran memiliki maknanya sendiri dimana Peran
merupakan reori yang sangat menonjol didalam teori tersebut, teori Peran (role)
yang merupakan aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seorang yang melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya. Menjadikan setiap individu mempunyai peran yang
sangat menonjol dan mempunyai tanggung jawab.8 Sedangkan menurut Barbara
dan Fadly peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi
oleh keadaaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil.
Sedangkan menurut sosiolog Glenm Elder memperluas penggunaan teori peran.
Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap
masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempuyai
Tahun 2006 (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,2010), h.7.
7Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.854 8Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2014), h.2017.
20
perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam
masyarakat tersebut.9
B. Definisi Pemangku Umat Hindu
Menurut Keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dhrama ke-2 tanggal 5
Desember 1968, yang dimaksud dengan Pemangku adalah mereka yang telah
melaksanakan upacara yajna pawintenan sampai dengan adiksa widhi tanpa
ditapak dan amari aran. Kata Pemangku berasal dari kata “pangku” yang
disamakan artinya dengan “nampa,” “menyangga” atau “memikul beban” atau
“memikul tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara antara orang yang
punya kerja dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa.10
Pemangku juga dianggap sebagai panglisir, sosok yang dituakan pada
suatu teriotorial. Kedudukan sebagai panglisir ini semestinya tidak hanya
dimaknai sebagai tua secara fisik ataupun tua dalam sebutan saja. Tiap detik dari
‘usia tua’ seorang Pemangku adalah pengetahuan, tiap menitnya adalah kebajikan,
jamnya adalah cinta kasih, harinya adalah keseimbangan batin, minggunya adalah
keihlasan, dan tahun nya adalah kesadaran. Apabila dalam semua kualitas
kemuliaan seorang Pemangku telah menginjak usia yang sangat tua, barulah dia
mampu, mengabdikan dirinya secara penuh kepada umat.11
C. Syarat Menjadi Pemangku
Pemangku sebagai pelayan dari Ida Sanghnyang Whidi hendaknya dipilih
dari umat yang memiliki budhi luhur, moral dan mental yang tinggi, seorang calon
9Hasan Mustafa, Perspektif Dalam Psikologi Sosial, Di Dalam Jurnal Administrasi
Bisnis, volume 7, nomer 2. 2012. 10K. M. Suhardana, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan Kajian
Bagi Generasi Mendatang (Surabaya: Paramita, 2006), h. 6. 11Jero Mangku Suweka Oka Sugiarta, Gede Agus Budi Adnyana, Agem-Agem Pemangku,
Dari Sadhana, Tahapan Pawintenan Hingga Mantra (Bali: Gandapura,2013), h.18.
21
Pemangku hendaknya memiliki jiwa pengabdi yang tulus dan ihlas serta selalu
siap untuk ngayah tanpa memikirkan imbalan apapun. Jabatan pemangku
seyogyanya tidak tidak dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kelemahan
pribadinya yang sesungguhnya kurang baik, sehingga dapat menjadi orang yang
terpandang di masyarakat. Kalau ternyata ada yang bertindak seperti itu, maka
yang bersangkutan dapat dikatakan sudah menipu masyarakat Karmaphala buruk
yang harus ditanggung dikemudian hari tentu akan menjadi lebih besar lagi.
Demikianlah, maka untuk menetapkan seseorang menjadi Pemangku adalah
mereka yang benar-benar memenuhi syarat.
Disamping itu, menurut Drs. I ketut Wiana (Bali post, 29 Oktober 2013)
mereka yang dipilih atau di tunjuk untuk menjadi Pemangku semestinya tidak
mempunyai kebiasaan atau perilaku buruk seperti dibawah ini:
1. Suka mabuk karena kekayaan (dhana)
2. Suka mabuk karena kepandaiannya (guna)
3. Suka mabuk karena keindahan rupanya (surupa)
4. Suka mabuk karena kebangsawanannya (kula-kulina)
5. Suka mabuk karena kemudaan-usianya (yowana)
6. Suka mabuk karena keberaniannya (kasuran)
7. Suka mabuk karena minuman keras seperti tuak, arak, bir, narkoba dan
lain-lain (suara)
Mereka yang mabuk dan arogan karena hal-hal termaksud diatas tidak
selayaknya ditunjuk sebagai Pemangku. Artinya kalau ketujuh kemabukan diatas
dapat dihindarkan, barulah orang itu dapat disebut sebagai orang yang telah
memenuhi syarat. Seseorang yang telah mencapai keadaan rokhani yang bebas
22
dari kemabukan itulah yang dapat dipilih dan ditetapkan sebagai Pemangku.
Orang yang rokhaninya telah telah bebas dari kemabukan itu dinamakan orang
yang mahardhika artinya orang yang bebas dari kemabukan, orang yang
bijaksana, suci dan berbudhi luhur, tegasnya sudah dapat melaksanakan
pengendalian diri dengan baik. Dengan kata lain, jika seseorang belum dapat
mengendalikan diri dengan baik, semestinya tidak ditunjuk menjadi Pemangku.
Bahkan orang itu harus tau diri untk tidak mencalonkan diri sebagai Pemangku.12
Selain dari pada itu terdapat juga syarat lain yang meliputi syarat fisik nya
yaitu tidak cacat, bisu, tuli. Ada juga syarat kesusilaan yang dikukuhkan oleh
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat dalam keputusan Mahasaba ke II Tahun
1968 yaitu menetapkan adanya syarat berkelakuan baik serta tidak pernah
tersangkut perkara bagi setiap calon Pemangku. Ada juga syarat Mental Spiritual
dinyatakan dalam kitab Pancaweda Bhagawad Gita XII.13-14 yang menyebutkan
“Mempunyai itikad kebajikan, sikap bersahabat dan ramah tamah, bebas dar rasa
egoisme dan keangkuhan, sama dalam suka dan duka, rela memaafkan, selalu
prihatin, menguasai diri, mendedikasikan fikiran dan kecerdasan dipusatkan
kepada Tuhan”. Juga syarat pengetahuan yang meliputi pancasila, bahasa
Indonesia, ilmu pengethuan agama, dan penunjang seperti bahasa jawa dan
psikologi agama.13
12K. M. Suhardana, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan Kajian
Bagi Generasi Mendatang (Surabaya: Paramita, 2006), h. 10. 13Tim Pokja Pinandita Sanggraha Nusantara, Pedoman Tentang Manggala Upacara
Yajna, h.13-15.
23
D. Definisi Kepemimpinan
Pemimpin adalah tokoh atau elit anggota sistem sosial yang dikenal oleh
dan berupaya mempengaruhi para pengikutnya secara langsung atau tidak
langsung.
Pemimpin dapat dikelompokkan menjadi pemimpin formal dan pemimpin
informal. Pemimpin formal adalah seseorang yang diberi amanat dan kepercayaan
oleh suatu organisasi formal untuk menjadi pemimpin dalah suatu organisasi yang
pengangkatannya didasarkan surat keputusan, Pemimpin informal adalah
seseorang yang menjadi pemimpin tanpa diangkat secara formal dan tanpa di
dukung oleh surat keputusan dari suatu organisasi formal.14
Pemimpin formal adalah pemimpin yang menduduki posisi atau jabatan
formal kepemimpinan dalam suatu organisasi formal yang didirikan berdasarkan
undang-undang atau peraturan Negara atau peraturan perusahaan. Mereka
diangkat atau dipilih oleh mereka yang berhak mengankat atau memilihnya.
Misalnya, Presiden Republic Indonesia, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketua Mahkamah Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Manager
Perusahaan, Kepala Sekolah da Rektor Universitas merupakan pemimpin formal.
Sedangkan Pemimpin Informal adalah pemimpin yang tidak menduduki jabatan
organisasi formal dalam sisitem sosial, akan tetapi mempunyai pengaruh terhadap
para anggota sistem sosial. Para alim ulama, kiai, para pakar ilmu pengetahuan
dan budayawan merupakan contoh pemimpin informal, termasuk didalamnya
14Toman Soni Tambunan, Pemimpin Dan Kepemimpinan (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2015), h.32.
24
adalah Pemangku dalam agama Hindu adalah tergolong kedalam pemimpin non
formal, disamakan dalam agama Islamadalah kiai.15
Kepemimpinan informal adalah kepemimpinan yang dasarnya tidak dipilih
atau diangkat secara formal. Seseorang menjadi pemimpin informal kalau ia
diakui mempunyai keunggulan fisik, mempunyai keunggulan psikologi, ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang diakui oleh para anggota organisasi.16 Seperti
hal nya seorang Pemangku umat Hindu sebagai pemimpin informal yang dipilih
dengan cara nya sendiri, karena tidak sembarangan orang dapat menjadi
Pemangku umat Hindu.
E. Definisi Masyarakat
Kata masyarakat terlalu bnyak di gunakan dalam berbagai konteks ,
misalnya masyarakat agrarian, masyarakat kota, masyarakat petani, masyarakat
agama dan sebagainya. Kata masyarakat juga dipergunakan untuk keperluan
tertentu. Dalam pengertian sosiologi, masyarakat tidak di pandang sebagai suatu
kumpilan individu atau sebagai penjulahan dari individu-individu semata-mata.
Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup
bersama. Beberapa orang sarjana telah mencoba memberikan definisi masyarakat
(society), misalnya seperti berikut:
1. Mac Iver dan Page yang mengatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem
dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai
kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta
kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita
15Dr.Wirawan, Kepemimpinan:Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi, Dan
Penelitian (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2014), h.9. 16Dr.Wirawan, Kepemimpinan:Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi, Dan
Penelitian (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2014), h.100.
25
namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan
masyarakat selalu berubah.
2. Ralp Linton mengemukakan, masyarakat merupakan setiap kelompok
manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka
dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu
kesatuan sosial dengan batas-batas yang di rumuskan dengan jelas.
3. Selo Soemardjan mengatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang
hidup bersama, yang mengasilkan kebudayaan.17
Walaupun definisi dari sarjana-sarjana tersebut berlainan, tetapi pada
dasarnya isinya sama, yaitu masyarakat yang mencakup beberapa unsur sebagai
berikut:
1. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran mutlak
ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah yang harus ada.
Akan tetapi, secara teoritis angka minimalnya adalah dua orang yang
hidup bersama.
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia
tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati, umpamanya kursi,
meja, dan sebagainya. Oleh karena itu dengan berkumpulnya manusia,
maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat
bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinginan-
keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya.
Sebagai akibat dari hidup bersama itu. Timbullah sistem komunikasi dan
17Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2013), cet. ke-
2, h.18.
26
timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan anatar manusia
dalam kelompok tersebut.
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.
4. Mereka merupakan suatu sisitem hidup bersama. Sistem kehidupan
bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok
merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.18
Dalam buku Sosiologi kelompok dan Masalah Sosial karangan (Abdul
Syani, 1987), di jelaskan bahwa perkataan masyarakat berasal dari kata musyarak
(arab), yang artinya bersama-sama, kemudian berubah menjadi masyarakat, yang
artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling
mempengaruhi, selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat
(Indonesia).
Dalam bahasa inggris kata masyarakat ditejemahkan menjadi dua
pengertian, yaitu society dan community. Community menurut Arthur Hillman
(1951) adalah :
“ a defition of community must be inclusive enough to take account of the
variety of both physical and social forms which community take”.
Dengan lain perkataan masyarakat sebagai community cukup
memperhitungkan dua variasi dari suatu yang berhubungan dengan kehidupan
bersama (antar manusia) dan lingkungan alam. Jadi cirri dari community
ditekankan pada kehidupan bersama dengan bersandar pada lokalitas dan derajat
hubungan sosial atau sentiment. Community ini oleh Hassan Shadily (1893)
18Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2013), cet. ke-2, h.19.
27
disebut sebagai paguyuban yang memperlihatkan rasa sentiment yang sama
seperti terdapat dalam Gemmeninschaft. Anggota-anggotanya mencari kepuasan
berdasarkan adat kebiasaan dan sentiment (factor primer), kemudian diikuti atau
diperkuat oleh lokalitas (factor sekunder).19 Inilah yang sudah terjadi di Kelurahan
Rengas sebagai contoh masyarakat yang sesuai dengan teori-teori tersebut.
19Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan (Jakarta: Sinar Grafika Offset), h.
30.
28
BAB III
GAMBARAN UMUM PURA KELURAHAN RENGAS
A. Pengertian Pura
Dalam Kamus Bahasa Kawi istilah Pura diartikan sebagai Kubu, Benteng,
Istana, Kerajaan, Kota, atau Puri.1 Pura berarti Candi kecil yang banyak terdapat
di daerah Bali. Ada banyak jenis Pura. Seperti Pura Desa, Pura Dalam, Pura
Subak, Pura Dewa-Dewa Hutan, Pura Gua, dan Pura Beji; memiliki pekarangan
yang kelilingi sebuah tembok dengan sebuah pintu gerbang dan terbagi atas dua
atau tiga petak.2
Pura adalah bangunan suci tempat peribadatan bagi umat Hindu, di tinjau
dari sejarah, perkembangannya serta status dan fungsinya secara garis besar Pura
itu di bedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Pura sebagai penyongsong umum yaitu tenpat sembahyang untuk
memuliakan dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi Wasa.
2. Pura sebagai penyongsong khusus yaitu tempat suci untuk memuliakan
dan memuja arwah suci.3
Pura adalah tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam
segala Prabhawa-Nya dan atma Sidha Devata (roh suci leluhur) setelah istilah
pura sebagai tempat suci untuk pemujaan bagi umat Hindu, pura juga dapat
memiliki fungsi lain yaitu pura juga bisa dijadikan sebagai pasraman.
1Wojowasito, kamus Kawi-Indonesia, h.213. 2M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian kebudayaan
Nusantara,2002), cet ke-II, h.915. 3Ketut sudandi, Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali (Denpasar: CV Kayumas
1983), h.1.
29
Pura untuk tempat suci atau tempat pemujaan di pergunakan juga istilah
Kahyangan atau Parhayangan.4
Dipandang dari sudut filosofinya, sebuah Pura tiada lain adalah replika
atau duplikat dari Sorgaloka atau Kahyangan, stana sesungguhnya ida sanghyang
Widhi Wasa. Maka dari itu Pura dinamakan juga Kahyangan. Sorgaloka atau
Kahyangan sebagai stana yang sebenarnya dari Ida Sanghyang Widhi tentulah
merupakan tempat yang sangat suci dan indah. Ini juga yang menyebabkan Pura
dinamakan sebagai tempat suci. Berdasarkan mithologi, sorgaloka yang suci dan
indah itu diturunkan ke bumi berupa “gunung-gunung suci” seperti Gunung
Himalaya di India, Gunung Mahameru di Jawa dan Gunung Agung di Bali.
Karena itu gunung-gunung diyakini sebagai tempat berstananya Ida Sanghyang
Widhi. Itulah sebabnya, maka sebuah Pura sebagai replika Sorgaloka dibangun di
gunung-gunung atau di tempat-tempat yang lebih tinggi, tentunya dengan
arsitektur yang sangat indah pula.5
Secara etimologi, kata ‘Pura’ berasal dari akhiran Bahasa Sansekerta (-pur,
-puri, -pura, -puram, -pore) yang artinya kota, kota berbenteng, kota dengan
menara atau istana. Dalam perkembangannya di Pulau Bali, istilah ‘Pura’ menjadi
khusus untuk tempat ibadah, sedangkan kata ‘puri’ menjadi tempat tinggal bagi
para raja dan bangsawan.‘Pura’ yang berarti keraton atau istana raja, kata ini
banyak dijumpai di Bali pada saat pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan, seperti
Linggarsapura di Samprangan, Swecapura di Gelgel, Semarapura di Klungkung,
Bandanapura (Badung), Kawyapura (Mengwi).
4Departemen agama, I Gst. MD Ngurah et al, buku pendidikan agama hindu untuk
perguruan tinggi (Surabaya: Paramita, 1999), cet ke-I, h.177. 5K. M. Suhardana, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan Kajian
Bagi Generasi Mendatang (Surabaya: Paramita, 2006), h.112.
30
Pura sebagai tempat pemujaan dimulai pada jaman sebelum Dalem
Kepakisan, Rsi Markandeya mendirikan Pura Besakih. Pada abad XI Empu
Kuturan mempopulerkan Pura dengan Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Puseh
dan Dalem) dan tempat memuja Sang Hyang Widhi yang disebut Meru. Pada
jaman Dang Hyang Dwi jendra, tempat memuja Sang Hyang Widhi disebut
Padmasana.
Pura merupakan tempat suci Umat Hindu. Pura biasanya didirikan di
tempat yang sekelilingnya asri seperti laut, gunung, goa, hutan dan sebagainya.
Penyebutan nama tempat suci dalam Ajaran Hindu tidak secara gamblang. Tempat
suci atau pemujaan ini disebut devalaya, devasthana, deval atau deul yang berarti
rumah para dewa.6
Masuk ke sebuah Pura diibaratkan seperti menuju ke Sorgaloka. Candi
Bentar yang berdiri tegak di Jaba Pura diibaratkan sebagai pangkal dari sebuah
gunung yang suci itu, sedangkan Pamedal Agung diibaratkan sebagai lereng
gunung yang penuh dengan binatang buas yang dilukiskan dengan “Boma”.
Sementara itu Ida Sanghyang Widhi dibayangkan berstana di Padmasana yang
terletak di halaman dalam atau jeroan Pura. Bhatara Bhatari atau Dewa-Dewi
sebagai manifestasi Nya bersama di Meru-Meru atau Pelinggih-Pelinggih lain
sesuai dengan tingkat manifestasi Nya. Demikian itulah gambaran filosofis Pura.7
6Ketut Subandi, Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali (Denpasar : CV Kayumas)
1983), h.10. 7K. M. Suhardana, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan Kajian
Bagi Generasi Mendatang (Surabaya: Paramita, 2006), h.113.
31
B. Fungsi Pura
Menurut Ida Pedanda Made Kemenuh dalam bukunya “Fungsi Pura”
fungsi Pura itu adalah sebagai berikut:
1. Pura adalah tempat beribadat, tempat mendekatkan diri kepada Ida
Sanghyang Widhi, tempat mohon dan bersujud kepadaNya, tempat mohon
pertolongan dan mohon ampun atas segala dosa lahir maupun batin.
2. Pura adalah tempat umat berkumpul dikala piodalan, saling kenal-
mengenal sambil membicarakan berbagai persoalandan sebagai tempat
pelipur duka lara dengan menunjukan isi hatinya kepada Ida Sanghyang
Whidi. Pura juga merupakan tempat bagi para pujangga untuk mohon
inspirasi kepada Ida Sanghyang Widhi.
3. Pura adalah tempat bagi pengantin guna mengikrarkan sumpah setianya
dengan disaksikan oleh Ida Sanghyang Whidi, untuk berjanji tetap setia
dan sehidup semati dalam membina rumah tangga bahagia.
4. Pura adalah tempat “mesandekan” bagi mereka yang sedang bepergian
jauh dimana tidaka ada rumah famili. Dalam hal ini, bangunan di jaba
Puralah yang akan dijadikan tempat untuk berhenti sementara.
5. Pura adalah tempat bagi Pegawai Negeri untuk melakukan sumpah
setianya kepada Negara.
Dalam bahasa Sansekerta kata “Pura” atau “pur” berarti benteng atau kota.
Dikaitkan dengan tempat suci Umat Hindu, maka benteng atau Pura itu
dimaksudkan sebagai tempat untuk melindungi umat sedharma dari gangguan atau
32
pengaruh kelompok agama lain. Dalam Pura inilah keyakinan dan kepercayaan
Umat Hindu “dibentengi” dan dijauhkan dari pengaruh buruk pihak lain.
Pada umumnya fungsi Pura adalah sebagai berikut:
1. Sebagai tempat suci stana Ida Sanghyang Whidi dan Bhatara Bathari
menifetasi Nya.
2. Sebagai tempat Umat Hindu untuk menghubungkan diri dan atau
memuliakan serta memuja kebesaran Ida Sanghyang Whidi dan segala
manifestasi Nya.
3. Sebagai tempat persembahyangan bersama bagi umat sedharma,
khususnya ketika piodalan atau tibanya hari-hari raya.
4. Sebagai tempat untuk melaksanakan pendidikan dan atau meningkatkan
pengetahuan, pendalaman, penghayatan, dan pengamalan Agama Hindu
bagi umatnya.
5. Sebagai tempat untuk melaksanakan paruma guna membahas berbagai
masalah tentang Pura dan Krama Dadia penyungsung Pura.
Sebagai tempat untuk melaksanakan sangkepan yaitu membayar iuran dan
kewajiban lain dari Krama Dadia untuk kepentingan Pura dan lain-lain.8
Pura sebagai tempat suci Umat Hindu di Indonesia. Pura merupakan
tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam prabawa-NYA (manifestasiNYA)
dan atau Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur) dengan sarana upacara yadnya
8K. M. Suhardana, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan Kajian
Bagi Generasi Mendatang (Surabaya: Paramita, 2006), h. 114.
33
dari Tri Marga. Pura sebagai tempat suci Umat Hindu memiliki arti dan fungsi
yang sangat penting, yaitu :9
1. Tempat untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya.
2. Tempat umat mendekatkan diri dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan.
3. Tempat dialog/komunikasi sosial masyarakat dan tempat persaksian atas
suatu aktivitas.
4. Tempat mengasah dan mendidik calon-calon pemimpin masyarakat.
Menurut Gusti Ngurah Rai, fungsi Pura dapat dikelompokan dalam 3
kelompok yaitu:10
1. Fungsi spiritual: Dharma Sedana, Dharma Yatra
2. Fungsi pendidikan: Dharma Wacana, Dharma Tula
3. Fungsi sosial: Dharma Shanti, Dharma Gita
Dari data yang sudah dikumpulkan, maka penulis sampaikan mengenai
fungsi dari pura mertasari secara garis besar, yaitu :
1. Fungsi Religius
Pura Mertasari berfungsi sebagai tempat persembahyangan bagi umat
Hindu. Sebagaimana halnya dengan pura lain yang ada di Rempoa, Pura Mertasari
juga memiliki hari-hari tertentu yang disucikan yang disebut piodalan. Piodalan
di Pura Mertasari jatuh pada Budha Kliwon Wuku Sinta atau bertepatan dengan
Hari Raya Pagerwesi.
9Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk
Perguruan Tinggi (Surabaya: Paramita, 1999), cet-I, h. 177. 10Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk
Perguruan Tinggi (Surabaya: Paramita, 1999), cet-I, h. 178.
34
2. Fungsi Sosial
Pura sebagai tempat sosial yaitu hubungan antara umat dan lingkungan
yang ada di sekitarnya (fungsi horisontal). Pura juga sebagai tempat melakukan
hubungan komunikasi yang bisa dilihat seperti pada pelaksanaan rapat.
3. Fungsi Pendidikan
Pura merupakan tempat untuk melaksanakan kegiatan terutama dalam
pendidikan dibidang keagamaan dan juga tempat untuk melangsungkan kegiatan
pendidikan nonformal. Pendidikan ini dapat dilihat seperti dalam melaksanakan
dharma wacana juga sebagai tempat belajar membuat upakara seperti membuat
banten, penjor, dan perlengkapan lainnya.
4. Fungsi Budaya
Dapat dilihat dari berbagai atraksi pertunjukan kesenian yang ditampilkan
pada saat penyelenggaraan upacara piodalan. Adapun kesenian-kesenian yang
dipentaskan di Pura Mertasari, yaitu seni suara, seni tari, seni tabuh.
5. Fungsi Politik
Antara satu warga dengan warga lainnya pasti saling memerlukan, terlepas
dari semua kesibukan yang dimiliki oleh masing-masing penyungsung pura,
mereka juga memiliki kewajiban yang sama dalam menjaga dan melestarikan
pura.
6. Fungsi Ekonomi
Pungutan suka rela berupa sesari (punia) dari pemedek yang datang untuk
bersembahyang di Pura Mertasari diberikan kepada pemangku pura.
35
C. Sejarah Singkat Pura Mertasari
Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan kawasan untuk membangun
Pura, dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan tanah yang
layak dipakai adalah tanah yang berbau harum, yang “gingsih” dan tidak berbau
busuk, sedangkan tempat-tempat yang ideal untuk membangun Pura, adalah
seperti disebutkan pada kutipan dari Bhavisya purana dan Brhat Samhita, yang
secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangning sagara giri”, atau “sagara-
giri adumukha”, tempatnya tentu sangat indah di samping vibrasi kesucian
memancarkan pada lokasi yang ideal tersebut.11
Adapun sejarah berdirinya Pura Mertasari ini adalah, Pura Mertasariyang
terletak di Jalan Teratai Putih, Rempoa Permai, RT 4 RW 11, Rengas, Ciputat
Timur, Tangerang Selatan, Banten ini dirintis sejak tahun 1983 atas dasar Surat
Perintah dari kesatuan Batalyon ini bahwa Batalyon menginginkan komplek ini
menjadi komplek pancasila sehingga dalam kawasan ini terdapat Pura, gereja,
Wihara, Masjid. Dan memang jika di lihat, sekarang ini di areal wilayah komplek
betul-betul di anggap menjadi komplek Pancasila.
Jika sore kita dapat melihat umat Hindu datang ke Pura terlebih pada hari
minggu di Pura Mertasari sangat ramai di penuhi para pemeluk umat Hindu yang
berkumpul untuk melakukan ibadah, untuk belajar agama Hindu dan berkumpul
dalam kegiatan lainya, masjid ramai dengan orang yang ingin menunaikan shalat,
warga sangat rukun, ini menjadi pemandangan yang positif bagi kerukunan
beragama, sangat luar biasa. maka atas dasar itulah Batalyon ini mengeluarkan
surat perintah pada tahun 1984 yang silam agar bisa berdiri Pura . Dan berdirilah
11I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,
2009), h. 91.
36
Pura Mertasari ini. Pada Bulan Agustus tepatnya pada tahun 1984 baru bisa
peletakkan batu pertama untuk pembangunan Pura, yang ketika itu umat Hindu
baru berjumlah 40 KK. Lambat laun seiring bertambahnya pengikut Hindu di
daerah ini yang datang dari daerah lain, maka ada keinginan pengurus untuk
memperluas sarana peribadatan. Maka disepakatilah renovasi sebagai jalan yang
paling mungkin untuk dilakukan.
Pura ini sudah mengalami 3 (tiga) kali renovasi. Alasan renovasi ini
muncul karena ketika itu di wilayah ini sudah terdapat lebih dari 40 KK. Dan
akhirnya pada tahun 1986 di lakukanlah renovasi karena umat hindu sudah banyak
yang pindah dari berbagai daerah seperti , Depok, dan daerah sekitar Ciputat.
Maka semakin banyaklah umat Hindu yang pindah ke daerah ini. Bahkan dalam
beberapa tahun yang lalu Pura Mertasari berencana membangun lebih besar lagi
ke atas karena sudah tidak memungkinkan untuk memperlebar maka harus
membangun ke atas tetapi ada masalah perijinan yang pada akhirnya menghalangi
pembangunan Pura Mertasari. Pada awal berdiri Pura Mertasari hanya satu lantai,
sekarang kita dapat melihat Pura yang dua lantai, yang lantai atas digunakan
khusus untuk kegiatan pasraman (sekolah agama Hindu), munkin jika telat
mendapat ijin Pura ini sekarang menjadi tiga atau empat lantai ke atas.12
Pada tahun 1982 mulai banyak penganut agama hindu yang berkumpul di
Jakarta, mereka berasal dari bali dan jawa pada umumnya, dan mereka
memutuskan untuk mendirikan sebuah pura sebagai sarana tempat beribadah umat
hindu, akhirnya membeli tanah dan mendirikan pura di lalu pada tanggal 13
Januari 1982 dilaksanakan upacara Nganteg Linggih (semacam upacara peresmian
12Wawancara pribadi dengan bapak Warsad selaku sekretaris RT 06 pada tanggal 10
Maret 2019.
37
Pura) yang dipimpin Pedande Istri Wayan Sidemen, upacara Nganteg Linggih
pada Umumnya dilakukan oleh setiap pura pada tiga puluh tahun sekali, tetapi
dengan alasan peresmian dan pelengkapan administrasi di pura mertasari ini
upacara Nganteg Linggih dilakukan sebelium tiga puluh tahun dan akhirnya pada
tanggal 15 Juni 2014 dilaksanakan upacara Nganteg Linggih yang ke-2 yang di
pimpin oleh Ide Pedande Made Putra Sidemen sekaligus diresmikan kembali oleh
ibu Hj. Airin Rachmi Diany, SH, MH selaku Walikota Tangerang Selatan.13
D. Struktur Kepengurusan Pura Mertasari
Struktur bangunan sebuah Pura seyogyanya memiliki beberapa halaman,
namun dalam prakteknya ditemukan adanya sebuah Pura yang mempunyai hanya
satu atau dua halaman saja. Pura yang mempunyai satu halaman saja, didasarkan
kepada konsep Ekabhuwana dimana alam atas dan alam bawah dianggap
menyatu. Sedang Pura yang memiliki dua halaman didasarkan konsep alam atas
dan alam bawah yang terpisah.14
Selain struktur bangunan Pura, Pura juga mempunyai struuktur organisasi
untuk membagi tugas dan kewajiban demi merawat dan mengembangkan sebuah
Pura. Adapun di bawah ini gambar struktur kepengurusan Pura Mertasari. Dalam
kepengurusan Pura, umat Hindu biasa menyebutnya dengan nama Pengempon.
Pengempon adalah kelompok umat yang bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan Pura baik secara fisik atau non fisik. Ada juga yang dinamakan
ketua Banjar yang artinya ketua Pura sebagai penanggung jawab semua kegiatan
yang ada di Pura. Ketua Banjar memiliki wakil yang bertugas untuk membantu
13Wawancara pribadi dengan bapak made seroja selaku kepala pasraman pura mertasari
pada 5 Februari 2018. 14K. M. Suhardana, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan Kajian
Bagi Generasi Mendatang (Surabaya: Paramita, 2006), h. 116.
38
ketua Banjar dalam menjalankan tugasnya, lalu ada yayasan yang di dalam nya
memiliki sebuah sekolah khusus untuk umat Hindu yang hanya dibuka pada hari
minggu dan kepala sekolah khusus umat Hindu disebut dengan nama ketua
pasraman. Lalu ada juga koperasi yang dimiliki oleh pura mertasari sebagai
layaknya organisasi, koperasi ini untuk membantu anggotanya. Ada juga
sekretaris yang bertugas mencatat kegiatan dan merapikan arsip kegiatan yang
dilakukan di pura mertasari Rempoa.
Adapun untuk Pura Mertasari Rempoa Srtuktur kepengurusan nya adalah
sebagai berikut:
39
Dari struktur yang sama-sama kita lihat di atas menandakan bahwa betapa
Pura mertasari ini sangat terorganisir seperti hal nya organisasi yang lain, bahkan
dalam struktur tersebut ada bidang adat untuk memperthankan adat istiadat yang
sudah ada. Dari yang kita lihat pada struktur di atas bahwa Pura Mertasari sangat
lengkap, bahkan penulis pernah melihat sendiri ada penilaian pura dari pengawas
Hindu yang dari pusat untuk memastikan bahwa Pura selalu dalam keadaan baik
dan tersusun karena kerja organisasi orang-orang yang berada di Pura mertasari
tersebut.
E. Monografi Kelurahan Rengas
1. Kelurahan Rengas
Kelurahan Rengas adalah daerah kelurahan yang terletak di Kecamatan
Ciputat Timur, berjarak 2 Km dari pusat pemerintahan kecamatan, dan 8 Km dari
pusat pemerintahan Kota, serta berjarak 86 Km dari pusat pemerintahan Provinsi.
Kelurahan Rengas berada di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan,
Provinsi Banten, Republik Indonesia . Kelurahan ini secara administrasi
berbatasan dengan: Utara: Kecamatan Pondok Aren dan DKI Jakarta. Selatan:
Kelurahan Cempaka Putih. Barat: Kelurahan Pondok Ranji. Timur: Kelurahan
Rempoa dan DKI Jakarta. Di Ciputat Timur hanya kelurahan Rengas yang
memiliki bangunan tempat ibadah umat Hindu, bangunan Pura ini dibangun
berdasarkan kesepakatan umat Hindu yang ternyata sudah cukup banyak tinggal
di daerah Rengas dan sekitarnya, bangunan Pura juga sudah memiliki izin yang
resmi dari pemerintah dan warga sekitar.
40
2. Jumlah Penduduk
Dari diagram di atas dapat di jelaskan bahwa jumlah pengduduk kelurahan
rengas sebanyak 24.046 jiwa yang tgerdiri dari laki-laki 12.205 jiwa, perempuan
11.841 jiwa, yang tersebar dalam 11 RW dan 75 RT, dari sini dapat disimpulkan
bahwa jumlah penduduk kelurahan rengas laki-laki lebih banyak daripda jumlah
penduduk perempuan.
3. Sarana dan pra sarana tempat peribadatan
41
Dari diagram di atas dapat di simpulkan bahwa sarana dan prasarana
kelurahan rengas mencapai 30 gedung yang meliputi : 29 gedung milik penganut
agama islam dengan rincian, 6 gedung masjid dan 23 gedung mushola. Sedangkan
sarana peribadatan penganut agama Hindu terdapat 1 gedung Pura di kelurahan
Rengas. Kuantitas penganut agama Islam sebagai mayoritas, fasilitas-fasilitas
keagamaan bagi masyarakat muslim pun lebih banyak tersedia di kelurahan
tersebut.15
Dari data tersebut penulis menyadari bahwa kelurahan Rengas di dominasi
oleh pemeluk agama Islam sebagai maayoritas, dan agama lain hanya sebagai
minoritas walaupun terdapat Pura sebagai bangunan tempat ibadah agama Hindu,
tetapi tetap saja Islam sebagai mayoritas, walaupun demikian mereka hidup damai
dan rukun tanpa pernah terjadi konflik agama. Bahkan sebaliknya setelah penulis
melaksanakan penelitian di daerah tersebut. Penulis menemukan mereka saling
beerbagi tanpa memandang dari agama mana mereka berasal, saling membari dan
menerima kebaikan siapapun tnpa melihat dari golongan mana mereka lahir.
15Buku Data Monografi Kelurahan Rengas Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan Provinsi Banten tahun 2016.
42
BAB IV
ANALISIS PERAN PEMANGKU TERHADAP UMAT HINDU DALAM
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
A. Peran Pemangku Terhadap Umat Hindu dalam Menjalankan Kehidupan
Bermasyarakat
Merupakan suatu kewajiban bagi seorang Pemangku agama Hindu
(pemuka agama Hindu) untuk membimbing umat untuk meningkatkan kesucian
diri. Karena bagi umat seorang pemangku memegang peranan yang sangat penting
dan bersifat penentu di dalam setiap keagamaan. Umat melihat bahwa pemangku
setiap hari mengadakan sembahyang, memuja kebesaran sang Hyang Widhi
memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk masyarakat, maka umat
mempunyai keyakinan penuh masalah kesucian itu. Para Pemangku merupakan
ujung tombak dalam membina umat Hindu.
Karena itu perlu diberikan bimbingan dari segi kesucian dan bekal dari
segi kemampuan dalam melaksanakan tugas. Untuk mewujudkan hal tersebut
sangat tergantung sekali kepada faktor mental orang tersebut. Dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan saja tidaklah cukup namun ada yang lebih penting dari
semuanya itu, yaitu realisasi pengamalan hidup dalam masyarakat sikap kita
terhadap sesama, dan selalu ingat kepada Sang Yang Widhi dirasa merupakan
pegangan hidup kesucian untuk mencapai kebahagiaan baik lahir maupun batin.
Berkenaan dengan seorang Pemangku adalah sebagai guru rohani umat
Hindu, ada beberapa kepercayaan-kepercayaan yang terpenting dalam agama
43
Hindu yang di ajarkan oleh seorang Pemangku terhadap umatnya seperti karma,
dan penjelmaan roh.1
Undang-undang balasan dalam bahasa sansekerta adalah karma. Dan tidak
seorangpun yang mengelak daripadanya. Di dalam kitab Yoga Vasistha ada
terdapat tulisan “Di dalam alam ini tidak ada suatu tempat, tidak ada gunung,
langit, lautan, dan taman-taman indah yang menjadikan seseorang dapat
melindungi dirinya dari balasan amalannya, baik yang baik ataupun yang buruk”.
Menurut undang-undang keadilan yang tegas, semua pekerjaan pilihan manusia
yang memberi kesan pada orang lain baik yang baik ataupun yang jahat, haruslah
menerima balasan pahala atau siksa. Susunan alam ini adalah susunan ketuhanan
yang tegak di atas dasar keadilan semata-mata.
Keadilan alam memerlukan balasan bagi tiap-tiap perbuatan Di dalam
alam ini terdapat sejenis peraturan yang tidak membiarkan perbuatan manusia
baik perbuatan itu kecil atau besar, terjadi tanpa perhitungan. Sesudah dihitung
tiap-tiap orang akan menerima balasannya menurut perbuatannya dan balasan itu
terjadi pada masa hidup.2
Karma artinya amal perbuatan. Bila di dunia ini banyak ber dosa dan
banyak melanggar hukum –hukum karma maka ia akan lahir kembali sebagai
manusia yang rendah derajatnya. Bahkan mungkin sebagai binatang yang hina.
Sebaliknya bila mana hidupnya yang lampau berlaku baik sesuai dengan hukum-
hukum karma maka ia akan lahir kembali sebagai makhluk yang lebih tinggi
derajatnya . Dan apabila dalam hidupnya berturut-turut mengumpulkan karma
yang baik . Sehingga tiap kali ia lahir kembali sebagai manusia yang sempurna
1Ahmad Shalaby, Agama-agama Besar di India (Jakarta: Bumi aksara: 1998), h. 40. 2Ahmad Shalaby, Agama-agama Besar di India (Jakarta: Bumi aksara: 1998), h. 41.
44
dan tidak perlu kembali ke dunia lagi ia masuk dalam alam mokhsa sebab hidup di
dunia ini adalah penderitaan (sengsara= samsara).3
Radhakrishnan menyebut karma sebagai azas yang mengatur dunia
ciptaan. Karma adalah hukum sebab akibat . “ ada hukum moral , rohani dan
hukum yang bersifat lahiriah. Bila kita menelantarkan aturan tentang kesehatan,
kita kan merusak kesehatan kita, tetapi bila kita menelantarkan aturan moral, kita
menghancurkan hidup kita yang lebih tinggi. Karena itu hukum karma tidaklah
berada diluar diri manusia. Hakimnya berada dari dalam diri kita sendiri.
Kita sendirilah yang menentukan kelahiran kita, hidup kita, dan nasib kita.
Buah karma (Karmapala) bukan merupakan berkah atau kutukan Tuhan, tetapi
semata-mata merupakan hasil dari perbuatan kita sendiri. Jalannya karma adalah
secara menyeluruh tanpa perasaan , adil, tiada kejam, maupun welas asih.4
Kepercayaan kepada hukum karma atau karmapala , membuat umat Hindu
menjadi tabah dan tetap optimis menghadapi masa depan. Bagi umat Hindu
memang selalu tersedia kesempatan untuk memperbaiki diri. Yang terpenting
adalah tumbuhnya kesadaran dan adanya usaha.
Seperti nasabah yang sadar, bersedia hidup prihatin selama melunasi
hutang-hutangnya di Bank, demikian pula umat Hindu yang sadar, mengetahui
penderitaan yang di alaminya sekarang adalah “ bayaran “ atas karma buruknya di
masa lalu. Ini di sebut prarabdha karma. Yaitu karma yang sedang di bayar atau
dinikmati akibatnya. Tidak ada cara untuk menghindar. Menyadari hal ini Dia
akan tetap tegar, tetap berusaha berbuat baik ditengah-tengah penderitaan, karena
3Moh. Rifa’I, Perbandingan Agama (Jakarta: CV Jaya Murni, 1965), cet ke-II, h. 85. 4Raka Santeri, Tuhan dan Berhala (Denpasar :Yayasan Dharma Narada, 2000), cet ke-I,
h. 65.
45
perbuatan baik yang kita lakukan sekarang adalah tabungan hidup masa depan
yang bahagia.
Pemeluk agama Islam dan Hindu yang beradab di Kelurahan Rengas hidup
berdampingan dan saling menghargai satu sama lain walaupun berbeda agama dan
budaya. Mereka saling memberi dan menerima, bentuk keberagamaan yang
harmonis antara umat Hindu dan Islam yaitu pada saat hari raya idul adha umat
Islam menyembelih hewan qurban dan mereka membagikan hewan qurbannya
kepada para umat Hindu juga, dan umat Hindu juga menerima pemberian dari
umat Islam.5 Hal itu sebagai contoh kehidupan bermasyarakat dalam hal sosial
keagamaan yang tidak lepas dari ajaran Pemangku terhadap umat Hindu yaitu
baik kepada sesama manusia, karena jika menolak pemeberian umat Islam berarti
umat Hindu telah berbuat tidak baik dengan sesama manusia
Para umat Hindu yanga ada di Pura Mertasari sering mengadakan bakti
sosial di Pura untuk membantu masyarakat yang berada di sekitar Pura dan tidak
sedikit para peneriam bantuan tersebut adalah dari kalangan umat Islam.6 Hal ini
sangat membantu masyarakat yang berada di sekitar Pura karena yang di bagikan
dalam bakti sosial tersebut adalah sembako untk kebutuhan sehari-hari.
Pemangku berperan dalam kebudayaan yang ada di masyarakat, ajaran
yang Pemangku sampaikan kepada para umat Hindu berguna bagi kebudayan
sekitar masyarakat yaitu latihan menari anak-anak yang sering di adakan di Pura
pesertanya adalah anak-anak dari agama Islam dan Hindu, bahkan sampai ada
5Wawancara pribadi dengan bapak Warsad sebagai pejabat Sekretaris RT pada tanggal 10
Maret 2019. 6Wawancara pribadi dengan bapak Warsad sebagai pejabat Sekretaris RT pada tanggal 10
Maret 2019.
46
anak dari agama Islam yang mengikuti lomba ke London yang berawal dari
latihan di Pura.7
Satu yang beda dari peran Pemangku dalam kehidupan bermasyarakat
yaitu pada aspek politik. Seorang Pemangku tidak akan memberikan tuntunan
tentang cara berpolitik dan bagaimana berpolitik menurut agama Hindu, bahkan
pemangku sama sekali tidak bersentuhan dengan politik dalam kehidupannya
sehari-hari, seorang Pemangku untuk makan saja sudah sangat hati-hati artinya
untuk makan yang bernyawa saja Pemangku sudah tidak apalagi dalam berpolitik
terkadang harus menggunakan cara apapun untuk menjatuhkan lawan politiknya,
hal tersebut sudah sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu.8
Pada umumnya Pemangku memberikan ajaran agama Hindu kepada umat
Hindu pada saat setelah persembahyangan, yang dinamakan sebagai acara
Dharmawacana yang biasanya dibacakan oleh Pemangku atau umat yang lain
yang diberikan kesempatan dan kepercayaan oleh ketua Banjar. Dalam
pembacaan Dharmawacana inilah terdapat ajaran atau tuntunan dalam
menjalankan kehindupan bermasyarakat. Pemangku juga memberikan ceramah
kepada umat Hindu pada saat setelah upacara persembahyangan yang di adakan
secara bersama sama pada hari hari besar agama Hindu. Berikut adalah jadwal
upacara persembahyangan selama satu tahun dan Pemangku yang bertugas
membacakan Dharmawacana :
7Wawancara pribadi dengan bapak H. Miftahul Jannah sebagai ketua dewan kemakmuran
masjid nurul iman yang berada di dekat Pura pada tanggal 10 Maret 2019. 8Wawancara pribadi dengan bapak Made Seroja sebagai Ketua Pasraman Pura Mertasari
pada tanggal 2 Desember 2018.
47
48
Dalam jadwal yang ada di atas itulah sebanyak Pemangku atau yang
mewakilinya menyampaikan pokok-pokok ajaran agama Hindu termasuk di
dalamnya juga tentang bagaimana tata cara berkehidupan yang baik dalam
masyarakat dalam rumah tangga atau di tempat kerja, seperti salah satu contoh
yang pernah dikatakan Pemangku Wayan Pinda Asmara, menurutnya bekerjalah
yang baim agar dapat memenuhi kebutuhan hidup istri dan anak-anak tanpa
merugikan orang lain.9 Selain dari pada itu ceramah tentang kehidupan dan
keberagamaan juga dilakukan pada kegiatan pertemua banjar yang di adakan
setiap bulan di Pura Mertasari.
B. Urgensi Pemangku Umat Hindu dalam Kehidupan Bermasyarakat
Manusia merupakan mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Sebagai
mahluk sosial, dalam upaya pencapaian kebutuhannya. Manusia harus berhadapan
dengan manusia yang lain yang juga mempunyai kepentingan untuk memenuhi
kebutuhan individulanya, sehingga kerap terjadi suatu konflik kepentingan antar
manusia. Sebagai jalan tengah untuk mengurangi resiko terjadinya konflik,
dimunjulkan suatu nilai, norma, atau aturan bersama yang disebut dengan etika
bersama. Etika bersama inilah yang kemudian secara berkelanjutan dari generasi
ke generasi menjadi suatu norma bersama dan akhirnya berkembang menjadi
budaya.10 Secara harfiah, istilah culture berasal dari bahaya latin yaitu colere11,
budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu buddhayah, yang
9Wawancara pribadi dengan bapak Wayan Pinda Asmara sebagai Pemangku Pura
Mertasari pada tanggal 22 oktober 2017. 10Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h.27. 11Colere memiliki arti mengolah tahan, yaitu segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal
budi (pikiran) manusia dengan tujuan untuk mengolah tanah atau tempat tinggalnya atau dapat pula diartikan sebagai usaha manusia untuk dapat melangsungkan dan mempertahankan hidupnya di dalam lingkungan. Lihat pula Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu,2010), h.23.
49
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.12
Manusia memiliki unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa
dan kehendak (karsa), dan karya.13 Hasil keempat potensi budaya itulah yang
disebut dengan kebudayaan. Dengan kata lain budaya adalah hasil cipta, rasa,
karsa, dan karya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Rengas merupakan suatu kelurahan yang mayoritas pemeluk agamanya
umat Islam, tetapi diantara padatnya umat Islam yang ada di situ terdapat sebuah
bangunan yang menjadi tempat ibadah para mpemeluk agama Hindu, hal ini tidak
menutup kemunkinan adaya suatu konflik agama yang akan ditimbulkan oleh
keduanya, tetapi karena mereka sama sama beragama dengan cara yang baik,
umat Islam di tuntun oleh pemimpinnya para kyai dan ustadz dan Hindu juga di
pimpin oleh tokoh agamanya yaitu salah satunya Pemangku, berkat para tokoh
agama ini memunkinkan untuk mereka saling hidup rukun satu sama lain temasuk
untuk melestarikan budaya yang telah ada.
Pemangku umat Hindu sering kali menjadi tempat bertanya umat.
Pemangku berkewajiban memberikan arahan kepada umat Hindu apabila
mengalami kebingungan dalam menjalani roda kehidupannya karena dirudung
masalah yang tak kunjung tak dapat terselesaikan. Sehingga umat tidak ragu
12Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, h.24. 13Cipta ialah kerinduan manusia untuk mengetahui segala hal yanga ada dalam
pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa ilmu pengetahuan. Karsa ialah kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal “sankan paran”. Dari mana manusia sebelum lahir disebut sangkan. Dan kemana manusia sesudah mati disebut paran. Hasilnya berupa norma-norma keagamaan atau kepercayaan. Timbullah bermacam-macam agama, karena kesimpulan manusiapun bermacam-macam. Rasa ialah keridnuan manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikamati keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan. Buah perkembangan rasa ini terjelma bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan macam kesenian. Lihat di buku Djoko Widagho, Ilmu Budya Dasar (Jakarta: bumi aksara, 1994), h.18.
50
mengambil sebuah keputusan yang berlandaskan ajaran agama sesuai dengan apa
yang di ajarkan kitab weda. Hal ini sama seperti Islam yang menjadikan ulama
sebagai tempoat untuk dialog agama atau konsultasi masalah agama dan masalah
kehidupan yang berhubungan agama.
Selain itu,Pemangku menjadi penyeimbang dalam pergaulan antara umat
Hindu dan umat Islam dengan cara menciptakan kerukunan umat beragama.
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan untuk menciptakan kerukunan antar umat
beragama yaitu :
1. Mempererat Kerukunan Umat Beragama
Kehidupan sosial berlangsung dalam suatu wadah yang disebut
masyarakat. Dalam konteks pemikiran sistem, masyarakat akan dipandang sebagai
sebuah sistem (sosial). Di satu sisi, pandangan ini selain menunjuk pada suatu
satuan masyarakat yang besar, misalnya masyarakat desa, masyarakat kota atau
masyarakat Indonesia. Dan si sisi lain, juga bisa menujuk pada satuan masyarakat
yang kecil, misalnya keluarga, sekolah, organisasi, pabrik dan lain-lain. Menurut
Talcott Parsons kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai sistem (sosial).
Artinya. Kehidupan tersebut harus dilihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas
dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain,
saling tergantung, dan berada pada suatu kesatuan. Kehidupan sosial seperti itulah
yang disebut sebagai sistem sosial.14 Hal ini akan sangat mempengaruhi terhadap
kerukunan umat beragama pada suatu tempat yang terdapat bermacam-macam
pemeluk agama.
14J. dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan (Jakarta:
kencana, 2006), h.124-125.
51
Upaya membangun dan menjaga kerukunan umat beragama, menurut
semua elit agama memerlukan kekompakan dan kebersamaan semua elemen umat
beragama. Sebab, meski kerukunan umat beragama di rempoarelatif baik, masih
ada potensi dan benih-benih konflik yang mesti di waspadai oleh semua pihak.
Setelah terjadinya konflik antar umat beragama, disatu sisi memang bisa
mengakibatkan bertambah rekatnya hubungan antaragama, karena adanya
kewaspadaan secara bersama.
Namun disisi lain, konflik justru berimplikasi bagi renggangnya hubungan
antarumat beragama. Hal ini karena, tumbuhnya perasan pernah dilukai oleh
agama tertentu, dapat melahirkan embrio-embrio baru yang dapat menyulut
konflik yang lain. oleh karena itu, semua komunitas umat beragama dituntut perlu
mewaspadai berbagai insiden yang terjadi, agar tidak mudah terprovokasi. Dalam
konteks ini, peran elit agama dalam menjaga ketenangan batin komunitas umat
masing-masing juga sngat diperlukan. Di sisi lain, peran pemerintah dalam
membina kerukunan umat beragama juga penting ditingkatkan, baik secara
kuantitas maupun kualitas.
Dalam konteks ini pemerintah seharusnya juga terlibat aktif dalam
meyelesaikan masalah, bukan pada tataran menginterfensi keyakinan, melainkan
lebih pada upaya mengatasi ketegangan antar kelompok masyarakat. Rendahnya
pastisipasi umat beragama pada level kalangan bawah, menjadi bahan renungan
bagi para elit agama, agar lebih banyak melibatkan mereka dalam dialog dan
kerjasama, yang selama ini bersifat elitis karena banyak dilakukan hanya pada
kalangan elit agama-agama. Konflik antarumat beragama juga karena fanatisme
terhadap ajaran agamanya sendiri.
52
Ditambah lagi karena adanya kelompok atau aliran yang dinilai sesat atau
sempalan, pendirian tempat ibadah yang tidak dilakukan melalui prosedur yang
benar, penodaan agama, dan kurangnya wawasan kebangsaan, juga menjadi
penyebab lain terjadinya konflik. Oleh karena itu, perlu dicari upaya-upaya untuk
meminimalisasi konflik, dengan cara dialog inter religious dan intra religious,
dialog kedalam maupun kelur perspektif agama masing-masing. Dalam forum
dialog, diperlukan sikap yang menjunjung kebersamaan dan kesetaraan, didasari
dengan niat yang tulus dan prasangka yang positif.15
Oleh karena itu, dialog teologis semakin disadari sangat penting dilakukan
sebagai landasan bagi penciptaan kerukunan umat beragama. Seperti yang pernah
dilakukan di rempoapernah diadakan dialog antarumat beragama, dialog antar
umat beragama yang dihadiri oleh lima tokoh agama yang ada di Indonesia yaitu
Islam, Hindu, Budha, kristen katolik, kristen protestan. Dialog teologis bertujuan
untuk membangun kesadaran bahwa diluar keyakinan dan keimanan yang dimiliki
seseorang atau sekelompok orang, ternyata masih banyak sekali keyakinan dan
keimanan dari tradisi agama-agama lain.
Jika dialog sosial berangkat dari problem bagaimana kita menempatkan
agama kita di tengah-tengah agama-agama orang lain, maka dialog teologis
menghadapi persoalan bagaimana memposisikan iman kita ditengah-tengah iman
orang lain. dalam dialog teologis, yang paling penting dilakukan antarumat
beragama adalah saling berbagi pengalaman keagamaan dan jauh dari ksan
memperbandingkan apalagi mempertandingkan agama-agama.
15Asep Syaefullah, Merukunkan Umat Beragama (Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu,
2007), h. 177.
53
Suatu dialog antar agama adalah sama dengan dialog keselamatan yang
dicita-citakan oleh masing-masing agama. Bila keselamatan yang dibenarkan tiap
agama,dan karena keselamatan selalu tidak mentolerir usaha yang merugikan
keselamatan orang lain, maka sebetulnya papun cara yang diajarkan suatu agama
untuk mencapai keselamatan, yang berarti tujuan itu, keselamatan itu sendiri akan
menjaga agar carayang ditempuh jangan sampai merugikan keselamatan orang
lain.
Oleh karena itu, keselamatan yang menyiapkan kemungkinan suatu dialog
anatar agama, memberikan juga batas-batas yang harus dijaga agara dialog itu
menjadi mungkin dapat dikembangkan dan tetap menyelamatkan semua pihak.46
Dalam bidang sosial, semua komunitas umat beragama secara bersama-sama
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara demi tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang kokoh. Perbedaan adalah hal yang bersifat fitrah
sehingga harus diikat. Dalam persoalan kaidah, umat beragama harus meyakini
ajarannya yang paling benar, sedangkan dalam persoalan sosial mereka dituntut
bersifat terbuka dan inklusif.
Dengan demikian, maka akan dapat terjalin sebuah kerjasama yang teguh
dan kokoh, yang memuat tali-tali yang mengikat atas nama warga Negara
Indonesia. Karena konflik agama akan menjadi memuncak jika organisasi
keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup saling mengeklaim bahwa agama
yang dipeluknya adalah satu-satunya agama yang benar. Prinsip-prinsip dasar
semua agama adalah mengajarkan pola-pola hubungan yang positif antar sesama
manusia.16
16Umi Sumbulan Pluralisme Agama (Malang ; UIN-Maliki Press 2013), h. 228.
54
Umat beragama dituntut mampu menggali sumber-sumber kearifan dan
mengusahakan terciptanya hubungan yang harmonis antarumat beragama .
masing-masing umat beragama yang berbeda-beda itu, perlu mencari titik temu
dalam ajaran agama-agama yang ada, sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai
acuan dasar dalam membina hubungan antarumat beragama, yang diwarnai
dengan kedamaian, kerukunan, kebahagiaan, nir konflik, dan nir kekerasan.
Model toleransi ini dipandang cukup penting untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan nasional. Pemerintah mempunyai komitmen untuk tidak ikut campur
dalam aspek-aspek teologis dan doktriner semua agama. Namun, demi persatuan
nasional, pemerintah dari waktu ke waktu dapat mengambil kebijakan-kebijakan
dan aturan-aturan tertentu untuk membangun kehidupan keagamaan yang lebih
harmonis dan sehat. Untuk memenuhi tujuan ini, diperlukan rasa saling percaya
yang dibangun oleh umat beragama bekerjasama dengan pemerintah.
Dalam rangka mempererat kerukunan antar umat beragama Pura Mertasari
mengadakan kegiatan bhakti sosial di acara Ulang tahun Pura pada setiap
tahunnya dan membagiakan sembako kepada semua masyarakat di sekitar Pura
Mertasari tanpa memandang dari agama apapun semanya kebagian. Dan kami
selalu bersikap baik kepada siapapun tanpa memandang dari agama atau golongan
manapun.17
2. Tidak Terpancing Situasi
Para pemuka agama diharuskan memberikan contoh yang baik dalam
mepererat persaudaraan dan silturahmi, bekerja sama dalam bidang sosial
kemasyarakatan, kesehatan, pendidikan, perekonomian, dan lingkungan hidup.
17Wawancara Pribadi dengan bapak Gede Sidarta selaku ketua Banjar Mertasari pada
tanggal 2 Desember 2018.
55
Konflik atas anama apapun dalam bentuk apapun sangat tidak dibenarkan dalam
kehidupan bangsa Indinesia yang demokratis.
Dialog interaktif dengan niat baik dan positif adalah cara yang paling
elegan untuk meminimalisasi ketegangan dan menyelesaikan persoalan yang
terjadi diantara umat beragama. Watak asli Indonesia adalah Islam yang toleran,
terbuka, moderat, dan hidup berdampingan secara damai dengan berbagai agama
dan keyakinan yang ada ditengah masyarakat, dalam suasana kebersmaan yang
harmonis.
Pluralitas diterima umat Islam pada umumnya, sebagai bagian dari hukum
alam yang menjadi kehendak Tuhan, sehingga membuat kehidupan ini menjadi
dinamis dan produktif. Dalam upaya menghindari provokasi dan terpancingnya
umat dengan isu-isu yang tidak bertanggung jawab, para tokoh agama diharuskan
dapat memberikan sentuhan rahmat bagi kemnusiaan secara universal. Kedamaian
dan keadilan adalah kebutuhan umat manusia di era sekarang. Oleh karena itu,
dalam menangani beberapa kasus, penyelesaian dapat dilakukan melalui
pendekatan yang benar, baik melalui jalur hukum maupun non hukum, semisal
pendekatan kultural dengan modal kearifan-kearifan yang dibangun dalam
kebersamaan, dengan tujuan agar kerukunan dapat tercipta tanpa gangguan dan
hambatan. Seperti yang terjadi di Rengas ini kerukunan antar umat dari dulu
hingga sekarang terjalin dengan baik, bahkan dulu pernah ada kegiatan antara
umat Islam dan umat Hindu jalan sehat bersama, pernah juga diadakan
perkumpulan antar pemeluk agama diadakan di kecamatan.18
18Wawancara pribadi dengan bapak Amin sebagai Majlis Ulama Indonesia Kelurahan
Rengas pada tanggal 10 Maret 2019.
56
Perbedaan seharusnya tidak boleh menjadi alasan dan penyebab bagi
terjadinya permusuhan dan perpecahan. Realitas ini setidaknya menjadi semangat
otokritik bagi institusi keragaman. Karena agama sebgaipembawa damai, sudah
semestinya dapat hidup damai dengan agama-agama yang berbeda. Adanya
pergeseran ideologis sebagian umat Islam dari ideologi yang moderat kearah
ideologi yang radikal dengan kecenderungan pemahaman agama yang tekstual
dan skriptualis, disatu sisi juga patut dipahami sebagai sebuah potensi yang dapat
mengancam kerukunan umat beragama, karena watak intoleransinya terhadap
pluralisme. Maraknya para elite agama dalam ormas yang “keluar kandang” demi
mengejar aktivitas politik, banyaknya para elite agama yang menyibukkan diri
dengan urusan politik dengan masuk parpol dan ikut berpartisipasi dalam
momentum politik bisa menjadikan umat terabaikan dan tidak terawat. Kondisi
internal yang demikian ini, bisa menjadikan para aktivis Islam lepas dari mencari
sentuhan dakwah Islam yang menurutnya menenagkan dan memeberikan harapan
masa depan ukhrawi yang menjanjikan. Konsekoensinya para elite agama juga
dituntut untuk mampu mennggalkan baju dan gelanggang politiknya, sehingga bis
lebih berkonsentrasi dalam mengusrusi kondisi umatnya, agar mereka mememiliki
pemahaman yang ramah, sejuk toleran dan damai.
Selain itu, agar selalu terciptanya kerukunan umat beragama maka harus
beberapa hal yang harus dilakukan seperti dialog kerja sama dengan agama lain,
membalas keburukan dengan kebaikan, kerja sosial layanan kesehatan dalam
masyarakat tersebut, meyakini agama sendiri dan menghargai agama orang lain,
memperkokoh rasa persaudaraan dan penanaman rasa tanggung jawab bersama
57
antara umat beragama, tidak boleh menghina dan memusuhi agama lain,
mempererat kebersamaan.19
3. Berusaha Menciptakan Suasana Rukun Dalam Suatu Masyarakat
Agar terciptanya suasana rukun dan pluralis maka dapat ditempuh
menggunakan startegi:
a. Membimbing umat beragama agar semakin meningkat keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam suasana rukun, baik
intern maupun antar umat beragama. Dalam hal ini kesadaran umat
beragama akan didorong untuk lebih menghayati esensi ajaran setiap
agama; yakni; pertama, agama tidak diturunkan untuk menganjurkan
kekerasan bagi pemeluk agama lainnya. kedua, esensi setiap agama
diturunkan kedunia adalah untuk memberi manfaat dan kebaikan sebesar-
besarnya bagi kehidupan sosial bersama umat manusia.
b. Melayani dan menyediakan kemudahan bagi penganut agama.
c. Tidak mencampuri urusan akidah/dogma dan ibadah sesuatu agama.
d. Negara dan pemerintah membantu/membimbing penuaian ajaran agama.
e. Melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan kesucian agama.
f. Pemerintah mendorong dan mengarahkan segenap komponen masyarakat
untuk lebih meningkatkan kerjasama dan kemitraan dalam seluruh
lapangan kehidupan masyarakat, bukan bentuk hegemoni dan penindasan
oleh suatu kelompok kepada kelompok lainnya.
g. Mendorong umat beragama agar mampu mempraktekkan hidup rukun
dalam bingkai pancasila, konstitusi dan dalam tertib hukum bersama.
19Umi Sumbulan Pluralisme Agama (Malang ; UIN-Maliki Press 201 3) ,h. 230-231.
58
h. Mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap lapisan dan unsur
masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan, dan riset.
i. Meningkatkan pemberdayaan sumberdaya manusia untuk ketahanan dan
kerukunan masyarakat bawah.
j. Fungsionalisasi pranata lokal, seperti adat istiadat, tradisi dan norma-
norma sosial yang mendukung upaya kerukunan.
k. Mengandung partisipasi semua kelompok dan lapisan masyarakat sesuai
dengan potensi yang dimiliki masing-masing melalui kegiatan-kegiatan
dialog, musyawarah, tatap muka, kerjasama sosial, dan sebagainya.
Kerukunan antar masyarakat pemeluk agama juga terlihat pada fakfor
budaya yang ada di dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari orang tidak
munkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap orang melihat,
mempergunakan, bahkan kadang-kadang merusuk kebudayaan. Masyarakat
adalah orang atau manusia yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan,
keduanya tak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwitunggal. Tak ada
masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya, tak ada
kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, walaupun secara
teroritis dan untuk kepentingan analitis, kedua persoalan tersebut dapat dibedakan
dan dipelajari secara terpisah. Namun, apakah yang disebut kebudayaan itu?
Pengertian kebudayaan meliputi bidang yang luasya seolah-olah tidak ada
batasnya. Dengan demikian, suka sekali untuk mendapatkan pembatasan
pengertian atau definisi yang tegas dan terinci yang mencakup segala sesuatu yang
seharusnya termasuk dalam pengertian tersebut. Dalam pengertian sehari-hari,
istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan
59
seni tari, tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan senurut ilmu sosial maka
kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan.20 Pada Pura Mertasari
terdapat sebuah praktek kebudayaan yaitu latihan menari untuk para anak-anak
yang di selengarakan setiap hari minggu pada sore hari, dan uniknya para peserta
tari ini tidak hanya dari anak-anak dari agama Hindu, tetapi juga dari anak-anak
yang beragama Islam, hal ini menunjukan kerukunan antar umat beragama yang
ada di sekitar Pura Mertasari.
C. Analisis Pemangku sebagai Pemimpin non-formal Umat Hindu
Masalah kepemimpinan (leadership) adalah merupakan suatu kemampuan
untuk mempengaruhi pengikut dalam suatu komunitas di masyarakat yang
menyangkut penggunaan kekuasaan dan dapat diterima, atau adanya pengakuan
pemimpin oleh para pengikut. Kemampuan mempengaruhi bertautan dengan
dengan pemuasan para pengikut. Prof. Drs. Onong Uchjayana mengatakan dalam
bukunya yang berjudul “Human Relations Dan Public Relations” dalam
manajemen. Kepeimpinan adalah “suatu proses dimana seseorang memimpin
(direct), membimbing (guids), mempengaruhi (influences) dan mengontrol
(control) pikiran, perasaan, atau tingkah laku orang lain.”21 K, Permadi
memberikan pengertian kepemimpinan itu adalah kegiatan untk mempengaruhi
manusia, baik perorangan maupun kelompok.
Sehingga jika demikian dapat dikatakan jika kepemimpinan tidak harus
dibatasi oleh aturan-aturan atau tatakrama birokrasi, kepemimpinan tidak harus
diikat dan terjadi dalam organisasi tertentu. Melainkan kepemimpinan bisa terjadi
20Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2013), cet. ke-
2, h. 28-29. 21Onong Uchjayana, Humanrelation Dan Public Relation Dalam Manajemen (Bandung:
CV Mandar Maju 1989), cet ke-7, h.195.
60
dimana saja dengan syarat, seseorang bisa menunjukan kemampuannya dalam
membawa dan mempengaruhi orang lain yang menjadi pengikutnya kea rah
tercapainya suatu tujuan tertentu. Tipe-tipe kepemimpinan yang seperti ini
dijadikan patokan oleh kihajar dewantoro adalah:
“Tipe pemimpin yang berbeda-beda (pemimpin Tradisional, kharismatik,
dan rasional) kepada setiap pemimpin dari tipe manapun, tetap diberlakukan
patokan kepemimpinan. Ing ngarso sun tuladha ( di muka menjadi suri
tauladan) ing madya mbangun karsa (di tengah memberikan semangat) tut
wuri handayani (di belakang member pengaruh baik).”22
Dari berbagai definisi di atas secara umum kepemimpinan bisa
didefinisiskan sebagai seni atau proses kegiatan seseorang dalam
memimpin,membimbing, mempengaruhi atau mengontrol anggotanya. Baik
pikiran atau keinginan untuk bekerja, dalam rangka mencapai suatu tujuan yang
diinginkan bersama dalam suatu organisai atau kelompok-kelompok lain yang
berada di massyarakat.
Sementara dalam fungsi kepemimpinannya adalah memandu, menuntun,
membimbing, membangun, member atau membangunkan motivasi-motivasi kerja
mengemudikan atau menjalankan roda organisasi, membangun jaringan
komunikasi yang baik member pengawasan (supervisi) yang efisien dan
membawa pengikutnya (jama’ah) kepada sasaran yang ingin digapainya sesuai
dengan waktu perencanaan yang biasanya tertulis dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumahtangganya (ADART) organisasi atau perkumpualan masyarakat
.
22D. Hendro Puspito OC. Sosiologi Sistematik (Yogyakarta: PT Kanisius Anggota
IKAPI), cet ke-1, h.327.
61
1. Pemangku Sebagai Guru Rohani Membimbing Umat Hindu
Sudah menjadi kewajiban seorang pemangku atau pinandita untuk
membimbing umat untuk meningkatkan kesucian diri. Karena bagi umat seorang
pemangku memegang peranan yang sangat penting dan bersifat penentu di dalam
setiap keagamaan. Umat melihat bahwa pemangku setiap hari mengadakan
sembahyang, memuja kebesaran sang Hyang Widhi memohon keselamatan dan
kesejahteraan untuk masyarakat, maka umat mempunyai keyakinan penuh
masalah kesucian itu. Para Pemangku merupakan ujung tombak dalam membina
umat Hindu. Karena itu perlu diberikan bimbingan dari segi kesucian dan bekal
dari segi kemampuan dalam melaksanakan tugas. Untuk mewujudkan hal tersebut
sangat tergantung sekali kepada faktor mental orang tersebut. Dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan saja tidaklah cukup namun ada yang lebih penting dari
semuanya itu yaitu realisasi pengamalan hidup dalam masyarakat sikap kita
terhadap sesama, dan selalu ingat kepada Sang Yang Widhi dirasa merupakan
pegangan hidup kesucian untuk mencapai kebahagiaan baik lahir maupun batin.
2. Pemangku Sebagai Tempat Konsultasi Masalah Agama
Pemangku sering kali menjadi tempat bertanya umat. Pemangku
berkewajiban memberikan arahan kepada umat Hindu apabila mengalami
kebingungan dalam menjalani roda kehidupannya karena dirudung masalah yang
tak kunjung tak dapat terselesaikan. Sehingga umat tidak ragu mengambil sebuah
keputusan yang berlandaskan ajaran agama sesuai kitab suci pada agama Hindu,
untuk memperoleh ketenangan dalam agama Hindu ada tiga kali sembahyang
dalam satu hari yang bisa dilakukan dimana saja pada waktu pagi, siang, dan
malam.
62
3. Pemangku Mengajak Untuk Melakukan Pemujaan
Melakukan pemujaan maksudnya adalah seorang pemangku memimpin
dalam hal penyelesaian Yadnya yaitu memimpin berbagai macam upacara dan
menentukan tingkat upacara yang berhubungan dengan permintaan umat antara
lain yaitu hari raya di Pura, Pitra yadnya (berkaitan dengan penyelesaian upacara
orang yang meninggal) seperti ngaben, atma wedana dan lain sebagainya. Juga
pemujaan yang berkaitan dengan upacara perkawinan. Hal ini begitu sangat
diperlukan karena peran sentral seorang pemangku dalam melaksanakan tugasnya.
Perayaan besar Hindu yang dilakukan dengan disertai pemujaan
merupakan alat regenerasi spiritual yang penting dalam agama Hindu. Dalam
kalender Hindu, hari hari dalam seminggu di percaya di atur oleh Dewa. Seperti
hari minggu diatur oleh Surya (Ravi) dan di sebut dengan ravivar , senin disebut
somavar dan di atur oleh bulan soma selasa atau (mangavar) diatur oleh mars
(mangal) Rabu di atur oleh Mercuri (budh), sehinga bernama budhfar, kamis
diatur oleh jupiter (Brhraspati) jum’at atau sukravar diatur oleh venus(sukra) dan
Sabtu diatur oleh Saturnus (sani) dan disebut Sanivar. Perayaan dalam agama
Hindu selalu dihubungkan dengan dewa dewi dalam agama Hindu.23
Umat agama Hindu sering sekali melakukan pemujaan kepada Sang
Hyang Widhi Wasa dengan sebuah wujud patung karena Patung merupakan
lambang eksternal Tuhan untuk dipuja dan itu merupakan bantuan pencarian
dalam cara ibadah spiritualnya. Tidak mungkin bagi semua orang untuk
memusatkan pikirannya pada yang mutlak. Suatu bentuk konkrit sangat
23Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita:2006), h. 326.
63
diperlukan bagi kebanyakan orang untuk melakukan konsentrasi. Untuk melihat
Tuhan ada di mana-mana dan belajar merasakan kehadiran Nya, sangat sulit bagi
orang-orang biasa. Pemujaan patung merupakan cara pemujaan termudah bagi
orang-orang modern. Oleh karena itu, meditasi atau konsentrasi tidak mungkin
dilakukan tanpa bantuan simbol itu.
Diantara pemujaan dan upacara yang di pimpin oleh pemangku adalah
upacara kuningan, ngaben dan lain sebagainya.
a. Upacara Kuningan
Upacara hari raya kuningan jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku
Kuningan, yaitu setiap 6 bulan sekali atau 210 hari sekali, sepuluh hari setelah
hari Raya Galungan, yaitu hari kembalinya sang Hyang Widhi diiringkan para
Dewa dan pitar. Dimana umat menghaturkan bakti memohon kesentosaan dan
panjang umur, serta perlindungan tuntunan lahir batin selalu. Upacara hari raya
kuningan harus sudah selesai sebelum tengah hari.24
Hari raya Kuningan berasal dari kata “kuning”, yang dapat diberikan arti
selain warna adalah “Amertha” (air suci). Pandangan lain mengatakan bahwa
kuningan berasal dari kata “Keuningan”, yang mengandung arti “Kepradnyanan”
(Kebijaksanaan dan kepintaran). Dengan denimikan makna dan tujuan dari
pelaksanaan hari suci kuningan adalah pada hari itu segenap umat Hindu
memohon Amertha, berupa keprasnyanan (kebijaksanaan atau kepintaran)
kehadapan Sang Hyang Widhi, dengan manisfestasinya sebagai Sang Hyang
Mahadewa yang disertai para leluhur (Dewara-dewati).25
24I Ketut Jingga, Upadeca Tentang Ajaraj agama Hindu (Singaraja : Parasida Yayasan
Hindu Dharma Sarathi), h. 61. 25G, Pudja, Pengantar Agama Hindu II Sraddha (Mayasari : Jakarta ), h. 76-77.
64
Persiapan-persiapan yang dilakukan seorang Pemangku adalah mulai dari
asuci laksana, berbusana, nata perangkat upakara atau upacar di Pura dan lain
sebagainya. Kegiatan tersebut telah tertuang dalam kitab Kusuma Dewa dan
Gegelaran Pemangku, langkah persiapan yang dimaksud adalah sebagai berikut
:26
1) Persiapan dirumah, sebelum berangkat ke Pura :
• Mandi besar.
• Gosok gigi.
• Membersihkan mulut.
• Mencuci muka.
• Berpakaian.
• Memakai kampuh.
• Nyaluk kacawa.
2) Persiapan setelah sampai di Pura :
• Sampai di candi, Bentar/Gelung Agung dengan angungkab Dwara.
• Memuja Padmasana, menghaturkan sembah tanpa bunga.
• Nyampat.
• Nginsahin jun taneg.
• Ngisinin jun taneg.
• Ngalap Lawa.
• Makena ceniga.
• Menaruh bebanten/sasaji dipelinggih-pelinggih.
26Sri Svami Silvananda, Hari Raya dan puasa dalam agama Hindu (Denpasar:: Paramita
: 2002), h. 144.
65
• Menaruh toya anyar pada Palinggih.
• Menaruh dupa pada Pelinggih dan Banten
• Mekebat tikar (menggelar tikar).
Dalam agama Hindu Pemangku dinyatakan sebagai rokhaniawan.
Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan, karena itu,
sebagai rokhaniawan, Pemangku seyogyanya mendalami pengertian rokhaniawan,
sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan tugas
pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya.27 Adapun beberapa tuga dari
Pemangku diantaranya yaitu sebagai berikut:
1) Mencari hari-hari yang baik
Dalam melaksanakan upacara yadnya, umat Hindu biasanya berkonsultasi
terlebih dahulu kepada seorang Pemangku. Karena melaksanakan upacara yadnya
umat tidak boleh sembarangan dalam melaksanakannya termasuk menentukan
hari yang baik dalam melaksanakannya. Oleh karena itu peran Pemangku dalam
hal menentukan hari yang baik dalam kegiatan keagamaan harus diutamakan.
Karena Pemangku mampu membaca perhitungan hari dan bulan dalam hitungan
Jawa dan Hindu.
2) Memimpin Upacara-upacara Keagamaan
Sesungguhnya penyelenggaraan upacara Dewa-Yadnya sudah tidak asing
lagi bagi umat Hindu, tetapi mungkin masih ada yang belum memahami arti dan
tujuan dari upacara tersebut. Demikian pula sesajen-sesajennya kebanyakan
berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku atau ingatan orang tua, tanpa
27K. M. Suhardana, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan Kajian
Bagi Generasi Mendatang (Surabaya: Paramita, 2006), h. 1.
66
berpegang pada suatu sumber tertulis. Hal-hal tersebut sering menyebabkan
penambahan sesajen / banten yang tidak menentu baik mengenai jenis dan
jumlahnya. Penambahan sesajen berarti pula penambahan bahan atau upacara
yang dipergunakan. Yang lebih menyedihkan lagi ialah sering terjadi tanggapan
yang negatif terhadap penyelenggaraan upacara terutama mengenai sesajen yang
di pergunakan. 12
Perlu dipahami betul oleh umat Hindu bahwa upacara telah di atur menjadi
3 tingkatan yang di sebut nista (kecil), Madia (sedang) dan utama (besar) yang
bertujuan agar dapat di sesuaikan dengan:
1) Desa.
Desa adalah tempat upacara diselenggarakan, misalnya di perumahan
kahyangan desa, khayangan jagad, di Bali ataupun di luar Bali.
2) Kala.
Kala adalah waktu zaman, atau kapan upacara diselenggarakan.
3) Patta.
Patta adalah keadaan ekonomi (kemampuan) kedudukan sosial dan situasi
lingkungan. Berkenaan dengan Patta, atau kemampuan, Sudah menjadi kebiasaan
yang di lakukan oleh umat Hindu sebelum umat hendak melaksanakan suatu
upacara Yadnya biasanya mereka terlebih dahulu memanggil seorang pemangku
agar berkenan hadir ke tempat tinggalnya. Maksud umat memanggil seorang
Pemangku adalah untuk melihat keadaan umat tersebut dari berbagai aspek,
terutama keadaan ekonominya. Lalu barulah Pemangku dengan bijaksana dan atas
beberapa pertimbangan dapat menentukan tingkat upacara yang akan di
persembahkan dalam upacara Yadnya itu.
67
Selain itu, lebih diutamakan seharusnya umat tidak menutup-nutupi
keadaannya saat akan di nilai oleh pemangku untuk menentukan besar kecilnya
upacara yang akan di buat agar upacara yang akan di lakukan nanti benar-benar
upacara yang baik dan sesuai dengan keinginan Pemangku. Upacara yang
dilakukan umat Hindu, baik upacara yang besar (agung) yang dihadiri oleh orang
banyak dan biasanya dilakukan di tempat yang terbuka maupun yang kecil
(sederhana) tidak boleh sembarangan dalam menyelesaikannya.
Sehingga dibutuhkan seseorang yang memang benar-benar ahli dalam
menafsirkan kitab suci Weda. Umat Hindu mempercayakan kepada seorang
pemangku yang dianggap mampu memimpin upacara Yadnya yang akan
dilaksanakan oleh umat itu sendiri. Jikalau Pandita berhalangan hadir maka peran
tersebut diambil alih oleh Pemangku. Dalam memimpin sebuah upacara
Pemangku biasanya menggunakan Dipa atau padamaran. Dipa atau Padamaran
adalah lampu yang memakai minyak kelapa dengan bentuk tertentu yang selalu
menyertai Pemangku memimpin upacara Yajna. Dsiebutkan pula bahwa Dhupa
lambang Akasa Tattva dan dipa lambang Sakti Tattya Hal ini dimaksudkan bhakti
umat untuk mencapai akasa simbolis Sthana Hyang widhi. Sedangkan Dipa
sebagai sakti tattya sebagai simbol kekuatan suci pemangku umat memantapkan
bhakti umat kepada Hyang widhi.28
Tujuan dari penggunaan Dipa oleh Pemangku adalah untuk memantapkan
pemujaan umat agar sampai pada alam Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan
penggunaan sarana Dipa it, Pemangku menuntun umat untuk mendapatkan
28Wiana I Ketut, Makna upacara Yajna dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramitha
2001), h. 75.
68
penerangan suci dari Hyang Widhi. Penerangan suci dari Hyang Widhi
merupakan salah satu tujuan umat melakukan pemujaan.
Dalam kitab Isa Upanisad 18 ada istilah Agni Naya yang artinya Agni
sebagai penuntun. Dalam mantra Isa Upanisad tersebut dinyatakan dalam do’a
semoga Hyang Widhi dengan sinar sucinya (Agni) menuntun umat pada jalan
kebenaran. Semoga semua tingkah laku menuju pada pemujaan Sang Hyang
Widhi yang Maha bijaksana dan terlepas dari perilaku yang tercela.
Sebelum upacara di mulai dhupa dan dipa (lampu) harus di hidupkan dan
di mantrai dengan mantra
Mantra : Om.Am. Dhupa-dipa astraya namah
Artinya : Om Sujud kepada (Am), dhupa (dan) dipa,astra (itu).
Penjelasan dari mantra tersebut adalah dupa atau wangi-wangian yang
dipakai dalam upacara danu ntuk menyelesaikan upacara. Baik Dhupa maupun
Dipa kedua-duanya mempunyai arti simbolis yang berarti dhupa (sarwa alam) dan
dipa (bulan sabit) atau dengan istilah lain terwujudnya cipta pujaan itu akan dapat
diintensifkan dengan mempergunakan Dhupa dan dipa itu.29
Untuk menajamkan makna pemujaan pada Hyang Widhi ini umat awam
(walaka), tentunya tidaklah semudah teorinya. Karena itu Pemangku pemimpin
upacara setelah mengucapkan mantra atau puja selalu mengambil dhupa dan dipa.
Hal ini mengandung makna bahwa hanya pemangku agama Hindu yang
mempunyai kewajiban untuk mendekatkan umat pada Hyang Widhi terus menerus
dan berulang-ulang. Dalam hal inilah umat dan pemangku harus memiliki niat
29G. Pudja., Weda Parikrama, Lembaga penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Weda
(Jakarta), h. 114.
69
yang sama untuk membangun kesucian diri secara terus-menerus. Upaya ini akan
dapat menghilangkan kabut kegelapan hati yang menutupi sinar suci atman
mencapai sinar suci Brahman. Umat Hindu di India selalu menyalakan dipa yang
berbentuk lilin dan dhupa seperti umat Hindu di Indonesia dalam pemujaannya.
Hal ini juga mempunyai makna yang sama dengan apa yang ada di Indonesia.30
Untuk memimpin suatu upacara, maka Pemangku agama Hindu harus
berpegang teguh pada ajaran kitab suci Weda. Hal itu karena seorang Pemangku
akan selalu memberikan petunjuk dari segi pelaksanaanya baik itu menyangkut
upacaranya maupun ketika acara prosesinya. Bimbingan dan petunjuk dari
seorang Pemangku harus ditaati. Dengan demikian, seorang pemangku harus
mengerti tentang ajaran Weda.
30Wiana I Ketut, Makna upacara Yajna dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramitha
2001), h. 76.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemangku adalah orang yang bertugas memimpin dan membimbing umat
hindu dalam urusan keagamaan. Seperti memimpin sembahyang, maupun upacara
keagamaan. Dalam tingkatannya, seorang Pemangku atau pinandita berada di
bawah seorang pandita.
Seorang Pemangku yang berada di bawah Pandita, ia harus benar-benar
menjadikan dirinya seorang yang mampu menguasai segala hal yang berkaitan
dengan upacara Yadnya dan kemampuan penguasaan terhadap kitab suci. Selain
itu Pemangku juga harus berwibawa dan menjaga perilaku agar umat memandang
dirinya sebagai pemangku yang dipercayai dapat membimbing kerohanian dan
memimpin dalam segala upacara Yadnya, sehingga umat sering memanggilnya
untuk membimbing dan memimpin sebagai guru loka.
Peran sentral Pemangku dalam kehidupan keagamaan umat Hindu adalah
memimpin dan bertugas melayani umat Hindu dalam segala hal yang berkaitan
dengan kegiatan keagamaan seperti memberikan ajaran agama berdasarkan kitab
weda yaitu melalui ceramah agama, memimpin upacara-upacara keagaman, dan
lain sebagainya yang sifatnya dapat membimbing umat Hindu ke arah yang lebih
baik dalam mendekatkan diri ke Sang Yang Widhi.
Dalam membangun kehidupan bermasayarakat umat Hindu dengan
masayarakat di sekitar yang non Hindu, Pemangku selalu menerapkan filsafat
Hindu tri hita karana, dalam filsafat itu menurut Pemangku sudah mencakup
semua aspek untuk hidup bermasyarakat, jika sudah menerapkan tri hita karana
71
dianggap mereka akan hidup dengan baik wlaupun dengan siapa saja tanpa
memandang golongan agama, suku, maupun budaya manapun. Bahkan dalam
filsafat tri hita karana tidak hanya dengan sesama manusia, bahkan dengan
apapun yang ada disekitarnya.
Pemangku memberikan arahan dan tuntunan kepada umat Hindu untuk
berkehidupan yang baik disampaikan pada ceramah di pertemuan Banjar yang
diadakan setiap bulan satu kali dan juga pada pembacaan dharmawacana yang
dilakukan setelah upacara persembahyangan.
Kehidupan masyarakat Rengas yang terdiri dari berbagai golongan agama
yang di antaranya ada pemeluk agama Islam sebagai dominan, dan ada beberapa
masyarakat yang menganut agama Hindu dan Kristen. Dalam praktik sosial
kemasyarakatannya mereka saling menghargai satu sama lain dan saling
menghormati ketika ada yang mengadakan ritual keagamaan. Sebagai contoh
ketika Idul Adha umat Islam menyembelih hewan qurban dan membagikan
kepada seluruh masyarakat secara rata tanpa memandang agama apapun, dan
mereka juga menerima pemberian hewan qurban, contoh lainnya adalah ketika
suatu waktu para pemeluk agama Hindu mengadakan bakti sosial, mereka
membagikan kepada sekitar masyarakat yang di anggap pantas menerima bantuan
sosial berupa sembako tanpa memilih dari golongan agama manapun, dan contoh
yang terakhir adalah di Pura tempat ibadah umat Hindu yang sama-sama kita
ketahui Pura selain sebagai temapt ibadah Pura juga di fungsikan sebagai tempat
pendidikan dan buadaya, dalam kebudayaan nya adalah salah satunya belajar
menari untuk anak-anak maka peserta belajar menari tersebut bukan hanya anak-
anak dari golongan agama Hindu saja, tetapi juga ada anak-anak dari yang
72
beragama Islam untuk belajar menari bersama-sama. Semua keharmonisan
kemasyarakatan yang terjadi tidak lepas dari peran Pemangku yang memberikan
ajaran kepada para umat Hindu untuk selalu berlaku baik dalam menjalani
kehidupan di masyarakat.
B. Saran
Pemangku adalah tokoh agama Hindu yang cukup berpengaruh untuk umat
Hindu selain memimpin upacara persembahyangan Pemangku berperan juga
dalam kehidupan masayarakat umat Hindu yang baik kepada siapapun dan apapun
yang ada disekitarnya sehingga terciptanya kehidupan masyarakat yang saling
menghargai satu sama lain dan menciptakan kerukunan antar umat beragama yang
ada di Indonesia pada umumnya dan khususnya pada masayarakat yang ada di
keluarahan Rengas dan sekitarnya. Selanjutnya menjadi tugas kita bersama
sebagai umat beragama untuk menjaga kerukuanan untuk para penerus di masa
yang akan datang. Untuk itu penulis menyarankan beberapa hal kepada tokoh
agama, pejabat daerah maupun warga setempat terkait hal tersebut :
1. Diadakannya sosialisasi kerukunan hidup antar umat beragama di
kalangan masyarakat, terutama pada pemuda dan anak-anak. Sehingga
akan terciptanya kehidupan masayarakat yang harmonis sejak dini.
2. Sering dilibatkannya tetangga tanpa memandang golongan agama
manapun untuk acara pribadi.
3. Harus di adakan kegiatan yang dapat menyatukan semua umat beragama
agar lebih terciptanya keharmonisan dalam masyarakat.
73
4. Untuk Fakutas Unshuluddin agar di perbanyak lagi koleksi buku tentang
tokoh agama hindu salah satunya Pemangku, karena masih sangat terbatas
koleksi yang sudah ada.
74
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU
Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta: sinar grafika offset.
Ali, Abdullah, Agama Dalam Ilmu Perbandingan. Bandung: Nuansa Aulia, 2007.
Alwi, Hasan, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Avami, Sri Silvananda, Hari Raya dan puasa dalam agama Hindu. Denpasar:: Paramita : 2002.
Bahri, Media Zainul, Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Bangsi, Pandit, Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita, 2005.
Dagun, M, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian kebudayaan Nusantara,2002.
Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Paramita, 1999.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka,1998.
Irawan, Prasetya, Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA Lembaga Administrasi Negara, 1999.
Jingga, I Ketut, Upadeca Tentang Ajaran Agama Hindu. Singaraja : Parasida Yayasan Hindu Dharma Sarathi.
Juneman, Teori-Teori Transosientasional Dalam Psikologi Sosial. Di dalam jurnal Humaniora Vol.2 No.2 Oktober 2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Kustini, ed., Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama Dalam Pelaksanaan Pasal 8,9, Dan 10 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomer 9 Dan 8 Tahun 2006. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,2010.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia, 1994
Madjid, Nurcholish, Passing Over Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Manaf, Mujahid Abdul, Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama. Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementrian Agama Republik Indonesia .
Muchtar, Ghazali Adeng, Ilmu Perbandingan Agama: Pengantar Awal Metodologi Studi Agama-Agama. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Mustafa, Hasan, Perspektif Dalam Psikologi Sosial, Di Dalam Jurnal Administrasi Bisnis, volume 7, nomer 2. 2012.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: kencana, 2006.
75
Nurdin, M. Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar. Jakarta:UIN Jakarta Press,2006.
Ngurah, I Gst. MD, Buku Penelitian Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Paramita,1999.
Pandit, Bansi, Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita:2006.
Parikrama, Pudja Weda, Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Weda. Jakarta.
Peter, Connol, Aneka Pendektan Studi Agama. Penerjemah Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS,2002.
Pudja, G, Pengantar Agama Hindu II Sraddha. Mayasari : Jakarta.
Puspito, D. Hendro OC. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: PT Kanisius Anggota IKAPI.
Puspito, Hendro, Sosiologi Agama. Yogyakarta: kanisius, 1983.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Ranjabar, Jacobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Alfabeta, 2013.
Rifa’I, Moh, Perbandingan Agama. Jakarta: CV Jaya Murni, 1965.
Santeri, Raka, Tuhan dan Berhala. Denpasar :Yayasan Dharma Narada, 2000.
Sudandi, Ketut Sejarah Pembangunan Pura-Pura Di Bali. Denpasar: CV Kayumas 1983.
Sudijono, Anas, Diklat Metodologi Research dan Bimbingan Skrispi. Yogyakarta: U.D Ramah,1981.
Sugiarta, Jero Mangku Suweka Oka dan Gede Agus Budi Adnyana, Agem-Agem Pemangku: Dari Sadhana, Tahapan Pawintenan Hingga Mantra. Bali: Gandapura, 2013.
Sugiono, Penelian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group 2009.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2010.
Suhardana, K. M, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan Kajian Bagi Generasi Mendatang. Surabaya: Paramita, 2006.
Sujana, I Made dan I Nyoman Susila, Manggala Upacara. Denpasar: Widya Dharma, 2012.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Peranan. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
Sumbulan, Umi, Pluralisme Agama. Malang ; UIN Maliki Press 2013.
Suranto, Aw, Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Shalaby, Ahmad, Agama-Agama Besar di India. Jakarta: Bumi aksara: 1998.
Syaefullah, Asep, Merukunkan Umat Beragama. Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.
Tambunan, Soni Toman, Pemimpin Dan Kepemimpinan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015.
Tim Pokja Pinandita Sanggraha Nusantara, Pedoman Tentang Manggala Upacara Yajna.
76
Titib, I Made Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita, 2009.
Thomas, J. Sullivan dan Kentrick S Thompson, Sosicology; Consepts, issues and applications. New York: McMilan Publishing Company, 1986.
Uchjayana, Onong, Humanrelation Dan Public Relation Dalam Manajemen. Bandung: CV Mandar Maju 1989.
Wiana, I Ketut, Makna Upacara Yajna dalam Agama Hindu, Paramitha. Surabaya; 2001.
Winata, Darwin, Kamus Saku Ilmiah Populer. T.tp.: Gamapress, t.t.
Wingarta, I Putu Sastra, Bali-Ajeg: Ketahanan Nasional di Bali Konsepsi dan Implementasinya Perspektif Paradigma Nasional. Jakarta: Grafika Indah, 2006.
Wirawan, Kepemimpinan:Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi, Dan Penelitian. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2014.
Wojowasito, kamus Kawi-Indonesia.
SUMBER WAWANCARA
Wawancara pribadi dengan bapak Wayan Pinda Asmara selaku Pemangku Pura Mertasari pada tanggal 22 Oktober 2017.
Wawancara pribadi dengan bapak Made Seroja selaku Kepala Pasraman Pura Mertasari pada 5 Februari 2018.
Wawancara Pribadi dengan bapak Gede Sidarta selaku ketua Banjar Mertasari pada tanggal 2 Desember 2018.
Wawancara Pribadi dengan bapak Amin sebagai Majlis Ulama Indonesia Kelurahan Rengas pada tanggal 8 Maret 2019.
Wawancara pribadi dengan bapak H. Miftahul Jannah sebagai ketua Dewan Kemakmuran Masjid Nurul Iman yang berada di dekat Pura pada tanggal 10 Maret 2019.
Wawancara pribadi dengan bapak Warsad selaku sekretaris RT 06 pada tanggal 10 Maret 2019.
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
IDENTITAS INFORMAN
Nama : Wayan Panda Asmara
Agama : Hindu
Jabatan : Pemangku Pura Mertasari
1. Apa saja tugas bapak sebagai Pemangku?
Tugas utamanya Pemangku yaitu di bidang keagamaan, untuk memimpin
upacara persembahyangan.
2. Menurut bapak apakah bapak juga berperan dalam kehidupan
bermasyarakat umat Hindu?
Dalam mengatur hidup bermasyarakat saya sampaikan dalam pertemuan
banjar atau dalam dharmawacana untuk hidup yang baik dengan siapapun
sesuai dengan filsafat Hindu Tri Hita Karana untuk hidup yang baik
dalam hubungan dengan tuhan, hubungan antar manusia, dan hubungan
dengan lingkungan.
3. Bagaimana peran bapak dalam kehidupan masyarakat dalam hal sosial?
Kembali lagi kepada Tri Hita Karana , yang terpenting adalah kita harus
selalu berbuat baik dimanapun. Semua adalah sodara bagi kita, saling
mehormati dan mengahargai.
4. Bagaimana peran bapak dalam kehidupan masyarakat dalam hal budaya?
Budaya itu berasal dari kata budi dan daya, budi artinya fikiran dan daya
artinya akal. Dengan akal dan pikiran kita bisa membuat sesuatu apapun,
mengolah suara yang dan alat music akhirnya ada gamelan di Pura ini dan
kita harus saling menjaganya dengan baik.
5. Bagaimana peran bapak dalam kehidupan masyarakat dalam hal ekonomi?
Dalam berkekonomi bapak hanya mengingatkan untuk silahkan bekerja
apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup asal satu jangan dilanggar yaitu
jangan samapai berekenomi yang bisa merugikan orang lain.
6. Bagaimana peran bapak dalam kehidupan masyarakat dalam hal agama?
Sudah pasti saya sangat berperan kalau dalam hal agama, karena tugas
utama Pemangku adalah dalam hal keagamaan, memimpin
persembahyangan dan memberikan ilmu keaagamaan Hindu.
7. Bagaimana peran bapak dalam kehidupan masyarakat dalam hal politik?
Pemangku sudah tidak diperkenankan dalam hal politik karena politik
terkadang kotor, pemangku hanya tau politik, tetapi tidak boleh ikut
golongan politik, apalagi mempengaruhi umat dalam politik itu tidak
pernah dilakukan Pemangku, pokonya Pemangku tidak ikut campur dalam
politik.
IDENTITAS INFORMAN
Nama : Gede Sidarta
Agama : Hindu
Jabatan : Ketua Banjar
1. Bagaimana bapa menjalani kehidupan sosial berdasarkan petunjuk
Pemangku dalam agama Hindu?
Dalam ajaran Hindu ada yang namanya Tri Kaya Parisada yang pernah di
sampaikan oleh Pemangku artinya adalah tiga perbuatan yang baik, yaitu
berfikir yang baik, berkata yang baik, dan berbuat yang baik. Inilah
pegangan hidup di masyarakat untuk bersosialisasi dengan siapapun,
karena jika kita baik, maka orang lain juga akan baik terhadap kita.
2. Menurut bapa Pemangku mempengaruhi cara untuk bermasayarakat atau
tidak?
Iya, pemangku sebagai tokoh dalam agama Hindu mempengaruhi umat
dalam tata cara kehidupan bermasyarakat, pemangku sebagai pedoman
atau panutan kita untuk selalu berbuat baik.
3. Bagaimana Pemangku mempengaruhi kehidupan ekonomi bapak?
Pada dasarnya juga, agar kita beribadah dengan tenang kita harus
memenuhi kehidupan ekonomi yang cukup supaya kita bisa fokus dalam
beribadah, dan menurut pemangku kita harus selalu bekerja agar dapat
mencukupi kebutuhan ekonomi dan bekerjalah dengan cara yang baik.
4. Bagaimana Pemangku mempengaruhi dalam hal keberagamaan?
Pemangku sangat berpengaruh dalam keberagamaan, karena Pemangku
yang memimpin kita saat melakukan persembahyangan, dalam agama
Hindu kita diperintahkan bersembahyang tiga kali dalam satu hari, tetapi
itu tidak perlu di pimpin oleh Pemangku. Pemangku hanya memimpin
upacara di hari-hari tertentu saja atau dalam hari-hari besar agama Hindu.
5. Bagaimana Pemangku memberikan bimbingan tentang budaya?
Seorang pemangku bukan yang ngajar kebudayaan atau kesenian yang ada
dalam agama Hindu tapi kita di anjurkan sama-sama menjaga kebudayaan
yang sudah ada dari zaman dulu secara turun-temurun.
6. Apakah pemangku juga mempengaruhi kehidupan politik bapak?
Jelas tidak, Pemangku adalah orang suci yang tidak ada hubungannya
sama sekali dengan politik, karena dalam politik terkadang ada cara yang
tidak baik dalam menjatuhkan lawan politiknya, pemangku hanya fokus
pada peribadatan kita dan sesekali membekali kita cara dalam kehidupan
bermasyarakat.
IDENTITAS INFORMAN
Nama : Made Seroja
Agama : Hindu
Jabatan : Ketua Pasraman Pura Mertasari
1. Siapakah Pemangku menurut bapak?
Pemangku adalah sebutan seorang tokoh agama Hindu atau bisa disebut
juga Pinandita, pedande, bagawan dan lain-lain setiap daerah memiliki
sebutan yang berbeda beda, dapat diartikan juga Pemangku selain tokoh
agama juga Pemangku adalah jabatan agama karena Pemangku hanya
bertugas di satu pura saja, ketika di pura lain belum tentu masih menjadi
Pemangku .
2. Apa saja tugas Pemangku menurut bapak?
Tugas pemangku adalah memimpin upacara persembahyangan agama
Hindu dan memberikan penjelasan tentang keagaamaan Hindu untuk
kehidupan pada aspek ritual, spiritual,dan sosial.
3. Bagaimana cara memilih pemangku?
Banyak proses yang harus dilakukan untuk menentukan siapa yang
menjadi Pemangku, bahkan hampir semua tidak mau menjadi Pemangku
karena beban berat yang harus dijaga, tekadang Pemangku dipilih
berdasarkan keturunan jika keturunannya memang pantas menjadi
Pemangku, terkadang juga dipilih secara musyawarah siapa yang pantas
untuk menjadi Pemangku dan kadang juga memimta petunjuk langsung
kepada Ida Sang Hyang Widhi.
4. Apakah Pemangku mempengaruhi cara bapak untuk pedoman kehidupan
bermasyarakat?
Iya, pemangku sedikit banyak memberikan pedoman untuk kehidupan
sehari-hari agar dapat bersosialisasi yang baik dengan siapa saja.
5. Kapan bapak menerima pedoman cara bermasyarakat yang di berikan
Pemangku?
Biasanya ada petemuan banjar yang diadakan setaip bulan di situ
pemangku memberikan tuntunan hidip yang baik, kadang juga pada
setelah upacara persembahyangan.
IDENTITAS INFORMAN
Nama : Wasrad
Agama : Islam
Jabatan : Sekretaris Rt 06 Kelurahan Rengas
1. Apakah bapak mengenal tokoh agama Hindu?
Saya mengenal mereka dengan baik karena sering mengurus administrasi
juga ke saya, tetapi sebagai apa dia di Hindu saya tidak mengetahui apakah
dia Pemangku atau bukan tetapi yang saya tau dia yang memimpin umat
Hindu saat sembahyang setau saya seperti itu, tetapi lain dari apada itu
saya banyak mengenal masyarakat saya yang beragama Hindu.
2. Bagaimana hubungan masyarakat muslim dengan masyarakat Hindu?
Kita disini saling berhubungan dengan baik anatara umat Islam dan Hindu,
selayaknya Hidup berdampingan kita saling menghargai satu sama lain
dan saling menghormati agamanya masing-masing tidak pernah ada
konflik bahkak sekecil apapun.
3. Bagaimana contoh kehidupan masyarakat Hindu dan Islam yang sering
terjadi secara sosial kemasyarakatan?
Banyak kegiatan sosial yang kita adakan secara bersama-sama artinya
kegiatan yang diadakan umat Hindu umat Islam juga di ikut sertakan dan
sebaliknya juga demikian ada kegiatan sosial umat Islam untuk umat
Hindu nya juga tidak dilupakan. Contohnya uamt Islam menyembellih
hewan qurban uamt Hindu nya kita juga kasih dan mereka mau
menerimanya dengan baik, sebaliknya umat Hindu sering mengadakan
kegiatan bakti sosial yaitu membagikan sembako terhadap yang kurang
mampu, dan umat Islam yang mendapatkan sembako tersbut.jika mereka
mengadakan acara dan banyak tamu yang datang kita bantu dalam
penertiban kendaraan nya. Umat Hindu juga sering membantu kerluan kas
RT dan sering memberikan bantuan peralatan yang di butuhkan oleh
pemerintahan rengas dalam ruang lingkup RT setempat.
4. Apakah ada kegiatan budaya yang di lakukan bersama antara umat Hindu
dan Islam?
Ada, yaitu kegiatan belajar menari di pura yang di ikuti siapa saja buka
hanya untuk umat Hindu nya saja tetapi juga tebuka untuk siapa saja yang
mau belajar menari tanpa memandang dari agama manapun, dan anak-
anak dari agama Islam ada juga yang mengikuti latihan menari yang di
daadakan di Pura Mertasari.
5. Bagaimana hubungan bapak selaku pejabat RT terhadap para umat Hindu?
Kita berhubungsn dengan baik. Mereka selalu berkomunikasi dengan kita
tentang kegiatan yang mereka adakan di sini, belum pernah rsanya mereka
tidak izin sebelum melakukan kegiatan yang besar yang akan sedikit
menggangu lalu lintas karena bnyak tamu yang dating dari berbagai
daerah.
IDENTITAS INFORMAN
Nama : Drs. Amin
Agama : Islam
Jabatan : MUI Kelurahan Rengas
1. Bagaimana hubungan masyarakat dengan sesama pemeluk agama?
Di kelurahan Rengas ini terdapat beberapa pemeluk agama yang berbeda,
ada agama Islam ada juga Hindu dan munkin ada agama yang lain yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu keberagaman agama yang ada di
kelurahan Rengas di buktikan dengan adanya bangunan tempat beribadah
untuk agama Hindu yang adanya hanya perkabupaten dan bangunan itu
berada di kelurahan rengas. Dan selama ini yang saya tau hubungan antara
pemeluk agama yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang
sangat baik, tidak pernah ada yang di permasalahkan walaupun agama
yang kita anut berbeda dan tuhan kita berbeda, tetapi kita saling
menghargai satu sama lain.
2. Apakah bapak mengetahui tokoh agama dalam agama Hindu?
Sejujurnya saya tidak mengetahui sedalam itu dengan agama Hindu tetapi
wlaupun saya tidak mengetahuinya saya tidak pernah mempermasalahkan
agama mereka.
3. Apakah pernah ada kegiatan bersama dengan seluruh agama yanga ada di
kelurahan rengas? kalau ada kegiatan apa?
Pernah, dulu diadakan kegiatan bersama yaitu gerak jalan dan
perkumpulan seluruh tokoh agama tetapi di adakannya bukan di kelurahan
Rengas, melainkan di tingkat kecamatan dan saya salah satu yang ikut dan
menyaksikan kehangatan walupun berbeda agama.
4. Bagaimana hubungan kemasyarakatan yang bapak ketahui antara agama
Islam dan Hindu?
Saya hanya tau sedikit dan ringkas yaitu kami bermasyarakat dengan baik
di kelurahan rengas ini, belum pernah ada masalah kalau antara pemeluk
agama Islam dan Hindu, malah yang saya rasakan sering adanya masalah
anatara sesama pemeluk agama Islam karena sedikit berbeda cara ibadah,
tetapi itu bukan masalah yang besar.
IDENTITAS INFORMAN
Nama : Miftakhul Jannah
Agama : Islam
Jabatan : DKM Masjid Nurul Iman Kelurahan Rengas
1. Bagaimana pandangan bapak selaku DKM terhadap hubungan masyarakat
Muslim dengan umat Hindu?
Masayarakat disini yang beragama Hindu ada beberapa orang yang saya
ketahui kalau masyarakat yang muslim memang sangat banyak dan
menjadi mayoritas. Hubungan kita sebagai masyarakat Muslim terhadap
mereka yang beragama Hindu baik-baik saja artunya tidak pernah ada
masalah sedikitpun yang saling mengganggu satu sama lain atau saling
keberatan dengan kegiatan agama nya. Kita disini hidup sangat rukun dan
harmonis. Bahkan di samping masjid itu rumah orang yang beragama
Hindu dan tidak pernah ada masalah sedikitpun dengan kegiatan yang
diadakan di masjid artinya mereka menghargai kita, itu sebagai salah satu
bukti keharmonisan yang ada di daerah rengas ini.
2. Apakah bapak mengenal tokoh umat Hindu terutama Pemangku?
Untuk tokoh umat Hindu saya tidak mengenal persis siapanya tetapi saya
banyak mengenal mereka sebagai masyarakat sini tanpa saya mengetahui
mereka tokoh umat Hindu atau bukan, malah kadang mereka yang
mengenal kita mereka mengetahui siapa ustadz disni, siapa pa haji disini
seperti itu keadaannya.
3. Apakah ada kegiatan yang diadakan bersama antar umat beragama?
Kalau kegiatan bersama antara umat Hindu dan Islam itu tidak ada, tidak
pernah kita adakan sepengetahuan saya disini tetapi dalam kegiatan sosial
bisa di katakan sering ada.
4. Apa kegiatan sosial yang pernah diadakan antara umat Hindu dan Islam?
Contohnya adalah ketika hari Raya Idul Adha kita umat Islam
mengadakan pemotongan hewan qurban, kita bgikan daging tersebut
kepada mereka yang umat Hindu dan mereka juga mau menerimanya,
tetapi daging yang kita bagikan adalah daging kambing saja karena
sepengetahuan kita mereka tidak mengkonsumsi daging sapi, jadi untuk
menghormati mereka kita tidak pernah kasih mereka daging sapinya.
5. Apakah ada kegiatan budaya yang dilakukan bersama-sama juga antara
umat Islam dan Hindu?
Untuk kegiatan budaya yang di lakukan bersama ada kegiatan belajar
menari yang di adakan umat Hindu di Pura itu terbuka untuk umum siapa
saja yang ingin belajar menari di persilahkan, jadi ada anak muslim yang
belajar menari di pura dari usia anak-anak sampai sukses dan pernah
mengikuti perlombaannya samapai di Kanada. Seingat saya pernah ada
dulu dan sampai sekarang masih ada beberapa anak muslis yang belajar
menari di Pura bersama dengan umat Hindu, itulah contoh kegiatan
budaya yang sama-sama kita lakukan antar sesama umat beragama, artinya
mereka umat Hindu tidak menutup diri kepada kita selaku umat muslim
walaupun berbeda agama tapi kita hidup berdampingan disini dan saling
membantu dan menghargai layaknya msyarakat yang harmonis.
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Peta Pura Mertasari:
Peta umum
Peta Satelit
FOTO-FOTO
Bersama Bapak Pemangku Wayan Pinda
Asmara
Bersama Bapak Gede Sidarta (Ketua Banjar
Mertasari)
Bersama Bapak Made Seroja ( Ketua Pasraman
Pura Mertasari)
Bersama Bapak Amin (MUI Kelurahan
Rengas)
Bersama Bapak MIftahul Janah (Ketua DKM
Masjid Nurul Iman Rengas)
Bersama Bapak Wasrad (Setretaaris Rt 06
Rengas)
Kegiatan Pertemuan Banjar di Pura mertasari
top related