perbuatan hukum administrasi negara
Post on 22-Oct-2015
186 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Perbuatan hukum Administrasi Negara
Perbuatan2 hukum administrasi negara meliputi 4 (empat) macam, yaitu:
penetapan rencana norma jabaran legislasi-semu
Perbuatan2 hukum tersebut dituangkan ke dalam bentuk keputusan, yang menciptakan hubungan2 hukum (rechtsbetrekkingen) administrasi negara, yaitu hubungan hukum antara penguasa dan warga masyarakat di luar hukum perdata.
Masyarakat, tanpa membedakan macam perbuatan2 hukumnya, menyebut semua keputusan itu sebagai keputusan pemerintah.
Penetapan merupakan keputusan dari pemerintah sebagai Administrator, dan disebut dengan Keputusan Administrasi (administratieve beschikking).
Keputusan ini merupakan keputusan penyelenggaraan atau realisasi (materiele daad).
Sedangkan rencana, norma jabaran, dan legislasi-semu merupakan keputusan dari pemerintah sebagai Pemerintah, dan disebut dengan Keputusan Pemerintah (regeringsbesluit) atau Keputusan ini
merupakan keputusan pelaksanaan atau eksekutif (politieke daad. Kewewenangan untuk membentuk kedua macam keputusan tersebut dimiliki oleh pemerintah sebagai Penguasa Negara (overheid; public authority).
Dengan demikian, pemerintah dapat berperan sebagai Pemerintah (penguasa eksekutif) ataupun Administrator (penguasa administratif).
Perbuatan hukum bersegi satu
Perbuatan hukum ada 2 macam yakni perbuatan hukum yang bersegi
satu (eenzijdig) dan perbuatan hukum yang bersegi dua (tweezijdig).
Suatu perbuatan hukum bersegi satu adalah setiap perbuatan yang
berakibat hukum (rechtsgevolg) dan akibat hukum ditimbulkan oleh
kehendak satu subyek hukum, yaitu satu pihak saja (yang
melakukan perbuatan itu). Misalnya, perbuatan hukum yang disebut
dalam pasal 132 KUHPerdata (hak seorang istri untuk melepaskan
haknya atas barang yang merupakan kepunyaan suami istri
setelah mereka kawin, benda perkawinan), perbuatan hukum yang disebut dalam pasal 875 KUHPerdata (perbuatan mengadakan
testamen adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi satu), perbuatan
hukum yang mendirikan yayasan (stichtingshandhandeling). Suatu
perbuatan hukum yang bersegi dua adalah setiap perbuatan yang
akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dua subyek hukum,
dua pihak atau lebih.
Perbuatan hukum bersegi dua
Setiap perbuatan hukum yang bersegi dua merupakan perjanjian
(overeenkomst) seperti yang tercantum dalam pasal 1313 KUHPerdata :
“Perjanjian itu suatu perbuatan yang menyebabkan satu orang (subyek
hukum) atau lebih mengikat dirinya pada seorang (subyek hukum) lain
atau lebih”.
FREIES ERMESSEN
Sebagian kalangan oleh sarjana hukum administrasi Negara berargumen
bahwa freies ermessen itu harus dibingkai dalam hukum yang tertulis.
Hemat penulis kita tidak perlu memaksakan sifat freies ermessen yang
demikian oleh karena memang freies ermessen itu bersumber dari
hukum yang tidak tertulis. Sifat hukumnya yang bebas, tidak terikat
seperti hukum yang tertulis (peraturan perundang-undngan).
Sebenarnya freies ermessen terinspirasi dari asas diskresi yang berarti
kebebasan seorang pejabat untuk bertindak berdasarkan pikirannya demi
kepentingan umum. Selalu kita mendapati di jalan umum misalnya
ketika terjadi macet, maka meski lampu merah menyala polisi lalu lintas
membiarkan kendaraan lewat di jalur lampu merah tersebut. Inilah
sebenarnya contoh kecil dari penggunaan asas diskresi oleh polisi lalu
lintas.
Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum
yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi
negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak
mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam
praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya
kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas,
fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya
Freies ermessen sendiri berasal dari bahasa Jerman. Secara eteimologi
berasal dari dua kata freies dan ermessen. Pengertian Freies Ermessen
berasal dari kata frei dan freie yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat,
lepas dan orang bebas. Ermessen yang berarti mempertimbangkan,
menilai, menduga, penilaian, pertimbangan dan keputusan. Sedang
secara etimologis, Freies Ermessen artinya orang yang bebas
mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas
mengambil keputusan (Pouvoir Discretionare: Perancis, Discretionary
Power: Inggris)
Oleh Marbun dan Ridwan HR mengemukakan bahwa freies ermessen
merupakan kebebasan yang melekat bagi pemerintah atau administrasi
Negara. Sebenarnya jika ditilik lebih jauh pengguanan asas freies
ermessen oleh pejabat publik bertentangan dengan asas legalitas, namun
hal itu tidak berarti tidak bisa kita mengatakan bahwa pejabat kemudian
dilarang bertindak padahal itu atas nama demi kepentingan umum.
Meski salah satu dari tujuan Negara adalah Negara hukum, tetapi arah
atau sasaran utamanya adalah Negara kesejahteraan (welfare state). Oleh
karena itu pejabat eksekutif yang lebih banyak bersentuhan dnegan
pelaksanaan undang-undang tidak dapat dibatasi untuk tidak bertindak,
ketika terjadi kekosongan hukum (wetvacuum) dan adanya peraturan
pelaksanaan undang-undang yang perlu ditafsirkan (interpertate).
Namun tetap kembali bahwa meski itu adalah tindakan diskresi pejabat
tetap harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral
SF Marbun mengemukakan bahwa dengan diberikannya kebebasan
bertindak (freies ermessen) kepada administrasi negara dalam
melaksanakan tugasnya mewujudkan welfare state atau social rechtstaat
di Belanda sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa akibat dari freies
ermessen akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Oleh
karena itu untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi warga
masyarakat, tahun 1950 Panitia de Monchy di Netherland membuat
laporan tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik Atau Algemene
Beginselen Van Behoorlijk Bestuur. Pada mulanya timbul keberatan dari
pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai pemerintah di Netherland karena
ada kekhawatiran bahwa Hakim atau Pengadilan Administrasi kelak
akan mempergunakan istilah itu untuk memberikan penilaian terhadap
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil pemerintah, namun
keberatan demikian sekarang ini telah lenyap ditelan masa karena telah
hilang relevansinya.
Kemudian, kita juga tidak dapat menghilangkan penggunaan freies
ermessen dalam hukum administrasi Negara, karena hal itu juga sudah
dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Peradilan TUN (UU No.
5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004), bahwa individu atau badan
hukum perdata jika dirugikan dengan keluarnya KTUN, salah satu
alasan dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah karena keputusan itu
bertentang dengan Asas-Asas Uum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB),
jadi selain keputusan pejabat TUN dapat diuji karena bertentang dnegan
peraturan perudang-undangan yang berlaku juga dapat diuji melalui AAUPB.
Bahkan dalam perkembangan di bidang hukum administrasi Negara
freies ermessen dapat kemudian berwujud dalam hukum yang tertulis,
yang biasa disebut dengan peraturan kebijakan (beleidsregel).
Terkait dengan AAUPB, sebagai anak kandung dari freies ermessen,
oleh Wiarda membagi AAUPB itu dalam lima bagian:
1. Perlakukan yang adil (fair play), menurut asas ini pemerintah 2. diharapkan untuk terbuka dan jujur. Pemerintah harus memberikan 3. kesempatan kepada warga Negara untuk mengemukakan
pandangan dan pembelaan mereka.4. Ketelitian, asas ini menuntut ketelitan dan perhatian tentang
pertimbangan yang layak terhadap berabagai kepentingan.5. Kemurnian tujuan, tindakan pemerintah harus ditujukan kepada
tujuan yang diberikan oleh pembentuk undang-undang pada saat wewenang tersebut.
6. Keseimbangan artinya semua kepentingan yang terlibat dalam suatu keputusan harus dipertimbangkan dengan seimbang termasuk dalam pengertian ini adalah kesewenang-wenangan, yaitu tidak dipertimbangkannya berbagai kepentingan atau kurang teliti terhadap perkara yang sama. Penyelesaiannnya berbeda, berarti terjadi ketidakseimbangan dalm mengambil keputusan.
7. Kepastian hukum, asas ini mengharapkan administrasi Negara berpedoman pada peraturan yang dibuatnya, toleransi terhadap penyimpangan dilakukan berdasarkan keadilan khusus.
Dengan demikian segala keputusan TUN tidak hanya lagi dapat diuji
melalu peraturan perundang-undangan yang berlaku, jikalau misalnya
terjadi penyalahgunaan kewenangan (abuse of the power/ detornment of
the pouvoir), terjadi pencaplokan kekuasaan (succession of the power)
atau terjadi kesewenang-wenangan oleh pejabat tersebut ketika
mengeluarkan keputusan (willekeur). Artinya saat ini, semakin luas alat
atau instrument yang dapat digunakan sebagai alasan mengajukan
gugatan ke peradilan administrasi (PTUN) dengan hadirnya AAUPB
sebagai penerapan lebih lanjut dari asas freies ermessen.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber : negara hukum.com
Sony Maulana S. Fakultas Hukum Universitas Indonesia
mahardika.blogspot.com
ANALISIS
top related