plagiat merupakan tindakan tidak terpuji … · farmakokinetika-biofarmasetika), pak musrimin...
Post on 09-Jun-2019
238 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS
TABLET PYREXIN® DAN TABLET PROGESIC® DENGAN
TABLET PARASETAMOL (GENERIK) PADA KELINCI PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Clara Jeviana Sri Widyarini
NIM : 038114007
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS
TABLET PYREXIN® DAN TABLET PROGESIC® DENGAN
TABLET PARASETAMOL (GENERIK) PADA KELINCI PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Clara Jeviana Sri Widyarini
NIM : 038114007
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2007
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jika kita tidak dibimbing oleh Roh Allah, kita bekerja hanya demi kesia-siaan belaka, tanpa makna, terasa hambar apapun yang kita kerjakan… (St. Yohanes Maria Vianney)
Karya ini kupersembahkan untuk :
My Jesus Christ..... Terima kasih Tuhan atas penyertaan-Mu, Kau selalu menguatkanku saat ku lemah,
Kau selalu mencukupkan kebutuhanku saat ku kekurangan, Kau selalu mengangkatku saat kujatuh....
Papa & Mama tercinta
Kakakku tersayang
Almamaterku…. Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Untuk segala sesuatu ada masanya, Untuk apapun di bawah langit ada waktunya .................................................. .......................... IIaa mmeemmbbuuaatt sseeggaallaa sseessuuaattuu iinnddaahh ppaaddaa wwaakkttuunnyyaa..
(Pengkhotbah 3)
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PRAKATA
Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas berkat
yang selalu diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini
dimaksudkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi dari
Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama proses pembuatan dan penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak
mendapatkan bantuan baik materi maupun dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab
itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Papa dan Mama yang senantiasa mendoakan dan memberikan dorongan
kepada penulis.
2. Ibu Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen pembimbing I dan penguji yang
telah banyak membantu, mengarahkan dan memberi motivasi kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Christine Patramurti, M. Si., Apt., selaku penguji yang memberikan
saran dan masukan kepada penulis.
5. Ibu C. M. Ratna Rini Nastiti, S. Si., Apt., selaku penguji yang memberikan
saran dan masukan kepada penulis.
6. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., yang telah memberikan saran-saran yang
positif dan membangun kepada penulis.
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7. Para laboran : Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat (Laboratorium
Farmakokinetika-Biofarmasetika), Pak Musrimin (Laboratorium Formulasi
dan Teknologi Sediaan Padat), Mas Wagiran (Laboratorium Farmakognosi
Fitokimia), Pak Mukmin (Laboratorium Kimia Analisis Instrumental) yang
telah banyak mendampingi dan membantu kelancaran selama penulis
melakukan penelitian.
8. Mas Robert di Jakarta atas bantuannya memberikan bahan penelitian.
9. Kakakku Ardiatmoko yang selalu memberi motivasi agar penulis tidak patah
semangat dan atas pinjaman laptopnya.
10. Untuk Vincilia “Yeyen” Indriyani atas segala kerja sama, pengetahuan, dan
pemikiran selama menempuh pendidikan dan menyelesaikan skripsi ini serta
kebersamaan perjuangan menyelesaikan PKM.
11. Kepada teman-teman Farmasi 2003 USD yang telah berjuang bersama,
terutama kepada Arnie, Marga, Vita, Mita, Nanda, Raya, Eta, Ria, Galuh,
Tina, Adi, dan Andhika “Ble-q”.
12. Untuk Surya, Angga, Galih, Fanny dan Essy atas kebersamaan kita selama
melaksanakan penelitian di laboratorium.
13. Untuk Alfons, Dewi, Erlisa, Teddy, dan teman-teman KKN (Abit, Mas
Bayu, Titin, Jane, Ratna, Iis, Vicky, “Nyak” Alfonsa, dan Nani).
14. Dan untuk kawan-kawanku, Acay, Dhamet, Indra, Eci, Rinto, Punto, Poke,
Beny, Bowo, Angga “Too-cool” serta semua teman dari SMU Pangudi
Luhur Van Lith Muntilan gen. X, terima kasih untuk dukungan dan
dorongannya.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kepada seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu
per satu, penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih. Penulis sangat menyadari
bahwa skripsi ini belum sempurna, maka kritikan dan saran atas skripsi ini
merupakan sesuatu yang berharga bagi penulis dan bagi perkembangan pengetahuan
di bidang farmasi. Terima kasih.
Penulis
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTISARI
Obat yang beredar di pasaran dapat dibagi menjadi obat generik dan obat merk dagang. Kedua jenis obat tersebut harus terjamin keamanan dan khasiatnya. Dalam penelitian ini, dilakukan perbandingan antara obat merk dagang dan obat generik dengan pendekatan farmakokinetika. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan bioavailabilitas obat merk dagang dan obat generik pada kelinci putih jantan.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan eksperimental silang. Sampel yang digunakan adalah tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® yang diberikan kepada kelinci putih jantan dengan desain cross over. Metode yang digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol adalah metode Chafetz et al. (1971) yang telah dimodifikasi.
Hasil yang diperoleh diolah menjadi parameter bioavailabilitas menggunakan program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi oleh Jung), kemudian dianalisis statistik dengan metode ANOVA taraf kepercayaan 90%. Hasil penelitian ini adalah nilai AUC(0-inf) (μg.menit/ml) tablet parasetamol generik : 21029,077 + 3336,122; tablet Pyrexin® : 16666,110 + 1456,821; dan tablet Progesic®
: 33823,687 + 5640,811. Nilai Cmax (μg/ml) tablet parasetamol generik : 179,743 + 21,631; tablet Pyrexin® : 116,717 + 10,018; dan tablet Progesic®
: 236,037 + 15,762. Nilai tmax (menit) tablet parasetamol generik : 24,733 + 1,943; tablet Pyrexin® : 46,433 + 3,353; dan tablet Progesic®
: 33,600 + 3,637. Jadi dapat disimpulkan bahwa bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® tidak sama. Kata kunci : bioavailabilitas, parasetamol, farmakokinetika
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
The medicine could be classified as generic and brand-name medicine. The safety and efficacy of those tablets should be guaranteed. In this research, brand-name and generic medicine were compared by pharmacokinetics approach. The purpose of this research was comparing bioavailability of brand-name tablets to generic tablet on male-white rabbits.
This research was pure cross experimental research. The samples used in this research were generic paracetamol tablet, Pyrexin® tablet and Progesic tablet®. Those tablets were given to male-white rabbits. This research used cross over design and Chafetz et al. (1971) method to determine concentration of drug in the blood.
The result was converted to bioavailability values by STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, modified by Jung) program, then the bioavailability values were analyzed by ANOVA method with 90% confidence intervals. The result showed that AUC(0-inf) (μg.minute/ml) of generic paracetamol tablet : 21029,077 + 3336,122; Pyrexin® tablet : 16666,110 + 1456,821; and Progesic®tablet : 33823,687 + 5640,811. Cmax (μg/ml) of generic paracetamol tablet : 179,743 + 21,631; Pyrexin® tablet : 116,717 + 10,018; and Progesic® tablet : 236,037 + 15,762. tmax (minute) of generic paracetamol tablet : 24,733 + 1,943; Pyrexin® tablet : 46,433 + 3,353; and Progesic®
tablet : 33,600 + 3,637. So, it can be concluded that the bioavailability of generic paracetamol tablet, Pyrexin® tablet, and Progesic® tablet was different.
Key words : bioavailability, paracetamol, pharmacokinetics
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... v
PRAKATA ........................................................................................................ vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................... ix
INTISARI ......................................................................................................... x
ABSTRACT ........................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xviii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xx
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1. Permasalahan ........................................................................................ 2
2. Keaslian Penelitian.................................................................................. 2
3. Manfaat ................................................................................................. 3
B. Tujuan ......................................................................................................... 3
1. Tujuan Umum ....................................................................................... 3
2. Tujuan Khusus ...................................................................................... 3
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Bioavailabilitas dan Bioekivalensi .............................................................. 4
1. Definisi .................................................................................................. 4
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas ............................ 8
3. Bioavailabilitas dan Disolusi In Vitro ................................................... 18
4. Obat ....................................................................................................... 19
B. Parasetamol ................................................................................................. 19
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Farmakokinetika ......................................................................................... 23
1. Definisi .................................................................................................. 23
2. Strategi Penelitian Farmakokinetika ..................................................... 25
D. Nasib Obat di Dalam Tubuh ....................................................................... 27
1. Absorpsi ................................................................................................ 27
2. Distribusi ............................................................................................... 29
3. Biotransformasi ..................................................................................... 29
4. Ekskresi ................................................................................................. 30
E. Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika ................................................ 31
1. Model Kompartemen ............................................................................ 31
2. Parameter Farmakokinetika .................................................................. 32
F. Darah ........................................................................................................... 36
1. Plasma Darah ........................................................................................ 36
2. Denaturasi Protein Plasma .................................................................... 37
G. Kolorimetri .................................................................................................. 38
1. Definisi .................................................................................................. 38
2. Metode Penetapan Kadar Parasetamol secara Kolorimetri ................... 39
H. Desain Cross Over ...................................................................................... 42
I. Keterangan Empiris .................................................................................... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian .................................................................. 43
B. Variabel dan Definisi Operasional .............................................................. 43
1. Variabel Penelitian ................................................................................ 43
2. Definisi Operasional ............................................................................. 45
C. Bahan Penelitian ......................................................................................... 45
D. Alat Penelitian ............................................................................................. 46
E. Tata Cara Penelitian .................................................................................... 46
1. Uji Pendahuluan Tablet ......................................................................... 46
2. Pembuatan Larutan ............................................................................... 49
3. Pembuatan Larutan Parasetamol ........................................................... 50
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Cara Perolehan Plasma Darah ............................................................... 50
5. Optimasi Metode ................................................................................... 51
6. Orientasi Dosis dan Waktu Pengambilan Sampel Darah ...................... 53
7. Perlakuan Hewan Uji ............................................................................ 54
F. Analisis Hasil .............................................................................................. 56
1. Kesahihan Metode ................................................................................ 56
2. Perhitungan Parameter Bioavailabilitas ................................................. 57
3. Cara Penafsiran dan Penyimpulan Hasil Penelitian .............................. 57
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji Pendahuluan Tablet ............................................................................... 58
1. Uji Keseragaman Bobot ........................................................................ 59
2. Uji Kekerasan ........................................................................................ 60
3. Uji Kerapuhan ....................................................................................... 61
4. Uji Waktu Hancur ................................................................................. 62
5. Uji Disolusi ........................................................................................... 63
B. Cara Perolehan Plasma Darah ..................................................................... 67
C. Optimasi Metode ......................................................................................... 68
1. Penentuan Operating Time (OT) ......................................................... 72
2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ......................................... 74
3. Pembuatan Kurva Baku ........................................................................ 75
4. Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan
Kesalahan Acak .................................................................................... 76
D. Orientasi Dosis dan Waktu Pengambilan Sampel Darah ........................... 78
E. Perbandingan Bioavailabilitas .................................................................... 79
1. Kadar Parasetamol dalam Plasma ......................................................... 79
2. AUC(0-inf) ............................................................................................... 83
3. Cmax ....................................................................................................... 84
4. tmax ......................................................................................................... 86
5. Kriteria Bioekivalen .............................................................................. 87
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................. 93
B. Saran ........................................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 95
LAMPIRAN ...................................................................................................... 100
BIOGRAFI PENULIS ...................................................................................... 133
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel I Konsep Desain Cross Over ................................................. 54
Tabel II Parameter-Parameter Farmakokinetika ............................... 57
Tabel III Hasil Uji Keseragaman Bobot Tablet ................................. 59
Tabel IV Hasil Uji Kekerasan Tablet ................................................. 61
Tabel V Hasil Uji Kerapuhan Tablet ................................................ 61
Tabel VI Hasil Uji Waktu Hancur Tablet .......................................... 62
Tabel VII Data Persamaan Kurva Baku Disolusi ............................... 64
Tabel VIII Data Disolusi Tablet ........................................................... 65
Tabel IX Kemiripan Profil Disolusi ................................................... 66
Tabel X Data Persamaan Kurva Baku .............................................. 76
Tabel XI Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan
Kesalahan Acak ................................................................... 77
Tabel XII Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian Produk
Obat ..................................................................................... 80
Tabel XIII ln Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian
Produk Obat ........................................................................ 80
Tabel XIV Nilai Parameter Bioavailabilitas .......................................... 82
Tabel XV Uji Post-Hoc Nilai AUC(0-inf) ..................................................... 83
Tabel XVI Uji Post-Hoc Nilai C(max) ........................................................... 85
Tabel XVII Uji Post-Hoc Nilai t(max) ............................................................. 86
Tabel XVIII Perbandingan Parameter Bioavailabilitas ........................... 88
Tabel XIX Hasil Penimbangan Tablet .................................................. 100
Tablet XX Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam
Pembuatan Kurva Baku Uji Disolusi .................................. 101
Tabel XXI Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Generik .... 102
Tabel XXII Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Pyrexin® .. 102
Tabel XXIII Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Progesic® . 102
Tabel XXIV Perhitungan Persentase Kumulatif Obat Terlarut ............... 105
Tabel XXV Konversi Perhitungan Dosis antar Jenis Hewan ................. 107
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel XXVI Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam
Pembuatan Kurva Baku ...................................................... 110
Tabel XXVII Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Plasma 110
Tabel XXVIII Konsentrasi Larutan Parasetamol untuk Penentuan Nilai
Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan
Acak .................................................................................... 112
Tabel XXIX Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 1 ............ 114
Tabel XXX Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 2 ............ 115
Tabel XXXI Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 3 ............ 116
Tabel XXXII Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 1 .......... 117
Tabel XXXIII Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 2 .......... 118
Tabel XXXIV Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 3 .......... 119
Tabel XXXV Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 1 ......... 120
Tabel XXXVI Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 2 ......... 121
Tabel XXXVII Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 3 ......... 122
Tabel XXXVIII Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika ..................... 125
Tabel XXXIX Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas untuk
Penentuan Bioekivalensi ..................................................... 126
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Proses Laju Bioavailabilitas Obat .............................................. 7
Gambar 2 Struktur Parasetamol ................................................................. 20
Gambar 3. Metabolisme Parasetamol ......................................................... 22
Gambar 4 Proses Obat dalam Tubuh untuk Menimbulkan Efek ............... 24
Gambar 5 Proses Farmakokinetika Obat di dalam Tubuh ......................... 27
Gambar 6 Reaksi Parasetamol dengan Asam Nitrat .................................. 39
Gambar 7 Reaksi Hidrolisis Parasetamol menjadi p-aminofenol .............. 40
Gambar 8 Reaksi Pembentukan Warna pada Metode Chafetz et al. (1971) 41
Gambar 9 Kurva Hubungan antara Kadar Parasetamol dengan Serapan
pada Uji Disolusi ....................................................................... 65
Gambar 10 Profil Disolusi ........................................................................... 66
Gambar 11 Reaksi antara Asam Klorida dengan Natrium Nitrit Membentuk
Ion Nitrosonium ........................................................................ 69
Gambar 12 Reaksi antara Parasetamol dengan Ion Nitrosonium Membentuk
2-nitro-4-asetamidofenol Beserta Gugus Kromofor dan
Auksokromnya .......................................................................... 69
Gambar 13 Mekanisme Reaksi antara Parasetamol dengan Ion Nitrosonium 70
Gambar 14 Reaksi antara Asam Nitrit dengan Asam Sulfamat ................... 71
Gambar 15 Reaksi Penetralan Asam dan Pembentukan Ion Fenolat dalam
Suasana Basa ............................................................................. 71
Gambar 16 Mekanisme Reaksi antara 2-nitro-4-asetamidofenol dengan
Natrium Hidroksida .................................................................. 72
Gambar 17 Pengukuran Operating Time (OT) Larutan Parasetamol dalam
Plasma Kadar 100 μg/ml ........................................................... 73
Gambar 18 Pengukuran Operating Time (OT) Larutan Parasetamol dalam
Plasma Kadar 400 μg/ml ........................................................... 73
Gambar 19 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan
Parasetamol dalam Plasma Kadar 100 μg/ml ........................... 74
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 20 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan
Parasetamol dalam Plasma Kadar 400 μg/ml ........................... 75
Gambar 21 Kurva Hubungan antara Kadar Parasetamol dengan Serapan .. 76
Gambar 22 Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) terhadap Waktu
(t) ............................................................................................... 81
Gambar 23 Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) terhadap
Waktu (t) ................................................................................... 81
Gambar 24 Profil Disolusi Tablet Paraseamol (Generik) (A), Tablet
Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C) .................................... 104
Gambar 25 Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs. Waktu (t)
pada Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B), dan
Tablet Progesic® (C) ................................................................. 123
Gambar 26 Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs. Waktu
(t) pada Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B),
dan Tablet Progesic® (C) .......................................................... 124
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Penimbangan Tablet untuk Uji Keseragaman Bobot ...... 100
Lampiran 2 Data Kurva Baku Disolusi Tablet ............................................. 101
Lampiran 3 Hasil Uji Disolusi Tablet .......................................................... 102
Lampiran 4 Contoh Cara Perhitungan Data Disolusi Tablet ........................ 103
Lampiran 5 Grafik Uji Disolusi Tablet ........................................................ 104
Lampiran 6 Contoh Cara Perhitungan Faktor Kemiripan Profil Disolusi .... 105
Lampiran 7 Contoh Perhitungan Pembuatan Larutan Obat ......................... 106
Lampiran 8 Tabel Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan dan
Perhitungan Dosis Awal untuk Orientasi Dosis ........................ 107
Lampiran 9 Operating Time Larutan Parasetamol dalam Plasma dengan
Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B) .................................. 108
Lampiran 10 Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol dalam
Plasma dengan Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B) ......... 109
Lampiran 11 Data Kurva Baku Parasetamol .................................................. 110
Lampiran 12 Kurva Baku ............................................................................... 111
Lampiran 13 Pembuatan Larutan untuk Penentuan Nilai Perolehan
Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak ............. 112
Lampiran 14 Sertifikat Analisis Parasetamol ................................................. 113
Lampiran 15 Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik ..................... 114
Lampiran 16 Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® ................... 117
Lampiran 17 Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® .................. 120
Lampiran 18 Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs. Waktu (t) .... 123
Lampiran 19 Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs. Waktu (t) 124
Lampiran 20 Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika ........................... 125
Lampiran 21 Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas untuk
Penentuan Bioekivalensi ........................................................... 126
Lampiran 22 Analisis Statistik (SPSS 14.0) ................................................... 127
xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Obat yang beredar di pasaran dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
obat generik dan obat bermerk dagang. Obat generik merupakan obat jadi yang
dipasarkan dengan nama umum (nama generik) bahan aktifnya sedangkan obat
bermerk dagang merupakan obat jadi yang dipasarkan dengan nama dagang yang
dipakai oleh masing-masing produsen (Anonim, 2000).
Setiap produsen pasti melakukan promosi untuk masing-masing produknya
sehingga harga obat bermerk dagang umumnya lebih mahal daripada obat generik
(Anonim, 2000). Fenomena yang sering terjadi adalah dokter jarang meresepkan obat
generik yang harganya lebih murah, sedangkan pasien cenderung untuk memilih obat
bermerk dagang dengan anggapan bahwa harga yang lebih mahal akan memberikan
efek terapeutik yang lebih baik.
Semua obat, baik obat generik maupun obat bermerk dagang, harus terjamin
keamanan dan khasiatnya. Hal tersebut dapat diuji secara farmakokinetika dan
farmakodinamika. Pendekatan farmakokinetika membicarakan tentang nasib obat
tersebut di dalam tubuh, meliputi proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan
ekskresi sedangkan pendekatan farmakodinamika membicarakan tentang efek yang
ditimbulkan obat tersebut di dalam tubuh. Selama ini, kebanyakan pasien dan tenaga
kesehatan memandang obat hanya dari sisi farmakodinamika tanpa mengetahui sisi
farmakokinetikanya. Padahal farmakokinetika suatu obat juga penting untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
diketahui sebab proses farmakokinetika berpengaruh terhadap keseluruhan aksi obat,
termasuk efek terapeutik yang dihasilkan.
Dalam penelitian ini, dilakukan perbandingan antara obat bermerk dagang
terhadap obat generik secara farmakokinetika, yaitu dengan membandingkan
parameter-parameter bioavailabilitas obat bermerk dagang terhadap obat generik
pada kelinci putih jantan. Sampel yang digunakan adalah beberapa tablet yang
mengandung parasetamol sebagai zat aktif tunggal, yaitu tablet parasetamol
(generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic®. Penulis memilih parasetamol sebab
parasetamol banyak digunakan dalam obat bebas dan obat bebas terbatas sebagai
analgesik-antipiretik yang dapat diperoleh dengan mudah oleh pasien.
1. Permasalahan
Masalah yang diangkat dari latar belakang tersebut adalah apakah tablet
parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® memiliki bioavailabilitas
yang sama ?
2. Keaslian penelitian
Sejauh yang penulis ketahui, masalah tersebut belum pernah diteliti dalam
penelitian di lingkungan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Universitas
Gajah Mada Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
3. Manfaat
Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet
Progesic® pada kelinci putih jantan.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet
Pyrexin®, dan tablet Progesic® pada kelinci putih jantan.
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bioavailabilitas antara tablet
parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® pada kelinci putih
jantan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
Berkaitan dengan penelitian Perbandingan Bioavailabilitas Tablet Pyrexin®
dan Tablet Progesic® dengan Tablet Parasetamol (Generik) pada Kelinci Putih
Jantan, maka dalam bab ini ditelaah tentang Bioavailabilitas dan Bioekivalensi,
Parasetamol, Farmakokinetika, Nasib Obat di Dalam Tubuh, Dasar-Dasar
Perhitungan Farmakokinetika, Darah, Kolorimetri, dan Desain Cross Over.
A. Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
1. Definisi
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan persentase dan kecepatan
zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas
dapat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam
urin (Anonim, 2004b).
Terdapat dua macam bioavailabilitas, yaitu bioavailabilitas absolut dan
bioavailabilitas relatif. Bioavailabilitas absolut merupakan perbandingan
bioavailabilitas obat yang diberikan secara ekstravaskular terhadap bioavailabilitas
obat yang diberikan secara intravaskular, sedangkan bioavailabilitas relatif
merupakan perbandingan bioavailabilitas produk obat terhadap pembanding (selain
intravaskular) (Anonim, 2004b).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Istilah ekivalensi atau kesetaraan digunakan dalam perbandingan suatu
produk obat dengan produk obat lainnya. Ada beberapa istilah ekivalensi menurut
Malinowski (2000).
a. Ekivalensi kimia.
Jika dua atau lebih bentuk sediaan mengandung obat seperti yang tertera pada
etiket.
b. Ekivalensi klinik.
Jika obat yang sama dalam dua atau lebih bentuk sediaan memberikan efek in
vivo yang identik, yang dapat dilihat dari respon farmakologi atau kontrol
terhadap gejala atau penyakit.
c. Ekivalensi terapeutik.
Ekivalensi terapeutik berarti bahwa dua merk obat diharapkan menghasilkan efek
klinik yang sama.
d. Bioekivalensi.
Jika obat dalam dua atau lebih bentuk sediaan yang sejenis mencapai sirkulasi
sistemik dengan jumlah dan kecepatan yang relatif sama.
e. Ekivalensi farmasetik.
Jika dua produk obat mengandung zat aktif yang sama dalam bentuk sediaan dan
kekuatan yang sama.
Bioekivalensi merupakan perbandingan bioavailabilitas dari dua atau lebih
produk obat. Dua produk atau formulasi yang mengandung zat aktif sama dikatakan
bioekivalen jika kecepatan dan jumlah yang diabsorpsi sama (Chereson, 1999).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Menurut Pedoman Uji Bioekivalensi Badan POM RI, dua produk obat disebut
bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau merupakan
alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan
menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, baik
dalam hal efikasi maupun keamanan. Dua produk obat mempunyai ekivalensi
farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah dan bentuk
sediaan yang sama. Dua produk obat merupakan alternatif farmasetik jika keduanya
mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester,
dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan.
Studi bioavailabilitas digunakan untuk menunjukkan efek sifat fisika kimia
komponen obat dan bentuk sediaan terhadap farmakokinetika obat. Studi
bioekivalensi digunakan untuk membandingkan bioavailabilitas obat dengan zat aktif
yang sama dari berbagai produk obat. Apabila produk obat tersebut bioekivalen
maka efikasi dan profil keamanan produk-produk obat tersebut dapat dianggap sama
dan dapat digantikan satu dengan yang lain (Shargel, Wu-Pong, and Yu, 2005).
Respon farmakologis pada umumnya terkait dengan konsentrasi obat pada
reseptor sehingga ketersediaan obat dari bentuk sediaan merupakan faktor yang
penting dalam menentukan efikasi obat. Konsentrasi obat pada tempat aksi biasanya
tidak dapat diukur secara langsung sehingga kebanyakan studi bioavailabilitas
melibatkan pengukuran konsentrasi obat di dalam darah atau urin. Hal ini
berdasarkan pada suatu anggapan bahwa obat pada tempat aksi berada dalam
kesetimbangan dinamis dengan obat di dalam darah (Chereson, 1999).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Obat dalam bentuk sediaan padat yang ditujukan untuk penggunaan sistemik
umumnya mengalami absorpsi melalui suatu rangkaian proses, yaitu disintegrasi
produk obat yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media aqueous, dan
absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik (Shargel et al., 2005).
Di dalam proses tersebut, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi
ditentukan oleh tahap yang paling lambat. Tahap yang paling lambat di dalam
rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step).
Bentuk sediaan padat
disintegrasi deagregasiGranul Partikel kecil
Gambar 1. Proses laju bioavailabilitas obat (Malinowski, 2000)
Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan biasanya
merupakan tahap yang paling lambat sehingga menjadi penentu kecepatan terhadap
bioavailabilitas obat (Shargel et al., 2005).
Studi bioavailabilitas dilakukan terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) untuk dipasarkan. Dalam menyetujui suatu produk obat
untuk dipasarkan, FDA harus memastikan bahwa produk obat tersebut aman dan
efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus
memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan
kemurnian (Shargel et al., 2005).
Disolusi obat Disolusi obat Larutan obat
Absorpsi
Obat dalam darah
Disolusi obat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA
menghendaki studi bioavailabilitas/farmakokinetika dan bila perlu persyaratan
bioekivalensi untuk semua produk (Shargel et al., 2005). Akibat perkembangan studi
bioavailabilitas dan bioekivalensi, maka diperlukan suatu kepastian bahwa produk
generik bioekivalen terhadap produk dagang sehingga produk generik tidak perlu
diragukan lagi jika diresepkan oleh dokter (Chereson, 1999).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas
Bioavailabilitas sangat dipengaruhi oleh proses absorpsi. Obat-obat yang
diberikan secara oral harus diabsorpsi terlebih dahulu sebelum memberikan efek
terapeutik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorpsi adalah sebagai berikut.
a. Rute dan cara pemberian.
Obat yang diberikan secara oral, subkutan, intramuskular, intradermal,
hipodermal atau intraperitoneal memerlukan proses absorpsi. Beberapa obat
yang diberikan secara oral akan termetabolisme pada saluran pencernaan dalam
jumlah yang besar sehingga hanya sedikit obat yang dapat mencapai sirkulasi
sistemik. Kebanyakan obat yang diberikan secara oral juga mengalami first- pass
effect sehingga tidak semua obat yang diberikan akan diabsorpsi (Wagner, 1975).
b. Dosis dan aturan dosis.
Dosis yang diberikan harus diperhatikan agar konsentrasi obat dalam darah dapat
berada dalam jendela terapi (Wagner, 1975).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
c. Efek bentuk sediaan.
Bentuk sediaan obat dapat mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai
sirkulasi sistemik.
1) Sifat fisika kimia obat.
a) Faktor yang mempengaruhi kelarutan.
Laju pelarutan obat dijelaskan dengan persamaan Noyes-Whitney
(Proudfoot, 1990) :
C)-(ChA D
dtdm
s= (1)
Keterangan :
dtdm
= laju disolusi partikel obat
D = koefisien difusi A = luas permukaan efektif h = tebal lapisan difusi Cs = kelarutan jenuh obat pada lapisan difusi C = konsentrasi obat pada cairan gastrointestinal
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah sebagai berikut.
(1) Bentuk kristal, amorf, polimorfi, solvate.
Polimorfi.
Banyak obat memiliki lebih dari satu bentuk kristal. Hal ini disebut
dengan istilah polimorfi, sedangkan masing-masing bentuk kristal
disebut dengan istilah polimorf. Bentuk polimorf metastabil memiliki
kelarutan dalam air paling besar (Proudfoot, 1990).
Amorf
bentuk amorf biasanya lebih larut dan laju disolusinya lebih cepat
daripada bentuk kristal (Proudfoot, 1990).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Solvate
solvate adalah bentuk kristal yang terbentuk ketika obat berikatan
dengan molekul pelarut (solvent). Jika pelarutnya air, maka bentuk
solvate dinamakan hidrat. Biasanya semakin besar solvation pada
kristal, maka kelarutan dan laju disolusinya akan menurun (Proudfoot,
1990).
(2) Asam bebas, basa bebas, atau bentuk garam.
Bentuk asam bebas, basa bebas dan bentuk garam dapat
mempengaruhi kelarutan obat. Sebagai contoh : garam logam alkali
dari asam organik lemah (misal : natrium atau kalium warfarin) akan
terdisolusi lebih cepat daripada bentuk asam lemahnya. Serupa
dengan itu, garam asam mineral dari basa lemah (misal : amina atau
sulfat) akan terdisolusi dengan lebih cepat daripada basa lemahnya
(Wagner, 1975).
(3) Nilai pKa.
Pengaruh nilai pKa dalam kelarutan obat dapat dijelaskan dalam
persamaan Krebs & Speakman :
untuk asam monobasa : SpH = S0 (1+10(pH-pKa)) (2)
untuk basa monoasam : SpH = S0 (1+10(pKa-pH)) (3)
Keterangan : SpH = kelarutan pada pH tertentu S0 = kelarutan intrinsik (kelarutan bentuk tak terion)
yang berarti kelarutan asam pada pH mendekati 0 atau kelarutan basa pada pH mendekati 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
(4) Kompleksasi, solid solution, eutectics.
Laju dan jumlah obat yang diabsorpsi tergantung pada konsentrasi
efektif obat. Kompleksasi dapat mempengaruhi konsentrasi efektif
obat pada cairan gastrointestinal. Contoh kompleksasi yang terjadi
adalah antara mucin dengan obat-obat tertentu (misal streptomisin)
yang membentuk kompleks yang tidak dapat diabsorpsi (Proudfoot,
1990).
(5) Surfaktan.
Surfaktan memiliki efek yang bervariasi pada laju disolusi dan
absorpsi. Biasanya surfaktan menurunkan tegangan permukaan
sehingga laju disolusi akan meningkat. Namun jika konsentrasi
surfaktan sudah di atas critical micelle concentrations, maka
surfaktan akan membentuk micelle dengan obat sehingga laju absorpsi
obat akan menurun sebab obat yang dapat diabsorpsi hanya obat
dalam bentuk bebas (Wagner, 1975).
b) Faktor yang mempengaruhi transport obat.
(1) Nilai pKa dan pH.
Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat-
obat yang lebih larut dalam lemak akan lebih mudah melewati
membran sel daripada obat yang kurang larut lemak. Bagi obat yang
bersifat sebagai elektrolit lemah, besarnya ionisasi mempengaruhi laju
transport obat (Shargel et al., 2005).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Ionisasi suatu elekrolit lemah tergantung pada nilai pKa dan pH yang
dijelaskan dalam persamaan Handerson-Hasselbach :
untuk asam lemah : [HA]
]A [ -= 10(pH-pKa) (4)
untuk basa lemah : ][HB
]B [+
= 10(pH-pKa) (5)
Keterangan : A-
= fraksi terion dari obat asam lemah HA = fraksi tak terion dari obat asam lemah B = fraksi tak terion dari obat basa lemah HB+ = fraksi terion dari obat basa lemah pH = nilai pH media pKa = nilai pKa obat
(2) Ada tidaknya muatan.
Muatan pada obat dapat mempengaruhi transport obat menembus
membran. Berdasarkan penelitian Benet dkk., ternyata bentuk ion dari
obat juga dapat menembus membran (Wagner, 1975).
(3) Koefisien partisi.
Semakin besar koefisien partisi obat antara membran dan lumen,
maka laju absorpsi akan semakin besar pula (Wagner, 1975).
(4) Molal volume, monomeric atau micellar, dan difusivitas.
Laju difusi micelle lebih lambat daripada laju difusi monomeric
(Wagner, 1975).
(5) Stagnant water layer (aqueous diffusion layer).
Perpindahan obat melewati aqueous diffusion layer antara luminal dan
permukaan membran dapat menjadi rate limiting step dalam proses
absorpsi (Wagner, 1975).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
2) Faktor farmasetika dan pembuatan bentuk sediaan padat.
a) Ukuran partikel dan luas permukaan spesifik.
Laju disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan spesifik
(Wagner, 1975). Penurunan ukuran partikel akan menyebabkan
peningkatan luas permukaan spesifik (York, 1990). Laju disolusi, laju
absorpsi, keseragaman kandungan dalam bentuk sediaan dan stabilitas
bentuk sediaan tergantung pada ukuran partikel dan ukuran distribusinya.
b) Static electrification.
Beberapa proses seperti pencampuran dan penyalutan dapat menghasilkan
static electrification. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi
partikel dan terjadinya unmixing (tidak tercampurnya) obat. Agregasi
menyebabkan penurunan luas permukaan sehingga laju disolusi menjadi
lebih lambat (Wagner, 1975).
c) Tipe bentuk sediaan.
Pada umumnya, urutan laju absorpsi obat dalam bentuk sediaan dari yang
tercepat hingga terlambat adalah larutan, suspensi, tablet, tablet salut
gula, dan tablet salut enterik. Namun urutan tersebut dapat berubah jika
obat terdegradasi oleh asam di lambung (Wagner, 1975).
d) Tipe dan jumlah bahan tambahan.
Secara umum, penggunaan bahan tambahan yang tidak larut air akan
menyebabkan laju disolusi dan absorpsi obat menjadi lebih lambat
dibandingkan dengan penggunaan bahan tambahan yang larut air. Hal ini
karena partikel obat akan diselubungi oleh bahan tambahan yang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
larut air sehingga obat menjadi lebih hidrofob. Penambahan garam netral
akan meningkatan disolusi obat (Wagner, 1975).
e) Ukuran granul dan distribusi ukurannya.
Granulasi merupakan salah satu proses dalam pembuatan tablet. Proses
disintegrasi tablet diasumsikan melalui 2 tahap, yaitu tablet menjadi
granul dan granul menjadi partikel kecil. Oleh karena itu, ukuran granul
dan distribusi ukurannya menjadi penting untuk diperhatikan (Wagner,
1975).
f) Tipe dan jumlah bahan penghancur.
Bahan penghancur akan mengembang oleh adanya air dan mendesak
tablet untuk hancur. Semakin banyak jumlah bahan penghancur yang
digunakan, maka tablet semakin mudah hancur (Wagner, 1975).
g) Waktu pencampuran.
Dalam proses pencampuran terdapat waktu optimum, di mana setelah
waktu optimum terlewati, obat menjadi tidak tercampur lagi (Wagner,
1975).
h) Tekanan dan kecepatan kompresi.
Tekanan kompresi merupakan faktor penentu waktu hancur dan laju
disolusi obat dari tablet (Wagner, 1975).
i) Penyalutan (salut film, salut gula, salut enterik).
Tablet salut film terdisolusi lebih cepat daripada tablet salut gula. Tablet
salut gula biasanya lebih tebal daripada tablet salut film. Tablet salut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
enterik tidak larut pada lambung, namun larut pada usus halus (Wagner,
1975).
j) Efek matriks.
Dalam tablet lepas lambat, obat dicampur dengan wax atau polimer
sintetik yang inert dan tidak dapat diabsorpsi di saluran pencernaan, yang
disebut dengan matriks. Saat tablet tersebut diberikan secara oral, cairan
akan masuk ke dalam matriks dan dengan perlahan akan melarutkan obat
dari matriks (Wagner, 1975).
k) Tipe dan jumlah surfaktan.
Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dengan
media disolusi sehingga dapat meningkatkan laju disolusi (Wagner,
1975).
l) Kondisi lingkungan selama pembuatan.
Jika obat mudah terhidrolisis, maka stabilitas bentuk sediaan dapat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama pembuatan (Wagner, 1975).
m) Kondisi saat penyimpanan dan lama penyimpanan.
Stabilitas obat dalam bentuk sediaan tertentu dapat diuji dengan uji
stabilitas bentuk sediaan dengan peningkatan temperatur (Wagner, 1975).
d. Faktor fisiologis.
1) Waktu transit obat.
Semakin lama obat berada di usus halus, maka semakin banyak obat yang
diabsorpsi dengan asumsi bahwa obat stabil pada cairan intestinal (Proudfoot,
1990).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
2) Laju pengosongan lambung.
Kebanyakan obat diabsorpsi secara optimal pada usus halus. Penurunan laju
pengosongan lambung akan menurunkan laju absorpsi obat dan menunda
waktu onset obat. Laju pengosongan lambung juga penting untuk obat yang
mudah terdegradasi di lambung. Semakin lama obat berada di lambung, maka
semakin banyak obat yang terdegradasi sehingga bioavailabilitasnya akan
menurun. Adanya makanan akan menurunkan laju pengosongan lambung
sehingga absorpsi obat akan tertunda (Proudfoot, 1990).
3) Luas permukaan area efektif pada tempat absorpsi.
Usus halus memiliki luas permukaan area efektif terbesar karena adanya vili
dan mikrovili. Oleh karena itu, mayoritas obat akan diabsorpsi secara
maksimum pada usus halus, meskipun pH cairan intestinal bukan merupakan
kondisi optimum untuk absorpsi obat-obat asam lemah/basa lemah.
Sebaliknya, luas permukaan lambung dan usus besar relatif kecil karena tidak
memiliki vili dan mikrovili (Proudfoot, 1990).
4) Laju aliran darah.
Aliran darah pada saluran pencernaan merupakan faktor yang penting untuk
membawa obat ke sirkulasi sistemik kemudian ke tempat kerja. Di dalam
usus terdapat pembuluh-pembuluh darah mesentrika. Obat dilepaskan ke hati
melalui vena porta hepatika dan kemudian menuju ke sirkulasi sistemik. Jika
laju aliran darah mesentrika menurun, maka bioavailabilitas obat juga akan
menurun (Shargel et al., 2005).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
5) Nilai pH cairan pada saluran pencernaan.
Nilai pH cairan bervariasi di sepanjang saluran pencernaan. pH lambung 1-
3,5; pH usus halus 5-8 (pH duodenum 5-6, pH ileum 8); pH usus besar 8.
Derajat ionisasi obat dipengaruhi oleh nilai pH. Bentuk tak terion akan
diabsorpsi lebih cepat daripada bentuk terion. Perubahan nilai pH pada
saluran pencernaan (karena adanya makanan atau faktor lain) dapat
menyebabkan perubahan jumlah bentuk tak terion sehingga dapat
mempengaruhi absorpsinya (Proudfoot, 1990).
6) Aktivitas enzimatik.
Obat yang diberikan secara oral dan ditujukan untuk sirkulasi sistemik
biasanya mengalami first pass effect, di mana obat akan termetabolisme
sebelum mencapai sirkulasi sistemik. First pass effect menyebabkan
penurunan bioavailabilitas (Proudfoot, 1990).
7) Mukus dan glycocalyx.
Molekul obat harus melalui unstirred aqueous layer, lapisan mukus, dan
glycocalyx untuk mencapai mikrovili. Glycocalyx adalah bagian yang
menyatu dengan mikrovili, berfungsi sebagai penyalut bagi mikrovili dan
tersusun atas mukopolisakarida (Proudfoot, 1990).
8) Ada tidaknya makanan pada saluran pencernaan.
Makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat dengan beberapa mekanisme, di
antaranya mengubah laju pengosongan lambung, memacu sekresi asam dan
enzim pada saluran pencernaan, berkompetisi dengan obat dalam hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
absorpsi, membentuk kompleks dengan obat, meningkatkan viskositas pada
saluran pencernaan (Proudfoot, 1990).
9) Lain-lain : konsentrasi elektrolit, tegangan permukan dan tegangan
antarmuka, emulsifying agents dan complexing agents (misal : garam
empedu), posisi anatomi tubuh dan aktivitas relatif, suhu tubuh, integritas
membran gastrointestinal, tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas
buffer, tonisitas (Wagner, 1975).
3. Bioavailabilitas dan disolusi in vitro
Disolusi adalah proses di mana bahan obat padat larut dalam pelarut. Uji
disolusi dapat menentukan bioavailabilitas suatu obat jika terdapat korelasi yang baik
antara uji in vitro dan in vivo. Korelasi in vitro dan in vivo yang dimaksud adalah
hubungan antara karakteristik biologi obat (efek farmakodinamika atau konsentrasi
obat dalam plasma) dan karakteristik fisika kimia produk obat (Shargel et al., 2005).
Korelasi in vitro dan in vivo ini penting untuk diketahui agar dalam
menentukan bioavailabilitas suatu obat cukup dengan uji in vitro saja, tidak perlu
dengan uji in vivo. Selama ini, uji bioavailabilitas secara in vivo memerlukan waktu
yang lama, biaya yang relatif tinggi, serta terdapat beberapa masalah dalam
pemberian obat kepada subjek uji sehat/pasien (Chereson, 1999).
Parameter uji in vitro yang paling dekat hubungannya dengan
bioavailabilitas adalah laju disolusi. Obat yang masuk ke dalam tubuh dapat
diabsorpsi jika sudah dalam bentuk larutan sehingga kecepatan obat untuk larut dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
bentuk sediaannya (laju disolusi) akan menentukan kecepatan dan atau jumlah obat
yang terabsorpsi (Chereson, 1999).
4. Obat
Menurut S. P. Menkes R. I. No. 193/Keb/VII/71, obat adalah suatu bahan
atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah,
mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka,
atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan
atau bagian badan manusia (Lestari, Rahayu, Rya, Suhardjono, Maisunah, Soewarni,
dkk., 2002).
Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam
Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Nama generik adalah
nama obat berdasarkan International Nonproprietary Name (I.N.N.) yang ditetapkan
WHO. Nama generik berlaku di negara manapun dan boleh diproduksi oleh setiap
industri, sedangkan obat paten yaitu obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar
atau nama pembuat atau yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari
pabrik yang memproduksinya. Nama dagang adalah nama khas yang dilindungi
hukum yaitu merk terdaftar atau Proprietary Name (Lestari dkk., 2002).
B. Parasetamol
Parasetamol memiliki beberapa sinonim, di antaranya asetaminofen, p-
acetamidophenol, dan N-acetyl-p-aminophenol (Connors, Amidon, and Stella, 1986).
Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
C8H9NO2 dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol berupa serbuk hablur, putih,
tidak berbau, berasa sedikit pahit. Tablet parasetamol mengandung parasetamol
(C8H9NO2) tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang
tertera pada etiket (Anonim, 1995).
HO NHCOCH3
Parasetamol
BM = 151,16
Gambar 2. Struktur parasetamol (Anonim, 1995)
Kelarutan parasetamol adalah mudah larut dalam etanol (95%) P dan dalam
propilenglikol P; larut dalam air mendidih, dalam natrium hidroksida 1N, dan dalam
aseton P; agak sukar larut dalam air dan dalam gliserol P (Anonim, 1979; Anonim
1995). Parasetamol tidak larut dalam benzen dan eter (Connors et al., 1986).
Titik lebur parasetamol adalah 169°C-172°C. Dalam larutan jenuh, pH
parasetamol adalah sekitar 5,3-6,5. Parasetamol memiliki nilai pKa 9,51.
Parasetamol sangat stabil dalam larutan air dan stabil dalam larutan dengan nilai pH
5-7. Parasetamol dapat membentuk kompleks dengan polyethyleneglycol (PEG) 4000
dan polyvynylpyrrolidone (PVP). Kompleks ini akan meningkatkan kelarutan
parasetamol dalam air dan kecepatan disolusi parasetamol. Parasetamol akan
menghasilkan efek terbaik dalam campuran parasetamol dan PEG dengan
perbandingan parasetamol : PEG = 1 : 2 b/b (Connors et al., 1986; Hanson, 2000).
Parasetamol diabsorpsi secara cepat dan lengkap melalui saluran
pencernaan. Absorpsi parasetamol menurun jika asupan parasetamol diikuti dengan
makanan berkarbohidrat tinggi (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2003;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Anonim, 2005a). McGilveray dan Mattok (1972) menemukan bahwa adanya
makanan akan menurunkan absorpsi parasetamol. Pemberian makanan bersama 1
gram parasetamol ternyata menurunkan kecepatan absorpsi menjadi lima kali lebih
lambat daripada pemberian parasetamol pada manusia puasa. Makanan yang
mengandung karbohidrat dan pektin dapat menurunkan kecepatan absorpsi
parasetamol. Sebaliknya, keadaan puasa ternyata meningkatkan kecepatan absorpsi
parasetamol walaupun tidak mempengaruhi jumlah total yang diabsorpsi.
Waktu onset parasetamol kurang dari 1 jam dengan durasi 4-6 jam (Lacy et
al., 2003). Parasetamol memiliki tmax 0,5-2 jam. Parasetamol terdistribusi hampir ke
seluruh cairan tubuh (Anonim, 2004a). Di dalam plasma, sebanyak 20-50%
parasetamol akan terikat oleh protein plasma (Lacy et al., 2003). Volume distribusi
parasetamol menurut Melmon & Morelli (1992) adalah 0,94 l/kg. Besarnya
konsentrasi efektif minimum (KEM) parasetamol adalah 10-20 μg/ml, sedangkan
konsentrasi toksik minimum (KTM) adalah 300 μg/ml (Benet, 1992).
Sebanyak 90-95% parasetamol dimetabolisme oleh hati, dalam reaksi
konjugasi glutation, konjugasi glukuronida, dan konjugasi sulfat. Metabolit hasil
konjugasi tersebut merupakan metabolit yang tidak aktif secara farmakologis
(Gibson and Skett, 1991). Proses metabolisme parasetamol dapat dilihat pada
gambar 3.
Sebagian lainnya dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 menjadi
metabolit toksik yang berbahaya bagi sel hati (Anonim, 2004a). Glutation di dalam
tubuh dapat berikatan dengan metabolit ini dan membuatnya menjadi tidak toksik.
Namun jumlah glutation yang terdapat di dalam tubuh sangat terbatas sehingga jika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
dosis parasetamol terlalu tinggi tetap bersifat toksik (Bowman and Rand, 1990;
Stringer, 2001).
HO NH
COCH3
O NH
COCH3S
O
O
HO O NH
COCH3
O
OHHO
HO
HOOC
Parasetamol (aktif)
Konjugasisulfat
Konjugasiglukuronida
(tidak aktif) (tidak aktif)
Metabolisme dan konjugasi glutation
Sistein dan konjugasi asammerkapturat (tidak aktif)
urin urinurin
Gambar 3. Metabolisme parasetamol (Gibson and Skett, 1991)
Waktu paruh eliminasi parasetamol sekitar 1-4 jam (Anonim, 2005a). Jalur
eliminasi parasetamol melalui ginjal. Sebanyak 90-100% obat ditemukan dalam urin
sebagai metabolit tidak aktif, sedangkan 2% diekskresi dalam bentuk utuh (Anonim,
2004a). Nilai klirens parasetamol adalah 350 + 100 ml/menit (Benet, 1992).
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang
sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Fenasetin telah diganti oleh parasetamol
dalam banyak sediaan. Namun sampai sekarang tidak dijamin sempurna bahwa
pemberian parasetamol dalam waktu lama lebih kurang toksik terhadap ginjal
dibandingkan dengan fenasetin (Mutschler, 1999; Wilmana, 2003).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh
dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat
(Wilmana, 2003). Parasetamol memiliki efek analgesik antipiretik yang sama dengan
aspirin. Parasetamol merupakan obat pilihan bagi pasien yang memerlukan efek
analgesik sedang atau antipiretik dan bagi pasien yang kontraindikasi dengan aspirin,
yaitu pasien yang hipersensitif terhadap aspirin, pasien yang mempunyai riwayat
ulcer, pasien dengan penyakit gout, anak yang terinfeksi virus, dan pasien yang
sedang mengkonsumsi antikoagulan (Anonim, 2001a).
C. Farmakokinetika
1. Definisi
Proses yang berawal dari pemberian obat hingga efek yang ditimbulkan oleh
obat dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase farmasetika, farmakokinetika, dan
farmakodinamika. Tahap-tahap tersebut dapat dilihat pada gambar 4.
Fase farmasetika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan larutnya
bahan obat. Oleh karena itu, fase ini terutama ditentukan oleh sifat-sifat galenik obat
(Mutschler, 1999).
Fase farmakokinetika meliputi proses invasi (absorpsi, distribusi) dan proses
eliminasi (biotransformasi, ekskresi) (Mutschler, 1999). Farmakokinetika merupakan
ilmu yang menggambarkan rentang waktu perpindahan obat masuk ke dalam tubuh,
selama di dalam tubuh, dan keluar dari tubuh (Clark and Smith, 1993). Menurut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Shargel et al. (2005), farmakokinetika mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan
eliminasi obat.
obat dalam bentuk sediaan
Disintegrasi bentuk sediaan
Disolusi obat
absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi
interaksi obat-reseptor
pemberian
Obat tersedia untuk diabsorpsi (availabilitas farmasetika)
efek
Obat tersedia untuk aksi (availabilitas farmakologi)
Fase farmasetika
Fase farmakokinetika
Fase farmakodinamika
Gambar 4. Proses obat dalam tubuh untuk menimbulkan efek (Bowman and Rand, 1990)
Farmakokinetika dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi, fisiologi, dan
fisikakimia. Dalam banyak kasus, aksi farmakologi dan aksi toksikologi obat terkait
dengan konsentrasi obat di dalam plasma. Oleh karena itu, dengan mempelajari
farmakokinetika, farmasis akan mampu memberikan terapi yang tepat kepada pasien
(Makoid and Cobby, 2000).
Fase farmakodinamika merupakan interaksi obat-reseptor dan juga
merupakan proses-proses yang menjadi akhir dari efek farmakologi (Mutschler,
1999).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
2. Strategi penelitian farmakokinetika
Definisi dari strategi penelitian farmakokinetika (SPF) adalah rencana yang
disusun sebelum meneliti tahap farmakokinetika obat untuk memperoleh informasi
tentang nasib obat dalam tubuh secara kuantitatif. Objek penelitian farmakokinetika
adalah tahap farmakokinetika obat dengan parameter farmakokinetika sebagai tolok
ukurnya. Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara
matematik dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau
urin (Suryawati dan Donatus, 1998).
SPF meliputi tahap-tahap sebagai berikut.
a. Pemilihan rancangan uji coba.
b. Pemilihan subjek uji dan jumlahnya.
c. Pemilihan cuplikan hayati.
d. Pemilihan metode analisis penetapan kadar.
Metode analisis ini memiliki syarat-syarat sebagai berikut.
1) Selektivitas
Selektivitas adalah kemampuan metode analisis untuk membedakan suatu
obat dengan metabolitnya, obat lain dan kandungan endogen cuplikan
hayati.
2) Sensitivitas
Sensitivitas berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur dengan
metode analisis yang digunakan. Hal ini diperlukan karena dalam
menghitung parameter farmakokinetika suatu obat diperlukan sederetan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
data kadar obat dari waktu ke waktu atau dari kadar tertinggi sampai kadar
terendah dalam cuplikan hayati yang digunakan.
3) Ketelitian dan ketepatan
Ketelitian dan ketepatan ini akan menentukan kesahihan hasil penetapan
kadar. Ketepatan (akurasi) ditunjukkan oleh kemampuan metode
memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan nilai yang
sesungguhnya. Ketelitian (presisi) menunjukkan kedekatan hasil
pengukuran berulang pada cuplikan hayati yang sama.
e. Pemilihan takaran dosis dan bentuk sediaan obat.
Takaran dosis yang diberikan harus menjamin dapat diukurnya kadar obat atau
metabolitnya pada rentang waktu tertentu sehingga diperoleh data yang cukup
memadai untuk analisis farmakokinetika.
f. Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan hayati.
Apabila menggunakan cuplikan darah, sebaiknya pengambilan dilakukan
sebanyak 3-5 kali t½ eliminasi obat yang diuji. Hal ini disebabkan karena pada
kondisi tersebut, 99,2%-99,9% obat telah diekskresi. Frekuensi pengambilan
cuplikan obat sebaiknya dilakukan setidaknya 3 kali pada tahap absorpsi, 3 kali
di sekitar puncak, 3 kali pada tahap distribusi, dan 3 kali pada tahap eliminasi.
g. Analisis dan evaluasi hasil.
Langkah-langkah ini meliputi analisis sederetan kadar obat utuh atau
metabolitnya dalam darah atau urin, analisis statistika dan evaluasi.
(Suryawati dan Donatus, 1998)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
D. Nasib Obat di Dalam Tubuh
Obat yang masuk ke dalam tubuh umumnya mengalami absorpsi, distribusi,
dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian,
dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh (Setiawati,
Zunilda, dan Suyatna, 2003). Seluruh proses ini disebut sebagai proses
farmakokinetika seperti terlihat pada gambar 5.
tempat aksi “reseptor”
terikat bebas
jaringan bebas terikat
sirkulasi sistemik
obat bebas
obat terikat metabolit
biotransformasi
ekskresi absorpsi
Gambar 5. Proses farmakokinetika obat di dalam tubuh (Setiawati dkk., 2003)
1. Absorpsi
Kebanyakan obat harus dipindahkan ke tempat aksi oleh darah. Obat yang
diberikan secara ekstravaskular membutuhkan proses absorpsi (Shargel et al., 2005).
Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut
kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen
dari jumlah obat yang diberikan (Setiawati dkk., 2003).
Absorpsi menggambarkan laju obat meninggalkan tempat pemberian dan
jumlah obat yang tersedia. Oleh karena itu, menurut para ahli klinis parameter
bioavailabilitas lebih tepat daripada absorpsi. Bioavailabilitas adalah istilah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
digunakan untuk menggambarkan jumlah obat yang mencapai tempat aksi atau
cairan tubuh. Sebagai contoh, obat yang diberikan per oral harus diabsorpsi terlebih
dahulu dari lambung dan usus halus. Absorpsi ini dipengaruhi oleh sifat bentuk
sediaan dan sifat fisika kimia obat. Obat juga akan mengalami metabolisme di hati
sebelum akhrinya mencapai sirkulasi sistemik. Akibatnya, sejumlah obat yang
diberikan dan diabsorpsi akan menjadi tidak aktif atau berubah bentuk. Jika kapasitas
metabolisme di hati besar, maka bioavailabilitas akan berkurang (disebut sebagai
first-pass effect) (Wilkinson, 2001).
Mekanisme absorpsi dapat terjadi secara difusi pasif, difusi terfasilitasi,
transpor aktif atau pinositosis, fagositosis dan persorpsi. Absorpsi obat melalui
saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif. Absorpsi mudah terjadi bila
obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.
Mekanisme difusi pasif dijelaskan dengan Hukum Fick (Proudfoot, 1990) :
)C-(Ch
KA D dtdQ
BGI= (6)
Keterangan :
dtdQ
= laju difusi
D = koefisien difusi A = luas permukaan membran K = koefisien partisi h = tebal membran CGI - CB = perbedaan konsentrasi obat dalam saluran cerna dan dalam darah B
Konsentrasi obat di dalam darah jauh lebih kecil daripada konsentrasi obat dalam
saluran cerna (CGI >> CB). Kondisi ini disebut dengan kondisi “sink” yang
memastikan bahwa perbedaan konsentrasi tetap terjaga selama proses absorpsi
sehingga difusi pasif dapat terus berlangsung (Proudfoot, 1990).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
2. Distribusi
Organ target bagi obat biasanya bukan darah sehingga obat harus dapat
menembus jaringan untuk dapat memberi efek yang diharapkan (Clark and Smith,
1993). Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Selain tergantung aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh
sifat fisika kimianya (Setiawati dkk., 2003).
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya dalam
tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang
perfusinya sangat baik, misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya,
distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak
secepat organ di atas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak (Setiawati dkk.,
2003).
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan
terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut lemak akan sulit
menembus membran sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel.
Selain itu, distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma dan hanya
obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat
pada protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan
kadar proteinnya (Setiawati dkk., 2003).
3. Biotransformasi
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur
kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
molekul obat diubah menjadi lebih polar sehingga lebih mudah larut dalam air dan
kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu,
pada umumnya obat menjadi inaktif sehingga biotransformasi sangat berperan dalam
mengakhiri kerja obat (Setiawati dkk., 2003).
Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan menjadi reaksi fase I dan fase
II. Proses yang termasuk reaksi fase I adalah oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi
fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar. Reaksi fase II yang
disebut juga reaksi sintetik merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase
I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, atau asam amino.
Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih
mudah diekskresi (Setiawati dkk., 2003).
Sebagian besar biotransformasi obat dikatalis oleh enzim mikrosom hati,
demikian pula biotransformasi asam lemak, hormon steroid, dan bilirubin. Untuk itu
obat harus larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam retikulum
endoplasma dan berikatan dengan enzim mikrosom (Setiawati dkk., 2003).
4. Ekskresi
Ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi
bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi tergantung pada sifat fisika
kimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi
(Mutschler, 1999). Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi
dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada
ekskresi melalui paru (Setiawati dkk., 2003).
Organ ekskresi yang terpenting adalah ginjal. Ekskresi meliputi 3 proses
berikut : filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasif
di tubuli proksimal dan distal (Setiawati dkk., 2003). Selain melalui ginjal, ekskresi
obat juga dapat terjadi melalui empedu dan usus (feses), kulit (keringat), air liur, air
mata, air susu, paru-paru (udara ekspirasi) dan rambut (Mutschler, 1999; Setiawati
dkk., 2003). Ekskresi obat melalui kulit dan turunannya tidak begitu penting. Pada
ibu menyusui, eliminasi obat dan metabolitnya dalam air susu dapat menyebabkan
intoksikasi yang membahayakan bagi bayi (Mutschler, 1999).
E. Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika
1. Model kompartemen
Tubuh terdiri dari banyak kompartemen. Masing-masing sel tubuh dan
bagian-bagian dari sel merupakan kompartemen yang kecil. Dalam farmakokinetika,
yang disebut dengan kompartemen adalah organ-organ dan jaringan di mana
kecepatan absorpsi dan klirens obat adalah sama (Clark and Smith, 1993). Model
kompartemen adalah suatu hubungan matematika yang menggambarkan perubahan
konsentrasi terhadap waktu dalam sistem tubuh (Mutschler, 1999).
a. Model satu kompartemen. Pada model satu kompartemen, obat akan
segera terdistribusi ke dalam ruang distribusi secara merata setelah pemakaian. Jika
proses eliminasi mungkin terjadi, maka model satu kompartemen disebut terbuka
(Mutschler, 1999).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
b. Model dua kompartemen. Pada model dua atau lebih kompartemen,
distribusi obat ke dalam ruang distribusi terjadi dengan kecepatan yang berbeda-
beda. Dengan demikian dapat dibedakan menjadi kompartemen pusat, yang secara
kinetika bersifat seperti darah (organ transpor) dan kompartemen perifer. Bila
pertukaran zat antara suatu kompartemen perifer dan kompartemen pusat sangat
lambat, maka disebut kompartemen dalam (Mutschler, 1999).
2. Parameter farmakokinetika
Parameter farmakokinetika diperoleh dari perubahan konsentrasi obat dan
metabolitnya dalam cairan darah (darah, plasma, dan serum) dan dalam urin terhadap
waktu. Kedua cairan tersebut mudah dilewati dan konsentrasi dalam darah, yaitu alat
transpornya, mencerminkan proses kinetika dalam organisme (Mutschler, 1999).
Untuk memperoleh kurva konsentrasi terhadap waktu sebagai hasil dari
berbagai bagian proses farmakokinetika yang berbeda-beda perlu dilakukan
penentuan konsentrasi obat berulang-ulang (Mutschler, 1999). Dalam membuat
kurva konsentrasi terhadap waktu untuk suatu obat, suatu bentuk sediaan tertentu
akan diberikan kepada sekelompok pasien dan sampel darah pasien itu akan diambil
pada periode waktu yang telah ditentukan. Jumlah obat dalam sampel darah ini
kemudian akan dianalisis dan dibuat grafik konsentrasi darah terhadap waktu (Ansel
and Prince, 2006). Kurva konsentrasi darah terhadap waktu dapat digunakan untuk
menentukan atau membuat parameter-parameter berikut (Ansel and Prince, 2006;
Mutschler, Derendorf, Schäfer-Korting, Elrod, and Estes, 1995) :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
a. Area Under the Curve (AUC). Nilai AUC biasanya dihitung dari profil
kurva konsentrasi plasma terhadap waktu. Nilai AUC menggambarkan jumlah obat
di dalam tubuh dan dapat dihitung dengan aturan trapezoid.
Luas area trapezoid = (tn+1 – tn) . (Cn + Cn+1) / 2 (7) Keterangan : tn+1 = waktu saat n+1 (menit) tn = waktu saat n (menit) Cn = konsentrasi pada waktu tn (μg/ml) Cn+1 = konsentrasi pada waktu tn+1 (μg/ml)
Jumlah semua area trapezoid merupakan nilai AUC(0-t). Untuk menghitung total
AUC (AUC(0-∞)), maka dilakukan ekstrapolasi bagian akhir area setelah titik akhir
pengukuran (AUC(t-∞)). Prosedur ini sahih jika bagian ekstrapolasi area lebih kecil
dari 10% AUC(0-t) dan sebaiknya data tidak dipakai jika bagian ekstrapolasi lebih
besar dari 20% AUC(0-t).
b. Volume distribusi (Vd). Volume distribusi adalah volume hipotetis cairan
tubuh yang akan diperlukan untuk melarutkan jumlah total obat pada konsentrasi
yang sama seperti yang ditemukan dalam darah.
CpD Vd = (8)
Keterangan : Vd = volume distribusi (ml) D = dosis (mg) Cp = kadar obat dalam plasma (μg/ml)
Volume distribusi dapat dianggap sebagai volume plasma, cairan ekstraseluler, atau
cairan tubuh total. Jumlah total obat dalam tubuh dapat dihitung dari konsentrasi obat
dan volume distribusi. Nilai volume distribusi yang besar menunjukkan bahwa obat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
yang terdistribusi ke jaringan juga besar atau dapat juga obat terkonsentrasi pada
jaringan tertentu.
c. Klirens (Cl). Klirens merupakan volume darah atau plasma yang dapat
dibersihkan dari obat per satuan waktu. Klirens total diperoleh dari hasil kali tetapan
laju eliminasi (kel) dan volume distribusi (Vd)
Cl = Vd . kel (9)
atau dari hasil bagi dosis (D) dengan AUC.
AUC
D Cl = (10)
Keterangan : Cl = klirens (ml/menit) Vd = volume distribusi (ml) kel = tetapan laju eliminasi (menit-1) D = dosis (mg) AUC = Area Under the Curve (μg.menit/ml)
Jika obat hanya dieliminasi oleh satu organ, maka klirens total sama dengan klirens
organ tersebut. Namun biasanya nilai klirens total melibatkan beberapa jalur yang
terdiri dari beberapa organ klirens juga. Jalur terpenting adalah hepatik (ClH) dan
ginjal (ClR) sehingga rumus klirens total menjadi :
Cl = ClH + ClR + Clx (11) Keterangan : Cl = klirens total (ml/menit) ClH = klirens hepatik (ml/menit) ClR = klirens ginjal (ml/menit) ClX = klirens organ lain (ml/menit)
d. Waktu paruh eliminasi (t½ eliminasi). Nilai t½ eliminasi merupakan waktu
kadar obat dalam darah atau plasma menjadi setengah dari kadar awal.
elk
0,693 t2
1 = (12)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Keterangan : t½ = waktu paruh eliminasi (menit) kel = tetapan laju eliminasi (menit-1)
Waktu paruh eliminasi adalah parameter farmakokinetika dan tidak sama dengan
waktu paruh efek farmakologi. Waktu paruh eliminasi merupakan parameter
farmakokinetika yang penting. Dengan parameter ini, obat dapat dikelompokkan
menjadi short-acting, medium-acting, atau long-acting.
e. Tetapan laju eliminasi (kel). Tetapan laju eliminasi adalah laju
pengeluaran per satuan waktu. Tetapan laju eliminasi dapat dihitung sebagai :
2
1t2ln kel = (13)
Keterangan : kel = tetapan laju eliminasi (menit-1) t½ = waktu paruh eliminasi (menit)
f. Bioavailabilitas. Bioavailabilitas ditentukan secara tidak langsung dengan
pengukuran kadar obat dalam plasma atau urin sebab biasanya tidak mungkin untuk
mengukur langsung kadar obat pada tempat aksi. Faktor-faktor yang menentukan
bioavailabilitas adalah laju dan jumlah obat yang dilepaskan dari bentuk sediaan, laju
dan jumlah obat yang diabsorpsi dan besarnya first-pass effect.
Jumlah obat yang diabsorpsi dapat ditentukan dengan membandingkan AUC setelah
pemberian secara intravena (AUCi.v) dengan AUC setelah pemberian non-sistemik
(AUCx). Besarnya bioavailabilitas absolut (F) dapat dihitung sebagai :
100%x AUCAUC
Fi.v
x= (14)
Selain itu, dapat pula ditentukan bioavailabilitas relatif (Frel) yaitu dibandingkan
dengan AUC standar (selain intravena, misal solution).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
100%x AUCstandar
AUC F xrel = (15)
F. Darah
1. Plasma darah
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas 2 bagian, yaitu bahan
interseluler berupa cairan yang disebut plasma dan di dalamnya terdapat unsur-unsur
padat yaitu sel darah. Volume darah secara keseluruhan kira-kira seper-dua belas
berat badan. Sekitar 55% adalah cairan (plasma) dan sisanya (45%) adalah sel darah
(Pearce, 2002).
Saat darah membeku (mengalami koagulasi), fase cair yang tertinggal
dinamakan serum. Serum sudah tidak mengandung faktor-faktor pembekuan
(termasuk fibrinogen) yang normalnya terdapat di dalam plasma sebab sudah
terpakai dalam proses koagulasi. Jika darah diberi antikoagulan kemudian
disentrifugasi, fase cairnya dinamakan plasma. Di dalam plasma masih terdapat
faktor-faktor pembekuan. Selain itu, protein di dalam plasma tidak ikut mengendap
(Murray, Granner, Mayes, and Rodwell, 2000; Chamberlain, 1995). Konsentrasi
suatu obat dalam plasma, yang disebut dengan kadar dalam darah (lebih tepatnya :
kadar obat dalam plasma) merupakan ukuran pengenal yang penting sebab angka
kadar dalam darah dapat ditentukan secara tepat dengan metode analitik modern
(Mutschler, 1999).
Plasma darah manusia mengandung sekitar 90-92% air. Fungsi air selain
sebagai pelarut senyawa organik dan inorganik, juga sangat penting untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
pengaturan suhu dan pertukaran secara osmotik antarkompartemen tubuh (Frissel,
1992).
Pengikatan molekul kecil pada protein dapat dituliskan dengan persamaan
umum berikut :
[P] + [A] [PA]
[P] adalah kadar protein yang tidak dapat membentuk kompleks dengan molekul
kecil, [A] adalah kadar molekul kecil yang tidak terikat protein dan [PA] adalah
kadar kompleks protein-protein kecil (Montgomery, Conway, and Spector, 1993).
Metode yang sederhana dalam mempersiapkan plasma untuk analisis adalah
dengan mengendapkan protein dan mengisolasi filtratnya. Protein dapat didenaturasi
dengan cara diendapkan. Jika protein terdenaturasi, maka kemampuan protein untuk
berikatan dengan obat menjadi rusak sehingga obat yang terikat akan dibebaskan ke
filtratnya. Reagen-reagen asam yang sering digunakan untuk mengendapkan protein
adalah asam trikloroasetat, asam perklorat, dan asam tungstat. Namun asam kuat
dapat merusak obat yang diisolasi dari protein sehingga perlu dilakukan uji beberapa
pereaksi tersebut (Chamberlain, 1995).
2. Denaturasi protein plasma
Denaturasi diartikan sebagai perubahan atau modifikasi terhadap struktur
sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul-molekul protein tanpa terjadinya
pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Terdapat dua macam denaturasi protein, yaitu
pengembangan rantai polipeptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih
kecil tanpa disertai pengembangan molekul (Bruice, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Beberapa metode yang biasa digunakan untuk mendenaturasi protein adalah
(Bruice, 1998).
a. Mengubah pH.
Misalnya dengan penambahan asam kuat seperti asam trikloroasetat (TCA).
Mekanisme denaturasi protein akibat perubahan pH oleh asam trikloroasetat
adalah dengan mengubah muatan anion-kation pada berbagai ikatan protein
sehingga terjadi gangguan elektrostatik dan rusaknya ikatan hidrogen protein.
b. Reagen-reagen khusus seperti urea dan guanidin hidroklorida akan membentuk
ikatan hidrogen dengan protein yang bersifat lebih kuat daripada ikatan
antarprotein dalam molekul tersebut sehingga protein terdenaturasi.
c. Detergen-detergen seperti natrium dodesil sulfat dan pelarut-pelarut organik
berikatan dengan gugus non polar sehingga mengganggu ikatan hidrofobik
normal.
d. Panas dapat mendenaturasi protein dengan meningkatkan pergerakan molekul
protein yang mengganggu gaya tarik menarik antarmolekul protein.
G. Kolorimetri
1. Definisi
Kolorimetri merupakan teknik pengukuran serapan cahaya yang diabsorpsi
oleh zat berwarna, baik warna dari zat asal maupun warna yang terbentuk akibat
reaksi dengan zat lain (Khopkar, 1990). Pada kolorimetri, dibuat kadar larutan
dengan kadar yang semakin meningkat serta membandingkan warnanya dengan
senyawa yang hendak dianalisis. Menurut Roth and Blaschke (1981), kolorimetri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
juga mencakup pengubahan senyawa yang tidak berwarna menjadi berwarna dan
penentuan fotometrinya dilakukan pada panjang gelombang sinar tampak (400-800
nm).
Pemilihan prosedur kolorimetri didasarkan pada pertimbangan sebagai
berikut (Bassett, Denney, Jeffery, and Mendham, 1991) :
1. Metode kolorimetri memberikan hasil yang lebih akurat pada konsentrasi rendah
daripada titrimetri atau gravimetri.
2. Metode kolorimetri sering digunakan pada kondisi di mana metode titrimetri atau
gravimetri tidak dapat dilakukan.
3. Metode kolorimetri memiliki beberapa keuntungan untuk penentuan sejumlah
komponen dalam sampel yang sama.
2. Metode penetapan kadar parasetamol secara kolorimetri
Ada beberapa macam cara yang dapat digunakan pada metode kolorimetri
untuk penetapan parasetamol.
a. Teknik asam nitrat.
Parasetamol dilarutkan dengan metanol dan ditambah dengan larutan asam nitrat
sehingga menghasilkan warna kuning kemerahan (Connors, 1982).
OH
NHCOCH3
HNO3
OH
NHCOCH3
NO2
Gambar 6. Reaksi parasetamol dengan asam nitrat (Connors, 1982)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
b. Teknik hidrolisis menjadi p-aminofenol.
Pembentukan senyawa berwarna dari parasetamol umumnya diawali dengan
hidrolisis parasetamol menjadi p-aminofenol. Hasilnya lalu direaksikan dengan
o-nitroanilin terdiazotasi, vanilin, p-dimetilaminobenzaldehid atau 2-naftol yang
dalam suasana basa akan membentuk senyawa berwarna (Belal, Elsayed, El-
Waliely, and Abdine, 1979).
NHCOCH3
OH
H+ / H2O
OH
NH2
+ CH3COOH
parasetamol p-aminofenol asam asetat
Gambar 7. Reaksi hidrolisis parasetamol menjadi p-aminofenol (Belal et al., 1979)
Penetapan kadar parasetamol dalam plasma dengan metode ini tanpa disertai
dengan pemisahan parasetamol dari konjugatnya akan memberikan hasil yang
tidak sesuai dengan kadar yang sebenarnya (Belal et al., 1979).
c. Metode Chafetz et al. (1971).
Parasetamol yang telah dilarutkan aquadest ditambah dengan larutan asam
klorida 6N, natrium nitrit 10%, asam sulfamat 15% dan NaOH 10% akan
menghasilkan warna kuning. Cincin aromatis dari parasetamol akan dinitritasi
oleh asam nitrit menjadi 2-nitro-4-asetamidofenol. Dalam suasana basa, larutan
akan memiliki kromofor yang yang lebih panjang sehingga serapan dapat terbaca
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
pada panjang gelombang 430 nm (Chafetz, Daly, Schriftman, and Lomner,
1971).
NHCOCH3
OH
NaNO2
HCl
OH
NHCOCH3
NO2
OH-
O
NHCOCH3
NO2
Gambar 8. Reaksi pembentukan warna pada metode Chafetz et al. (1971)
Metode ini sangat spesifik untuk parasetamol meskipun dipengaruhi oleh salisilat
(Chamberlain, 1995). Asam salisilat akan memberikan reaksi yang mirip dengan
parasetamol, tetapi di dalam plasma, asam salisilat baru akan memberi intensitas
warna yang mirip dengan 20 μg/ml parasetamol jika kadar asam salisilat di dalam
plasma 1000 μg/ml (Widdop, 1986).
d. Penetapan kadar parasetamol dalam plasma.
Sebanyak 2,0 ml asam trikloroasetat ditambahkan ke dalam 1,0 ml plasma lalu
disentrifugasi dan diambil supernatannya. Kemudian supernatan dicampur
dengan 1,0 ml asam klorida 6N dan 2,0 ml natrium nitrit 10% dan didiamkan
selama 2 menit. Lalu ditambahkan 2,0 ml asam sulfamat secara hati-hati
dan 5,0 ml natrium hidroksida 10%. Serapan diukur pada panjang gelombang
430 nm dengan air tanpa reagen sebagai blangkonya. Reaksi ini spesifik untuk
parasetamol dan tidak dipengaruhi oleh konjugat sulfat dan konjugat glukuronida
parasetamol (Glynn and Kendal, 1975).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
H. Desain Cross Over
Studi bioavailabilitas biasanya dilakukan pada subjek yang sama (dengan
desain menyilang) untuk menghilangkan variasi biologik antarsubjek sehingga dapat
memperkecil jumlah subjek yang dibutuhkan. Pemberian produk obat yang pertama
harus dilakukan secara acak agar efek urutan (order effect) maupun efek waktu
(period effect) menjadi seimbang (Anonim, 2004b).
Perlakuan pertama dan kedua dipisahkan oleh periode washout yang cukup
untuk eliminasi produk obat yang pertama diberikan (biasanya lebih dari 5 kali
waktu paruh obat). Jika obat mempunyai kecepatan eliminasi yang sangat bervariasi
antarsubjek, maka diperlukan periode washout yang lebih lama untuk
memperhitungkan kecepatan eliminasi yang lebih rendah pada beberapa subjek. Oleh
karena itu, untuk obat dengan waktu paruh eliminasi lebih dari 24 jam, dapat
dipertimbangkan penggunaan desain 2 kelompok paralel (Anonim, 2004b).
I. Keterangan Empiris
Terdapat dua macam obat yang dikenal oleh masyarakat, yaitu obat generik
dan obat bermerk dagang. Selama ini, obat bermerk dagang dianggap lebih baik
daripada obat generik. Semua obat, baik obat generik maupun obat bermerk dagang
harus terjamin keamanan dan khasiatnya.
Penelitian ini membandingkan nilai parameter bioavailabilitas antara tablet
parasetamol bermerk dagang (Pyrexin® dan Progesic®) terhadap tablet parasetamol
generik secara statistik. Selain itu, penelitian ini juga menguji apakah tablet Pyrexin®
dan Progesic® bioekivalen dengan tablet parasetamol generik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian Perbandingan Bioavailabilitas Tablet Pyrexin® dan Tablet
Progesic® dengan Tablet Parasetamol (Generik) pada Kelinci Putih Jantan termasuk
ke dalam jenis penelitian eksperimental murni, rancangan eksperimental silang
dengan desain cross over.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
a. Variabel utama
1) Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tiga jenis tablet parasetamol.
Dalam hal ini adalah tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet
Progesic®.
2) Variabel tergantung
Variabel tergantung merupakan hasil pengamatan penelitian ini, yaitu
parameter-parameter bioavailabilitas :
a) AUC(0-inf) merupakan area di bawah kurva kadar obat dalam plasma
terhadap waktu dari waktu ke-0 sampai waktu tidak terhingga.
b) Cmax merupakan kadar puncak obat dalam plasma.
c) tmax merupakan waktu sejak pemberian obat sampai mencapai Cmax.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Selain itu, ditentukan pula parameter farmakokinetika lainnya, yaitu :
a) ka merupakan tetapan laju absorpsi.
b) Cl (klirens) merupakan volume darah yang dapat dibersihkan dari obat
per satuan waktu.
c) Vd (volume distribusi) merupakan volume penyebaran obat dalam tubuh.
d) AUC(0-t) merupakan area di bawah kurva kadar obat dalam plasma
terhadap waktu dari waktu ke-0 sampai waktu terakhir kadar obat diukur.
e) t½ merupakan waktu paruh obat dalam plasma.
f) kel merupakan tetapan laju eliminasi.
b. Variabel pengacau
1) Variabel pengacau yang dapat dikendalikan
a) galur spesies hewan uji : lokal
b) jenis kelamin hewan uji : jantan
c) umur hewan uji : 2-3 bulan
d) berat badan hewan uji : 1,7-2 kg
e) status puasa hewan uji : terhadap makanan dan minuman selama 18
jam sebelum diberi perlakuan
2) Variabel pengacau yang tidak dapat dikendalikan
a) keadaan patologis hewan uji
b) ukuran partikel parasetamol dalam larutan obat yang diberikan kepada
hewan uji
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
2. Definisi operasional
Definisi operasional pada penelitian ini yaitu :
a. Bioavailabilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu
produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik, dalam bentuk
utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut, yang diukur dari
kadarnya dalam darah terhadap waktu pada kelinci putih jantan.
b. Bioekivalensi adalah perbandingan bioavailabilitas dari dua produk obat,
yaitu tablet Pyrexin® terhadap tablet parasetamol generik dan tablet
Progesic® terhadap tablet parasetamol generik.
c. Dua produk disebut bioekivalen jika :
- 0,800 < generik
dagangmerk
AUCgeometrik rata-rataAUCgeometrik rata-rata
< 1,250
- 0,800 < generikmax
dagangmerk max
Cgeometrik rata-rata
Cgeometrik rata-rata < 1,250
- 0,800 < generikmax
max
tgeometrik rata-rata
tgeometrik rata-ratadagangmerk < 1,250
C. Bahan Penelitian
Asam trikloroasetat kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt, Germany), larutan
asam klorida pekat kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt, Germany), natrium
nitrit kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt, Germany), asam sulfamat kualitas
proanalisis (Sigma), natrium hidroksida kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt,
Germany), kalium dihidrogen fosfat kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Germany), parasetamol kualitas farmasetis (Changshu Huagang Pharmaceutical),
tablet parasetamol (generik Indofarma) (no. batch sama), tablet Pyrexin®
(Meprofarm-no. batch sama), dan tablet Progesic® (Metiska Farma-no. batch sama).
D. Alat Penelitian
Spektrofotometer (Genesys 6 v1.001), spektrofotometer UV/Vis (Lambda 20, Perkin
Elmer), sentrifuge (berdiameter 18 cm, Hettich EBA 85), degassing ultrasonic,
vortex (MSI Minishaker IKA), neraca elektrik (Mettler Toledo, model AB 204, made
in Switzerland), mikropipet, hardness tester (Kiya seisakustio, Ltd. Tokyo Japan No.
174886), atrition tester (ATMI Surakarta), disintegration tester (ATMI Surakarta),
disolution tester (Satox), dan alat-alat gelas (Pyrex).
E. Tata Cara Penelitian
1. Uji pendahuluan tablet
a. Uji keseragaman bobot
Dua puluh tablet ditimbang satu-persatu lalu dihitung bobot rata-ratanya.
Untuk tablet yang bobotnya lebih besar dari 300 mg, tidak boleh lebih dari 2 tablet
yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari 5% dan tidak
ada 1 tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari 10% (Anonim, 1979).
b. Uji kekerasan tablet
Tablet diletakkan pada alat hardness tester kemudian mesin dijalankan.
Kekerasan tablet terbaca pada layar alat (Kottke and Rudnic, 2002).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
c. Uji kerapuhan tablet
Dua puluh tablet dibebas-debukan dari partikel halus yang menempel
kemudian ditimbang. Tablet dimasukkan ke dalam atrition tester (alat penguji
kerapuhan tablet), diputar selama 4 menit dengan laju 25 rpm. Kemudian tablet
dibebas-debukan dan ditimbang kembali. Setelah itu dihitung persen (%) kehilangan
bobot tablet dari bobot keseluruhan tablet semula. Menurut The United States
Pharmacopeia 28 (2005), tablet memenuhi syarat uji kerapuhan jika angka
persentase kerapuhan tidak lebih dari 1%.
d. Uji waktu hancur
Masukkan 5 tablet ke dalam keranjang, kemudian keranjang disisipkan di
tengah-tengah tabung kaca yang berisi air pada suhu antara 36°C-38°C. Tabung
dinaik-turunkan 30 kali setiap menit. Tablet dinyatakan hancur jika tidak ada bagian
tablet yang tertinggal di atas jaring keranjang. Tablet dinyatakan memenuhi syarat uji
waktu hancur jika kelima tablet hancur dalam waktu kurang dari 15 menit (Anonim,
1979).
e. Uji disolusi
1) Pembuatan media disolusi (larutan dapar fosfat pH 5,8)
a) Larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2M
Sejumlah lebih kurang 27,218 g kalium dihidrogen fosfat dilarutkan dengan
aquadest sampai volume 1000,0 ml.
b) Larutan natrium hidroksida 0,2M
Sejumlah lebih kurang 0,8 g natrium hidroksida dilarutkan dengan aquadest
sampai volume 100,0 ml.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
c) Larutan dapar fosfat pH 5,8
Campur 50,0 ml larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2M dengan 3,66 ml
larutan natrium hidroksida 0,2M, kemudian encerkan menjadi 200,0 ml (Vogel,
1990).
2) Pembuatan larutan parasetamol dalam larutan dapar fosfat pH 5,8
a) Pembuatan larutan persediaan parasetamol
Lebih kurang 50 mg parasetamol yang ditimbang seksama dilarutkan
dengan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai volume 50,0 ml.
b) Pembuatan larutan intermediet I parasetamol
Sebanyak 1,0 ml larutan persediaan parasetamol dimasukkan ke dalam labu
ukur 50,0 ml kemudian diencerkan dengan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai tanda
sehingga diperoleh larutan parasetamol dengan kadar 20 μg/ml.
c) Pembuatan seri kadar larutan intermediet II parasetamol
Sebanyak 1,5; 2,0; 2,5; 3,0; 3,5; 4,0; dan 4,5 ml larutan intermediet I
parasetamol dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml kemudian diencerkan dengan
larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai tanda sehingga diperoleh larutan parasetamol
dengan kadar 3,0; 4,0; 5,0; 6,0; 7,0; 8,0; dan 9,0 μg/ml.
3) Penentuan panjang gelombang maksimum
Serapan larutan parasetamol dalam larutan dapar fosfat pH 5,8 dengan kadar
6,0 μg/ml dibaca dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 200 nm
sampai dengan 300 nm. Panjang gelombang maksimum merupakan panjang
gelombang di mana serapannya maksimum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
4) Pembuatan kurva baku
Tiap-tiap kadar larutan intermediet II parasetamol dibaca serapannya dengan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang 243,1 nm (hasil penentuan panjang
gelombang maksimum). Kemudian dibuat persamaan kurva baku dengan analisis
regresi linier antara kadar parasetamol dalam media disolusi dengan serapan.
5) Uji disolusi parasetamol
Masukkan 900 ml media disolusi pada alat disolusi tipe 2. Setelah itu tablet
dimasukkan dan alat dijalankan dengan kecepatan 50 rpm. Suhu dijaga tetap 37°C.
Ambil 5,0 ml cuplikan pada menit ke-10, 20, dan 30. Setelah mengambil 5,0 ml
cuplikan, tambahkan 5,0 ml larutan dapar fosfat pH 5,8 ke dalam tabung. Ukur
serapan dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 243,1 nm. Kadar
terukur dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku. Dalam waktu 30
menit, parasetamol harus larut tidak kurang dari 80% jumlah yang tertera pada etiket
(Anonim, 1995).
2. Pembuatan larutan
a. Larutan asam trikloroasetat 20%
Sejumlah lebih kurang 20 g asam trikloroasetat dilarutkan dengan aquadest
sampai volume 100,0 ml.
b. Larutan asam klorida 6N
Pipet lebih kurang 59,88 ml asam klorida 10,02N diencerkan dengan
aquadest sampai volume 100,0 ml.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
c. Larutan natrium nitrit 10%
Sejumlah lebih kurang 10 g natrium nitrit dilarutkan dengan aquadest
sampai volume 100,0 ml.
d. Larutan asam sulfamat 15%
Sejumlah lebih kurang 15 g asam sulfamat dilarutkan dengan aquadest
sampai volume 100,0 ml.
e. Larutan natrium hidroksida 10%
Sejumlah lebih kurang 10 g natrium hidroksida dilarutkan dengan aquadest
bebas CO2 sampai volume 100,0 ml.
3. Pembuatan larutan parasetamol
a. Pembuatan larutan persediaan parasetamol
Lebih kurang 100 mg parasetamol yang ditimbang seksama dilarutkan
dengan aquadest sampai volume 100,0 ml.
b. Pembuatan seri kadar larutan intermediet parasetamol
Sebanyak 1,0; 2,0; 3,0; 4,0; 5,0; 6,0; 7,0; dan 8,0 ml larutan persediaan
parasetamol dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml kemudian diencerkan dengan
aquadest sampai tanda sehingga diperoleh larutan parasetamol dengan kadar 100,
200, 300, 400, 500, 600, 700, dan 800 μg/ml.
4. Cara perolehan plasma darah
Darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga dan ditampung
pada tabung effendorf yang telah diberi 2 tetes heparin. Darah tersebut lalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm untuk memperoleh plasma darah,
yaitu bagian yang bening.
5. Optimasi metode
a. Penentuan operating time
Larutan intermediet parasetamol dengan kadar 200 μg/ml dan 800 μg/ml
diambil 0,5 ml lalu ditambahkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml
plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam
trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju
3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan
didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam
sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH
10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan
kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang
430 nm (panjang gelombang teoritis) sampai diperoleh serapan yang stabil pada
rentang waktu tertentu.
b. Penentuan panjang gelombang maksimum parasetamol
Larutan intermediet parasetamol dengan kadar 200 μg/ml dan 800 μg/ml
diambil 0,5 ml lalu ditambahkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml
plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam
trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju
3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan
didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam
sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH
10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan
kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada waktu operating time
yang telah diperoleh pada panjang gelombang 380 nm sampai 580 nm.
c. Pembuatan kurva baku
Dari tiap-tiap kadar larutan intermediet parasetamol diambil 0,5 ml lalu
masing-masing ditambahkan ke dalam 8 tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml plasma.
Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%,
kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua
supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara
berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan
selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat
(H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan
aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian
dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada waktu operating time yang telah
diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang
maksimum). Kemudian dibuat persamaan kurva baku dengan analisis regresi linier
antara kadar dengan serapan.
d. Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak
Larutan intermediet parasetamol dengan kadar 200 μg/ml dan 800 μg/ml
diambil 0,5 ml lalu ditambahkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam
trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju
3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan
didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam
sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH
10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu didegassing selama 10 menit. Serapan
kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada operating time yang
telah diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang
gelombang maksimum). Kadar terukur dihitung dengan menggunakan persamaan
kurva baku.
6. Orientasi dosis dan waktu pengambilan sampel darah
a. Pengambilan sampel darah
Darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga sebagai
blangko (menit ke-0). Kemudian kelinci diberi larutan parasetamol dengan dosis
awal sebesar 10% LD50 parasetamol yaitu 625 mg/kgBB secara per oral dengan
bantuan mouth block. Dosis berikutnya adalah dosis awal yang dikalikan dengan
faktor tertentu. Kemudian darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu
telinga pada menit-menit yang telah ditentukan dan ditampung pada tabung effendorf
yang telah diberi 2 tetes heparin. Darah tersebut lalu disentrifugasi selama 10 menit
pada laju 3000 rpm untuk mendapatkan plasma darah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
b. Penetapan kadar parasetamol
Dari tiap-tiap plasma diambil 0,5 ml lalu masing-masing dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuge. Lalu ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%,
kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua
supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara
berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan
selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat
(H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan
aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian
dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada operating time yang telah
diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang
maksimum).
7. Perlakuan hewan uji
a. Pengelompokan hewan uji
Penelitian ini menggunakan desain cross over sehingga hanya digunakan 1
kelompok hewan uji. Sebelum perlakuan pemberian parasetamol, hewan uji
dipuasakan selama 18 jam dari makanan dan minuman.
Tabel I. Konsep Desain Cross Over Periode ke- Kelinci A Kelinci B Kelinci C
1 Generik Progesic® Pyrexin®
2 Pyrexin® Generik Progesic®
3 Progesic® Pyrexin® Generik
Setiap selang perlakuan, hewan uji diistirahatkan selama 1 minggu sebelum
mendapatkan perlakuan berikutnya (periode wash out).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
b. Pengambilan sampel darah
Darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga sebagai
blangko (menit ke-0). Kemudian kelinci diberi larutan parasetamol dengan dosis
1200 mg/kgBB (hasil orientasi dosis) secara per oral dengan bantuan mouth block.
Kemudian darah kelinci diambil dari vena marginalis telinga pada menit ke-5, 10,
15, 20, 25, 35, 45, 60, 90, 120, 150, 180, 210 dan ditampung pada tabung effendorf
yang telah diberi 2 tetes heparin. Darah tersebut lalu disentrifugasi selama 10 menit
pada laju 3000 rpm untuk mendapatkan plasma darah.
c. Penetapan kadar parasetamol
Dari tiap-tiap plasma diambil 0,5 ml lalu masing-masing dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuge. Lalu ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%,
kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua
supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara
berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan
selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat
(H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan
aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian
dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada operating time yang telah
diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang
maksimum).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
F. Analisis Hasil
1. Kesahihan metode
a. Nilai perolehan kembali
Nilai perolehan kembali dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
P% 100%x diketahuikadar
kurkadar teru kembaliperolehan nilai ==
Jika nilai perolehan kembali berada pada rentang 80-120%, maka metode ini
memiliki akurasi yang baik (Mulja dan Suharman, 1995).
b. Kesalahan sistematik
Kesalahan sistematik dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
kesalahan sistematik = 100% - P%
Jika nilai kesalahan sistematik kurang dari 10%, maka metode ini sahih (Mulja dan
Suharman, 1995).
c. Kesalahan acak
Kesalahan acak dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
100%x X
SD acak kesalahan =
K eterangan : SD = simpangan baku xxxxxxx
X = kadar rata-rata
Jika kesalahan acak kurang dari 10%, maka metode ini dikatakan sahih (Mulja dan
Suharman, 1995).
2. Perhitungan parameter bioavailabilitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Nilai serapan yang terbaca pada spektrofotometer diolah menjadi kadar
parasetamol dalam plasma dengan menggunakan persamaan kurva baku. Kadar-
kadar tersebut lalu diolah menjadi parameter-parameter bioavailabilitas
menggunakan program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah
dimodifikasi oleh Jung). Selain itu, juga diperoleh parameter-parameter
farmakokinetika lainnya.
Tabel II. Parameter-Parameter Farmakokinetika Parameter Persamaan Satuan AUC(0-t) Diolah dengan program STRIPE μg.menit/ml AUC(0-∞) Diolah dengan program STRIPE μg.menit/ml
Cmax Diolah dengan program STRIPE μg/ml tmax Diolah dengan program STRIPE menit t½ Diolah dengan program STRIPE menit ka Diolah dengan program STRIPE menit -1
Cl Diolah dengan program STRIPE ml/menit Vd Diolah dengan program STRIPE liter kel Diolah dengan program STRIPE menit-1
3. Cara penafsiran dan penyimpulan hasil penelitian
Parameter-parameter bioavailabilitas dibandingkan secara analisis statistik
(metode ANOVA) dengan taraf kepercayaan 90% menggunakan program SPSS 14.0
untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nilai parameter bioavailabilitas.
Selain itu, tablet parasetamol bermerk dagang dikatakan bioekivalen dengan
tablet parasetamol generik jika (Anonim, 2004b; Chereson, 2000) :
a. 0,800 < generik
dagangmerk
AUCgeometrik rata-rataAUCgeometrik rata-rata
< 1,250
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
b. 0,800 < generikmax
dagangmerk max
Cgeometrik rata-rata
Cgeometrik rata-rata < 1,250
c. 0,800 < generikmax
dagangmerk max
tgeometrik rata-rata
tgeometrik rata-rata <1,250
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji Pendahuluan Tablet
1. Uji keseragaman bobot
Uji keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah tablet yang
diuji tersebut memiliki keseragaman kandungan atau tidak. Tablet yang diuji
memiliki zat aktif parasetamol sebagai bagian terbesar dari tablet sehingga uji
keseragaman bobot dianggap cukup mewakili keseragaman kandungan tablet.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979), tablet dengan bobot lebih
besar dari 300 mg dikatakan memenuhi syarat keseragaman bobot jika tidak lebih
dari 2 tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari 5%
dan tidak ada 1 tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari 10%. Hasil
penimbangan tablet dapat dilihat pada lampiran 1.
Tabel III. Hasil Uji Keseragaman Bobot Tablet Penyimpangan 5% Penyimpangan 10%
Tablet SD X ± (mg)
Batas Bawah (mg)
Batas Atas (mg)
Batas Bawah (mg)
Batas Atas (mg)
Keterangan
Generik 602,515 + 4,875 572,389 632,641 542,263 662,767
Tidak terjadi penyimpangan bobot
memenuhi syarat FI III
Pyrexin® 655,570 + 8,130 622,791 688,349 590,013 721,127
Tidak terjadi penyimpangan bobot
memenuhi syarat FI III
Progesic® 614,165 + 5,670 583,461 644,879 552,753 675,587
Tidak terjadi penyimpangan bobot
memenuhi syarat FI III
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Hasil uji keseragaman bobot terlihat pada tabel III. Tablet parasetamol
generik memiliki bobot rata-rata 602,515 + 4,875 mg, tablet Pyrexin® memiliki bobot
rata-rata 655,570 + 8,130 mg, dan tablet Progesic® memiliki bobot rata-rata
614,165 + 5,670 mg. Dari keduapuluh tablet yang ditimbang dalam masing-masing
jenis tablet, tidak ada satu pun tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-
ratanya lebih besar dari 5% dan lebih besar dari 10%. Dengan demikian ketiga tablet
parasetamol tersebut memenuhi keseragaman bobot menurut Farmakope Indonesia
Edisi III (1979) dan dapat dianggap memiliki keseragaman kandungan zat aktif.
2. Uji kekerasan
Uji kekerasan tablet dilakukan untuk mengetahui stabilitas fisik tablet
terhadap pengaruh luar, misalnya benturan mekanik. Kekerasan tablet dapat
mempengaruhi waktu hancur dan disolusi tablet. Alat yang digunakan untuk menguji
kekerasan tablet adalah hardness tester (Kiya seisakustio, Ltd. Tokyo Japan No.
174886) di mana hasil uji kekerasan akan tampak pada layar alat.
Hasil uji kekerasan tablet dapat dilihat pada tabel IV. Tablet Pyrexin®
memiliki nilai kekerasan terbesar (17,315 + 1,202 KP) yang diikuti dengan tablet
parasetamol generik (16,275 + 1,197 KP), sedangkan tablet Progesic® memiliki nilai
kekerasan terkecil (9,100 + 1,073 KP). Syarat uji kekerasan tablet tidak tercantum
dalam Farmakope Indonesia maupun The United States Pharmacopeia. Menurut
Ansel (1969), tablet dikatakan memenuhi syarat uji kekerasan jika tablet hancur pada
tekanan minimum 4 kg, namun hal itu tidak dapat dijadikan acuan karena tidak
tercantum dalam buku standar resmi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Tabel IV. Hasil Uji Kekerasan Tablet Tekanan (KP) Tablet Generik Pyrexin® Progesic®
1 14,6 17,9 10,5 2 15,5 17,1 7,3 3 14,7 18,4 8,5 4 17,2 16,9 9,1 5 15,0 16,0 8,9 6 17,8 15,7 9,9 7 15,3 18,1 11,1 8 15,6 16,6 8,3 9 16,9 16,8 7,8
10 17,1 17,2 7,8 11 18,2 17,6 7,9 12 15,1 17,8 8,9 13 17,0 18,1 8,9 14 15,9 18,1 10,4 15 18,1 18,4 9,8 16 17,7 17,2 8,9 17 17,0 15,3 10,4 18 14,8 14,8 8,0 19 15,8 18,9 9,8 20 16,2 19,4 9,8
SD X ± 16,275 + 1,197 17,315 + 1,202 9,100 + 1,073
3. Uji kerapuhan
Tujuan dari uji kerapuhan tablet adalah untuk melihat seberapa besar angka
kerapuhan tablet yang menggambarkan stabilitas fisik tablet terhadap pengaruh
gesekan pada saat pembuatan, pengepakan, distribusi, penyimpanan hingga saat
tablet akan digunakan oleh pasien. Alat yang digunakan dalam uji kerapuhan tablet
adalah atrition tester (ATMI Surakarta).
Tabel V. Hasil Uji Kerapuhan Tablet
Tablet Bobot Awal (g)
Bobot Akhir (g)
Kerapuhan (%) Keterangan
Generik 11,99 11,97 0,167 Memenuhi syarat Pyrexin® 13,24 13,23 0,076 Memenuhi syarat Progesic® 12,29 12,25 0,325 Memenuhi syarat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Dari tabel V tersebut dapat dilihat bahwa tablet generik memiliki angka
kerapuhan 0,167%, tablet Pyrexin® memiliki angka kerapuhan 0,076%, dan tablet
Progesic® memiliki angka kerapuhan 0,325%. Menurut The United States
Pharmacopeia 28 (2005), tablet memenuhi syarat uji kerapuhan jika angka
persentase kerapuhan tidak lebih dari 1%. Dengan demikian, tablet parasetamol
(generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® dinyatakan memenuhi syarat uji
kerapuhan tablet.
4. Uji waktu hancur
Uji waktu hancur tablet dilakukan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan
tablet untuk hancur menjadi partikel-partikel kecil setelah masuk ke dalam tubuh. Uji
waktu hancur penting dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi absorpsi obat. Alat yang digunakan dalam uji ini adalah
disintegration tester (ATMI Surakarta). Menurut Farmakope Indonesia Edisi III
(1979), tablet tidak bersalut dinyatakan memenuhi syarat waktu hancur jika tablet
hancur dalam waktu tidak lebih dari 15 menit.
Tabel VI. Hasil Uji Waktu Hancur Tablet Tablet Waktu Hancur Generik 6 menit 1 detik Pyrexin® 7 menit 26 detik Progesic® 2 menit 23 detik
Dari tabel VI dapat disimpulkan bahwa semua tablet memenuhi syarat uji
waktu hancur tablet. Tablet Progesic® memiliki waktu hancur paling cepat
dibandingkan dengan tablet generik dan tablet Pyrexin®. Hal ini mungkin berkaitan
dengan bahan penghancur yang digunakan dalam masing-masing tablet. Bahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
penghancur yang digunakan dalam tablet Progesic® mungkin lebih besar jumlahnya
sehingga tablet Progesic® dapat hancur dengan cepat. Selain itu, hal ini mungkin juga
dipengaruhi oleh kekerasan tablet. Tablet Progesic® yang memiliki nilai kekerasan
terkecil ternyata waktu hancurnya paling singkat. Demikian pula dengan tablet
Pyrexin® yang memiliki nilai kekerasan terbesar ternyata waktu hancurnya paling
lama.
5. Uji disolusi
Uji disolusi dilakukan untuk mengetahui jumlah zat aktif yang terlepas dari
bentuk sediaan dan tersedia untuk diabsorpsi. Uji disolusi juga penting dilakukan
sebab disolusi menentukan proses absorpsi sehingga dapat mempengaruhi
bioavailabilitas obat. Media disolusi yang digunakan adalah larutan dapar fosfat pH
5,8. Tablet dikatakan memenuhi syarat uji disolusi jika jumlah zat aktif yang terlarut
dalam waktu 30 menit tidak kurang dari 80% jumlah yang tertera pada etiket.
a) Penentuan panjang gelombang maksimum
Penentuan panjang gelombang maksimum merupakan tahap pertama dalam
uji disolusi. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, pengukuran zat aktif terlarut
dilakukan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 243,0 nm.
Hasil penentuan panjang gelombang maksimum pada larutan parasetamol dalam
dapar fosfat pH 5,8 dengan kadar 6 μg/ml adalah 243,1 nm. Oleh karena itu, pada uji
disolusi tablet ini digunakan panjang gelombang maksimum 243,1 nm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
b) Pembuatan kurva baku
Pembuatan kurva baku dilakukan untuk memperoleh persamaan kurva baku
yang dapat berguna dalam perhitungan kadar parasetamol dalam media disolusi.
Persamaan kurva baku ini diperoleh melalui pengukuran serapan seri kadar larutan
baku parasetamol dalam dapar fosfat pH 5,8 pada panjang gelombang 243,1 nm
(hasil penentuan panjang gelombang maksimum), kemudian dibuat persamaan garis
regresi antara kadar parasetamol dalam larutan dapar fosfat pH 5,8 sebagai variabel
bebas dan serapan sebagai variabel tergantung.
Hasil pengukuran serapan larutan parasetamol dan persamaan garis regresi
dapat dilihat pada tabel VII sedangkan kurva baku disajikan pada gambar 9.
Tabel VII. Data Persamaan Kurva Baku Disolusi Seri Baku Kadar (μg/ml) Serapan
1 3,02 0,288 2 4,03 0,342 3 5,04 0,429 4 6,05 0,500 5 7,06 0,597 6 8,07 0,716 7 9,08 0,768
Slope (B) 0,08331 Intercept (A) 0,01598 Corr.coeff (r) 0,99550
Persamaan garis regresi Y = 0,08331 X + 0,01598
Persamaan kurva baku yang diperoleh, yaitu Y = 0,08331 X + 0,01598
selanjutnya digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol yang terlarut dalam
media disolusi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
KURVA BAKU DISOLUSI
00.10.20.30.40.50.60.70.80.9
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kadar Larutan Parasetamol (μg/ml)
Sera
pan
Y=0,08331 X + 0,01598 r = 0,99550
Gambar 9. Kurva hubungan antara kadar parasetamol
dengan serapan pada uji disolusi
c) Hasil uji disolusi
Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa ketiga tablet memenuhi syarat uji
disolusi yaitu bahwa dalam waktu 30 menit, jumlah parasetamol yang terlarut dalam
media disolusi tidak kurang dari 80% jumlah yang tertera pada etiket (80% x 500 mg
= 400 mg). Hal ini dapat dilihat pada tabel VIII dan gambar 10. Tablet yang
terdisolusi paling cepat adalah tablet Pyrexin® kemudian tablet Progesic® dan tablet
generik.
Tabel VIII. Data Disolusi Tablet Qkum ( SD X ± ) (mg) Waktu
Generik Pyrexin® Progesic®
10 378,720 + 13,436 448,680 + 5,856 406,680 + 34,085 20 396,486 + 9,880 457,473 + 5,140 434,140 + 17,424 30 414,277 + 3,674 459,700 + 3,190 448,239 + 3,567
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
PROFIL DISOLUSI
300
350
400
450
500
0 10 20 30 4
Waktu (menit)
Qku
m (m
g)
0
Generik Pyrexin Progesic
Gambar 10. Profil disolusi
Profil disolusi ketiga tablet dapat dibandingkan dengan menggunakan faktor
kemiripan f2 yang dapat dihitung dengan persamaan berikut (Anonim, 2004b) :
f2 = 50 log ( )
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
+∑=
=n
T - Rnt
1ttt
1
100
2
(16)
Keterangan : Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling
dari produk pembanding Tt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling
dari produk uji
Jika nilai f2 lebih besar atau sama dengan 50, maka hal ini menunjukkan bahwa
terdapat kesamaan atau ekivalensi kedua kurva, yang berarti kedua produk obat
memiliki kemiripan profil disolusi.
Tabel IX. Kemiripan Profil Disolusi Tablet Nilai f2
terhadap Tablet Generik Keterangan
Pyrexin® 46,14 Tidak memiliki kemiripan profil disolusi dengan tablet generik
Progesic® 58,56 Memiliki kemiripan profil disolusi dengan tablet generik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Tablet Pyrexin® memiliki nilai f2 46,14 sedangkan tablet Progesic® memiliki
nilai f2 58,56. Hal ini berarti tablet Progesic® memiliki kemiripan profil disolusi
dengan tablet generik sedangkan tablet Pyrexin® tidak memiliki kemiripan profil
disolusi dengan tablet generik. Hal tersebut juga dapat dilihat pada kurva profil
disolusi, di mana kurva profil disolusi tablet generik lebih dekat dengan tablet
Progesic® daripada tablet Pyrexin®.
B. Cara Perolehan Plasma Darah
Dalam penelitian ini digunakan darah kelinci sebab kelinci memiliki volume
darah yang lebih banyak dan darahnya lebih mudah diambil dibandingkan dengan
tikus dan mencit. Darah kelinci diambil melalui bagian vena marginalis salah satu
telinganya. Pengambilan darah dilakukan melalui vena sebab darah yang keluar dari
vena berupa tetesan sehingga mudah ditampung.
Penelitian ini menggunakan plasma sebab parasetamol bersifat asam lemah
dan dapat berikatan dengan protein plasma secara reversibel. Sebagian besar
parasetamol dalam darah akan terikat pada protein plasma, bukan pada darah utuh.
Dalam peneliian ini juga tidak menggunakan serum sebab pada serum, sebagian
besar protein sudah mengendap. Plasma darah yang dibutuhkan dalam penelitian
adalah bentuk cairnya. Plasma darah bila dibiarkan akan membeku sehingga
diperlukan suatu antikoagulan yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pembekuan
darah. Antikoagulan yang digunakan dalam penelitian ini adalah heparin.
Plasma diperoleh dengan cara melakukan sentrifugasi pada darah yang telah
ditampung dan telah diberi heparin. Proses sentrifugasi berfungsi untuk memisahkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
komponen-komponen sel darah dengan plasma sehingga dapat diperoleh plasma
dengan mudah, yaitu bagian yang berwarna bening.
C. Optimasi Metode
Metode Chafetz et al. (1971) pada awalnya digunakan untuk penetapan
kadar parasetamol dalam bentuk sediaan. Setelah itu, metode tersebut dimodifikasi
oleh Glynn & Kendal (1975) untuk menetapkan kadar parasetamol dalam plasma.
Dalam penelitian ini, dilakukan optimasi dan modifikasi metode sehingga diperoleh
metode yang sesuai dengan kondisi percobaan. Selain itu, metode yang digunakan
menjadi sama untuk setiap langkah dalam penetapan kadar parasetamol dalam
plasma yang dilakukan dalam penelitian ini.
Untuk mendapatkan larutan parasetamol bebas perlu dilakukan denaturasi
protein plasma dengan penambahan asam trikloroasetat (TCA) 20%. Penambahan
TCA akan merusak struktur tersier dan kuartener protein plasma sehingga protein
plasma tidak dapat berikatan lagi dengan parasetamol. Pada saat dilakukan
sentrifugasi selama 10 menit dengan laju 3000 rpm terhadap larutan plasma yang
telah diberi larutan TCA, protein plasma akan terendapkan dan semua parasetamol
akan terlepas ke dalam fase air. Fase air yang diperoleh diperlakukan dengan metode
Chafetz et al. (1971) untuk memperoleh larutan berwarna.
Prosedur ini diawali dengan penambahan larutan asam klorida (HCl) 6N dan
larutan natrium nitrit (NaNO2) 10%. Campuran antara HCl dan NaNO2 akan
menghasilkan asam nitrit (HNO2) yang dengan kelebihan asam akan menyebabkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
asam nitrit menjadi ion nitrosonium. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada
gambar 11.
HCl
HNO2 H+
NaNO2
NO+
HNO2
H2O
NaCl+ +>>>
+ +ion nitrosonium
Gambar 11. Reaksi antara asam klorida dengan natrium nitrit membentuk ion nitrosonium
Ion nitrosonium tersebut akan menyebabkan substitusi aromatik elektrofilik
pada posisi ortho dari gugus hidroksil parasetamol. Reaksi tersebut dapat terjadi
karena gugus hidroksil parasetamol lebih kuat sebagai pengarah ortho yang memiliki
lebih banyak elektron bebas daripada gugus asetamida.
OH
HN C
O
CH3
NO+
OH
HN C
O
CH3
N
O
OH++ +
parasetamol ionnitrosonium
2-nitro-4-asetamidofenolberwarna kuning muda
= kromofor= auksokrom
[O]
Gambar 12. Reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium membentuk 2-nitro-4-asetamidofenol beserta gugus kromofor dan auksokromnya
Reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium akan membentuk senyawa
2-nitroso-4-asetamidofenol yang kemudian teroksidasi oleh udara membentuk
senyawa 2-nitro-4-asetamidofenol yang berwarna kuning muda. Perubahan sruktur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
parasetamol menjadi 2-nitro-4-asetamidofenol tersebut menyebabkan energi yang
dibutuhkan untuk melakukan transisi elektron ke tingkat eksitasi menjadi lebih kecil.
Oleh karena itu, panjang gelombang menjadi lebih panjang dan intensitas warna
meningkat. Mekanisme reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium dapat
dilihat pada gambar 13.
H
OH
HN CO
CH3
OH
HN CO
CH3
N
O
NO
H
[O]
OH
HN CO
CH3
N
OOH
HN CO
CH3
N
O
O
+
Gambar 13. Mekanisme reaksi antara parasetamol
dengan ion nitrosonium
Kelebihan asam nitrit perlu dihilangkan sebab asam nitrit yang berlebih
dapat mengganggu kestabilan serapan senyawa 2-nitro-4-asetamidofenol. Hal ini
dilakukan dengan penambahan asam sulfamat (H2NSO3H) 15% yang harus
ditambahkan secara hati-hati (melalui dinding tabung) dan pelan-pelan karena
reaksinya bersifat eksotermis (melepas panas).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Selain itu, penambahan asam sulfamat yang terlalu cepat dapat menyebabkan larutan
tumpah akibat dorongan gas nitrogen yang dihasilkan. Reaksinya dapat dilihat pada
gambar 14.
HNO2 HSO3NH2 N2 H2SO4 H2O+ + +
asam nitrit asam sulfamatGambar 14. Reaksi antara asam nitrit dengan asam sulfamat
Tahap selanjutnya dari metode Chafetz et al. (1971) adalah pembentukan
suasana basa dengan penambahan natrium hidroksida (NaOH) 10%. Suasana basa ini
diperlukan untuk menetralkan sisa asam yang ada dari pereaksi sebelumnya dan
untuk membentuk ion fenolat. Reaksi dapat dilihat pada gambar 15.
OH
HN C
O
CH3
N
O
O
+
2-nitro-4-asetamidofenolberwarna kuning muda
= kromofor= auksokrom
OH- + H+ H2O
OH-
O
HN C
O
CH3
N
O
O
ion 2-nitro-4-asetamidofenolatberwarna orange
H2O+
O
HN C
O
CH3
N
O
O
Gambar 15. Reaksi penetralan asam dan pembentukan ion fenolat dalam suasana basa
Ion 2-nitro-4-asetamidofenolat yang terbentuk akan mengakibatkan
penambahan panjang gugus kromofor. Oleh karena itu, serapan maksimum ion 2-
nitro-4-asetamidofenolat berada pada panjang gelombang yang lebih panjang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
daripada senyawa 2-nitro-4-asetamidofenol sehingga intensitas warna juga
meningkat dari kuning muda menjadi orange.
Mekanisme reaksi antara 2-nitro-4-asetamidofenol dengan natrium
hidroksida dapat dilihat pada gambar 16.
OH
O
HN CO
CH3
N
O
O
O
HN CO
CH3
N
O
O
O
HN CO
CH3
N
O
O
H
+ + H2O
Gambar 16. Mekanisme reaksi antara 2-nitro-4-asetamidofenol dengan natrium hidroksida
Untuk menghilangkan gelembung yang terdapat dalam larutan berwarna
orange tersebut maka dilakukan degassing. Gelembung harus dihilangkan sebab
gelembung dapat membiaskan dan memantulkan sinar sehingga serapan yang terbaca
pada detektor menjadi lebih besar dari yang seharusnya.
1. Penentuan operating time (OT)
Penentuan operating time adalah tahap pertama yang harus dilakukan dalam
optimasi metode kolorimetri. Penentuan operating time dilakukan untuk mengetahui
rentang waktu di mana senyawa memberikan serapan yang stabil, yang berarti semua
parasetamol di dalam larutan telah bereaksi dengan semua pereaksi pada metode
Chafetz et al. (1971) secara optimal membentuk ion 2-nitro-4-asetamidofenolat.
Dalam penelitian ini, penentuan OT dilakukan setelah larutan di-degassing,
sehingga total waktu yang diperlukan setelah penambahan larutan natrium hidroksida
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
sampai larutan akan diukur adalah + 25 menit. Penentuan OT ini menggunakan
larutan parasetamol dalam plasma dengan kadar 100 μg/ml (mewakili larutan kadar
rendah) dan 400 μg/ml (mewakili larutan kadar tinggi).
Gambar 17. Pengukuran operating time (OT) larutan parasetamol
dalam plasma kadar 100 μg/ml
Gambar 18. Pengukuran operating time (OT) larutan parasetamol dalam plasma kadar 400 μg/ml
Pada gambar 17 dan 18 ditunjukkan bahwa serapan yang stabil dimulai dari
menit ke-0 sampai menit ke-60. Namun adanya pemakaian waktu selama + 25 menit
untuk proses setelah penambahan larutan natrium hidroksida 10% menyebabkan OT
pada penelitian ini dimulai dari menit ke-25 sampai menit ke-85.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
2. Penentuan panjang gelombang maksimum
Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang saat senyawa
memberikan serapan yang maksimum. Pada penelitian ini, penentuan panjang
gelombang maksimum dilakukan dengan mengukur serapan ion 2-nitro-4-
asetamidofenolat pada daerah panjang gelombang sinar tampak, yaitu pada panjang
gelombang 380-580 nm. Penentuan panjang gelombang maksimum ini dilakukan
pada dua kadar yang berbeda, yaitu larutan parasetamol dalam plasma dengan kadar
100 μg/ml dan 400 μg/ml. Hal ini dilakukan supaya hasil yang didapat lebih
meyakinkan bahwa panjang gelombang tersebut memang memberikan serapan yang
maksimum.
Menurut Chafetz et al. (1971), panjang gelombang maksimum berada pada
430 nm. Panjang gelombang maksimum yang diperoleh dalam penelitian ini, baik
untuk kadar 100 μg/ml maupun 400 μg/ml adalah 433 nm.
Gambar 19. Pengukuran panjang gelombang maksimum
larutan parasetamol dalam plasma kadar 100 μg/ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Gambar 20. Pengukuran panjang gelombang maksimum
larutan parasetamol dalam plasma kadar 400 μg/ml
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, panjang gelombang maksimum yang
diperoleh dalam optimasi dapat digunakan jika selisihnya dengan panjang
gelombang teori tidak lebih dari 3 nm. Oleh sebab itu, pengukuran serapan larutan
baku dan sampel dilakukan pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh
yaitu 433 nm.
3. Pembuatan kurva baku
Pembuatan kurva baku dilakukan untuk memperoleh persamaan kurva baku
yang dapat berguna dalam perhitungan kadar sampel parasetamol. Persamaan kurva
baku ini diperoleh melalui pengukuran serapan seri kadar larutan baku parasetamol
pada panjang gelombang 433 nm, kemudian dibuat persamaan garis regresi antara
kadar sebagai variabel bebas dan serapan sebagai variabel tergantung.
Hasil pengukuran serapan larutan parasetamol dan persamaan garis regresi
dapat dilihat pada tabel X sedangkan kurva baku disajikan pada gambar 21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Tabel X. Data Persamaan Kurva Baku Seri Baku Kadar (μg/ml) Serapan
1 50,1 0,101 2 100,2 0,202 3 150,3 0,344 4 200,4 0,486 5 250,5 0,560 6 300,6 0,669 7 350,7 0,794 8 400,8 0,919
Slope (B) 0,00231 Intercept (A) - 0,01214
Standar Deviasi 0,018 Corr.coeff (r) 0,9983
Persamaan garis regresi Y = 0,00231 X – 0,01214
Hasil persamaan kurva baku yaitu Y = 0,00231 X – 0,01214 selanjutnya
digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol dalam plasma.
KURVA BAKU PARASETAMOL
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Kadar Larutan Parasetamol (μg/ml)
Sera
pan
Y = 0,00231X - 0,01214
r = 0,9983
Gambar 21. Kurva hubungan antara kadar parasetamol dengan serapan
4. Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak
Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan
acak dilakukan dengan mengukur serapan larutan parasetamol di dalam plasma pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
panjang gelombang 433 nm menggunakan spektrofotometer sinar tampak. Pada
pengukuran ini digunakan 2 larutan parasetamol di dalam plasma, yaitu kadar 101,2
μg/ml dan 404,8 μg/ml. Serapan yang diperoleh kemudian diolah menjadi kadar
parasetamol di dalam plasma menggunakan persamaan kurva baku.
Pengukuran masing-masing larutan dilakukan replikasi 3 kali. Nilai
perolehan kembali untuk kadar 101,2 μg/ml adalah 97,31 + 1,78%, sedangkan untuk
kadar 404,8 μg/ml adalah 99,97 + 0,91%. Nilai perolehan kembali merupakan tolok
ukur akurasi metode analisis. Karena nilai perolehan kembali berada pada rentang
80-120%, maka metode ini dinyatakan memiliki nilai akurasi yang baik.
Tabel XI. Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak Kadar
Sesungguhnya (μg/ml)
Kadar Terukur Perolehan Kembali (%)
Kesalahan Sistematik (%)
Kesalahan Acak (%)
101,2 97,03 95,88 4,12 101,2 97,90 96,74 3,26 101,2 100,49 99,30 0,70
1,83
SD X ± 98,47 + 1,80 97,31 + 1,78 2,69 + 1,78
404,8 407,42 100,65 0,65 404,8 400,49 98,94 1,06 404,8 406,12 100,33 0,33
0,91
SD X ± 404,68 + 3,68 99,97 + 0,91 0,68 + 0,37
Kesalahan sistematik merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar.
Nilai kesalahan sistematik untuk kadar 101,2 μg/ml adalah 2,69 + 1,78%, sedangkan
untuk kadar 404,8 μg/ml adalah 0,68 + 0,37%. Kesalahan acak merupakan tolok
ukur impresisi suatu metode analisis. Nilai kesalahan acak untuk kadar 101,2 μg/ml
adalah 1,83%, sedangkan untuk kadar 404,8 μg/ml adalah 0,91%. Ditinjau dari nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
kesalahan sistematik dan nilai kesalahan acak yang diperoleh, maka metode
penetapan kadar parasetamol di dalam plasma menurut Chafetz et al. (1971)
memiliki ketepatan dan ketelitian yang baik.
D. Orientasi Dosis dan Waktu Pengambilan Sampel Darah
Orientasi dosis dilakukan dengan tujuan agar diperoleh dosis yang tepat
sehingga kadar parasetamol di dalam plasma dapat berada di atas KEM (Kadar
Efektif Minimum) dan di bawah KTM (Kadar Toksik Minimum). Pada rentang kadar
tersebut, obat dapat memberikan efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Selain
itu, orientasi dosis juga berguna untuk menentukan dosis yang digunakan agar nilai
serapannya memenuhi Hukum Lambert-Beer yaitu berada di antara 0,2-0,8 (Mulja
dan Suharman, 1995).
Orientasi dosis ini diawali dengan dosis sebesar 10% dari LD50 yaitu 625
mg/kgBB. Dosis selanjutnya diperoleh dari dosis awal yang dikalikan dengan faktor
tertentu. Hasil orientasi dosis yang diperoleh adalah 1200 mg/kgBB. Dosis tersebut
kemudian digunakan untuk penetapan kadar selanjutnya, yaitu untuk
membandingkan bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan
tablet Progesic®.
Selain itu, tahap orientasi dosis ini juga sekaligus sebagai tahap orientasi
waktu pengambilan sampel darah. Orientasi waktu pengambilan sampel darah ini
bertujuan untuk dapat memperkirakan saat pengambilan sampel yang tepat, yaitu
minimal 3 titik pada fase absorpsi, 3 titik pada fase distribusi, 3 titik pada sekitar
kadar puncak, dan 3 titik pada fase eliminasi. Menurut Pedoman Uji Bioekivalensi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Badan POM, waktu pengambilan sampel darah minimal 3 kali waktu paruh eliminasi
obat dalam plasma.
Pada saat orientasi waktu pengambilan sampel darah, beberapa titik waktu
dicoba dan hasil pengukuran kadar dalam darah dianalisis menggunakan program
STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi oleh Jung). Dari
program tersebut, dapat diketahui nilai-nilai parameter farmakokinetika. Dalam
menentukan waktu pengambilan sampel darah yang tepat, nilai-nilai yang menjadi
acuan adalah AIC dan waktu paruh eliminasi. Nilai AIC yang kecil menunjukkan
tingkat kesalahan yang kecil sehingga dalam tahap ini dicari nilai AIC yang terkecil.
Dari waktu paruh eliminasi dapat ditentukan seberapa lama waktu pengambilan
sampel darah, apakah sudah cukup atau masih harus mengambil sampel lagi. Selain
itu, persen AUC bagian ekstrapolasi (AUC(t-∞)) juga sebaiknya tidak lebih dari 20%.
Hasil dari orientasi waktu pengambilan sampel darah ini adalah darah
diambil pada menit ke-5, 10, 15, 20, 25, 35, 45, 60, 90, 120, 150, 180, dan 210
dengan menit ke-0 sebagai blangko.
E. Perbandingan Bioavailabilitas
1. Kadar parasetamol dalam plasma
Hasil serapan pada spektrofotometer kemudian diubah menjadi kadar
parasetamol dalam plasma menggunakan persamaan kurva baku yang telah
diperoleh. Tabel XII menunjukkan kadar parasetamol dalam plasma sedangkan tabel
XIII menunjukkan ln kadar parasetamol dalam plasma setelah pemberian produk
obat kepada kelinci putih jantan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Tabel XII. Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian Produk Obat
Kadar Parasetamol dalam Plasma (μg/ml) SD X ± Waktu
(menit) Generik Pyrexin® Progesic®
0 0 + 0 0 + 0 0 + 0 5 54,21 + 16,56 33,79 + 11,65 155,30 + 34,40
10 137,34 + 24,53 55,80 + 8,86 188,81 + 37,25 15 167,25 + 25,95 74,35 + 19,40 218,57 + 20,08 20 179,18 + 21,63 85,85 + 18,22 228,79 + 17,73 25 189,10 + 11,22 93,04 + 8,16 241,30 + 11,78 35 164,65 + 22,30 109,44 + 6,36 231,95 + 18,59 45 147,83 + 12,96 127,12 + 27,32 225,05 + 23,07 60 124,25 + 25,06 109,58 + 11,44 210,67 + 25,55 90 94,34 + 16,39 97,50 + 7,52 168,82 + 36,75
120 75,64 + 7,85 63,85 + 12,73 148,40 + 35,89 150 48,18 + 12,24 55,37 + 17,92 102,10 + 38,75 180 32,50 + 5,40 39,12 + 15,32 74,77 + 20,33 210 28,90 + 8,20 20,28 + 2,62 35,66 + 1,74
Tabel XIII. ln Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian Produk Obat
ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (μg/ml) SD X ± Waktu
(menit) Generik Pyrexin® Progesic®
0 0 + 0 0 + 0 0 + 0 5 3,96 + 0,29 3,48 + 0,36 5,03 + 0,24
10 4,91 + 0,19 4,01 + 0,16 5,23 + 0,21 15 5,11 + 0,16 4,28 + 0,28 5,38 + 0,09 20 5,18 + 0,12 4,44 + 0,22 5,43 + 0,08 25 5,24 + 0,06 4,53 + 0,09 5,49 + 0,06 35 5,10 + 0,14 4,69 + 0,06 5,44 + 0,,08 45 4,99 + 0,09 4,79 + 0,13 5,41 + 0,11 60 4,81 + 0,22 4,69 + 0,10 5,35 + 0,13 90 4,54 + 0,17 4,58 + 0,08 5,11 + 0,24
120 4,32 + 0,11 4,14 + 0,20 4,98 + 0,26 150 3,85 + 0,24 3,98 + 0,33 4,57 + 0,45 180 3,47 + 0,17 3,61 + 0,42 4,26 + 0,28 210 3,33 + 0,31 3,00 + 0,13 3,57 + 0,05
Setelah itu, dibuat kurva kadar parasetamol dalam plasma (Cp) terhadap
waktu (t) dan kurva ln kadar parasetamol dalam plasma (ln Cp) terhadap waktu (t).
Kedua jenis kurva tersebut dapat dilihat pada gambar 22 dan gambar 23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
050
100150200250300
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
t (menit)
Cp (μ
g/m
l)
Generik Pyrexin Progesic
Gambar 22. Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) terhadap Waktu (t)
0
1
2
3
4
5
6
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
t (menit)
ln C
p (μ
g/m
l)
Generik Pyrexin Progesic
Gambar 23. Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) terhadap Waktu (t)
Dari kurva pada gambar 22 dan gambar 23 dapat dilihat bahwa proses
absorpsi obat terjadi lebih cepat daripada proses eliminasi obat. Selain itu,
kurva ln Cp vs. t memberikan profil yang lebih seragam daripada kurva Cp vs. t. Hal
ini disebabkan karena kinetika obat mengikuti proses kinetika orde satu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Kadar obat dalam plasma dari waktu ke waktu kemudian diolah dengan
program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi oleh Jung)
menjadi parameter-parameter bioavailabilitas.
Tabel XIV. Nilai Parameter Bioavailabilitas SD X ± Parameter
Bioavailabilitas Generik Pyrexin® Progesic®
AUC(0-inf) (μg.menit/ml)
21029,077 + 3336,122
16666,110 + 1456,821
33823,687 + 5640,811
Cmax (μg/ml) 179,743 + 21,631 116,717 + 10,018 236,037 + 15,762 tmax (menit) 24,733 + 1,943 46,433 + 3,353 33,600 + 3,637
Parameter terpenting dalam membandingkan bioavailabilitas adalah
AUC(0-inf), Cmax, dan tmax. Parameter bioavailabilitas tersebut dianalisis secara
statistik menggunakan program SPSS 14.0 dengan metode ANOVA. Parameter
AUC(0-inf) dan Cmax harus diubah menjadi bentuk ln terlebih dahulu sebelum
dilakukan analisis statistik karena kinetika obat mengikuti kinetika orde satu
sehingga dalam skala logaritmik akan diperoleh distribusi yang normal dan varians
yang homogen.
Ada kemungkinan absorpsi obat setelah pemberian obat dosis tunggal tidak
terjadi dengan segera. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor fisiologi seperti waktu
pengosongan lambung dan motilitas usus. Keadaan ini dikenal dengan istilah lag
time. Jadi lag time merupakan penundaan waktu absorpsi. Dalam penelitian ini, pada
tablet generik dan tablet Pyrexin® terdapat lag time. Berarti parasetamol dalam tablet
generik dan Pyrexin® tidak diabsorpsi dengan segera setelah pemberian obat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
2. AUC(0-inf)
Nilai AUC(0-inf) menggambarkan jumlah obat yang tersedia di dalam darah.
Nilai AUC(0-inf) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
el
ainf)-(0 k x Vd
f x D AUC = atau
Clf x D
AUC ainf)-(0 = (17)
Keterangan : AUC(0-inf) = luas area di bawah kurva (μg.menit/ml) D = dosis (mg) fa = fraksi obat yang diabsorpsi (bernilai 0-1) Vd = volume distribusi (ml) kel = tetapan laju eliminasi (menit-1) Cl = klirens (ml/menit)
Nilai AUC dapat dijadikan sebagai parameter bioavailabilitas sebab proses
eliminasi obat di dalam tubuh dianggap tidak berubah (nilai Vd dan kel dianggap
tetap). Dosis yang digunakan dalam penelitian ini sama untuk setiap perlakuan
sehingga besar kecilnya nilai AUC dianggap disebabkan oleh nilai fa (fraksi obat
yang diabsorpsi). Oleh karena itu, nilai AUC dapat digunakan sebagai ukuran
bioavailabilitas obat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
antara tablet Progesic® dengan tablet generik sedangkan antara tablet Pyrexin®
dengan tablet generik berbeda tidak bermakna. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji
statistik pada tabel XV.
Tabel XV. Uji Post-Hoc Nilai AUC(0-inf)
90% Confidence Interval Obat (I) Obat (J)
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig Lower
Bound Upper Bound
Progesic® - 0,474254 0,1221413 0,019 - 0,781580 - 0,166928Generik Pyrexin® 0,226170 0,1221413 0,232 - 0,081156 - 0,533496
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Uji ini menggunakan taraf kepercayaan 90% sehingga dua obat disebut
berbeda tidak bermakna (“sama”) jika nilai Sig lebih besar dari 0,100. Berdasarkan
hasil uji tersebut, nilai Sig antara tablet Progesic® dan tablet generik adalah 0,019
sedangkan antara tablet Pyrexin® dan tablet generik adalah 0,232. Dengan demikian,
tablet Progesic® berbeda bermakna dengan tablet generik, namun tablet Pyrexin®
berbeda tidak bermakna dengan tablet generik.
Tablet Progesic® memiliki nilai AUC(0-inf) terbesar, diikuti oleh tablet
generik dan tablet Pyrexin®. Hal ini berarti jumlah parasetamol dari tablet Progesic®
yang tersedia di dalam tubuh lebih besar dibandingkan dengan tablet generik dan
tablet Pyrexin®. Jumlah yang cukup besar tersebut membuat nilai AUC(0-inf)
Progesic® berbeda bermakna bila dibandingkan dengan tablet generik dan tablet
Pyrexin®.
Hal tersebut didukung oleh data Vd. Berdasarkan persamaan di atas,
AUC(0-inf) berbanding terbalik dengan Vd. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tablet Pyrexin® memiliki nilai Vd terbesar, diikuti oleh tablet generik dan tablet
Progesic®. Selain itu, nilai AUC(0-inf) juga berbanding terbalik dengan Cl. Tablet
Pyrexin® mempunyai nilai klirens terbesar, diikuti oleh tablet generik dan tablet
Progesic®.
3. Cmax
Cmax adalah konsentrasi maksimum obat dalam plasma. Pada sebagian besar
obat, terdapat suatu hubungan antara efek farmakologi dengan konsentrasi obat
dalam plasma. Nilai Cmax dapat menjadi petunjuk bahwa obat diabsorpsi dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
jumlah yang cukup untuk memberi efek terapeutik dan juga memberi petunjuk dari
kemungkinan adanya kadar toksik obat. Nilai Cmax tergantung pada laju distribusi
obat dan volume distribusi. Hal ini dapat dijelaskan dari persamaan berikut :
maxel t.k-
ela
aamax e
)k-Vd(k.D.kf
C = (18)
Keterangan : Cmax = konsentrasi maksimum obat dalam plasma (μg/ml) fa = fraksi obat yang diabsorpsi (bernilai 0-1) ka = tetapan laju absorpsi (menit-1) D = dosis (mg) Vd = volume distribusi (ml) kel = tetapan laju eliminasi (menit-1) tmax = waktu tercapainya Cmax (menit)
Hasil analisis statistik pada tabel XVI menunjukkan bahwa nilai Cmax antara
ketiga tablet tersebut berbeda bermakna sebab nilai Sig lebih kecil dari 0,100. Dosis
obat yang digunakan dalam penelitian ini sama, yaitu 1200 mg/kgBB, namun
ternyata ketiga tablet mempunyai nilai Cmax yang berbeda.
Tabel XVI. Uji Post-Hoc Nilai Cmax
90% Confidence Interval Obat (I) Obat (J)
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig Lower
Bound Upper Bound
Progesic® - 0,275989 0,0787822 0,030 - 0,474217 - 0,077761Generik Pyrexin® 0,429264 0,0787822 0,004 - 0,231037 - 0,627492
Nilai Cmax tablet Progesic® merupakan nilai Cmax terbesar dibandingkan
dengan tablet generik dan tablet Pyrexin® sedangkan nilai Vd tablet Progesic®
merupakan nilai Vd terkecil dibandingkan dengan tablet generik dan tablet Pyrexin®.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa nilai Cmax berbanding terbalik dengan nilai
Vd.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
4. tmax
Nilai tmax menunjukkan waktu ketika konsentrasi obat dalam plasma
mencapai konsentrasi maksimum (Cmax). Pada saat tmax laju absorpsi obat sama
dengan laju eliminasi obat. Setelah tmax tercapai, absorpsi masih berjalan meskipun
dengan laju yang lebih lambat.
Nilai tmax tidak tergantung pada dosis namun tergantung pada tetapan laju
absorpsi (ka) dan tetapan laju eliminasi (kel). Dalam membandingkan produk obat,
nilai tmax dapat digunakan untuk memperkirakan laju absorpsi obat sebab proses
eliminasi obat di dalam tubuh dianggap tidak berbeda.
tmax = )k-(k
ln
ela
kk
ela
(19)
Keterangan : tmax = waktu tercapainya Cmax (menit) ka = tetapan laju absorpsi (menit-1) kel = tetapan laju eliminasi (menit-1)
Nilai tmax antara ketiga tablet berbeda bermakna. Hal ini dapat dilihat pada
tabel XVII yang menunjukkan bahwa nilai Sig lebih kecil dari 0,100. Berarti laju
absorpsi ketiga tablet tersebut dapat dikatakan berbeda.
Dari ketiga tablet, ternyata tablet generik memiliki nilai tmax paling kecil,
kemudian tablet Progesic® dan Pyrexin®.
Tabel XVII. Uji Post-Hoc Nilai tmax
90% Confidence Interval Obat (I) Obat (J)
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig Lower
Bound Upper Bound
Progesic® - 8,8667 2,50540 0,028 - 15,1706 - 2,5627Generik Pyrexin® - 21,7000 2,50540 0,000 - 28,0040 - 15,3960
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Hal ini berarti tablet generik paling cepat mencapai konsentrasi maksimum
dibandingkan dengan tablet Progesic® dan Pyrexin®. Selain itu, laju absorpsi tablet
generik lebih cepat dibandingkan dengan tablet Progesic® dan Pyrexin®.
5. Kriteria bioekivalen
Untuk menentukan apakah dua produk obat bioekivalen atau tidak, maka
dilakukan perbandingan terhadap ketiga parameter bioavailabilitas. Menurut
Pedoman Uji Biekivalensi Badan POM RI, dua produk dikatakan bioekivalen jika :
a) 0,800 < generik
dagangmerk
AUCgeometrik rata-rataAUCgeometrik rata-rata
< 1,250
b) 0,800 < generikmax
dagangmerk max
Cgeometrik rata-rata
Cgeometrik rata-rata < 1,250,
sedangkan nilai tmax dilakukan perbandingan hanya jika ada klaim yang relevan
secara klinik tentang pelepasan atau kerja yang cepat atau adanya tanda-tanda yang
berhubungan dengan efek samping obat. Namun, karena dalam penelitian ini tidak
dilakukan uji klinik, maka tetap dilakukan perbandingan nilai tmax. Menurut
Chereson dalam Basic Pharmacokinetics (2000), syarat bioekivalen untuk nilai tmax
adalah 0,800 < generikmax
dagangmerk max
tgeometrik rata-rata
tgeometrik rata-rata < 1,250.
Parameter-parameter bioavailabilitas tablet Pyrexin® dan tablet Progesic®
dibandingkan dengan parameter bioavailabilitas tablet generik. Hasil perbandingan
tersebut disajikan pada tabel XVIII. Dari hasil perhitungan pada tabel XVIII, terlihat
bahwa semua perbandingan parameter bioavailabilitas kedua tablet parasetamol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
bermerk dagang terhadap tablet parasetamol generik ternyata di luar rentang nilai
0,800–0,125. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedua tablet merk dagang
yang diuji, yaitu tablet Pyrexin® dan tablet Progesic®, ternyata tidak bioekivalen
dengan tablet parasetamol generik.
Tabel XVIII. Perbandingan Parameter Bioavailabilitas Generik Pyrexin® Progesic®
Rata-rata geometrik AUC(0-inf)
20840,628 16622,120 33487,027
Rata-rata geometrik Cmax
178,836 116,420 235,676
Rata-rata tmax 24,733 46,433 33,600
generik
dagangmerk
AUCgeometrik rata-rataAUCgeometrik rata-rata
0,798 1,607
generikmax
dagangmerk max
Cgeometrik rata-rata
Cgeometrik rata-rata 0,651 1,318
generikmax
dagangmerk max
tgeometrik rata-rata
tgeometrik rata-rata 1,878 1,356
Bioekivalen dengan generik ? TIDAK TIDAK
Selain itu, dengan melihat hasil uji disolusi (in vitro) dan hasil uji in vivo,
dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang baik antara uji in vitro dengan
uji in vivo dalam penetapan bioavailabilitas ini sebab kemiripan profil disolusi belum
dapat menunjukkan apakah kedua produk obat bioekivalen atau tidak.
Nilai parameter bioavailabilitas yaitu AUC(0-inf), Cmax, dan tmax sangat
tergantung pada proses absorpsi obat di dalam tubuh. Dalam penelitian ini, faktor
rute dan cara pemberian tidak menjadi faktor yang menyebabkan perbedaan
bioavailabilitas sebab rute dan cara pemberian sudah dibuat sama, yaitu per oral.
Selain itu, dosis dan aturan dosis juga sudah dibuat sama, yaitu dosis tunggal 1200
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
mg/kgBB. Oleh karena itu, faktor dosis dan aturan dosis juga tidak dapat dianggap
sebagai penyebab terjadinya perbedaan bioavailabilitas.
Proses absorpsi obat diawali dengan hancurnya bentuk sediaan tablet.
Waktu hancur tablet dipengaruhi oleh kekerasan tablet. Tablet Progesic® dengan nilai
kekerasan terkecil ternyata memiliki waktu hancur paling cepat, sedangkan tablet
Pyrexin® dengan nilai kekerasan terbesar ternyata memiliki waktu hancur paling
lama. Selain itu, waktu hancur juga sangat dipengaruhi oleh bahan penghancur yang
digunakan dalam masing-masing tablet tersebut. Jika jumlah bahan penghancur yang
digunakan besar, maka tablet akan semakin mudah hancur sehingga waktu
hancurnya menjadi singkat. Mungkin jumlah bahan penghancur dalam tablet
Progesic® lebih banyak daripada dalam tablet generik dan Pyrexin®.
Proses selanjutnya adalah disolusi zat aktif dari bentuk sediaan. Zat aktif
parasetamol dari tablet Pyrexin® terdisolusi paling banyak dibandingkan dengan
tablet Progesic® dan tablet generik. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh ukuran partikel
obat. Ukuran partikel parasetamol dalam tablet Pyrexin® mungkin lebih kecil
daripada parasetamol dalam tablet Progesic® dan tablet generik sehingga luas
permukaan efektif dari parasetamol dalam tablet Pyrexin® menjadi besar. Oleh
karena itu, meskipun tablet Pyrexin® hancur paling lama, parasetamol dalam tablet
Pyrexin® dapat terdisolusi lebih cepat daripada parasetamol dalam tablet Progesic®
dan tablet generik.
Selain itu, disolusi juga dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan tambahan yang
digunakan dalam tablet. Mungkin zat aktif dapat membentuk kompleks dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
bahan tambahan dalam tablet sehingga zat aktif menjadi sulit lepas dari bentuk
sediaan dan disolusi zat aktif menjadi lambat.
Tahap selanjutnya adalah perpindahan obat menembus membran menuju ke
sirkulasi sistemik. Tablet generik memiliki nilai tmax terkecil, yang berarti bahwa
Cmax cepat tercapai, sedangkan tablet Pyrexin® memiliki nilai tmax terbesar yang
berarti bahwa Pyrexin® paling lama mencapai Cmax. Dalam hal ini, kemungkinan
faktor yang berpengaruh adalah pH dalam saluran pencernaan yang dapat
menentukan derajat ionisasi parasetamol. Jika nilai pH berubah menjadi lebih asam,
maka bentuk tak terion menjadi lebih banyak sehingga lebih mudah menembus
membran mencapai sirkulasi sistemik. Perubahan nilai pH dapat disebabkan oleh
sekresi asam lambung yang berlebihan ataupun keadaan psikologis dari hewan uji.
Kemampuan menembus membran menjadi rate limiting step pada tablet Pyrexin®
sebab disolusi Pyrexin® berjalan dengan cepat namun absorpsi berjalan dengan
lambat, yang ditandai dengan besarnya nilai tmax.
Tablet Progesic® memiliki nilai AUC(0-inf) dan Cmax paling besar, diikuti oleh
tablet generik dan tablet Pyrexin®. Hal ini mungkin berkaitan dengan adanya lag
time pada tablet generik dan tablet Pyrexin®. Karena adanya penundaan absorpsi
obat, mungkin obat mengalami degradasi di dalam saluran pencernaan sehingga
jumlah yang diabsorpsi menjadi kecil. Degradasi tersebut dapat disebabkan oleh
akivitas enzim di dalam saluran pencernaan.
Faktor-faktor lain yang juga dapat mempengaruhi besar kecilnya nilai
parameter bioavailabilitas adalah faktor fisiologis hewan uji, seperti waktu
pengosongan lambung, waktu transit pada usus, motilitas usus, dan keadaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
psikologis hewan uji. Jika waktu pengosongan lambung lama, maka absorpsi obat
akan tertunda sehingga tmax menjadi besar. Jika waktu transit pada usus hanya
sebentar atau motilitas usus cepat, maka proses absorpsi obat tidak terjadi dengan
sempurna yang dapat mengakibatkan nilai AUC dan Cmax menjadi kecil. Jika hewan
uji dalam keadaan stres, maka waktu pengosongan lambung, aliran darah, dan nilai
pH juga dapat berubah sehingga mengakibatkan perubahan nilai parameter
bioavailabilitas.
Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah parameter Cmax dan tmax antara
ketiga tablet berbeda bermakna, sedangkan parameter AUC(0-inf) antara tablet
Progesic® dengan tablet generik berbeda bermakna dan antara tablet Pyrexin®
dengan tablet generik berbeda tidak bermakna. Hasil perbandingan parameter
bioavailabilitas tidak memenuhi syarat yang ditentukan sehingga kedua tablet
bermerk dagang, yaitu tablet Progesic® dan tablet Pyrexin® yang diuji tidak dapat
dikatakan bioekivalen dengan tablet generik.
Perbedaan secara statistik ini bukan berarti bahwa tablet tersebut benar-
benar berbeda dalam hal efek terapeutiknya (segi farmakodinamika) meskipun segi
farmakokinetika obat memang mempengaruhi efek yang ditimbulkan oleh obat.
Selain itu, penelitian ini juga belum sampai menentukan apakah kedua produk obat
mempunyai ekivalensi terapeutik atau tidak sebab hal itu harus ditunjukkan dalam uji
klinik
Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam penelitian ini. Tablet yang
diberikan ke hewan uji sudah digerus dan dilarutkan ke dalam aquadest. Dalam
penggerusan tersebut, tidak diketahui apakah ukuran partikel sudah homogen atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
belum karena dalam penelitian tidak dilakukan uji keseragaman ukuran partikel.
Ukuran partikel tersebut sebenarnya dapat menentukan disolusi obat dan
mempengaruhi nilai parameter bioavailabilitas yang dihasilkan.
Selain itu, uji keseragaman bobot yang dilakukan juga masih berdasarkan
Farmakope Indonesia Edisi III meskipun sebenarnya uji keseragaman bobot juga
terdapat pada Farmakope Indonesia Edisi IV. Seharusnya uji keseragaman bobot ini
dilakukan berdasarkan acuan yang terbaru, yaitu Farmakope Indonesia Edisi IV.
Dalam penelitian ini, juga tidak dilakukan penetapan kadar zat aktif di
dalam tablet. Padahal data tersebut mungkin dapat menjelaskan tentang pengaruh
jumlah zat aktif dalam tablet terhadap disolusi dan bioavailabilitas obat. Hal-hal
inilah yang menjadi keterbatasan peneliti dalam melakukan penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Bioavailabilitas tablet parasetamol generik, tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic®
tidak sama.
a. Nilai AUC(0-inf) (μg.menit/ml) tablet parasetamol generik sebesar 21029,077 +
3336,122; tablet Pyrexin® sebesar 16666,110 + 1456,821; dan tablet
Progesic® sebesar 33823,687 + 5640,811.
Nilai AUC(0-inf) tablet Pyrexin® berbeda tidak bermakna terhadap tablet
generik, sedangkan tablet Progesic® berbeda bermakna terhadap tablet
generik.
b. Nilai Cmax (μg/ml) tablet parasetamol generik sebesar 179,743 + 21,631;
tablet Pyrexin® sebesar 116,717 + 10,018; dan tablet Progesic® sebesar
236,037 + 15,762.
Nilai Cmax tablet Pyrexin® dan tablet Progesic® berbeda bermakna terhadap
tablet generik.
c. Nilai tmax (menit) tablet parasetamol generik sebesar 24,733 + 1,943; tablet
Pyrexin® sebesar 46,433 + 3,353; dan tablet Progesic® sebesar 33,600 +
3,637.
Nilai tmax tablet Pyrexin® dan tablet Progesic® berbeda bermakna terhadap
tablet generik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
2. Tablet Pyrexin® dan tablet Progesic® yang diuji tidak bioekivalen dengan tablet
parasetamol generik.
B. Saran
Dari hasil penelitian ini, penulis menyarankan
1. Dilakukan pengujian klinik dengan tablet tersebut agar diketahui apakah produk
tersebut memiliki ekivalensi terapeutik atau tidak.
2. Dilakukan penelitian serupa dengan uji pendahuluan tablet yang lebih tepat,
sesuai dengan yang tercantum dalam buku acuan resmi terbaru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, 6, 37, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 649, 650, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2000, IONI : Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, 2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2001a, Professional’s Handbook of Drug Therapy for Pain, 40,
Springhouse Corporation, Springhouse Anonim, 2001b, The Merck Index, 13th Edition, 10, Merck & Co.Inc., Whitehouse
Station, New Jersey Anonim, 2004a, A to Z Drug Facts, 5th Edition, 7-8, Facts and Comparisons,
Missouri Anonim, 2004b, Pedoman Uji Bioekivalensi, Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2005a, Drug Information for The Health Care Professional, Volume I, 25th
Edition, 10, Thomson MICROMEDEX, USA Anonim, 2005b, The Official Compendia of Standards 2005 : The United States
Pharmacopeia 28 - The National Formulary 23, 2411-2412, 2745, United States Pharmacopeia Convention Inc., USA
Ansel, H. C., 1969, Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms, 296-297, Lea &
Febiger, USA Ansel, H. C., and Prince, S. J., 2006, Pharmaceutical Calculations : The
Pharmacist’s Handbook, diterjemahkan oleh Cucu Aisyah dan Ella Elviana, 121-131, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Bassett, J., Denney, R. C., Jeffery, G. H., and Mendham, J., 1991, Vogel’s Textbook
of Quantitative Analysis Including Elementary Instrumental Analysis, diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka dan L. Setiono, Edisi IV, 847, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Belal, S., Elsayed, M. A-H., El-Waliely, A., and Abdine, H., 1979, Colorimetric
Acetaminophen Determination in Pharmaceutical Formulations, Journal of Pharmaceutical Sciences, 68, 750-752
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Benet, L. Z., 1992, Farmakokinetik : 1. Absorpsi, Distribusi dan Ekskresi, dalam Katzung, B. G., 1992, Basic and Clinical Pharmacology, diterjemahkan oleh Binawati H. Kotualubun dkk., Edisi 3, 29, 448-449, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Bowman, W. C., and Rand, M. J., 1990, Textbook of Pharmacology, 2nd Edition,
26.34, 26.35, 40.1, Oxford Blackwell Scientific Publications, Cambridge Bruice, P. Y., 1998, Organic Chemistry, 2nd Edition, 947-948, Prantice-Hall Inc.,
New Jersey Chafetz, U., Daly, R. E., Schriftman, H., and Lomner, J. J., 1971, Selective
Colorimetric Determination of Acetaminophen, Journal of Pharmaceutical Science, 60, 463-466
Chamberlain, J., 1995, The Analysis of Drugs in Biological Fluids, 2nd Edition, 38-
40, CRC Press Inc., USA Chereson, R., 1999, Bioavailability, Bioequivalence, and Drug Selection, in Makoid,
M. C., Vuchetich, P. J., and Banakar, U. V. (Eds.), Basic Pharmacokinetics, 1st Edition,2-4,15-18,20,29-30, Available from http://kiwi.creighton.edu/pkinbook/
Clark, B., and Smith, D. A., 1993, An Introduction to Pharmacokinetics, Revised 2nd
Edition, 1-2, 26-33, Oxford Blackwell Scientific Publications, USA Connors, K. A., 1982, A Textbook of Pharmaceutical Analysis, 3rd Edition, 540-567,
Interscience Publisher, John Wiley & Sons, New York Connors, K. A., Amidon, G. L., and Stella, V. J., 1986, Chemical Stability of
Pharmaceuticals : A Handbook for Pharmacists, 2nd Edition, 163, 167, John Wiley & Sons, New York
Frisell, W. R., 1982, Human Biochemistry, 423-427, McMillan Publishing Inc., USA Gibson, G. G., and Skett, P., 1991, Introduction to Drug Metabolism, diterjemahkan
oleh Iis Aisyah B., 189-190, Universitas Indonesia Press, Jakarta Glynn, J. P., and Kendal, S. E., 1975, Paracetamol Measurement, The Lancet, 7916,
Volume I, 1147 Hanson, G. R., 2000, Analgesic, Antipyretic, and Anti-Inflammatory Drugs, in
Gennaro, A. R., et al. (Eds.), Remington : The Science and Practice of Pharmacy, 20th Edition, 1455, Philadelphia College of Pharmacy and Science, Philadelphia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Johnston, A., and Woolard, R. C., 1983, STRIPE : A Computer Program for Pharmacokinetics, J. Pharmacol. Math., 9, 193-199
Khopkar, S. M., 1990, Basic Concepts of Analytical Chemistry, diterjemahkan oleh
A. Saptoraharjo, 193, 204, Universitas Indonesia Press, Jakarta Kottke, M. K., and Rudnic, E. M., 2002, Tablet Dosage Forms, in Banker, G. S., and
Rhodes, C. T., (Eds.), Modern Pharmaceutics, 4th Edition, 287-330, Marcell Dekker Inc., New York
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., and Lance, L. L., 2003, Drug
Information, 11th Edition, 25, Lexi-Comp, Ohio Lestari, C. S., Rahayu, S., Rya, H., Suhardjono, Maisunah, Soewarni, S., dkk., 2002,
Seni Menulis Resep : Teori dan Praktek, 27-36, P.T. Perca, Jakarta Makoid, M., and Cobby, J., 2000, Introduction, in Makoid, M. C., Vuchetich, P. J.,
and Banakar, U. V. (Eds.), Basic Pharmacokinetics, 1st Edition, 1-2, Available from http://pharmacy.creighton.edu/pha443/pdf/
Malinowski, H. J., 2000, Bioavailability and Bioequivalence Testing, in Gennaro, A.
R., et al. (Eds.), Remington : The Science and Practice of Pharmacy, 20th Edition, 995, Philadelphia College of Pharmacy and Science, Philadelphia
McGilveray, I. J., and Mattok, G. L., 1972, Some Factors Affecting the Absorption
of Paracetamol, J. Pharm. Pharmac., 24, 615-619 Melmon, K. L., and Morelli, H. F., 1992, Melmon and Morelli’s : Clinical
Pharmacology Basic Principles in Therapeutics, 3rd Edition, 1032-1033, McGraw-Hill, USA
Montgomery, R., Conway, T. W., and Spector, A. A., 1993, Biochemistry : A Case-
Oriented Approach, diterjemahkan oleh Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi I, Jilid 1, 89-91, Binarupa Aksara, Jakarta
Mulja, M., dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, 35, Airlangga University
Press, Surabaya Murray, R. K., Granner, D. K., Mayes, P. A., and Rodwell, V. W., 2000, Harper’s
Biochemistry, 25th Edition, 737, McGraw-Hill, New York Mutschler, E., Derendorf, H., Schäfer-Korting, M., Elrod, K., and Estes, K. S., 1995,
Drug Actions : Basic Principle and Therapeutic Aspects, 33-35, Medpharm Scientific Publishers, Stuttgart
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Mutschler, E., 1999, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Mathilda B. Widianto dan Anna Setiadi Ranti, Edisi ke-5, 5-6, 9-47, 167, 200-201, Penerbit ITB, Bandung
Pearce, E. C., 2002, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, diterjemahkan oleh Sri
Yuliani Handoyo, 133, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Proudfoot, S. G., 1990, Factors Influencing Bioavailability : Factors Influencing
Drug Absorption from The Gastrointestinal Tract, in Aulton, M. E. (Ed.), Pharmaceutics : The Science of Dosage Form Design, 135-170, ELBS with Churchill Livingstone, UK
Roth, H. J., and Blaschke, G., 1981, Pharmaceutical Analysis, diterjemahkan oleh
Sarjoko Kisman dan Slamet Ibrahim, 359-361, 373, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta
Setiawati, A., Zunida, S. B., dan Suyatna, F. D., 2003, Pengantar Farmakologi,
dalam Ganiswarna, S. G., Setiabudy, R. (Eds.), Farmakologi dan Terapi, Edisi 4 (Dengan Perbaikan), 5-10, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Shargel, L., Wu-Pong, S., and Yu, A. B. C., 2005, Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics, 5th Edition, 3, 456-458, 465-468, McGraw-Hill, Singapore Stringer, J. L., 2001, Basic Concepts in Pharmacology : A Student’s Survival Guide,
2nd Edition, 254-255, McGraw-Hill, Singapore Suryawati, S. dan Donatus, I. A., 1998, Ketersediaan Hayati Obat pada Manusia,
Kursus Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Vogel, 1990, Textbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis,
diterjemahkan oleh Setiono, L., dan Pudjaatmaka, A. H., Edisi V, Bagian I, 55, PT. Kalman Media Pusaka, Jakarta
Wagner, G. J., 1975, Fundamentals of Clinical Pharmacokinetics, 1st Edition, 7-20,
Drug Intelligence Publications Inc., Hamilt on, Illnois 62341 Widdop, B., 1986, Hospital Toxicology and Drug Abuse Screening, in Moffat, A. C,
et al. (Eds.), Clarke’s Isolation and Idenification of Drugs in Pharmaceuticals, Body Fluids, and Pos Mortem Material, 2nd Edition, 23, The Pharmaceutical Press, London
Wilkinson, G. R., 2001, Pharmacokinetics : The Dynamics of Drug Absorption,
Distribution, and Elimination, in Goodman & Gilman’s : The Pharmacological Basis of Therapeutics, 10th Edition, 3-24, McGraw-Hill, USA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Wilmana, P. F., 2003, Analgesik-Antipiretik : Analgesik Anti-inflamasi Nonsteroid dan Obat Pirai, dalam Ganiswarna, S. G. Setiabudy, R. (Eds.), Farmakologi dan Terapi, Edisi 4 (Dengan Perbaikan), 214, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
York, P., 1990, The Design of Dosage Forms, in Aulton. M. E. (Ed.),
Pharmaceutics : The Science of Dosage Form Design, 1-12, ELBS with Churchill Livingstone, UK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Lampiran 1. Hasil Penimbangan Tablet untuk Uji Keseragaman Bobot
Tabel XIX. Hasil Penimbangan Tablet
Bobot (mg) Tablet Generik Pyrexin® Progesic®
1 604,2 645,4 610,5 2 603,3 654,3 626,1 3 599,7 641,2 614,9 4 606,1 652,7 618,5 5 600,2 661,5 618,0 6 605,0 661,0 614,5 7 604,2 667,0 614,9 8 601,8 648,1 612,4 9 600,1 647,0 615,8
10 600,9 649,3 617,1 11 594,0 670,1 605,2 12 603,3 669,0 606,8 13 612,4 661,6 615,8 14 599,9 647,8 614,3 15 602,6 656,6 619,7 16 590,9 654,5 610,9 17 607,8 655,6 603,7 18 601,9 663,1 622,3 19 610,4 650,6 607,0 20 601,6 655,0 615,0
SDX ± 602,515 + 4,875 655,570 + 8,130 614,165 + 5,670
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Lampiran 2. Data Kurva Baku Disolusi Tablet
Penimbangan parasetamol
Kertas : 0,3932 g Kertas + zat : 0,4436 g Kertas + sisa : 0,3932 g Zat : 0,0504 g = 50,4 mg 1. Pembuatan larutan persediaan parasetamol
Sebanyak 50,4 mg parasetamol dilarutkan dalam 50 ml larutan dapar fosfat pH 5,8 sehingga konsentrasi larutan persediaan parasetamol adalah
ml 50mg 50,4 = 1,008 mg/ml = 1008 μg/ml
2. Pembuatan larutan intermediet I parasetamol
Pipet 1 ml larutan persediaan parasetamol, masukkan ke dalam labu ukur 50,0 ml dan tambahkan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai tanda.
Konsentrasi larutan intermediet I adalah : ml50
g/ml 1008 x ml 1 μ = 20,16 μg/ml
3. Pembuatan seri kadar larutan intermediet parasetamol
Pipet x ml larutan intermediet I parasetamol, masukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml dan tambahkan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai tanda.
Tabel XX. Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Pembuatan Kurva Baku Uji Disolusi
X (ml) C (μg/ml) Serapan 1,5 3,02 0,288 2,0 4,03 0,342 2,5 5,04 0,429 3,0 6,05 0,500 3,5 7,06 0,597 4,0 8,07 0,716 4,5 9,08 0,768
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Lampiran 3 : Hasil Uji Disolusi Tablet
Tabel XXI. Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Generik Waktu C C0 Q5 Q900 QkumReplikasi (menit)
A (μg/ml) (μg/ml) (mg) (mg) (mg)
10 0.433 5.006 417.167 2.086 375.480 375.480I 20 0.443 5.126 427.167 2.136 384.480 386.566 30 0.476 5.522 460.167 2.301 414.180 418.402 10 0.453 5.246 437.167 2.186 393.480 393.480II 20 0.454 5.258 438.167 2.191 394.380 396.566 30 0.468 5.426 452.167 2.261 406.980 411.357 10 0.425 4.910 409.167 2.046 368.280 368.280III 20 0.465 5.390 449.167 2.246 404.280 406.326 30 0.470 5.450 454.167 2.271 408.780 413.072
Tabel XXII. Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Pyrexin®
Waktu C C0 Q5 Q900 QkumReplikasi (menit)
A (μg/ml) (μg/ml) (mg) (mg) (mg)
10 0.521 6.062 505.167 2.526 454.680 454.680 I 20 0.523 6.086 507.167 2.536 456.480 459.006 30 0.518 6.026 502.167 2.511 451.980 457.042 10 0.508 5.906 492.167 2.461 442.980 442.980 II 20 0.515 5.990 499.167 2.496 449.280 451.741 30 0.525 6.110 509.167 2.546 458.280 463.237 10 0.514 5.978 498.167 2.491 448.380 448.380 III 20 0.526 6.122 510.167 2.551 459.180 461.671 30 0.520 6.050 504.167 2.521 453.780 458.822
Tabel XXIII. Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Progesic®
Waktu C C0 Q5 Q900 QkumReplikasi (menit)
A (μg/ml) (μg/ml) (mg) (mg) (mg)
10 0.510 5.930 494.167 2.471 444.780 444.780
I 20 0.486 5.642 470.167 2.351 423.180 425.651 30 0.513 5.966 497.167 2.486 447.480 452.302
10 0.437 5.054 421.167 2.106 379.080 379.080II 20 0.483 5.606 467.167 2.336 420.480 422.586 30 0.506 5.882 490.167 2.451 441.180 445.622 10 0.456 5.282 440.167 2.201 396.180 396.180III 20 0.518 6.026 502.167 2.511 451.980 454.181 30 0.507 5.894 491.167 2.456 442.080 446.792
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Lampiran 4. Contoh Cara Perhitungan Data Disolusi Tablet Persamaan kurva baku : Y = 0,08331 X + 0,01598 Pada menit ke-10, diambil sampel sebanyak 5,0 ml. Kemudian dilakukan pengenceran. Ambil 1 ml, masukkan ke labu ukur 25,0 ml, tambahkan larutan dapar hingga tanda. (larutan A). Kemudian dilakukan pengenceran lagi. Ambil 3,0 ml larutan A, masukkan ke labu ukur 10,0 ml, tambahkan larutan dapar hingga tanda. Ukur serapan pada panjang gelombang 243,1 nm. Pada tabung uji disolusi ditambah 5,0 ml larutan dapar. Pada menit ke-20, diambil sampel sebanyak 5 ml. Kemudian dilakukan pengenceran dengan cara yang sama. Pada tabung uji disolusi ditambah 5,0 ml larutan dapar. Pada menit ke-30, diambil sampel sebanyak 5 ml. Kemudian dilakukan pengenceran dengan cara yang sama. Generik Replikasi I Menit ke-10 : Serapan (Y) = 0,433
X = 0,08331
0,01598 - 0,433 = 5,006 μg/ml
Kadar sebelum pengenceran = 5,006 μg/ml x 3
10 x 125 = 417,167 μg/ml.
Dalam 5 ml sampel terdapat parasetamol sebanyak = 417,167 μg/ml x 5 ml = 2,086 mg
Dalam media 900 ml (Q900) terdapat parasetamol sebanyak = 2,086 mg x 5
900
= 375,480 mg
Menit ke-20 : Serapan (Y) = 0,443 Dengan cara yang sama diperoleh Q900 sebesar 384,480 mg Qkum = 384,480 mg + 2,086 mg = 386,566 mg Menit ke-30 : Serapan (Y) = 0,476 Dengan cara yang sama diperoleh Q900 sebesar 414,180 mg Qkum = 414,180 mg + 2,086 mg + 2,136 mg = 418,402 mg
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Lampiran 5. Grafik Uji Disolusi Tablet
PROFIL DISOLUSI TABLET GENERIK
360.000
380.000
400.000
420.000
440.000
0 10 20 30 4
Waktu (menit)
Qku
m (m
g)
0
Replikasi I Replikasi II Replikasi III
A
PROFIL DISOLUSI TABLET PYREXIN®
435.000440.000445.000450.000455.000460.000465.000
0 10 20 30 4
Waktu (menit)
Qku
m (m
g)
0
Replikasi I Replikasi II Replikasi III
B
PROFIL DISOLUSI TABLET PROGESIC®
370.000390.000410.000430.000450.000470.000
0 10 20 30 4
Waktu (menit)
Qku
m (m
g)
0
Replikasi I Replikasi II Replikasi III
C
Gambar 24. Profil Disolusi Tablet Parasetamol (Generik) (A), Tablet Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Lampiran 6. Contoh Perhitungan Faktor Kemiripan Profil Disolusi
Tabel XXIV. Perhitungan Persentase Kumulatif Obat Terlarut Persentase Kumulatif Obat Terlarut (%) Waktu Replikasi Generik Pyrexin® Progesic®
1 75,096 90,936 88,956 2 78,696 88,596 75,816 3 73,656 89,676 79,236 10
SD X ± 75,816 + 2,596 89,736 + 1,171 83,336 + 6,817 1 77,313 91,801 85,130 2 79,313 90,348 84,517 3 81,265 92,334 90,836 20
SD X ± 79,297 + 1,976 91,494 + 1,028 86,828 + 3,486 1 83,680 91,408 90,460 2 82,271 92,647 89,124 3 82,614 91,764 89,359 30
SD X ± 82,855 + 0,735 91,940 + 0,638 89,648 + 0,713 Nilai f2 Pyrexin®
= 50 log ( )
⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
+∑=
=n
T - Rnt
1ttt
1
100
2
= 50 log ( ) ( ) ( )
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
+ −+−+−3
,,,,,,1
100222 940918558249691297797369881675
= 50 log ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
+ ++3
,,,1
10053782816148766193
= 50 log ⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
+ 3,1
100119425
= 50 log ⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
+141,706 1100
= 50 log 8,371 = 46,14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Lampiran 7. Contoh Perhitungan Pembuatan Larutan Obat
Penimbangan tablet :
1. 654,3 mg 2. 645,4 mg 3. 641,2 mg 4. 652,7 mg 5. 661,5 mg
6. 661,0 mg 7. 667,0 mg 8. 648,1 mg 9. 647,0 mg 10. 649,3 mg
11. 654,7 mg 12. 647,9 mg 13. 662,7 mg
Rata-rata = 645,613
8392,8= mg
Akan dibuat larutan dengan konsentrasi 240mg/ml sebanyak 25 ml. Berarti parasetamol yang dibutuhkan = 240mg/ml x 25 ml = 6000 mg Seluruh tablet tersebut digerus halus. Setiap tablet mengandung 500 mg parasetamol, maka serbuk yang setara dengan 6000 mg parasetamol adalah
= 7747,2645,65006000
=× mg
Penimbangan serbuk : Kertas = 0,4406 g Kertas + zat = 8,1914 g Kertas + sisa = 0,4448 g Zat = 7,7466 g = 7746,6 mg
Parasetamol yang ditimbang = 6000mg 7747,2mg 7746,6
× mg = 5999,53 mg
Konsentrasi larutan tersebut = ml25
mg 5999,53 = 239,981 mg/ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Lampiran 8. Tabel Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan dan Perhitungan Dosis Awal untuk Orientasi Dosis
Tabel XXV. Konversi Perhitungan Dosis antar Jenis Hewan Mencit
20 g Tikus 200 g
Marmot 400 g
Kelinci 1,5 kg
Kera 4 kg
Anjing 12 kg
Manusia 70 kg
Mencit 20 g 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9 Tikus 200 g 0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0 Marmot 400 g 0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5 Kelinci 1,5 kg 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2 Kera 4 kg 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1 Anjing 12 kg 0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1 Manusia 70 kg 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,16 0,32 1,0
LD50 pada mencit = 338 mg/kgBB (Anonim, 2001b) Faktor konversi mencit ke kelinci = 27,8 LD50 pada kelinci 1,5 kg = 338 mg/kgBB x 27,8 = 9396,4 mg/1,5 kg = 6264,27 mg/kgBB Dosis awal untuk orientasi dosis = 10% x LD50
= 10010 x 6264,27 mg/kgBB
= 626,427 mg/kgBB ~ 625 mg/kgBB Misal : BB kelinci = 1,9 kg Konsentrasi larutan obat = 109,992 mg/ml
Volume obat yang diberikan ke kelinci = C
BB x D
= mg/ml 109,992
kg 1,9 x mg/kg 625 = 10,80 ml
Dosis kedua = 625 mg/kgBB x 1,2 = 750 mg/kgBB Dosis ketiga = 750 mg/kgBB x 1,2 = 900 mg/kgBB Dosis keempat = 900 mg/kgBB x 1,2 = 1080 mg/kgBB Dosis kelima = 1080 mg/kgBB x 1,2 = 1296 mg/kgBB ~ 1200 mg/kgBB dosis yang digunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Lampiran 9. Operating Time Larutan Parasetamol dalam Plasma dengan Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B)
(A) 100 µg/ml (B) 400 µg/ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Lampiran 10. Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol dalam Plasma dengan Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B)
(A) 100 µg/ml (B) 400 µg/ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 11. Data Kurva Baku Parasetamol Penimbangan parasetamol
Kertas : 0,4259 g Kertas + zat : 0,4766 g Kertas + sisa : 0,4265 g Zat : 0,0501 g = 50,1 mg 1. Pembuatan larutan persediaan parasetamol
Sebanyak 50,1 mg parasetamol dilarutkan dalam 50 ml aquadest sehingga konsentrasi larutan persediaan parasetamol adalah
110
ml 50mg 50,1 = 1,002 mg/ml = 1002 μg/ml
2. Pembuatan seri kadar larutan intermediet parasetamol Pipet x ml larutan persediaan parasetamol, masukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml dan tambahkan aquadest sampai tanda.
Tabel XXVI. Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Pembuatan Kurva Baku
X (ml) C (μg/ml) 1,0 100,2 2,0 200,4 3,0 300,6 4,0 400,8 5,0 501,0 6,0 601,2 7,0 701,4 8,0 801,6
3. Pembuatan seri kadar larutan parasetamol dalam plasma
Sebanyak 0,5 ml plasma ditambah dengan 0,5 ml larutan parasetamol (untuk tiap-tiap seri kadar) sehingga kadar parasetamol dalam plasma menjadi :
Tabel XXVII. Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Plasma
C (μg/ml) Serapan 50,1 0,101
100,2 0,202 150,3 0,344 200,4 0,486 250,5 0,560 300,6 0,669 350,7 0,794 400,8 0,919
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 12. Kurva Baku
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Lampiran 13. Pembuatan Larutan untuk Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak
Penimbangan parasetamol
Kertas : 0,4464 g Kertas + zat : 0,4716 g Kertas + sisa : 0,4463 g Zat : 0,0253 g = 25,3 mg 1. Pembuatan larutan persediaan parasetamol
Sebanyak 25,3 mg parasetamol dilarutkan dalam 25 ml aquadest sehingga konsentrasi larutan persediaan parasetamol adalah
ml 25mg 25,3 = 1,012 mg/ml = 1012 μg/ml
2. Pembuatan larutan intermediet parasetamol
Tabel XXVIII. Konsentrasi Larutan Parasetamol untuk Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak
Pipet (ml) Konsentrasi yang Diharapkan (μg/ml)
Konsentrasi Sesungguhnya (μg/ml)
2,0 200 202,4 8,0 800 809,6
3. Pembuatan larutan parasetamol dalam plasma
Sebanyak 0,5 ml plasma ditambah dengan 0,5 ml larutan intermediet parasetamol sehingga kadar parasetamol dalam plasma menjadi 101,2 μg/ml dan 404,8 μg/ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Lampiran 14. Sertifikat Analisis Parasetamol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Lampiran 15. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik
Tabel XXIX. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 1
Menit ke- C C koreksi Residual Residual
1 0 80.73 - - - 2 5 129.05 48.32 - 181.09 - 197.77 3 10 238.20 157.47 - 60.74 - 74.88 4 15 268.40 187.67 - 19.89 - 31.86 5 20 277.02 196.29 - 1.14 - 11.28 6 25 280.91 200.18 12.39 - 7 35 258.90 178.17 8.27 - 8 45 235.61 154.88 116 - 9 60 218.35 137.62 5.33 -
10 90 168.31 87.58 - - 11 120 162.70 81.97 - - 12 150 142.86 62.13 - - 13 180 113.09 32.36 - - 14 210 111.79 31.06 - -
N(3) : 5 N(2) : 4 Slope : - 0,010 Slope : - 0,033 Intercept : 241,180 Intercept : 19,697 R Value : - 0,952 R Value : - 0,478 Half Life : 69,253 Half Life : 20,902 N(1) : 4 A(1) : B(1) : r(1) : - 0,999 N(2) : 4 A(2) : B(2) : r(2) : - 0,478 N(3) : 5 A(3) : 232,411 B(3) : - 0,010 r(3) : - 0,952 AIC : 91,15 Vd(ss) : 5764,805 SS : 440,726 Total clearance : 53,01814 Lag time : 3,70 Calculated Cmax : 195,82 Tmax : 22,60 Absorption half life : - 3,669 Half life (2) : 20,902 Elimination half life : 69,253 AUC(0-Tn) : %19530,55 AUC(0-inf) : %22633,76 AUC(Tn-inf) is 13,71% of AUC(0-inf) AUMC : %2461030,00 MRT : 108,73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Tabel XXX. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 2
Menit ke- C C koreksi Residual Residual
1 0 81.16 - - - 2 5 154.07 72.91 - 165.19 - 176.42 3 10 225.69 144.53 - 81.88 - 91.37 4 15 257.18 176.02 - 39.27 - 47.30 5 20 267.53 186.37 - 18.36 - 6 25 270.55 189.39 - 5.29 - 7 35 258.04 176.88 0.85 - 8 45 236.90 155.74 - 3.44 - 9 60 220.94 139.78 2.91 -
10 90 194.19 113.03 - - 11 120 159.25 78.09 - - 12 150 124.31 43.15 - - 13 180 119.13 37.97 - - 14 210 116.97 35.81 - -
N(3) : 5 N(2) : 5 Slope : - 0,010 Slope : - 0,034 Intercept : 250,386 Intercept : 13,294 R Value : - 0,945 R Value : - 0,486 Half Life : 68,858 Half Life : 20,598 N(1) : 3 A(1) : B(1) : r(1) : - 1,000 N(2) : 5 A(2) : B(2) : r(2) : - 0,486 N(3) : 5 A(3) : 245,148 B(3) : - 0,010 r(3) : - 0,945 AIC : 88,48 Vd(ss) : 5796,653 SS : 358,876 Total clearance : 51,59153 Lag time : 2,10 Calculated Cmax : 188,26 Tmax : 25,20 Absorption half life : - 5,266 Half life (2) : 20,598 Elimination half life : 68,858 AUC(0-Tn) : %19702,25 AUC(0-inf) : %23259,63 AUC(Tn-inf) is 15,29% of AUC(0-inf) AUMC : %2613375,00 MRT : 112,36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Tabel XXXI. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 3 Menit ke- C C koreksi Residual Residual
1 0 75.56 - - - 2 5 116.97 41.41 - 159.92 - 219.71 3 10 185.57 110.01 - 80.40 - 122.23 4 15 213.61 138.05 - 42.04 - 71.30 5 20 230.43 154.87 - 15.45 - 35.92 6 25 253.30 177.74 16.66 - 7 35 214.47 138.91 - 5.18 - 8 45 208.43 132.87 3.99 - 9 60 170.90 95.34 - -
10 90 157.96 82.40 - - 11 120 142.42 66.86 - - 12 150 114.81 39.25 - - 13 180 102.74 27.18 - - 14 210 95.40 19.84 - -
N(3) : 6 N(2) : 3 Slope : - 0,011 Slope : - 0,071 Intercept : 212,874 Intercept : 85,489 R Value : - 0,986 R Value : - 0,939 Half Life : 62,159 Half Life : 9,698 N(1) : 4 A(1) : B(1) : r(1) : - 0,999 N(2) : 3 A(2) : B(2) : r(2) : - 0,939 N(3) : 6 A(3) : 205,183 B(3) : - 0,011 r(3) : - 0,986 AIC : 101,03 Vd(ss) : 6900,644 SS : 942,266 Total clearance : 69,79244 Lag time : 3,30 Calculated Cmax : 155,15 Tmax : 26,40 Absorption half life : - 5,803 Half life (2) : 9,698 Elimination half life : 62,159 AUC(0-Tn) : %15414,65 AUC(0-inf) : %17193,84 AUC(Tn-inf) is 10,35% of AUC(0-inf) AUMC : %1700020,25 MRT : 98,87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Lampiran 16. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin®
Tabel XXXII. Hasil Pengolahan STRIPE
untuk Tablet Pyrexin® 1 Menit ke- C C koreksi Residual
1 0 86.77 - - 2 5 108.77 22.00 - 198.13 3 10 140.27 53.50 - 153.87 4 15 165.72 78.95 - 116.40 5 20 176.51 89.74 - 94.29 6 25 176.94 90.17 - 83.19 7 35 189.02 102.25 - 51.59 8 45 192.47 105.70 - 30.82 9 60 195.92 109.15 -
10 90 180.82 94.05 - 11 120 138.11 51.34 - 12 150 124.74 37.97 - 13 180 110.50 23.73 - 14 210 108.34 21.57 -
N(2) : 6 Slope : - 0,012 Intercept : 233,676 R Value : - 0,985 Half Life : 58,038 N(1) : 7 A(1) : - 231,171 B(1) : - 0,045 r(1) : - 0,998 N(2) : 6 A(2) : 230,901 B(2) : - 0,012 r(2) : - 0,985 AIC : 91,27 Vd(ss) : 8625,325 SS : 605,205 Total clearance : 80,08437 Lag time : 1,00 Calculated Cmax : 105,21 Tmax : 43,00 Absorption half life : - 15,355 Half life (2) : 58,038 AUC(0-Tn) : %13178,10 AUC(0-inf) : %14984,20 AUC(Tn-inf) is 12,05% of AUC(0-inf) AUMC : %1613842,62 MRT : 107,70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Tabel XXXIII. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 2
Menit ke- C C koreksi Residual
1 0 73.40 - - 2 5 118.70 45.30 - 281.78 3 10 121.72 48.32 - 259.20 4 15 126.46 53.06 - 236.08 5 20 139.40 66.00 - 205.85 6 25 160.11 86.71 - 168.88 7 35 185.13 111.73 - 114.21 8 45 231.29 157.89 - 41.84 9 60 171.76 98.36 - 67.64
10 90 165.72 92.32 - 11 120 150.19 76.79 - 12 150 147.17 73.77 - 13 180 127.76 54.36 - 14 210 90.66 17.26 -
N(2) : 5 Slope : - 0,012 Intercept : 347,879 R Value : - 0,870 Half Life : 56,214 N(1) : 8 A(1) : - 342,077 B(1) : - 0,034 r(1) : - 0,912 N(2) : 5 A(2) : 341,925 B(2) : - 0,012 r(2) : - 0,870 AIC : 116,62 Vd(ss) : 7477,920 SS : 4253,150 Total clearance : 68,64845 Lag time : 1,40 Calculated Cmax : 121,44 Tmax : 49,70 Absorption half life : - 20,548 Half life (2) : 56,214 AUC(0-Tn) : %16080,60 AUC(0-inf) : %17480,37 AUC(Tn-inf) is 8,01% of AUC(0-inf) AUMC : %1904148,00 MRT : 108,93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Tabel XXXIV. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 3
Menit ke- C C koreksi Residual
1 0 74.69 - - 2 5 108.77 34.08 - 255.05 3 10 140.27 65.58 - 206.59 4 15 165.72 91.03 - 165.18 5 20 176.51 101.82 - 139.37 6 25 176.94 102.25 - 124.80 7 35 189.02 114.33 - 86.87 8 45 192.47 117.78 - 60.51 9 60 195.92 121.23 - 27.50
10 90 180.82 106.13 - 11 120 138.11 63.42 - 12 150 129.05 54.36 - 13 180 113.95 39.26 - 14 210 96.70 22.01 -
N(2) : 5 Slope : - 0,012 Intercept : 307,142 R Value : - 0,983 Half Life : 57,350 N(1) : 8 A(1) : - 360,256 B(1) : - 0,039 r(1) : - 0,995 N(2) : 5 A(2) : 305,660 B(2) : - 0,012 r(2) : - 0,983 AIC : 88,43 Vd(ss) : 7354,393 SS : 486,291 Total clearance : 68,43939 Lag time : 0,40 Calculated Cmax : 123,50 Tmax : 46,60 Absorption half life : - 17,967 Half life (2) : 57,350 AUC(0-Tn) : %15712,70 AUC(0-inf) : %17533,76 AUC(Tn-inf) is 10,39% of AUC(0-inf) AUMC : %1884151,25 MRT : 107,46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Lampiran 17. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic®
Tabel XXXV. Hasil Pengolahan STRIPE
untuk Tablet Progesic® 1 Menit ke- C C koreksi Residual
1 0 75.56 - - 2 5 191.17 115.61 - 205.94 3 10 221.37 145.81 - 158.77 4 15 270.98 195.42 - 93.08 5 20 283.93 208.37 - 64.90 6 25 303.34 227.78 - 31.07 7 35 286.08 210.52 - 21.72 8 45 274.00 198.44 - 9 60 256.75 181.19 -
10 90 201.96 126.40 - 11 120 182.55 106.99 - 12 150 132.93 57.37 - 13 180 126.89 51.33 - 14 210 109.64 34.08 -
N(2) : 7 Slope : - 0,011 Intercept : 339,469 R Value : - 0,990 Half Life : 63,911 N(1) : 6 A(1) : - 315,110 B(1) : - 0,081 r(1) : - 0,984 N(2) : 7 A(2) : 339,469 B(2) : - 0,011 r(2) : - 0,990 AIC : 95,66 Vd(ss) : 4559,931 SS : 848,137 Total clearance : 43,91736 There is no lag time Calculated Cmax : 217,88 Tmax : 29,40 Absorption half life : - 8,566 Half life (2) : 63,911 AUC(0-Tn) : %24181,75 AUC(0-inf) : %27324,05 AUC(Tn-inf) is 11,50% of AUC(0-inf) AUMC : %2837051,00 MRT : 103,83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Tabel XXXVI. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 2
Menit ke- C C koreksi Residual
1 0 72.54 - - 2 5 248.98 176.44 - 331.88 3 10 283.93 211.39 - 269.54 4 15 303.77 231.23 - 223.78 5 20 312.83 240.29 - 190.19 6 25 321.89 249.35 - 157.93 7 35 316.28 243.74 - 120.82 8 45 311.97 239.43 - 86.90 9 60 299.03 226.49 -
10 90 263.65 191.11 - 11 120 242.94 170.40 - 12 150 198.08 125.54 - 13 180 160.11 87.57 - 14 210 110.07 37.53 -
N(2) : 6 Slope : - 0,011 Intercept : 537,281 R Value : - 0,939 Half Life : 62,555 N(1) : 7 A(1) : - 374,341 B(1) : - 0,033 r(1) : - 0,998 N(2) : 6 A(2) : 537,281 B(2) : - 0,011 r(2) : - 0,939 AIC : 111,43 Vd(ss) : 3365,325 SS : 2853,673 Total clearance : 32,05073 There is no lag time Calculated Cmax : 246,21 Tmax : 35,70 Absorption half life : - 21,088 Half life (2) : 62,555 AUC(0-Tn) : %34053,63 AUC(0-inf) : %37440,65 AUC(Tn-inf) is 9,05% of AUC(0-inf) AUMC : %3931267,00 MRT : 105,00
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Tabel XXXVII. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 3
Menit ke- C C koreksi Residual
1 0 75.99 - - 2 5 249.84 173.85 - 341.17 3 10 285.22 209.23 - 277.36 4 15 305.06 229.07 - 230.65 5 20 313.69 237.70 - 196.64 6 25 322.75 246.76 - 163.61 7 35 317.58 241.59 - 124.72 8 45 313.26 237.27 - 89.71 9 60 300.32 224.33 -
10 90 264.94 188.95 - 11 120 243.81 167.82 - 12 150 199.37 123.38 - 13 180 161.41 85.42 - 14 210 111.36 35.37 -
N(2) : 6 Slope : - 0,011 Intercept : 545,112 R Value : - 0,937 Half Life : 61,029 N(1) : 7 A(1) : - 385,298 B(1) : - 0,033 r(1) : - 0,998 N(2) : 6 A(2) : 545,112 B(2) : - 0,011 r(2) : - 0,937 AIC : 111,80 Vd(ss) : 3378,412 SS : 2935,272 Total clearance : 32,69188 There is no lag time Calculated Cmax : 244,02 Tmax : 35,70 Absorption half life : - 21,157 Half life (2) : 61,029 AUC(0-Tn) : %33592,18 AUC(0-inf) : %36706,36 AUC(Tn-inf) is 8,48% of AUC(0-inf) AUMC : %3793171,00 MRT : 103,34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Lampiran 18. Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs. Waktu (t)
GENERIK
0306090
120150180210240270300
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Waktu (menit)
Cp
(μg/
ml)
Generik 1 Generik 2 Generik 3
A
PYREXIN®
0306090
120150180210240270300
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Waktu (menit)
Cp
(μg/
ml)
P yrexin 1 P yrexin 2 P yrexin 3
B
PROGESIC®
0306090
120150180210240270300
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Waktu (menit)
Cp
(μg/
ml)
P ro gesic 1 P ro gesic 2 P ro gesic 3
C
Gambar 25. Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs Waktu (t) pada Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Lampiran 19. Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs. Waktu (t)
GENERIK
0
5
10
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Waktu (menit)
ln C
p (μ
g/m
l)
Generik 1 Generik 2 Generik 3
A
PYREXIN®
0
5
10
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Waktu (menit)
ln C
p (μ
g/m
l)
Pyrexin 1 Pyrexin 2 Pyrexin 3
B
PROGESIC®
0
5
10
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Waktu (menit)
ln C
p (μ
g/m
l)
Progesic 1 Progesic 2 Progesic 3
C
Gambar 26. Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs Waktu (t) pada
Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Lampiran 20. Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika
Tabel. XXXVIII. Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika SD X ± Parameter
Farmakokinetika Generik Pyrexin® Progesic®
AUC(0-inf) (μg.menit/ml)
21029,077 + 3336,122
16666,110 + 1456,821
33823,687 + 5640,811
AUC(0-Tn) (μg.menit/ml)
18215,817 + 2427,400
14990,467 + 1580,298
30609,187 + 5571,103
Cmax (μg/ml) 179,743 + 21,631 116,717 + 10,018 236,037 + 15,762 tmax (menit) 24,733 + 1,943 46,433 + 3,353 33,600 + 3,637 ka (menit-1) 0,147 + 0,037 0,039 + 0,006 0,049 + 0,028
Vd (ml) 6154,034 + 646,779 7819,213 + 700,841 3767,8893 + 685,959 Cl (ml/menit) 58,134 + 10,122 72,391 + 6,664 36,220 + 6,674 kel (menit-1) 0,010 + 0,00006 0,012 + 0 0,011 + 0
t½ eliminasi (menit) 66,757 + 3,987 57,201 + 0,921 62,498 + 1,442
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Lampiran 21. Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas untuk Penentuan Bioekivalensi
Tabel XXXIX. Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas Parameter Replikasi Generik Pyrexin® Progesic®
I 22633,76 14984,20 27324,05II 23259,63 17480,37 37440,65III 17193,84 17533,76 36706,36AUC(0-inf)
(μg.menit/ml)
Rata-rata geometrik 20840,628 16622,120 33487,027
I 195,82 105,21 217,88II 188,26 121,44 246,21III 155,15 123,50 244,02Cmax (μg/ml)
Rata-rata geometrik 178,836 116,420 235,676
I 22,60 43,00 29,40II 25,20 49,70 35,70III 26,40 46,60 35,70tmax (menit)
Rata-rata geometrik 24,681 46,352 33,463
Contoh cara perhitungan rata-rata geometrik : Rata-rata geometrik AUC(0-inf) tablet parasetamol generik
= 3 841719363232597622633 ,,, ××
= 3 12100529 ., = 20840,628
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Lampiran 22. Analisis Statistik (SPSS 14.0) Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
generik 3progesic 3pyrexin 3
1,002,003,00
obatValue Label N
Descriptive Statistics
Dependent Variable: AUC_0_inf
9,944660 ,1671401 310,418913 ,1764198 39,718490 ,0898527 3
10,027354 ,3355834 9
obatgenerikprogesicpyrexinTotal
Mean Std. Deviation N
Levene's Test of Equality of Error Variances a
Dependent Variable: AUC_0_inf
1,547 2 6 ,287F df1 df2 Sig.
Tests the null hypothesis that the error variance ofthe dependent variable is equal across groups.
Design: Intercept+obata.
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: AUC_0_inf
,767a 2 ,383 17,130 ,003904,930 1 904,930 40438,839 ,000
,767 2 ,383 17,130 ,003,134 6 ,022
905,831 9,901 8
SourceCorrected ModelInterceptobatErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = ,851 (Adjusted R Squared = ,801)a.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Estimated Marginal Means
obat
Dependent Variable: AUC_0_inf
9,945 ,086 9,777 10,11210,419 ,086 10,251 10,587
9,718 ,086 9,551 9,886
obatgenerikprogesicpyrexin
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound90% Confidence Interval
Post Hoc Tests obat
Multiple Comparisons
Dependent Variable: AUC_0_infTukey HSD
-,474254* ,1221413 ,019 -,781580 -,166928,226170 ,1221413 ,232 -,081156 ,533496,474254* ,1221413 ,019 ,166928 ,781580,700424* ,1221413 ,003 ,393098 1,007750
-,226170 ,1221413 ,232 -,533496 ,081156-,700424* ,1221413 ,003 -1,007750 -,393098
(J) obatprogesicpyrexingenerikpyrexingenerikprogesic
(I) obatgenerik
progesic
pyrexin
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound90% Confidence Interval
Based on observed means.The mean difference is significant at the ,1 level.*.
Homogeneous Subsets
AUC_0_inf
Tukey HSDa,b
3 9,7184903 9,9446603 10,418913
,232 1,000
obatpyrexingenerikprogesicSig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = ,022.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.a.
Alpha = ,1.b.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
generik 3progesic 3pyrexin 3
1,002,003,00
obatValue Label N
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Cmax
5,186471 ,1246083 35,462460 ,0681429 34,757207 ,0880860 35,135379 ,3189199 9
obatgenerikprogesicpyrexinTotal
Mean Std. Deviation N
Levene's Test of Equality of Error Variances a
Dependent Variable: Cmax
1,176 2 6 ,371F df1 df2 Sig.
Tests the null hypothesis that the error variance ofthe dependent variable is equal across groups.
Design: Intercept+obata.
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Cmax
,758a 2 ,379 40,699 ,000237,349 1 237,349 25494,149 ,000
,758 2 ,379 40,699 ,000,056 6 ,009
238,163 9,814 8
SourceCorrected ModelInterceptobatErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = ,931 (Adjusted R Squared = ,908)a.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
Estimated Marginal Means obat
Dependent Variable: Cmax
5,186 ,056 5,078 5,2955,462 ,056 5,354 5,5714,757 ,056 4,649 4,865
obatgenerikprogesicpyrexin
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound90% Confidence Interval
Post Hoc Tests obat
Multiple Comparisons
Dependent Variable: CmaxTukey HSD
-,275989* ,0787822 ,030 -,474217 -,077761,429264* ,0787822 ,004 ,231037 ,627492,275989* ,0787822 ,030 ,077761 ,474217,705253* ,0787822 ,000 ,507026 ,903481
-,429264* ,0787822 ,004 -,627492 -,231037-,705253* ,0787822 ,000 -,903481 -,507026
(J) obatprogesicpyrexingenerikpyrexingenerikprogesic
(I) obatgenerik
progesic
pyrexin
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound90% Confidence Interval
Based on observed means.The mean difference is significant at the ,1 level.*.
Homogeneous Subsets
Cmax
Tukey HSDa,b
3 4,7572073 5,1864713 5,462460
1,000 1,000 1,000
obatpyrexingenerikprogesicSig.
N 1 2 3Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = ,009.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.a.
Alpha = ,1.b.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
generik 3progesic 3pyrexin 3
1,002,003,00
obatValue Label N
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Tmax
24,7333 1,94251 333,6000 3,63731 346,4333 3,35311 334,9222 9,81514 9
obatgenerikprogesicpyrexinTotal
Mean Std. Deviation N
Levene's Test of Equality of Error Variances a
Dependent Variable: Tmax
,780 2 6 ,500F df1 df2 Sig.
Tests the null hypothesis that the error variance ofthe dependent variable is equal across groups.
Design: Intercept+obata.
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Tmax
714,202a 2 357,101 37,927 ,00010976,054 1 10976,054 1165,736 ,000
714,202 2 357,101 37,927 ,00056,493 6 9,416
11746,750 9770,696 8
SourceCorrected ModelInterceptobatErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = ,927 (Adjusted R Squared = ,902)a.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Estimated Marginal Means
obat
Dependent Variable: Tmax
24,733 1,772 21,291 28,17633,600 1,772 30,157 37,04346,433 1,772 42,991 49,876
obatgenerikprogesicpyrexin
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound90% Confidence Interval
Post Hoc Tests obat
Multiple Comparisons
Dependent Variable: TmaxTukey HSD
-8,8667* 2,50540 ,028 -15,1706 -2,5627-21,7000* 2,50540 ,000 -28,0040 -15,3960
8,8667* 2,50540 ,028 2,5627 15,1706-12,8333* 2,50540 ,005 -19,1373 -6,529421,7000* 2,50540 ,000 15,3960 28,004012,8333* 2,50540 ,005 6,5294 19,1373
(J) obatprogesicpyrexingenerikpyrexingenerikprogesic
(I) obatgenerik
progesic
pyrexin
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound90% Confidence Interval
Based on observed means.The mean difference is significant at the ,1 level.*.
Homogeneous Subsets
Tmax
Tukey HSDa,b
3 24,73333 33,60003 46,4333
1,000 1,000 1,000
obatgenerikprogesicpyrexinSig.
N 1 2 3Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 9,416.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.a.
Alpha = ,1.b.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BIOGRAFI PENULIS
Penulis yang memiliki nama lengkap Clara Jeviana Sri Widyarini adalah putri kedua dari pasangan Drs. Johanes Stefanus Sriyanto dan Maria Magdalena Sri Astuti yang lahir di Purwokerto pada tanggal 16 Januari 1986. Pendidikan formal ditempuh di beberapa kota karena penulis sering mengikuti orang tua berpindah tugas ke luar kota, yaitu TK Bhayangkari Kebumen, TK Santa Maria Magelang, SD Santa Maria Magelang, SD Tarakanita I Jakarta, SD Baleharjo II Pacitan, SLTP Negeri I Pacitan, SLTP Santo Yosef Surabaya dan SLTP Santo Fransiskus Tanjung Karang Bandar Lampung. Setelah tamat SLTP, penulis melanjutkan pendidikan di sekolah berasrama SMU Pangudi Luhur Van Lith Muntilan angkatan 10.
Kemudian penulis tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta angkatan 2003. Selama kuliah, penulis pernah menjadi asisten dosen pada praktikum Kimia Organik. Selain itu, penulis juga menjadi salah satu anggota kelompok yang ikut serta pada Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) DIKTI tahun 2007.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
top related