ppn & ppnbm
Post on 02-Aug-2015
128 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1. Fasilitas Khusus Di Bidang PPN/PPnBM : Tidak
Dipungut, Dibebaskan
Fasilitas di bidang PPN dan PPnBM adalah PPN dan PPnBM yang
terutang dibebaskan atau tidak dipungut, baik sebagian atau
seluruhnya, sementara waktu atau selamanya.
Fasilitas PPN dan PPn BM terutang tidak dipungut atau
dibebaskan, diberikan terhadap :
a. Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di
dalam Daerah Pabean, seperti Kawasan Berikat, KAPET.
b. Penyerahan BKP/JKP Tertentu.
c. Impor BKP Tertentu.
d. Pemanfaatan BKP tdk berwujud tertentu dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
e. Pemanfaatan JKP tertentu dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
2. PPN dan PPnBM Atas Penyerahan Kepada
Pemungut Pajak
A. Pemungut PPN
Berdasarkan Pasal 16A UU PPN Jo Kep Pres Nomor 56 tahun
1988, Pemungut PPN adalah :
1. Instansi Pemerintah :
a. Kantor Perbendaharaan Negara
b. Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
2. Badan-badan tertentu :
a. Pertamina
b. Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di
bidang Pertambangan
c. Badan Usaha Milik Negara dan Daerah
d. Bank Pemerintah dan Bank Pembangunan Daerah
Berdasarkan Kepeutusan Menteri Keuangan Nomor
563/KMK.03/2003 mulai 1 Januari 2004 pemungut Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM adalah Bendaharawan
pemerintah dan kantor perbendaharaan dan kas negara.
B. Obyek Pemungutan Di Bidang PPN
Obyek pemungutan di bidang ppn
1. Setiap pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut PPN,
kecuali :
a. Pembayaran yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 500.000
termasuk PPN/PPnBM dan tidak merupakan jumlah yang
terpecah-pecah
b. Pembayaran untuk pembebasan tanah
c. Pembayaran atas penyerahan BKP yang PPNnya
ditanggung oleh Pemerintah
d. Pembayaran BBM dan Non BBM yang penyerahannya
dilakukan oleh Pertamina
e. Pembayaran atas jasa telekomunikasi yang diserahkan
oleh PT Telkom
f. Pembayaran atas Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri
g. Pembayaran kepada perseorangan yang mnyewakan
ruangan atau rumah tinggal yang nilai sewa seluruhnya tidak
melebihi Rp 30.000.000 setahun
h. Pembayaran untuk penyerahan bukan BKP dan bukan JKP
i. Pembayaran untuk penyerahan JKP yang dilakukan oleh
Instansi Pemerintah yang menjalankan fungsi Pemerintah
j. Pembayaran atas penyerahan JKP yang dilakukan oleh
Instansi Pemerintah kepada Instansi Pemerintah lainnya
sepanjang dananya berasal dari APBN/D dan Instansi
Pemerintah yang menerima pembayaran memasukkannya
kedalam Mata Anggaran penerimaan instansi tersebut
k. Pembayaran kepada Rekanan non PKP atau non NPWP
yang tidak didasarkan atas kontrak.
2. Pembayaran kepada Rekanan non PKP atau non NPWP yang
menyerahkan BKP atau JKP berdasarkan kontrak /purchase
order.
B. Obyek Pemungutan Di Bidang PPnBM
Dalam hal Pemungut PPN melakukan pembayaran kepada
Rekanan non Pabrikan atas penyerahan BKP yang Tergolong
Mewah, maka tidak perlu memungut PPnBM karena atas
penyerahan ini hanya terutang PPN, tidak terutang PPnBM.
C. Mekanisme Pemungutan
1. Saat pajak terutang adalah pada saat pembayaran.
Dalam pasal 30 PP nomor 50/ 1994 ditetapkan bahwa pajak
yang terutang dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut
PPN
2. Pada saat PKP Rekanan memasukkan tagihan diwajibkan
membuat :
a. Faktur Pajak yang sudah diisi lengkap
b. SSP yang hanya diisi Identitas PKP Rekanan dan Jumlah
PPN terutang, sedangkan kolom Masa Pajak dan tanggal
pembuatan serta tanda tangan dikosongi
3. Faktur Pajak dibuat rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan :
Lembar ke-1 : untuk Pemungut PPN
Lembar ke-2 : untuk PKP yang bersangkutan
Lembar ke-3 : untuk kepala KPP melalui Pemungut PPN
4. SSP dibuat rangkap 5 (lima) dengan peruntukan :
Lembar ke-1 : untuk PKP Rekanan
Lembar ke-2 : untuk KPP melalui KPKN
Lembar ke-3 : untuk PKP Rekanan guna dilampirkan pada SPT
Masa PPN
Lembar ke-4 : untuk Bank Persepsi / Kantor Pos dan Giro
Lembar ke-5 : untuk Pemungut PPN
5. Dalam hal Bank Pemerintah atau Bank Pembangunan
Daerah bertindak sebagai Kasir dari Bendaharawan
Pemerintah, maka Faktur Pajak dan SSP yang diteruskan ke
Bank yang bersangkutan melalui Bendaharawan. Yang
diwajibkan memungut dan melapor adalah Bank yang
bersangkutan
6. Saat Pelaporan
a. Bagi Bendaharawan / KPKN selaku Pemungut PPN, pajak
yang telah dipungut dan telah disetor ke Kas Negara melalui
Bank Persepsi selambat-lambatnya tanggal 7 bulan berikutnya
dan dilaporkan ke KPP selambat-lambatnya tanggal 14 pada
bulan yang sama dengan bulan setoran
b. Bagi badan-badan tertentu selaku Pemungut PPN, pajak
yang telah dipungut dan telah disetor ke Kas Negara selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya, wajib dilaporkan
kepada KPP selambat-lambatnya tanggal 20 pada bulan yang
sama dengan bulan dilakukan setoran
c. Atas pembayaran yang tidak wajib dipungut PPN/PPnBM,
tetap dilaporkan dengan cara mencantumkan sebagai catatan
pada halaman yang kosong yang terdapat pada formulir
Laporan Pemungutan PPN/PPnBM
d. Bagi PKP Rekanan, jumlah pembayaran yang telah
diterima dari Pemungut PPN dilaporkan dalam SPT Masa PPN
pada masa pajak diterima pembayaran, apabila pembayaran
diterima dari KPKN, dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada
masa pajak sesuai dengan tanggal mesin kas register.
E. Pengawasan Dan Sanksi
Pengawasan dan Sanksi yang dapat diterapkan terhadap
Pemungut PPN dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan pasal 6 dan pasal 9 Keputusan Menteri
Keuangan nomor 1287/KMK.04/1988. Bagi Bendarawan selaku
Pemungut PPN yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan
baik dapat dikenakan sanksi melalui :
a. Pengawasan yang dilakukan oleh KPKN dengan cara tidak
menyetujui permintaan pembayaran berikutnya yang diajukan
oleh Bendaharawan
b. Pengawasan dilakukan juga oleh Kepala KPP dengan cara
mengirim Surat Tegoran kepada Bendaharawan yang belum
menyampaikan laporan tentang pemungutan dan penyetoran
PPn/PPnBM yang telah dilakukan. Surat Tegoran ini
ditembuskan kepada Kepala KPKN yang bersangkutan
2. Berdasarkan Surat Edaran Seri PPN-133 diberikan
penegasan lebih lanjut bahwa bagi KPKN dan Bendaharawan
yang tidak melaksanakan kewajibannya, dapat dikenakan
sanksi di bidang Kepegawaian atau bahkan apabila memenuhi
unsur pidana dapat dikenakan sanksi pidana.
F. Ketentuan Khusus
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 238/
KMK.04/1996, dilakukan penunjukan perusahaan operator
telepon seluler sebagai Pemungut PPN atas Impor dan/atau
penyerahan pesawat telepon.
Sebagai petunjuk pelaksanaannya adalah Surat Edaran DirJen
Pajak nomor SE- 15/PJ.531/1996 yang menegaskan bahwa
Perusahaan Operator Telepon Seluler juga berkedudukan
sebagai PKP yang wajib memungut, menyetor dan melaporkan
PPN yang terutang atas penyerahan jasa pengaktifan dan
pulsa atas telepon seluler.
Kewajiban Perusahaan Operator Telepon Seluler sebagai PKP
adalah sebagai berikut :
1. Besarnya PPN yang harus dipungut atas telepon seluler
yang akan diaktifkan adalah :
a. Dalam hal merk ponsel tersebut terdaftar dan operator
adalah ATPM/Dealer dari ponsel tersebut, maka PPN yang
harus dipungut sebesar 10 % dari harga ponsel ditambah biaya
pengaktifan.
b. Dalam hal ponsel tersebut terdaftar dan operatornya
bukan dealer dari ATPM dan ponsel tersebut didukung dengan
Faktur Pajak dari ATPM/Dealer, maka besarnya PPN yang
dipungut sebesar 10 % dari biaya pengaktifan
c. Dalam hal ponsel tersebut merknya terdaftar dan
operatornya bukan dealer dari ATPM dan ponsel tersebut tidak
didukung oleh Faktur Pajak, maka besarnya PPN yang harus
dipungut adalah adalah 10 % dari (Rp 4.000.000 + biaya
pengaktifan)
d. Dalam hal ponsel tersebut merknya terdaftar dan
operatornya bukan dealer dari ATPM dan ponssel didukung
Faktur Pajak yang bukan dari ATM/dealer, maka besarnya PPN
yang harus dipungut adalah 10 % dari (Rp 4.000.000 – DPP
yang tercantum dalam Faktur Pajak + biaya pengaktifan)
e. Dalam hal ponsel tersebut merknya tidak terdaftar dan
ponsel tersebut didukung dengan Faktur Pajak, besarnya PPN
yang dapat dipungut adalah 10 % dari (Rp 4.000.000 – DPP
yang tercantum dalam Faktur Pajak + biaya pengaktifan)
f. Dalam hal ponsel tersebut merknya tidak terdaftar dan
tidak didukung dengan Faktur Pajak , besarnya PPN yang harus
dipungut adalah 10 % dari Rp 4.000.000 + biaya pengaktifan
2. PPN wajib dipungut pada saat pengaktifan ponsel oleh
operator
3. Pelaporan menggunakan SPT Masa PPN 1195
4. Saat penyetoran dan pelaporan mengikuti mekanisme
yang sudah ada.
3. Ketentuan Atas Transaksi/Industri Khusus:
a. Pajak Properti ( Apartemen, Real Estate, Dan
Konstruksi)
Pajak Properti terdiri dari membeli property baik secara
perorangan maupun melalui developer/ pengembang property,
ada pajak-pajak yang dikenakan pemerintah kepada anda.
Biasanya pajak telah dimasukkan kedalam harga jual jika anda
membeli property melalui developer/pengembang property.
Besarnya pajak sangat tergantung jenis, luas, dan lokasi
property.
Berdasarkan UU No. 8 /1983 STDD No 42/2009
PPN atas property hanya dikenakan satu kali saat membeli
property baru, baik dari developer maupun perorangan.
Besarnya pajak 10 persen dari nilai transaksi. Properti yang
dipungut PPN nilainya diatas 36 juta. Jika membeli property
dari developer, untuk pembayaran dan pelaporan biasanya
dilakukan melalui developer. Tapi jika membeli dari
perorangan, pembayaran dilakukan sendiri setelah transaksi,
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya dan
dilaporkan ke kantor pajak setempat selambat-lambatnya
tanggal 20 bulan berikutnya.
b. Pedagang Perhiasan (Emas)
Pengertian
· Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha di bidang penyerahan emas
perhiasan, berdasarkan pesanan maupun penjualan langsung,
baik produksi sendiri maupun pihak lain; yang memiliki
karakteristik pedagang eceran.
· Emas Perhiasan adalah perhiasan dalam bentuk apapun
yang bahannya sebagian atau seluruhnya dari emas dan atau
logam mulia lainnya, termasuk yang dilengkapi dengan batu
permata dan atau bahan lain yang melekat atau terkandung
dalam emas perhiasan tersebut;
· Harga Jual Emas Perhiasan adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan karena penyerahan
emas perhiasan, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
· Kegiatan yang dilakukan oleh Pengusaha Toko Emas
Perhiasan meliputi;
a. membuat dan atau menjual emas perhiasan;
b. membuat emas perhiasan berdasarkan pesanan;
c. menyuruh orang lain untuk membuat emas perhiasan yang
akan dijual;
d. jual beli emas perhiasan;
e. jual beli emas perhiasan dengan batu permata;
f. memperbaiki dan memodifikasi emas perhiasan;
g. jasa-jasa lain yang berkaitan dengan emas perhiasan.
Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Penyerahan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Toko Emas
Perhiasan terutang PPN sebesar 10% dari harga jual emas
perhiasan. Yang Perlu Dilakukan Oleh Pengusaha Toko Emas
Perhiasan
· Pengusaha Toko Emas Perhiasan wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
· Pengusaha Toko Emas Perhiasan yang melakukan
penyerahan emas perhiasan wajib membuat Faktur Pajak,
memungut, dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang, serta melaporkannya pada Surat Pemberitahuan
Masa PPN.
Penghitungan PPN yang Terutang
Penghitungan PPN yang terutang dilakukan dengan 2 (dua)
cara, yaitu:
· Menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan PPN
dengan cara sebagai berikut:
a. PPN yang terutang atas penyerahan emas perhiasan oleh
Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah 10% X Harga Jual
Emas Perhiasan;
b. Jumlah PPN yang harus dibayar oleh Pengusaha Toko Emas
adalah 10% X 20% X Jumlah seluruh penyerahan emas
perhiasan.
· Pajak Masukan berkenaan dengan penyerahan Emas
Perhiasan yang dilakukan oleh Pengusaha Toko Emas
Perhiasan yang menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar
Pengenaan Pajak tidak dapat dikreditkan;
· Pengusaha Toko Emas Perhiasan yang memiliki lebih dari
satu tempat penjualan; dan salah satu tempat penjualan
tersebut menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan
Pajak (DPP), maka semua tempat penjualan yang lain wajib
menggunakan Nilai Lain sebagai DPP; dan penyerahan emas
perhiasan antar tempat penjualan tidak terutang PPN.
Menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan (PM)
dan Pajak Keluaran (PK).
· Untuk menghitung PPN yang terutang wajib menggunakan
mekanisme pengkreditan PM terhadap PK sesuai dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. - Wajib
memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
di tempat PKP dikukuhkan.
Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN)
· Pengusaha Toko Emas Perhiasan yang menggunakan
mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran,
wajib menggunakan formulir SPT Masa PPN beserta lampiran-
lampirannya dan harus memberitahukan ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Toko Emas Perhiasan dikukuhkan.
· Pengusaha Toko Emas Perhiasan yang memilih
menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
diwajibkan mengisi SPT Masa PPN Pedagang Eceran dan tidak
diperkenankan menggunakan Pedoman Penghitungan
Pengkreditan Pajak Masukan.
c. Transaksi Syariah
Untuk memberikan kepastian kegiatan usaha bank yang
terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dirjen Pajak telah memberikan penegasan melalui Surat
Edaran (SE) Nomor 121/PJ/2010 tanggal 23 November 2010.
Perlakuan PPN lerhadap kegiatan usaha bank umum dapat
dibedakan menjadi sebagai berikut:
· kegiatan usaha bank umum yang merupakan
penyerahan jasa keuangan yang tidak terulang PPN, yang
karakteristiknya sebagai berikut:
a. jasa keuangan yang diserahkan berupa jasa pembiayaan
yang mendapatkan imbalan berupa bunga, atau
b. jasa keuangan yang diserahkan secara langsung oleh bank
kepada nasabah, dalam hal jasa keuangan tersebut bukan jasa
pembiayaan; dan
· kegialan usaha bank umum yang merupakan
penyerahan jasa yang terutang PPN.
Berikut ini disampaikan Kegiatan usaha Bank Umum yang
merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN meliputi:
1. memindahkan uang untuk kepentingan bukan nasabah;
2. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada
nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak
tercatat di bursa efek;
3. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga
dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
4. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat
berharga;
5. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak
lain berdasarkan suatu kontrak;
6. membeli, menjual atau menjamin untuk kepentingan dan
atas perintah nasabahnya:
o surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh
bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada
kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
o surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang
masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam
perdagangan surat-surat dimaksud;
o kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan
pemerintah;
o Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
o obligasi;
o surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu)
tahun;
o instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun.
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank
sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perbankan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di samping usaha di atas, bank umum juga dapat melakukan
kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya
berupa membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui
pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan
penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan kuasa untuk menjual di luar Ielang dari pemilik
agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi
kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang
dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. Dalam hal ini,
penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut,
merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN.
Bank yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak yang
terutang PPN, kecuali pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang
terutang dan wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap
penyerahan Jasa Kena Pajak.
Dalam hal Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah
melakukan kegiatan usaha yang sama, perlakuan PPN atas
kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah
tersebut adalah sama dengan perlakuan PPN atas kegiatan
usaha Bank Umum.
Perbedaan perlakuan antara transaksi konvensional dan
transaksi berbasis syariah juga disebutkan di penjelasan
Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut Pasal 31D khusus
bidang usaha berbasis syariah yaitu Peraturan Pemerintah No.
25 Tahun 2009. Penjelasan dari Peraturan Pemerintah ini
diantaranya menyebutkan:
Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah
dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional tersebut
akan mengakibatkan beberapa implikasi. Perbedaan tersebut
menyebabkan perlakuan perpajakan yang berbeda dalam
suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan
sistem konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda
tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi
para pihak yang terlibat untuk menentukan pilihan apakah
menggunakan transaksi berdasarkan prinsip syariah atau
berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait
dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan
Pajak Penghasilan yang berlaku umum diterapkan atas
transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha tersebut.
Berikut ini adalah kutipan dari PP ini di anggap perlu :
Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian
syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis
syariah lainnya.
Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan
pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis
Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa ketentuan
perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan
Usaha Berbasis Syariah.
Pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli
sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara
dana yang diberikan dengan total dana yang harus
dikembalikan oleh penerima dana. Karena terkait dengan
pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli. Maka
terhadap margin tersebut diperlakukan sebagai penghasilan
yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan.
Jika peraturan perpajakan merupakan satu kesatuan, tidak
dilihat secara parsial, maka Pertaturan Pemerintah ini
menegaskan bahwa pembiayaan bukan jual beli sehingga atas
transaksi pembiyaan murabahah tidak terutang PPN [bukan
objek PPN]. Disini, bank tidak ditempatkan sebagai penjual
atau pembeli, tapi dianggap sebagai lembaga keuangan.
d. Pedagang Eceran (Retail)
Pengertian Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran (PKP PE)
terdiri dari:
· Pedagang Eceran yang menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto adalah Pengusaha Orang
Pribadi dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan
bruto selama 1 (satu) tahun buku tidak lebih dari Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah); dan
· Pedagang Eceran Selain Yang Menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto adalah Pengusaha Orang
Pribadi dan atau Badan yang menyelenggarakan pembukuan,
Kegiatan usaha atau pekerjaan utama yang dilakukan oleh
Pedagang Eceran yaitu dengan cara:
a. Menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) melalui suatu
tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara
penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir,
atau dengan cara penjualan dari rumah ke rumah;
b. Menyediakan BKP yang diserahkan di tempat penjualan
secara eceran tersebut; dan
c. Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa
didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan
tertulis,kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai,
dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan
tersebut langsung membawa sendiri BKP yang dibelinya.
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran
Pedagang Eceran yang telah memenuhi kriteria tersebut, wajib
melaporkan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
setempat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan
dilampauinyabatas nilai peredaran BKP. Batas nilai peredaran
bruto yaitu Jumlah peredaran BKP telah melebihi Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta) setahun. Dalam hal
pengusaha tersebut tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP, maka KPP yang bersangkutan dapat
menerbitkan keputusan pengukuhan secara jabatan.
Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai
1. Pedagang Eceran yang menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto; dapat menggunakan Pedoman
Pengkreditan Pajak Masukan untuk menghitung besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dengan cara sebagai
berikut:
· Pajak Keluaran (PK) = Nilai Peredaran Bruto dan atau
Penerimaan Bruto yang terutang PPN pada masa pajak yang
bersangkutan (tidak termasuk PPN) x Tarif PPN 10%.
· Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan adalah: Untuk
penyerahan BKP oleh Pedagang Eceran dengan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto adalah 80% x Pajak Keluaran.
Contoh:
Nilai Peredaran Bruto BKP masa Juli 2002 (tidak termasuk PPN)
= Rp 40.000.000,-
Catatan:
PKP wajib membuat catatan nilai peredaran bruto dan atau
penerimaan bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak.
2. PKP Pedagang Eceran selain yang menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto wajib menggunakan
mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang PK 10% x Rp
40.000.000, Rp. 4.000.000, PM yang dapat dikreditkan
80%xRp 4.000.000, Rp. 3.200.000, PPN yang terhutang Rp.
800.000,dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. PPN yang terutang =
Harga jual atas penyerahan barang dagangan x Tarif PPN 10%
Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT MASA PPN)
PKP Pedagang Eceran yang menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan selain yang menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Netto yang melakukan
penyerahan BKP :
a. Wajib mengisi SPT Masa PPN beserta lampirannya
(formulir 1107) dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) tempat PKP PE dikukuhkan; dan
b. Wajib membuat Faktur Pajak, memungut dan menyetor
pajak yang terutang serta melaporkannya pada SPT Masa PPN.
o Slip Cash Register atau Segi Cash Register yang dibuat
dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana.
o Apabila harga jual BKP sudah termasuk PPN, Slip Cash
Register atau Segi Cash Register wajib diberi keterangan
“untuk BKP harga sudah termasuk PPN”.
o Pencantuman alamat Pedagang Eceran pada Slip Cash
Register atau Segi Cash Register dapat disingkat.
e. Leasing
Dirjen Pajak telah mengeluarkan penegasan baru mengenai
perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi sewa guna
usaha (leasing) dengan hak opsi dan transaksi penjualan dan
penyewagunausahaan kembali (sale and leaseback), sebagai
penegasan dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1169/KMK.01/1991 dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor
SE-129 /PJ/2010 sebagai pengganti dari SE-10/PJ.42/1994.
Kegiatan sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik
secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease)
maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease),
untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
angsuran.
Transaksi sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi
Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang
menjadi objek pembiayaan berasal dari pemasok (Supplier):
1. Barang Kena Pajak tersebut dianggap diserahkan secara
langsung oleh Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier)
kepada lessee;
2. Lessor tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak karena dianggap hanya menyerahkan jasa
pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak
dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
3. Pengusaha Kena Pajak pemasok wajib menerbitkan
Faktur Pajak kepada lessee dengan menggunakan
identitas lessee sebagai pembeli Barang Kena
Pajak/penerima Jasa Kena Pajak (tidak menggunakan
metode qualitate qua (q.q.)).
4. Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3 adalah
sebesar Harga Jual dari Pengusaha Kena pajak pemasok.
Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang
menjadi objek pembiayaan berasal dari dari persediaan yang
telah dimiliki oleh lessor:
• Lessor pada dasarnya melakukan dua jenis penyerahan,
yaitu:
◦ penyerahan jasa pembiayaan yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai; dan
◦ penyerahan Barang Kena Pajak, yang merupakan objek
Pajak Pertambahan Nilai.
• Lessor harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan
harus menerbitkan Faktur Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak tersebut kepada lessee. Pengukuhan lessor
sebagai Pengusaha Kena Pajak ini dilakukan dengan
tetap memperhatikan batasan Pengusaha Kecil menu rut
ketentuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
• Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak adalah Harga Jual, tidak termasuk unsur bunga
yang diminta atau seharusnya diminta oleh lessor karena
jasa pembiayaan yang diserahkannya.
• Penggunaan qualitate qua (q.q.) pad a bagian nama dan/atau
NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa
Kena Pajak pada Faktur Pajak yang telah diterbitkan oleh
Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) sebelum
diberlakukannya Surat Edaran ini dapat dibenarkan dan
tidak menjadikan Faktur Pajak tersebut cacat.
Transaksi penjualan dan penyewagunausahaan kembali
(sale and leaseback)
Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa
guna usaha dengan hak opsi:
• penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor
(sale) tidak termasuk dalam pengertian penyerahan
Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai
karena:
◦ Barang Kena Pajak yang menjadi objek pembiayaan
berasal dari milik lessee, yang dijual oleh lessee
untuk kemudian dipergunakan kembali oleh lessee;
◦ lessor pad a dasarnya hanya melakukan penyerahan
jasa pembiayaan, tanpa bermaksud memiliki dan
menggunakan barang yang menjadi objek
pembiayaan tersebut;
◦ penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dari lessee
kepada lessor pada dasarnya merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan
utangpiutang;
• penyerahan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi oleh
lessor kepada lessee (leaseback) merupakan jasa
pembiayaan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai,
Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa
guna usaha tanpa hak opsi:
• penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor
(sale) dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
• penyerahan jasa sewa guna usaha tanpa hak opsi oleh lessor
kepada lessee (leaseback) dikenai Pajak .
f. Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)
Berdasarkan Pasal 16C UU No.8/1983 STDD 42/2009, Kegiatan
membangun sendiri dikenakan PPN apabila:
1. Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh ornag pribadi atau badan,
yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak
lain, termasuk yang dilakukan melalui kontraktor atau
pemborong tetapi atas kegiatan membangun sendiri tersebut
tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
2. Bangunan adalah berupa satu atau lebih konstruksi
teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada satu
kesatuan tanah/ dan atau perairan dengan criteria:
a. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan
batu bara atau bahan sejenis dan/atau baja;
b. Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan
usaha;
c. Luas keseluruhan paling sedikit 300m2 (tiga ratus meter
persegi)
3. Termasuk kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan
membangun bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau
pemborong tetapi atas kegiatan membangun tersebut tidak
dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dan kontraktor atau
pemborong tersebut bukan merupakan Pengusaha Kena pajak.
Bangunan permanen adalah bangunan yang konstruksi
utamanya terdiri dari beton dan/atau bahan lain yang umur
bangunannya lebih dari 25 (dua puluh lima tahun).
Tarif dan Pengenaan Pajak
1. Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10
% (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun
sendiri adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya
yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, tidak termasuk harga
perolehan tanah.
3. Termasuk dalam pengertian jumlah biaya yang
dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri
adalah juga jumlah PPN yang dibayar atas perolehan bahan
dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri tersebut.
Saat dan tempat pajak terutang:
1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat
dimulainya secara fisik kegiatan membangun sendiri (menggali
fondasi, memasang tiang pancang dan lain-lain).
2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara
bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan
sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut
tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
3. Tempat pajak terutang atas kegiatan pajak membangun
sendiri adalah di temapt bangunan tersebut didirikan.
Penyetoran dan Pelaporan
1. PPN yang terutang sebesar 10% x 40% dari seluruh biaya
yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, harus disetorkan
seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan
kegiatan membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank Persepsi
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan
terjadinya pengeluaran biaya tersebut. Dalam hal kegiatan
membangun sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum
dalam SSP tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran, karena pembayaran PPN tersebut merupakan
pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan PKP yang bersangkutan.
2. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri wajib melaporkan pada KPP di tempat
bangunan tersebut berada dengan mempergunakan SSP
lembar ke tiga bukti setoran PPN paling lambat tanggal 20
pada bulan dilakukannya penyetoran.
Kegiatan Membangun Sendiri Di Kawasan Real Estat
1. Membangun sendiri pada kawasan Real Estat di atas
tanah yang diperoleh sesudah 31 Desember 1994, tidak
dikategorikan sebagai membangun sendiri, tetapi dianggap
dibangun oleh Real Estat. Karena pada dasarnya Real Estat
tidak boleh menjual tanah. Dengan demikian kegiatan
membangun sendiri pada kawasan Real Estat di atas tanah
yang diperoleh sebelum 1 Januari 1995 masih dapat
dikategorikan sebagai kegiatan membangun sendiri. Dalam hal
ini perlakuan PPN-nya sama dengan kegiatan membangun
sendiri bukan di dalam kawasan Real Estat.
2. Dalam hal perolehan tanah kavling pada kawasan Real
Estat terjadi sesudah tanggal 1 Januari 1995, maka :
· Kegiatan membangun sendiri oleh pemilik kavling,
dianggap dibangun oleh PKP Real Estat.
· Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar nilai bangunan
(tidak termasuk harga tanah) yang dihitung oleh PKP Real
Estat seandainya rumah tersebut dibangun oleh PKP Real
Estat.
· Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kavling
sehubungan dengan pembangunan rumah tersebut, dilaporkan
kepada PKP Real Estat setiap bulan dan dianggap sebagai
pembayaran termin. Berdasarkan laporan pemilik kavling, PKP
Real Estat harus memungut PPN yang terutang kepada pemilik
kavling, kemudian menyetor dan melaporkannya dalam SPT
Masa PPN pada bulan yang bersangkutan.
· Apabila rumah tersebut telah selesai dibangun, PKP Real
Estat harus menentukan nilai bangunan rumah tersebut sesuai
dengan patokan harga yang berlaku. Dalam hal nilai bangunan
yang dihitung oleh PKP Real Estat lebih besar dari jumlah biaya
yang telah dilaporkan oleh pemilik kavling, maka atas selisih
tersebut harus dipungut PPN, disetordan dilaporkan oleh PKP
Real Estat dalam SPT Masa PPN bulan yang bersangkutan.
Apabila patokan harga bangunan yang berlaku lebih kecil
daripada jumlah biaya yang dilaporkan maka DPP yang dipakai
adalah jumlah biaya yang dilaporkan oleh pemilik kavling
tersebut, dan atas selisih tersebut tidak dapat direstitusi.
· Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk membangun rumah
tersebut tidak dapat dikreditkan
top related