surimi_beatrix riski restiani_13.70.0182_c5_unika
Post on 06-Jan-2016
38 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
Acara I
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Beatrix Riski Restiani
NIM : 13.70.0182
Kelompok C5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
-
1
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, talenan, baskom, mangkok,
timbangan analitik, alat penggiling daging, kain saring, spatula, loyang, freezer, presser,
plastik bening, dan milimeter blok.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, garam, gula pasir,
polifosfat, dan es batu.
1.2. Metode
Ikan dicuci bersih dengan air mengalir.
Daging ikan difilllet dengan cara dibuang bagian
kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.
-
2
Daging ikan diambil dan ditimbang sebanyak 100 gram.
Daging ikan dimasukkan ke dalam alat penggiling dengan
ditambahkan es batu, kemudian digiling hingga halus.
Daging ikan dicuci dengan air es sambil disaring menggunakan kain
saring sebanyak 3 kali hingga didapatkan tekstur yang gempal.
Daging ikan ditaruh di dalam plastik, kemudian ditambahkan dengan
sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam
sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3, 4, 5), dan polifosfat sebanyak 0,1%
(kelompok 1); 0,3% (kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5).
-
3
Plastik diikat dan ditaruh di dalam loyang untuk
kemudian dibekukan dalam freezer selama 1 malam.
Setelah dithawing, surimi diuji kualitas sensorisnya
yang meliputi kekenyalan dan aroma.
Surimi diukur tingkat kekerasannya dengan
menggunakan texture analyzer.
Surimi dipress dengan
menggunakan presser.
-
4
Surimi diukur WHCnya dengan menggunakan milimeter blok
untuk kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut:
-
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap produk Surimi dilihat dari nilai Hardness, WHC dan Uji Sensoris
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan
Kel. Perlakuan Hardness
(gF)
WHC
(mg H2O)
Sensoris
Kekenyalan Aroma
C1 Sukrosa 2,5% + garam
2,5% + polifosfat 0,1% 137,22 293598,53 +++ +++
C2 Sukrosa 2,5% + garam
2,5% + polifosfat 0,3% 132,55 267004,22 + +
C3 Sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,3% 214,65 311814,35 ++ +
C4 Sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,5% 126,59 277084,60 ++ ++
C5 Sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,5% 159,03 254345,99 + +++
Keterangan:
Kekenyalan Aroma
+ : tidak kenyal + : tidak amis
++ : kenyal ++ : amis
+++ : sangat kenyal +++ : sangat amis
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa surimi yang mempunyai nilai hardness tertinggi
adalah surimi pada kelompok C3 yaitu sebesar 214,65 sedangkan yang mempunyai nilai
hardness terendah adalah surimi pada kelompok C4 yaitu sebesar 126,59 gF. Nilai WHC
tertinggi juga dimiliki oleh Surimi kelompok C3 yaitu sebesar 311814,35 g sedangkan WHC
terendah dimiliki oleh surimi kelompok C5 yaitu 254345,99 g. Surimi yang paling kenyal
adalah surimi kelompok C1 sedangkan yang paling tidak kenyal adalah surimi kelompok C2
dan C5. Surimi kelompok C1 dan C5 memiliki aroma yang sangat amis sedangkan yang
beraroma tidak amis dimiliki oleh Surimi kelompok C2 dan C3. Secara umum pengaruh
perbedaan perlakuan terhadap nilai Hardness, WHC dan pengujian sensoris tidak terlalu
terlihat dalam produk Surimi kloter C ini. Nilainya mengalami fluktuasi.
-
6
3. PEMBAHASAN
Dalam Praktikum Teknologi Hasil Laut ini dilakukan pembuatan surimi. Surimi adalah
produk yang berasal dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulangnya, dicincang dan
dicuci kemudian diberi tambahan krioprotektan serta disimpan dalam kondisi beku (Bourtoon
et al., 2008 dalam Hamzah et al., 2015). Nopianti et al. (2011) menyatakan bahwa dalam
surimi kandungan terbesarnya adalah protein myofibrillar sedangkan komponen larut air
lainnya akan hilang selama proses pencucian. Surimi mempunyai manfaat yang sangat besar
dalam pemenuhan gizi protein. Surimi dapat menjadi bahan baku utama dalam produk
berbasis hasil laut seperti kamaboko, kani (kepiting), sosis ikan, dan bakso ikan. Dalam
pembuatan produk-produk ini surimi mempunyai persentasi sebesar kurang lebih 50% dalam
produk akhir makanan-makanan tersebut. Surimi membuat proses produksi menjadi lebih
mudah (Nopianti et al., 2011). Moosavi-Nasab et al. (2005) juga menambahkan bahwa surimi
adalah produk yang menyehatkan karena mempunyai kandungan kolestrol dan lemak yang
rendah.
Pengolahan ikan menjadi surimi mempunyai beberapa alasan mendasar. Ikan adalah bahan
makanan bernutrisi tinggi dengan kandungan protein yang tinggi, namun disisi lain ikan
bersifat mudah rusak. Pengolahan menjadi surimi akan memperpanjang umur simpan ikan
tanpa mengurangi nutrisinya (Liptan, 2000). Elyazi et al. (2010) juga mengatakan bahwa ikan
menjadi bahan yang mudah rusak karena mempunyai kadar air yang tinggi dan dapat
mengalami perubahan kimia dan mikrobiologi secara cepat saat dalam proses penyimpanan
dan pengolahan.
Bahan utama dalam praktikum pembuatan Surimi adalah ikan bawal. Ikan bawal adalah ikan
yang dibudidayakan di air tawar. Ikan bawal dapat hidup di kolam ataupun keramba. Ikan
bawal mempunyai banyak duri. Harga ikan bawal murah dan terjangkau. Penggunaan ikan
bawal yang merupakan ikan air tawar sebagai bahan baku pembuatan surimi telah sesuai
dengan pendapat Hajidoun & Javarpour (2013) bahwa dalam produksi surimi dapat
digunakan baik ikan air laut maupun ikan air tawar. Penggunaan ikan air tawar dalam industri
surimi memiliki keuntungan karena harganya yang murah dan sumbernya yang selalu
tersedia karena ikan air tawar mudah untuk diproduksi. Namun menurut Ganesh et al. (2006)
penggunaan ikan air tawar memiliki kelemahan dalam hasil akhir pembuatan surimi yaitu
surimi yang dihasilkan memiliki kemampuan pembentukan gel yang lebih rendah
dibandingkan ikan air laut sehingga pada saat proses pembekuan akan mempengaruhi sifat
-
7
protein dalam produk surimi. Sehingga dalam produksinya surimi berbasis ikan air tawar
harus dimodifikasi proses pembuatannya agar menghasilkan pembentukan gel yang
maksimal. Mencari tahu proses pembuatan yang lebih canggih dan menghasilkan kualitas
surimi yang bagus dengan ikan air tawar dapat dilakukan dengan cara menganalisa
karakteristik strukturalnya melalui evaluasi rheologi dan melalukan scanning terhadap gel
yang terbentuk pada produk surimi tersebut (Jafarpour & Gorczyca, 2009).
Dalam praktikum pembuatan surimi ini, hal pertama yang dilakukan adalah membersihkan
ikan bawal yang digunakan. Ikan bawal yang akan digunakan dicuci dengan air mengalir dan
kemudian dibersihkan dengan mengeluarkan isi perut dan memisahkannya dari bagian
kepala. Pemisahan dari isi perut dan kepala dilakukan karena kedua bagian tersebut tidak
edible. Selain itu kedua bagian tersebut mengandung banyak komponen yang dapat
menyebabkan surimi mengalami hidrolisis yaitu minyak dan lemak (Fortina, 1996). Bagian
isi perut ikan juga mengandung banyak enzim protease yang dapat menghambat proses
pembentukan gel pada surimi (Miyake et al., 1985).
Ikan kemudian difillet dan dipisahkan dari bagian kulit dan tulangnya. Tujuan pemisahan ini
adalah untuk memisahkan bagian yang edible dan tidak karena yang digunakan dalam
pembuatan surimi hanyalah bagian dagingnya saja. Sedangkan bagian kepala dan tulang ikan
digunakan untuk pembuatan kecap ikan. Dalam proses untuk mengambil bagian daging ikan,
untuk 1 kelompok minimal harus menggunakan 2 buah ikan bawal untuk mencapai berat
daging yang diinginkan yaitu 100 gram. Fillet daging ikan kemudian dicuci untuk
membersihkan dari kotoran dan darah yang masih melekat saat dilakukan pemisahan dengan
isi perut, kepala dan tulang ikan. Setelah daging ikan selesai di fillet daging ikan kemudian
ditimbang sebanyak 100 gram untuk masing-masing kelompok. Daging lalu dimasukan ke
dalam alat penggiling bersama dengan es batu, lalu digiling hingga halus. Penggilingan yang
dilakukan ini sesuai dengan langkah kerja pembuatan surimi yang dilakukan oleh Dey &
Dora (2011) dimana pembuatan surimi dilakukan dengan memisahkan daging dari tulang dan
lalu digiling hingga halus. Hal ini sesuai dengan definisi dari surimi sendiri yaitu produk
yang berasal dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulangnya, dicincang dan dicuci
kemudian diberi tambahan krioprotektan serta disimpan dalam kondisi beku (Bourtoon et al.,
2008 dalam Hamzah et al., 2015). Penggilingan daging juga dimaksudkan untuk
memperbesar luas permukaan daging dan agar daging menjadi lebih lembut. Penggunaan
suhu dingin saat penggilingan dengan dilakukannya penambahan es batu dimaksudkan untuk
-
8
mencegah terdenaturasinya protein pada produk selama pengolahan. Apalagi komponen
nutrisi utama dalam produk surimi adalah protein miofibrillarnya,
Daging yang sudah halus kemudian dipindahkan diatas kain saring lalu disaring sambil
menuangkan air dingin ke atas daging secukupnya. Pencucian dan penyaringan menggunakan
air dingin ini dilakukan sebanyak 3 kali. Tujuan dilakukannya pencucian dan penyaringan
dengan air dingin ini adalah untuk membersihkan daging dari komponen yang tidak
diinginkan seperti darah, pigmen dan komponen penyebab bau. Selain itu pencucian juga
dapat menghilangkan lemak dan membuat kandungan protein myofibril dalam surimi
semakin meningkat. Peningkatan komponen myofibril akan membuat produk surimi yang
dihasilkan mempunyai kemampuan membentuk gel yang baik (Nopianti et al., 2011).
Hamzah et al. (2015) juga mengatakan bahwa pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel
dari produk surimi. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa untuk produk surimi dari ikan
Cobia menunjukan kekuatan gel yang tertinggi saat dilakukan 5 kali proses pencucian dengan
air dingin. Dalam penelitiannya Hamzah et al (2015) juga menggunakan air dingin dalam
proses pencucian namun dikombinasikan juga dengan garam.
Setelah mencapai penyaringan ke 3 kain saring dan ikan benar-benar disaring sehingga
daging ikan menjadi benar-benar kering. Daging ikan yang sudah dicuci dan disaring dengan
air dingin kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik. Daging lalu ditambahkan dengan
sukrosa, garam dan polifosfat. Tiap kelompok menambahkan ke 3 bahan tersebut dalam
jumlah yang berbeda. Tujuan penambahan sukrosa saat pembuatan surimi adalah sebagai
komponen krioprotektan. Krioprotektan adalah senyawa yang berfungsi untuk
mempertahankan sifat dari protein myofibril, sehingga saat surimi dibekukan komponen
tersebut tidak mengalami kerusakan. Dengan penambahan sukrosa ke dalam surimi maka
akan membantu produk surimi agar tetap mempunyai kemampuan pembentukan gel yang
baik walaupun telah dibekukan. Penambahan sukrosa sebagai krioprotektan akan membantu
menjaga kualitas surimi dengan mencegah perubahan tekstur, terjadinya agregasi protein,
hilangnya sifat gel dan menjaga Water Holding Capacity dari Surimi (Nopianti et al., 2011).
Tujuan penambahan garam saat pembuatan surimi adalah untuk melarutkan protein myofibril
yang ada dalam surimi sehingga aktin dan myosin akan berikatan dengan mudah dan
membentuk aktomiosin. Larutnya protein myofibril juga membantu dalam menstabilkan
emulsi. Selain itu garam berperan untuk mengempukkan daging, meningkatkan kemampuan
produk untuk mengikat air. Dengan konsentrasi yang tinggi garam akan mampu menghambat
-
9
pertumbuhan bakteri. Garam juga berperan sebagai flavoring agent dan meningkatkan daya
ikat antar partikel dalam surimi (Sullivan et al., 2004).
Tujuan penambahan polifosfat saat pembuatan surimi adalah untuk menurunkan viskositas
pasta surimi sehingga lebih mudah untuk dibentuk, meningkatkan penurunan kehilangan air
pada surimi dan meningkatkan kemampuan protein dalam surimi untuk menyerap kembali
cairan saat surimi di thawing. Penambahan polifosfat akan meningkatkan pH dari surimi dan
membantu terbentuknya gel yang baik yang mempunyai kekuatan dan bersifat kohesif
(Nopianti et al., 2011). Menurut Hui (2006) dalam (Nopianti et al., 2011) penambahan fosfat
yang paling optimal adalah sekitar 0,3% dan pada konsentrasi 0,5% akan menghasilkan gel
dengan kekuatan yang tinggi. Penambahan polifosfat akan menyebabkan surimi menjadi
lebih elastis. Polifostat dan sukrosa bekerja sama dalam menjaga kualitas surimi.
Setelah semua bahan dimasukan kemudian daging dan bahan dicampurkan hingga merata.
Setelah itu plastik diikat dan surimi dimasukkan ke dalam freezer selama 1 malam. Tujuan
penyimpanan di dalam freezer adalah untuk mempertahankan kualitas mutu dari surimi. Jika
disimpan dalam suhu yang sesuai (maksimal 20oC) maka surimi dapat bertahan selama 1
tahun. Menurut Winarno (2004) jika pembekuan dilakukan pada suhu yang tidak sesuai maka
sel dalam produk dapat pecah dan cairannya akan keluar. Hal ini dapat menyebabkan warna
menjadi gelap dan akan dilanjutkan dengan terjadinya pembusukan pada produk. Saat
dibekukan surimi hasil praktikum ini dikemas dalam plastik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Winarno (2004) bahwa jika tidak dibungkus maka bahan yang dibekukan akan mengalami
pengeringan dibagian luarnya sehingga mempengaruhi kualitas mutu pada produk akhir.
Setelah selama 1 malam dibekukan, surimi kemudian di thawing dan diuji secara sensoris
meliputi rasa, aroma, dan kekenyalan. Selain itu juga dilakukan perhitungan tekstur
menggunakan textur analyzer dan juga dilakukan perhitungan WHC nya. Untuk pengukuran
WHC, pertama-tama surimi dilapisi dengan plastik dan kemudian diratakan dengan alat
presser sehingga benar-benar menjadi gepeng dan rata. Surimi yang telah dipress itu
kemudian digambar diatas mm blok dan dihitung luasnya. Metode ini adalah perhitungan
dengan metode Simpson. Setelah digambar, gambar yang terbentuk dibagi menjadi beberapa
bagian yang sama besar. Lalu luas area yang membatasi dihitung dengan rumus. Kekurangan
dari metode Simpson ini adalah akan menjadi tidak teliti jika menggunakan sakla yang besar
(Stanley & Charm, 1963).
-
10
Produk surimi yang sudah dibuat kemudian diamati nilai hardness, WHC dan uji secara
sensori. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa nilai WHC tertinggi juga dimiliki oleh
Surimi kelompok C3 yaitu sebesar 311814,35 gr H2O sedangkan WHC terendah dimiliki oleh
surimi kelompok C5 yaitu 254345,99 gr H2O. Dalam produk surimi, yang mempengaruhi
kemampuan daya ikat airnya adalah keberadaan sukrosa. Seharusnya jika kadar sukrosa yang
digunakan semakin tinggi maka nilai WHC nya pun akan semakin tinggi (Nopianti et al.,
2011). Namun dalam hasil pengamatan nilainya berfluktuasi, secara umum yang mempunyai
WHC lebih tinggi adalah surimi yang ditambahkan dengan konsentrasi sukrosa 2.5% kecuali
pada kelompok C3. Hasil yang tidak sesuai ini dapat disebakan pada beberapa kelompok ada
protein dalam surimi yang sudah terdenaturasi sehingga WHC pun menjadi lebih rendah.
Denaturasi protein dapat terjadi saat dilakukan penggilingan terhadap daging ikan dan
denaturasi yang terjadi saat proses pembekuan. Kemungkinan lain yang dapat mengakibatkan
ketidaksesuaian dengan teori ini adalah karena perbedaan saat melakukan perataan pada
surimi dengan alat presser. Ada surimi yang benar-benar diratakan dan bisa juga ada surimi
yang belum mencapai batas maksimalnya untuk menjadi rata. Sehingga perhitungan WHC
pun menjadi tidak sesuai.
Surimi yang mempunyai nilai hardness tertinggi adalah surimi pada kelompok C3 yaitu
sebesar 214,65 gF sedangkan yang mempunyai nilai hardness terendah adalah surimi pada
kelompok C4 yaitu sebesar 126,59 gF. Surimi yang paling kenyal adalah surimi kelompok C1
sedangkan yang paling tidak kenyal adalah surimi kelompok C2 dan C5. Dalam produk
Surimi yang bertanggung jawab terhadap kekenyalan dan kekuatan gel surimi adalah
polifosfat yang ditambahkan. Semakin banyak polifosfatnya maka surimi akan semakin
kenyal. Selain itu dengan penggunaan polifostat 0,5% maka akan menghasilkan pembentukan
gel yang paling keras sedangkan yang paling optimal adalah pada konsentrasi 0,3% (Nopianti
et al., 2011). Namun dari hasil pengamatan, tidak sesuai dengan teori ini. Kelompok C1 yang
menggunakan polifosfat dengan jumlah paling sedikitlah dalam hasil uji sensori yang
mempunyai kekenyalan tertinggi dan juga hardness tertinggi dimiliki oleh polifosfat dengan
kadar 0,3%. Kesalahan ini dapat terjadi karena perbedaan konsentrasi polifosfat yang
digunakan tidak terlalu berbeda jauh. Selain itu perbedaan kadar air saat surimi dicuci dan
disaring juga dapat memberikan pengaruh. Jika surimi di peras tidak terlalu kering maka
surimi yang dihasilkan mungkin akan bersifat lebih lembek. Kesalahan pun dapat terjadi
karena ini merupakan uji sensoris yang menggunakan panelis yang tidak terlatih dan hanya
melakukan 1 kali ulangan.
-
11
Surimi kelompok C1 dan C5 memiliki aroma yang sangat amis sedangkan yang beraroma
tidak amis dimiliki oleh Surimi kelompok C2 dan C3. Surimi yang memiliki kualitas bagus
seharunya tidak berbau amis. Bau amis pada surimi memungkinkan untuk terjadi karena
surimi adalah produk berbasis ikan. Namun jika memiliki bau yang sangat amis maka dapat
terjadi karena okidasi pada daging ikan dan juga karena keberadaan trimetil amin okida
(Ketaren, 1986). Kurangnya higenitas saat pembuatan surimi juga dapat menghasilkan bau
pada surimi. Pemerasan kain saring saat pencucian surimi yang kurang higenis lah yang dapat
menjadi faktor terciumnya bau amis pada produk surimi.
Secara umum pengaruh perbedaan perlakuan terhadap nilai Hardness, WHC dan pengujian
sensoris tidak terlalu terlihat dalam produk Surimi kloter C ini. Nilainya mengalami fluktuasi.
Namun yang paling berbeda adalah hasil pengamatan surimi dari kelompok C3 dimana hasil
hardness dan WHC nya sangat berbeda jauh dengan kelompok yang lainnya. Hal ini dapat
disebabkan karena kadar sukrosa nya mencapai 5% (paling tinggi dibanding sukrosa yang
lain) dan juga kelompok C3 menggunakan kadar polifosfat yang paling optimum yaitu 0,3%
(Nopianti et al., 2011). Kedua kombinasi ini menyebabkan surimi pada kelompok C3
memiliki hasil yang tinggi baik hardness maupun nilai WHC nya.
Karena surimi merupakan produk antara untuk berbagai produk olahan lain, maka kualitas
mutu surimi yang dijaga harus sesuai dengan kualitas mutu produk yang akan diolah. Dalam
produk olahan yang menggunakan bahan dasar surimi, hal yang paling penting adalah
pembentukan gel yang bagus dan kompak. Surimi dengan kualitas yang baik adalah urimi
yang memiliki warna putih yang paling tinggi dan paling bersih serta dibuat dari ikan dengan
kadar lemak yang rendah (Micthell, 1986). Surimi yang baik juga harus mempunyai bau khas
surimi dan rasanya netral (Agustini et al., 2006). Kualitas surimi yang paling penting adalah
kualitas gelnya, dimana kualitas gel itu akan ditentukan oleh bagaimana gel tersebut bekerja
dan dapat ditentukan apakah gel tersebut baik atau tidak berdasarkan karakteristik-
karakteristik tertentu dalam gel seperti hardness, WHC, dan kekenyalan. Beberapa hal yang
dapat mempengaruhi kualitas mutu surimi adalah bahan yang digunakan untuk membuat
surimi, keadaan protein dalam produk (mengalami denaturasi atau tidak), dehidrasi, oksidasi
lemak, proses pembuatan surimi, dan proses pembekuan surimi.
Jenis ikan yang digunakan dapat mempengaruhi kualitas mutu surimi dikarenakan ikan laut
akan mempunyai kemampuan pembentukan gel yang lebih baik dibandingkan ikan air tawar
(Ganesh et al., 2006) Selain itu ikan yang mempunyai daging yang berwarna putih akan
-
12
mempunyai kemampuan pembentukan gel yang bagus dan warna yang bagus dibandingkan
ikan yang mempunyai daging berwarna gelap. Daging yang berwarna gelap biasanya
mempunyai kandungan lemak yang lebih tinggi sehingga tidak menghasilkan gel yang bagus
dan juga warna dari surimi akan menjadi lebih gelap. Namun perbedaan jenis ikan yang
digunakan ini tidak akan terlalu mempengaruhi kualitas surimi jika dalam proses
pembuatannya dilakukan modifikasi tertentu seperti penggunaan pemutih agar warna surimi
menjadi lebih cerah atau penggunaan cairan pencuci yang bersifat alkali agar ikan dengan
warna daging gelap pun tetap mempunyai kemampuan gel yang bagus (Benjakul et al.,
2004). Untuk ikan air tawar maka dalam prosesnya dapat ditambahkan komponen
krioprotektan atau chitosan sehingga dapat meningkatkan kemampuan gel (Dey & Dora,
2010). Kualitas surimi juga dipengaruhi oleh faktor biologis ikan yang sedang digunakan.
Hal-hal yang mempengaruhi adalah fase bertelur dan musim (Mitchell, 1985). Ikan yang
sedang bertelur saat sedang ditangkap dan digunakan untuk pembuatan surimi akan
mengalami proses denaturasi yang lebih cepat (Suzuki, 1981).
Hal kedua yang mempengaruhi kualitas surimi adalah terjadinya denaturasi protein. Jika
terjadi denaturasi protein maka dapat menyebabkan kemampuan membentuk gel berkurang
dan WHC pun akan menurun. Protein myofibril dalam surimi harus dijaga agar terhindar dari
denaturasi terutama saat proses penggilingan dan pembekuan. Oleh karena itu saat produksi
surimi digunakan bahan-bahan krioprotektan yang akan mencegah terjadinya denturasi pada
protein myofibril. Jenis kriprotektan yang digunakan juga akan memberikan dampak dalam
kualitas surimi (Suzuki, 1981). Yang paling sering digunakan adalah sukrosa dan sorbitol
(Nopianti et al., 2011). Namun karena permasalahan nilai kalori yang tinggi pada sukrosa
sekarang ada juga yang mengembangkan penggunaan chitin untuk mengurangi dentaurasi
pada protein (Hajidoun & Javarpour, 2013).
Hal ketiga yang mempengaruhi kualitas surimi adalah proses pembuatan surimi. Surimi harus
dicuci dengan air dingin dan pencucian dilakukan 5 kali (Hamzah et al., 2015). Pencucian
yang dilakukan akan membuat konsentrasi protein myofibril meningkat dan akan terbentuk
gel yang baik. Menurut Schwarz dan Lee (1988) daging yang dicuci dengan air dingin
bersuhu 10C 15 C akan menghasilkan gel yang kuat. Selain itu langkah-langkah dalam
proses pembuatan yang akan mempengaruhi tekstur gel adalah banyaknya air, lama
penggilingan, jumlah garam yang ditambahkan, pH, waktu dan derajat pemanasan (Lee,
1984). Proses pembekuan juga akan mempengaruhi gel yang terbentuk. Proses pembekuan
dapat mendenaturasi protein karena saat pembekuan akan terbentuk kristal es yang dapat
-
13
menghidrasi protein myofibril, menurunkan pH dan merubah konsentrasi garam. Pembekuan
yang terlalu lama akan dapat mengakibatkan hal-hal tersebut. Hal ini diatasi dengan
penambahan krioprotektan dan fosfat (Nopianti et al., 2011). Pembekuan yang berlangsung
secara cepat juga akan membantu membentuk gel yang kuat dan solid.
-
14
4. KESIMPULAN
Surimi adalah produk yang berasal dari daging ikan yang telah dipisahkan dari
tulangnya, dicincang dan dicuci kemudian diberi tambahan krioprotektan serta disimpan
dalam kondisi beku.
Komponen utama dalam surimi adalah protein myofibril.
Tahap utama pembuatan surimi adalah pemisahan daging, penggilingan, pencucian,
pengemasan, pembekuan.
Proses pembuatan surimi harus dilakukan dalam kondisi dingin dan dengan air dingin
untuk mencegah terjadinya denaturasi protein.
Mutu surimi dilihat dari kekuatan dan kekompakan gel surimi, kekenyalan, WHC,
warna, rasa dan aroma.
Tujuan penambahan sukrosa adalah sebagai bahan krioprtektan yang membantu menjaga
agar protein myofibril tidak terdenaturasi dan pembentukan gel dapat terjaga serta nilai
WHC yang tetap.
Tujuan penambahan garam adalah untuk meningkatkan daya ikan komponen dalam
surimi.
Tujuan penambahan polifosfat adalah untuk meningkatkan elastisitas dari surimi.
Penambahan konsentrasi sukrosa dalam jumlah tinggi meningkatkan nilai WHC surimi.
Penambahan polifosfat akan meningkatkan kekenyalan surimi.
Penambahan polifosfat paling optimal adalah 0,3%.
Hal-hal yang mempengaruhi kualitas surimi adalah bahan yang digunakan untuk
membuat surimi, keadaan protein dalam produk (mengalami denaturasi atau tidak),
dehidrasi, oksidasi lemak, proses pembuatan surimi, dan proses pembekuan surimi.
Semarang, 18 Oktober 2015
Praktikan Asisten Dosen
Beatrix Riski Restiani Yusdhika Bayu S.
13.70.0182
-
15
5. DAFTAR PUSTAKA
Agustini, Tri Winarni., Akhmad Suhaeli Fahmi., dan Ulfah Amalia. (2006). Modul
Diversifikasi Produk Perikanan. PS Teknologi Hasil Perikanan Universitas
Diponegoro. Semarang.
Benjakul, S; W. Visessanguan & Y. Kwalumtharn. (2004). The Effect of Whitening Agents
on The Gel-forming Ability and Whiteness of Surimi. International Journal of Food
Science and Technology 2004, 39, 773781.
Bourtoon T, ChinnanMS, Jantawat P, Sanguandeekul R. (2008). Recovery and
characterization of precipitated from surimi wash water. Food Sci Technol 42:599605
Dey Satya Sadhan & Dora Krushna Chandra. (2011). Suitability of chitosan as cryoprotectant
on croaker fish (Johnius gangeticus) surimi during frozen storage. J Food Sci
Technol (NovemberDecember 2011) 48(6):699705 DOI 10.1007/s13197-010-0197-8
Elyazi, A., Zakipour R.A., Sahari M., Zare P. (2010). Chemical and Microbial Cahnges of
Fish Fingers Made from Mince and Surimi of Common Carp (Cyprinus carpio L.,
1758). International Food Research Journal 17: 915-920 (2010).
Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan
(Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari
Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Ganesh A, Dileep AO, Shamasundar BA, Singh U. (2006). Gel-Forming Ability of Common
Carp Fish (Cyprinus carpio) Meat: Effect of Freezing and Frozen Storage. J Food
Biochem 30: 342-361.
Hajidoun HA, Jafarpour A. (2013). The Influence of Chitosan on Textural Properties of
Common Carp (Cyprinus Carpio) Surimi. J Food Process Technol 4: 226.
doi:10.4172/2157-7110.1000226
Hamzah N , Sarbon N. M, Amin A. M. (2015). Physical properties of cobia (Rachycentron
canadum) surimi: effect of washing cycle at different salt concentrations. Journal
Food Science and Technology 52(8):47734784
Hui, Y.H. (2006). Handbook of Food Science. Vol. 4. Technology and Enginerring. CRC
Press, UK. ISBN: 9780849398476.
Jafarpour Ali, Elisabeth M. Gorczyca. (2009). Rheological Characteristics and Microstructure
of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi and Kamaboko Gel. Food Biophysics
(2009) 4:172-179 DOI 10.1007/s11483-009-9115-x.
Ketaren, S. (1986). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia.
Jakarta.
-
16
Lee CM. (1984). Surimi process technology. Journal Food Techonology 38 (11) :69-80.
Liptan (Lembar informasi pertanian). (2000). Pengolahan Ikan Nila Merah. LPTP Puntikayu
Sumatera Selatan.
Micthell, C. (1986). Surimi The American Experience. Technology of Surimi Manufacturing.
Info Fish Marketing Digest: 20-24.
Mitchell C. (1985). Surimi: The America Experience. Infofish. No. 5: 17 20.
Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi Manufacturing.
Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.
Moosavi-Nasab M, Alli I, Ismail AA, Ngadi MO. (2005). Protein Structural Changes During
Preparation and Storage of Surimi. J Food Sci 70: c448-c453.
Nopianti Rodiana, Huda Nurul, Ismail Noryati. (2011). A review on the Loss of the
Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and the Improvement of
Gel-forming Properties of Surimi. American Journal of Food Technology 6 (1): 19-
30.
Schwarz MD, Lee CM. (1988). Comparison of the thermostability of red hake and alaska
pollack surimi during processing. Journal of Food Science. Vol. 53 (5): 1347 1351.
Stanley, E. & S. D. Charm. (1963). Dehydration Of Foods. AVI Publishing Company.
Connecticut.
Sullivan, C. M. O. ; A. M. Lynch ; P. B. Lynch ; D. J. Buckley & J. P. Kerry. (2004). Use of
Antioxidants in Chicken Nuggets Manufactured With and Without The Use of Salt
and/or Sodium Tripolyphosphate: Effects on Product Quality and Shelf-life Stability.
3 (5): 345-353.
Suzuki T. (1981). Fish and Krill Protein in Processing Technology. London: Applied Science
Publishing. Ltd.
Winarno, F.G., (2004). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
-
17
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Kelompok C1
Kelompok C2
Kelompok C3
-
18
Kelompok C4
Kelompok C5
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
top related