teori agensi
Post on 24-Dec-2015
34 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Teori Agensi
Jensen dan Meckling dalam Masri dan Martani (2012) menjelaskan teori
agensi adalah kontrak antara satu atau beberapa principal yang
mendelegasikan wewenang kepada orang lain (agent) untuk mengambil
keputusan dalam menjalankan perusahaan. Dalam pelaksanaan kontrak
akan timbul biaya agensi (agency cost), yaitu biaya yang timbul agar
manajer bertindak selaras dengan tujuan pemilik, seperti pembuatan
kontrak ataupun melakukan pengawasan (Masri dan Martani, 2012).
Timbulnya manajemen pajak sangat dipengaruhi oleh agency problem.
Masri dan Martani (2012) menjelaskan masalah agensi yang muncul
dengan adanya manajemen pajak adalah karena adanya perbedaan
kepentingan antara para pihak, satu sisi manajer sebagai agent
menginginkan peningkatan kompensasi, pemegang saham ingin menekan
biaya pajak.
Ukuran perusahaan
Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar
atau kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva, log
size, nilai pasar saham, dan lain-lain (Suwito, dalam Atarwaman, 2011).
Perusahaan besar adalah perusahaan yang memiliki total aset dalam jumlah
besar, untuk perusahaan yang memiliki total aset yang lebih kecil dari
perusahaan besar maka dapat dikategorikan dalam perusahaan menengah,
dan yang memiliki total aset jauh dibawah perusahaan besar dapat
dikategorikan sebagai perusahaan kecil. Dijelaskan oleh Machfoedz dalam
Atarwaman (2011) penentuan ukuran perusahaan ini didasarkan kepada
total aset perusahaan. Ada dua cara penghitungan nilai kekayaan
perusahaan menurut Sawir (2004) yaitu dengan melihat total aktiva atau
total nilai perusahaan. Total aktiva adalah total nilai buku dari aktiva
menurut catatan akuntansi dan total nilai perusahaan adalah total nilai
pasar seluruh komponen struktur keuangan. Perusahaan yang termasuk
dalam perusahaan besar cenderung memiliki sumber daya yang lebih besar
dibandingkan perusahaan yang memiliki skala lebih kecil untuk
melakukan manajemen pajak (Noor et al., 2007). Sumber daya manusia
yang ahli dalam perpajakan diperlukan agar manajemen pajak yang
dilakukan oleh perusahaan dapat maksimal untuk menekan biaya pajak
perusahaan. Nicodème (2007) berpendapat bahwa perusahaan berskala
kecil tidak dapat optimal dalam manajemen pajak dikarenakan kekurangan
ahli dalam perpajakan. Dengan banyaknya sumberdaya yang dimiliki oleh
perusahaan berskala besar maka akan semakin besar biaya pajak yang
dapat diminimalisir oleh perusahaan.
Hutang
Hutang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain
yang belum terpenuhi dimana hutang ini merupakan sumber pembiayaan
eksternal yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai kebutuhan
dananya (Munawir dalam Rahmawati, 2012). Sawir (2004) menjelaskan
bahwa hutang adalah sumber dana yang menimbulkan beban tetap
keuangan, yaitu bunga yang harus dibayar tanpa memperdulikan tingkat
laba perusahaan. Manajemen perusahaan harus dapat mengatur hutang
dalam perusahaan yang tujuannya agar menguntungkan dan menghindari
kerugian akibat timbulnya hutang. Hutang dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang (Munawir, dalam
Rahmawati, 2012). Hutang jangka pendek adalah semua kewajiban yang
harus dilunasi oleh perusahaan dalam kurung waktu maksimal satu tahun.
Hutang jangka panjang adalah kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan
yang jangka waktu pelunasannya lebih dari satu tahun. Masri dan Martani
(2012) menjelaskan bahwa pemilihan utang dan modal sebagai sumber
pendanaan merupakan keputusan penting yang dapat mempengaruhi nilai
perusahaan. Adanya biaya bunga pada hutang menjadi pertimbangan
penggunaan hutang sebagai sumber pendanaan oleh perusahaan (Masri dan
Martani, 2012). Modigliani dan Miller dalam Masri dan Martani (2012)
menjelaskan bahwa biaya bunga merupakan faktor pengurang pajak
penghasilan sehingga dapat digunakan untuk menghemat pajak. Hutang
dalam perusahaan dapat dihitung dengan menggunakan rasio leverage atau
tingkat hutang dalam perusahaan. Ada dua macam penghitungan rasio
leverage menurut Sawir (2004) yaitu leverage keuangan berdasar nilai
buku diukur dengan rasio nilai buku seluruh hutang (debt = D) terhadap
total aktiva (TA) sementara leverage keuangan berdasarkan nilai pasar
diukur dengan rasio nilai buku seluruh hutang terhadap total nilai pasar
perusahaan (total value = V). Pierce dan Robinson Jr (2008) menjelaskan
bahwa total rasio hutang terhadap total aset diatas 0,5 biasanya dianggap
aman untuk perusahaan pada industri yang stabil.
Aset adalah kekayaan yang mempunyai manfaat ekonomi berupa benda
berwujud maupun benda tak berwujud yang dapat dikuasai oleh yang
berhak akibat transaksi (Nafarin, 2007). Aset juga dapat menggambarkan
ukuran perusahaan karena jumlah aset yang dimiliki oleh perusahaan
berbanding lurus dengan ukuran perusahaan (Machfoedz, 1994, dalam
Atarwaman 2011). Aset pada perusahaan dibagi menjadi dua, yaitu aset
lancar dan aset tetap (Nafarin, 2007). Aset lancar ( current asset ) adalah
aset perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan dan mempunyai umur
ekonomis paling lama satu tahun dalam siklus kegiatan perusahaan yang
normal (Nafarin, 2007). Nafarin (2007) juga menjelaskan bahwa aset tetap
( fixed asset ) adalah aset yang dimiliki oleh perusahaan yang memiliki masa
manfaat lebih dari satu tahun dalam siklus kegiatan yang normal. PSAK No.
16 Tahun 2007 menjelaskan bahwa aset tetap adalah aset bewujud yang
yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih
dahulu, yang digunakan untuk operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk
dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun. Aset tetap yang dimanfaatkan perusahaan
akan menyusut nilainya, ini dikarenakan sifat aus yang dimiliki oleh aset
tetap. Untuk aset tetap yang tidak digunakan oleh perusahaan juga tetap
akan menyusut karena sifat aset tetap yang dapat ketinggalan zaman (usang)
(Nafarin, 2007). Nafarin (2007) membagi aset tetap menjadi tiga jenis, yaitu
aset tetap berwujud, aset tetap tak berwujud dan aset tetap sumber daya
alam. Istilah penyusutan untuk masing-masing aset tetap berbeda satu
dengan yang lain, untuk penyusutan yang terjadi pada aset tetap berwujud
disebut depresiasi, penyusutan terhadap aset tetap tak berwujud disebut
amortisasi dan penyusutan aset tetap sumberdaya alam disebut deplesi
(Nafarin,2007). Dalam manajemen pajak, depresiasi dapat dijadikan sebagai
pengurang beban pajak. Perusahaan dengan rasio aset tetap dibanding
dengan total aset yang besar, akan membayar pajak lebih rendah dibanding
perusahaan yang memiliki rasio lebih kecil (Blocher et al, 2007).
Penelitian mengenai penghindaran pajak pertama-tama berupaya untuk
mendefinisikan penghindaran pajak itu sendiri. Apakah penghindaran pajak
adalah hal yang dilarang peraturan? Hal ini dapat ditelusuri dari penelitian
Slemrod dan Yitzhaki (2002), yang mengungkapkan bahwa karakteristik
yang membedakan dari penggelapan pajak (tax evasion) adalah
ilegalitasnya, namun ada wilayah abu-abu dimana sulit memisahkannya.
Kay dalam Slemrod dan Yitzhaki (2002) memberikan definisi yang
membedakan penggelapan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax
avoidance) dimana
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan penggelapan (evasion) adalah nyata
melawan peraturan yang berlaku, sedangkan penghindaran (avoidance)
tidak melanggar peraturan, namun melanggar maksud sebenarnya dari
peraturan tersebut. Lalu bagaimana membedakan antara penghindaran pajak
dan penggelapan pajak? Hanlon dan Heitzman (2010) menegaskan bahwa
tidak ada definisi penghindaran pajak yang diterima secara universal, setiap
orang atau peneliti memiliki pemahaman yang berbeda.
Penghindaran pajak (tax avoidance) didefinisikan secara luas sebagai
pengurangan pajak eksplisit dan merefleksikan semua transaksi yang
memiliki pengaruh pada utang pajak eksplisit perusahaan.
Penghindaran (avoidance) yang legal tidak dipisahkan dengan penggelapan
(evasion) yang ilegal dengan alasan sebagian besar perilaku disekitar
transaksi secara teknis adalah legal dan legalitas transaksi penghindaran
pajak (tax avoidance) sering ditetapkan tidak sesuai fakta. Penghindaran
(avoidance) mencakup posisi pajak yang pasti dan yang tidak pasti apakah
merupakan ilegal atau tidak. Selain itu ada ketidakjelasan dalam
menentukan apakah suatu transaksi diperbolehkan atau tidak. Penghindaran
pajak dijelaskan sebagai suatu rangkaian kesatuan dari strategi perencanaan
pajak dengan contoh seperti investasi pada obligasi pemerintah di satu ujung
(pajak rendah, legal sempurna), istilah lainnya seperti
"ketidakpatuhan (noncompliance)," "penggelapan (evasion),"
"agresivitas (aggresiveness)," dan "penyembunyian (sheltering)" berada
di ujung lain dari rangkaian tersebut. Aktivitas strategi seberapa agresif
aktivitas dalam mengurangi pajak (Hanlon dan Heitzman2010). Selanjutnya
penelitian ini akan menggunakan istilah penghindaran pajak untuk
mendefinisikan secara luas segala upaya meminimalkan utang pajak yang
dilakukan perusahaan.
Dalam penelitian Hoque, et al. (2011) diungkapkan beberapa cara
perusahaan melakukan penghindaran pajak, yaitu: 1) Menampakkan laba
dari aktivitas operasional sebagai laba darimodal sehingga mengurangi laba
bersih dan utang pajak perusahaan tersebut.2) Mengakui pembelanjaan
modal sebagai pembelanjaanoperasional, dan membebankan yang sama
terhadap laba bersih sehingga mengurangi utang pajak perusahaan.3)
Membebankan biaya personal sebagai biaya bisnis sehingga mengurangi
laba bersih.4) Membebankan depresiasi produksi yang berlebihan di bawah
nilai penutupan peralatan sehingga mengurangi laba kena pajak.5) Mencatat
pembuangan yang berlebihan dari bahan baku dalam industri manufaktur
sehingga mengurangi laba kena pajak. Dalam perusahaan multinasional,
panghindaran pajak yang biasa dilakukan adalah mengalihkan sebagian laba
ke anak perusahaan yang beroperasi di negara dengan tarif pajak lebih
rendah atau negara surga pajak (tax haven countries) (Zhou, 2011).
Mengapa perusahaan melakukan penghindaran pajak? Pemegang saham
tentu menginginkan adanya pengembalian yang berlipat ganda dari
investasinya pada perusahaan. Mengurangi jumlah beban pajak artinya
meningkatkan keuntungan perusahaan. Beberapa peneliti terdahulu
mengakui keuntungan penghindaran pajak, yaitu memberikan keuntungan
ekonomi yang besar (Scholes, et al. dalam Armstrong et al., 2013) dan
sumber pembiayaan yang tidak mahal bagi perusahaan (Armstrong et al.,
2012). Minnick dan Noga (2010) menemukan bahwa manajemen pajak
menguntungkan pemegang saham; manajemen pajak yang lebih baik
berhubungan positif dengan pengembalian yang lebih tinggi kepada
pemegang saham. Maka dapat dikatakan bahwa aktivitas penghindaran
pajak secara umum dilihat sebagai memihak pemegang saham (Desai dan
Dharmapala, 2006). Penghindaran pajak bukannya bebas biaya. Beberapa
biaya yang harus ditanggung yaitu pengorbanan waktu dan tenaga untuk
melakukan penghindaran pajak, dan adanya risiko jika penghindaran pajak
terungkap. Risiko ini mulai dari yang dapat dilihat, yaitu bunga dan denda;
dan yang tidak terlihat, yaitu kehilangan reputasi perusahaan (Armstrong et
al., 2013), yang berakibat buruk untuk kelangsungan usaha jangka panjang
perusahaan. Ada pula risiko penghindaran pajak yang lain. Karena yang
menggerakkan jalannya perusahaan adalah manajer, maka pelaku utama
penghindaran pajak adalah mereka. Manajer yang menentukan seberapa
tingkat penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan. Masalah timbul bila
manajer memanfaatkan posisinya untuk mengalihkan sumberdaya
perusahaan bagi keuntungan pribadinya, yang biasa disebut dengan masalah
agensi. Disinilah peran tata kelola perusahaan yang merupakan mekanisme
untuk mengontrol manajer agar bertindak sesuai dengan kepentingan
pemegang saham. Tata kelola perusahaaan memegang peran yang signifikan
dalam mempengaruhi perilaku manajer. Dalam perusahaan dengan tata
kelola yang buruk, ketika insentif untuk manajer meningkat, tingkat
penghindaran pajak perusahaan menurun. Hal ini disebabkan pengalihan
sumberdaya.pengembalian yang lebih tinggi kepada pemegang saham.
Maka dapat dikatakan bahwa aktivitas penghindaran pajak secara umum
dilihat sebagai memihak pemegang saham (Desai dan Dharmapala, 2006).
Penghindaran pajak bukannya bebas biaya. Beberapa biaya yang harus
ditanggung yaitu pengorbanan waktu dan tenaga untuk melakukan
penghindaran pajak, dan adanya risiko jika penghindaran pajak terungkap.
Risiko ini mulai dari yang dapat dilihat, yaitu bunga dan denda; dan yang
tidak terlihat, yaitu kehilangan reputasi perusahaan (Armstrong et al., 2013),
yang berakibat buruk untuk kelangsungan usaha jangka panjang perusahaan.
Ada pula risiko penghindaran pajak yang lain. Karena yang menggerakkan
jalannya perusahaan adalah manajer, maka pelaku utama penghindaran
pajak adalah mereka. Manajer yang menentukan seberapa tingkat
penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan. Masalah timbul bila
manajer memanfaatkan posisinya untuk mengalihkan sumberdaya
perusahaan bagi keuntungan pribadinya, yang biasa disebut dengan masalah
agensi. Disinilah peran tata kelola perusahaan yangmerupakan mekanisme
untuk mengontrol manajer agar bertindak sesuai dengan kepentingan
pemegang saham. Tata kelola perusahaaan memegang peran yang signifikan
dalam mempengaruhi perilaku manajer. Dalam perusahaan dengan tata
kelola yang buruk, ketika insentif untuk manajer meningkat, tingkat
penghindaran pajak perusahaan menurun. Hal ini disebabkan pengalihan
sumberdaya mengatur pajak. Dyreng, et al. (2009) menemukan bahwa
eksekutif secara individu berperan signifikan dalam menentukan tingkat
penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan. Bagaimana tata kelola
perusahaan dapat berfungsi untuk menyesuaikan tingkat penghindaran pajak
dibuktikan oleh Armstrong, et al. (2013). Mekanisme tata kelola perusahaan
cenderung mengurangi tingkat penghindaran pajak yang ekstrim tinggi dan
menaikkan tingkat penghindaran pajak yang ekstrim rendah. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa penghindaran pajak memberikan
keuntungan jika dilakukan dalam jangka panjang (Desai dan Dharmapala,
2006; Minnick dan Noga, 2010). Hal ini disebabkan adanya pemanfaatan
dimensi waktu dalam sebagian penghindaran pajak, yaitu beda waktu, untuk
mendapatkan time value of money. Dyreng, et al. (2007) menemukan bahwa
sebagian besar perusahaan berhasil menghindari sebagian besar pajak
pendapatan dalam jangka waktu yang berkelanjutan. Hal ini berarti
penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan dalam jangka pendek adalah
bagian dari kecenderungan perusahaan menghindari pajak dalam jangka
panjang. Sehingga meskipun penelitian ini meneliti penghindaran pajak
yang dilakukan dalam jangka pendek (yaitu 3 tahun), dapat menjadi indikasi
kecenderungan penghindaran pajak jangka panjang
Eksekutif secara individu telah terbukti menentukan tingkat pengambilan
keputusan penghindaran pajak perusahaan (Dyreng et al., 2009), sehingga
pemegang saham berupaya memberi insentif kepada eksekutif agar
bertindak untuk memaksimalkan nilai pemegang saham. Kompensasi akan
mengurangi biaya agensi yang dikeluarkan perusahaan, karena hubungan
yang kuat antara pembayaran dan kinerja (pay and performance) dapat
mengurangi biaya yang berhubungan dengan pengawasan pemegang saham
(Cheffins dalam Solomon, 2007) dan mempengaruhi eksekutif agar
bertindak sesuai kepentingan pemegang saham. Jika pemegang saham
memandang insentif akan mengurangi biaya agensi, stakeholder yang lain
justru memandang negatif. Misalnya reformasi kebijakan remunerasi
eksekutif di Inggris, dimotivasi oleh media dan politik, bukannya oleh
perusahaan. Hal ini mungkin disebabkan kenaikan insentif bagi manajer
tampaknya membuat pandangan publik yang buruk (Thompson dalam
Solomon, 2007). Jika perusahaan mengingat reputasi dan kelangsungan
bisnisnya di masa depan, maka perusahaan akan mempertimbangkan
besaran kompensasi yang diberikan untuk manajer. Standar kompensasi
untuk eksekutif di Indonesia tidak memiliki standar yang baku. Besaran dan
cara penghitungannya dapat bervariasi antar perusahaan. Rata-rata
kompensasi bagi perusahaan di Indonesia mencakup gaji atau honorarium,
tunjangan, dan bonus atau tantiem. Gaji atau honorarium dan tunjangan
bersifat tetap yang besarnya ditentukan oleh ketetapan perusahaan.
Sedangkan bonus atau tantiem merupakan pembagian dari kekayaan
perusahaan untuk memotivasi manajer atau karyawannya. Dasar
penetapannya bervariasi, antara lain: dihitung atas dasar laba bersih tahun
sebelumnya; diberikan jika realisasi laba, volume produksi, atau penjualan
berada di atas anggaran yang ditetapkan RUPS; diberikan atas dasar laba
sebelum pajak; atau didasarkan atas kenaikan profitabilitas dari tahun
sebelumnya. Untuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tahun 2009
tentang "Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan
Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara". Yang menyebutkan bahwa
Persero dapat membagikan tantiem kepada Direksi dan Dewan Komisaris,
dalam hal Persero mengalami peningkatan kinerja meskipun masih
mengalami kerugian dalam tahun buku yang bersangkutan atau akumulasi
kerugian dari tahun buku sebelumnya. Karena adanya variasi tersebut, bonus
plan hypothesis mungkin tidak dapat diterapkan bagi seluruh perusahaan.
Bonus plan hypothesis menyatakan bahwa manajer dalam perusahaan
dengan pemberian bonus, cenderung memilih prosedur akuntansi yang
mempercepat laba dari periode yang akan datang ke periode sekarang
(Watts dan Zimmerman, 1986). Jika bonus dihitung berdasarkan laba
perusahaan, maka manajer berharap dengan menaikkan laba periode
sekarang, maka ia akan menerima bonus yang besar pada periode sekarang.
Hal ini tidak lain karena manajer mempertimbangkan time value of money
dari kompensasi yang didapatnya. Jika dasar penentuan bonus adalah laba
sebelum pajak, maka manajer akan cenderung untuk bertindak oportunis
sesuai dengan bonus plan hypothesis. Manajer akan berusaha untuk
mempercepat laba dari periode yang akan datang ke periode sekarang,
sehingga akan menaikkan pajak penghasilan periode sekarang. Padahal
salah satu cara penghindaran pajak adalah menunda pembayaran pajak
periode sekarang dengan memanfaatkan beda temporer untuk mendapatkan
time value of money. Selain itu, manajer menjadi kurang termotivasi
melakukan penghematan pajak. Dalam kondisi seperti ini, dapat dikatakan
bahwa mekanisme tata kelola perusahaan kurang efektif dalam mengontrol
perilaku manajer, sehingga memiliki masalah agensi lebih besar. Perusahaan
yang memiliki masalah agensi lebih besar, memberikan kompensasi lebih
besar kepada eksekutifnya (Core et al., 1999) dan mengurangi tingkat
penghindaran pajak perusahaan (Desai dan Dharmapala, 2006). Lain halnya
jika dasar penetapan bonus eksekutif adalah laba setelah pajak. Gaertner
(2011) menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara laba setelah
pajak dan total kompensasi CEO, yang mengindikasikan bahwa CEO yang
diberi kompensasi dengan dasar setelah pajak meminta adanya tambahan
untuk menanggung risiko tambahan. Selain itu, CEO yang diberi
kompensasi dengan dasar insentif setelah pajak memiliki hubungan positif
dengan penghindaran pajak (Gaertner, 2011). Hal ini disebabkan manajer
cenderung untuk melakukan penghindaran pajak sehingga mendapatkan
laba bersih yang besar. Dalam kondisi ini, kepentingan manajer sama
dengan kepentingan pemegang saham. Pengaruh pemberian bonus dengan
skema seperti ini sama dengan pemberian opsi saham kepada manajer, yang
mengatasi masalah agensi. Skema ini sering disebut sebagai kompensasi
insentif, yang didesain oleh pemegang saham untuk mengontrol manajer
agar sesuai dengan kepentingannya. Skema kompensasi insentif telah
terbukti mempengaruhi kecenderungan penghindaran pajak (Armstrong et
al., 2013), dengan semakin besar insentif yang diberikan untuk manajer
maka semakin besar penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan
(Minnick dan Noga, 2010; Rego dan Wilson, 2012). Namun jika komponen
kompensasi eksekutif hanya berupa gaji dan tunjangan, maka hal ini tidak
akan berpengaruh terhadap kecenderungan manajer bertindak oportunis atau
bertindak memaksimalkan kepentingan pemegang saham. Bervariasinya
sistem penetapan kompensasi untuk masing-masing perusahaan, dan ada
kalanya tidak ada penjelasan mengenai cara penetapannya, menjadi
tantangan tersendiri bagi penelitian di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian
ini mengasumsikan bahwa perusahaan di Indonesia memiliki sistem
kompensasi yang disamakan dengan sistem perusahaan BUMN, yaitu terdiri
dari gaji, tunjangan, dan bonus yang diberikan berdasarkan kinerja.
Bagaimanapun juga, penelitian-penelitian tersebut mengukur kompensasi
melalui komponen saham dan opsi saham, sedangkan perusahaan di
Indonesia rata-rata menggunakan sistem kompensasi tanpa basis saham,
yaitu terdiri dari gaji, tunjangan, dan bonus yang diberikan berdasarkan
kinerja. Hal ini menyebabkan dugaan yang dirumuskan berbeda dengan
penelitian-penelitian diatas. Jika gaji dan tunjangan merupakan komponen
tetap, sistem bonus dapat membuat motivasi manajer untuk semata-mata
meningkatkan kinerja, tanpa memberikan upaya lebih untuk melakukan
penghindaran pajak. Peningkatan kinerja juga berarti akan meningkatkan
laba perusahaan, dan menaikkan pajak. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya di Indonesia, Irawan dan Farahmita (2012)
menemukan bahwa tingkat kompensasi direksi berpengaruh negatif terhadap
penghindaran pajak perusahaan.
Desai dan Dharmapala (2006) menganalisis hubungan antara penghindaran
pajak perusahaan dan tumbuhnya insentif yang kuat untuk manager. Hasil
penelitian ditemukan bahwa meningkatkan kompensasi insentif cenderung
mengurangi tingkat penyembunyian pajak (tax sheltering), dengan cara yang
konsisten dengan hubungan yang saling melengkapi antara pengalihan dan
penyembunyian. Hasil lainnya adalah efek negatif ini terjadi terutama pada
perusahaan yang memiliki susunan tata kelola yang lemah.
Minnick dan Noga (2010) meneliti mengenai bagaimana tata kelola
perusahaan memainkan peran dalam manajemen pajak jangka panjang.
Penelitian tersebut berfokus pada komposisi dewan, entrenchment, dan
kompensasi, menggunakan data yang diambil langsung dari 500 perusahaan
S&P tahun 1996-2005. Effective tax rate diteliti dengan membagi menjadi
komponen-komponen individual, seperti tingkat pajak domestik, pajak luar
negeri, dan perubahan dalam penyesuaian nilai. Hasil penelitian ditemukan
bahwa sensitivitas pay-performance meningkatkan kinerja keseluruhan
perusahaan dengan menurunkan pajak jangka panjang. Ditemukan juga
bahwa tata kelola memiliki peran penting dalam manajemen pajak, struktur
tata kelola yang berbeda memilih strategi manajemen pajak yang berbeda.
Lanis dan Richardson (2011) meneliti pengaruh komposisi dewan direksi
terhadap agresivitas pajak perusahaan. Ditemukan bahwa persentase outside
director yang lebih besar akan mengurangi kemungkinan agresivitas pajak.
Khaoula dan Ali (2012) meneliti mengenai karakteristik dewan direksi
terhadap perencanaan pajak. Karakteristik dewan tersebut diproksikan
dengan dualitas dan diversitas dewan, ukuran dewan, dan direktur
independen. Dualitas dan diversitas dewan direksi menunjukan hubungan
yang signifikan sedangkan ukuran dewan dan direktur independen tidak
menunjukkan hubungan dengan perencanaan pajak
Armstrong, et al. (2013) meneliti hubungan antara tata kelola perusahaan
(diproksikan dengan jumlah financial expertise dalam dewan direksi dan
persentase direktur independen), insentif manajemen, dan penghindaran
pajak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tata kelola perusahaan
cenderung mengurangi tingkat penghindaran pajak yang ekstrim tinggi dan
menaikkan tingkat penghindaran pajak yang ekstrim rendah, dalam
distribusi penghindaran pajak perusahaan.
Irawan dan Farahmita (2012) meneliti pengaruh kompensasi manajemen dan
tata kelola perusahaan (yang diproksikan dengan kepemilikan direksi)
terhadap manajemen pajak perusahaan. Ditemukan bahwa kepemilikan oleh
direksi secara signifikan mengurangi pajak yang dibayarkan. Namun
kompensasi direksi ternyata bukan merupakan mekanisme yang efektif
untuk manajemen pajak perusahaan.
top related