terbentuknya daratan bolaang mongondow
Post on 14-Aug-2015
215 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Makalah
“ GEOMORFOLOGI INDONESIA “
(Bolaang Mongondow)
O L E H :
Nama : Yasrin Karim
NIM : 451 409 057
Kelas : Geografi B
JURUSAN FISIKA
PROGRAM STUDI GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2010
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Puji syukur senantiasa penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul Daerah Bolaang Mongondow.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah
ini, banyak menemui kendala, namun berkat kerjasama, kemauan keras dan
kesabaran serta bantuan dari berbagai pihak terutama Dosen Pembimbing
matakuliah Geomorfologi Indonesia, kendala tersebut dapat teratasi.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang
memberikan tugas yang sangat bermanfaat dengan adanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Olehnya itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya.
Wallaikumsalam. Wr. wb,
Gorontalo, November 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 ......................................................................................................... Latar
Belakang....................................................................................... 1
1.2 ......................................................................................................... Permasala
han ............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 2
2.1 Sejarah Bolaang Mongondow.......................................................2
2.2 Letak Geografis...............................................................................5
2.3 SDA Daerah Bolaang Mongondow................................................6
2.4 Potensi Gempa Bolaang Mongondow..........................................8
2.5 Evaluasi Sistem Penanggulangan Bencana Provinsi Sulawesi
Utara.....................................................................................................12
BAB III PENUTUP ................................................................................ 13
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 13
3.2 Saran ................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bolang Mongondow, terdiri dari kata “bolaang” dan “mongondow”. Bolaang atau
golaang berarti : menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap karena terlindung oleh
pepohonan yang rimbun. Dalam hutan rimba, daun pohon rimbun, sehingga agak
gelap. Biar ada bagian yang pohonnya agak renggang, sehingga seberkas sinar
matahari dapat menembus kegelapan hutan, itulah yang dimaksud dengan no
bolaang atau no golaang. Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara Bolaang
Mongondow yang pada abad 17 sampa akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan
istana raja. Bolaang dapat pula berasal dari kata “bolango” atau “balangon” yang
berarti laut (ingat : Bolaang Uki dan Bolaang Itang yang juga terletak di tepi laut).
Mongondow dari kata “momondow” yang berarti : berseru tanda kemenangan.
Desa mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Daerah pedalaman
biasa juga disebut : rata Mongondow. Dengan bersatunya seluruh kelompok
masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai, maupun yang
berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan raja tadohe (Sadohe),
maka daerah ini menjadi daerah Bolaang Mongondow.
1.2 permasalahan
1. Bagaimanakahsejrah dari Bolaang Mongondow?
2. Bagaimanakah letak geografis Bolaang Mongondow?
3. Bagaimanakah SDA Bolaang Mongondow?
4. Bagaimanakah potensi gempa di Bolaang Mongondow?
5. Apasajakah bencana yang sering melanda Bolaang Mongondow?
BAB II
PEMBAHASAN
2.6 Sejarah Bolaang Mongondow
Penduduk asli Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan
Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat, awalnya mereka tinggal di
gunung Komasaan (Bintauna). Kemudian menyebar ke timur di tudu in Lombagin,
Buntalo, Pondoli', Ginolantungan sampai ke pedalaman tudu in Passi, tudu in
Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Peristiwa
perpindahan ini terjadi sekitar abad 8 dan 9. Nama Bolaang berasal dari kata
"bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti
menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari
kata „momondow‟ yang berarti berseru tanda kemenangan. Desa Bolaang terletak di
tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi
tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km
selatan Kotamobagu.
Daerah pedalaman sering disebut dengan „rata Mongondow‟. Dengan
bersatunya seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di
pesisir pantai maupun yang berada di pedalaman Mongondow di bawah
pemerintahan Raja Tadohe, maka daerah ini dinamakan Bolaang Mongondow.
Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-
laki atau perempuan) yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan :
memiliki kemampuan fisik (kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai
tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan
musuh. Mokodoludut adalah punu‟ Molantud yang diangkat berdasarkan
kesepakatan seluruh bogani. Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang
pertama). Sejak Tompunu‟on pertama sampai ketujuh, keadaan masyarakat
semakin maju dengan adanya pengaruh luar (bangsa asing). Perubahan total mulai
terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu‟on, akibat pengaruh pedagang Belanda
dirubah istilah Tompunu‟on menjadi Datu (Raja).
Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur
dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol
pada masa pemerintahan Mokoagow (ayah Tadohe). Tadohe melakukan
penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat
(Paloko‟). Paloko‟ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang
mengangkat tingkat penghidupan Paloko‟ melalui pembangunan disegala bidang,
sedangkan kepala desa dipilih oleh rakyat. Tadohe berhasil mempersatukan seluruh
rakyat yang hidup berkelompok dengan boganinya masing-masing, dan dibentuk
sistem pemerintahan baru. Seluruh kelompok keluarga dari Bolaang, Mongondow
(Passi dan Lolayan), Kotabunan, Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow.
Di masa ini mulai dikenal mata uang real, doit, sebagai alat perdagangan.
Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832),
agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa
oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja
memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga
sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut mempengaruhi
perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Sekitar
tahun 1867 seluruh penduduk Bolaang Mongondow sudah menjadi satu dalam
bahasa, adat dan kebiasaan yang sama (menurut N.P Wilken dan J.A.Schwarz).
Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda dibawa pimpinan Controleur Anton Cornelius
Veenhuizen bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha masuk
Bolaang Mongondow melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak
berhasil dan ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo
dengan kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel Manuel Manoppo tidak
mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda, maka Belanda
melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja)
di Kotobangon pada tahun 1901. Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk
Bolaang Mongondow dan berjumlah 41.417 jiwa.
Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang
Mongondow, W.Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan tiga
kelas yang dikelola oleh zending di beberapa desa; yakni : desa Nanasi, Nonapan,
Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi, Popo Mongondow, Otam,
Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan dengan total
murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari Minahasa.
Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg
School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah
rakyat 3 tahun. Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu
tempat di kaki gunung Sia‟ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena
tempat itu kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan
pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan pada bulan April 1911
oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915.
Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru
otamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang
masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-
tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara
konvensional.Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga
macam cara kehidupan bergotong royong yang masih terpelihara dan dilestarikan
terus sampai sekarang ini, yaitu : Pogogutat (potolu adi‟), Tonggolipu‟, Posad
(mokidulu). Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun cara
pelaksanaaannya agak berbeda.Penduduk pedalaman yang memerlukan garam
atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau ke
pesisir pantai memasak garam (modapug) dan mencari ikan. Dalam mencari rezeki
itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam
mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut
Totabuan yang dapat diartikan sebagai tempat mencari nafkah. Bila ada tamu yang
bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria
atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari
ebiasaan ini diciptakan tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat
terutama pejabat di jemput dengan upacara adat. Tarian Kabela sampai saat ini
tetap lestari di bumi Totabuan. Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup
beragam diantaranya tarian tradisional yang terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari
Mosau, Tari Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian kreasi baru seperti Tari
Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari
Kikoyog dan Tari Mokosambe. Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di
desa Kotobangon (tempat kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat
pemakaman raja dan keturunannya). Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama
kali datang pada tahun 1963 dengan jumlah 1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di
Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di desa Kembang
Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang
(1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan
Pusian/Serasi (1992/1993). lengkap
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang Mongondow menjadi bagian
wilayah Propinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan
sebagai daerah otonom tingkat I. Bolaang Mongondow dipisahkan menjadi daerah
otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang mongondow
resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri
berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap tanggal 23
Maret seluruh rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai HUT
Kabupaten Bolaang Mongondow.
Seiring dengan Nuansa Reformasi dan Otonomi Daerah, telah dilakukan
pemekaran wilayah dengan terbentuknya Kabupaten Bolaang Mongondow Utara
melalui Undang-Undang RI No. 10 Tahun 2007 dan Kota Kotamobagu melalui
Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2007 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten
Bolaang Mongondow.
Tujuan utama pembentukan Kab. Bolmong Utara dan Kota Kotamobagu
adalah untuk memajukan daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan
pelayanan, dan memobilisasi pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta
kemakmuran rakyat totabuan.
2.7 Letak Geografis
Daerah Bolaang Mongondow terletak di jazirah utara pulau Sulawesi
memanjang dari barat ke timur dan diapit oleh dua kabupaten lainnya, yaitu
Gorontalo (sekarang sudah menjadi propinsi) dan Minahasa. Secara geografis
daerah ini terletak antara 100,30″ LU dan 0020″ serta antara 16024‟0″ BT dan
17054‟0″ BT. Sebelah utara dibatasi laut sulawesi dan selatan dengan laut Maluku.
Bolaang Mongondow adalah sebuah daerah (landschap) yang berdiri sendiri
dan memerintah sendiri dan masih merupakan daerah tertutup sapai dengan akhir
abad 19. Hubungan dengan luar (asing) hanyalah hubungan dagang yang diadakan
melalui kontrak dengan raja-raja yang memerintah pada saat itu. Dengan masuknya
pengaruh pemerintahan bangsa asing (Belanda) pada sekitar tahun 1901, maka
secara administrasi daerah ini termasuk Onderafdeling Bolaang Mongondow yang
didalamnya termasuk landschap Binatuna, Bolaang Uki, Kaidipang besar dari
Afdeling Manado.
Batas pesisir dengan daerah Gorontalo oleh dua buah sungai, yaitu di utara
sungai Andagile dan di selatan oleh sungai Taludaa. Dengan daerah Minahasa juga
dua sungai yaitu di utara sungai Poigar dan di selatan oleh sungai Buyat. Medan
yang terlebar jaraknya sekitar 66 km yaitu antara sungai Poigar dan tanjung Flesko.
Yang tersempit yaitu antara desa Sauk di utara dan desa Popodu di selatan.
Pimpinan masyarakat Bolmong pada jaman dulu disebut Bogani yang
sekarang ini di Daerah Bolaang Mongondow telah terdapat patung Bogani yang
terletak di Kelurahan Kotabangon kecamatan Kotamobagu. (patung bogani, lihat
gambar paling atas)
2.8 SDA Daerah Bolaang Mongondow
Potensi Perkebunan dan Pertanian
Hasil dari perkebunan dan pertanian juga sangat menunjang kelangsungan
hidup masyarakat daerah Bolaang Mongondow. Sebagian besar mata
pencaharian masyarakat Bolaang Mongondow adalah bertani dan berkebun.
Potensi hasil perkebunan dan pertanian yang dijadikan masyarakat Bolaang
Mongondow sebagai penunjang hdup mereka karena wilayah perkebunan dan
pertanian daerah Bolaang Mongondow itu luas.
Potensi Bahan Galian
Bahan galian yang mempunyai sifat : tidak terbarukan, jumlahnya yang
terbatas, pengelolaannya dapat merusak lingkungan, dan nilai ekonomisnya
sangat tergantung dengan kondisi, teknik-ekonomi, politik, sosial dan budaya,
sehingga dalam pengelolaannya perlu penerapan prinsip konservasi, yaitu
optimalisasi dan yang berkelanjutan.
Dalam rangka untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan galian tersebut
diperlukan pengetahuan tentang; perumusan kebijakan, pemantauan sumber
daya dan cadangan, penambangan dan pengolahan, serta pengawasan
konservasi, sehingga dapat mencegah terjadinya pemborosan atau penyia-
nyiaan bahan galian di berbagai tahapan kegiatan.
Oleh karena itu maka salah satu upaya untuk mendorong terwujudnya
penerapan konservasi sumber daya mineral secara efektif, perlu dilakukan
sosialisasi/bimbingan teknis konservasi sumber daya mineral kepada aparat
Pemerintah Daerah, yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan
pengawasan usaha pertambangan, sehingga dapat menambah pengetahuan
dan kemampuan dalam melaksanakan pengawasan konservasi sumber daya
mineral, khususnya di daerah Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi
Utara.
Kebijakan di bidang konservasi sumber daya mineral didasarkan atas
keluarnya Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1453.K/29/MEM/2000,
dan disusul dengan tersusunnya konsep Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Konservasi Bahan Galian, maka pemahaman tentang kebijakan ini untuk
para aparat pemerintah daerah sangat diperlukan dalam pelaksanaannya di
daerah.
Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, sebagai daerah
tujuan bimbingan teknik (Bimtek) konservasi. dipilihnya daerah ini karena secara
geologi mempunyai potensi bahan galian yang cukup potensial seperti emas dan
bahan galian industri, bahkan di beberapa lokasi telah diusahakan.
Kegiatan ini dibiayai dengan dana Proyek Konservasi Sumber Daya Mineral
(PKSDM) tahun Anggaran 2004.
Potensi Perikanan
Di Kecamatan Pinolosian Timur terdapat 9 desa dimana hampir semuanya
memiliki wilayah pesisir. Potensi penangkapan ikan di sungai 16 ha, potensi
budidaya di kolam 30 ha, sawah/mina padi 50 ha, tambak 900 ha dan laut 1.700
ha. Di Kecamatan Pinolosian Tengah terdapat 5 desa dan hampir semua desa-
desa tersebut memiliki wilayah pesisir.
Potensi penangkapan ikan di danau 25 ha dan sungai 16 ha, potensi
budidaya di kolam 70 ha, sawah/mina padi 100 ha, tambak 900 ha dan laut 1.700
ha. Di Kecamatan Pinolosian terdapat 8 desa dan kesemuanya memiliki wilayah
pesisir. Potensi penangkapan ikan di sungai 20 ha, potensi budidaya di kolam 50
ha, sawah/mina padi 65 ha, tambak 700 ha dan laut 198 ha.
Di Kecamatan Bolaang Uki terdapat 18 desa yang kesemuanya memiliki
wilayah pesisir. Potensi penangkapan ikan di sungai 15 ha, potensi budidaya di
kolam 105 ha, sawah/mina padi 140 ha, tambak 650 ha dan laut 1.800 ha. Di
Kecamatan Posigadan terdapat 14 desa. Potensi penangkapan ikan di sungai 45
ha, potensi budidaya di kolam 45 ha, sawah/mina padi 60 ha, tambak 30 ha dan
laut 1.500 ha.
Produksi perikanan tangkap di perairan Teluk Tomini, Bolaang Mongondow
tahun 2004 sebesar 10.588,4 ton, 2005 sebesar 8.787,5 ton dan 2006 sebesar
8.633,6 ton. Di kabupaten ini terdapat infrastruktur pelabuhan/TPI/PPI yaitu TPI
Pinolosian, TPI Popodu, TPI Salongo dan PPI Dodepo.
2.9 Potensi Gempa Bolaang Mongondow
Gempa Bumi
Provinsi Sulawesi Utara tergolong daerah berpotensi tinggi atau rawan dan
rentan terhadap bencana gempa bumi, baik tektonik maupun vulkanik.
Kegiatan Lempeng Halmahera, dan kegiatan penunjaman Lempeng Maluku ke
arah barat di bawah busur Minahasa-Sangihe yang masih aktif sampai
sekarang dapat mengakibatkan terjadinya gempa bumi tektonik. Menurut Peta
Geologi (Apandi, 1977), di Provinsi Sulawesi Utara terdapat beberapa Sesar,
yaitu Sesar Amurang - Belang, Sesar Ratatotok, Sesar Likupang, Sesar Selat
Lembeh, Sesar yang termasuk dalam sistem Sesar Bolaang Mongondow, dan
Sesar Manado Kema.
Gempa bumi yang terjadi di daerah Sulawesi Utara antara tahun 1990
sampai dengan bulan April tahun 2007 (kurun waktu ± 17 tahun) tercatat
sebanyak 397 kali dengan kisaran magnitude 4,0-7,4 skala Richter (SR). Dari
data yang ada, gempa dengan magnitude 4,0-5,0 SR terjadi sebanyak 131 kali
(33,08%), gempa bumi dengan magnitude 5,1-6,0 SR sebanyak 227 kali
(57,32%), gempa bumi dengan magnitude 6,1-7,0 SR sebanyak 36 kali
(9,09%), dan gempa bumi dengan magnitude 7,1-8,0 SR sebanyak 2 kali
(0,51%). Umumnya pusat gempa terletak di Laut Maluku dan di samping itu
juga terdapat di Laut Sulawesi, di Laut Kepulauan Talaud, di Laut Kepulauan
Sangihe, di Laut Banda dan di Laut Teluk Tomini.
Gelombang Pasang/Tsunami
Pesisir pantai utara dan selatan Provinsi Sulawesi Utara berpotensi
mengalami gelombang pasang/tsunami, mengingat wilayah ini merupakan
daerah yang sering mengalami gempa bumi.
Pantai kritis di Provinsi Sulawesi Utara membentang sepanjang 49,50 km
dari garis pantai 1.767,68 km. Sampai dengan tahun 2004, pantai kritis yang
sudah tertangani mencapai 11,02 km. Tujuan penanganan daerah pantai
adalah untuk melindungi prasarana umum dan pemukiman dan bahaya
gelombang pasang, abrasi pantai dan mundurnya garis pantai. Jumlah pantai
kritis yang makin meningkat ini, juga membawa potensi dampak kerugian yang
lebih masif apabila terjadi gelombang pasang/tsunami dalam skala besar.
Letusan Gunung Berapi
Berdasarkan deskripsi pada bagian sebelumnya, maka telah dijelaskan
bahwa sebagian besar kondisi topografi di Provinsi Sulawesi Utara dikelilingi
oleh daerah pegunungan, terutama gunung api aktif (vulkanik) yang berjumlah
sekitar 65 (enam puluh lima) gunung. Gunung api sendiri dapat didefinisikan
sebagai bentukan gunung yang memiliki lubang kepundan atau rekahan pada
kerak bumi tempat keluarnya magma, gas atau cairan lainnya ke permukaan.
Bencana letusan gunung api disebabkan oleh aktifnya gunung api sehingga
menghasilkan erupsi. Bahaya letusan gunung api dapat berpengaruh secara
langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder). Bahaya primer letusan
gunung api adalah lelehan lava, aliran piroklastik (awan panas), jatuhan
piroklastik, letusan lahar dan gas vulkanik beracun. Bahaya sekunder adalah
ancaman yang terjadi setelah atau saat gunung api tidak aktif seperti lahar
dingin, banjir bandang dan longsoran material vulkanik.
Letusan gunung api di Sulawesi Utara, umumnya memiliki tipe letusan
“freatomagmatik” yang ditandai dengan semburan material pijar, dan kadang-
kadang diikuti oleh leleran lava pijar. Selain itu, ciri khas gunung api di
Sulawesi Utara menampakkan gejala perpindahan pusat letusan, semisal
Gunung Lokon dan Soputan yang sangat umum terjadi. Perpindahan ini
mengikuti garis lemah pada kerak bumi yang di wilayah Sulawesi Utara berarah
utara selatan agak timur laut-barat daya. Hampir semua gunung api di
Sulawesi Utara terletak pada arah dominan ini. Karena itu pula, bentuk daratan
Sulawesi Utara memanjang pada arah ini.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi
Utara Tahun 1991, untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari potensi
bencana letusan gunung api, maka pemerintah setempat didukung instansi
terkait lainnya di tingkat pusat (Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana,
ESDM) menyusun peta kawasan rawan bencana letusan gunung api.
Pengertian Kawasan Rawan Bencana ini adalah kawasan yang sering atau
berpotensi tinggi mengalami letusan gunung api. Sulawesi Utara sendiri
memiliki sembilan gunung api aktif, yaitu:
a G. Awu (± 1.320 m dpl, + 3.300 m dari dasar laut), berada di bagian utara
Pulau Sangihe.
b G. Karangetang (± 1.820 m dpl, + 2.700 m dari dasar laut), berada di bagian
utara Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro.
c G. Ruang (± 714 m dpl, + 1.700 m dari dasar laut), G. Submarin Banuawuhu (+
400 m dari dasar laut), dan G. Soputan (+ 1.784 m dpl), terletak di perbatasan
Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa dan Minahasa Tenggara.
d G. Lokon (± 1.579 m dpl) dan Gunung Mahawu (± 1.331 m dpl), terletak di
perbatasan Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa.
e G. Ambang (± 1.689 m dpl) di perbatasan Bolaang Mongondow dan Minahasa
Selatan.
f G. Tangkoko (G. Tangkoko 1.149 m dpl) di Kota Bitung.
Banjir
Banjir merupakan peristiwa bencana alam yang tidak bisa dilihat dari satu
sisi penyebab. Banjir merupakan akumulasi dari surface run off yang ada di
hulu dan ditambah dengan intensitas hujan di daerah hilir. Akibat dari
penyebab multi faktor. Penyebab multi faktor ini memberikan kontribusi banjir
yang berbeda satu sama lain. Pengaruh catchment area terhadap surface run
off adalah melalui bentuk dan ukuran catchment area (catchment area
morfometri), kerapatan sungai (drainage density), topografi, geologi, jenis
tanah, lahan kritis, dan penutupan lahan (landcover).
Daerah rawan banjir di wilayah Provinsi Sulawesi Utara meliputi daerah
muara sungai, dataran banjir dan dataran aluvial, terutama di sepanjang
Sungai. Faktor-faktor penyebab banjir antara lain adalah curah hujan yang
tinggi, penutupan lahan di daerah hulu berkurang dan kapasitas alur sungai
terutama di daerah hilir berkurang karena sedimentasi dan topografis daerah.
Kota Manado yang terletak di bagian hilir daerah aliran Sungai Tondano
(DAS Tondano) merupakan kawasan rawan banjir, terutama di kawasan
permukiman dekat bantaran sungai. Menurut Dinas PU Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2000, banjir yang tergolong ekstrim terjadi di Kota Manado dengan luas
genangan mencapai + 761 ha pada tahun 1996 pada saat tinggi muka air
mencapai + 7,04 meter di atas permukaan air laut. Khusus untuk konteks
kejadian banjir di Kota Manado yang hampir tiap tahun terjadi, maka
berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Dinas Kehutanan Sulawesi
Utara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano (2005), maka faktor
yang berpengaruh dalam memberikan kontribusi banjir secara langsung adalah
kondisi drainase yang buruk, tingginya intensitas hujan, dan kapasitas sungai
yang tidak mampu menampung seluruh air hujan, dan pasang surut air laut.
Pada tahun 2000, dengan tinggi genangan mencapai 2,5 meter, kota
Manado kembali dilanda banjir. Kejadian banjir lainnya yang melanda wilayah
Provinsi Sulawesi Utara adalah di daerah Inobonto, sekitar Desa Kaiya
(Kabupaten Bolaang Mongondow) yang terjadi pada awal tahun 2006 dan di
wilayah Tanawangko, Kabupaten Minahasa (hilir Sungai Ranowangko) serta di
Kota Tomohon pada Februari 2005.
Tanah Longsor
Terjadinya tanah longsor sangat tergantung pada kestabilan/kemiringan
lereng, topografi, geomorfologi dan kondisi geologi. Daerah yang memiliki
kemiringan lereng yang curam, > 25% ditambah curah hujan yang tinggi sangat
berpotensi untuk terjadinya gerakan massa dan akhirnya menimbulkan longsor.
Di samping itu, kegiatan pemotongan lereng bukit karena pembuatan jalan di
daerah-daerah berlereng curam dan/atau kegiatan lain sering menjadi
penyebab terjadinya longsor. Gejala umum tanah longsor diantaranya adalah
munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing,
munculnya mata air baru secara tiba-tiba dan tebing rapuh dan kerikil mulai
berjatuhan.
Peristiwa tanah longsor yang terjadi di Sulawesi Utara pada umumnya
terdapat pada daerah dengan kondisi geologi yang tidak stabil dan seringkali
dipicu oleh terjadinya hujan deras yang melebihi titik tertinggi, terutama bulan-
bulan di penghujung tahun hingga awal tahun (Desember-Maret). Keadaan
pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan yang tidak lestari (Illegal
Logging and Trading) dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini ternyata juga
menjadi faktor penyumbang tingginya intensitas terjadinya longsor di Sulawesi
Utara. Faktor lainnya adalah terdeviasinya peruntukan fungsi kawasan untuk
fungsi peruntukkan lainnya, terutama mengenai “spot” lahan pemukiman yang
menempati area dengan kemiringan di atas 15% (tidak dianjurkan sesuai
peraturan yang berlaku). Hal ini khususnya terjadi di ibukota Sulawesi Utara,
yaitu Kota Manado, dimana hal tersebut menunjukkan terjadinya
penyimpangan terhadap standar hunian yang disyaratkan secara teoritis dan
juga penyimpangan terhadap peraturan yang ada.
2.10 Evaluasi Sistem Penanggulangan Bencana Provinsi Sulawesi Utara
Julukan “supermal” bencana alam kiranya pantas diberikan kepada
Provinsi Sulawesi Utara mengingat begitu banyaknya potensi bencana alam
yang mengancam maupun yang telah sering terjadi. Oleh sebab itu, sudah
semestinya bila daerah ini memiliki kebijakan dan strategi serta program-
program yang tidak hanya diarahkan untuk mengatasi situasi darurat ketika
terjadi bencana, namun program yang bersifat antisipatif dan terencana dengan
baik. Kebijakan penanggulangan bencana akan ditinjau dari beberapa sisi, yaitu
dari sisi berbagai peraturan yang secara khusus mengatur tentang bencana itu
sendiri, kebijakan lain yang memiliki kaitan erat dengan penanggulangan
bencana, sistem kelembagaan dalam penanggulangan bencana dan kebijakan
yang terkait dengan alokasi anggaran di bidang kebencanaan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang berada di paling ujung utara Nusantara
terletak di bagian paling utara dari semenanjung Pulau Sulawesi, yaitu antara
00301-50351 Lintang Utara dan antara 1230701-1270001 Bujur Timur. Sebelah
utara berbatasan dengan Filipina, sebelah timur dengan Provinsi Maluku Utara,
sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Gorontalo, dan di sebelah barat
dibatasi oleh Laut Sulawesi. Luas wilayah semenanjung ini adalah ± 15.376,99
km² yang terbagi dalam tiga belas daerah Kabupaten/Kota definitif.
Sulawesi Utara mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang
sebelum disyahkankan menjadi Provinsi kedua puluh empat dari Republik
Indonesia. Dalam sejarah pemerintahan daerahnya, maka Sulawesi Utara
mengalami beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan, seiring dengan
dinamika penyelenggaraan pemerintahan. Pada permulaan kemerdekaan RI,
daerah ini berstatus karisidenan yang merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi.
Provinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar dengan Gubernurnya,
DR.G.S.S.J. Ratulangi.
Dalam perkembangan selanjutnya, tercatat satu momentum penting dalam
lembar sejarah pembentukan Sulawesi Utara, yaitu dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1964 (23 September 1964) yang menetapkan status
Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sebagai daerah otonom Tingkat I dengan
ibukotanya Manado. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya
Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Adapun daerah tingkat II yang masuk dalam
wilayah Sulawesi Utara, yaitu Kotamadya Manado, Kotamadya Gorontalo,
Kabupaten Minahasa, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bolaang Mongondow,
dan Kabupaten Sangihe Talaud. Gubernur Provinsi Dati I Sulawesi Utara yang
pertama adalah F.J. Tumbelaka.
Seiring dengan spirit reformasi dan otonomi daerah, maka dibentuk Provinsi
Gorontalo sebagai pemekaran dari Sulawesi Utara melalui Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2000. Dengan dibentuknya Provinsi Gorontalo, maka wilayah
Sulawesi Utara meliputi Kota Manado (157,25 km²), Kota Bitung (304,00 km²),
Kabupaten Minahasa (1.117,15 km²), Kabupaten Sangihe (746,57 km²) dan
Talaud dan Kabupaten Bolaang Mongondow (8.358,04 km²). Pada tahun 2003,
Sulawesi Utara mengalami penambahan tiga kabupaten dan satu kota dengan
Kabupaten Minahasa sebagai kabupaten induk, yaitu Kabupaten Minahasa
Selatan (1.409,97 km²), Kabupaten Minahasa Utara (932,20 km²), Kabupaten
Kepulauan Talaud (1.240,40 km²) serta Kota Tomohon (114,20 km²). Kemudian
pada Mei 2007 bertambah lagi tiga kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten
Minahasa Tenggara (710,83 km), Kabupaten Bolaang Mongondow Utara
(1.843,92 km), Kabupaten Kepulauan Sitaro (275,96 km) dan Kota Kotamobagu
(68,06 km).
Bolang Mongondow, terdiri dari kata “bolaang” dan “mongondow”. Bolaang
atau golaang berarti : menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap karena
terlindung oleh pepohonan yang rimbun. Dalam hutan rimba, daun pohon rimbun,
sehingga agak gelap. Biar ada bagian yang pohonnya agak renggang, sehingga
seberkas sinar matahari dapat menembus kegelapan hutan, itulah yang
dimaksud dengan no bolaang atau no golaang. Desa Bolaang terletak di tepi
pantai utara Bolaang Mongondow yang pada abad 17 sampa akhir abad 19
menjadi tempat kedudukan istana raja. Bolaang dapat pula berasal dari kata
“bolango” atau “balangon” yang berarti laut (ingat : Bolaang Uki dan Bolaang
Itang yang juga terletak di tepi laut).
Mongondow dari kata “momondow” yang berarti : berseru tanda kemenangan.
Desa mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Daerah pedalaman
biasa juga disebut : rata Mongondow. Dengan bersatunya seluruh kelompok
masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai, maupun
yang berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan raja tadohe
(Sadohe), maka daerah ini menjadi daerah Bolaang Mongondow.
3.2 Saran
Diharapkan pemerintahan daerah Bolaang Mongondow bisa memberikan solusi-
solusi penanggulangan bencana di daerah Bolaang Mongondow serta memberikan
pemahaman penggunaan lahan dengan baik serta pengolahannya dan
mempersiapkan lapangan kerja bagi sebagian orang pengangguran.dan dapat
mengolah hasil-hasil dari setiap lapangan kerja untuk pertumbuhan dan
perkembangan daerah Bolaang Mongondow.
top related