terpai farmako n non dm oleh priscilla tania
Post on 19-Jul-2015
63 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 1/13
TERAPI NON FARMAKOLOGI
Terapi non farmakologi meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola
makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi
berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus
menerus (Yunir dan Soebardi, 2006).
A. Terapi Gizi Medis dan Pengaturan Diet
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non
farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang
diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual (Yunir dan Soebardi, 2006).
Manfaat terapi gizi medis:
a. Menurunkan berat badan.
b. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik.
c. Menurunkan kadar glukosa darah.
d. Memperbaiki profil lipid.
e. Meingkatkan sensitivitas insulin.
f. Memperbaiki sistem koagulasi darah (Yunir dan Soebardi, 2006).
Tujuan dari terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan mempertahankan:
a. Kadar glukosa darah mendekati normal.
• Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dL.
• Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dL.
• Kadar A1c < 7%.
b. Tekanan darah < 130/80 mmHg
c. Profil lipid
• Kolesterol LDL < 100 mg/dL.
• Kolesterol HDL > 40 mg/dL.
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 2/13
• Trigliserida < 150 mg/dL.
d. Berat badan senormal mungkin (Yunir dan Soebardi, 2006).
Indeks massa tubuh (IMT) dihitung berdasarkan pembagian berat badan (kg)
dibagi dengan tinggi badan (m2). Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT:
• Berat badan kurang < 18,5
• Berat badan normal 18,5 – 22,9
• Berat badan lebih ≥ 23,0
• Dengan resiko 23 – 24,9
•
Obes 1 25 – 29,9
• Obes 2 ≥ 30
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein
dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
( DepKes RI, 2005).
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal ( DepKes RI, 2005).
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan
memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian
dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6%
(HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan
dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup ( DepKes RI, 2005).
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan.
Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 3/13
diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak
jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan,
ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak
(DepKes RI, 2005).
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per
hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak
dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan
penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat
seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral (DepKes RI,
2005).
B. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis
dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga
berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi
kesehatan (DepKes RI, 2005).
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85%
denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda,
berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40
menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10
menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin
dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa ( DepKes RI, 2005).
TERAPI FARMAKOLOGI
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga) belum
berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah
berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik
oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya. Pemberian terapi non farmakologi tetap tidak
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 4/13
meninggalkan terapi non farmakologi yang telah ditetapkan sebelumnya (Yunir dan Soebardi,
2006).
A. Obat Hipoglikemik Oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien
DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan
terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi
hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari
dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan
pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada (Tjokroprawiro,
1996).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3
golongan, yaitu:
a. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap
insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang
dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.
c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan
hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker”
(Tjokroprawiro, 1996).
1) Golongan Sulfonilurea
Beberapa derivat sulfonilurea telah dipakai dalam terapi, semua pada dasarnya
mempunyai mekanisme kerja yang sama yaitu merangsang sekresi insulin pada
pankreas sehingga hanya efektif bila sel beta pankreas masih dapat berproduksi. Obat
ini hanya efektif pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak begitu berat, yang
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 5/13
sel-sel β masih bekerja cukup baik. Mekanisme kerja dari golongan sulfonilurea antara
lain:
• Merangsang fungsi sel-sel β pulau Langerhans pankreas agar dapat
menghasilkan insulin.
• Mencegah (inhibisi) konversi glikogen hati kembali ke glukosa.
• Meningkatkan penggunaan glukosa darah.
( Soegondo, 2006).
Sulfonilurea dibagi dalam dua golongan/generasi yaitu:
• Generasi pertama meliputi: Tolbutamide, Acetohexamide, Tolazamide,
Chlorpropamide.
• Generasi kedua meliputi: Glibenclamide, Gliclazide, Glipizide,
Gliquidon, Glibonuride,
a. Sulfonilurea (short acting)
- Contoh tolbutamin
- Absorpsi cepat, tidak dipengaruhi oleh makanan
- Bisa menyebabkan hipoglikemi, rash dan gangguan GI
b. Sulfonilurea (intermediate acting)
1) Acetoheksamid
- Absorpsi cepat
- T½ 6 jam, dan bersifat urikosurik
2) Tolazamid
- Absorpsi lambat
- Berefek diuretik lemah
3) Gliburid
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 6/13
- Absorpsi cepat
- Berefek diuretik lemah dan menghambat produksi
glukosa di hepar
4) Glipizide
Absorpsi cepat dan dapat dihambat oleh makanan.
c. Sulfonilurea (long acting)
- Contoh: klorpropamid dan glibenklamid
- Absorpsi cepat
- Efek samping hipoglikemi lebih besar
- Bukan pilihan yang baik untuk lansia
Walaupun mekanisme kerja obat-obat yang termasuk golongan sulfonilurea ini
sama akan tetapi berbeda dalam hal potensinya. Pada umumnya obat golongan
sulfonilurea generasi kedua lebih poten daripada generasi pertama. Pada pemberian oral
dapat diserap dengan baik (Herman, 1993).
2) Golongan Biguanida
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak
merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Satu-
satunya senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral saat ini
adalah metformin. Obat golongan biguanida bekerja menghambat glukoneogenesis dan
meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan (Priyanto, 2009).
Mekanisme kerja dan efek samping:
- meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan perifer dan menghambat
glukoneogenesis
- dalam bekerja memerlukan adanya insulin
- regimen dosis: 500 mg, 2-3 kali sehari
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 7/13
- karena tidak merangsang sekresi insulin maka tidak akan menimbulkan
efek samping hipoglikemi
- pada awal penggunaan mungkin menimbulkan gangguan lambung atau
diare yang akan berkurang jika diminum bersama makanan.
(Priyanto, 2009).
3) Golongan Thiazolidinedion atau Glitazon
Golongan obat ini mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan
sensitivitas insulin. Glitazon merupakan agonist peroxisome proliferator-activated
receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma
terdapat di jaringan target kerja insulin yaitu jaringan adiposa, otot skelet dan hati,
sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi
adiposit, dan kerja insulin. Glitazon dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang
dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia, seperti GLUT 1,
GLUT 4, p85alphaPI-3K dan uncoupling protein-2 (UCP) (Soegondo, 2006). Contoh
dari golongan ini adalah troglitazon, rosiglitazon, dan pioglitazon. Mekanisme kerja
diduga menyebabkan penurunan resistensi perifer. Efek samping yang dapat
ditimbulkan adalah : edema dan peningkatan berat badan serta retensi air yang dapat
memicu atau memperberat gagal jantung kongestif (Soegondo, 2006).
4) Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin
Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat hipoglikemik
generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua golongan
senyawa hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh
kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan
turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik
oral lainnya. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral. Repaglinid mempunyai masa paruh yang singkat dan dapat
menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sedangkan nateglinid mempunyai masa tinggal
yang lebih singkat dan tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa. Obat
golongan ini diminum 30 menit sebelum makan. Obat tidak boleh diminum jika tidak
makan. Kemungkinan obat ini juga meningkatkan berat badan seperti golongan
sulfonilurea lainnya (Soegondo, 2006).
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 8/13
5) Golongan Inhibitor α-glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α-glukosidase
dalam saluran cerna. Enzim tersebut berperan dalam pemecahan oligosakarida dan
disakarida menjadi monosakarida. Dengan demikian inhibitor α-glukosidase dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial
(Soegondo, 2006).
Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa
glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase
(maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis
oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat
mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat
mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes. Senyawa
inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja
menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini merupakan obat oral
yang biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi penderita
dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl.
Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak
mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Obat-obat inhibitor α-glukosidase dapat
diberikan sebagai obat tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik
lainnya. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara
bertahap sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan untuk memberikannya bersama suap
pertama setiap kali makan (DepKes RI, 2005).
B. Terapi Menggunakan Insulin
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus
diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan,
insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per oral (ditelan)
(Mutchler, 1991).
Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang dalam penelitian. Pada saat
ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja dengan baik karena laju
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 9/13
penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya
(Mutchler, 1991).
Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di lengan,
paha atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak terasa terlalu
nyeri. Dosis yang diberikan adalah: Diabetes tipe 1 dosis pertengahan pada usia
pertumbuhan terletak pada 0,8-1 UI/kg/hari, dan pada dewasa terletak pada 30-50
UI/hari. kebutuhan rata-rata pada penderita tipe diabetes II terletak pada 30-45 UI
(Mutchler, 1991).
1. Jenis-jenis insulin (Priyanto, 2009)
Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan
lama kerja yang berbeda-beda antara lain:
a. Insulin rapid onset dan short duration / Insulin kerja cepat
Contoh: regular, lispro, dan aspart
Insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling sebentar. Insulin
ini seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit,
mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam.
Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani
beberapa kali suntikan setiap harinya dan disuntikkan 15-20 menit
sebelum makan.
b. Intermediated onset & duration / Insulin kerja sedang
Contoh: NPH (isophane) dan lente
Insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan mulai bekerja dalam
waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam waktu 6-10 jam dan
bekerja selama 18-26 jam.
Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan
selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi
kebutuhan sepanjang malam.
c. Prolonged duration / Insulin kerja lambat
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 10/1
Contoh: protamin zinc insulin, extended isulin zinc, dan ultra lente
Insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul
setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam.
2. Struktur dan sintesis insulin (Priyanto, 2009)
a. Merupakan hormon polipeptida yang disekresi oleh sel β pankreas
b. Disimpan dalam bentuk komplek dengan zink 2+
c. Sintesis dan pelepasannya dipacu oleh:
- glukosa, asam amino, dan asam lemak
- dipacu oleh β-adrenergik
- dihambat oleh α-adrenergik
3. Mekanisme kerja insulin (Priyanto, 2009)
Insulin berikatan dengan tirosin kinase menyebabkan peningkatan transport
glukosa pada sel otot dan jaringan adipose.
a. Pada Hepar
- menghambat produksi glukosa
- menghambat glikogenolisis dan meningkatkan sintesis glikogen
- meningkatkan sintesis trigliserida
- meningkatkan sintesa protein
b. Pada otot
- meningkatkan transport glukosa
- disposisi, meningkatkan sintesis glikogen
- meningkatkan sintesis protein
c. Pada jaringan lemak
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 11/1
- meningkatkan transport glukosa
- lipogenesis
- intraseluler lipolisis
4. Cara Pemberian Insulin (DepKes RI, 2005)
Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya
dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan
subkutan (di bawah kulit). Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal.
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan,
paha bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam,
maka penyerapan akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih
singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan
mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja.
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk
pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan
larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau
ditransfusikan langsung ke dalam vena juga tersedia untuk penggunaan di
klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan insulin yang lebih
mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu saat nanti
dapat ditemukan sediaan insulin per oral atau per nasal.
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 12/1
Gambar Lokasi penyuntikan insulin yang disarankan (DepKes, 2005)
C. Terapi Kombinasi
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau
OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea
dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas
yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua
golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin,
sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman
menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita
diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri (DepKes RI,
2005).
Tujuan dari terapi kombinasi adalah :
1. Memperlambat perburukan sel β langerhans
- menurunkan produksi glukosa di hepar
- meningkatkan aksi insulin dengan mengurangi retensi insulin,
dan
- meningkatkan sekresi insulin
2. Untuk menghindari efek samping atau toksik karena peningkatan dosis.
Daftar Pustaka
5/16/2018 Terpai Farmako n Non DM Oleh Priscilla Tania - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/terpai-farmako-n-non-dm-oleh-priscilla-tania 13/1
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan republik Indonesia.
Herman, F. 1993. Penggunaan obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes melitus. Pharos
Bulletin.
Mutchler, E. 1991. Dinamika Obat , terjemahan, M.B. Widianto dan A.S. Ranti Edisi 5.
Bandung : ITB.
Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jakarta: Lenskofi.
Soegondo, S. 2006. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2.
Dalam: Aru W. Sudoyo [et al.], editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid ke-3. Edisi
ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Tjokroprawiro, A. 1996. Diabetes Mellitus, Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi III. Jakarta
: Gramedia Pustaka.
Yunir, E dan S. Soebardi. 2006. Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus. Dalam: Aru
W. Sudoyo [et al.], editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid ke-3. Edisi ke-4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
top related