tinjauan etika bisnis islam terhadap perilaku …etheses.iainponorogo.ac.id/3683/1/ita.pdf · kata...
Post on 15-Oct-2019
28 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TINJAUAN ETIKA BISNIS ISLAM
TERHADAP PERILAKU PRODUSEN
(Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga
di Desa Jurug Kecamatan Sooko)
SKRIPSI
Oleh :
ITA KRISNAWATI
NIM: 210214197
Pembimbing:
UDIN SAFALA, M.H.I.
NIP: 197305112003121001
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
ii
EMBAR PERSETUJUAN
Skripsi atas nama saudara:
Nama : Ita Krisnawati
NIM : 210214197
Jurusan : Muamalah
Judul : Tinjauan Etika Bisnis Islam terhadap Perilaku Produsen
(Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga di Desa Jurug
Kecamatan Sooko)
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji dalam ujian muna>qasha>h.
Ponorogo, 28 Mei 2018
Mengetahui
Ketua Jurusan
Atik Abidah, M.S.I
NIP. 197605082000032001
Menyetujui
Pembimbing
Udin Safala, M.H.I
NIP. 197305112003121001
iii
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
PENGESAHAN
Skripsi atas nama saudara:
Nama : Ita Krisnawati
NIM : 210214197
Jurusan : Muamalah
Judul : Tinjauan Etika Bisnis Islam terhadap Perilaku Produsen
(Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga di Desa Jurug
Kecamatan Sooko)
Skripsi ini telah dipertahankan pada sidang muna>qasha>h Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri Ponorogo pada:
Hari : Jumat
Tanggal : 13 Juli 2018
Dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Syariah pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 20 Juli 2018
Tim Penguji
1. Ketua Sidang : Dr. Moh. Mukhlas, M.Pd. ( )
2. Penguji : Dr. Muhammad Shohibul Itmam, M.H.( )
3. Sekretaris : Udin Safala, M.H.I. ( )
Ponorogo, 20 Juli 2018
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah
Dr. H. Moh. Munir, Lc., M.Ag.
NIP. 196807051999031001
iv
ABSTRAK
Krisnawati, Ita. 2018. Tinjauan Etika Bisnis Islam Terhadap Perilaku Produsen
(Studi Kasus pada Industri Rumah Tangga di Desa Jurug Kecamatan
Sooko). Skripsi. Jurusan Muamalah, Fakultas Syariah, Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Dosen Pembimbing Udin Safala, M.H.I.
Kata Kunci : Etika Bisnis Islam, Perilaku Produsen
Etika bisnis Islam merupakan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan
bisnis yang digali langsung dari Al-Qur’a>n dan Hadith Nabi. Prinsip etika bisnis
Islam yang perlu diterapkan dalam bisnis Islam adalah kesatuan, keseimbangan,
kehendak bebas, tanggung jawab, dan ihsan. Salah satu tanggung jawab seorang
pebisnis muslim adalah mematuhi hukum formal dan non formal yang berlaku.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, pelaku industri rumah tangga
pangan diwajibkan untuk mencantumkan label yang memuat beberapa informasi,
di antaranya tanggal kadaluarsa dan nomor izin edar produk pangan. Nomor izin
edar produk pangan ini dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan yang diperuntukkan
pada satu jenis pangan. Pentingnya informasi tersebut bagi konsumen, mendesak
produsen untuk memenuhi kewajiban atas informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Namun dalam operasionalnya, masih banyak ditemui
pelaku bisnis yang tidak patuh pada aturan, seperti halnya beberapa industri
rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko yang tidak mencantumkan tanggal
kadaluarsa dan menggunakan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk.
Berdasarkan hal tersebut penulis bermaksud meninjau fenomena di
kalangan pelaku industri rumah tangga dari sudut pandang etika bisnis Islam,
dengan rumusan masalah: (1) bagaimana tinjauan etika bisnis Islam terhadap
perilaku produsen yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label
produknya? (2) bagaimana tinjauan etika bisnis Islam terhadap perilaku produsen
yang menggunakan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
lapangan (field research). Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, penelitian ini
menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi,
kemudian dianalisa dengan tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan menggunakan metode induktif.
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil penelitian: (1) perilaku
produsen industri rumah tangga Desa Jurug Kecamatan Sooko yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label produk tidak sesuai dengan etika
bisnis Islam. (2) perilaku produsen industri rumah tangga Desa Jurug Kecamatan
Sooko yang menggunakan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk tidak
sesuai dengan etika bisnis Islam.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bisnis Islami merupakan perwujudan dari aturan syariah Allah.
Sebenarnya bentuk bisnis Islami tidak jauh berbeda dengan bisnis pada
umumnya, yaitu upaya memproduksi barang dan jasa guna memenuhi
kebutuhan konsumen. Namun, aspek syariah inilah yang membedakannya
dengan bisnis pada umumnya.1
Dalam konteks perusahaan, bisnis dirumuskan sebagai
memaksimumkan keuntungan perusahaan dan meminimumkan biaya
perusahaan. Karena itu bisnis seringkali hanya didasarkan pada keuntungan.
Akibat dari kesadaran demikian, maka upaya-upaya meraih keuntungan
dilakukan dengan cara apapun. Walaupun cara-cara yang digunakan
mengakibatkan kerugian pihak lain, namun bila menguntungkan bagi pelaku
bisnis, maka dianggap sebagai pilihan bisnis.2
Adapun bisnis Islami adalah serangkaian aktivitas bisnis dalam
berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan termasuk
profitnya, namun dibatasi dalam memperolehnya dan penggunaan harta,
karena adanya ketentuan halal dan haram. 3
1Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Usman, Islamic Economics and Finance: Ekonomi dan
Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), 232. 2Muhammad dan Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam
(Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2004), 57. 3Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan OPSI,
Tetapi Solusi! (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 234.
2
Etika dan bisnis merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan,
keduanya saling berhubungan erat.4 Pada aspek agama, etika bisnis mengatur
hubungan Sang Khalik dengan hambaNya, yaitu sebuah bentuk kepatuhan
manusia terhadap Sang Khalik untuk mencapai rida-Nya.5 Etika dijadikan
pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut
ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al-Qur’a>n dan Hadith Nabi.6
Prinsip dalam ilmu ekonomi Islam yang perlu diterapkan dalam bisnis
Islam adalah tauhid, keseimbangan atau kesejajaran, kehendak bebas dan
tanggung jawab, serta ihsan. Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan
akan keesaan Allah. Keseimbangan atau kesejajaran merupakan konsep yang
menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas manusia berarti suatu
potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan
manusia tidak dibatasi. Tetapi kehendak bebas yang diberikan Allah kepada
manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia, yaitu
sebagai khalifah di bumi. Karena itu, kehendak bebas itu harus sejalan dengan
kemaslahatan kepentingan individu, terlebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung jawab terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas
segala aktivitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab
kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia tidak hidup sendiri, dia
tidak lepas dari hukum yang dibuat manusia itu sendiri sebagai komunitas
sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya di akhirat, tetapi tanggung
4Suhendi dan Indra Sasangka, Pengantar Bisnis (Bandung: Alfabeta, 2014), 24.
5M. Azrul Tanjung, Meraih Surga Dengan Berbisnis (Jakarta: Gema Insani, 2013), 96.
6Rivai dan Andi, Islamic Economics, 237.
3
jawab kepada manusia didapat di dunia berupa hukum-hukum formal maupun
hukum nonformal.7
Dalam memproduksi suatu komoditas, tanggung jawab produsen di
antaranya yaitu menyediakan produk yang aman bagi konsumen, serta
menjamin adanya kualitas pada produk-produknya. Kualitas produk sebagai
jaminan bahwa produk suatu komoditas sesuai dengan apa yang dijanjikan
oleh produsen, baik melalui informasi maupun iklan, termasuk ke dalam
jaminan kualitas adalah pengemasan dan pemberian label pada kemasan yang
sesuai dengan kenyataan produk tersebut.8
Bagi produsen dengan modal yang kecil, terutama industri rumah
tangga, makanan dan minuman merupakan produk unggulan karena
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Dari sisi bisnis kedua usaha
ini akan terus berlangsung sepanjang manusia itu masih hidup, namun yang
terpenting dalam menjadikan makanan dan minuman sebagai lahan bisnis,
jangan sampai tercampur unsur yang merugikan orang lain (beracun atau
kadaluarsa), serta unsur haram.9
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, dijelaskan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan
untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam atau pada
kemasan pangan. Pencantuman label tersebut ditulis dengan menggunakan
bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai: nama
7Rivai dan Antoni, Islamic Economics, 229.
8 Muhammad dan Alimin, Etika & Perlindungan, 265-271.
9Ali Hasan, Manajemen Bisnis Syari’ah: Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 201.
4
produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan
alamat pihak yang memproduksi; halal bagi yang dipersyaratkan; tanggal dan
kode produksi; tanggal, bulan dan tahun kedaluarsa; nomor izin edar bagi
pangan olahan; dan asal usul bahan pangan tertentu.10
Izin edar bagi pangan olahan merupakan jaminan yang diberikan
lembaga terkait terhadap pangan yang telah memenuhi persyaratan. Bagi
pelaku Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) izin yang diberikan berupa
Sertifikat Produksi, yang di dalamnya tercantum Nomor P-IRT yang wajib
dicantumkan pada label pangan IRT yang telah memenuhi persyaratan
pemberian SPP-IRT. Dalam pemberiannya, Nomor P-IRT diberikan untuk 1
(satu) jenis pangan IRT.11
Dalam Islam, kebenaran dan keakuratan informasi ketika seorang
pelaku usaha mempromosikan barang dagangannya menempati kajian yang
sangat signifikan. Islam tidak mengenal sebuah istilah kapitalisme klasik
yang berbunyi ceveat emptor (pembelilah yang harus berhati-hati), tidak pula
ceveat venditor (pelaku usahalah yang harus berhati-hati), tetapi dalam Islam
yang berlaku adalah prinsip keseimbangan, dimana pembeli dan penjual harus
berhati-hati.12
Pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut bersikap tidak
kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya.
Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan
10
Pasal 97, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. 11
Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. 12
Muhammad, Etika Bisnis Islami (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Akademi
Manajemen Perusahaan YKPN, tt), 204.
5
kekurangan, selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara
berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan berbohong. Pelaku usaha
atau pihak perusahaan harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap
keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang
baik) dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat.
Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk
mengamalkan kewajiban-kewajibannya.13
Demikian pula dengan konsumen, Islam menuntut umatnya untuk
berhati-hati dalam mengonsumsi suatu makanan. Hal itu tercermin dalam
surat Abasa ayat 2414
, yaitu
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.15
Meskipun ayat ini bersifat umum, namun secara khusus dapat dipahami
bahwa terdapat terdapat anjuran untuk memperhatikan dan memilih secara
cermat jenis makanan yang akan dikonsumsi.16
Etika bisnis Islam di atas sangat berbeda dengan aktivitas yang
diterapkan pada industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko. Dari
pengamatan penulis, diketahui bahwa ada beberapa permasalahan kompleks
yang terjadi pada industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko.
Diantaranya adanya produsen yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa
13
Rivai dan Andi, Islamic Economics, 237. 14
Al-Qur’a>n, 80: 24. 15
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra
Semarang, 1989), 1025. 16
Mulizar, “Pengaruh Makanan dalam Kehidupan Manusia (Studi Terhadap Tafsir al-
Azhar)” Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni 2016, 129.
6
pada label produknya. Selain itu, ada pula produsen yang menggunakan 1
nomor PIRT untuk beberapa jenis produk.17
Di Desa Jurug Kecamatan Sooko sendiri, terdapat beberapa industri
rumah tangga yang memproduksi makanan ringan. Sumber Daya Alam yang
melimpah di Desa Jurug Kecamatan Sooko dimanfaatkan oleh para pelaku
usaha untuk dijadikan variasi olahan makanan ringan, yang memiliki nilai
jual tinggi.
Dalam satu industri rumah tangga, tak jarang ditemui produsen yang
memproduksi beberapa jenis produk, di antaranya adalah roti jahe, roti
semprong, kembang goyang serta aneka olahan dari singkong, umbi-umbian
dan pisang. Dengan variasi makanan ringan yang diproduksi, serta kemasan
yang menarik konsumen, penjualan produk produksi industri rumah tangga
Desa Jurug Kecamatan Sooko memiliki pangsa pasar yang luas. 18
Dari beberapa uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang penerapan etika bisnis Islam oleh produsen industri rumah
tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko dalam pelabelan produk yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa, serta menggunakan satu nomor PIRT
pada beberapa jenis produk.
Industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko dipilih sebagai
lokasi penelitian, karena di Desa Jurug Kecamatan Sooko terdapat banyak
industri rumah tangga. Selain itu pada industri rumah tangga di Desa Jurug
17
Observasi, Tanggal 11 Desember 2017, Pukul 10.00 WIB 18
Ibid.
7
Kecamatan Sooko terdapat praktik produsen yang tidak sesuai aturan,
sehingga dapat menjawab masalah pokok dalam penelitian ini.
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti ingin
melakukan penelitian tentang etika bisnis Islam dengan judul: Tinjauan
Etika Bisnis Islam terhadap Perilaku Produsen (Studi Kasus pada
Industri Rumah Tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan etika bisnis Islam terhadap perilaku produsen yang
tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label produknya?
2. Bagaimana tinjauan etika bisnis Islam terhadap perilaku produsen yang
menggunakan satu nomor P-IRT untuk beberapa jenis produk?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan
penelitian adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang telah
diidentifikasikan di atas, yaitu:
1. Untuk menjelaskan tinjauan etika bisnis Islam terhadap perilaku
produsen yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label
produknya.
8
2. Untuk menjelaskan tinjauan etika bisnis Islam terhadap perilaku
produsen yang menggunakan satu nomor P-IRT untuk beberapa jenis
produk.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka
kegunaan penelitian yang diharapkan adalah:
1. Secara Teoritik: Memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan
ilmu ekonomi Islam, serta menjadi rujukan penelitian tentang etika bisnis
Islam.
2. Secara praktis: Dijadikan bahan rujukan dalam berbisnis bagi para
pembaca pada umumnya, dan para produsen industri rumah tangga di
Desa Jurug Kecamatan Sooko pada khususnya untuk berperilaku sesuai
etika bisnis Islam.
E. Telaah Pustaka
Dalam telaah pustaka ini penulis mengemukakan hasil penelitian yang
dianggap relevan dengan penelitian yang akan penulis lakukan, diantaranya:
Skripsi Rohmatul Mega, STAIN Ponorogo yang berjudul Tinjauan
Etika Bisnis Islam Terhadap Mobile Marketing pada “Kyla OL Shop” di
Ponorogo. Skripsi ini mengangkat masalah tentang pemanfaatan mobile
marketing yang dilakukan oleh Kyla OL Shop di Ponorogo sebagai media
pemasaranya. Fungsi pemasaran dalam etika bisnis Islam terbagi menjadi
9
etika pemasaran dalam konteks produk, harga, distribusi dan produksi. Selain
itu, pelaku bisnis harus memiliki etika dalam menjalankan fungsi
pemasarannya. Skripsi ini menggunakan pendekatan teoritik Etika Bisnis
Islam, dan pendekatan metodologi kualitatif, dengan jenis penelitian
lapangan. Kesimpulan dari skripsi ini adalah dalam menjalankan
pemasarannya dengan mobile marketing Kyla OL Shop sudah sesuai dengan
etika pemasaran baik dalam konteks produk, harga, distribusi, maupun
promosi. Serta Kyla OL Shop sebagai pelaku bisnis sudah memiliki etika
(akhlak) dalam menjalankan fungsi pemasaran, tetapi ada etika yang kurang
etis yaitu tidak memberikan hak khiyar kepada pembeli.19
Skripsi Nining Isnayni, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang
berjudul “Tinjauan Etika Bisnis Islam Terhadap Persaingan Antar Produsen
Tahu di Desa Karanganyar, Weru, Sukoharjo”. Skripsi ini menyoroti masalah
kemungkinan terjadinya praktek persaingan antar produsen tahu di daerah
sentra industri tahu yang ada di Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan persaingan
bisnis yang diperbolehkan dalam Islam hanyalah persaingan yang sehat.
Skripsi ini menggunakan pendekatan teoritik Etika Bisnis Islam, dan
pendekatan metodologi kualitatif, dengan jenis penelitian lapangan. Melalui
penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa persaingan yang terjadi di
Desa Karanganyar adalah meliputi persaingan produksi, persaingan produk,
persaingan harga, dan persaingan pemasaran. Kemudian persaingan antar
produsen tahu yang terjadi di Desa Karanganyar sebagian sudah sesuai
19
Rohmatul Mega, Tinjauan Etika Bisnis Islam Terhadap Mobile Marketing pada “Kyla
OL Shop” di Ponorogo (Skripsi STAIN Ponorogo 2015).
10
dengan etika bisnis Islam, terbukti dengan praktek-praktek persaingan yang
terjadi tidak menyimpang dari ajaran Islam, namun masih ada beberapa
aktivitas-aktivitas dari produsen yang menyimpang dari ajaran Islam.20
Skripsi Zabirotun Muniroh, UIN Walisongo Semarang yang berjudul
“Analisis Perilaku Produsen Muslim pada Bisnis Aneka Keripik dalam
Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus pada UMKM Mekar Abadi Klambu,
Grobogan)”. Skripsi ini berangkat dari masalah munculnya industri-industri
kecil di Grobogan yang memproduksi aneka keripik. Dengan banyaknya
industri kecil yang muncul, maka perilaku produsen disini mulai
dipertanyakan. Dalam Islam tentu telah diatur tentang perilaku yang
seharusnya diterapkan oleh para produsen. Skripsi ini menggunakan
pendekatan teoritik Ekonomi Islam, dan pendekatan metodologi kualitatif,
dengan jenis penelitian lapangan. Kesimpulan skripsi ini adalah perilaku
produsen Muslim pada produksi aneka keripik UMKM Mekar Abadi ada
yang sesuai dan ada pula yang tidak sesuai dengan ekonomi Islam. Perilaku
yang tidak sesuai dengan ekonomi Islam yaitu kurang menjaga kebersihan
peralatan dan lingkungan, kurangnya menjaga keramahan dalam lingkungan
serta UMKM Mekar Abadi tidak menepati janji, dalam hal pelaksanaan jam
kerja. Sedangkan perilaku yang sesuai dengan ekonomi Islam adalah
produsen proaktif, kreatif dan inovatif, terbukti bahwa produsen tidak
mencampur bahan-bahan yang berbahaya dalam produknya. Orientasi produk
kemaslahatan diterapkan dengan baik karena tidak mencampurkan bahan
20
Nining Isnayni, Tinjauan Etika Bisnis Islam Terhadap Persaingan Antar Produsen
Tahu di Desa Karanganyar, Weru, Sukoharjo (Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2017).
11
berbahaya. Kejujuran dan keadilan sudah diterapkan dengan baik karena tidak
mengurangi timbangan/takaran dalam proses pengemasan.21
Dari pemaparan telaah pustaka di atas, dapat diketahui bahwa
penelitian ini sama-sama menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian lapangan. Namun, belum pernah ditemukan penelitian tentang
tinjauan etika bisnis Islam terhadap perilaku produsen pada industri rumah
tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jika dilihat dari perolehan data, penelitian ini termasuk dalam
jenis penelitian lapangan (field research) yaitu suatu penelitian yang
dilakukan dalam kancah kehidupan yang sebenarnya.22
Penelitian ini
dilakukan dengan cara mencari data secara langsung dengan melihat
objek yang diteliti dengan peneliti sebagai subjek penelitian, dengan
memilih orang-orang tertentu yang sekiranya dapat memberikan data
yang penulis butuhkan.
Jika dilihat dari jenis data, maka penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik,
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
21
Zabirotun Muniroh, Analisis Perilaku Produsen Muslim pada Bisnis Aneka Keripik
dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus pada UMKM Mekar Abadi Klambu, Grobogan)
(Skripsi UIN Walisongo Semarang 2016). 22
Aji Damanuri, Metodologi Penelitian Muamalah (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010),
6.
12
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.23
Peneliti menggunakan pendekatan normatif, yaitu
menggunakan teori etika bisnis Islam yang didasarkan pada nilai-nilai
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Pendekatan tersebut digunakan untuk
mengetahui fenomena sosial yang terjadi di kalangan produsen Industri
Rumah Tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko, melalui data deskripsi
berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian kualitatif, kehadiran peneliti dalam penelitian
sangat diperlukan. Peneliti sekaligus merupakan perencana, pelaksana
pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya peneliti
menjadi pelapor hasil penelitiannya.24
Oleh karena itu, penulis hadir
secara langsung di tengah-tengah responden untuk mengamati perilaku
produsen terhadap pencantuman tanggal kadaluarsa serta nomor PIRT
pada label produknya. Peneliti juga hadir untuk melakukan observasi
secara terang-terangan untuk memastikan dugaan awal yang diperoleh
dari pengamatan awal.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah pada industri rumah tangga di Desa
Jurug Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo. Peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian di lokasi tersebut karena ada beberapa
permasalahan terkait dengan perilaku produsen industri rumah tangga di
23
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013), 6. 24
Ibid., 168.
13
Desa Jurug Kecamatan Sooko terhadap pencantuman tanggal kadaluarsa
serta nomor PIRT pada label produknya. Adapun lokasi penelitian yang
dipilih antara lain:
a. Industri rumah tangga Bu S.
b. Industri rumah tangga Bu E.
c. Industri rumah tangga Bu SR.
d. Industri rumah tangga Bu Y
e. Industri rumah tangga Bu H.
f. Industri rumah tangga Pak M.
g. Industri rumah tangga Bu T.
h. Industri rumah tangga Bu W.25
4. Data dan Sumber Data
a. Data
1) Data Umum
Data umum yang digunakan penulis adalah gambaran
umum tentang Desa Jurug Kecamatan Sooko, yaitu meliputi letak
geografis, keadaan penduduk, keadaan beragama, serta keadaan
industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko.
2) Data Khusus
Data khusus yang digunakan peneliti yaitu fenomena
pelabelan produk industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan
Sooko.
25
Penulisan nama menggunakan inisial untuk menjaga privasi, atas kehendak informan.
14
b. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data adalah sumber dimana
data penelitian itu melekat dan atau dapat diperoleh.26
Dalam
penelitian ini sumber data yang digunakan adalah:
1) Sumber data primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung
dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau
alat pengambilan data langsung kepada subjek sebagai sumber
informasi yang dicari.27
Data ini dapat diperoleh melalui
wawancara dengan pemilik atau produsen industri rumah tangga
di Desa Jurug Kecamatan Sooko.
2) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari
tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia
sebelum penelitian dilakukan.28
Data ini diperoleh dari dokumen
Kecamatan Sooko dalam Angka 2017, yang dipublikasikan oleh
Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui:
a. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan
dengan memperhatikan suatu gejala, kejadian atau sesuatu dengan
26
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 91. 27
Ibid. 28
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), 291.
15
maksud menafsirkannya, mengungkapkan faktor-faktor
penyebabnya, dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya.29
Peneliti melakukan observasi atau pengamatan terhadap produk
Industri Rumah Tangga Desa Jurug Kecamatan Sooko untuk
mendapatkan data tentang pelabelan produk yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa serta menggunakan satu nomor P-
IRT pada beberapa jenis produk.
b. Wawancara
Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka
antara penanya atau pewawancara dengan penjawab atau responden
dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan
wawancara).30
Wawancara dilakukan dengan delapan pelaku industri
rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko, untuk mendapatkan
data tentang pencantuman tanggal kadaluarsa dan pencantuman
nomor P-IRT pada label produk.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu cara untuk mengumpulkan
data yang sudah tersedia dalam bentuk catatan dokumen.31
Yaitu
mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa cacatan,
29
Emzir, Metodologi Penelitan Kualitatif: Analisis Data (Jakarta Utara: PT RajaGrafindo
Persada, 2011), 38. 30
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2013), 194. 31
Suwandi Basrowi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 158.
16
transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, dan sebagainya.32
Dokumentasi peneliti gunakan untuk memperoleh data tentang
pelabelan produk yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa serta
menggunakan nomor P-IRT pada beberapa jenis produk.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses penghimpunan atau pengumpulan,
pemodelan dan transformasi data dengan tujuan untuk menyoroti dan
memperoleh informasi yang bermanfaat, memberikan saran, kesimpulan
dan mendukung pembuatan keputusan.33
Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga
alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Reduksi data adalah
proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-
catatan tertulis di lapangan. Penyajian data, yaitu sebagai sekumpulan
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan keputusan. Melalui data yang disajikan,
kita melihat dan akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa
yang harus dilakukan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari
32
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik) (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2013), 132. 33
Restu Kartiko Widi, Asas Metodologi Penelitian: Sebuah Pengenalan dan Penuntun
Langkah demi Langkah Pelaksanaan Penelitian (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 253.
17
penyajian-penyajian tersebut. Sedangkan dalam kesimpulan diverifikasi
selama penelitian berlangsung.34
7. Pengecekan Keabsahan Temuan
Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui
dari konsep kesahihan dan keandalan. Sehingga dalam penelitian ini
dalam pengecekan keabsahan data yang digunakan adalah:
a. Ketekunan pengamatan yaitu menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur
dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang
sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut
secara rinci.
b. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap itu. Hal ini
membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara.35
G. Sistematika Pembahasan
Agar lebih mudah dan praktis dalam pembahasan skripsi ini, maka
penulis membagi menjadi lima bab yang masing-masing dapat diuraikan
sebagai berikut:
34
Ulber, Metode Penelitian, 340-341. 35
Lexy, Metodologi Penelitian, 177-178.
18
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pola dasar atau tempat berpijak dari
keseluruhan skripsi ini yang terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan
sitematika pembahasan.
BAB II : TEORI PERILAKU PRODUSEN YANG SESUAI
DENGAN ETIKA BISNIS ISLAM
Bab ini merupakan landasan teori. Dalam bab ini penulis
akan menjabarkan tentang Teori Perilaku Produsen Yang
Sesuai dengan Etika Bisnis Islam yang meliputi: pengertian
etika bisnis Islam, prinsip-prinsip etika bisnis Islam,
Pedoman bisnis yang dicontohkan Rasulullah, pedoman
bisnis yang berlaku umum; perilaku produsen, dan
pencantuman label dalam produk.
BAB III : PRAKTIK PERILAKU PRODUSEN INDUSTRI
RUMAH TANGGA DI DESA JURUG KECAMATAN
SOOKO
Bab ini merupakan penyajian data hasil penelitian yang
yang meliputi data umum dan data khusus. Data umum
berisi tentang profil Desa Jurug Kecamatan Sooko, dan
data khusus berisi tentang perilaku produsen industri
rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko dalam
19
pencantuman tanggal kadaluarsa dan pencantuman nomor
P-IRT pada label produk.
BAB IV : TINJAUAN ETIKA BISNIS ISLAM TERHADAP
PERILAKU PRODUSEN (STUDI KASUS PADA
INDUSTRI RUMAH TANGGA DI DESA JURUG
KECAMATAN SOOKO)
Bab ini merupakan analisi data, meliputi : analisis etika
bisnis Islam terhadap perilaku produsen yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label produknya,
serta analisis etika bisnis Islam terhadap perilaku produsen
yang menggunakan satu Nomor P-IRT untuk beberapa
jenis Produk.
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan
dari rumusan permasalahan, serta saran-saran dari penulis
yang dianggap penting tentang skripsi dan kritik yang
membangun yang diharapkan penulis.
20
BAB II
TEORI PERILAKU PRODUSEN YANG SESUAI DENGAN
ETIKA BISNIS ISLAM
A. Etika Bisnis Islam
1. Pengertian Etika Bisnis Islam
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat
kebiasaan.1 Menurut Istiono Wahyu dan Ostaria, etika adalah cabang
utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas. Etika mencakup
analisis dan penerapan konsep seperti benar-salah, baik-buruk, dan
tanggung jawab. Etika adalah ilmu berkenaan tentang yang buruk dan
tentang hak kewajiban moral. Menurut Rafik Issa Bekum, etika dapat
didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan baik
dari buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif, karena ia
berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan oleh seorang individu.2
Etika memiliki dua pengertian. Pertama, etika sebagaimana
moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi
pedoman dan pegangan hidup manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua,
etika sebagai refleksi kritis dan rasional. Etika membantu manusia
1Moh. Nurhakim, Metodologi Studi Islam (Malang: UMM Press, 2005), 190.
2Veithzal Rivai, dkk., Islamic Business and Economic Ethics: Mengacu pada Al-Qur’an
dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2012), 2-3.
21
bertindak secara bebas, tetapi dapat dipertanggungjawabkan.3 Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, atau nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak).4
Bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan
nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau
pengolahan barang (produksi). Skinner mengatakan bahwa bisnis adalah
pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan untuk
memberi manfaat. Sementara Anoraga dan Soegiastuti mendefinisikan
bisnis sebagai aktivitas jual beli barang dan jasa. Straub dan Attner
mendefinisikan bisnis adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas
produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen
untuk memperoleh profit.5
Yusanto dan Wijayakusuma mendefinisikan bisnis Islami adalah
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak
dibatasi jumlah kepemilikan hartanya (barang atau jasa) termasuk
3Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan OPSI,
Tetapi Solusi! (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 234. 4Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Usman, Islamic Economics and Finance: Ekonomi dan
Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012),,
215. 5Muhammad dan Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam
(Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2004),56.
22
profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan
pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram.6
Sedangkan etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan
bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu,
perusahaan dan juga masyarakat.7 Etika bisnis merupakan studi yang
dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini
berkonsentrasi pada standart moral, sebagaimana diterapkan dalam
kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Standart etika bisnis tersebut
diterapkan kedalam sistem dan organisasi yang digunakan masyarakat
modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa
diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.8
Etika bisnis Islam diartikan sebagai serangkaian aktifitas bisnis
dalam berbagai bentuknya (yang tidak dibatasi), namun dibatasi dalam
cara perolehan dan pendayaan hartanya (ada aturan halal dan haram).
Dalam arti, pelaksanaan bisnis tetap berpegang pada ketentuan syarat
(aturan-aturan dalam Al-Qur’a>n dan Hadith). Dengan kata lain, syariat
merupakan nilai utama yang menjadi payung strategis maupun praktis
bagi pelaku kegiatan bisnis.9 Sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Al-Baqarah ayat 18810
:
6Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis
Islami (Jakarta: Gema Insani, 2002), 18. 7Arifin Johan, Etika Bisnis Islami (Semarang: Walisongo Press, 2009), 131.
8 Rivai, dkk., Islamic Business , 4.
9 Ibid., 13.
10 Al-Qur’a>n, 2: 188.
23
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.11
Etika bisnis Islam menurut Muhammad Djakfar adalah norma-
norma etika yang berbasiskan al-Qur’an dan hadits yang harus dijadikan
acuan oleh siapapun dalam aktivitas bisnis. Dengan kata lain,
bagaimanapun etika bisnis yang berbasis kitab suci dan sunnah
Rasulullah SAW, sebagaimana halnya etika bisnis modern, tidak cukup
dilihat patrialistik semata, tetapi perlu dilihat juga dalam fungsinya
secara utuh (holistik). Dalam arti etika bisnis Islam perlu diposisikan
sebagai komoditas akademik yang bisa melahirkan sebuah cabang
keilmuan, sekaligus sebagai tuntutan para pelaku bisnis dalam melakukan
bisnis sehari-hari.12
Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa etika
bisnis Islam adalah akhlak dalam menjalankan bisnis sesuai dengan nilai-
nilai Islam, sehingga dalam melaksanakan bisnisnya tidak perlu ada
11
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra
Semarang, 1989), 46. 12
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islam (Malang: UII Malang Press, 2008), 84-85.
24
kekhawatiran, sebab sudah diyakini sebagai sesuatu yang baik dan
benar.13
2. Dasar Hukum Etika Bisnis Islam
Dasar hukum etika bisnis Islam adalah sebagai berikut:
a. Al- Nisa>’ ayat 2914
:
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”.15
b. Al-S{aff ayat 1016
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari adzab yang pedih?”17
c. Al-Baqarah ayat 4218
:
13
Ali Hasan, Manajemen Bisnis Syari’ah: Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 171. 14
Al-Qur’a>n, 4: 29. 15
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, 122. 16
Al-Qur’a>n, 61: 10. 17
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, 929. 18
Al-Qur’a>n, 2: 42.
25
Artinya: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan
yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak
itu, sedang kamu mengetahuinya ”.19
d. Al-Tawbah ayat 2420
:
Artinya: Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-
saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari
berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan Nya". dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”.21
e. Al-Nu>r ayat 3722
:
Artinya: Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari)
mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat.
mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang.23
19
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, 16. 20
Al-Qur’a>n, 9: 24. 21
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, 281. 22
Al-Qur’a>n, 24: 37. 23
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, 550.
26
3. Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam
Guna melangsungkan bisnis secara teratur, terarah dan
bermartabat, maka diperlukan adanya etika.24
Prinsip-prinsip dasar etika
bisnis Islam mencakup:
a. Kesatuan (Unity).
Kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid
yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik
dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial menjadi keseluruhan
yang homogen, serta mementingkan konsep eksistensi dan
keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka Islam
menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula, maka etika dan
bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horizontal, membentuk
suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.25
Konsep kesatuan memiliki pengaruh yang paling mendalam
terhadap diri seorang Muslim, yaitu karena seorang muslim
memandang apapun yang ada di dunia sebagai milik Allah, sehingga
pandangannya menjadi lebih luas dan pengabdiannya tidak lagi
terbatas kepada kelompok atau lingkungan tertentu. Seorang muslim
juga percaya bahwa Allah mengetahui segalanya yang terlihat
maupun yang tersembunyi, dan bahwa ia tidak dapat
menyembunyikan apapun, niat maupun tindakan dari Allah SWT.
24
Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi & Ekonomi Islam (Bandung: Penerbit Mandar
Maju, 2002), 166. 25
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam (Bandung: Alfabeta, 2013), 45.
27
Sebagai konsekuensinya, ia akan menghindarkan diri dari apa yang
dilarang, dan berbuat hanya dalam kebaikan.26
b. Keseimbangan (Equilibrium).
Islam sangat menganjurkan untuk berbuat adil dalam
berbisnis dan melarang berbuat curang atau berlaku zalim.27
Pengertian adil dalam Islam diarahkan agar hak orang lain, hak
lingkungan sosial, hak alam semesta, hak Allah dan Rasul-Nya
berlaku sebagai stakeholder dari perilaku adil seseorang. Semua hak-
hak tersebut harus ditempatkan sebagaimana mestinya, yaitu sesuai
aturan syariah. Tidak mengakomodir salah satu hak di atas, dapat
menempatkan seseorang tersebut pada kezaliman. Karenanya orang
yang adil akan lebih dekat kepada ketakwaan.28
Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Surat Al-Ma>idah ayat 829
, yaitu:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
26
Muhammad, Etika Bisnis Islami (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Akademi
Manajemen Perusahaan YKPN, tt), 53-54. 27
Rivai dan Antoni, Islamic Economics 221. 28
Faisal Badroen, dkk., Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006),
91. 29
Al-Qur’a>n, 5: 8.
28
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.30
Konsep keseimbangan juga dapat dipahami bahwa
keseimbangan hidup di dunia dan akhirat harus diusung oleh seorang
pebisnis muslim. Oleh karenanya, konsep keseimbangan berarti
menyerukan kepada pengusaha muslim untuk bisa merealisasikan
tindakan-tindakan dalam bisnis yang dapat menempatkan dirinya dan
orang lain dalam kesejahteraan duniawi dan keselamatan akhirat.31
Keseimbangan moral muslim mengarah untuk tidak membuat
kesulitan dan kerusakan. Perilaku yang menyebabkan kesulitan yang
menyakitkan orang lain perlu mendapat perhatian, baik yang
disengaja oleh pelakunya maupun tidak. Hal itu harus dilenyapkan
tanpa mempertimbangkan niat yang melatarbelakanginya, apakah
alasannya keduniawian ataupun akhirat.32
c. Kehendak Bebas (Free Will).
Kehendak bebas manusia berarti suatu potensi dalam
menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan
manusia tidak dibatasi. Tetapi, kehendak bebas yang diberikan Allah
kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya
manusia, yaitu sebagai khalifah di bumi. Karena itu, kehendak bebas
30
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, 159. 31
Faisal Badroen, Etika Bisnis, 92. 32
Ibid., 93-94.
29
itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu, terlebih
lagi pada kepentingan umat.33
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis
Islam, sehingga kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya
batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif
berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kecenderungan manusia untuk terus-menerus memenuhi kebutuhan
pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban
setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak, dan
sedekah.34
d. Tanggung jawab (Responsibility).
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil
dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya
pertanggungjawaban dan akuntabilitas untuk memenuhi tuntunan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung jawabkan
tindakannya. Secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan
kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas
dilakukan oleh manusia dengan bertanggung jawab atas semua yang
dilakukannya.35
Tanggung jawab terkait erat dengan tanggung jawab manusia
atas segala aktivitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga
tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena
33
Rivai dan Antoni, Islamic Economics, 229-230. 34
Abdul Aziz, Etika Bisnis, 46. 35
Mardani, Hukum Bisnis Syariah (Jakarta: Prenadamedia, 2014), 58.
30
manusia tidak hidup sendiri, dia tidak terlepas dari hukum yang
dibuat manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab
kepada Tuhan tentunya di akhirat, tetapi tanggung jawab kepada
manusia didapat di dunia berupa hukum-hukum formal maupun
hukum non formal.36
e. Ihsan (Benevolence)
Ihsan adalah kehendak untuk melakukan kebaikan hati dan
meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan atau kebenaran.37
Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap
dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses
mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam
proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip
kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku
preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak
yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam bisnis.38
Dalam sebuah bisnis, Ahmad menggaris bawahi sejumlah
perbuatan yang dapat mendukung pelaksanaan aksioma ihsan dalam
bisnis, yaitu: kemurahan hati, motif pelayanan, dan kesadaran akan
adanya Allah dan aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang
menjadi prioritas.39
36
Rivai dan Antoni, Islamic Economics, 230. 37
Ibid. 38
Abdul Aziz, Etika Bisnis, 47. 39
Faisal Badroen, Etika Bisnis, 102.
31
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip
sadar etika bisnis Islam yaitu: kesatuan (Unity), keseimbangan
(Equilibrium), kehendak Bebas (Free Will), tanggung jawab
(Responsibility), dan ihsan (Benevolence).
4. Bisnis yang di Contohkan Nabi Muhammad
Praktik pelaksanaan bisnis yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW, mengambarkan sifat dan perilaku beliau, yaitu:
a. S{idi>q berarti benar, yaitu senantiasa menyatakan dan melakukan
kebenaran dan kejujuran di manapun berada dan kepada siapapun.
Implikasinya dalam berbisnis adalah tegaknya kejujuran dan
menghindari segala bentuk penipuan, penggelapan dan perilaku
dusta.
b. Fat}anah berarti cerdas, yaitu mampu berpikir secara jernih dan
rasional serta mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Dalam
dunia bisnis sifat fatanah ini digunakan untuk mengidentifikasi dan
menetapkan hal-hal dan atau kegiatan yang halal, tayib, ihsan dan
tawa>zun.40
Selain itu, sifat fathanah akan menimbulkan kreativitas
dan kemampuan melakukan berbagai macam inovasi yang
bermanfaat.41
c. Amanah berarti dapat dipercaya, yaitu menjaga kepercayaan yang
diberikan oleh Allah dan orang lain. Dalam berbisnis, pemberian
40
Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Governance Bisnis
Syariah (Jakarta: KNKG, 2011), 16. 41
Rivai dan Andi, Islamic Economics, 236.
32
kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk pertanggung
jawaban dan akuntabilitas atas kegiatan-kegiatan bisnis.
d. Tabligh berarti menyampaikan, yaitu menyampaikan Risalah dari
Allah tentang kebenaran yang harus ditegakkan di muka bumi.
Kebenaran Risalah ini harus diteruskan oleh ummat Islam dari waktu
ke waktu agar Islam benar-benar dapat menjadi rahmat bagi alam
semesta. Dalam dunia bisnis, penyampaian risalah kebenaran dapat
diwujudkan dalam bentuk sosialisasi praktik-praktik bisnis yang baik
dan bersih, termasuk perilaku bisnis Rasulullah Saw dan para
sahabatnya.42
Keempat sifat Nabi Muhammad yaitu S{idi>q, Fat}anah, amanah,
dan tabligh ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya dan merupakan salah satu perwujudan dari iman
dan takwa.
5. Pedoman Bisnis Syariah yang Berlaku Umum
Dari keempat kesatuan sifat Nabi dan Rasul dapat diturunkan asas
Good Governance Bisnis Syariah yang berlaku secara umum dalam
dunia usaha yaitu:
a. Transparansi
Tranparansi (transparency) mengandung unsur
pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai
dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Transparansi
42
Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum, 236.
33
diperlukan agar pelaku bisnis syariah menjalankan bisnis secara
objektif dan sehat. Pelaku bisnis syariah harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundangan, tetapi juga hal yang penting untuk
pengambilan keputusan yang sesuai dengan ketentuan syariah.43
Oleh karena itu, maka:
1) Pelaku bisnis syariah harus menyediakan informasi tepat waktu,
memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah
diakses oleh semua pemangku kepentingan sesuai dengan
haknya.
2) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas
pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi organisasi, kondisi
keuangan, susunan pengurus, kepemilikan, sistem manajemen
risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan
pelaksanaan GGBS serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian
penting yang dapat mempengaruhi kondisi entitas bisnis syariah.
3) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh pelaku bisnis syariah tidak
mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan
organisasi sesuai dengan peraturan perundangan, rahasia
jabatan, dan hak-hak pribadi.
43
Ibid., 17.
34
4) Kebijakan organisasi harus tertulis dan secara proporsional
dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan.44
b. Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan asas penting dalam bisnis syariah.
Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi
dalam organisasi dan cara mempertanggung jawabkannya. Pelaku
bisnis syariah harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya
secara transparan dan wajar. Untuk itu bisnis syariah harus dikelola
secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan pelaku bisnis
syariah dengan tetap memperhitungkan pemangku kepentingan dan
masyarakat pada umumnya.45
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk
mencapai kinerja yang berkesinambungan. Oleh karena itu, maka:
1) Pelaku bisnis syariah harus menetapkan rincian tugas dan
tanggung jawab masing-masing organ dan semua karyawan
secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai, dan strategi
bisnis syariah.
2) Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua elemen
organisasi dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai
dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan
Good Governance Bisnis Syariah.
44
Ibid. 45
Ibid.
35
3) Pelaku bisnis syariah harus memastikan adanya sistem
pengendalian yang efektif dalam pengelolaan organisasi.
4) Pelaku bisnis syariah harus memiliki ukuran kinerja untuk
semua jajaran organisasi yang konsisten dengan sasaran bisnis
yang digeluti, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi
(reward and punishment system).
5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap
elemen organisasi dan semua karyawan harus berpegang pada
etika bisnis syariah dan pedoman prilaku (code of conduct) yang
telah disepakati.
6) Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua prosedur dan
mekanisme kerja dapat menjamin kehalalan, tayib, ikhsan dan
tawa>zun atas keseluruhan proses dan hasil produksi.46
c. Responsibilitas
Dalam hubungan dengan asas responsibilitas
(responsibility), pelaku bisnis syariah harus mematuhi peraturan
perundang-udangan dan ketentuan bisnis syariah, serta
melaksanakan tanggung-jawab terhadap masyarakat dan lingkungan.
Dengan pertanggung jawaban ini maka entitas bisnis syariah dapat
terpelihara kesinambungannya dalam jangka panjang dan mendapat
46
Ibid., 16-17.
36
pengakuan sebagai pelaku bisnis yang baik (good corporate
citizen).47
Oleh karena itu, maka:
1) Pelaku bisnis syariah harus berpegang pada prinsip kehati-hatian
dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan bisnis syariah
dan perundangan, anggaran dasar serta peraturan internal pelaku
bisnis syariah (by-laws).
2) Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan isi perjanjian yang
dibuat termasuk tetapi tidak terbatas pada pemenuhan hak dan
kewajiban yang yang disepakati oleh para pihak.
3) Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan tanggung jawab sosial
antara lain dengan peduli terhadap masyarakat dan kelestarian
lingkungan terutama di sekitar tempat berbisnis, dengan
membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
4) Pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut dapat dilakukan
dengan cara membayar zakat, infak dan sadaqah.48
d. Independensi
Dalam hubungan dengan asas independensi (independency),
bisnis syariah harus dikelola secara independen sehingga masing-
masing pihak tidak boleh saling mendominasi dan tidak dapat
diintervensi oleh pihak manapun. Independensi terkait dengan
47
Ibid., 17 48
Ibid.
37
konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap berpegang teguh pada
kebenaran meskipun harus menghadapi risiko. 49
Independensi merupakan karakter manusia yang bijak, oleh
karena itu, maka:.
1) Pelaku bisnis syariah harus bersikap independen dan harus
menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak
terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan
kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau
tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan
secara obyektif.
2) Masing-masing organ Perusahaan harus melaksanakan fungsi
dan tugasnya sesuai dengan peraturan perundangan dan
ketentuan syariah, tidak saling mendominasi dan atau melempar
tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
3) Seluruh jajaran bisnis syariah harus melaksanakan fungsi dan
tugasnya sesuai dengan uraian tugas dan tanggung jawabnya.50
e. Kewajaran dan Kesetaraan
Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur
kesamaan perlakuan dan kesempatan. Fairness atau kewajaran
merupakan salah satu manifestasi adil dalam dunia bisnis. Setiap
keputusan bisnis, baik dalan skala individu maupun lembaga,
hendaklan dilakukan sesuai kewajaran dan kesetaraan sesuai dengan
49
Ibid., 18. 50
Ibid.
38
apa yang biasa berlaku, dan tidak diputuskan berdasar suka atau
tidak suka. Pada dasarnya, semua keputusan bisnis akan
mendapatkan hasil yang seimbang dengan apa yang dilakukan oleh
setiap entitas bisnis, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam
melaksanakan kegiatannya, pelaku bisnis syariah harus senantiasa
memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan,
berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.51
Oleh karena itu, maka:
1) Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan pada
pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan
menyampaikan pendapat bagi kepentingan organisasi serta
membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip
transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
2) Pelaku bisnis syariah harus memberikan perlakuan yang setara
dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat
dan kontribusi yang diberikan.
3) Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan yang sama
dalam penerimaan pegawai, berkarir, dan melaksanakan
tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin (gender) dan kondisi fisik.
4) Pelaku bisnis syariah harus bersikap tawa>zun yaitu adil dalam
pelayanan kepada para nasabah atau pelanggan dengan tidak
mengurangi hak mereka, serta memenuhi semua kesepakatan
51
Ibid.
39
dengan para pihak terkait dengan harga, kualitas, spesifikasi
atau ketentuan lain yang terkait dengan produk yang
dihasilkannya.52
Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa pedoman bisnis
syariah yang dapat berlaku umum meliputi transparansi, akuntabilitas,
resposibilitas, independensi, kewajaran dan kesetaraan.
B. Perilaku Produsen
Secara teknis produksi adalah proses mentransformasikan input
menjadi output. Beberapa ahli ekonomi Islam memberikan definisi yang
berbeda mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Kahf
mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif Islam sebagai usaha
manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga
moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana
digariskan dalam ajaran agama Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.53
Sedangkan Siddiqi mendefinisikan kegiatan produksi sebagai
penyediaan barang dan jasa dengan memerhatikan nilai keadilan dan
kebajikan/ kemanfaatan bagi masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang
produsen telah bertindak adil, dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka
ia telah bertindak Islami.54
52
Ibid., 19. 53
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 230. 54
Ibid., 231.
40
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepentingan
manusia, yang sejalan dengan moral Islam, harus menjadi fokus atau target
dari kegiatan produksi. Produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan
mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan mas}lah}ah
bagi manusia. Oleh karena itu, produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan
menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan
hasilnya.55
Upaya untuk mencari keuntungan merupakan konsekuensi logis dari
aktivitas produksi seseorang karena keuntungan itu merupakan rezeki yang
diberikan Allah kepada manusia. Islam memandang bahwa kegiatan produksi
itu adalah dalam rangka memaksimalkan kepuasan dan keuntungan dunia dan
akhirat.
Dalam pandangan Islam, produksi bukan sekedar aktivitas yang
bersifat duniawi, tetapi juga merupakan sarana untuk mencari kebahagiaan
hidup di akhirat kelak. Untuk itu motivasi produsen dalam memaksimumkan
keuntungan harus dilakukan dengan cara-cara yang sejalan dengan tujuan
syariah, yaitu mewujudkan kemaslahatan hidup bagi manusia dan
lingkungannya secara keseluruhan.56
Keuntungan dikenakan didasarkan atas
keuntungan yang tidak merugikan produsen atau konsumen yang lain.
55
Ibid. 56
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi (Depok: PT
RajaGrafindo Persada, 2014), 126.
41
Keuntungan didasarkan atas upaya untuk menstimulir pasar. Oleh karena itu,
keuntungan pengusaha muslim didasarkan atas prinsip kemanfaatan.57
Beberapa prinsip dasar perilaku produsen sebagai perwujudan dari
Islamic man adalah sebagai berikut58
:
1. Produsen tidak saja reaktif tapi juga proaktif, kreatif, dan inovatif dalam
membuat produk. Seringkali konsumen tidak mengetahui apa yang dia
butuhkan. Kebutuhannya mulai terasa ketika ia melihat-lihat barang-
barang di dalam toko. Dari situ, produsen dituntut untuk bisa kreatif dan
inovatif dalam menyediakan barang yang dibutuhkan konsumen. Tidak
sekedar barang-barang lumrah yang memang dibutuhkan konsumen.
Namun, yang perlu diperhatikan produsen, kreativitas perlu dibatasi oleh
nilai-nilai luhur Islam yang bersifat mendidik konsumen.59
2. Orientasi pembuatan produk adalah kemaslahatan, bukan asal laku (dapat
untung). Walaupun surveibilitas produsen sangat ditentukan oleh
sejauhmana ia memperoleh keuntungan dari penjualan produknya, bukan
berarti produsen dibebaskan untuk membuat produk asal laku di
masyarakat. Dalam norma-norma Islam di samping terdapat barang atau
sesuatu yang secara jelas dilarang untuk dikonsumsi (berarti juga
diproduksi), Islam juga menyarankan agar produk mengandung
57
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonisia,
2002), 195-196. 58
Dede Nurohman, Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Yogyakarta: Teras, 2011),
114. 59
Ibid., 115.
42
kemanfaatan bagi masyarakat banyak. Sehingga orientasi produsen
bukan hanya mencari keuntungan tetapi juga menjaga ketentraman.60
3. Memegang prinsip efisiensi. Efisiensi penting dalam proses produksi.
Artinya produsen harus menerapkan prinsip ini dalam berbagai sisi
aktivitas produksi. Dalam penerapan jumlah produk, misalnya produsen
harus mengukur terlebih dulu seberapa kekuatan masyarakat dalam
mengkonsumsi sebuah produk. Hal ini menentukan produsen untuk
membuat berapa banyak produk harus ia buat. Jika produk yang ia buat
terlalu banyak, melebihi kapasitas yang diinginkan masyarakat, maka
produk tersebut menjadi sia-sia. Ini berarti inefisien dan tidak
direkomendasikan dalam Islam.61
4. Dapat mengantisipasi dan memprediksi ekses negatif dari produk yang
akan dibuatnya. Produk-produk seperti kosmetik, obat-obatan, makanan,
minuman suplemen, alat-alat teknologi, dan peralatan lainnya dapat
mengundang bahaya konsumen jika dibuat secara tidak cermat oleh
produsen. Oleh karena itu, dalam pembuatan produk, produsen harus
hati-hati dan waspada dengan mempertimbangkan segala kemungkinan
yang akan terjadi pada konsumen. Produsen harus mempersiapkan bahan
yang baik, melakukan uji teknis atau medis, melakukan pemantauan
dalam proses produksi, menyiapkan tenaga ahli, serta melakukan
eksperimen untuk memastikan bahwa produk yang dibuatnya tidak
membahayakan konsumen. Termasuk mencantumkan beberapa informasi
60
Ibid. 61
Ibid., 115-116
43
terkait aturan pakai, masa kadaluarsa, efek samping yang
ditimbulkannya, dan peringatan-peringatan lain yang menjadi
pengetahuan dasar bagi konsumen sebelum membeli produk. Ini penting
karena realitas konsumen adalah realitas ketidaktahuan akan produk.
Oleh karena itu, produsen sebagai pihak yang mengetahui seluk beluk
produk harus memberikan kepedulian terlebih dahulu dengan cara seperti
itu.62
5. Menjaga keramahan terhadap lingkungan. Persoalan yang sering
mengganggu dalam kegiatan produksi adalah bagaimana kegiatan
produksi tidak mengakibatkan rusaknya lingkungan. Jika hal ini tidak
diperhatikan, kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan bencana bagi
masyarakat serta makhluk hidup di sekitarnya. Untuk itu, produsen harus
melakukan kajian dan penelitian terhadap bahan-bahan, zat-zat kimiawi,
dan mengatur proses pembuangannya agar kegiatan produksi tidak
mengakibatkan pencemaran lingkungan. Produsen harus menjaga
keseimbangan alam dan menciptakan kondisi lingkungan tetap hijau.63
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa prinsip dasar
perilaku produsen sebagai perwujudan dari Islamic man adalah kreatif, dan
inovatif; menjujung kemaslahatan, efisiensi, keramahan lingkungan serta
mampu mengantisipasi ekses negatif dari produk yang dihasilkan.
62
Ibid. 63
Ibid.
44
C. Pencantuman Label pada Produk
Sebelum membeli, seorang konsumen tentu akan mencari informasi
tentang berbagai aspek dari suatu barang atau produk. Kelengkapan suatu
informasi, daya tarik dan kelebihan suatu barang atau produk menjadi faktor
yang sangat menentukan bagi konsumen untuk menentukan pilihannya. Oleh
karena itu, informasi merupakan hal pokok yang dibutuhkan oleh setiap
konsumen.64
Dalam Pasal 97 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2012 Tentang Pangan disebutkan bahwa setiap orang yang
memproduksi pangan untuk diperdagangkan, wajib mencantumkan label di
dalam dan atau pada kemasan pangan.65
Label pangan merupakan setiap
keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi
keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke
dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.66
Labelisasi (pelabelan) dibutuhkan agar konsumen dapat
membandingkan dengan produk lainnya yang bersaing. Dengan demikian,
label harus mendeskripsikan dengan jelas setiap bahan asal yang terkandung
dalam produk, termasuk bahan yang tersembunyi, seperti pengolahan, alat
bantu pengolahan dan bahan-bahan pendukung lainnya.67
64
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta,
2004), 285. 65
Pasal 97, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. 66
Pasal 1, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Nomor
HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga. 67
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana, 2016), 114-115.
45
Tujuan labelisasi adalah untuk mencegah penipuan, serta untuk
membantu konsumen memaksimalkan pilihan mereka terhadap produk untuk
kemanfaatan atau kesejahteraan mereka. Agar konsumen bertindak sesuai
dengan kepentingan terbaik mereka dan berdasarkan pilihan mereka. Dengan
demikian, tujuan dari label adalah sebagai informasi untuk membantu
konsumen mengidentifikasi produk makanan yang paling sesuai dengan
pilihan mereka. Jika konsumen mengetahui identitas suatu produk dengan
jelas, memungkinkan bagi konsumen untuk memilih produk yang disukai.
Dalam konteks ini, memberikan informasi adalah upaya meningkatkan
kesejahteraan dan meningkatkan kebebasan konsumen untuk menggunakan
hak pilih mereka, karena konsumen membuat keputusan berdasarkan
informasi yang ada pada label. Jadi, label sangat membantu konsumen untuk
mendapatkan informasi produk bagi kemanfaatan dan kesejahteraan
konsumen. Pada sisi lain, label sebagai informasi produk berfungsi untuk:
mengubah perilaku konsumen terhadap produk; mengakomodasi preferensi
konsumen serta meningkatkan keamanan pangan; dan sebagai jaminan bahwa
negara sedang mempertimbangkan kepentingan konsumen.68
Dalam Islam, kebenaran dan keakuratan informasi ketika seorang
pelaku usaha mempromosikan barang dagangannya menempati kajian yang
sangat signifikan. Islam tidak mengenal sebuah istilah kapitalisme klasik
yang berbunyi ceveat emptor (pembelilah yang harus berhati-hati), tidak pula
ceveat venditor (pelaku usahalah yang harus berhati-hati), tetapi dalam Islam
68
Ibid., 115.
46
yang berlaku adalah prinsip keseimbangan, dimana pembeli dan penjual harus
berhati-hati..69
Landasan etika bisnis yang harus diperhatikan dalam pelabelan adalah
prinsip kesatuan, pertanggung jawaban dan kehendak bebas, kebajikan dan
kebenaran. Dalam proses membuat dan menyebarkan suatu informasi harus
terdapat nilai keyakinan bahwa tidak ada satu aktivitaspun yang lepas dari
pengawasan Allah. Suatu informasi produk walaupun dengan secara bebas
memilih kreasi penyampaiannya, tetapi dibatasi oleh pertanggung jawaban
secara horizontal dan vertikal sekaligus. Suatu kebebasan yang tak terkendali,
yang membuat suatu kebohongan pasti tidak akan membawa dampak positif,
walaupun dalam jangka pendek mungkin menguntungkan. Demikian pula
nilai kebenaran harus dijunjung tinggi untuk mempertahankan suatu tujuan
luhur dari bisnis.70
Pelabelan yang benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan
membantu terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab,
dimana semua pihak akan memperoleh informasi yang benar mengenai suatu
produk. Sehingga akan memudahkan dalam pengawasan keamanan pangan
dan melindungi konsumen dari terciptanya persepsi yang salah.71
Informasi yang harus diberikan pada pembeli tidak hanya
berhubungan dengan kualitas dan kuantitas suatu barang, tetapi juga berkaitan
69
Muhammad, Etika Bisnis, 204. 70
Muhammad dan Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen, 275.
71Ade Sanjaya, “Pengertian Label Produk Pangan Pengaturan Pelabelan Bagi Konsumen
Dalam Mendapatkan Perlindungan dan Informasi”, dalam http://www.landasanteori.com (24
Februari 2018, pukul 06.57 WIB)
47
dengan efek samping atau bahaya pemakaian, perlindungan terhadap
kepercayaan agama tertentu, seperti informasi halal atau haramnya suatu
produk. 72
Dalam Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2012 Tentang Pangan dijelaskan bahwa pencantuman label pada
kemasan pangan harus memuat paling sedikit keterangan mengenai: nama
produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan
alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; halal bagi yang
dipersyaratkan; tanggal dan kode produksi; tanggal, bulan, dan tahun
kadaluarsa; nomor izin edar bagi pangan olahan; dan asal usul bahan pangan
tertentu.73
1. Pencantuman Tanggal Kadaluarsa pada Label
Keterangan masa kadaluarsa produk pangan merupakan salah satu
informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada label kemasan
produk pangan. Pencantuman masa kadaluarsa sangat penting karena
terkait dengan keamanan produk pangan dan untuk memberikan jaminan
mutu pada saat produk sampai ke tangan konsumen.74
Tanggal kadaluarsa merupakan informasi dari produsen kepada
konsumen, yang menyatakan batas/ tenggang waktu penggunaan/
pemanfaatan yang paling baik dan paling aman dari produk makanan
atau minuman kemasan. Artinya produk tersebut memiliki mutu yang
72
Ibid. 73
Pasal 97, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan 74
Feri Kusnandar, dkk., “Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit dengan Metode
Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis”, J.Teknol dan Industri Pangan, Vol. XXI No.
2 Th. 2010, 117.
48
paling prima hanya sampai batas waktu tersebut. Dan produsenlah yang
menentukan masa tenggang kadaluwarsa karena pihak produsen yang
mengetahui lebih lanjut mengenai produk yang diproduksi.75
Pada saat baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan
100%, dan akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau
distribusi. Penggunaan indikator mutu dalam menentukan umur simpan
produk siap masak atau siap saji bergantung pada kondisi saat percobaan
penentuan umur simpan tersebut dilakukan.76
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pada
dasarnya mengatur tentang pangan, khususnya yang terkait dengan
kesehatan pangan dan keselamatan manusia. Di samping itu undang-
undang tersebut juga memberikan rambu-rambu tentang bagaimana suatu
bahan pangan diproduksi dan diperdagangkan. Selain obat-obatan,
makanan juga dapat memiliki dua fungsi yaitu sebagai makanan, tetapi
dalam hal lain dapat menyebabkan keracunan, walaupun tidak separah
akibat salah penggunaan obat. Makanan yang busuk dapat menimbulkan
akibat yang fatal seperti muntah, buang air bahkan dapat menimbulkan
kematian.77
75
I Gede Eggy Bintang Pratama dan I Ketut Sudjana, “Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen terhadap Makanan Kemasan Tanpa Tanggal Kadaluarsa”, 3. 76
Heny Herawati, “Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan”, Jurnal Litbang
Pertanian, 27(4), 2008, 25. 77
Bambang Hermanu, “Studi Implementasi Izin Edar Produk Pangan Industri Rumah
Tangga (PIRT) dalam Mewujudkan Keamanan Pangan yang Optimal di Kota Semarang”, Hukum
dan Dinamika Masyarakat vol. 11 no.2 April 2014, 155.
49
2. Pencantuman Nomor PIRT pada Label
Dalam memproduksi makanan, minuman dan obat-obatan, salah
satu hal yang penting adalah memiliki Izin dari Dinas Kesehatan karena
berdasarkan dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),
untuk seluruh produksi makanan dan minuman yang diedarkan secara
luas harus memiliki izin produksi. Walaupun itu bentuknya adalah
industri rumahan. Untuk melindungi masyarakat dari produk pangan
olahan yang membahayakan kesehatan konsumen, pemerintah Indonesia
telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan keamanan pangan.78
Pangan olahan yang diproduksi dan diedarkan oleh Industri
Rumah Tangga Pangan (IRTP) wajib memiliki Sertifikat Produksi
Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) yang diterbitkan oleh Bupati/
Walikota.79
Adapun pedoman yang digunakan sebagai dasar dalam
pemberian SPP-IRT adalah Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan RI Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 Tentang
Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah
Tangga.80
Tata cara pemberian SPP-IRT yang pertama adalah penerimaan
pengajuan permohonan SPP-IRT. Permohonan diterima oleh Dinas
78
Wiwit Setyoyati, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Produk Pangan
Industri Rumah Tangga yang Tidak Berlabel”, 8. 79
Andi Hilam Imtiyaz, dkk., “Analisis Nomor P-IRT pada Label Pangan Produksi IRTP
di Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember”, Artikel Ilmiah Hasil Penelitan Mahasiswa 2016, 2-3. 80
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Nomor
HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga.
50
Kesehatan dan dievaluasi kelengkapan serta kesesuaiannya yang
meliputi:
a. Formulir permohonan SPP-IRT yang memuat informasi sebagai
berikut: nama jenis pangan; nama dagang; jenis kemasan; berat
bersih/ isi bersih; komposisi; tahapan produksi; nama, alamat, kode
pos dan nomor telepon IRTP; nama pemilik; nama penanggung
jawab; informasi tentang masa simpan; informasi tentang kode
produksi.
b. Dokumen lain antara lain: surat keterangan atau izin usaha dari
instansi yang berwenang dan rancangan label pangan.81
Setelah mengevaluasi kelengkapan dan kesesuaian dokumen,
Dinas Kesehatan mengkoordinasi penyelenggaraan penyuluhan
keamanan pangan. Penyuluh Keamanan Pangan itu ditugaskan kepada
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki Sertifikat kompetensi di
bidang penyuluhan keamanan pangan dari Badan POM. Penyuluhan
Keamanan Pangan diikuti oleh pemilik atau penanggung jawab IRTP,
dengan materi sebagai berikut:
a. peraturan perundang-undangan di bidang pangan;
b. keamanan dan mutu pangan;
c. teknologi proses pengolahan pangan;
d. prosedur operasi sanitasi yang standar;
e. cara produksi pangan yang baik untuk IRT;
81
Lampiran 1, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Nomor
HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga.
51
f. penggunaan bahan tambahan pangan;
g. persyaratan label dan iklan pangan;
h. pencantuman label halal;
i. etika bisnis dan pengembangan jejaring bisnis IRTP.82
Tahapan yang ketiga yaitu, pemerikasaan sarana produksi pangan
industri rumah tangga oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki
Sertifikat kompetensi di bidang penyuluhan keamanan pangan dari
Badan POM. Pemeriksaan sarana produksi IRTP berpedoman pada
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga. Jika hasil pemeriksaan sarana produksi
menunjukkan bahwa IRTP masuk level I-II maka diberikan SPP-IRT.83
Nomor P-IRT merupakan nomor pangan produksi IRTP yang
menjadi bagian tidak terpisahkan dari SPP-IRT dan wajib dicantumkan
pada label pangan produksi IRTP yang telah memenuhi persyaratan
pemberian SPP-IRT. Nomor P-IRT ini hanya berlaku selama lima tahun
dan wajib dilakukan perpanjangan.84
Nomor P-IRT diberikan untuk satu jenis pangan Industri Rumah
Tangga Pangan (IRTP). Setiap perubahan, baik penambahan maupun
pengurangan provinsi, kabupaten/ kota, pemberian nomor disesuaikan
dengan kode baru untuk Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang diterbitkan
82
Ibid. 83
Ibid. 84
Andi Hilman, dkk., Analisis Nomor P-IRT, 2-3.
52
oleh instansi yang berwenang dalam penerbitan kode provinsi,
Kabupaten, dan Kota.85
Nomor P-IRT minimal terdiri dari 15 digit, dengan penjelasan:
a. digit ke-1 menunjukkan kode jenis kemasan;
b. digit ke-2 dan 3 menunjukkan nomor urut/ kode jenis pangan IRTP;
c. digit ke-4, 5, 6, dan 7 menunjukkan kode provinsi dan kabupaten/
kota
d. digit ke-8 dan 9 menunjukkan nomor urut pangan IRTP yang telah
memperoleh Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga
(SPP-IRT);
e. digit ke-10, 11, 12, dan 13 menunjukkan nomor urut IRTP di
kabupaten/ kota yang bersangkutan;
f. digit ke 14 dan 15 menunjukkan tahun berakhir masa berlaku.86
Registrasi terhadap suatu produk P-IRT merupakan jaminan mutu
dan keamanan pangan terhadap kelayakan suatu produk pangan agar
dapat dikonsumsi oleh konsumen. Registrasi untuk P-IRT dikeluarkan,
agar produk pangan tersebut secara sah dapat beredar di pasaran.87
85
Lampiran 1, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Nomor
HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga. 86
Ibid. 87
Andi Hilman, dkk., Analisis Nomor P-IRT, 2-3.
53
BAB III
PERILAKU PRODUSEN INDUSTRI RUMAH TANGGA
DI DESA JURUG KECAMATAN SOOKO
A. Gambaran Umum Desa Jurug Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo
1. Letak Geografis
Desa Jurug Kecamatan Sooko merupakan salah satu Desa yang
terletak di sebelah timur Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo, Jawa
Timur. Desa Jurug memiliki luas wilayah 1.205,353 Hektar. Secara
geografis Desa Jurug Kecamatan Sooko terletak pada ketinggian 450
sampai dengan 650 meter di atas permukaan laut, dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Kecamatan Pulung
b. Sebelah Timur : Kecamatan Pudak
c. Sebelah Selatan : Desa Bedoho Kecamatan Sooko
d. Sebelah Barat : Desa Sooko Kecamatan Sooko1
2. Keadaan Penduduk
Penduduk Desa Jurug Kecamatan Sooko mencapai 6.726 jiwa.
Masyarakat Desa Jurug Kecamatan Sooko masih menjunjung tinggi rasa
kebersamaan, gotong royong, saling menolong serta solidaritas antar
sesama.2
1Dokumentasi Kantor Desa Jurug Kecamatan Sooko
2 Siti, Wawancara, 05 Maret 2018.
54
Mayoritas penduduk Desa Jurug Kecamatan Sooko bekerja di
sektor pertanian. Namun ada pula penduduk yang bekerja di bidang
industri pengolahan, konstruksi, perdagangan, jasa, transportasi,
pertambangan dan penggalian. Data penduduk Desa Jurug Kecamatan
Sooko menurut mata pencaharian3 yaitu:
Tabel 3.1
Mata Pencaharian Penduduk di Desa Jurug Kecamatan Sooko
No. Mata Pencaharian Jumlah
1 Pertanian 2.024 orang
3 Industri Pengolahan 98 orang
4 Konstruksi 7 orang
5 Perdagangan 189 orang
6 Jasa 5 orang
7 Transportasi 19 orang
3. Keadaan Beragama
Penduduk Desa Jurug Kecamatan Sooko terbagi antara Islam,
Kristen dan Katolik. Jumlah pemeluk agama Islam adalah 6.701 jiwa,
sedangkan agama Kristen 3 jiwa, dan agama Katolik 22 jiwa.4 Dari data
tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Desa Jurug
Kecamatan Sooko adalah pemeluk agama Islam.
Walaupun penduduk tidak semuanya beragama Islam, namun
syari’at Islam tetap dikedepankan dan dilaksanakan oleh umat-umat
3Badan Pusat Statistik, “Kecamatan Sooko dalam Angka 2017”, dalam
https://ponorogokab.bps.go.id (diakses pada tanggal 01 Maret 2018, jam 08.15). 4Badan Pusat Statistik, “Kecamatan Sooko dalam Angka 2017”, dalam
https://ponorogokab.bps.go.id (diakses pada tanggal 01 Maret 2018, jam 08.15).
55
Islam dengan penuh rasa kebersamaan kekeluargaan. Selain itu,
meskipun penduduk muslim non minoritas, pada dasarnya mampu hidup
berdampingan dengan masyarakat tanpa ada rasa diskriminasi.5
4. Keadaan Industri Rumah Tangga
Dari 98 penduduk Desa Jurug Kecamatan Sooko yang bermata
pencaharian dalam bidang industri, 48 diantaranya tergolong dalam
Industri Rumah Tangga Pangan6. Adapun rinciannya adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.2
Industri Rumah Tangga Pangan di Desa Jurug Kecamatan Sooko
Jenis Usaha
Jumlah pada Tahun
2014 2015 2016
Tempe 7 7 7
Tahu 2 2 2
Krupuk 3 3 3
Roti 7 7 7
Emping Mlinjo 1 1 1
Rengginang 4 4 4
Keripik 8 8 8
Jamu Tradisional 5 5 5
Es lilin 5 5 5
Makanan dan
minuman lainnya
6 6 6
5Siti, Wawancara, 05 Maret 2018.
6Ibid.
56
B. Pelabelan Produk Industri Rumah Tangga di Desa Jurug Kecamatan
Sooko
Pelabelan produk merupakan salah satu hal yang dilakukan oleh
produsen industri rumah tangga pangan di Desa Jurug Kecamatan Sooko.
Setiap industri rumah tangga memiliki label produk yang berbeda-beda,
terutama pada desain label tersebut. Para produsen membuat desain label
sedemikan rupa, hingga produknya diminati oleh para konsumen. Selain itu,
dengan desain yang menarik, dapat membuat produk cepat dikenal oleh para
konsumen.7
Meskipun desain label berbeda-beda, namun informasi yang ada dalam
label kemasan produk industri rumah tangga Desa Jurug Kecamatan Sooko
hampir sama. Informasi pada label produk itu diantaranya yaitu, nama
produsen, alamat produsen, nomor telepon, nama produk, serta logo produk,
tanggal kadaluarsa, serta nomor izin edar.8
1. Pelabelan Produk Tanpa Mencantumkan Tanggal Kadaluarsa
Dari delapan industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan
Sooko yang menjadi subjek penelitian, dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu 2 (dua) industri rumah tangga mencantumkan tanggal
kadaluarsa, dan 6 (enam) industri rumah tangga tidak mencantumkan
tanggal kadaluarsa.
Pencantuman tanggal kadaluarsa pada label produk dilakukan
oleh Bu SR. Beliau mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label
7SR, Wawancara, 10 Maret 2018.
8 Observasi, Tanggal 11 Maret 2018, Pukul 10.00 WIB
57
produknya secara jelas, sehingga konsumen tau kapan produk Bu SR
masih layak konsumsi atau tidak. Kelayakan masa konsumsi suatu
produk dapat ditentukan atau dibuat oleh produsen yang menghasilkan
produk tersebut, yaitu dengan melakukan percobaan terhadap produknya.
Bu SR menguji produknya dengan menyimpan sampel produk, dan
diketahui bahwa masa layak konsumsi produk keripik adalah selama 3
(tiga) bulan. Menurut penuturan Bu SR, masa konsumsi suatu produk
dapat diperpanjang dengan pemilihan barang mentah serta pengolahan
yang tepat. Yang dilakukan Bu SR agar produknya tahan lama
diantaranya adalah menggunakan minyak yang berkualitas saat
penggorengan. Sebab apabila menggunakan minyak curah, produk yang
dihasilkannya akan lebih cepat melempem.9
Demikian pula dengan Bu E, ia mencantumkan tanggal
kadaluarsa pada label produknya dengan jelas. Menurutnya pencantuman
tanggal kadaluarsa sangat penting dilakukan, sebab digunakan konsumen
untuk acuan apakah suatu produk masih layak konsumsi atau tidak.10
Sedangkan salah satu produsen yang tidak mencantumkan tanggal
kadaluarsa adalah Bu W. Bu W menuturkan bahwa dalam sehari,
industrinya memproduksi pangan dalam jumlah yang besar, dengan
dibantu oleh dua orang karyawan. Dengan mencantuman tanggal
kadaluarsa dalam setiap label, tentu akan memakan waktu lebih lama dan
9SR, Wawancara, 10 Maret 2018.
10 E, Wawancara, 10 Maret 2018.
58
membutuhkan tenaga lebih besar, sehingga Bu W memutuskan untuk
tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label produknya.11
Demikian pula dengan produk industri rumah tangga Bu H,
dalam labelnya tidak terdapat tanggal kadaluarsa. Menurut Bu H
mencantumkan tanggal kadaluarsa memiliki pengaruh positif dan
negatif. Positifnya, konsumen dapat membedakan mana produk yang
masih layak konsumsi atau tidak. Namun negatifnya, ketika produk telah
mendekati tanggal kadaluarsa konsumen enggan untuk membeli produk
tersebut, sehingga banyak barang yang kembali ke produsen. Hal itu
tentu mengurangi keuntungan produsen. Karena itulah Bu H memilih
untuk tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label produknya.12
Bu T juga mengakui bahwa ia tidak mencantumkan tanggal
kadaluarsa, karena semua produknya merupakan makanan kering yang
memiliki daya tahan lama. Selain itu, ia menggunakan kemasan produk
yang bening, sehingga dapat digunakan konsumen untuk melihat produk
apakah masih layak konsumsi atau tidak. Dengan demikian, ia merasa
bahwa tidak perlu mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label
produknya.13
Alasan demikian juga diungkapkan oleh Pak M. Ia tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa karena produknya merupakan
makanan kering, sehingga aman dikonsumsi dalam jangka waktu lama.14
11
W, Wawancara, 10 Maret 2018. 12
H, Wawancara, 10 Maret 2018. 13
T, Wawancara, 10 Maret 2018. 14
M, Wawancara, 10 Maret 2018.
59
Lain halnya dengan yang dilakukan oleh Bu S. Pada awalnya Bu
S pernah mencantumkan tanggal kadaluarsa, namun ia pernah dikritik
oleh konsumen karena produknya sudah melempem, padahal dari tanggal
kadaluarsa yang dicantumkan, produk itu masih layak konsumsi. Dengan
kata lain, tanggal kadaluarsa yang dicantumkan oleh Bu S tidak sesuai
dengan keadaan produknya. Sejak saat itu, Bu S memutuskan untuk tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label produknya. Meskipun Bu S
tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label, namun produknya
masih tetap diminati oleh konsumen.15
Hal ini dibuktikan dengan
produksi Bu S yang masih banyak beredar di tengah-tengah masyarakat,
serta bebas masuk ke toko-toko serta swalayan di Desa Jurug Kecamatan
Sooko.
Label kemasan produk Bu Y disertakan kolom kadaluarsa, namun
kolom tersebut tidak diisi tanggal kadaluarsanya. Menurut Bu Y, hal ini
dikarenakan produk yang dihasilkan pada setiap pengolahan olehnya,
akan habis dalam waktu kurang lebih 1 (satu) bulan. Selain itu, Bu Y
sering mengecek keadaan produknya di toko-toko dan swalayan. Jika
kemasan produk telah berubah warna, meskipun masih layak konsumsi,
Bu Y akan menarik produk itu dari pasaran.16
15
S, Wawancara, 10 Maret 2018. 16
Y, Wawancara, 10 Maret 2018.
60
2. Pelabelan Produk Dengan Mencantumkan Satu Nomor P-IRT pada
Beberapa Produk
Untuk meyakinkan konsumen dalam mengonsumsi suatu
produknya, para produsen industri rumah tangga Desa Jurug Kecamatan
Sooko mencantumkan nomor P-IRT pada label kemasan. Pencantuman
nomor P-IRT dalam kemasan produk dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor,
yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dalam pencantuman nomor P-IRT pada label,
seperti yang diungkapkan oleh Bu S yaitu sebagai bentuk tanggung
jawab produsen untuk memberikan jaminan kesehatan serta kebersihan
produk. Hal ini dikarenakan dalam pendaftaran SPP-IRT dilakukan
pemeriksaan sarana produksi pangan.17
Demikian pula dengan Bu SR,
beliau mencantumkan nomor P-IRT pada label, sebagai bukti dan
jaminan bahwa produk yang dihasilkan berkualitas, karena telah melalui
berbagai proses pemeriksaan.18
Alasan lain diungkapkan oleh Bu E, ia
mencantumkan nomor P-IRT sebagai bukti yang diberikan kepada
konsumen, bahwa produk yang ia jual merupakan produk yang ia
hasilkan sendiri, bukanlah produksi pabrik yang terjamin mutunya.19
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi para produsen
untuk mencantumkan nomor P-IRT di jelaskan oleh Bu Y. Pada awalnya
Bu Y tidak mendaftarkan izin edar produk ke Dinas Kesehatan karena
produknya hanya dijual di warung-warung sekitar rumah. Namun, ketika
17
S, Wawancara, 10 Maret 2018. 18
SR, Wawancara, 10 Maret 2018. 19
E, Wawancara, 10 Maret 2018.
61
ia hendak menjual produknya ke swalayan, ia harus memenuhi beberapa
persyaratan. Dan salah satu persyaratan tersebut adalah kepemilikan izin
edar pada produk yang akan dipasarkannya. Selain itu, adanya
penyuluhan dari Desa Jurug yang menyarankan untuk mendaftarkan izin
edar produk ke Dinas Kesehatan, akhirnya Bu Y mendaftarkan
produknya.20
Adapun pencantuman nomor P-IRT pada label produk 8 (delapan)
industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko yang menjadi
subjek peelitian dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu 2
(dua) industri rumah tangga mencantumkan nomor P-IRT yang berbeda
pada setiap jenis produk, 2 (dua) industri rumah tangga mencantumkan
satu nomor P-IRT pada label produk yang sejenis, dan 4 (empat) industri
rumah tangga yang menggunakan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis
produk.
Produsen yang mencantumkan nomor P-IRT yang berbeda pada
setiap jenis produk, diantaranya adalah Pak M. Meskipun ia
mengeluarkan biaya lebih banyak, karena menggunakan label yang
berbeda-beda dan mendaftarkan setiap produknya ke Dinas Kesehatan,
namun Pak M tidak keberatan, dengan alasan sebagai bentuk tanggung
jawabnya sebagai produsen.21
Begitu pula dengan Bu W, ia mencantumkan nomor P-IRT yang
berbeda pada setiap label produknya. Bu W mengatakan bahwa
20
Y, Wawancara, 10 Maret 2018. 21
M, Wawancara, 10 Maret 2018.
62
produknya yang beredar di pasaran hanya dua jenis, dan keduanya telah
didaftarkan ijin edar pangan, sehingga ia mencantumkan nomor P-IRT
sesuai dengan yang tertera dalam aturan yang berlaku.22
Berbeda dengan apa yang dilakukan Bu SR dan Bu Y, mereka
menggunakan satu label pada beberapa produk yang sejenis. Label
produk itu tidak diberi nama produk secara spesifik, namun diberikan
nama “Aneka Keripik”, sehingga dapat digunakan pada beberapa jenis
produk keripik mereka. Dengan penggunaan label yang demikian,
mereka cukup mencantumkan 1 (satu) nomor P-IRT saja. Hal itu
dilakukan demi efisiensi serta meminimumkan biaya produksi.23
Sedangkan produsen yang mencantumkan satu nomor P-IRT pada
beberapa jenis produk diantaranya adalah Bu S. Ia mencantumkan 1
(satu) label untuk 1 (satu) jenis produk yang ia hasilkan. Namun, semua
label yang ia gunakan menggunakan nomor P-IRT yang sama, dengan
kata lain, ia mencantumkan 1 (satu) nomor P-IRT pada beberapa jenis
produk. Meskipun dalam pengurusan nomor P-IRT itu mudah, namun
karena jarak Desa Jurug Kecamatan Sooko dengan Dinas Kesehatan yang
cukup jauh, Bu S enggan untuk bolak-balik mengurus nomor P-IRT ke
Dinas Kesehatan untuk setiap produk yang ia hasilkan.24
Alasan yang sama diungkapkan oleh Bu T dan Bu H. Bu T
menggunakan nomor P-IRT pada beberapa label produk karena pada saat
mendaftar ke Dinas Kesehatan, produk yang dihasilkan masih satu jenis,
22
W, Wawancara, 10 Maret 2018. 23
SR dan Y, Wawancara, 10 Maret 2018. 24
S, Wawancara, 10 Maret 2018.
63
yaitu keripik pisang. Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya
industri, Bu T mulai memproduksi beberapa jenis produk baru. Daripada
bolak balik mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan, Bu T lebih
memilih mencantumkan nomor P-IRT keripik pisang itu ke label-label
produk lainnya. Demikian pula dengan Bu H, ia mengungkapkan bahwa
produk yang ia jual bermacam-macam. Terkadang ia membuat produk
olahan sesuai selera masyarakat pada waktu tertentu pula, sehingga ia
enggan untuk mendaftarkan semua jenis produknya ke Dinas
Kesehatan.25
Adapula Bu E yang mencantumkan nomor P-IRT pada beberapa
jenis produk. Hal ini dilakukan karena, menurut Bu E persyaratan dalam
mengajukan SPP-IRT tergolong rumit. Meskipun tanpa biaya, namun ia
harus mengikuti beberapa pelatihan, serta mengadakan demo akan
produk yang ia hasilkan.26
Di Desa Jurug Kecamatan Sooko sendiri, belum pernah dilakukan
inspeksi dadakan (sidak) oleh Dinas Kesehatan, sehingga para produsen
merasa bebas dalam mencantumkan nomor P-IRT pada label kemasan
produknya.27
Berangkat dari pengakuan produsen bahwa pengurusan izin edar
yang susah serta belum pernah ada sidak, penulis melakukan wawancara
dengan staf seksi kefarmasian bidang sumber daya kesehatan, Bapak
Deta Samodra, A.Md. Berdasar penjelasan dari beliau, bahwa
25
T dan H, Wawancara, 10 Maret 2018. 26
E, Wawancara, 10 Maret 2018. 27
S, Wawancara, 10 Maret 2018.
64
pengurusan izin edar produk di Kabupaten Ponorogo sesuai dengan
prosedur yang telah ada. Memang pemberian izin edar produk itu harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, jadi bagi produsen yang belum
memenuhi syarat mereka menganggap bahwa pengurusan izin edar
produk tergolong rumit. Memang sidak selama ini masih terbatas di
lingkungan kota, yaitu belum sampai ke pinggiran kabupaten Ponorogo,
khususnya Desa Jurug Kecamatan Sooko, dan sidak di lingkungan kota
pun, hanya dilakukan menjelang ramadhan dan lebaran.28
28
Deta Samodra, Wawancara, 12 Maret 2018
65
BAB IV
ANALISIS ETIKA BISNIS ISLAM
TERHADAP PERILAKU PRODUSEN
A. Analisis Etika Bisnis Islam terhadap Perilaku Produsen yang Tidak
Mencantumkan Tanggal Kadaluarsa
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
Tentang Pangan, dijelaskan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan
untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam atau pada
kemasan pangan. Pencantuman label tersebut ditulis dengan menggunakan
bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai: nama
produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan
alamat pihak yang memproduksi; halal bagi yang dipersyaratkan; tanggal dan
kode produksi; tanggal, bulan dan tahun kedaluarsa; nomor izin edar bagi
pangan olahan; dan asal usul bahan pangan tertentu.1
Tanggal kadaluarsa merupakan informasi dari produsen kepada
konsumen, yang menyatakan batas atau tenggang waktu penggunaan atau
pemanfaatan yang paling baik dan paling aman dari produk makanan atau
minuman kemasan. Artinya produk tersebut memiliki mutu yang paling prima
hanya sampai batas waktu tersebut. Dan produsenlah yang menentukan masa
1Pasal 97, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
66
tenggang kadaluwarsanya dikarenakan pihak produsenlah yang mengetahui
lebih lanjut mengenai produk yang diproduksi.2
Berdasarkan hasil wawancara di bab III, bahwa perilaku produsen
industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko dalam pencantuman
tanggal kadaluarsa terbagi dalam dua kelompok. Yaitu, kelompok yang
mencantumkan tanggal kadaluarsa, dan kelompok yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluarsa pada label produk. Berdasarkan pengelompokan di atas, di
bawah ini merupakan persentase perilaku produsen dalam pencantuman
tanggal kadaluarsa oleh delapan industri rumah tangga di Desa Jurug
Kecamatan Sooko:
Grafik 4.1
Persentase Pencantuman Tanggal Kadaluarsa
2I Gede Eggy Bintang Pratama dan I Ketut Sudjana, “Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen terhadap Makanan Kemasan Tanpa Tanggal Kadaluarsa”, 3.
Mencantumkan
Tanggal Kadaluarsa
25%
Tidak Mencantumkan
Tanggal Kadaluarsa
75%
Penanggalan Kadaluarsa
67
1. Kelompok pertama yaitu kelompok produsen yang mencantumkan
tanggal kadaluarsa pada label produk. Mereka mencantumkan tanggal
kadaluarsa pada label produk secara jelas, dengan tujuan memberikan
informasi yang jelas kepada konsumen, sehingga konsumen dapat
membedakan produk yang layak konsumsi dan tidak.
Perilaku produsen tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku di
Indonesia, yaitu telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2012 tentang Pangan. Bahwa setiap orang yang memproduksi pangan
untuk dijual, berkewajiban untuk mencantumkan tanggal kadaluarsa pada
label produknya.
Di samping itu, perilaku produsen yang mencantumkan tanggal
kadaluarsa pada label produk telah sesuai dengan etika bisnis Islam.
Pencantuman tanggal kadaluarsa pada label produk telah memenuhi
prinsip etika bisnis Islam, serta asas Good Governance Bisnis Syariah,
tanggung jawab. Produsen menunaikan salah satu kewajiban kepada
konsumen dengan mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label produk.
2. Kelompok kedua yaitu kelompok produsen yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluarsa pada label produk. Alasan produsen tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa beragam, yaitu untuk memperkecil
biaya produksi, anggapan bahwa masa konsumsi panjang, dapat
mengurangi keuntungan, produsen yang menganggap produknya cepat
habis, serta tidak pernah adanya kritik dari konsumen. Dari alasan
produsen yang beragam tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
68
produsen industri rumah tangga tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa
pada label produk pangannya secara sengaja, dan bahkan telah
mengetahui aturan yang ada.
Perilaku produsen yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa
pada label produk berarti tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan. Bahwa setiap orang yang memproduksi
pangan untuk dijual, berkewajiban untuk mencantumkan tanggal
kadaluarsa pada label produknya.
Untuk mengetahui apakah pelabelan produk tanpa mencantumkan
tanggal kadaluarsa tersebut sesuai dengan etika bisnis Islam atau tidak,
maka dapat dianalisa menggunakan prinsip-prinsip etika bisnis Islam dan
asas-asas Good Governance Bisnis Syariah.
Prinsip etika bisnis Islam yang pertama adalah kesatuan. Konsep
kesatuan memiliki pengaruh yang paling mendalam terhadap diri seorang
Muslim, yaitu karena seorang muslim memandang apapun yang ada di
dunia sebagai milik Allah, sehingga pandangannya menjadi lebih luas
dan pengabdiannya tidak lagi terbatas kepada kelompok atau lingkungan
tertentu. Seorang muslim juga percaya bahwa Allah mengetahui
segalanya yang terlihat maupun yang tersembunyi, dan bahwa ia tidak
dapat menyembunyikan apapun, niat maupun tindakan dari Allah SWT.
69
Sebagai konsekuensinya, ia akan menghindarkan diri dari apa yang
dilarang, dan berbuat hanya dalam kebaikan.3
Perilaku produsen yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa
pada label produk salah satunya dipengaruhi oleh sikap konsumen yang
tidak mau tahu tentang informasi yang ada pada label produk. Hal ini
menyebabkan produsen berpandangan sempit, enggan mencantumkan
tanggal kadaluarsa karena merasa konsumen telah puas akan produknya.
Mengacu pada prinsip kesatuan, maka seorang produsen harus
mencantumkan tanggal kadaluarsa untuk menghindarkan diri dari apa
yang dilarang, dan berbuat hanya dalam kebaikan. Dari analisis di atas,
maka perilaku produsen yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa
tidak sesuai dengan prinsip kesatuan etika bisnis Islam.
Kedua, prinsip Keseimbangan. Islam sangat menganjurkan untuk
berbuat adil dalam berbisnis dan melarang berbuat curang atau berlaku
zalim.4 Pengertian adil dalam Islam diarahkan agar hak orang lain, hak
lingkungan sosial, hak alam semesta, hak Allah dan Rasul-Nya berlaku
sebagai stakeholder dari perilaku adil seseorang. Semua hak-hak tersebut
harus ditempatkan sebagaimana mestinya, yaitu sesuai aturan syariah.5
Dalam pelabelan produk yang tidak mencantumkan tanggal
kadaluarsa dapat dikatakan bahwa produsen telah berbuat curang atau
berlaku zalim, sebab mereka mencari keuntungan dengan mengurangi
3Muhammad, Etika Bisnis Islami (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Akademi
Manajemen Perusahaan YKPN, tt), 53-54. 4Rivai dan Antoni, Islamic Economics 221.
5Faisal Badroen, dkk., Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006),
92.
70
beban produksi, tanpa diimbangi dengan pemenuhan hak konsumen.
Konsumen berhak mendapat hak informasi yang jelas atas produk yang
ia konsumsi, namun hak itu tidak dipenuhi produsen karena semata-mata
untuk menambah keuntungan. Dari analisis di atas, maka perilaku
produsen yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa tidak sesuai
dengan prinsip keseimbangan etika bisnis Islam.
Ketiga, prinsip Kehendak bebas, yaitu suatu potensi dalam
menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia
tidak dibatasi. Tetapi, kehendak bebas yang diberikan Allah kepada
manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia,
yaitu sebagai khalifah di bumi. Karena itu, kehendak bebas itu harus
sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu, terlebih lagi pada
kepentingan umat.6
Industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan Sooko
memproduksi beragam produk, hal tersebut menunjukkan bahwa setiap
produsen memiliki kehendak bebas untuk menjalankan bisnisnya. Setiap
produsen berhak melakukan strategi pemasaran yang berbeda-beda sesuai
keinginannya, namun kehendak bebas itu dibatasi dengan kepentingan
orang lain. Sedangkan pelabelan produk tanpa mencantumkan tanggal
kadaluarsa dapat merugikan orang lain. Sebab konsumen yang membeli
produk tersebut tidak tahu apakah produk itu masih layak konsumsi atau
tidak. Dari analisis di atas, maka perilaku produsen yang tidak
6Rivai dan Antoni, Islamic Economics, 229-230.
71
mencantumkan tanggal kadaluarsa tidak sesuai dengan prinsip kehendak
bebas etika bisnis Islam.
Keempat, prinsip tanggung jawab. Kebebasan tanpa batas adalah
suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut
adanya pertanggung jawaban dan akuntabilitas untuk memenuhi tuntunan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung jawabkan
tindakannya. Secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak
bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh
manusia dengan bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya.7
Pelabelan produk tanpa tanggal kadaluarsa berarti produsen itu
tidak melaksanakan salah satu kewajibannya. Dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 sudah dijelaskan bahwa setiap orang yang
memproduksi pangan untuk dijual harus menyertakan label pada produk,
yang memuat beberapa hal salah satunya adalah tanggal kadaluarsa.
Pencantuman tanggal kadaluarsa itu bersifat wajib dan mengikat siapa
saja yang berkecimpung di dunia bisnis pangan. Apabila seseorang
memutuskan untuk menjadi produsen pangan, maka ia harus mematuhi
aturan yang telah ada. Dari analisis di atas, maka perilaku produsen yang
tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa tidak sesuai dengan prinsip
tanggung jawab etika bisnis Islam.
7Mardani, Hukum Bisnis Syariah (Jakarta: Prenadamedia, 2014), 58.
72
Kelima, prinsip Ihsan, yaitu kehendak untuk melakukan kebaikan
hati dan meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan atau kebenaran.8
Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan
perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau
memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya
meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka
etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap
kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan
transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam bisnis.9
Pelabelan produk tanpa mencantumkan tanggal kadaluarsa
bukanlah perilaku benar yang seharusnya dilakukan oleh produsen. Hal
ini dilihat dari upaya meraih keuntungan dengan tidak memenuhi hak
konsumen atas informasi produk yang ia konsumsi. Padahal informasi
tanggal kadaluarsa sangat diperlukan konsumen sebelum mengonsumsi
suatu produk. Dari analisis di atas, maka perilaku produsen yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa tidak sesuai dengan prinsip Ihsan
etika bisnis Islam.
Selanjutnya, analisis perilaku produsen yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluarsa menggunakan asas-asas Good Governance Bisnis
Syariah, yaitu transparansi, responsibilitas, kewajaran dan kesetaraan.
Pertama, dalam asas transparansi pelaku bisnis syariah harus
menyediakan informasi tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat
8Ibid.
9Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam (Bandung: Alfabeta, 2013), 47.
73
diperbandingkan serta mudah diakses oleh semua pemangku kepentingan
sesuai dengan haknya. Mengacu pada asas transparansi ini, seorang
produsen tentu diwajibkan untuk mencantumkan segala informasi yang
dibutuhkan ke dalam label produk, yang termasuk di dalamnya tanggal
kadaluarsa. Meskipun jika produk telah mendekati tanggal kadaluarsa
konsumen enggan untuk membelinya, tetapi produsen harus menerima
segala resiko yang harus di hadapi.
Kedua, dalam asas responsibilitas pelaku bisnis syariah harus
mematuhi peraturan perundang-udangan dan ketentuan bisnis syariah,
serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dijelaskan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk
diperjual belikan wajib mencantumkan label yang di dalamnya termuat
beberapa hal, salah satunya yaitu tanggal kadaluarsa. Pencantuman
tanggal kadaluarsa ini sangat penting bagi konsumen, untuk mengetahui
apakah suatu produk masih layak konsumsi atau tidak. Apabila suatu
produk tanpa tanggal kadaluarsa yang telah basi dikonsumsi, maka dapat
menimbulkan akibat yang fatal seperti muntah, buang air bahkan dapat
menimbulkan kematian.
Mengacu pada asas responsibilitas, pelaku bisnis syariah juga
harus berpegang pada prinsip kehati-hatian. Beberapa produsen yang
tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa beralasan bahwa produknya
merupakan makanan kering yang tahan lama dan menggunakan kemasan
74
plastik yang bening sehingga produk terlihat dari luar. Selain itu, ada
pula yang melakukan pengecekan ke swalayan-swalayan tempat produk
di jual, sehingga mereka merasa bahwa tidak perlu mencantumkan
tanggal kadaluarsa pada label produk. Apabila produsen menerapkan
prinsip kehati-hatian, maka mereka akan mencantumkan tanggal
kadaluarsa, dengan pertimbangan adanya kemungkinan terjadi hal-hal
yang tidak terduga sebelumnya.
Ketiga, dalam asas kewajaran dan kesetaraan pelaku bisnis
syariah harus bersikap tawazun yaitu adil dalam pelayanan kepada para
pelanggan dengan tidak mengurangi hak mereka. Sedangkan produsen
industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada
label tidak memenuhi hak konsumen, yaitu hak untuk mendapat
informasi yang jelas mengenai produk yang mereka konsumsi.
Perilaku produsen tidak mecantumkan tanggal kadaluarsa, selain
karena faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu
konsumen yang tidak mau tahu tentang informasi yang ada pada label
produk. Padahal dalam Islam terdapat anjuran untuk memperhatikan dan
memilih secara cermat jenis makanan yang akan dikonsumsi. Hal itu
tercermin dalam surat Abasa ayat 2410
, yaitu
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.11
10
Al-Qur’a>n, 80: 24. 11
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra
Semarang, 1989), 1025.
75
Apabila konsumen peduli terhadap informasi yang ada pada label
kemasan produk yang ia konsumsi, tentu produsen akan berpikir
berulang kali jika tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa.
Dari uraian analisis di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku
produsen yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label
produk tidak sesuai dengan etika bisnis islam, sebab tidak sesuai dengan
prinsip etika bisnis Islam, dan asas Good Governance Bisnis Syariah.
B. Analisis Etika Bisnis Islam terhadap Perilaku Produsen yang
Mencantumkan Nomor P-IRT pada Beberapa Produk
Etika bisnis Islam diartikan sebagai serangkaian aktifitas bisnis dalam
berbagai bentuknya (yang tidak dibatasi), namun dibatasi dalam cara
perolehan dan pendayaan hartanya (ada aturan halal dan haram). Dalam arti,
pelaksanaan bisnis tetap berpegang pada ketentuan syarat (aturan-aturan
dalam Al-Qur’an dan Hadith). Dengan kata lain, syariat merupakan nilai
utama yang menjadi payung strategis maupun praktis bagi pelaku kegiatan
bisnis.12
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 18813
:
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
12
Ibid., 13. 13
Al-Qur’a>n, 2: 188.
76
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.14
Praktik pelaksanaan bisnis yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad
Saw, mengambarkan sifat dan perilaku beliau, yaitu S{idi>q, Fat}anah, amanah,
dan tabligh. Keempat sifat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya dan merupakan salah satu perwujudan
dari iman dan takwa. Dari keempat kesatuan sifat Nabi dan Rasul dapat
diturunkan asas Good Governance Bisnis Syariah yang berlaku secara umum
dalam dunia usaha, yaitu asas transparansi, akuntabilitas, responsibiliti,
independensi, kewajaran dan kesetaraan.
Salah satu pelaksanaan asas Good Governance Bisnis Syariah oleh
produsen adalah dengan mencantumkan label dalam produk kemasan. Tujuan
labelisasi adalah sebagai informasi untuk membantu konsumen
mengidentifikasi produk makanan yang paling sesuai dengan pilihan mereka.
Jika konsumen mengetahui identitas suatu produk dengan jelas,
memungkinkan bagi konsumen untuk memilih produk yang disukai.
Salah satu informasi yang harus dicantumkan dalam label produk,
selain tanggal kadaluarsa adalah nomor P-IRT. Nomor P-IRT merupakan
nomor pangan produksi IRTP yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari
SPP-IRT dan wajib dicantumkan pada label pangan produksi IRTP yang telah
memenuhi persyaratan pemberian SPP-IRT. Nomor P-IRT ini hanya berlaku
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, 30.
77
selama lima tahun dan wajib dilakukan perpanjangan. Nomor P-IRT
diberikan untuk satu jenis pangan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP).15
Berdasarkan hasil wawancara di bab III, bahwa perilaku produsen
dalam pencantuman nomor P-IRT terbagi dalam tiga kelompok. Pertama
kelompok yang menggunakan satu nomor P-IRT pada satu jenis produk.
Kedua, kelompok yang menggunakan satu nomor P-IRT pada beberapa
produk yang sejenis. Ketiga, kelompok yang menggunakan satu nomor P-
IRT pada beberapa jenis produk. Berdasarkan pengelompokan di atas, di
bawah ini merupakan persentase perilaku produsen dalam pencantuman
nomor P-IRT oleh delapan industri rumah tangga di Desa Jurug Kecamatan
Sooko:
Grafik 4.2
Persentase Pencantuman Nomor P-IRT
15
Hilam Imtiyaz, dkk., “Analisis Nomor P-IRT pada Label Pangan Produksi IRTP di
Desa Jurug Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember”, Artikel Ilmiah Hasil Penelitan Mahasiswa
2016, 2-3.
Nomor P-IRT untuk
satu jenis produk
25%
Nomor P-IRT untuk
beberapa produk
sejenis 25%
Nomor P-IRT untuk
beberapa jenis
produk 50%
Pencantuman Nomor P-IRT
78
1. Kelompok pertama yaitu kelompok produsen yang menggunakan nomor
P-IRT pada satu jenis produk. Kelompok ini menggunakan label yang
berbeda-beda pada setiap jenis produk. Demikian pula Nomor P-IRT
yang dicantumkan juga sesuai dengan izin edar dari Dinas Kesehatan.
Alasan produsen mencantumkan nomor P-IRT pada satu produk adalah
untuk mengikuti prosedur yang ada. Selain itu, produsen tersebut
memang telah mendaftarkan semua jenis produknya pada Dinas
Kesehatan. Mudahnya pengurusan P-IRT mendorong dirinya untuk tidak
berbuat curang.
Dalam kelompok pertama ini, jelas diketahui bahwa perilaku
mereka telah sesuai dengan aturan yang ada, yaitu sesuai dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor
HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemberian
Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, bahwa satu Nomor
P-IRT hanya diperuntukkan pada satu jenis produk pangan.
Selain sesuai dengan hukum positif Indonesia, perilaku produsen
dalam mencantukan satu nomor P-IRT pada satu jenis produk telah
sesuai dengan etika bisnis Islam. Mereka rela mengeluarkan tenaga lebih
besar, untuk mendaftarkan izin edar produknya ke Dinas Kesehatan.
Bahkan mereka rela menggelontorkan biaya produksi lebih besar untuk
membuat label yang berbeda-beda pada setiap produk. Semua itu mereka
lakukan untuk mematuhi aturan yang telah ada.
79
2. Kelompok kedua yaitu kelompok produsen yang menggunakan satu
nomor P-IRT pada beberapa produk yang sejenis. Kelompok ini telah
mendaftarkan semua produknya ke Dinas Kesehatan. Namun, karena
produk yang dihasilkan sejenis, maka mereka menggunakan label yang
sama pada semua produknya. Sedangkan Nomor P-IRT yang digunakan
adalah salah satu Nomor P-IRT dari produk tersebut.
Dalam Peraturan Kepala BPOM RI, Nomor
HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian
Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, dijelaskan bahwa
Nomor P-IRT hanya boleh digunakan pada satu jenis produk. Namun,
berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten Ponorogo, diketahui bahwa perilaku produsen yang
menggunakan Nomor P-IRT pada beberapa produk yang sejenis di
perbolehkan, dengan syarat semua produk tersebut telah mendapat izin
edar. Hal demikian diperbolehkan, karena untuk efisiensi serta
mengurangi biaya produksi.16
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku produsen
pada kelompok kedua ini sesuai dengan etika bisnis Islam, sebab
meminimalisir biaya produksi yang didasari oleh pengetahuan yang
cukup, serta tidak merugikan orang lain.
3. Kelompok ketiga yaitu kelompok produsen yang menggunakan satu
nomor P-IRT pada beberapa jenis produk. Mereka hanya mendaftarkan
16
Deta Samodra, Wawancara, 12 Maret 2018
80
satu produk, kemudian mereka cantumkan Nomor P-IRT satu produk itu
pada produk lain yang belum mendapat izin edar. Alasan mereka
menggunakan nomor P-IRT pada beberapa produk yaitu, mereka enggan
untuk bolak balik ke Dinas Kesehatan, karena mayoritas produsen
mengembangkan produk usahanya setelah mendaftar ke Dinas
Kesehatan. Pencantuman Nomor P-IRT pada beberapa produk itu juga
bertujuan agar semua produknya, termasuk yang belum mendapat izin
edar agar dapat dijual ke swalayan-swalayan yang ada di Kabupaten
Ponorogo khususnya di Desa Jurug Kecamatan Sooko.
Perilaku produsen yang mencantumkan satu nomor P-IRT pada
beberapa jenis produk berarti tidak sesuai dengan Peraturan Kepala
BPOM RI, Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman
Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, sebab
satu Nomor P-IRT hanya boleh digunakan pada satu jenis produk.
Untuk mengetahui apakah mencantumkan satu nomor P-IRT pada
beberapa jenis produk tersebut sesuai dengan etika bisnis Islam atau
tidak, maka dapat dianalisa menggunakan prinsip-prinsip etika bisnis
Islam dan asas-asas Good Governance Bisnis Syariah.
Prinsip etika bisnis Islam yang pertama adalah kesatuan.
Kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang
memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam
bidang ekonomi, politik, maupun sosial menjadi keseluruhan yang
homogen, serta mementingkan konsep eksistensi dan keteraturan yang
81
menyeluruh. Konsep tauhid mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik
tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, menggunakan sarana dan
sumber daya sesuai syariat Allah. Aktivitas ekonomi bertitik tolak dari
tauhid dan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan
falah guna mencapai ridha Allah. 17
Tauhid dalam pelabelan mengajarkan bahwa informasi yang
dicantumkan sesuai dengan kenyataan yang ada. Berbeda dengan yang
diterapkan oleh produsen industri rumah tangga Desa Jurug Kecamatan
Sooko yang mencantumkan satu nomor P-IRT pada beberapa produk.
Meskipun suatu produk belum didaftarkan ke Dinas Kesehatan, namun
telah dicantukan nomor P-IRT pada labelnya. Dari hal tersebut
disimpulkan bahwa produsen yang mencantumkan satu nomor P-IRT
pada beberapa jenis produk tidak menerapkan prinsip kesatuan.
Kedua, prinsip keseimbangan. Konsep keseimbangan dapat
dipahami bahwa keseimbangan hidup di dunia dan akhirat harus diusung
oleh seorang pebisnis muslim. Oleh karenanya, konsep keseimbangan
berarti menyerukan kepada pengusaha muslim untuk bisa merealisasikan
tindakan-tindakan dalam bisnis yang dapat menempatkan dirinya dan
orang lain dalam kesejahteraan duniawi dan keselamatan akhirat.18
Perilaku produsen yang mencantumkan satu nomor P-IRT pada
beberapa jenis produk, tidak memperhatikan apakah antara dirinya dan
konsumen sama-sama mendapat manfaat yang seimbang atau tidak.
17
Abdul Aziz, Etika Bisnis, 45. 18
Faisal Badroen, Etika Bisnis, 92.
82
Padahal dalam hakikatnya implementasi ajaran keseimbangan pada
kegiata bisnis harus dikaitkan dengan pembagian manfaat kepada semua
pihak yang terlibat. Dari hal tersebut disimpulkan bahwa produsen yang
mencantumkan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk tidak
menerapkan prinsip keseimbangan.
Ketiga, prinsip kehendak bebas. Kebebasan merupakan bagian
penting dalam nilai etika bisnis Islam, sehingga kepentingan individu
dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang
mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus-menerus
memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan
adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya.19
Pelabelan yang mencantumkan satu nomor P-IRT pada beberapa
jenis produk berarti produsen cenderung untuk terus menerus memenuhi
kebutuhan pribadinya, namun tidak disertai dengan pemenuhan
kewajiban terhadap masyarakatnya. Kadangkala, konsumen
memperhatikan informasi yang ada pada label produk, sehingga
pencantuman satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk merugikan
karena ketidak akuratan informasi yang mereka peroleh. Dari hal tersebut
disimpulkan bahwa produsen yang mencantumkan satu nomor P-IRT
pada beberapa jenis produk tidak menerapkan prinsip kehendak bebas
dalam etika bisnis Islam.
19
Abdul Aziz, Etika Bisnis, 46.
83
Keempat, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab terkait erat
dengan tanggung jawab manusia atas segala aktivitas yang dilakukan
kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai
masyarakat. Karena manusia tidak hidup sendiri, dia tidak terlepas dari
hukum yang dibuat manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial.
Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya di akhirat, tetapi tanggung
jawab kepada manusia didapat di dunia berupa hukum-hukum formal
maupun hukum non formal.20
Perilaku produsen yang mencantumkan satu nomor P-IRT pada
beberapa jenis produk berarti tidak benar, sebab mereka memberikan
informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan pada label
produknya. Konsumen yang memutuskan untuk membeli suatu produk
karena mempertimbangkan adanya P-IRT justru tertipu, karena nomor P-
IRT yang dicantumkan dalam label bukanlah nomor P-IRT produk
tersebut. Dari hal tersebut disimpulkan bahwa produsen yang
mencantumkan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk tidak
sesuai dengan prinsip bertanggung jawab dalam etika bisnis Islam.
Kelima, prinsip ihsan. Ihsan adalah kehendak untuk melakukan
kebaikan hati dan meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan atau
kebenaran.21
Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat,
sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses
mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam
20
Rivai dan Antoni, Islamic Economics, 230. 21
Ibid.
84
proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip
kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku
preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang
melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam bisnis.22
Pencantuman satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk
berarti produsen memasukkan informasi yang tidak benar pada label
produknya untuk kepentingan pribadi, yaitu agar produknya dapat masuk
ke swalayan serta mendapat keuntungan lebih, tanpa mempertimbangkan
kepentingan konsumen. Konsumen yang memutuskan untuk membeli
suatu produk karena mempertimbangkan adanya P-IRT justru tertipu,
karena nomor P-IRT yang dicantumkan dalam label bukanlah nomor P-
IRT produk tersebut. Dari hal tersebut disimpulkan bahwa produsen yang
mencantumkan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk tidak
sesuai dengan prinsip ihsan dalam etika bisnis Islam.
Selanjutnya, analisis perilaku produsen yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluarsa menggunakan asas-asas Good Governance Bisnis
Syariah, yaitu transparansi, responsibilitas, kewajaran dan kesetaraan.
Pertama, dalam asas transparansi pelaku bisnis syariah harus
menyediakan informasi tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat
diperbandingkan serta mudah diakses oleh semua pemangku kepentingan
sesuai dengan haknya. Mengacu pada asas transparansi ini, seorang
produsen tentu diwajibkan untuk mencantumkan segala informasi yang
22
Abdul Aziz, Etika Bisnis, 47.
85
benar pada label produknya. Sedangkan produsen industri rumah tangga
di Desa Jurug Kecamatan Sooko justru mencantumkan Nomor P-IRT
yang asli tetapi palsu, dalam artian bahwa Nomor P-IRT itu memang
benar izin edar produknya, namun hanya untuk produk yang terdaftar,
bukan untuk semua produk usahanya.
Kedua, dalam asas responsibilitas pelaku bisnis syariah harus
mematuhi peraturan perundang-udangan dan ketentuan bisnis syariah,
serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan. Selain tanggal kadaluarsa, dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan dijelaskan juga bahwa setiap produsen harus
mencantumkan label yang di dalamnya termuat nomor izin edar.
Pencantuman Nomor P-IRT itu sebagai bentuk legalitas dan jaminan
bahwa produk tersebut telah melalui tahapan-tahapan pengujian sehingga
layak untuk dikonsumsi. Selanjutnya dalam Peraturan Kepala BPOM RI,
Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian
Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, dijelaskan bahwa
Nomor P-IRT hanya boleh digunakan pada satu jenis produk. Sedangkan
produsen industri rumah tangga yang menjadi informan penulis sebesar
50% mencantumkan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk.
Ketiga, dalam asas kewajaran dan kesetaraan (fairness)
mengandung unsur kesamaan perlakuan dan kesempatan. Fairness atau
kewajaran merupakan salah satu manifestasi adil dalam dunia bisnis.
Setiap keputusan bisnis, baik dalam skala individu maupun lembaga,
86
hendaklan dilakukan sesuai kewajaran dan kesetaraan sesuai dengan apa
yang biasa berlaku, dan tidak diputuskan berdasar suka atau tidak suka.
Demikian pula dengan pencantuman nomor P-IRT hendaknya tidak
hanya didasarkan pada kehendak bebas produsen, namun juga harus
didasarkan pada kepentingan konsumen, serta peraturan yang telah ada.
Perilaku produsen yang mencantumkan nomor P-IRT pada
beberapa jenis produk, selain karena faktor internal juga dipengaruhi oleh
faktor eksternal. Yaitu ketidak tahuan konsumen tentang peraturan izin
edar, serta tidak adanya sidak dari Dinas Terkait. Apabila setiap elemen
ini memiliki kontribusi sesuai porsinya, tentu akan tercipta Good
Governance Bisnis Syariah.
Dari uraian analisis di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku
produsen yang mencantumkan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis
produk tidak sesuai dengan etika bisnis Islam, sebab tidak sesuai dengan
prinsip etika bisnis Islam, serta tidak memenuhi tiga asas Good
Governance Bisnis Syariah.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terkait dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan pada bab
pendahuluan, serta berdasarkan uraian pada bab-bab selanjutnya maka
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Perilaku delapan produsen industri rumah tangga di Desa Jurug
Kecamatan Sooko dalam pencantuman tanggal kadaluarsa terbagi dalam
dua kelompok, yaitu 25% informan mencantumkan tanggal kadaluarsa,
dan 75% informan tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label
produk. Perilaku produsen industri rumah tangga Desa Jurug Kecamatan
Sooko yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label produk
tidak memenuhi prinsip etika bisnis Islam, dan tiga asas Good
Governance Bisnis Syariah, yaitu asas transparansi, responsibilitas serta
asas kewajaran dan kesetaraan, sebab produsen tidak dapat memenuhi
hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas atas produk yang
mereka konsumsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku produsen
yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada label produk tidak
sesuai dengan Etika Bisnia Islam.
2. Perilaku produsen dalam pencantuman nomor P-IRT terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu 25% informan menggunakan satu nomor P-IRT pada
satu jenis produk, 25% informan menggunakan satu nomor P-IRT pada
beberapa produk yang sejenis, dan 50% informan menggunakan satu
88
nomor P-IRT pada beberapa jenis produk. Perilaku produsen industri
rumah tangga Desa Jurug Kecamatan Sooko yang mencantumkan satu
nomor P-IRT pada beberapa jenis produk tidak memenuhi prinsip etika
bisnis Islam, dan tiga asas Good Governance Bisnis Syariah, yaitu asas
transparansi, responsibilitas serta asas kewajaran dan kesetaraan, sebab
produsen memberikan informasi yang tidak benar pada label produk yang
mereka jual, semata-mata untuk mendapatkan keuntungan yang lebih.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku produsen yang
mencantumkan satu nomor P-IRT pada beberapa jenis produk tidak
sesuai dengan Etika Bisnia Islam.
B. Saran
1. Dinas Kesehatan hendaknya melakukan sosialisasi aturan tentang P-IRT
dengan lebih intensif, serta melakukan sidak ke swalayan-swalayan
secara menyeluruh. Tidak hanya menjelang bulan ramadhan dan hari
raya, sebab konsumen juga mengonsumsi produk pangan di luar bulan
ramadhan dan hari raya.
2. Produsen seharusnya mencantumkan tanggal kadaluarsa serta
menggunakan nomor P-IRT sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012, sehingga konsumen mendapat jaminan atas produk yang
mereka konsumsi.
89
3. Bagi konsumen seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian saat
mengonsumsi suatu produk, terutama produk yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluarsa. Selain itu, hendaknya menjadi konsumen yang cerdas
sehingga tidak mudah dikelabuhi oleh produsen. Apabila ada
penyimpangan perilaku produsen, dapat melaporkan kepada pihak yang
berwenang.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2013.
Aziz, Abdul. Etika Bisnis Perspektif Islam. Bandung: Alfabeta, 2013.
Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Badan Pusat Statistik, “Kecamatan Sooko dalam Angka 2017”, dalam
https://ponorogokab.bps.go.id
Badroen, Faisal, dkk. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Prenadamedia Group,
2006.
Basrowi, Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Damanuri, Aji. Metodologi Penelitian Muamalah. Ponorogo: STAIN PO Press,
2010.
Departemen Agama RI. Al-Qur’a>n dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra
Semarang, 1989.
Djakfar, Muhammad. Etika Bisnis Islam. Malang: UII Malang Press, 2008.
Emzir. Metodologi Penelitan Kualitatif: Analisis Data. Jakarta Utara: PT
RajaGrafindo Persada, 2011.
Hasan, Ali. Manajemen Bisnis Syari’ah: Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Herawati, Heny. “Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan”, Jurnal Litbang
Pertanian, 27(4), 2008.
Hermanu, Bambang. “Studi Implementasi Izin Edar Produk Pangan Industri
Rumah Tangga (PIRT) dalam Mewujudkan Keamanan Pangan yang
Optimal di Kota Semarang”, Hukum dan Dinamika Masyarakat vol. 11
no.2 April 2014.
Imaniyati, Neni Sri. Hukum Ekonomi & Ekonomi Islam. Bandung: Penerbit
Mandar Maju, 2002.
Imtiyaz, Andi Hilam dkk. “Analisis Nomor P-IRT pada Label Pangan Produksi
IRTP di Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember”, Artikel Ilmiah Hasil
Penelitan Mahasiswa 2016.
Isnayni, Nining. Tinjauan Etika Bisnis Islam Terhadap Persaingan Antar
Produsen Tahu di Desa Karanganyar, Weru, Sukoharjo. Skripsi UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta 2017.
J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013.
Johan, Arifin. Etika Bisnis Islami. Semarang: Walisongo Press, 2009.
Komite Nasional Kebijakan Governance. Pedoman Umum Good Governance
Bisnis Syariah. Jakarta: KNKG, 2011.
Kusnandar, Feri, dkk. “Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit dengan Metode
Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis”, J.Teknol dan
Industri Pangan, Vol. XXI No. 2 Th. 2010.
Mardani. Hukum Bisnis Syariah. Jakarta: Prenadamedia, 2014.
Mega, Rohmatul. Tinjauan Etika Bisnis Islam Terhadap Mobile Marketing pada
“Kyla OL Shop” di Ponorogo. Skripsi STAIN Ponorogo 2015.
Muhammad dan Alimin. Etika & Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2004
Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-
Yogyakarta, 2004.
---------. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Akademi
Manajemen Perusahaan YKPN, tt.
Mulizar. “Pengaruh Makanan dalam Kehidupan Manusia (Studi Terhadap Tafsir
al-Azhar)” Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni 2016.
Muniroh, Zabirotun. Analisis Perilaku Produsen Muslim pada Bisnis Aneka
Keripik dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus pada UMKM Mekar
Abadi Klambu, Grobogan). Skripsi UIN Walisongo Semarang 2016.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2013.
Nurhakim, Moh. Metodologi Studi Islam. Malang: UMM Press, 2005.
Nurohman, Dede. Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Yogyakarta: Teras,
2011.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Nomor
HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian
Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga.
Pratama, I Gede Eggy Bintang dan I Ketut Sudjana. “Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen terhadap Makanan Kemasan Tanpa Tanggal Kadaluarsa.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta. Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008.
Rivai, Veithzal dan Andi Buchari. Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan
OPSI, Tetapi Solusi!. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Rivai, Veithzal dan Antoni Nizar Usman. Islamic Economics and Finance:
Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Rivai, Veithzal dkk., Islamic Business and Economic Ethics: Mengacu pada Al-
Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan,
dan Ekonomi. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012.
Rozalinda. Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi.
Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Sanjaya, Ade. “Pengertian Label Produk Pangan Pengaturan Pelabelan Bagi
Konsumen Dalam Mendapatkan Perlindungan dan Informasi”, dalam
http://www.landasanteori.com
Setyoyati, Wiwit. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Produk Pangan
Industri Rumah Tangga yang Tidak Berlabel”.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2012.
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonisia,
2002.
Suhendi dan Indra Sasangka. Pengantar Bisnis. Bandung: Alfabeta, 2014.
Tanjung, M. Azrul. Meraih Surga Dengan Berbisnis. Jakarta: Gema Insani, 2013.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
Widi, Restu Kartiko. Asas Metodologi Penelitian: Sebuah Pengenalan dan
Penuntun Langkah demi Langkah Pelaksanaan Penelitian. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010.
Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet Widjajakusuma.
Menggagas Bisnis Islami. Jakarta: Gema Insani, 2002.
Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana, 2016.
top related