analisa penyelenggaraan pemilu luar negeri...
TRANSCRIPT
ANALISA
PENYELENGGARAAN
PEMILU LUAR NEGERI
TAHUN 2014
KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
2014
i
Tim Penyusun Kajian
HASRUL HANIF, S.IP, MA
LONGGINA NOVADONA BAYO, S.IP,MA
PRIMI SUHARMADHI PUTRI, S.IP
WENING HAPSARI MA’RIFATULLAH, S.IP
ii
Daftar Isi
Tim Penyusun Kajian ................................................................................................. i
Daftar Isi ..................................................................................................................... ii
Daftar Bagan ............................................................................................................. iii
Daftar Grafik .............................................................................................................. iv
Daftar Tabel .............................................................................................................. v
Bab 1 Pendahuluan ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian ......................................................... 3
C. Kerangka Analisa .............................................................................................. 4
D. Metode Penelitian ............................................................................................. 8
Bab 2 Tinjauan Pustaka Pemilu di Luar Negeri ....................................................... 10
A. Pengantar ................................................................................................. 10
B. Memilih di Luar Negeri: Studi Komparasi .................................................. 11
C. Fasilitasi Hak Politik WNI di Luar Negeri: Regulasi dan Aturan Main ......... 14
Bab 3 Analisis Penyelenggaraan Pemilu Luar Negeri.............................................. 17
A. Pengantar ................................................................................................. 17
B. Tahapan Persiapan Pemilu Luar Negeri 2014 ........................................... 18
C. Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Luar Negeri 2014 ............................... 23
D. Tahapan Penyelesaian Pemilu Luar Negeri 2014...................................... 39
E. Catatan Kritis Penyelenggaraan Pemilu Luar Negeri ....................................... 40
Bab 4 Rekomendasi ................................................................................................ 42
Referensi ................................................................................................................. 48
iii
Daftar Bagan
Bagan 1Demokrasi: Hak-Hak dan Institusi ......................................................... 6
Bagan 2. Relasi Hak Politik dan Demokrasi ....................................................... 8
Bagan 3 Level Penguatan Penyelenggaraan Pemilu Luar Negeri .................... 43
iv
Daftar Grafik
Grafik 1 Faktor Kurangnya Partisipasi WNI dalam Pembentukan PPLN ........................... 19
Grafik 2 Faktor Kurangnya Partisipasi WNI dalam Pembentukan KPPSLN ....................... 19
Grafik 3 Hambatan Pembentukan PPLN ............................................................................ 20
Grafik 4 Hambatan Pembentukan KPPSLN ....................................................................... 20
Grafik 5 Faktor Internal Hambatan Pemutakhiran Data Pileg ............................................. 25
Grafik 6 Faktor Internal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pilpres ............................. 26
Grafik 7 Faktor Internal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pileg(dalam Persen) ........ 28
Grafik 8 Faktor Internal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pilpres(dalam Persen)...... 28
Grafik 9 Faktor Eksternal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pileg(dalam Persen)...... 31
Grafik 10 Faktor Eksternal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pileg ........................... 31
Grafik 11 Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pileg ........................................... 32
Grafik 12 Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres ....................................... 33
Grafik 13 Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pileg(dalam Persen) ................... 34
Grafik 14 Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres(dalam Persen) ................ 34
Grafik 15 Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pileg ....................................... 36
Grafik 16 Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres .................................... 36
Grafik 17 Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pileg(dalam Persen) ................ 38
Grafik 18 Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres(dalam Persen) ............. 39
v
Daftar Tabel
Tabel 1 Tawaran Rekomendasi bagi PerbaikanPenyelenggaraan Pemilu Luar
Negeri .............................................................................................................. 47
1
Bab 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu perwujudan dari demokrasi
elektoral yang bertujuan untuk menjamin hak politik warga negara. Adalah
tanggungjawab Negara untuk memastikan hak-hak politik warga negaranya
dapat terpenuhi dimanapun ia berada. Dalam logika berpikir ini, tentu saja
penyelenggaraan pemilu luar negeri penting untuk dilaksanakan. Setidaknya
ada dua rasionalitas mengapa pemilu luar negeri perlu dan penting
diselenggarakan.
Pertama, penyelenggaraan pemilu luar negeri sebagai jaminan atas hak
politik warga negara. Salah satu bentuk dari hak politik adalah hak memilih.
Hak memilih sebagai perwujudan hak politik warga negara tersebut dijamin
oleh Negara pemenuhannya dimanapun warga negara berada. Negara wajib
menjamin hak untuk memilih bagi WNI yang sedang berada di luar negeri
(external voters). Artinya, hak yang sama bagi warga negara untuk
berpartisipasi dalam pemilu, meskipun mereka sedang tidak di negaranya
saat pemilu berlangsung. Wujud konkret dari jaminan pemenuhan hak politik
tersebut adalah Negara memfasilitasi warga negaranya yang sedang berada
di luar negeri untuk dapat memberikan suaranya dalam pemilu atau tidak
kehilangan hak memilihnya walaupun ia sedang berada di luar negeri.
Kedua, adanya peningkatan trend migrasi. Arus globalisasi yang disertai
dengan perkembangan yang pesat teknologi komunikasi dan informasi
menjadi salah satu motif migrasi penduduk antar negara yang begitu
cair.Tentu saja diaspora penduduk ke luar negeri tersebut harus diikuti
dengan pemenuhan hak mereka sebagai warga negara, salah satunya adalah
pemenuhan terhadap hak politik. Suara voters di luar negeri ini dapat
mempengaruhi pemerintahan di negaranya, khususnya bagi negara-negara
yang memiliki penduduk di luar negeri dalam jumlah besar. Namun, terlepas
dari persoalan kuantitas penduduk di luar negeri tersebut, Negara tetap wajib
memastikan penduduknya terpenuhi haknya sebagai warga negara.
2
Berangkat dari titik tolak dua rasionalitas tersebut, Negara mau tidak mau
harus memastikan kesetaraan akses bagi warganya untuk dapat
berpartisipasi dalam Pemilu meskipun mereka sedang tidak di negaranya
saat pemilu berlangsung. Warga negara yang sedang berada di luar negeri
tersebut bisa meliputi turis, pekerja (ekspatriat), pelajar dan mahasiswa yang
sedang sekolah di luar negeri, maupun pengungsi yang terpaksa keluar dari
negaranya karena situasi politik, konflik, atau transisi pemerintahan yang tidak
mulus. Mereka semua dijamin oleh Negara pemenuhan hak-hak politiknya.
Jaminan bagi penduduk yang sedang berada di luar negeri untuk tetap
berpatisipasi dalam pemilu tersebut memiliki sisi positif bagi perkembangan
demokrasi. Salah satunya adalah penduduk yang bersangkutan akan tetap
merasa menjadi bagian dari warga negara (berada di dalam sistem),
sehingga voter tidak hanya berkontribusi memberi suara saja, namun ikut
mengawal pemerintahan di tanah airnya secara ekonomi, sosial, dan politik.
Akan tetapi, penyelenggaraan pemilu luar negeri ini seringkali dihadapkan
pada persoalan high-cost pemilu (mahal) dan persoalan administrasi seperti
penyediaan logistik, sumberdaya manusia penyelenggara pemilu di luar
negeri dan lain sebagainya. Biaya penyelenggaraan pemilu di luar negeri
dianggap terlalu mahal tersebut dianggap tidak sebanding tingkat partisipasi
di luar negeri untuk memilih. Kedua tantangan ini yang seringkali
menyebabkan penyelenggaraan Pemilu luar negeri tidak difasilitasi oleh
beberapa Negara.
Indonesia merupakan salah satu negara dari 113 negara yang mengizinkan
warganya untuk dapat memilih di luar negeri. Ada jaminan konstitusi terhadap
penyelenggaraan pemilu luar negeri. Basis regulasi tersebut ada pada
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyenggara Pemilu, Undang-
Undag No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, dan
Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. Ketiga regulasi tersebut mencantumkan elemen pengaturan
tentang penyelenggaraan pemilu luar negeri.
Jika ditilik jauh kebelakang, sebenarnya penyelenggaraan pemilu luar negeri
oleh Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1955, yakni ketika Indonesia
3
pertama kali menyelenggarakan Pemilu. Pemilu di luar negeri tersebut diatur
di UU Pemilu tahun 1953, dimana pemilu diluar negeri dikelola oleh
kementerian luar negeri. Dengan demikian, pemilih yang terdaftar di negara
yang memiliki kantor perwakilan Indonesia bisa mencoblos wakilnya, yaitu
wakil Jakarta II tempat kementerian luar negeri Indonesia berada. Yang
menjadi external voter pada pemilu luar negeri 1955 adalah para pekerja
migran dan pelajar/mahasiswa yang sedang sekolah di luar negeri.
Pada Pemilu 2014 yang lalu, terjadi kenaikan partisipasi warga negara untuk
ikut memilih dalam pemilu luar negeri jika dibandingkan dengan pemilu-
pemilu sebelumnya. Hal ini menandakan masih kuatnya keinginan WNI yang
sedang berada di luar negeri untuk ikut serta berpartisipasi dalam proses
demokrasi elektoral.
Pada Pemilu 2014 yang lalu, KPU memfasilitasi pembentukan 130
(Penyelenggara Pemilu Luar Negeri) PPLN di 96 negara1. Sedangkan metode
pencoblosan yang diterapkan ada tiga metode, yaitu datang langsung ke
TPSLN (Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri), menggunakan dropbox,
dan melalui pos. Ketiga metode pencoblosan ini difasilitasi semuanya oleh
KPU.
Berbagai upaya yang diakukan oleh KPU dalam menyusun dan mengatur
penyelenggaraan pemilu luar negeri ini diharapkan dapat memfasilitasi hak
pilih WNI yang sedang berada di luar negeri walaupun banyak tantangan
yang dihadapi KPU dalam proses implementasinya.
B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Merujuk pada berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan
pemilu di luar negeri 2014, pertanyaan utama yang akan menjadi fokus riset
ini adalah: “Sejauh mana fasilitasi KPU yang ada mampu memfasilitasi
hak pilih WNI yang ada di Luar Negeri?”.
1 Detail informasi tentang 130 PPLN di 96 negara yang dibentuk oleh KPU pada Pemilu 2014
yang lalu dapat dilihat pada bagian appendix.
4
Beberapa pertanyaan turunan menjadi fokus penelitian ini adalah:
1. Apa saja tantangan atau kendala yang di hadapi KPU dalam
menyelenggarakan pemilu luar negeri 2014?
2. Apa rekomendasi bagi perbaikan penyelenggaraan pemilu luar negeri
berikutnya?
Adapun yang menjadi tujuan riset ini antara lain:
1. Riset ini bertujuan untuk melakukan analisa yang mendalam terhadap
penyelenggaraan pemilu di luar negeri.
2. Pada tataran akademik, riset diharapkan dapat menjadi bahan masukan
dan rekomendasi untuk melihat peluang dan tantangan penyelenggaraan
pemilu legislatif dan presiden di luar negeri tahun 2014.
3. Riset ini kedepannya diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
KPU dalam mengambil kebijakan dan keputusan berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilu di luar negeri.
C. Kerangka Analisa
Memahami Hak Memilih sebagai Hak Politik Warga Negara
Pengakuan internasional terhadap hak-hak politik dicantumkan pada sebuah
deklarasi internasional pada tahun 1966 didalam sebuah kovenan yang
dikenal dengan International Covenant on Civil and Political Rights. Selain
hak politik, kovenan internasional ini juga menjadi dasar bagi pengakuan hak-
hak sipil. Jadi, ada dua jenis hak yang diakui dalam kovenan internasional ini,
yakni hak sipil dan hak politik. Indonesia telah meratifikasi International
Covenant on Civil and Politik Rights ini pada tahun 2005 dengan
diterbitkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang PENGESAHAN
INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS
(KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK).
Melalui regulasi tersebut, Negara melindungi dan menjamin pemenuhan hak-
hak sipil dan politik warganya.
Secara historis maupun teoritis, HAM lahir dan berkembang pada masa
Pencerahan dan Revolusi Industri abad ke-18 di Eropa. Pengalaman dimasa
abad tersebut melahirkan sistem demokrasi liberal yang menempatkan
5
negara sebagai penjaga utama HAM. Dengan konteks tersebut, lahirlan hak
sipil dan hak politik. Dengan demikian, hak sipil dan hak politik merupakan
HAM yang paling fundamental dimana seluruh negara bangsa memiliki
kewajiban dan tanggungjawab untuk melindungi dan memenuhinya (lihat
Davidson 1993:39–45; Donnelly 1998:18–35; Forsythe 2000:28–52). Apalagi,
dalam diskusi soal generasi HAM, hak sipil dan hak politik adalah HAM
generasi pertama yang dilahirkan guna menjamin hak-hakindividu.Dengan
kata lain, hak sipil dan hak politik ini menggaransi kesakralan individu
sebelum adanya hukum, sekaligus menjamin kemampuan individu untuk
berpatisipasi secara bebas dalam kehidupan di masyarakat sipil, ekonomi dan
politik.
Yang didefinisikan sebagai hak politik meliputi hak untuk berbicara dan
berekspresi, hak untuk berkumpul dan berasosiasi, hak memilih dan hak
berpartisipasi dalam politik (Landman, 2006:9). Pada prinsipnya, hak politik ini
menjamin hak individu untuk terlibat atau berpartisipasi dalam urusan publik
(public affairs) atau yang terkait dengan Negara. Sedangkan yang
didefinisikan sebagai hak sipil meliputi hak untuk hidup, kebebasan, dan
sekuritas personal; hak untuk mendapatkan kesetaraan di depan hukum; hak
untuk mendapatkan perlindungan hukum; hak untuk mendapatkan perlakuan
yang adil; hak untuk kebebasan beragama (Landman, 2006:9). Jika hak-hak
sipil ini benar-benar dilindungi, maka individu sebenarnya dijamin
eksistensinya dari intervensi negatif atau kekerasan yang dilakukan Negara.
Dari kategorisasi hak sipil dan hak politik tersebut, hak memilih merupakan
bagian dari hak politik yang wajib untuk dijamin pemenuhannya. Salah satu
bentuk nyata dari pemenuhan hak memilih oleh Negara adalah dengan
memfasilitasi warganya supaya tidak kehilangan hak pilihnya dalam proses
demokrasi elektoral (baca: Pemilu). Golput administrasi misalnya, sebenarnya
merupakan contoh pelanggaran terhadap hak memiih warga yang dilakukan
oleh Negara.
Relasi Hak Politik dengan Demokrasi
Secara historis, demokrasi dan HAM adalah dua fenomena yang berbeda,
yang memiliki area berbeda dalam domain politik: demokrasi terkait dengan
6
pengorganisasian dari pemerintah, sedangkan HAM terkait dengan hak-hak
individu dan bagaimana mempertahankannya. Demokrasi identik dengan
institutional arrangements seperti pemilihan umum yang kompetitif,
pembagian kekuasaan, pengorganisasian public power. Sebaliknya, HAM
justru menempatkan individu sebagai point of reference, dan mencari jaminan
bagi individu untuk mendapatkan kondisi bagi kehidupan yang layak.
Dalam konsep yang dirumuskan oleh David Beetham (2003), prinsip
demokrasi atau ide dasar dari demokrasi adalah popular rule atau popular
control dalam perumusan kebijakan publik (collective decision-making)
berdasarkan kesetaraan politik (political equality). Artinya, urusan-urusan
publik (kebijakan publik) dikontrol oleh publik (warga negara) dan adanya
kesetaraan diantara warga negara dalam melakukan kontrol tersebut. Jadi,
ada dua prinsip dasar demokrasi: (1) popular control; dan (2) kesetaraan
politik. Dengan demikian jantung dari demokrasi terletak pada hak dari setiap
warga negara untuk ―bersuara‖ dalam urusan-urusan publik dan melakukan
kontrol terhadap pemerintah dengan didasarkan pada kesetaraan diantara
sesama warga negara (lihat bagan 1 dibawah ini).
Bagan 1Demokrasi: Hak-Hak dan Institusi
Sumber: Beetham, 2003:92.
Equal rights of citizens to voice in public affair
Institution of representative
and accountable government
Civil and political rights and liberties
7
Selanjutnya, ketika mendiskusikan tentang relasi HAM dan demokrasi, riset
ini mengambil posisi bahwa HAM dan demokrasi adalah dua hal yang tidak
dapat terpisahkan (lihat Beetham 2003). HAM adalah bagian intrinsik dari
demokrasi. Beetham (2003) berargumentasi bahwa jaminan atas kebebasan
dasar adalah dibutuhkan, sehingga diperlukan kondisi bagi warga negara
supaya dapat efektif menyuarakan kepentingannya terkait urusan publik,
sekaligus juga untuk dapat melakukan kontrol terhadap pemerintahan perlu
untuk dijamin.
Dalam kerangka pikir seperti itu, dapat disimpulkan bahwa democracy leads
to human rights. Artinya, untuk implementasi HAM diperlukan keterbukaan
supaya individu terlibat dan terjamin hak-haknya. Diperlukan konteks politik
yang demokratis untuk mempengaruhi implementasi HAM. Dengan demikian,
nilai-nilai HAM bisa universal, tetapi implementasi HAM tergantung pada
konteks sosial politik dimana HAM tersebut diimplementasikan. Inilah relasi
(interlink) antara HAM dan demokrasi.
Sementara itu, jika berbicara relasi antara hak politik dengan politik, maka
penting untuk dijadikan fondasi berpikir dalam riset ini bahwa hak-hak sipil
dan hak-hak politik merupakan bagian integral dari demokrasi (lihat Beetham
2003). Artinya, demokrasi tanpa hak-hak sipil dan hak-hak politik adalah
sesuatu yang kontradiksi dalam terminologinya sendiri karena absennya
kebebasan berbicara, kebebasan berserikat (berasosiasi), kebebasan
berpartisipasi dalam politik, dan jaminan keamanan bagi individu. Kondisi
demikian akan membuat kontrol publik terhadap pemerintah menjadi tidak
memungkinkan. Karenanya, demokrasi dan hak-hak-sipil dan politik saling
mempengaruhi secara langsung satu dengan lainnya. Hak-hak sipil dan hak-
hak politik tidak dapat dipisahkan ketika kita berbicara tentang demokrasi
(lihat bagan 2).
8
Bagan 2. Relasi Hak Politik dan Demokrasi
Sumber: Beetham, 2003:93.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua metode dalam pengumpulan data. Pertama,
desk studi (studi pustaka). Tujuan dari studi pustaka adalah menggali data
dan informasi dari data sekunder terkait penyenggaraan pemilu luar negeri.
Sumber rujukan utama dari data sekunder yang digunakan dalam riset ini
adalah laporan penyelenggaraan pemilu luar negeri yang dikerjakan oleh
PPLN. Disamping itu, data-data tersebut akan diperkuat dengan data media
maupun data laporan penelitian dari lembaga/institusi diluar KUP yang
berkaitan dengan pemilu legislatif dan pemilu pesiden.
Ada dua hal yang dikaji dalam studi pustaka ini. Yang pertama adalah
pelacakan terhadap data-data tentang penyelenggaraan pemilu luar negeri di
beberapa negara sebagai bahan komparasi. Yang kedua adalah pelacakan
terhadap data regulasi dan analisis perundangan yang menjadi rujukan
penyelenggaraan pemilu di luar negeri.
HAM
(Hak-Hak Ekonomi,
Sosial danBudaya)
Demokrasi: Institusi Politik
Hak-Hak Sipil dan Politik
9
Kedua, field study. Penelitian lapangan dilakukan melalui metode wawancara
dengan komisioner KPU. Tujuan dari wawancara tersebut adalah untuk
melakukan klarifikasi terhadap beberapa data dan informasi yang telah
diperoleh Tim, sekaligus guna meminta input dari KPU terkait dengan peluang
dan rekomendasi bagi penyelenggaraan pemilu luar negeri yang lebih baik.
Sementara itu, metode analisa data akan disusun berdasarkan temuan
lapangan yang diselaraskan dengan hasil desk study tim peneliti. Proses
analisis disusun memperhatikan prinsip-prinsip akademik dan hasilnya berupa
laporan yang dapat dijadikan acuan oleh KPU dalam hal penyelenggaraan
pemilu di luar negeri.
10
Bab 2 Tinjauan Pustaka Pemilu di Luar Negeri
A. Pengantar
Penyelenggaraan pemilu di luar negeri adalah bentuk fasilitasi pemenuhan
hak politik warga negara yang sedang berada di luar negeri. Di Indonesia,
sistem penyelenggaraan pemilu luar negeri sudah dimulai sejak tahun 1955
untuk memilih anggota legislatif di level nasional dan masih berlangsung
sampai sekarang. Pada pemilu legislatif tahun 2014 tercatat 22,18% dari total
2.093.298 pemilih menggunakan hak pilihnya di luar negeri (KPU, 2014).
Sedangkan pada pemilu presiden terdapat 33,62% WNI di luar negeri yang
menggunakan hak suaranya dari total 2.101.538 pemilih yang terdaftar (KPU,
2014).
Merujuk tingkat partisipasinya, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan
pemilu di luar negeri bukan hanya bentuk dan fasilitasi pemenuhan hak politik
semata. Ada konsekuensi yang dihadapi negara penyelenggaranya, seperti
regulasi, administrasi pemutakhiran data, peningkatan kapasitas sumberdaya,
metode pencoblosan, logistik, persoalan geografis, dan biaya yang tinggi.
Tantangan tersebut membuat pelaksanaan pemilu di luar negeri terus dikaji
dan mengalami penyesuaian di setiap periode.
Bab ini membahas hasil analisis pustaka berkaitan dengan penyelenggaraan
pemilu luar negeri Indonesia. Bagian ini diharapkan bisa menjadi basis
pustaka yang memperkuat analisis penyelenggaraan pemilu Indonesia di luar
negeri. Terutama dikaitkan dengan fasilitasi hak politik dan efektivitas efisiensi
pelaksanaannya. Pembahasan bab terdiri dari dua bagian; pertama, kajian
komparasi penyelenggaraan pemilu di luar negeri yang memberikan deskripsi
dinamika dan prosedur penyelenggaraan pemilu di luar negeri. Kedua,
analisis peraturan perundangan berkaitan dengan pemilu di luar negeri tahun
2014 untuk melihat keselarasan antara regulasi yang ada dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemilu di luar negeri di setiap tahapan.
11
B. Memilih di Luar Negeri: Studi Komparasi
Hari ini terdapat sekitar 53% atau 115 dari total 214 negara dan teritori yang
memiliki mekanisme penyelenggaraan pemilu langsung di luar negeri (Ellis
dkk, 2007). Bahkan 11 negara yaitu Kroasia, Perancis, Italia, Portugis,
Aljazair, Angola, Cape Verde, Mozambique, Kolombia, Ekuador, dan Panama
mengizinkan warga negara di luar negeri mengirimkan representasinya duduk
di parlemen—sebagai wakil luar negeri. Meskipun terdapat sedikitnya 5
negara yang belum melaksanakan mekanisme tersebut karena masih dalam
masa transisi yaitu Angola, Bolivia, Yunani, Somalia dan Nikaragua.
Sedangkan negara diluar 115 yang tidak menyelenggarakan pemilu di luar
negeri dikarenakan; pertama, negara tersebut tidak memiliki mekanisme
pemilu diluar negeri contohnya Albania, Ethiopia, Bahrain, Ukraina. Kedua,
negara tersebut memang tidak menyelenggarakan pemilu secara langsung
seperti Qatar, Kuba, Brunei Darussalam, Saudi Arabia, dan Libya.
Bagi negara penyelenggaranya, pemilu di luar negeri dianggap penting
karena; pertama, trend migrasi yang terus meningkat dewasa ini harus diikuti
dengan fasilitasi dari negara agar warga negara yang berdiaspora tidak
kehilangan hak politiknya. Mengingat hak politik warga negara sudah diatur
oleh konstitusi, maka akomodasi dari negara adalah bagian dari
melaksanakan konstitusi. Fasilitasi negara tersebut diwujudkan dengan
mekanisme penyelenggaraan pemilu luar negeri yang prosedur dan aturan
mainnya diatur masing-masing negara penyelenggara sesuai dengan
kebutuhan dan kapasitas masing-masing negara.
Kedua, bagi negara-negara yang terlibat konflik internal, pemilu dari luar
negeri adalah usaha resolusi konflik. Partisipasi warga negara melalui pemilu
merupakan simbol nasionalisme terhadap tanah air. Harapannya fasilitasi
negara dengan menyelenggarakan pemilu di luar negeri, akan berlanjut
dengan kontribusi dari warga diaspora terhadap kebutuhan di dalam negeri.
Misalnya terlibat dalam asosiasi pelajar, kelompok agama, yang aktif
mengikuti isu-isu tanah airnya. Dalam situasi yang lebih ekstrim, di beberapa
negara pemilu luar negeri dapat menentukan peta perpolitikan sebuah
negara—baik dalam bentuk perubahan kebijakan maupun perubahan rezim
12
yang memungkinkan warga negara yang mencari suaka, melakukan eksodus
kembali ke negaranya.
Serba-serbi pemilu di luar negeri
Ada banyak tipe pemilihan umum yang bisa diikuti oleh warga negara di luar
negeri. Pada umumnya negara hanya memfasilitasi untuk pemilu nasional—di
Indonesia pemilu legislatif untuk memilih wakil DPR RI dan pemilu presiden.
Meskipun demikian ada pula negara yang menerapkan pemilu luar negeri
untuk melaksankan referendum seperti Timor Leste ketika akan berpisah dari
Indonesia, dan pemilu sub-nasional yaitu pemilu untuk memilih anggota
legislatif/eksekutif di level lokal di negara tersebut—tergantung kebijakan
negaranya. Rusia dan Irlandia adalah sedikit negara yang mengizinkan
warganya berpartisipasi dalam pemilu nasional, pemilu lokal, dan referendum.
Ada beberapa tipologi voter yang diizinkan mencoblos dari luar negeri.Secara
umum kategorisasinya dibagi menjadi empat (Aceproject.org, 2014). Pertama,
pekerja migran seperti TKI, awak kapal, pekerja di laut lepas pantai di
perusahaan-perusahaan asing. Kedua, profesional yang ditugaskan oleh
negara seperti diplomat maupun tentara—di beberapa negara tentara
memiliki hak memilih. Ketiga, warga negara yang menetap maupun tinggal
sementara karena harus sekolah, mengikuti keluarga, ataupun berwisata.
Keempat, pengungsi yang terpaksa keluar dari negaranya karena bencana
alam, menjadi korban perang, konflik internal negara.
Ada pula negara yang memiliki aturan main tambahan sebagai syarat
mengikuti pemilu (Ellis dkk, 2007). Filipina misalnya menyaratkan bahwa
warga negara yang diizinkan mencoblos dari luar negeri adalah mereka yang
masih secara regular pulang ke tanah airnya. Sedangkan Senegal hanya
memfasilitasi pemilu di luar negeri apabila jumlah penduduk di negara
tersebut memenuhi ambang batas minimal. Di Indonesia voter luar negeri
adalah residen yang bertempat tinggal di luar negeri karena bekerja migran,
ditugaskan negara, atau sedang berada di luar negeri saat hari pemilu
berlangsung.
13
Negara yang memfasilitasi pemilu di luar negeri memiliki metode yang
berbeda-beda berkaitan dengan cara memilih dan lokasi pemungutan suara
(aceproject.org, 2014). Pertama, personal voting dengan datang ke tempat
yang sudah ditentukan di luar negeri seperti kedutaan besar, konsulat, dan
lokasi-lokasi lain yang dipilih. Kedua, mengirimkan surat suara melalui pos ke
alamat voter. Ketiga, via proxy menggunakan intermediary server seperti Mali,
India, Ghana, dan United Kingdom. Keempat,elektronik voting melalui
internet, HP, PDA, ISP yang sudah diterapkan di Estonia, Belanda, Prancis.
Isu yang mengemuka mengapa elektronik voting belum menjadi trend adalah
isu keamanan dan pembiayaan. Akan tetapi di masa depan model elektronik
menjadi salah satu yang menjanjikan mengingat modelnya yang efektif dan
efisien dibanding model-model lain. Indonesia sampai saat ini masih
menggunakan model personal voting, dropbox, dan pengiriman surat suara
melalui pos.
Pemilu di Luar Negeri: Peluang dan Tantangan
Partisipasi dalam pemilu adalah hak warga negara meskipun sedang tidak
berada di negaranya saat hari pemilihan. Tugas negara adalah memfasilitasi
warga negara agar dapat menggunakan hak suaranya saat sedang tidak di
tanah air. Pemilu di luar negeri signifkan (Ellis dkk, 2007) karena; pertama,
suara voter diluar negeri dapat mempengaruhi pemerintahan di negaranya.
Terutama bagi negara yang memiliki penduduk di luar negeri dalam jumlah
besar. Kedua, pemilu di luar negeri memberi perasaan bagi warga negara
sebagai bagian dari sistem. Harapannya voter tidak hanya berkontribusi
memberi suara saja, namun ikut mengawal pemerintahan di tanah airnya
secara ekonomi, sosial, dan politik.
Di sisi lain, secara umum ada dua tantangan penyelenggaraan pemilu di luar
negeri. Pertama, biayanya yang tinggi, yang menjadi persoalan serius di
beberapa negara sehingga mereka perlu mengkaji ulang pelaksanaan pemilu
di luar negeri—apakah akan dihentikan atau dilanjutkan. Kedua, tantangan
pemilu luar negeri adalah persoalan administrasi dan logistik. Dari sisi
administrasi, diantaranya pemilu luar negeri menghadapi susahnya
14
pendataan voter karena migrasi warga negara yang tidak terdokumentasi
dengan baik—misalnya awak kapal atau TKI yang tidak melapor diri ke
kedutaan setempat. Dari segi logistik tantangan pemilu luar negeri adalah
menyoal distribusi ke TPSLN terutama di negara-negara yang berkonflik. Di
negara-negara tersebut, distribusi logistik berhadapan dengan tantangan isu
keamanan fisik.
Tantangan lain pemilu luar negeri adalah rendahnya partisipasi yang tidak
sebanding dengan biaya dan fasilitasi yang sudah dikeluarkan oleh negara.
Dewasa ini golput menjadi tolok ukur peninjauan ulang penyelenggaraan
pemilu luar negeri di banyak negara. Ada tiga alasan warga negara tidak
menggunakan hak suaranya (Ellis dkk, 2007); pertama, alasan politis karena
perbedaan cara pandang dengan rezim yang berkuasa. Alasan apatisme
karena memegang kewarganegaraan ganda atau karena sudah menjadi
permanen residen di luar negeri. Kedua, alasan administratif karena tidak
tercatat di daftar pemilih luar negeri. Ketiga, alasan lain yang mencakup
keterbatasan geografis, akses informasi yang tidak sampai kepada voter baik
tentang pemilu maupun tentang calon yang akan dipilih. Pada akhirnya,
penyelenggaraan pemilu di luar negeri tidak hanya berhadapan dengan
fasilitasi hak politik tapi juga efisiensi dan efektivitas yang dikaitkan dengan
tingkat partisipasi.
C. Fasilitasi Hak Politik WNI di Luar Negeri: Regulasi dan Aturan Main
Payung hukum penyelenggaraan pemilu di luar negeri bersandar pada tiga
regulasi. Pertama, UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Berkaitan
dengan pemilu di luar negeri, UU ini memayungi tentang pendataan pemilih,
rekapitulasi perolehan suara, dan kemana suara voter luar negeri
dialokasikan—yaitu DKI Jakarta II tempat kantor kementerian luar negeri yang
dianggap sebagai representasi WNI di luar negeri.
Kedua, UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
UU ini secara umum mengatur proses pemilihan presiden dan wakil presiden
dari tahap persiapan, pelaksanaan, hingga penyelesaian. Namun demikian
15
terdapat bagian khusus yang mengatur tentang voter yang berhak mencoblos
dari luar negeri, dan proses pemungutan suara di luar negeri.
Ketiga, UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Undang-
undang ini secara khusus mengatur tentang penyelenggara pemilu baik di
dalam negeri dan luar negeri. Di bagian luar negeri, undang-undang mengatur
tentang kedudukan yaitu di kantor perwakilan RI, jumlahnya yang terdiri dari
3-7 orang, dan susunan organisasi PPLN, KPPSLN serta tugas dan
wewenang yang melekat kepadanya.
Ketiga undang-undang tersebut diejawantahkan dalam serangkaian
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang kesemuanya mengatur
tentang mekanisme dan aturan main penyelenggaraan pemilu di luar negeri.
Ada banyak PKPU berkaitan dengan pemilu luar negeri baik legislatif maupun
pemilu presiden dan wakil presiden.
PKPU tersebut dapat dibagi dalam tiga kategorisasi; pertama, sebagai
kesatuan sistem dan mekanisme yang melindungi hak politik warga negara.
Misalnya PKPU 10 Tahun 2013 Penyusunan daftar pemilih untuk pileg dan
PKPU No 9 Tahun 2014 Penyusunan daftar pemilih untuk pilpres. Dimana
daftar pemilih disusun berdasar data yang disediakan oleh Kepala Perwakilan
Repulik Indonesia untuk diolah oleh PPLN menjadi daftar pemilih sementara
luar negeri (DPSLN). DPSLN kemudian dimintakan masukan dan tanggapan
masyarakat, termasuk verifikasi data penduduk. DPSLN inilah yang kemudian
mendapat perbaikan dan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Meskipun demikian pemerintah masih melindungi hak politik WNI yang
berada di luar negeri dan namanya belum terdaftar dengan menyediakan
daftar Pemilih Tambahan. Di atas kertas, PKPU tersebut mengakomodasi hak
suara pemilih di luar negeri secara umum. Akan tetapi pada konteks tertentu,
hak suara bisa saja gugur karena voter menghadapi masalah keamanan,
keterbatasan informasi, dan perpindahan penduduk yang membuatnya
kesulitan hadir ke TPSLN di luar negeri.
Kedua, PKPU berkaitan dengan prosedur, jadwal, tata cara, metode
penyelenggaraan pemilu di luar negeri. PKPU yang masuk dalam kategorisasi
16
ini adalah PKPU No 7 Tahun 2012 sebagaimana diubah terakhir dengan
PKPU No 23 Tahun 2014 tentang tahapan, program jadwal pemilu legislatif
dan PKPU No 4 Tahun 2014 tentang tahapan, program, jadwal, pilpres. Ada
juga PKPU No 28 tahun 2013 sebagaimana terakhir diubah dengan PKPU No
7 Tahun 2014 tentang pemungutan, penghitungan rekap Pileg dan PKPU No
20 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan PKPU 30 Tahun 2014
tentang pemungutan, penghitungan, rekapitulasi suara diluar negeri untuk
pilpres.
Ketiga, kategorisasi berkaitan dengan fasilitasi untuk menjamin kualitas
penyelenggaraan pemilu luar negeri. Misalnya dengan pelatihan peningkatan
kapasitas PPLN dan KPPSLN, bimbingan teknis, dan rapat-rapat koordinasi.
PKPU terkait dengan kepentingan tersebut adalah PKPU No 4 Tahun 2013
sebagaimana diubah terakhir dengan PKPU No 12 Tahun 2013 tentang tata
kerja PPLN KPPSLN Pileg dan PKPU No 26 Tahun 2014 tentang tata kerja
pembentukan PPLN untuk pilpres. Pelatihan peningkatan kapasitas berkaitan
dengan penyelenggaraan pemilu dikoordinasi dibawah Pokja Pemilu Luar
Negeri yang berkedudukan di tanah air.
Tulisan di bagian ini bertujuan memberikan; pertama, deskripsi komparasi
pengelolaan pemilu dari luar negeri yang diharapkan bermanfaat untuk
melihat pemilu Indonesia di luar negeri. Kedua, fasilitasi negara berkaitan
dengan penyelenggaraan pemilu luar negeri yang dituangkan dalam regulasi
baik berbentuk undang-undang maupun peraturan KPU. Bab ini melihat
dinamika bagaimana hak politik di satu sisi adalah simbol partisipasi
prosedural yang dianggap menentukan nasib dan arah kebijakan sebuah
negara. Sedangkan di sisi lain hak politik tersebut akan berhadapan dengan
realita di lapangan yang seringkali membuat penyelenggaraannya terus dikaji
ulang, seperti persoalan pendataan warga negara migran, geografi yang sulit,
sumberdaya yang terbatas, dan biaya finansial yang tinggi.
17
Bab 3 Analisis PenyelenggaraanPemilu Luar Negeri
A. Pengantar
Penyelenggaraan Pemilu Indonesia di luar negeri dilaksanakan di 130 PPLN
yang tersebar di 96 Negara. Penyelenggaraan pemilu di luar negeri
dilaksanakan dua kali; pertama pemilu legislatif dimana WNI di luar negeri
diberikan hak untuk memilih wakilnya duduk di DPR RI. WNI di luar negeri
memilih untuk wakil dari dapil Jakarta II, lokasi Kantor Kementerian Luar
Negeri berada, seperti diatur di Pasal 323 UU No UU No 8 Tahun 2012
tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD. Kedua pemilu untuk memilih presiden dan
wakil presiden, yang pada tahun 2014 ini dilaksanakan satu putaran saja.
Proses pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden masing-masing
terbagi dalam tiga tahapan seperti yang diatur dalam PKPU No 7 tahun 2012
dan diubah terakhir dengan PKPU No 23 Tahun 2014 tentang tahapan,
program jadwal pemilu legislatif dan PKPU No 4 Tahun 2014 tentang
tahapan, program, dan jadwal pemilu presiden dan wakil presiden. Ketiga
tahapan tersebut adalah persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian.
Meskipun demikian, hanya ada dua tahapan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilu di luar negeri. Tahapan tersebut adalah; pertama,
tahapan persiapan yang mencakup (a) pembentukan badan penyelenggara
pemilu (PPLN, KPPSLN, Pantarlih LN), (b) rapat kerja, rapat koordinasi, dan
bimbingan teknis, (c) pelaksanaan sosialisasi, publikasi, pendidikan pemilih,
(d) distribusi logistik perlengkapan pemungutan suara di luar negeri. Kedua,
tahapan pelaksanaan pemilu yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu
luar negeri mencakup kegiatan (a) penyusunan daftar pemilih di luar negeri,
(b) pemungutan dan penghitungan suara di luar negeri, (c) rekapitulasi hasil
penghitungan suara di luar negeri. Ketiga, tahapan penyelesaian.
Bagian ini akan fokus menganalisis penyelenggaraan pemilu legislatif dan
pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014. Berangkat dari situasi yang
dijelaskan di atas, maka analisis hanya fokus pada tahapan persiapan dan
18
pelaksanaan pemilu yang memiliki kaitan dengan penyelenggaraan pemilu di
luar negeri. Signifikansi bagian ini adalah memberikan deskripsi dan sebagai
bahan menyusun rekomendasi berkaitan dengan kualitas fasilitasi hak politik
warga negara Indonesia di luar negeri.
B. Tahapan Persiapan Pemilu Luar Negeri 2014
Berdasar Pasal 5 PKPU Nomor 7 Tahun 2012 terdapat empat kegiatan
berkaitan dengan persiapan penyelenggaraan pemilu luar negeri;
pembentukan badan penyelenggara, rapat dan bimbingan teknis, sosialisasi,
publikasi, dan pendidikan pemilih, serta distribusi logistik. Keempat kegiatan
tersebut memiliki tantangannya masing-masing yang sifatnya kontekstual
berbeda antar wilayah di 130 PPLN. Berikut elaborasi lebih lanjut masing-
masing kegiatan di tahapan persiapan penyelenggaraan pemilu legislatif dan
pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014.
Pembentukan Badan Penyelenggara: PPLN dan KPPSLN
Kegiatan pertama adalah pembentukan badan penyelenggara di 130 PPLN
(Panitia Pemilihan Luar Negeri) dan KPPSLN (Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara Luar Negeri). Secara umum pembentukan PPLN berjalan
lancar. Pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden
komposisi PPLN dan KPPSLN tidak banyak berganti kecuali karena alasan
personal seperti mengundurkan diri atau meninggal. Akan tetapi ada
beberapa tantangan yang menjadi catatan dalam pembentukan PPLN di 130
lokasi di 96 negara untuk kedua pemilu tersebut.
19
Grafik 1 Faktor Kurangnya Partisipasi WNI dalam Pembentukan PPLN
Grafik 2 Faktor Kurangnya Partisipasi WNI dalam Pembentukan KPPSLN
Pertama, tantangan terbesar pembentukan PPLN dan KPPSLN adalah
kurangnya partisipasi WNI. Hal ini dikarenakan tingginya aktivitas WNI
sehingga mereka kesulitan untuk menambah pekerjaan dengan menjadi
anggota PPLN dan KPPSLN. Kendala kurangnya partisipasi ini terjadi di 21
PPLN. Sisanya karena persoalan administrasi terkendala persyaratan seperti
pembentukan PPLN dan KPPSLN di Moskow, Riyadh, Shanghai, Toronto,
dan Tawau. Di Riyadh misalnya, WNI yang memenuhi persyaratan memiliki
kesibukan sangat tinggi padahal cakupan kerja PPLN Riyadh sangat luas.
Jalan keluar mengatasi masalah ini adalah menyesuaikan insentif anggota
PPLN Riyadh berdasar cakupan kerja anggotanya. Di Havana persyaratan
0
5
10
15
20
25
TingginyaAktivitas WNI
TerkendalaPersyaratan
Sebaran WNI KekuranganJumlah WNI
Faktor Kurangnya Partisipasi WNI
0
5
10
15
20
25
TingginyaAktivitas WNI
TerkendalaPersyaratan
Sebaran WNI KekuranganJumlah WNI
Faktor Kurangnya Partisipasi WNI
20
yang tidak dapat dipenuhi untuk menjadi anggota KPPSLN adalah syarat
legalisir ijazah karena posisi mereka yang berada di luar negeri.
Kendala lain kurangnya partisipasi WNI dikarenakan persoalan geografis
seperti di PPLN Antananarivo, dan Brazil. Di Antananarivo misalnya, kendala
infrastruktur menyulitkan untuk mencari anggota PPLN diluar wilayah Kota
Antanarivo, padahal cakupan kerja PPLN Antananarivo melingkupi wilayah
Madagascar. Domisili WNI di sebuah PPLN yang jumlah sedikit juga menjadi
tantangan dalam mencari badan penyelenggara seperti di PPLN Panama.
Grafik 3 Hambatan Pembentukan PPLN
Grafik 4 Hambatan Pembentukan KPPSLN
Kedua, persoalan keamanan negara di lokasi cakupan kerja PPLN. Faktor
eksternal ini menjadi kendala signifikan menyangkut keselamatan WNI yang
menjadi panitia penyelenggara pemilu di negara tersebut. Tantangan ini
86%
3% 11%
Hambatan Pembentukan PPLN
Kurangnya Partisipasi WNI
Keamanan Negara
Terbatasnya Masa Kerja
86%
3% 11%
Hambatan Pembentukan KPPSLN
Kurangnya Partisipasi WNI
Keamanan Negara
Terbatasnya Masa Kerja
21
terjadi di PPLN Damaskus Suriah berkaitan dengan krisis politik di negara
tersebut dan terjadinya repatriasi nasional. Pada akhirnya, komposisi anggota
PPLN Suriah seluruhnya berasal dari anggota kedutaan dengan tidak
mengikutsertakan perwakilan dari unsur masyarakat/profesional.
Ketiga, terbatasnya masa kerja di beberapa PPLN karena alasan khusus.
Misalnya di PPLN Lisabon pembentukan PPLN terlambat karena ditolaknya
usul penggabungan PPLN Madrid dan PPLN Lisabon. Penolakan tersebut
berdampak pada keterlambatan pengangkatan anggota PPLN untuk Lisabon.
Kasus lain terjadi di PPLN Osaka dimana PPLN menganggap proses
bimbingan teknis tidak dilakukan lebih awal oleh Pokja pemilu luar negeri
yang berdampak pada singkatnya masa kerja PPLN. Kasus serupa juga
terjadi di PPLN Melbourne dan PPLN Manama Bahrain.
Rapat Kerja, Rapat Koordinasi, dan Bimbingan Teknis
Tantangan badan penyelenggara dalam melaksanakan rapat kerja dan rapat
koordinasi umumnya berupa persoalan teknis. Di PPLN Roma, pelaksanaan
rapat terkendala masalah infrastruktur yaitu kesulitan mencari ruang rapat. Di
PPLN Ankara, PPLN dan KPPSLN kesulitan mengatur waktu untuk
mengagendakan rapat karena anggotanya sebagian besar merupakan staf
KJRI. Jalan keluar dari persoalan tersebut adalah melakukan koordinasi
melalui dunia maya atau mengagendakan rapat diluar jam kerja. Meskipun
demikian karena persoalan teknis tadi, ada pula beberapa pekerjaan yang
seharusnya menjadi pekerjaan KPPSLN dikerjakan oleh anggota PPLN
meskipun tetap dilakukan koordinasi antar keduanya.
Sedangkan bimbingan teknis di beberapa PPLN dilakukan tidak optimal. Di
PPLN Lisabon, Brussel dan Osaka keterlambatan bimbingan teknis
berdampak pada sosialisasi pemilu yang tidak optimal. Di PPLN Singapura,
anggota KPPSLN yang kebanyakan berasal dari pelajar dan mahasiswa
kesulitan membagi waktu sehingga tidak dapat menghadiri acara bimbingan
teknis.
Sosialisasi, Publikasi, dan Pendidikan Pemilih
22
Salah satu tanggung jawab badan penyelenggara pemilu adalah
melaksanakan sosialisasi, publikasi, dan pendidikan pemilih. Secara
prosedural kegiatan ini terlaksana dengan lancar mengingat badan
penyelenggara sudah mendapat bimbingan teknis. Sosialisasi dilakukan
dengan tiga metode; pertama, metode tatap muka antara bada
penyelenggara dan WNI yang berada di cakupan kerja PPLN. Model ini
memiliki beberapa tantangan sesuai dengan kondisi masing-masing PPLN.
Di Damaskus, faktor keamanan menjadi tantangan untuk mengadakan
pertemuan tatap muka sosialisasi pemilu legislatif maupun pemilu presiden
dan wakil presiden. Solusinya, kegiatan sosialisasi hanya dilakukan di KBRI
Damaskus. Di Moskow cuaca ekstrim dan kondisi geografis yang luas, serta
mobilitas WNI menjadi kendala dalam melakukan sosialisasi secara tatap
muka. Di Ankara sosialisasi menjadi ajang melakukan pemutakhiran data
sehingga diketahui bahwa data WNI pada pemilu legislatif dan pemilu
presiden berbeda jauh—mengingat saat pemilu presiden banyak WNI yang
kembali ke tanah air karena liburan musim panas. Situasi berbeda terjadi di
PPLN Dubai dan PPLN Jeddah saat pemilu presiden, peningkatan sosialisasi
yang dilakukan PPLN membuat jumlah pemilih melonjak dibanding saat
pemilu legislatif. Luasanya cakupan PPLN Lisabon membaut sosialisasi
dilakukan di tiga kota yaitu Lisabon, Sines, dan Porto yang secara umum
prosesnya berjalan lancar.
Kedua, sosialisasi yang dilakukan melalui sosial media. Cara ini dianggap
efektif untuk menjangkau WNI yang kesulitan secara geografis, terkendala
faktor keamanan, dan memiliki mobilitas tinggi. Sosialisasi dengan bantuan
teknologi informasi dan sosial media misalnya dilaksanakan oleh PPLN
Moskow. Di Mumbai keterlambatan penurunan anggaran membuat proses
sosialisasi lebih dulu dilakuakn secara informal melalui sosial media.
Ketiga, sosialisasi yang dilakukan secara kolektif dengan menggunakan pihak
ketiga diluar badan penyelenggara. Model ini efektif untuk menjangkau WNI
yang memiliki mobilitas tinggi. Misalnya dengan melibatkan PPI di PPLN
tersebut seperti di PPLN Ankara. Sosialisasi kolektif juga efektif dilakukan
oleh pihak KBRI yang selama ini memiliki data WNI yang tinggal di
23
wilayahnya, misalnya di PPLN Amman yang mencakup wilayah Jordania dan
Palestina.
Distribusi Logistik Pemilu di Luar Negeri 2014
Distribusi logistik adalah persoalan yang signifikan dalam pemilu mengingat
hambatan dalam distribusi akan berdampak pada kegiatan dalam
penyelenggaraan pemilu. Pada umumnya, tantangan yang dihadapi oleh
PPLN adalah keterlambatan dalam penerimaan logistik baik logistik berupa
anggaran dana maupun logistik suara. Meskipun demikian keterlambatan ini
secara umum bisa dikelola dengan baik oleh masing-masing PPLN.
Di PPLN Bangkok keterlambatan penerimaan dana bisa diatasi dengan
menggunakan dana talangan dari KBRI Bangkok. Di Perth, dana pengadaan
logistik baru dapat dicairkan tiga minggu sebelum hari pencoblosan pemilu.
Sedangkan di Noumea (New Caledonia) keterlambatan pencairan dana juga
terjadi yang mengakibatkan tahapan-tahapan pemilu selanjutnya terganggu.
Selain pencairan dana ada juga keterlambatan penerimaan logistik itu sendiri.
Misalnya terjadi di Tokyo yang berakibat pada keterlambatan pengiriman
surat suara ke pemilih. Hal serupa terjadi di Havana, penerimaan logistik yang
terlambat mengakibatkan pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden di
PPLN Havana terhambat. Akibatnya partisipasi pemilih di Havana lebih
sedikit dibanding saat pemilu legislatif. Sedangkan di Damaskus,
keterlambatan diakibatkan karena situasi konflik Suriah yang mengakibatkan
keluar-masuk barang ke Suriah menjadi lebih ketat. Sedangkan
keterlambatan distribusi surat suara ke pemilih terjadi di Lisabon meskipun
sudah menggunakan pos kilat. Hal ini bisa diatasi apabila PPLN Lisabon
mendapatkan surat suara lebih awal dari KPU sehingga distribusi ke pemilih
juga dapat dilakukan lebih awal.
C. Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Luar Negeri 2014
Ada dua kegiatan utama terkait dengan tahapan penyelenggaraan yang akan
dianalisa pada bagian ini, yaitu Pemutakhiran Data Pemilih dan Penyusunan
24
Daftar Pemilih, serta Pemungutan dan Penghitungan Suara. Dari 130 PPLN
yang ada, terdapat beragam hambatan pada setiap aktivitas tersebut. Berikut
ini disampaikan pemetaan hambatan dan analisa terhadap pelaksanaan
pemilu luar negeri 2014 pada tahapan penyelenggaraan.
Pemutakhiran Data Pemilih dan Penyusunan Daftar Pemilih
Proses pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih merupakan
salah satu bagian yang krusial pada tahapan penyelenggaraan ini. Mengingat
pemuktahiran data ini dapat menentukan seseorang dapat menggunakan hak
politiknya atau tidak. Artinya, potensi pelanggaran hak politik sangat rawan
terjadi dikarenakan seseorang dapat secara dengan sengaja dihilangkan hak
politik (baca: hak memilih) ketika ia tidak terdaftar sebagai pemilih. Dalam
konteks ini, KPU harus seoptimal mungkin dalam memfasilitasi WNI di luar
negeri supaya semua WNI masuk dalam daftar pemilih dan tidak kehilangan
hak suaranya. Adapun hambatan pemuktahiran data dalam laporan ini kami
bagi menjadi dua bagian.
Secara keseluruhan proses pemuktahiran data di 130 PPLN berjalan dengan
baik di kedua Pemilu, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden.
Namun, dalam proses tersebut terdapat dinamika yang dapat menjadi
pembelajaran pemilu selanjutnya. Jika dipetakan, dua kategori hambatan
yang kerap ditemui ketika dilakukan pemuktahiran data dan penyusunan
daftar pemilih, yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal. Yang
dimaksudkan sebagai hambatan internal adalah segala hambatan yang
berasal dari internal badan penyelenggara pemilu luar negeri (baca: PPLN
dan KPPSLN). Sedangkan hambatan eksternal adalah segala jenis hambatan
yang berasal dari luar badan penyelenggara pemilu luar negeri.
Ada empat permasalahan pokok yang merupakan hambatan internal dalam
kegiatan pemuktahiran data kedua pemilu tersebut. Pertama, faktor terbesar
yang menjadi penghambat utama proses pemuktahiran adalah rendahnya
kesadaran WNI untuk melaporakan diri ke perwakilan RI di negara terkait.Hal
ini biasanya disebabkan oleh mobilitas WNI yang sangat tinggi sehingga
25
sering berpindah-pindah alamat tempat tinggal. Dinamisnya perubahan
jumlah WNI yang tidak disertai dengan kesadaran WNI untuk selalu
melaporkan diri ke perwakilan RI di negara terkait ini menyulitkan pendataan
jumlah pemilih. Beberapa contoh PPLN yang mengalami permasalahan
mengenai rendahnya kesadaran WNI untuk lapor diri adalah PPLN New York,
PPLN Brussel, PPLN Helsinki, PPLN Dili, dan PPLN lainnya. Di PPLN New
York misalnya, kesadaran lapor diri tersebut masih minim dikarenakan
mobilitas WNI yang sangat tinggi. Begitu juga dengan yang terjadi di PPLN
Brussel, dimana perubahan jumlah WNI cukup dinamis. Sedangkan di PPLN
Helsinki kesadaran WNI untuk melaporkan diri sangat rendah.
Grafik 5 Faktor Internal Hambatan Pemutakhiran Data Pileg
02468
101214161820
Faktor Internal Hambatan Pemuktahiran Data Pemilih Pileg
26
Grafik 6 Faktor Internal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pilpres
Kedua, ketidakjelasan data dari KBRI atau KJRI dinegara setempat. Seperti
yang dialami oleh PPLN Stockholm yang tidak pernah menerima data secara
resmi dari perwakilan RI setempat. Dengan kata lain, keakuratan DP4 masih
diragukan. Hal ini sebenarnya mengindikasikan adanya persoalan kerjasama
antara PPLN dengan KBRI setempat sehingga data resmi tidak pernah
sampai ditangan PPLN.
Ketiga, proses pemuktahiran data mengalami hambatan yang bersumber dari
keterbatasan dana. Hal ini terjadi di PPLN Manila, PPLN Port Moresby, PPLN
Dakar, PPLN Rabat, dan PPLN Buenos Aires. Akar persoalan keterbatasan
dana yang dialami oleh PPLN di beberapa Negara tersebut sebenarnya
bersumber pada wilayah kerja PPLN di Negara bersangkutan yang sangat
luas bahkan meliputi beberapa Negara namun tidak disertai dengan
dukungan dana yang mencukupi. Belum lagi kondisi geografis di Negara
bersangkutan yang terpencil. Alhasil, banyak WNI yang tidak terdaftar
sebagai pemilih. Di PPLN Port Moresby misalnya, sekitar 100 WNI di PNG
mengadu kepada PPLN dikarenakan mereka tidak dapat menggunakan hak
02468
101214161820
Faktor Internal Hambatan Pemuktahiran Data Pemilih Pilres
27
pilihnya. PPLN Port Moresby yang wilayah kerjanya meliputi Papua Nugini
dan Salomon Island memang mengakui bahwa keterbatasan dana
menyebabkan mereka kesulitan untuk mendatangan kantong-kantong WNI
yang ada di dua Negara tersebut. Hal yang serupa juga terjadi pada PPLN
Dakar yang wilayah kerjanya meliputi Negara Senegal, Republik Gambia,
Republik Guinnea Bissau, Republik Gabon, Republik Demokratik Kongo,
Republik Guinnea Konakry, Republik Mali, Republik Pantai Gading, Republik
Seirra Leonne. Dengan wilayah kerja yang meliputi 9 (Sembilan) Negara
tersebut, anggaran perjalanan dinas tidak disediakan bagi PPLN Port
Moresby untuk melakukan pendataan calon pemilih diluar wilayah Negara
Senegal. Padahal, jarak antara sekretariat PPLN dengan tempat tinggal WNI
cukup jauh. Kondisi di PPLN Port Moresby ini hampir sama dengan yang
terjadi PPLN Buenos Aires yang memiliki wilayah kerja meliputi Negara
Argentina, Paraguay, dan Uruguay. Ada kendala keterbatasan anggaran juga
untuk melakukan perjalanan dinas sehingga potensi calon pemilih (khususnya
yang ada di Uruguay) tidak tercatat sepenuhnya. Sementara itu, PPLN Manila
juga mengalami kesulitan untuk menjangkau WNI yang tinggal di daerah-
daerah terpencil seperti di Kepulauan Visayas. Dana yang ada tidak
mencukupi untuk menjangkau daerah terpencil tersebut. Kisah serupa juga
dialami oleh PPLN Rabat yang mengalami kesulitan akses untuk menempuh
WNI yang ada di Mauritania karena untuk menuju wilayah tersebut
dibutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Keempat, hambatan pemuktahiran data yang terkait persoalan administrasi
seperti identitas kewarganegaraan, masalah teknis, dan regulasi. Beberapa
PPLN yang memiliki hambatan ini adalah PPLN Dilli dan PPLN Tokyo. PPLN
Dilli wilayah kerjanya meliputi Negara Timor Leste. Ada persoalan yang
spesifik terkait dengan masalah pemuktahiran data di negara yang
berbatasan langsung dengan Indonesia. Di Timor Leste ini sebagian besar
WNI justru belum memiliki dokumen kewarganegaraan Indonesia seperti
paspor. Hal ini disebabkan oleh dinamisnya mobilitas WNI di Timor Leste
yang keluar masuk Indonesia – Timor Leste karena arus pembangunan di
Timor Leste yang tengah berlangsung. Sedangkan pengalaman PPLN Tokyo
menggambarkan bahwa ada rentang waktu penetapan DPTLN dengan
28
pelaksanaan pemungutan suara yang jedanya terlalu lama. Sehingga, banyak
data pemilih yang kemudian menjadi tidak valid lagi dikarenakan beberapa
WNI banyak yang sudah keluar dari Jepang.
Grafik 7 Faktor Internal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pileg
(dalam Persen)
Grafik 8 Faktor Internal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pilpres
(dalam Persen)
3%
49%
23%
15%
5% 5%
Faktor Internal Hambatan Pemuktahiran Data Pemilih PILEG
Regulasi Lapor Diri WNI
Ketidakjelasan Data dari KBRI/KJRI Keterbatasan Dana
Identitas Kewarganegaraan Permasalahan Teknis
3%
51%
19%
16%
6% 5%
Faktor Internal Hambatan Pemuktahiran Data Pemilih PILPRES
Regulasi Lapor Diri WNIKetidakjelasan Data dari KBRI/KJRI Keterbatasan DanaIdentitas Kewarganegaraan Permasalahan Teknis
29
Sementara itu, hambatan eksternal yang kerapkali ditemui dalam proses
pemuktahiran data terdiri dari tiga kendala, yaitu karakter WNI, kondisi
geografis, dan kondisi keamanan di negara yang bersangkutan. Pertama,
hambatan eksternal terbesar dalam pemuktahiran data adalah terkait dengan
karakter atau tipologi WNI. Karakter WNI ini akan sangat mempengaruhi
proses pemuktahiran data karena menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam
mendata WNI. Beberapa karakter demograsi WNI tersebut adalah WNI yang
ilegal, WNI yang dipenjara, WNI yang bekerja sebagai ABK, dan WNI yang
sering berdakwah/santri. Sebagai contohnya di PPLN Amman yang wilayah
kerjanya meliputi negara Yordania dan Palestina. Karakter demografi WNI di
kedua negara tersebut didominasi oleh tenaga kerja ilegal sehingga PPLN
kesulitan dalam pendataan calon pemilih. Di PPLN Istanbul dan PPLN Swiss
juga menghadapi persoalan yang sama, yakni banyak WNI yang ilegal. PPLN
Istanbul tidak dapat mendata karena banyak WNI merupakan pekerja yang
tidak resmi/ilegal, sehingga para WNI pun dengan sendirinya tidak ingin
didaftarkan dengan alasan tidak ingin menggunakan hak pilihnya. Di PPLN
Bern juga banyak ditemui WNI yang tidak berdokumen karena mereka
bekerja secara ilegal. Selain masalah WNI ilegal, karakter WNI yang bekerja
sebagai ABK juga menyulitkan PPLN setempat untuk mendata mereka. Hal
ini dialami oleh PPLN Suva-Fiji yang kesulitan mendata WNI dikarenakan
mayoritas WNI bekerja sebagai ABK yang mobilitasnya sangat tinggi. Tidak
jarang juga ditemui persoalan WNI yang sedang dipenjara sehingga
menimbulkan kesulitan bagi PPLN setempat untuk menjangkau WNI tersebut.
Karakter WNI ini ditemui di PPLN Bahrain sehingga jumlah pemilih yang
berada di penjara Bahrain tidak teridentifikasi. Disamping itu, kesulitan PPLN
untuk mendata WNI juga disebabkan oleh WNI yang seringkali tidak berada di
tempat karena sedang melakukan tugas dakwah. Karakter WNI
berdakwah/santri ini banyak ditemui di PPLN Islamabad, dimana PPLN
Islamabad kesulitan mendata santri di madrasah karena mereka sedang
melakukan tugas dakwah.
Kedua, hambatan eksternal kedua yang lazim ditemui adalah kondisi
geografis di negara yang bersangkutan, mencakup luas dan sulitnya medan
yang ada dinegara bersangkutan. Kondisi geografis tersebut menyangkut
30
persoalan akses terhadap WNI karena wilayahnya yang terlampau luas dan
kondisi cuaca yang ekstrim. Kondisi ini menyulitkan petugas untuk melakukan
pendataan pemilih. Perbandingan antara tenaga dan cakupan daerah terjadi
ketidakseimbangan. Beberapa PPLN yang mengalami hambatan geografis
adalah PPLN Marseille-Perancis dan PPLN San Fransisco. Di PPLN
Marseille, petugas kesulitan memperbaiki data pemilih secara aktual karena
terkendala perbandingan antara tenaga/petugas yang jumlah terbatas dengan
luasnya wilayah yang menjadi tanggungjawab PPLN Marseille. Di PPLN San
Fransisco, pemuktahiran data memerlukan banyak waku dikarenakan wilayah
akreditas PPLN San Francisco sangat luas. Sedangkan PPLN Moscow juga
mengalami kondisi yang hampir sama. Selain masalah keadaan geografis
yang terlalu luas, PPLN Moscow harus berhadapan dengan kondidi cuaca
ekstrim yang tidak bersahabat. Hal ini mengakibatkan kendala dalam
melakukan pemuktahiran DPTLN.
Ketiga, kondisi keamanan dibeberapa negara setempat juga turut menjadi
faktor penghambat eksternal. Sebagai contohnya PPLN Damaskus ditengah
konflik Suriah, PPLN Karachi yang membawahi Pakistan, dan PPLN Port
Moresby yang bertanggung jawab di negara Papua Nugini dan Kepulauan
Solomon. Kondisi konflik yang masih berlanjut di Negara-negara tersebut
menyebabkan kesulitan bagi petugas untuk melakukan penelusuran WNI
yang di Negara-negara tersebut. Di Suriah misalnya, walaupun Negara
tersebut masih dalam kondisi konflik, namun WNI tetap masih berdatangan
melalui agen-agen illegal. Hal ini tentu saja semakin menyulitkan dalam
melakukan pemuktahiran data pemilih.
31
Grafik 9 Faktor Eksternal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pileg
(dalam Persen)
Grafik 10 Faktor Eksternal Hambatan Pemutakhiran Data Pemilih Pileg
Walaupun di beberapa PPLN banyak ditemui hambatan baik yang sifanya
eksternal maupun internal sebagaimana yang dijeaslkan diatas, namun di
beberapa PPLN tidak mengalami kendala yang berarti dan menjalani dengan
mudah dikarenakan dukungan dari KBRI sangat besar. Hal ini sebagaimana
yang dialami oleh PPLN Paris dan PPLN Quito.
43%
48%
9%
Faktor Eksternal Hambatan Pemuktahiran Data Pemilih Pileg
Keadaan Geografis Karakter WNI Kondisi Keamanan Negara
0
5
10
15
20
Keadaan Geografis Karakter WNI Kondisi KeamananNegara
Faktor Eksternal Hambatan Pemuktahiran Data Pemilih Pileg
32
Pemungutan dan Penghitungan Suara
Pada umumnya pemungutan suara Pileg dan Pilpres di Luar Negeri berjalan
dengan baik dan lancar. Adapun hambatan yang muncul pada saat
pemungutan suara terbagi dari dua faktor yaitu internal dan eksternal.
Hambatan internal terbagi kedalam lima hal.
Pertama, yang merupakan faktor internal terbesar yang menjadi hambatan
dalam pemungutan suara adalah ketidakakuratan data pemilih yang
menimbulkan permasalahan pada pemungutan suara. Salah satu PPLN yang
mengalami persoalan ini adalah PPLN Darwin. Pemilih yang terdaftar pada
DPKTbLN yang dapat memilih satu jam sebelum TPSLN ditutup, di PPLN
Darwin menimbulkan 'friksi' antara calon pemilih dan petugas KPPSLN.
Ketegangan tersebut terjadi karena PPLN Darwin tidak memiliki data yang
relatif akurat soal jumlah pemilih. Bahkan sebagian pemilih kemudian
memutuskan untuk pulang karena terlalu lama menunggu untuk memberikan
suaranya di TPSLN.
Grafik 11 Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pileg
00,5
11,5
22,5
33,5
44,5
5
Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pileg
33
Grafik 12 Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres
Kedua, hambatan internal terbesar kedua yang dihadapi adalah kekurangan
dan keterlambatan dana. Kekurangan dana terutama untuk pengiriman surat
suara bagi calon pemilih via pos. Beberapa PPLN yang mengalami kendala
kekurangan dana untuk pengiriman surat suara ini adalah PPLN Hamburg
dan PPLN Amman. Kedua PPLN ini kekurangan dana untuk pengiriman surat
suara karena biaya yang relatif tinggi di negara yang bersangkutan.
Sedangkan masalah keterlambatan dana dari KPU terjadi di PPLN Bangkok
dan PPLN Perth. Bahkan di PPLN Bangkok harus meminjam dana terlebih
dahulu ke KBRI Bangkok guna mengatasi persoalan keterlambatan dana
tersebut. Sedangkan di PPLN Perth, pencairan dana yang terlambat
menyebabkan pengadaan logistik yang tertunda pula.
Ketiga, hambatan yang berupa kurang pahamnya pemilih dalam memahami
peraturan pemungutan. Keempat, hambatan yang berupa kekurangan jumlah
surat suara. Hal ini terjadi di PPLN Chicago yang mengalami kekurangan
jumlah surat suara karena terjadi lonjakan pemilih. Beberapa PPLN
menganggap penambahan surat suara 2% dari jumlah pemilih dinilai kurang.
PPLN dengan jumlah WNI yang terus bertambah karena menjadi tujuan
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres
34
belajar seperti Istanbul mengusulkan untuk menambahkan persentase
penambahan surat suara.
Kelima, hambatan yang berupa keterlambatan pengiriman logistik, seperti
yang terjadi pada PPLN Tokyo pada Pileg dan PPLN Havana pada Pilpres.
Diharapkan pengiriman logistik seperti surat suara tidak terlambat lagi ke
depannya karena pengiriman logistik yang tidak terlambat berdampak pada
peningkatan partisipasi pemilih melalui pos.
Grafik 13 Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pileg
(dalam Persen)
Grafik 14 Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres
(dalam Persen)
38%
31%
8%
15%
8%
Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pileg
Data Pemilih Kekurangan Dana
Kekurangan Surat Suara Peraturan Pemungutan
Keterlambatan Logistik
34%
33%
8%
8%
17%
Faktor Internal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres
Data Pemilih Kekurangan DanaKekurangan Surat Suara Peraturan PemungutanKeterlambatan Logistik
35
Sedangkan yang dikategorikan sebagai hambatan eksternal dalam proses
pemungutan suara terdiri dari enam kendala. Pertama, hambatan eksternal
terbesar yang paling sering ditemui pada proses pemungutan suara adalah
terkait dengan dilema politik kewarganegaraan, yaitu tidak adanya ijin bagi
WNI dari tempat kerjanya untuk berpartisipasi dalam Pemilu atau datang ke
TPSLN. Hal ini disebabkan karakter WNI sebagai pekerja informal yang tidak
mendapatkan izin dari majikan/ perusahaan. Kondisi ini dialami oleh WNI
yang bekerja di Persatuan Emirat Arab, Malaysia, Qatar, dan Turki.
Kedua, hambatan eksternal kedua yang jamak ditemui selama proses
pemungutan suara adalah kondisi geografis, seperti oleh jarak TPSLN dan
Dropbox yang terlalu jauh dari tempat tinggal WNI. Hal ini mengakibatkan
calon pemilih enggan datang ke TPSLN. Ketiga, kendala jasa pos di Negara
setempat. Beberapa PPLN mengeluhkan biaya dan layanan jasa pos yang
tidak memuaskan. Seperti pada PPLN Dar Es Salaam, jasa layanan Pos di
Tanzania terkesan lambat sehingga berpengaruh pada keterlambatan
diterimanya kembali surat suara.
Keempat, paham atau budaya anti demokrasi di Negara setempat. Budaya
demokrasi yang tidak berlaku pada negara tertentu, sehingga membuat
beberapa WNI sulit untuk keluar rumah karena tidak dizinkan oleh majikan,
seperti pada Negara Persatuan Emirat Arab dan Irak. Pihak PPLN Abu Dhabi
yang wilayah kerjanya meliputi Negara Persatuan Arab menyebutkan bahwa
partisipasi WNI di Negara tersebut rendah karena terkendala budaya Arab
mengenai arti demokrasi. Hal serupa juga di temui di PPLN Baghdad yang
wilayahnya meliputi Negara Irak.
36
Grafik 15 Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pileg
Grafik 16 Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres
Kelima, kondisi keamanan di Negara setempat yang tidak kondusif, seperti
yang terjadi di seperti negara Irak, Suriah, Afghanistan, dan Papua New
Guinea. Pada waktu Pileg, kondisi di Afghanistan sedang tidak stabil. Hal ini
dikarenakan Afghanistan juga melakukan Pilpres yang diwarnai dengan
demonstrasi. Seringkali WNI harus diungsikan sementara, sehingga mereka
yang telah terdaftar dalam DPTLN tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Di
Papua New Guinea terjadi penembakan yang dilakukan oleh kelompok OPM.
Dimana seminggu sebelumnya OPM sudah menteror akan menggagalkan
01234567
Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pileg
01234567
Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres
37
pemilu di Papua. Sedangkan di Suriah, kondisi konflik yang ada menyulitkan
sosialisasi pemilu sehingga sosialisasi hanya dilakukan di gedung KBRI.
Selain itu, pengiriman logistik pemilu mengalami kendala di perbatasan
Suriah karena ketatnya prosedur keamanan sehingga pemungutan suara
tidak dapat dilakukan melalui dropbox dan pos. Di Irak juga situasi keamanan
Negara tersebut tidak kondusif dikarenakan konflik yang masih berkecambuk
di Negara tersebut.
Keenam, tidak mendapatkan ijin pemungutan suara di luar KBRI/KJRI, seperti
pada PPLN Abu Dhabi, Dubai, Kuching, dan Manama. Di PPLN Dubai, dari
pemerintah setempat tidak memperbolehkan adanya TPS di luar premis KJRI
Dubai karena kebebasan berkumpul tidak dijamin oleh peraturan yang ada di
PEA. Sehingga hanya bisa mendirikan TPS di dalam premis KJRI Dubai.
Sedangkan di PPLN Abu Dhabi, opsi pemilihan via drop box tidak dilakukan
karena tidak ada ijin dari pemerintah Abu Dhabi untuk melaksanakan
pemungutan di luar KBRI. Pihak PPLN Kuching juga menghadapi situasi yang
hampir serupa dimana mereka kesulitan untuk mendapatkan ijin dari
Pemerintah Sarawak untuk membuka TPSLN diluar kantor KJRI, sehingga
PPLN Kuching hanya membuka 1 TPSLN di KJRI Kuching.
Ketujuh, waktu pemungutan yang bertepatan dengan waktu libur, sehingga
banyak WNI yang pulang ke Indonesia seperti di PPLN New Delhi dan
Moscow. Di New Delhi, pada Pilpres waktu pemungutan suara bertepatan
dengan Bulan Ramadhan sehingga menjadi salah satu penyebab
menurunnya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Di Moscow misalnya,
rendahnya partisipasi dari WNI dikarenakan pada saat pemungutan suara
berada dalam masa liburan sehingga mobilitas WNI juga cukup tinggi.
Kedelapan, karakter WNI. Negara yang banyak dihuni oleh WNI dengan
aktivitas yang cukup tinggi menyulitkan mereka untuk menggunakan hak
pilihnya. Seperti pada negara Kolombia, Peru, Bolivia, dan negara akreditasi
PPLN Dakar yang banyak dihuni ABK; negara tujuan belajar Turki, Jerman,
dan Australia; dan negara dengan banyak pegawai profesional seperti Qatar.
38
Kesembilan, kebijakan negara setempat. Seperti pada Pemerintah Arab
Saudi yang memberlakukan kebijakan amnesti bagi WNA yang berstatus
overstayers. Melalui kebijakan tersebut diindikasikan 20.000 WNI-O yang
terdaftar dalam DPTLN telah kembali ke Indonesia tanpa diidentifikasi
identitasnya sehingga mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Kesepuluh, faktor alam seperti bencana alam hujan deras dan banjir yang
terjadi di beberapa titik di Argentina pada hari pemungutan suara sehingga
menyulitkan akses calon pemilih untuk datang ke TPSLN. Kesebelas,
demonstrasi, seperti yang terjadi di PPLN Hongkong pada hari pemungutan
suara diwarnai dengan demonstrasi.
Grafik 17 Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pileg
(dalam Persen)
10%
10%
13%
15% 18%
5%
5%
13%
5%
3% 3%
Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pileg
Kondisi Keamanan Izin Pemungutan
Kendala Jasa Pos Geografis
Izin dari Tempat Kerja Waktu Pemungutan
Karakter WNI Paham Anti Demokrasi
Kebijakan Negara Setempat Bencana
Demonstrasi
39
Grafik 18 Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres
(dalam Persen)
Selanjutnya, pada proses penghitungan suara secara keseluruhan berjalan
lancar. Keributan kecil hanya terjadi pada proses penghitungan suara di
PPLN Kuala Lumpur. Pada proses penghitungan suara via Pos terjadi
keributan antar saksi partai yang hadir, namun secara keseluruhan berjalan
lancar, aman, tertib.
D. Tahapan Penyelesaian Pemilu Luar Negeri 2014
Dari data laporan kegiatan 130 PPLN yang ada di 96 negara, pada tahapan
tahapan penyelesaian ini hampir tidak menemui kendala yang berarti. Dengan
kata lain, tahapan penyelesaian pada pemilu luar negeri 2014 baik pada Pileg
maupun Pilpres berjalan dengan lancar dan baik.
7%
10%
12%
15%
17%
15%
8%
13%
3% 0%
Faktor Eksternal Hambatan Pemungutan Suara Pilpres
Kondisi Keamanan Izin Pemungutan
Kendala Jasa Pos Geografis
Izin dari Tempat Kerja Waktu Pemungutan
Karakter WNI Paham Anti Demokrasi
Kebijakan Negara Setempat Bencana
Demonstrasi
40
E. Catatan Kritis Penyelenggaraan Pemilu Luar Negeri
Dari keseluruhan proses penyelenggaraan pemilu luar negeri 2014, dapat
disimpulkan bahwa persoalan atau hambatan yang muncul dalam
penyelenggaraan pemilu luar negeri akan sangat terkait dengan dengan
karakter negara setempat dimana WNI berdomisili (home country). Secara
umum,karakter dari home country yang memiliki persoalan dalam
penyelenggaraan pemilu luar negeri adalah sebagai berikut:
1. Negara-Negara dengan mayoritas buruh migran, seperti Malaysia,
Hongkong, Timur Tengah, Jordania
2. Negara-Negara yang sedang berkonflik, seperti Palestina, Irak, Timur
Tengah
3. Negara-Negara yang menjadi tujuan kapal-kapal pesiar besar, seperti
Eropa Selatan, Amerika Latin, Colombia
Pada negara-negara yang memiliki corak seperti diatas, biasanya akan
ditemui hambatan-hambatan dalam penyelenggaraan pemilu luar negeri,
baik hambatan pada aktivitas-aktivitas di tahapan persiapan maupun
aktivitas-aktivitas di tahapan penyelenggaraan.
Sementara itu, jika berbicara kualitas penyelenggaraan pemilu di luar negeri,
ada beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian. Pertama, dari
aspek pembiayaan, apakah efektif dan efisien. Artinya, apakah biaya besar
yang dikeluarkan oleh membiayai pemilu luar negeri tersebut sebanding
dengan tingkat partisipasi WNI dalam pemilu. Pengalaman penyelenggaraan
pemilu luar negeri yang dilakukan KPU menggambarkan bahwa pembiayaan
pemilu tersebut memang besar, namun hal itu perlu diupayakan semaksimal
mungkin oleh KPU dalam rangka menjamin pemenuhan hak politik.
Kedua, dari aspek potensi pelanggaran, apakah pemilu di luar negeri justru
melahirkan potensi pelanggaran yang cukup besar. Jika hal ini yang terjadi,
dikhawatirkan penyelenggaraan pemilu luar negeri malah tidak membawa
dampak bagi proses pembelajaran demokrasi. Data dan informasi selama
penyelenggaraan pemilu luar negeri menunjukkan minimnya potensi
pelanggaran selama pemilu luar negeri berlangsung. Ketegangan atau friksi
41
kecil yang muncul selama proses penghitungan suara hanya terjadi di PPLN
Kuala Lumpur. Meski demikian, bukan berarti bahwa penyelenggaraan pemilu
luar negeri bebas dari potensi pelanggaran.
Ketiga, dari aspek metode memilih, apakah biaya yang terlalu mahal setimpal
dengan hasil. Pembiayaan metode memilih melalui dropbox atau pos
biasanya menghabiskan biaya yang cukup besar.Pengalaman
penyelenggaraan pemilu luar negeri yang dilakukan KPU memaparkan
dengan sangat jelas bahwa metode memilih melalui dropbox dan pos
membutuhkan biaya yang cukup besar karena biaya pos dimasing-masing
negara sangat bervariasi. Bahkan tidak jarang ada PPLN setempat
kekurangan dana untuk membiaya pos dan dropbox. Apalagi pada Pemilu
2014 yang lalu Indonesia membentuk 130 perwakilan dimana 1 TPSLN
menampung 30 orang /calon pemilih. Hal ini tentu saja memakan biaya yang
tidak sedikit. Walau demikian, biaya besar yang dikeluarkan KPU tersebut
sebenarnya mencerminkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam proses
berdemokrasi.
42
Bab 4 Rekomendasi
Ada dua kesimpulan pokok yang dapat ditarik dari keseluruhan proses
penyelenggaraan pemilu luar negeri 2014 yang sudah berlangsung. Pertama,
untuk menjamin hak politik WNI yang sedang berada di luar negeri, Negara
wajib memfasilitasi setiap WNI tersebut untuk bisa mengikuti pemilu. Sejauh
ini fasilitasi Negara terhadap penyelenggaraan pemilu luar negeri 2014 baik
pemilu legislatif maupun pemilu presiden sudah cukup memadai dalam
menjamin hak politik WNI yang sedang berada di luar negeri meskipun harus
diakui masih terdapat beberapa catatan kritis yang perlu ditindaklanjuti demi
perbaikan penyelenggaraan pemilu luar negeri mendatang.
Kedua, pengalaman Indonesia dalam penyelenggaraan Pemilu luar negeri
mencerminkan bahwa demokrasi membutuhkan biaya yang besar.
Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa penyelenggaraan pemilu
luar negeri memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Meskipun
demikian, pemilu luar negeri tersebut cukup efektif karena mampu
memfasilitasi hak politik WNI. Pada pemilu legislatif tahun 2014 tercatat
22,18% dari total 2.093.298 pemilih menggunakan hak pilihnya di luar negeri
(KPU, 2014). Sedangkan pada pemilu presiden terdapat 33,62% WNI di luar
negeri yang menggunakan hak suaranya dari total 2.101.538 pemilih yang
terdaftar (KPU, 2014). Sedangkan pada pemilu legislatif 2009, ada sekitar
22,3% WNI luar negeri yang menggunakan hak pilihnya, dan pemilu presiden
tercatat 32% WNI luar negeri yang memakai hak pilihnya2. Jika dibandingkan
antara pemilu 2014 dengan pemilu 2009, memang tidak terjadi peningkatan
signifikan dalam tingkat partisipasi pemilu WNI luar negeri. Akan tetapi,
fasilitasi yang dilakukan Negara melalui KPU mencerminkan bahwa
pemerintah Indonesia serius dalam memenuhi kewajibannya melindungi dan
memenuhi hak politik warga negaranya di manapun ia berada.
2
Sumber: http://www.beritasatu.com/politik/86796-pemilu-di-luar-negeri-diadakan-lebih-cepat.html
43
Dalam konteks ini terjadi trade off antara efektivitas vs efisiensi. Artinya,
walaupun penyelenggaraan pemilu luar negeri sangat membutuhkan biaya
yang besar (tidak efisien), namun adanya penyelenggaraan pemilu luar negeri
ini cukup efektif dalam rangka menjamin hak politik warga negara dimanapun
ia berada. Sehingga, walaupun dalam kalkulasi ekonomi penyelenggaraan
pemilu negeri tidak efisien, namun ia cukup efektif untuk menjamin fasilitasi
Negara terhadap pemenuhan hak politik warga negara.
Terkait dengan berbagai tantangan yang muncul pada pemilu luar negeri
2014 sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, guna
memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu luar negeri ke depannya, perlu
pembenahan maupun penguatan di tiga level, yaitu di level sistem, level
organisasional, dan level individu (lihat bagan 3).
Bagan 3 Level Penguatan Penyelenggaraan Pemilu Luar Negeri
Pembenahan di level sistem
Pada level sistem, pembenahan dan penguatan akan difokuskan pada
perumusan kerangka regulasi yang berupaya untuk menetapkan kondisi-
kondisi kerangka yang memungkinkan dan yang membatasi (pengatur) bagi
KPU, dan dimana berbagai komponen sistem berinteraksi satu sama lain
melalui peraturan perundang- undangan dan kebijakan pendukungnya.
Sistem
Kelembagaan
Individu
44
Pada level sistem ini, KPU sebaiknya melakukan pembenahan regulasi terkait
penyelenggaraan pemilu luar negeri. Berdasarkan fakta empiris di lapangan
dalam penyelenggaraan pemilu luar negeri 2014 yang lalu, diperlukan sebuah
kerangka regulasi penyelenggaran pemilu luar negeri yang lebih disesuai
dengan karakter negara setempat. Regulasi tersebut perlu memperhatikan
dan mengakomodasi ―kekhususan‖ negara setempat. Artinya, ada
asimetrisme desain regulasi/peraturan KPU. Setidaknya ada dua aspek
dalam regulasi/peraturan penyelenggaraan pemilu luar yang perlu dibenahi
oleh KPU, yaitu:
1. Aspek pembiayaan pemilu luar negeri yang dilakukan oleh KPU perlu
memperhatikan karakter geografis negara setempat dan karakter
demografis WNI di negara setempat.
2. Aspek pemenuhan SDM penyelenggara pemilu luar negeri. Peraturan
KPU hendaknya lebih fleksibel dalam menerapkan persyaratan bagi
petugas penyelenggara pemilu luar negeri (PPLN dan KPPSLN).
Hendaknya persyarakat untuk menjadi PPLN dan KPPSLN disesuai
dengan karakter WNI di negara setempat.
Pembenahan di level kelembagaan
Pada level kelembagaan, pembenahan dan penguatan difokuskan pada
sumberdaya organisasi, sumberdaya material organisasi, struktur organisasi,
proses‐proses kerja dan budaya kerja, serta pola hubungan organisasi
dengan organisasi lainnya. Pada level kelembagaan ini, ada beberapa hal
yang perlu dilakukan oleh KPU, yaitu:
1. Memperbaiki pola komunikasi dan koordinasi antara KPU dengan PPLN
Ada dua isu krusial yang sering muncul dalam penyelenggaran pemilu
luar negeri, yaitu (1) keterlambatan logistik dan ketidakcukupan logistik
pemilu; dan 2) keterlambatan transfer dana pemilu luar negeri. Oleh
karena itu, perlu perbaikan distribusi logistik, ketercukupan/ketersediaan
logistik pemilu, serta transfer dana pemilu yang tepat waktu.
Keterlambatan distribusi logistik pemilu dan keterlambatan trasnfer dana
pemilu yang sering dialami oleh PPLN dapat diatasi jika pola koordinasi
45
dan komunikasi antara KPU dengan PPLN berjalan dengan baik. Perlu
dibangun komunikasi yang intensif KPU dengan pihak PPLN sehingga
KPU dapat menyerap segala persoalan yang muncul selama
penyelenggaraan pemilu luar negeri. Dalam hal ini, daya responsivitas
KPU terhadap persoalan-persoalan yang dialami PPLN perlu diperbaiki
melalui pola komunikasi dan koordinasi yang lebih intensif.
2. Memperbaiki pola koordinasi dan komunikasi antara KPU dengan
lembaga lainnya dalam rangka penyusunan data kewarganegaraan
(pemutakhiran data)
Isu krusial yang kerap muncul terkait dengan persoalan data pemilih
(pemuktahiran data) adalah ketidakakuratan data pemilih yang
disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah belum adanya
sistem penyediaan data WNI yang terintegratif. Untuk itu, ke depan perlu
pembenahan sistem administrasi data WNI. Guna mendapatkan data
WNI yang akurat, KPU dapat bekerjasama dengan kementerian terkait,
dalam hal ini Kementerian Luar Negeri dalam menyusun data
kewarganegaraan (pemutakhiran data). Pengalaman penyelenggaraan
pemilu luar negeri PPLN kesulitan mendapat data resmi WNI dari KBRI
setempat. Persoalan inilah yang perlu ditindaklanjuti oleh KPU. Selain itu,
KPU juga dapat melakukan kerjasama dengan perusahanaan atau
lembaga dimana WNI bekerja dalam rangka pemuktahiran data tersebut.
3. Memperkuat pengamanan pemilu di luar negeri melalui kerjasama KPU
dengan pihak keamanan negara setempat
Isu keamanan di negara setempat menjadi salah satu kendala WNI dalam
memberikan suaranya di TPSLN, terutama di negara-negara yang tengah
dilanda konflik. Guna meminimalisir hal tersebut, KPU dan PPLN
setempat perlu memperkuat pengamanan pemilu di luar negeri pada hari
pemungutan suara. Salah satu upaya yang dapat dilakukan PPLN di
negara-negara yang tengah berkonflik tersebut adalah dengan
bekerjasama dengan pihak keamanan di negara negara setempat.
Dengan demikian, hak politik WNI terjamin dan tingkat partisipasi WNI
dalam pemilu juga meningkat.
46
Pembenahan di level individu
Pada level individu ini, pembenahan dan penguatan difokuskan pada upaya
penguatan kapasitas individu agar mampu mengemban segala tanggung
jawab profesional dan teknis mereka. Yang menjadi titik berat perhatian
adalah keahlian dan kompetensi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi
dan sikap kerja, pengetahuan, keterampilan, kompetensi, dan etika.
Pada level individu ini, ada dua hal utama yang direkomendasi untuk
dilakukan oleh KPU. Pertama, KPU perlu mempersiapkan tenaga PPLN dan
KPPSLN secara matang. Dari data dan informasi yang ada terkait
penyelenggaraan pemilu di luar negeri, penyiapan tenaga PPLN dan
KPPSLM seringkali mengalami keterlambatan dalam pembentukannya. Hal
ini nantinya akan berimplikasi terhadap optimalisasi tugas dan
tangggungjawab PPLN dan KPPSLN dalam mempersiapkan pemilu luar
negeri yang berkualitas.
Kedua, bimbingan teknis terhadap penyelenggara pemilu luar negeri (PPLN
dan KPPSLN) harus dilakukan secara terencana dan tidak tergesa-gesa.
Fakta empiris penyelenggaraan pemilu luar negeri menggambarkan bahwa
bimbingan teknis terhadap PPLN dan KPPSLN terkesan dilaksanakan
seadanya, tergesa-gesa, dan seolah kurang serius dipersiapkan oleh KPU.
Padahal bimbingan teknis ini dibutuhkan bagi petugas PPLN dan KPPSLN
untuk memahami apa yang menjadi peran dan tanggungjawabnya selama
menjadi petugas penyelenggara pemilu luar negeri. Kelalaian dan
ketidakseriusan dalam mempersiapkan tenaga teknis ini justru hanya akan
menimbulkan masalah baru dalam penyelenggaraan pemilu luar negeri. Oleh
karena itu, KPU hendaknya serius dan memiliki perencanaan yang matang
juga substansi/materi bimbingan teknis yang dipersiapkan dengan baik dalam
memberikan bimbingan teknis kepada PPLN dan PPSLN karena merekalah
ujung tombak KPU dalam memfasilitasi WNI dalam pemilu luar negeri.
47
Tabel 1 Tawaran Rekomendasi bagi Perbaikan
Penyelenggaraan Pemilu Luar Negeri
Level Lingkup Pembenahan Tawaran Rekomendasi
Ind
ivid
u Fokus pada upaya penguatan kapasitas
individu agar mampu mengemban segala tanggung jawab profesional dan teknis mereka.
1. KPU perlu mempersiapkan tenaga PPLN dan KPPSLN secara matang
2. Bimbingan teknis terhadap PPLN dan KPPSLN dilakukan secara terencana dan tidak tergesa-gesa
Ke
lem
bag
aa
n
Fokus pada sumberdaya organisasi, sumberdaya material organisasi, struktur organisasi, proses‐proses kerja dan
budaya kerja, serta pola hubungan organisasi dengan organisasi lainnya.
1. Memperbaiki pola komunikasi dan koordinasi antara KPU dengan PPLN
2. Memperbaiki pola koordinasi dan komunikasi antara KPU dengan lembaga lainnya dalam rangka penyusunan data kewarganegaraan (pemutakhiran data)
3. Penyediaan sistem data WNI yang terintegratif
4. Memperkuat pengamanan pemilu di luar negeri melalui kerjasama KPU dengan pihak keamanan negara setempat
Sis
tem
Fokus pada perumusan kerangka regulasi yang berupaya untuk menetapkan kondisi-kondisi kerangka yang memungkinkan dan yang membatasi (pengatur) bagi KPU
Asimetrisme peraturan KPU yang terkait dengan dua hal:
1. Aspek pembiayaan pemilu luar negeri yang dilakukan oleh KPU perlu memperhatikan karakter geografis negara setempat dan karakter demografis WNI di negara setempat.
2. Aspek pemenuhan SDM penyelenggara pemilu luar negeri lebih fleksibel dalam menerapkan persyaratan bagi petugas penyelenggara pemilu luar negeri (PPLN dan KPPSLN) yang disesuaikan dengan karakter WNI di negara setempat
48
Referensi Beetham, David, Democracy and Human Rights, Cambridge: Polity Press, 1999. Ellis, Andrew. 2007. Voting from Abroad: The International IDEA Handbook. Stockholm: Idea International Landman, Todd, Studying Human Rights, New York: Routledge, 2006 Laporan Hasil Penghitungan Perolehan Suara dari Setiap Provinsi dan Luar Negeri dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dari Setiap Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum DPR Tahun 2014 daerah pemilihan DPR DKI Jakarta II Aceproject.org. 2014. Comparative Data —. [online] Available at:
http://aceproject.org/epic-en/CDMap?question=VO004&f= (diakses, 20 desember 2014)
***