analisis hubungan tingkat kerentanan … · mengidentifikasi upaya prb yang dilakukan oleh...

119
ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB) YOLLA RAHMI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: vunga

Post on 09-Mar-2019

254 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN

UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB)

YOLLA RAHMI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

Page 2: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

ii

Page 3: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis

Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Terhadap Bencana Dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) (Studi Kasus Di Korong Sungai Paku, Nagari Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat) benar hasil karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia bertanggungjawab atas pernyataan ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Yolla Rahmi

NIM I34080048

Page 4: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

ii

ABSTRAK

YOLLA RAHMI. Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir terhadap Bencana dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Dibimbing oleh ARIF SATRIA.

Kerentanan merupakan tingkat kekurangan kemampuan suatu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi dan Tsunami. Setiap kelompok masyarakat memiliki tingkat kerentanan yang berbeda-beda dalam menghadapi bencana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dilihat dari empat aspek kerentanan, yaitu; sosial budaya, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Kedua, bertujuan untuk mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, menganalisis hubungan antara tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dengan upaya PRB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tingkat kerentanan rendah pada aspek sosial budaya dan aspek kelembagaan. Selanjutnya pada aspek lingkungan menujukkan tingkat kerentanan sedang. Pada aspek ekonomi, tingkat kerentanan masyarakat ditunjukkan dari tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian menujukkan sekitar 50 persen responden memiliki tingkat kerentanan rendah dan sisanya adalah responden dengan tingkat kerentanan tinggi . Hasil analisis uji korelasi, hubungan yang signifikan ditunjukkan oleh variabel tingkat kesejahteraan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kata kunci: kerentanan, bencana, upaya pengurangan risiko bencana, mitigasi, konstruksi, rekonstruksi

Page 5: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

ABSTRACT YOLLA RAHMI. Correlation Analysis beetwen the Level of Vulnerability of Coastal Communities with Efforts of Disaster Risk Reduction. Supervised by ARIF SATRIA.

Vulnerability is a level lack of ability in a society to prevent, defuse, achieve readiness and response the impact of disaster hazards. The coastal area is indicated as one of areas that vulnerable to natural disasters such as earthquake and Tsunami. Every society has different levels of vulnerability to disasters. This research has three main objectives. The First is to identify the level of vulnerability of coastal communities. The level of vulnerability has four aspects, namely; sosio-cultural, economical, environmental, and institutional. The second is to identify efforts of disaster risk reduction by coastal communities. The Third is to analyze the correlation beetwen the level of vulnerability of coastal communities with the efforts of disaster risk reduction. The results show that socio-cultural aspect and institutional aspect are in the lowest level of vulnerability, whereas environmental aspect can be categorized to the middle level of vulnerability. On the other hand, on economic aspect using level of walfare as an indicator, fifty percent respondent show the lowest level of vulnerability and the rest is the highest level of vulnerability. There is significant correlation between the level of walfare with the efforts of disaster risk reduction to implementation of housing reconstruction. This research combined the quantitative and qualitative research approach.

Keywords: vulnerability, disaster, disaster risk reduction, mitigation, construction, reconstruction

Page 6: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

iv

Page 7: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN

UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB)

YOLLA RAHMI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

Page 8: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

vi

Page 9: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Terhadap Bencana Dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Nama : Yolla Rahmi NIM : I34080048

Disetujui oleh

Dr Arif Satria, SP MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

Tanggal Lulus: _________________________

Page 10: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

viii

PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat, petunjuk, dan nikmat-Nya dalam mengerjakan skripsi ini, sehingga dapat terselesikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir terhadap Bencana dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) (Studi Kasus di Korong Sungai Paku, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat)” ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan mengenai kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan dan pengembangan upaya mitigasi untuk pengurangan risiko bencana (PRB).

Meskipun dalam proses penyusunan skripsi ini sarat dengan sentuhan-sentuhan nilai akademik dari dosen pembimbing, tetapi penulis percaya masih terdapat kekurangan di dalamnya. Semua kekurangan tersebut karena keterbatasan penulis dalam mengelaborasikan dan menterjemahkan arahan dari pembimbing. Oleh karena itu, segala kekurangan dalam skripsi ini merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2013

Yolla Rahmi

Page 11: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Dr. Arif Satria, SP, M.Si, selaku dosen pembimbing studi pustaka dan skripsi. Berkat bimbingan dan arahan beliau, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Arif atas kesabaran, waktu, tenaga dan pikiran yang diberikan kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen penguji utama, Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen penguji akademik wakil departemen sekaligus sebagai dosen penguji petik pada naskah skripsi ini dan Bapak Ir. Hadiyanto, M.Si selaku dosen pemandu kolokium proposal penelitian skripsi, terima kasih atas kritik dan sarannya terhadap perbaikan skripsi ini.

3. Bapak luar biasa Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA atas bimbingan, arahan , dukungan dan motivasi beliau yang terus mengalir untuk penulis.

4. Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan,MS.DEA selaku dosen pembimbing akademik penulis serta seluruh dosen dan staf Departemen Sains Komunikasi and Pengembangan Masyarakat.

5. Mba Ica, Mba Dini, dan Mba Maria Trio Macan SKPM yang selalu memberikan pelayanan yang luar biasa dan menjadikan sekret SKPM sebagai sekretariat departemen terbaik se-IPB raya.

6. Mba Eka, Kak Helmi, Mba Selvi dan seluruh staf Dekanat Fema yang telah memberikan pelayanan terbaik.

7. Pak Rudi Hartono selaku Kepala Korong Sungai Paku, Kak Rin, Uni Epi, Keluarga Bundo Martena serta seluruh Staf Kantor Kecamatan Sungai Limau dan Kantor Wali Nagari Kuranji Hilir dan warga Korong Sungai Paku atas kerjasama, keramahan dan sambutan yang baik terhadap penulis selama kegiatan penelitian berlangsung.

8. Papa terkasih, (Alm.) Mulyadi Djunid di surga atas perjuangan, kasih sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar dapat melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi.

9. Mama tercinta, Jernie atas lantunan doa, perhatian dan kasih sayang yang terus mengalir serta tetesan keringat dan perjuangan mama demi mencukupkan kebutuhan penulis. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

10. Nenek Hj. Nurma Rasul, Nenek Hj. Rosna Rasul, dan adik-adik tersayang Yandri Andika Rahmat M dan Yandra Noveri M, serta keluarga besar atas lantunan doa yang tak pernah putus, dorongan semangat, motivasi dan kasih sayang yang tercurah kepada penulis.

11. Rekan-rekan penulis yang telah banyak memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini. Septi, Ilham Tawaqal, dan Fevrina leni Tampubolon rekan sebimbingan yang senantiasa memberikan saran, kritik, dan motivasi kepada penulis semenjak penyusunan studi pustaka, proposal hingga skripsi

Page 12: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

x

ini terselesaikan. Terima kasih juga kepada Yusuf Tirta, Jabbar Saputra, Achmad Fauzi dan Putri Asih Sulistyo atas curahan waktunya untuk berdiskusi dan membantu penulis saat mengalami kesulitan dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Keluarga besar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 45 dan 46 atas kebersamaan, persahabatan, dan cinta yang mewarnai hari-hari penulis serta atas kebesaran hati menerima segala kekurangan dan kelebihan penulis sebagai satuan Keluarga Besar Dept. SKPM.

13. Sahabat lama penulis Rizka Nadia, Yusra Rezi, Rachmanda Fitri Purnama, Ririn Liyandani dan Delfi Ilyan, atas kesetiaan dan kebaikan hati untuk selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis selama melakukan penelitian di kampung halaman.

14. Sahabat-sahabat penulis Dwi Setiadi Firmansyah, Aklima Dhiska Suwanda, Aisyah Noor Rafiah, Sahabat Makoca and Friends (Valentina Sokoastri, Adelia Ruspita, Nurul Agmar, Putiha Rakhmaini Indah Sari, dan Anatola Angesti), Sahabat Orens House (Rahma Demakdides, Adinda, Fitri, Andin, Dhanti, Keboth, Kak Uphe dan Syakir), Sahabat Kuil Cinta (Itaw, Jabbar, Bang Ucup, Giway, Oji), Sahabat ES Genk (Kiki dan Irma) Rodiah, Anom, Iqbal PSP, Randy Ilyas, Libby, Arif dan seluruh sahabat penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu atas canda tawa, kesetian untuk selalu ada dalam suka maupun duka.

15. Icin, Yessi, Titi, Ibu Linda dan seluruh teman Kos Wisma Gardenia atas perhatian dan semua keceriaan.

16. Teman-teman Koran Kampus IPB, dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang Bogor atas kerjasana, pengalaman, dan ilmu bermanfaat

17. Belty kesayangan yang menambah keceriaan disetiap hari penulis. 18. Amirsyah, kekasih tersayang sekaligus teman hidup yang setia atas lantunan

doa yang tak pernah putus, motivasi, dorongan semangat, cinta dan kasih sayang yang tulus kepada penulis.

Bogor, Mei 2013

Yolla Rahmi

Page 13: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR LAMPIRAN xv

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 Kegunaan Penelitian 5 

PENDEKATAN TEORITIS 7 Tinjauan Pustaka 7 Kerangka Pemikiran 22 Hipotesis Penelitian 23 Definisi Operasional 24 

PENDEKATAN LAPANGAN 29 Metode Penelitian 29 Lokasi dan Waktu Penelitian 29 Teknik Pemilihan Responden dan Informan 30 Teknik Pengumpulan Data 30 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 31 Keterbatasan Studi 32 

PROFIL LOKASI PENELITIAN 35 Letak Geografis dan Kondisi Alam 35 Jumlah Penduduk, Tahapan Keluarga Sejahtera, dan Mata Pencaharian 37 Sarana dan Prasarana 38 Pemukiman Penduduk, Zona Merah Tsunami, dan Keberadaan Jalur Evakuasi 39 Program dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 40 Bentuk Konstruksi Bangunan Rumah Penduduk dan Tingkat Kerentanannya 42 

KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN 45 Karakteristik Usia Responden 45 Karakteristik Tingkat Pendidikan Responden 45 Karakteristik Jumlah Anggota Keluarga 47 Karakteristik Tingkat Pendapatan Perbulan 47 

TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA 49 

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Sosial Budaya 49 Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Ekonomi: Tingkat Kesejahteraan 62 Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Pemanfaatan SDA 63 Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Kinerja Lembaga 65 

UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB) OLEH MASYARAKAT 67 

Page 14: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

xii

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB) 73 

Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Sosial Budaya dengan Upaya Rekonstruksi Bangunan Rumah Pasca Bencana 74 Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Dilihat dari Aspek Ekonomi (Tingkat Kesejahteraan) dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana 77 Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Pemanfaatan SDA dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana78 Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Pada Tingkat Kinerja lembaga dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana 79 

SIMPULAN DAN SARAN 81 Simpulan 81 Saran 81 

DAFTAR PUSTAKA 83 

DAFTAR TABEL  1 Sebaran kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana

1815-2012 3 2 Strategi mitigasi yang dilakukan berdasarkan dimensi dan aspek kerentanan 21 3 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat pendidikan 46 4 Jumlah anak usia sekolah berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan jenjang

pendidikan tahun 2010 di Korong Sungai Paku 46 5 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat pendapatan perbulan 47 6 Kepercayaan masyarakat terhadap beberapa pemangku kepentingan dalam

memberikan pertolongan saat terjadi bencana 51 7 Pemanfaatan jaringan sosial masyarakat sesaat terjadi bencana 54 8 Sebaran jawaban benar responden menjawab pernyataan tentang pengetahuan

mengenai aspek bencana gempa dan Tsunami 57 9 Persentase kerentanan masyarakat pesisir berdasarkan lima aspek kerentanan

bencana 66 10 Tabulasi silang bentuk konstruksi rumah responden pra bencana dan jenis

kerusakan rumah responden 69 11 Hasil uji korelasi Rank Spearman terhadap hubungan antara tingkat

kerentanan masyarakat pesisir dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana berdasarkan tingkat kerentannyaa 73 

Page 15: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

DAFTAR GAMBAR  1 Fase manajemen bencana 15 2 Kerangka Pikir Penelitian 23 3 Jenis pekerjaan kepala rumah tangga (KRT) responden 37 4 Presentase responden berdasarkan golongan usia 45 5 Presentase responden berdasarkan jumlah anggota keluarga 47 6 Tingkat kepercayaan 50 7 Tingkat pemanfaatan jaringan sosial 53 8 Tingkat pengetahuan mengenai aspek-aspek bencana 57 9 Tingkat pengetahuan tentang nilai tata ruang wilayah 61 10 Responden penerima program Raskin di Korong Sungai Paku tahun 2009

hingga 2013 62 11 Persentase tingkat efektifitas kinerja lembaga 65 12 Bentuk konstruksi rumah responden pra bencana tahun 2009 68 13 Bentuk Rekonstruksi Rumah Responden Pasca Bencana tahun 2009 70 

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 87 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2012 88 3 Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian 89 4 Dokumentasi Penelitian 91 5 Tabel Frekuensi (hasil olah data dengan program aplikasi SPSS) 96 6 Bentuk bangunan rumah responden pra bencana dan pasca bencana serta jenis

kerusakan bangunan rumah pasca bencana 100 7 Hasil Crosstab Hasil Uji korelasi Rank Spearman terhadap hubungan antara

tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana berdasarkan tingkat kerentanannya (Tabulasi Silang dengan program aplikasi SPSS) 101 

8 Riwayat Hidup 103  

Page 16: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar
Page 17: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang mendapatkan berkah sekaligus mendapatkan ancaman dari alamnya. Berkah alam yang membentang di seluruh kepulauan dan laut Indonesia menjadi potensi besar yang tidak terkalahkan bagi penopang perekonomian negara. Tentunya juga didukung dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yang baik pula. Namun, tidak jarang dengan seluruh bentangan keberkahan dari alamnya, Indonesia juga ditimpa bencana alam yang menyebabkan kerusakan, baik secara fisik, materi, sosial, dan psikologi pada masyarakatnya. Bencana yang terjadi pun tidak hanya menyisakan penderitaan bagi masyarakat yang menjadi korban bencana, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia yang turut prihatin dan punya andil untuk saling membantu.

Hal tersebut didukung oleh Purbani (2012) melalui hasil penelitiannya di Pulau Weh, Aceh. Wilayah tersebut memiliki kekayaan SDA hayati seperti Taman Nasional Alam Laut dan sumberdaya non hayati seperti panas bumi yang terdapat di Jaboi. Selain itu, Pulau Weh juga berada di jalur pelayaran internasional. Disamping kekayaan alam yang dimiliki daerah tersebut, kondisi alam geologisnya juga memiliki potensi bencana yang sangat tinggi. Pulau Weh terletak di zona gempa bumi, yaitu terletak diantara tiga jalur lempeng bumi yang bertumbukan. Kondisi tersebut menyebabkan kawasan ini sangat rentan terkena gempa bumi yang diikuti Tsunami.

Indonesia telah mengalami berbagai musibah bencana alam beberapa tahun terakhir. Bencana-bencana tersebut terjadi secara bergantian, baik dalam skala besar maupun kecil. Bencana alam yang pernah terjadi di Indonesia antara lain gempa bumi dan Tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam; gempa bumi dan Tsunami di Sumatera Utara dan Sumatera Barat; gempa bumi di Nabire, Alor, dan Nias; gunung meletus, tanah longsor, dan kebakaran hingga semburan atau luapan lumpur panas di Sidoarjo. Bencana-bencana tersebut telah menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kerugian-kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan tampak pada banyaknya korban jiwa maupun hilang dan rusaknya harta benda milik masyarakat.

Menurut Pujiono (2003) dalam Misron (2009), bencana adalah suatu peristiwa yang dapat terjadi karena perbuatan manusia atau alam, mendadak atau berangsur yang menyebabkan kerugian yang meluas terhadap kehidupan, materi dan lingkungan sedemikian rupa melebihi kemampuan masyarakat korban bencana untuk dapat menanggulangi dengan menggunakan sumberdaya sendiri. Hal tersebut senada dengan pernyataan Maarif (2010), bahwa bencana alam disebabkan karena alam atau manusia memberikan dampak pada masyarakat. Berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh Pujiono (2003) dalam Misron (2009) dan Maarif (2010) tersebut, pada hakekatnya bencana alam menyebabkan kerugian yang sangat besar, sehingga tanggung jawab pemulihan bencana bukan hanya bagi masyarakat korban bencana, tetapi juga bagi seluruh masyarakat di negara tersebut.

Page 18: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

2

Dilihat dari kondisi geografi dan geologinya, Indonesia memiliki potensi yang tinggi terhadap terjadinya bencana alam. Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Sharif Cicip Sutardjo dalam Diposaptono (2011) menyebutkan bahwa posisi Indonesia berada pada jalur cincin api dan pertemuan tiga lempeng besar yang saling bertumbukan. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, Samudra Hindia, dan Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatra-Jawa-Nusa Tenggara-Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa (Anshori 2010). Kondisi perubahan iklim Indonesia sering memicu terjadinya banjir, rob, longsor, kekeringan, abrasi dan lainnya. Hal tersebut dikarenakan posisi Indonesia yang berada pada bentang garis khatulistiwa. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Diposaptono (2011), posisi Indonesia pada bentang garis khatulistiwa sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, Tsunami, banjir, dan tanah longsor. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold 1986 dalam Naryanto dkk. 2009).

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Naryanto dkk. (2009) menunjukkan bahwa bencana yang terjadi pada Tahun 2008 berjumlah 343 kejadian, terdiri dari banjir (58 persen), angin topan (16 persen), tanah longsor (7 persen), gelombang pasang (2 persen), kegagalan teknologi (1 persen), kebakaran hutan dan lahan (0.3 persen), letusan gunung api (0.3 persen), serta kerusuhan sosial (0.3 persen). Berdasarkan jumlah korban meninggal akibat kejadian bencana Tahun 2008, tanah longsor menempati urutan pertama (73 orang), yang diikuti banjir (68 orang), banjir dan tanah longsor (54 orang), kegagalan teknologi (30 orang), gempa bumi (12 orang), angin topan (3 orang), serta kebakaran (3 orang). Berdasarkan kerusakan rumah akibat kejadian bencana Tahun 2008, banjir menempati urutan pertama (20 046 unit), kemudian gemba bumi (8 254 unit), angin topan (2 574),banjir dan tanah longsor (1 396 unit), gelombang pasang atau abrasi (1 063 unit), tanah longsor (681 unit),serta kebakaran (396 unit). Berikut tersedia tabel berisi informasi tentang sebaran kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana dari tahun 1815 hingga tahun 2012.

Menurut data BNPB, Tsunami sangat sedikit terjadi pada rentang tahun 1815 hingga 2012, yaitu sekitar sembilan kejadian. Namun demikian, bencana Tsunami tersebut menyebabkan korban jiwa terbanyak sekitar 167 768 jiwa. Berbeda dengan kejadian banjir yang memiliki frekuensi kejadian paling tinggi dari rentang tahun tersebut sekitar 167 768 kejadian dengan korban 18 590 jiwa. Selanjutnya, diikuti kejadian bencana paling sering adalah kejadian tanah longsor sebanyak 1 956 kejadian dan korban jiwa 1 727 jiwa, angin puting beliung 1 914 kejadian dengan korbannya 240 jiwa, kekeringan sebanyak 1 414 kejadian dengan jumlah dua korban jiwa. Namun demikian, terlihat bahwa dari rentang tahun 1815 hingga 2012 Indonesia selalu berada pada posisi waspada terhadap sekian jenis ragam bencana yang terjadi. Hal tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 1.

Page 19: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

3

Bencana yang terus-menerus terjadi mengharuskan untuk selalu siap siaga dalam menghadapi berbagai ancaman dampak bencana tersebut. Salah satu wilayah yang rentan mengalami bencana adalah wilayah pesisir. Pembangunan dan pola pemanfaatan SDA di wilayah pesisir mengakibatkan degradasi lingkungan serta menurunkan kualitas sumberdaya yang ada di wilayah pesisir. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan banyaknya bencana yang terjadi di wilayah pesisir. Bencana pesisir yang sering terjadi dapat berupa gempa bumi, Tsunami, dan bencana alam lainnya yang disebabkan oleh perubahan iklim di wilayah pesisir (seperti; gelombang pasang, banjir rob, kekeringan, genangan di lahan rendah, dan erosi pantai). Kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana yang terjadi merupakan permasalahan yang hingga saat ini belum bisa diatasi secara menyeluruh.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 yang diikuti oleh Peraturan Pemerintah yang mengatur penanggulangan bencana telah mengamanahkan kepada pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah bahwa dalam melaksanakan pembangunan diharuskan memasukkan aspek pengurangan risiko bencana. Agar kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan membantu memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat. Terutama keluarga nelayan yang setiap saat menghadapi risiko terjadinya bencana pesisir. Oleh karena itu, analisis kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana perlu dilakukan terutama pada wilayah sepanjang pesisir yang berisiko bencana gempa dan Tsunami.

Sebagaimana diketahui, terdapat sejumlah penelitian yang meneliti mengenai bencana di wilayah pesisir mengenai strategi mitigasi bencana dan upaya penanggulangannya. Namun demikian dari sejumlah penelitian tersebut, diketahui bahwa peneliti umumnya meneliti secara parsial. Maksudnya, belum banyak yang melakukan penelitian secara komprehensif dengan menelaah

Tabel 1 Sebaran kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana 1815-2012

Nama Bencana Frekuensi Kejadian Korban Bencana (Jiwa) Aksi Teror/Sabotase 28 324 Banjir 4 126 18 590 Banjir dan Tanah Longsor 318 2 197 Tanah Longsor 1 956 1 727 Gempa Bumi 275 15 562 Tsunami 13 3 519 Gempa Bumi dan Tsunami 9 167 768 Hama Tanaman 18 40 Kebakaran Hutan dan lahan 116 8 Kecelakaan Industri 26 73 Kecelakaan Transportasi 167 2 172 Kekeringan 1 414 2 KLB 109 1 515 Konflik/ Kerusuhan Sosial 95 5 598 Letusan Gunung Api 111 78 598 Angin Puting Beliung 1 914 240 Gelombang Pasang 178 148

Sumber: [BNBP] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sebaran Kejadian Bencana Dan Korban Meninggal Per Jenis Kejadian Bencana 1815-2012. [Internet].[Diakses 17 Juni 2012. Dapat diunduh dari : http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id&continue=y&lang=ID

Page 20: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

4

kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana melalui empat aspek (yakni; sosial budaya dan sumberdaya manusia; ekonomi; lingkungan; dan kelembagaan), dan analisis kerentanannya.

Hal tersebut dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh Sadikin Amir (2012), Purbani (2012), dan Diposaptono (2005). Dari ketiga penelitian yang dilakukan tersebut hanya pada aspek kerentanan wilayah pesisir terhadap bencana yang dilihat dari dimensi ekologis. Penilitian Amir (2012) yang berjudul Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari bagi Pengelola Pulau-Pulau Kecil berbasis Mitigasi, studi kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombaok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat, hanya membahas aspek kerentanan bencana pesisir Gili Indah dari dimensi ekologis saja. Kerentanan ekologis yang dibahas dalam penelitian tersebut yakni degradasi lingkungan yang terjadi seiring meningkatnya aktivitas pengembangan wilayah pesisir ke sektor pariwisata bahari di Gili Indah. Selanjutnya, penelitian yang berjudul Strategi Mitigasi Tsunami Berbasis Ekosistem Mangrove dalam Aplikasi Pemanfaatan Ruang Pantai yang dilakukan oleh Purbani (2012), dalam analisisnya melihat kerentanan pesisir di Pulau Weh, Aceh dari aspek geologis dan geografisnya kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan strategi mitigasi Tsunami yang berbasis ekosistem mangrove. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Diposaptono (2005) yang mengkaji bahwa wilayah pesisir rentan terhadap tekanan lingkungan dan bencana. Kemudian dalam analisisnya menyebutkan salah satu mitigasi bencana dengan pengelolaan sumberdaya pesisir (SDP) dan pembangunan wilayah pesisir (WP) yang terpadu.

Mengingat kejadian bencana di wilayah pesisir berkaitan erat dengan kondisi sosial masyarakat di sekitarnya, maka menjadi penting untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kerentanan masyarakat pesisir yang dianalisis dengan empat aspek kerentanan sosial. Selain itu, upaya pengurangan risiko bencana menjadi sebuah tindakan nyata yang dapat mengatasi kerentanan masyarakat sehingga kedepannya menjadi lebih siap untuk menghadapi kemungkinan bencana yang akan terjadi. Untuk itu, akan dilakukan penelitian tentang analisis kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dan kaitannya dengan upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan disekitar wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana. Hasil analisis ini selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pembangunan di wilayah pesisir, terutama untuk daerah yang memiliki risiko kejadian bencana yang menimpa sumberdaya di sektor perikanan, seperti yang dialami oleh wilayah penelitian di Nagari Koto Tinggi, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Perumusan Masalah

Merujuk dari hasil penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan Sadikin Amir (2012) dan Dini Purbani (2012) dan beberapa penelitian lainnya, belum terdapat kajian mendalam mengenai analisis kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dengan mempertimbangkan keempat aspek kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana kemudian melihat kaitannya dengan upaya pengurangan risiko bencana. Hal tersebut menjadi rujukan peneliti untuk melakukan penelitian selanjutnya berkenaan analisis kerentanan masyarakat

Page 21: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

5

pesisir terhadap bencana dengan mempertimbangkan kelima aspek kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana tersebut. Untuk itu, berikut terdapat beberapa masalah penelitian yang dapat peneliti ajukan sebagai acuan utama untuk melakukan penelitian ini: 1. Bagaimanakah kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana di Korong

Sungai Paku, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat jika dilihat dari empat aspek kerentanan masyarakat pesisir?

2. Sejauhmana hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dilihat dari empat aspek kerentanan dengan upaya pengurangan risiko bencana di Korong Sungai Paku, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat?

Tujuan Penelitian

Merujuk pada perumusan masalah di atas, maka ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana di lokasi

penelitian dilihat dari empat aspek kerentanan masyarakat pesisir. 2. Mengidentifikasi upaya pengurangan risiko bencana (PRB) pasca becana di

lokasi penelitian. 3. Menganalisis hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap

bencana dilihat dari empat aspek kerentanan dengan upaya PRB di lokasi penelitian.

Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu: 1. Bagi Masyarakat Korong Sungai paku, penelitian ini diharapkan mampu

member gambaran mengenai Korong Sungai Paku dan kerentanan masyarakatnya terhadap bencana gempa dan Tsunami. Selain itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi korong-korong lain pada umumnya dan Korong Sungai Paku khususnya untuk bisa menambah input pengetahuan dan kesiapan masyarakat terhadap bencana gempa dan tsunami.

2. Bagi penulis merupakan bagian dari proses belajar dalam menyintesis beragam konsep dan teori yang relevan untuk menelaah analisis kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana.

3. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini dapat memperkaya wacana keilmuan dan menjadi bahan kajian lebih lenjut mengenai fenomena kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana.

4. Bagi para penentu kebijakan, dapat memberikan masukan untuk formulasi kebijakan secara tepat agar kebijakan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat membantu memecahkan masalah, terutama bagi masyarakat pesisir/keluarga nelayan yang setiap saat menghadapi risiko terjadinya bencana.

Page 22: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

6

Page 23: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

7

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Jenis Bencana Pesisir Warto dkk. (2002) mengemukakan definisi mengenai bencana yakni suatu

kejadian yang sulit dihindari karena peristiwa tersebut datang secara tiba-tiba dan di luar perkiraan manusia. Oleh sebab itu, terjadinya bencana alam mengakibatkan banyak kerugian bagi manusia, jiwa-raga, harta benda maupun kerusakan lingkungan. Merujuk definisi bencana yang dikutip sebelumnya dari Pujiono (2003) dalam Misron (2009) dan Maarif (2010), pada hakekatnya bencana alam menyebabkan kerugian yang sangat besar, sehingga tanggung jawab pemulihan bencana bukan hanya bagi masyarakat korban bencana, tetapi juga bagi seluruh masyarakat di negara tersebut.

Bencana dapat terjadi dinilai dari hal berikut (Maarif 2010): 1) Bagaimana proses pembanguanan yang dapat menimbulkan becana 2) Terjadinya disorganisasi sosial 3) Struktur yang tidak setara dan jaringan 4) Aktualisasi kerentanan sosial 5) Interaksi yang mengarah pada konflik 6) Kepercayaan/agama dan local wisdom terhadap kehadiran bencana

Bencana yang terjadi di wilayah pesisir antara lain gempa bumi dan Tsunami (Purbani 2012 dan Diposaptono 2005), serta perubahan iklim (Satria 2012). a. Gempa Bumi

Gempa bumi merupakan bencana alam yang datangnya secara tiba-tiba dan dalam waktu yang relatif singkat menghancurkan semua yang ada di permukaan bumi. Gempa bumi adalah getaran yang dihasilkan oleh percepatan energi yang dilepaskan menyebar ke segala arah dari sumbernya. Gempa bumi yang paling sering terjadi adalah gempa tektonik yang diakibatkan oleh tenaga yang berasal dari dalam bumi (endogen). Selain itu juga dikenal gempa vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan dan gempa buatan (Naryanto dkk. 2009).

Menurut BMKG dalam Naryanto dkk. (2009), tingkat kegempaan di Indonesia berdasarkan sejarah kekuatan sumbernya dibagi dalam 6 daerah yaitu:

1) Daerah sangat aktif, magnitude lebih dari 8 mungkin terjadi di daerah-daerah Halmahera dan Pantai utara Papua.

2) Daerah aktif, magnitude 8 mungkin terjadi dan magnitude 7 sering terjadi di lepas pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara, dan Banda.

3) Daerah lipatan dan retakan, magnitude kurang dari 7 mungkin terjadi di pantai barat Sumatera, Kepulauan Sula, dan Sulawesi Tengah.

4) Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 bisa terjadi di Sumatera, Jawa bagian utara dan Kalimantan bagian timur.

5) Daerah gempa kecil, magnitude kurang dari 5 terjadi di daerah pantai timur Sumatera dan Kalimantan Tengah.

6) Daerah stabil, tak ada catatan sejarah gempa, yaitu di daerah pantai selatan Papua dan Kalimantan Bagian Barat.

Page 24: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

8

Merujuk pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah kegempaan yang terjadi di Indonesia mulai dari kekuatan sumbernya terendah hingga paling tinngi berisiko terjadi di wilayah pesisir. b. Tsunami

Naryanto dkk. (2009) juga menjelaskan tentang bencana Tsunami. Tsunami berasal dari bahasa Jepang, yaitu tsu (pelabuhan) dan nami (gelombang). Beberapa negara di Kawasan Pasifik seperti USA, Amerika Selatan bagian barat, Jepang, Philipina, Papua New Ginea dan juga termasuk Indonesia sering terjadi bencana Tsunami. Di Indonesia, Tsunami telah menimbulkan banyak korban jiwa maupun harta benda. Naryanto dkk. (2009) merumuskan beberapa faktor yang menyebabkan kejadian gelombang Tsunami, yaitu:

1) Magnitudo dari gempa dan kedalamannya. 2) Lokasi pelepasan dalam kerak bumi dan kecepatan pelepasannya. 3) Perambatan gelombang Tsunami (efek dari topograsi dasar laut,

kedalaman laut dan sebagainya). 4) Variasi arah rambatan. 5) Konfigurasi pantai. 6) Topograsi daratan/bentuk bentang alam. 7) Tipe dan ukuran deformasi laut. 8) Batimetri dasar laut. 9) Kedalaman laut. Diposaptono (2011) juga menjelasankan bahwa Tsunami dapat terjadi pada

gempa yang lemah atau kuat dengan berbagai kondisi cuaca apapun. Tsunami akan terjadi apabila kejadian gempa di laut berkekuatan lebih 6.5 Skala Richter (SR), pusat gempanya kurang dari 60 km, dan mengalami deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar. c. Perubahan Iklim

Maarif dalam Diposaptono dkk. (2009) menyatakan bahwa perubahan iklim terjadi akibat pemanasan global.Menurut Satria (2009), pemanasan global terjadi akibat naiknya suhu permukaan bumi dan meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan CFC yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca dan terperangkapnya energi matahari dalam atmosfer bumi. Masih dalam Diposaptono dkk. (2009), Maarif mengatakan bahwa perubahan iklim mengakibatkan perubahan fisik pada lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Perubahan fisik yang terjadi berupa intrusi air laut ke darat, gelombang pasang, banjir rob, kekeringan, genangan di lahan rendah, dan erosi pantai. Bencana banjir rob disebabkan banyak hal, mulai dari ulah manusia yang merusak lingkungan hingga alami (pasang surut). Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi kontribusi terhadap banjir rob. Pasang surut atau proses naik-turunnya muka air laut secara teratur yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari juga berkontribusi terhadap bencana banjir rob.

Diposaptono (2011) menyatakan pada beberapa tempat di Indonesia yang pernah diterjang gelombang pasang menyebabkan kerusakan rumah, perahu, jalan dan fasilitas lainnya rusak parah. Kerusakan tersebut diakibatkan tingginya gelombang pasang. Selain itu juga diperparah oleh tata ruang dan konstruksi bangunan yang kurang ramah lingkungan. IPCC (Intergovernment Panel on Climate Chage) memperkirakan bahwa terjadi laju kenaikan paras muka air laut (Sea Level Rise atau SLR) sekitar 3-10 cm per dasawarsa, tergantung pada derajat

Page 25: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

9

pemanasan global yang terjadi. Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang surut di Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, dan Kupang, selama sembilan tahun pengamatan menunjukkan rata-rata SLR di kawasan tersebut sekitar 8 mm/tahun. Isu tersebut sangat mengkhawatirkan Indonesia bahwa peristiwa tersebut mengakibatkan dataran pantai di pulau-pulau kecil yang rendah bisa diterjang banjir dan rob yang lebih dahsyat. Perubahan iklim, ternyata memiliki dampak yang sangat besar bagi kelestarian dan keberlanjutan kehidupan di wilayah pesisir. Betapa tidak, karena perubahan iklim tersebut juga berdampak pada timbulnya bencana-bencana lain seperti yang telah disebutkan di atas.

Aspek-Aspek Kerentanan Masyarakat Pesisir terhadap Bencana

Sekitar 60 persen penduduk Indonesia atau 140 juta jiwa terkonsentrasi di wilayah pesisir seluas 4 050 000 km2, dimana sekitar 80 persen atau 112 juta jiwa diantaranya adalah masyarakat miskin yang mayoritas hidup dengan kondisi sub standar. Meskipun wilayah Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam dan tidak dapat dihindari, tetapi dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko bencana yang menambah penderitaan masyarakat. Hasil dari kegiatan pembangunan yang dilakukan dalam waktu yang lama dan tenaga yang cukup besar dapat hilang seketika akibat bencana alam. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan dan strategi pembangunan agar lebih akomodatif terhadap mitigasi bencana (Ruswandi 2009).

Masyarakat pesisir kebanyakan adalah masyarakat miskin yang mayoritas hidup dengan kondisi sub standar sangat rentan terhadap bencana (Ruswandi 2009). Wilayah pesisir yang juga rentan terhadap bencana dapat meluluhlantakkan dengan sekejap seluruh fasilitas rumah, perahu, sumberdaya pesisir, dan sebagainya yang digunakan sebagai sumber penghidupan mereka sehari-hari. Jika semua itu telah rusak, maka akan berdampak pada kondisi sosial masyarakat dan perekonomiannya. Pernyataan tersebut didukung oleh Maarif (2010), bahwa setiap bencana mengganggu kehidupan masyarakat dan mata pencaharian atau bahkan mengubah modal sosial yang ada di masyarakat. Melalui perspektif kerentanan, bencana di wilayah pesisir tidak hanya disebabkan oleh becana fisik saja, seperti gempa bumi, Tsunami, banjir dan lainnya, tetapi juga dilihat dari tiga faktor, yaitu agen bencana fisik itu sendiri, setting fisik, dan kerentanan penduduk. Oleh karena itu dengan melakukan identifikasi dan analisis kerentanan masyarakat pesisir, selanjutnya dapat dijadikan sebagai permulaan proses membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Sekaligus, dapat menjadi masukan bagi masyarakat dan pemerintahan setempat untuk menyusun upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang mungkin akan terjadi.

Menurut Sunarti (2009), kerentanan (vulnerability) merupakan kebalikan dari ketangguhan (resilience), dimana kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep ketangguhan merupakan konsep yang luas, didalamnya termasuk kapasitas dan kemampuan merespon dalam situasi krisis/ konflik/darurat (emergency response). Dengan kata lain, kerentanan merupakan suatu konsep dimana suatu kelompok masyarakat tertentu tidak atau kurang memiliki kapasitas dan kemampuan tertentu untuk merespon suatu kondisi dalam situasi krisis/konflik/darurat (emergency response).

Page 26: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

10

Kerentanan masyarakat pesisir dapat dilihat dari empat aspek berikut (Satria 2012): 1) Sosial budaya dan sumberdaya manusia yang menyangkut pengetahuan dan

kemampuan menghadapi krisis. Menanggapi hal tersebut, hasil penelitian Anshori (2010) dapat disimpulkan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki tingkat pemahaman dan pengetahuan yang tinggi juga memiliki kesadaran yang lebih tinggi tentang pengurangan risiko bencana. Hal ini terlihat dari perbedaan tingkat pengetahuan antara kader Santri Siaga Bencana (SSB) dan masyarakat yang bukan kader SSB (non-SSB). Selain itu, aspek pengetahuan yang baik tentang bencana akan membantu masyarakat selamat dari amukan bencana yang akan datang. Untuk itu, kita perlu mengetahui dan memahami betul mengenai kejadian bencana yang ada. Masyarakat pesisir yang sarat dengan mitos bencana yang cenderung membuat mereka menjadi santapan keganasan bencana yang terjadi. Menurut Diposaptono (2011), terdapat mitos yang keliru yang selama ini berkembang di masyarakat yang membuat mereka menjadi korban, diantaranya:

a) Mitos pertama: Tsunami terjadi akibat gempa yang kuat. Padahal Tsunami dapat terjadi akibat gempa yang lemah ataupun kuat. Mitos ini cenderung membuat masyarakat pesisir yang menganutnya menjadi lengah ketika wilayah mereka terjadi gempa berkekuatan kecil. Seperti kasus yang terjadi di Mentawai, ketika gempa kuat yang berpusat di Bengkulu pada tahun 2007 terasa kuat hingga ke Kepulauan Mentawai namun tidak ada Tsunami. Pemahaman yang keliru ini membuat masyarakat menjadi panik ketika gempa besar datang.

b) Mitos kedua: Tsunami didahului laut surut secara mendadak, Tsunami tidak selalu didahului dengan kejadian seperti itu. Tsunami bisa saja datang langsung menyapu kawasan pesisir.

c) Mitos lain juga ada yang mengatakan bahwa gelombang pertama Tsunami merupakan gelombang terbesar. Ada kejadian, bahwa ternyata gelombang Tsunami terbesar datang pada gelombang susulan, mitos ini membuat masyarakat kurang waspada terhadap gelombang susulan yang mungkin akan menerjang wilayah mereka.

Dari cerita mitos mengenai kejadian Tsunami di atas juga berkaitan dengan kesiapan suatu masyarakat dalam mengahdapi kemungkinan bahaya bencana yang akan datang. Dengan pengetuahan yang mereka miliki mengenai bencana yang sering terjadi disekitar mereka akan membuat mereka lebih siap menghadapi kemungkinan bencana yang akan datang.

2) Aspek ekonomi yang menyangkut tingkat kemiskinan, akses pangan pokok, serta jenis pekerjaan. Menanggapi hal tersebut, Maarif (2010) menyebutkan bahwa sekitar 60 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di wilayah pesisir, dimana sekitar 80 persen adalah masyarakat miskin yang mayoritas hidup dengan kondisi sub standar. Sebagaimana yang sudah diketahui juga sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bekerja sebagai nelayan. Sejalan dengan itu, Gunawan (2007) juga mengatakan bahwa setiap kali terjadi bencana alam selalu menyumbangkan angka kemiskinan baru, padahal permasalahan kemiskinan yang ada belum tertangani.Hal inilah, yang memperkuat opini bahwa tingginya kerentanan masyarakat pesisir jika ditinjau dari aspek ekonomi.

Page 27: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

11

Hasil penelitian lainnya juga memaparkan bagaimana kerentanan masyarakat dari aspek ekonomi. Sadikin Amir (2012) dalam penelitiannya, menyebutkan kerentanan bencana pesisir juga berasal dari aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakatnya.Dalam penelitian yang dilakukan di Gili Indah Nusa Tenggara Barat, dimana wilayah tersebut merupakan tempat yang dikembangkan pada sektor wisata bahari. Pengembangan wilayah kearah tersebut mendorong peningkatan aktivitas pembangunan infrastuktur-infrastuktur yang mendukung aktivitas pariwisata.Sejalan dengan meningkatnya aktivitas wisata di wilayah itu juga menyebabkan peningkatan kedatang visitor ke daerah itu, baik wisatawan manca ataupun wisatawan domestik (nasional). Meningkatnya pembangunan dan jumlah pengunjung yang datang berhubungan dengan daya dukung kawasan untuk menampung segala aktivitas dilokasi tersebut yang terbatas. Jika tidak ditangani dengan baik, sudah dipastikan wilayah tersebut tidak akan bertahan lama dan kerentanan wilayah tersebut terhadap bencana juga semakin tinggi. Sejalan dengan itu, Ruswandi (2009) menyatakan bahwa ketika terjadi bencana alam, kerentanan wilayah pesisir tersebut akan memperbesar risiko bencana sehingga kegiatan ekonomi dapat terhenti dan kemiskinan akan meningkat.

3) Aspek infrastruktur dan permukiman. Terlihat setiap kejadian gempa yang terjadi di suatu kawasan, tidak sedikit infrastuktur dan pemukiman warga yang rusak dan hancur. Diposaptono (2011) mengatakan bahwa, sebenarnya gempa tidak membunuh, yang membunuh adalah bangunan roboh akibat hentakan gempa. Hal ini karena, konstruksi bangunan yang tidak tahan gempa dan material bangunan yang digunakan kurang memenuhi syarat.

4) Aspek lingkungan. Degradasi lingkungan yang kian terjadi menyebabkan wilayah pesisir juga dapat menjadi suatu faktor penentu terjadinya suatu bencana di wilayah pesisir. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa degradasi lingkungan dalam hal perubahan iklim dapat mengakibatkan berbagai macam bencana lain di wiliyah pesisir (Diposaptono dkk. 2009). Merujuk hasil penelitian Amir (2012), pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir di sektor pariwisata dapat menyebabkan degradasi lingkungan. Hal ini karena, kecenderungan yang dilakukan pada kegiatan pengembangan dan pemanfaatan tersebut tidak ramah lingkungan. Pengembangan dan pemanfaatan tersebut membuat wilayah pesisir semakin rentan terhadap bencana. Kegiatan wisata bahari di wilayah pesisir perkembangannya diiringi dengan peningkatan jumlah pengunjung dan pembangunan infrastruktur untuk memfasilitasi kegiatan pariwisata. Hal tersebut menyebabkan degradasi lingkungan yang berdapak pada semakin meningkatnya tingkat karawanan terhadap bencana pesisir. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan/strategi pengembangan wilayah wisata bahari dengan mitigasi bencana secara fisik yang berpedoman padaman pada undang-undang atau kebijakan mengenai perencanaan tata wilayah dan non-fisik dengan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat perlunya menjaga kelestarian lingkungan.

Selain empat aspek di atas, faktor kerentanan masyarakat juga dapat dilihat

dari aspek kelembagaan yang ada pada masyarakatnya. Berdasarkan hasil penelitian Misron (2009), diketahui bahwa kelembagaan penanggulangan bencana

Page 28: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

12

di Kabupaten Lampung Barat belum berjalan maksimal dalam upaya menekan risiko kerugian korban bencana. Hal ini karena belum optimalnya kinerja Satuan Penanggulangan Bencana yang hanya sebatas pada pada unsur pemerintah dan organisasi penanggulangan bencana resmi. Sementara masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kekuatan inti tidak diberi ruang untuk berpatisipasi lebih dalam penanggulangan bencana.

Sejalan dengan hal di atas, Diposaptono (2011) mengatakan salah satu upaya komprehensif dalam melakukan mitigasi gempa adalah dengan meningkatkan kelembagaan dan tata laksana koordinasi. Aspek ini memungkinkan pemerintah menangani aspek bencana dengan efektif, menggalang dan mendayagunakan sumber daya yang ada.Selain itu, dari penelitian yang dilakukan Badri (2008), bahwa pada awalnya penanganan bencana di Yogyakarta mengalami keterlambatan pemberian bantuan. Hal ini karena masalah jalur komunikasi antara pusat dan daerah tidak efektif, sehingga menyebabkan terjadinya tumpang tindih peran lembaga-lembaga yang bersifat koordinatif.

Kaitan antara Bencana dan Kerentanan Masyarakat Pesisir

Pada kagiatan Pelatihan Penanganan Bencana II LPPS-KWI, pada 17 November Tahun 2000, Naryanto menyampaikan bahwa pada umumnya bencana terjadi akibat dari kondisi yang rawan terkena suatu bencana yang potensial. Karakteristik dari bencana secara umum mempunyai pengertian sebagai berikut (Naryanto 2000 dalam Seri Forum LPPS 2001): a) Gangguan terhadap kehidupan normal, yang biasanya merupakan gangguan

cukup besar (parah), mendadak dan tidak terkirakan terjadinya, serta meliputi daerah dengan jangkauan luas.

b) Bersifat merugikan manusia, seperti kehilangan jiwa, luka di badan, kesengsaraan, gangguan kesehatan, serta kerugian harta benda.

c) Memengaruhi struktur sosial masyarakat, seperti kerusakan sistem pemerintahan, gedung-gedung atau bangunan, sarana komunikasi dan pelayanan masyarakat.

d) Berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia, seperti perumahan, makanan, pakaian, obat-obatan, pelayanan sosial dan sebagainya.

Pengurangan risiko bencana (disaster mitigation), meliputi penanganan seluruh aspek, baik yang diakibatkan oleh manusia maupun oleh alam. Sebagian dari aspek tersebut telah ditangani oleh badan-badan tertentu. Namun, aspek lainnya seperti analisis kerentanan sosial (social vulnerability) masih dalam taraf permulaan. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan analisis kerenatanan masyarakat perlu dikembangkan.

Dampak bencana dapat berlangsung dalam jangka waktu yang singkat atau semetara, tetapi juga bisa dalam jangka wantu yang panjang. Dampak bencana dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Ketika suatu kejadian bencana menyengsarakan penduduk yang tertimpa bencana dan merusak lingkungan secara langsung pada saat bencana terjadi maka dapat dikatakan bencana tersebut memberikan dampak langsung. Dampak tersebut dapat berupa; menimbulkan kematian, sakit, kecacatan, stress dan trauma emosional, menghancurkan pemukiman dan bisnis, serta menimbulkan musibah ekonomi dan kesengsaraan financial. Disamping itu, bencana juga dapat membrikan dampak secara tidak langsung seperti timbulnya permasalahan keluarga nelayan, hilangnya atau

Page 29: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

13

rusaknya sumber mata pencarian nelayan yang sulit pulih dalam jangka waktu relatif cepat, pemberian bantuan yang tidak tepat sehingga menimbulkan masalah berupa kesulitan korban untuk bangkit kembali, kesulitan ekonomi, serta menyebabkan masyarakat tidak mampu menghadapi bencana di kemudian hari. Pada umunya penderitaan paling berat dalam setiap bencana terutama dialami oleh orang miskin.

Oleh karena itu, setiap kejadian bencana memiliki kaitan erat dengan tingkat kerentanan suatu masyarakat. Dengan mengidentifikasi tingkat kerentanan suatu masyarakat terhadap bencana dapat menjadi pedoman di kemudian hari untuk membuat sebuat formulasi strategi pengurangan risiko bencana yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Misalnya, pada suatu wilayah yang memiliki potensi terjadinya gempa, dengan mengidentifaksi tingkat kerentanan dari bentuk infrastruktur rumah maka untuk selanjutnya dapat acuan untuk melakukan suatu tindakan pengurangan risiko bencana. Misalnya dengan membangun bangunan rumah anti gempa dan juga terbuat dari material bangunan yang tahan dan ramah terhadap gempa.

Strategi Koping Masyarakat

Sunarti (2009) mengutip beberapa sumber yang mendefinisikan istilah koping sebagai berikut: a) Menurut Achir Yani (1997); koping adalah perilaku yang terlihat dan

tersembunyi yang dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh stres.

b) Safarino (2002) koping ialah usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stress yang dihadapi.

c) Haber dan Ruyon (1984); koping adalah bentuk perilaku dan pikiran (positif dan negatif) yang dapat mengurangi kondisi yang membebani individu agar tidak menimbulkan stress.

Sebagaimana yang telah diketahui, setiap kejadian bencana pasti akan menimbulkan dampak atau kerugian tertentu terhadap korban bencana. Baik itu dampak atau kerugian secara materil, lingkungan, atau psikologi yang diluar kemampuan korban bencana untuk menghadapinya. Untuk itu, upaya pengurangan risiko bencana adalah suatu bentuk manajemen bencana yang dapat mengurangi dampak kejadian bencana tersebut. Upaya ini juga dapat dikatakan sebagai strategi koping masyarakat atau pemerintah dalam upaya mengurangi kondisi yang membebani individu yang tertimpa bencana. Hal ini sama halnya dengan definisi koping oleh Haber dan Ruyon (1984).

Disisi lain, strategi koping juga dapat dilakukan dengan upaya menurunkan tingkat kerentanan masyarakat yang dilihat dari aspek sosial budaya, ekonomi, lingkungan, serta kelembangaan.

Sunarti (2009), menjelaskan bagaimana upaya strategi sosial budaya dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat kerentanan dilihat dari aspek ini. Di bidang sosial, strategi pemanfaatan jaringan sosial merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara formal dan informal dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan. Sejalan dengan hal itu, Sunarti (2009) mengutip Gunawan dan Sugiyanto (1999), dimana pemanfaatan jaringan ini terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan meminjam

Page 30: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

14

uang kepada tetangga, berhutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan bahkan meminjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya.

Secara budaya, masyarakat pesisir memiliki kepercayaan atau mitos atau pemahaman tersendiri terhadap bencana. Banyak mitos-mitos yang salah berkembang pada masyarakat mengenai bencana. Dengan meningkatkan pengetahuan dengan memberikan pemahaman masyarakat pesisi tentang bencana setempat yang lebih jelas dapat menjadi strategi koping untuk merubah mitos serta kepercayaan mereka yang salah terhadap bencana. Baik itu dengan memberikan pemahaman apa itu bencana (gempa bumi, Tsunami, rob dan sebagianya), pengenalan sebab terjadinya bencana dan ciri-ciri akan terjadinya bencana, serta memberikan pengetahuan kepada masyarakat pesisir bagaimana upaya mengevakuasi diri saat terjadi bencana. Kemudian apa penyebab terjadinya bencana. Membekali masyarakat dengan pengetahuan yang lebih jelas mengenai dampak bencana tidak hanya pada pada rusaknya infrastruktur, timbulnya korban jiwa, dan kerugian materil dan fisik lainnya tetapi juga ada modal sosial yang turut hilang setelah bencana. Hal tersebut dapat meningkatkan motivasi mereka untuk lebih waspada dan melakukan upaya mengurangi tingkat kerentanannya terhadap bencana.

Strategi koping yang dilakukan dalam menghadapi masalah ekonomi meliputi usaha untuk menambah pendapatan dan usaha penghematan. Kedua strategi ini berbeda dalam pelaksanaannya. Usaha penambahan pendapatan adalah strategi untuk meningkatkan ketersediaan sumberdaya ekonomi dalam keluarga (Sunarti 2009). Darcon (2002) dalam Sunarti (2009) menyebutkan bahwa strategi koping juga termasuk usaha mendapatkan penghasilan tambahan ketika kesulitan terjadi. Selanjutnya, Puspitawati (2008) dalam Sunarti (2009) menjelaskan tentang strategi penghematan merupakan strategi untuk mengurangi pengeluaran yang tidak penting tanpa meningkatkan status ekonomi keluarga.

Manajemen Bencana

Pengkajian risiko bencana merupakan salah satu kegiatan dari penanggulangan bencana. Hal ini dimaksudkan untuk memberi informasi yang lebih rinci dan jelas tentang kemungkinan besarnya bencana, obyek yang terkena serta risiko yang dihadapi. Dengan mengetahui itu semua maka instansi yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana dapat melakukan upaya manajemen bencana yang lebih baik serta langkah-langkah perencanaan dan kesiapsiagaan yeng lebih efisien (Naryanto 2000).

Manajemen bencana merupakan sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana (Misron 2009). Definisi yang lebih luas dari bencana ciptaan manusia menurut Arifin (2006) dalam Misron (2009), mengkui bahwa semua bencana disebabkan oleh ulah manusia karena manusia telah memilih untuk berada pada fenomena alam yang menyebabkan pengaruh-pengaruh yang merugikan manusia. Bencana-bencana dapat dipandang sebagai serangkaian fase-fase dari kontinum waktu. Mengidentifikasi dan memahami fase-fase ini membantu untuk menggambarkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan bencana dan member konsep tentang aktivitas-aktivitas manajemen bencana yang memadai.

Page 31: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

15

Pemaknaan dari konsep manajemen bencana memasukkan beberapa komponen penting seperti sekumpulan kebijakan dan keputusan keputusan administratif dan aktivitas-altivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana pada tanggal 26 April 2007. Kemudian diikuti dengan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2008 tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana, Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2008 tentang peran serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam penanggulangan bencana.

Dengan dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Nasional dan Daerah yang berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2004, membantu berjalannya fungsi keputusan administratif secara efektif dalam pelaksanaan tugas penanggulangan bencana baik di tingkat nasional, provinsi mapun di tingkat daerah. Dimana pedoman pembentukannya disiapkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Nasional untuk membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.

Selain itu, United Nation Development Programme (1992) dalam Nasution (2005) kaitannya dengan konsep manajemen bencana yang memasukkan konsep aktivitas-aktivitas operasional menjelaskan bagaimana fase-fase menajemen bencana itu dilakukan. Terdapat dua fase dalam manajemen bencana, yaitu: (1) Fase pemulihan pasca bencana (memberikan bantuan kepada korban bencana, rehabilitasi, dan rekonstruksi), dan: (2) Fase pengurangan risiko pra bencana (Mitigasi dan Kesiapan).

Gambar 1 Fase manajemen bencana

Sumber: UNDP 1992 dalam Nasution (2005)

Fase pemulihan pasca bencana

Fase pengurangan risiko pra bencana

KESIAPAN

MITIGASI

BENCANA

BANTUAN

REHABILITASI

REKONSTRUKSI

Page 32: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

16

UNDP (1992) dalam Nasution (2005) menjelaskan setiap fase manajemen bencana di atas. Fase Pemulihan adalah periode yang munculnya mengikuti suatu bencana yang tiba-tiba sekalipun tindakan-tindakan pengecualian harus dilakukan untuk mencari dan menemukan yang bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti tempat berteduh, air, makanan, dan perawatan medis. Kemudian rehabilitasi merupakan tindakan-tindakan atau keputusan yang diambil setelah terjadi satu bencana. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kondisi-kondisi kehidupan sebelumnya dari satu masyarakat yang terkena bencana. Selain itu, upaya rehabilitasi juga mendorong dan memfasilitasi penyesuaian seperlunya terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan oleh bencana. Rekonstruksi diartikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk membangun kembali satu komunitas setelah satu periode rehabilitasi akibat dari satu bencana. Tindakan-tindakan mencakup pembangunan rumah yang permanen, pemulihan semua pelayanan-pelayanan secara penuh, dan memulai kembali secara tuntas dari keadaan sebelum bencana. Pada fase pengurangan risiko bencana di atas, UNDP (1992) dalam Nasution (2005) memasukkan sebuah konsep mitigasi. Sejalan dengan konsep ini, Diposaptono (2011) dan Ruswandi (2009) menjelaskan bahwa konsep mitigasi bencana dapat dilakukan secara fisik maupun non-fisik. Kedua sistem tersebut bisa saling melengkapi, bergantung pada daerah rawan Tsunami yang akan ditinjau. Oleh karena itu, dalam upaya melakukan mitigasi, perlu dipertimbangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya (Diposaptono 2011). Fase pengurangan risiko selanjutnya adalah kesiapan. Kesiapan terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk meminimalisasi kerugian dan kerusakan-kerusakan, mengorganisasi pemindahan sementara orang-orang dan properti dari lokasi yang terancam, dan memfasilitasi secara tepat dan penyelamatan yang efektif.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan konsep manajemen bencana merupakan suatu konsep penting yang harus dipahami. Konsep ini mencakup seluruh kebijakan-kebijakan dan keputusan administratif yang sudah seharusnya menjadi tugas pemerintah dalam merancang kebijakan-kebijakan pembangunan dan sistem pengelolaan sumberdaya yang mengarah pada kesiapan dan mitigasi bencana. Dengan demikian pemerintah juga bisa melibatkan pihak swasta yang seringkali memiliki andil besar dalam aktivitas pengelolaan bencana alam agar memperhatikan aspek mitigasi bencana alam didalamnya.

Tidak hanya melibatkan peran pihak swasta, masyarakat yang secara langsung tinggal dan berinteraksi secara dekat dengan alam juga perlu memperhatikan aspek-aspek upaya penanggulangan bencana, terutama dari segi kesiapan mereka dalam menghadapi gejolak alam yang mereka tempati dan berpotensi bencana. Kesiapan masyarakat bisa ditingkatkan dengan membekali mereka dengan pengetahuan, sosialisasi mengenai bencana dan penanggulangannya melebihi dari pengalaman mereka menghadapi bencana yang terjadi kemudian melakukan pemulihan pada pasca bencana. Konsep penanggulangan bencana tidak hanya dilakukan setelah bencana terjadi, tetapi juga ada aktivitas pengurangan risiko pra bencana sesuai dengan fase manajemen bencana yang telah dirumuskan oleh UNDP (1992) dalam Nasution (2005).

Melalui dua konsep fase pengurangan risiko bencana yang dirumuskan oleh UNDP di atas, sehingga dapat ditambahkan satu konsep penting lagi pada pase tersebut, yaitu edukasi (aducation) terhadap masyarakat yang rawan bencana. Hal

Page 33: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

17

ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Anshori (2010) sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan. Menurut Anshori Program Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di jember akan lebih efektif apabila melalui upaya pemberdayaan komunitas yang diupayakan dengan pendidikan pengurangan risiko bencana sejak dini, dan membantu komunitas untuk mengelola persiapan dana kedaruratan bencana. Upaya tersebut dapat dilakukan sebagai upaya preventif dan juga pada masa pengurangan risiko bencana. Terbukti pada hasil penelitiannya, bahwa upaya yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam program Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Kabupaten Jember tergolong sangat efektif, karena dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa Santri Siaga Bencana (SSB) yang telah dibekali dengan pengetahuan tentang bencana setempat memiliki tingkat pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang bukan berasal dari SSB. Untuk itu, upaya serupa seperti yang telah dilakukan oleh NU perlu dilakukan dan terus dikembangkan untuk mengedukasi masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.

Oleh karena itu, fase pengurangan risiko bencana dapat diusulkan menjadi tiga sebagai berikut: 1) Mitigasi baik secara fisik dan non fisik 2) Kesiapsiagaan 3) Edukasi masyarakat/membekali pengetahuan dan sosialisasi

Kesiapsiagaan, Adaptasi, dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Menekan jumlah korban jiwa dan kerugian materi dapat dicapai antara lain

dengan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. Kesiapsiagaan menyebabkan masyarakat dapat bertindak cepat dan tepat dalam menyelamatkan diri dan harta bendanya dari dampak bencana yang melanda.

Kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadinya suatu bencana.Kesiapsiagaan suatu komunitas tidak selalu terlepas dari aspek-aspek seperti tanggap darurat, pemulihan, dan rekonstruksi serta mitigasi. Untuk menjamin tercapainya suatu tingkat kesiapsiagaan tertentu, diperlukan berbagai langkah persiapan pra-bencana, sedangkan keefektifan dari kesiapsiagaan masyarakat dapat dilihat dari implementasi kegiatan tanggap darurat dan pemulihan pascabencana. Pada saat pelaksanaan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana, harus dibangun juga mekanisme kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan bencana berikutnya. Hal ini sesuai dengan pemaparan fase manajemen bencana oleh UNDP (1992) pada gambar 2.1 yang telah dijelaskan sebelumnya.

Selain itu, juga perlu diperhatikan dinamika kondisi kesiapsiagaan suatu komunitas. Tingkat kesiapsiagaan suatu komunitas dapat menurun setiap saat dengan berjalannya waktu dan dengan terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya, politik dan ekonomi dari suatu masyarakat. Karena itu sangat diperlukan untuk selalu memantau dan mengetahui kondisi kesiapsiagaan suatu masyarakat dan terus melakukan usaha untuk sosialisasi dan pelatihan.

Sejalan dengan itu, Naryanto dkk. (2009) mengatakan bahwa dalam pengembangan kesiapsiagaan dari suatu masyarakat, terdapat beberapa hal yang memerlukan perhatian, yaitu perencanaan penanganan situasi darurat yang tepat

Page 34: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

18

dan selalu diperbaharui (tidak tertinggal), struktur organisasi penanggulangan bencana yang memadai, inventarisasi sumberdaya dan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas, meningkatkan kerjasama antar lembaga/organisasi terkait, memantau dan menjaga kesiapan semua elemen, pelatihan dan penyadaran masyarakat serta penyedian informasi yang memadai dan akurat.

Untuk mendukung usaha peningkatan kesiapsiagaan, diperlukan adanya kebijakan dan peraturan yang memadai, instansi/unit penanggulangan bencana yang permanen dan bersifat khusus yang memantau dan menjaga tingkat kesiapsiagaan (Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Maarif 2010) dan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Organisasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan bencana (Anshori 2010), identifikasi, ancaman, bencana ,perencanaan keadaan darurat, serta melibatkan berbagai organisasi dan sumberdaya yang terampil dan handal.

Menurut Naryanto dkk. (2009), kesiapsiagaan memerlukan elemen-elemen yaitu : 1) Sistem komunikasi darurat sistem peringatan dini: dilakukan untuk

pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.

2) Sistem aktivasi organisasi darurat 3) Pusat pengendalian operasi darurat sistem survai kerusakan pengaturan.

Mitigasi bencana dapat digunakan sebagai landasan atau pedoman dalam perencanaan pembangunan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman. Naryanto dkk. (2009) juga menjelaskan bahwa mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana baik yang termasuk bencana alam (natural disaster) maupun bencana akibat intervensi manusia dan hendaknya merupakan kegiatan yang rutin dan berkelanjutan (sustainable).

Diposaptono (2011) menjelaskan istilah mitigasi dalam terminologi perubahan iklim berbeda dalam terminologi bencana. Mitigasi dalam terminologi becana diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan risiko baik oleh alam maupun manusia.Istilah mitigasi dalam terminologi bencana sudah mencakup adaptasi.Berbeda dengan Mitigasi dalam terminologi perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi-emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sumbernya atau dengan meningkatkan kemampuan alam menyerap emisi tersebut. Sedangkan adaptasi merupakan upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.

Menurut Naryanto dkk. (2009) adaptasi perubahan iklim berarti meminimalkan kerusakan-kerusakan yang diproyeksikan dapat terjadi pada aspek sosio-ekonomi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan fisik pada iklim. Adaptasi dapat dilakukan melalui perbaikan sistem pada sumber-sumber yang terkena dampak atau melalui penggunaan teknologi yang dapat mencegah atau mengurangi dampak dan/atau risiko yang mungkin terjadi, sehingga akan mengurangi biaya yang diperlukan dibandingkan melakukan kegiatan adaptasi.Pada umumnya pilihan-pilihan yang banyak dilakukan adalah adaptasi melalui penggunaan teknologi. Namun demikian, usaha adaptasi juga dapat

Page 35: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

19

dilakukan secara individu atau masyarakat dengan cara mudah, murah dan sederhana.

Dari setiap bencana yang terjadi di Indonesia, ada beberapa pengalaman yang dapat diambil.Pengalaman tersebut menuntun dan mengisyaratkan agar seluruh elemen masyarakat melakukan suatu hal pencegahan dan kesiapsiagaan, baik sebelum terjadi bencana, saat bencana, ataupun pasca bencana. Beberapa kejadian yang menjadi pengalaman berharga dari setiap kejadian tersebut antara lain (Gunawan 2007): 1) Terpisahnya keluarga selama proses penyelamatan diri, tidak sempat membawa

surat/dokumen penting, sebagai kelengkapan perlindungan hokum. 2) Kerusakan ligkungan dan kerugian harta benda yang sangat besar, sehingga

setiap bencana selalu diikuti dengan bertambah besarnya permasalahan sosial dan semakin kompleks, sementara itu permasalahan sosial yang ada masih belum tertangani. Angka kemiskinan dan ketelantaran menjadi semakin besar

3) Pelayanan yang diberikan (baik oleh pemerintah maupun masyarakat) lebih terkonsentrasi pada pelayanan darurat (emergency response)

4) Masalah kesehatan yang melanda pengungsi di lokasi penampungan adalah penyakit diare akut dan infeksi saluran pernafasan sebagai indikasi kurangnya air bersih, toilet dan sanitasi

5) Perencanaan keluarga berantakan karena ketidakpastian kapan masa pengungsian berakhir. Hilangnya harta benda, pekerjaan, dan ketelantaran pendidikan anak semakin mempersulit proses pemulihan kehidupan keluarga

6) Setiap kali terjadi bencana alam, selalu menyumbangkan angka kemiskinan baru, pada hal permasalahan kemiskinan yang ada belum tertangani.

Dari uraian di atas maka kesiapsiagaan dan mitigasi memiliki kaitan yang sangat penting terhadap tanggap bencana dari dini. Dari pengalaman tersebut, setidaknya mengajarkan kita agar dalam menghadapi bencana tidak melalui pendekatan resposif bencana (penanggulangan yang dilakukan ketika sudah terjadi bencana) tetapi dengan upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan sebelum terjadi becana, upaya penanggulangan pada saat bencana, dan pasca bencana. Pernyataan ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Maarif (2010) bahwa paradigma manajemen bencana seharusnya diubah dan lebih menekankan pada beberapa upaya dalam pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan sebelum bencana. Disamping itu, penanganan bencana tidak hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga keterlibatan peran aktif pemangku kepentingan lainnyaseperti masyarakat, dan pelaku pembangunan lainnya.

Untuk merubah paradigma yang demikian tidaklah mudah tetapi perlu kita lakukan.Selain itu, kesiapan terhadap bencana tidak hanya dapat kita lakukan dengan pendekatan prediksi bencana saja. Pada kenyataannya, bencana yang terjadi tidak hanya bencana yang dapat diprediksi kedatangannya melalui ciri fisik yang terlihat, tetapi ada beberapa yang memiliki sifat yang tidak pasti dan sulit untuk diprediksi kedatangannya.

Upaya siap siaga bisa diilhami dari tindakan pemerintah yang membuat kebijakan-kebijakan, program pembangunan dan sistem pengelolaannya mengarah pada upaya mitigasi bencana. Undang-Undang No. 27 tahun 2007 yang dikeluarkan pemerintah berisi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PWP3K) dengan menitikberatkan pada upaya preventif pada prabencana. Pasal 59 ayat 4 UU No. 27 tahun 2007 berisi tentang PWP3K. Maka

Page 36: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

20

untuk melaksanakan ketentuan pasal tersebut perlu ditetapkan sebuah peraturan pemerintah tentang mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI (Permen RI) No. 64 tahun 2010 tentang mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Beradasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah ada, setiap orang yang melakukan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berpotensi mengakibatkan kerusakan dan dampak penting wajib melakukan mitigasi.

Berikut bentuk kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana yang dicantumkan dalam Pasal 15 Permen RI No 64 Tahun 2010: 1) Ayat (1): Mitigasi terhadap jenis bencana gempa bumi, yaitu:

a. penggunaan konstruksi bangunan tahan gempa, b. penyediaan tempat logistik, c. penyediaan prasarana dan sarana kesehatan, dan d. penyediaan prasarana dan sarana evakuasi.

2) Ayat (2): Mitigasi terhadap jenis bencana Tsunami, yaitu: a. Penyediaan sistem peringatan dini, b. Penggunaan bangunan peredam Tsunami, c. Penyediaan fasilitas penyelamatan diri, d. Penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana Tsunami, e. Penyediaan prasarana dan sarana kesehatan, f. Vegetasi pantai, g. Pengelolaan ekosistem pesisir.

Selain dengan upaya regulasi dari pemerintah yang berkaitan dengan upaya-upaya pengurangan risiko bencana (PRB), pemerintah juga bertanggung jawab untuk membekali masyarakatnya dengan pengetahuan yang lebih menyayangi lingkungan dan tanggap bencana. Dengan demikian masyarakat menjadi lebih tahu bagaimana menyikapi dan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Selain itu, bagi masyarakat pemanfaat sumberdaya alam untuk mendukung aktivitas ekonomi ataupun pemanfaat dari pihak swasta untuk lebih bijaksana dalam memanfaatkan kesedian lingkungan untuk aktifitas ekonomi, juga lebih memperhatikan aspek lingkungan yang seimbang dan terjaga dengan baik. Selain melakukan tindakan preventif seperti itu, juga perlu dilakukan tindakan revitalisasi pasca bencanabaik dari struktur fisik (bangunan yang rusak, korban luka, dan bentuk materi fisik lainnya), sosial, psikologis, dan aspek ekonomi. Karena itu mitigasi bencana juga membutuhkan aspek kesiapsiagaan dari masyarakatnya.

Sejalan dengan hal itu, Nasution (2005), dari hasil penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa strategi program kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas dapat dilakukan melalui perancangan program penguatan kapasitas masyarakat, penguatan kapasitas kelembagaan dan pembentukan jejaring dengan pihak terkait dalam penanggulangan bencana. Kemudian dengan mengetahui faktor-faktor penyebab, memahami langkah-langkah antisipasi terjadinya bencana tanah longsor dan sosialisasi oleh tim siaga bencana yang dilakukan oleh masyarakat menggunakan leaflet di Desa Kidangpanjung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung melalui program kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat berbuah hasil yang sangat baik. Masyarakat di sekitar daerah bencana mempunyai pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pemeliharaan lingkungan, bahaya

Page 37: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

21

tanah longsor, dan memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi bencana.

Strategi Mitigasi Bencana

Untuk menyusun rencana atau mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian risiko. Mitigasi bisa dilakukan melalui penataan ruang, penataan bangunan, serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, dan sebagainya. Berikut disajikan tabel yang memuat informasi tentang dimensi dan aspek kerentanan suatu wilayah serta strategi mitigasi yang dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang terdahulu. Tabel 2 Strategi mitigasi yang dilakukan berdasarkan dimensi dan aspek

kerentanan

Dimensi Kerentanan Aspek Kerentanan Strategi Mitigasi Bencana

Dimensi ekologis

Degradasi lingkungan seiring meningkatnya aktivitas pngembangan dan pembangunan wilayah pesisir (WP) ke sektor pariwisata bahari di Gili Indah (Amir 2012)

Pengembangan dan pembangunan wisata bahari yang memerhatikan aspek daya dukung lingkungan, serta mengoptimasikan pengelolaan dan pemanfaatan wisata bahari dengan konsep keterpaduan (darat dan laut) dan mitigasi.

Kerentanan alam dari aspek geologis dan geografis Pulau Weh (Purbani 2012)

• Penataan WP berbasis mitigasi (sesuai pasal 36 Bab X dalam UU No. 27 Tahun 2007) • Sosialisasi bencana gempa dan Tsunami kepada

masyarakat dan kelembagaan

Wilayah pesisir juga rentan terhadap tekanan lingkungan dan bencana (Diposaptono 2005)

Strategi mitigasi dilakukan dengan strategi pengelolaan SDP dan pembangunan WP yang terpadu, menyeimbangkan kepentingan antara pemanfaatan dan pembangunan di wilayah pesisir laut, kegiatan konservasi, dan mitigasi bencana.

Dimensi sosial, ekonomi, dan

budaya

Kerentanan sosial masyarakat pesisir (60% penduduk Indonesia di WP 80%-nya adalah miskin) dengan kerentanan terhadap bencana sangat tinggi (Ruswandi 2009)

• Kebijakan strategi pembangunan yang lebih akomodatif mitigasi bencana (quarter track strategy: pro growth, pro job, pro poor, pro mitigation) dengan dua landasan strategi pembangunan: berkelanjutan dan berperspektif mitigasi • Arah kebijakan pembangunan WP dengan mitigasi:

secara fisik (membangun sarana), dan: secara non fisik (meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan untuk mencapai co-management)

Meningkatnya aktivitas penebangan pohon baik legal maupun illegal, hujan deras, pendangkalan sungai, pada sungai tidak terdapat pintu air di Kabupaten Jember bencana banjir

• Implementasi Kepres No. 3 Tahun 2003 tentang Organisasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi • Meningkatkan pemahaman dan kesadaran lebih

tinggi tentang pengurangan risiko bencana pada kel SSB • Meningkatkan kerjasama Program Pengelolaan

Risiko Bencana Berbasis Komunitas antara NU dan

Page 38: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

22

dan rob (Anshori 2010) Pemerintah

Secara sosiologis, bencana mengganggu kehidupan masyarakat dan mata pencaharian atau bahkan mengubah modal sosial yang ada di masyarakat (Maarif 2010)

• Pemerintah: meletakkan dasar hokum yang menjadi landasan bagi setiap upaya dalam penanggulangan bencana (penetapan UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana) • Strategi penanggulangan bencana yang efektif

dilakukan dengan upaya preventif, bantuan terhadap korban becana, dan pemulihan pasca bencana, serta didukung dengan teknologi yang tepat yaitu: teknologi informasi dan komunikasi

Kelalaian masyarakat setempat dalam pengelolaan fungsi lahan menyebabkan bencana longsor yang sering terjadi di Desa Kidangpanjung Kabupaten Bandung (Nasution 2005)

Edukasi masyarakat: melalui program kesiap siagaan bencana berbasis masyarakat sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pemeliharaan lingkungan, bahaya tanah longsor, dan memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi bencana.

Dimensi kelembagaan

dan tata laksana koordinasi

Kelembagaan penanggulangan bencana yang belum berjalan maksimal, hanya mengoptimalkan dari pemerintahan saja (Misron 2009)

Empat strategi yang diusulkan • Upaya penyempurnaan dokumen Protap

Penanggulangan Bencana • Pengembangan pengadaan pos anggaran

penanganan bencana mulai dari tahap mitigasi, tanggap darurat hingga pasca bencana • Pengembangan keterlibatan masyarakat dalam

penanganan bencana di Kabupaten Lampung Barat • Pengelolaan partisipasi pihak swasta dalam

penanganan bencana di Kabupaten Lampung Barat.

Tindakan penanganan bencana yang lambat menyebabkan pengiriman bantuan tidak efektif dan terbengkalainya korban bencana (Badri 2008)

Melibatkan tokoh masyarakat dalam penanganan bencana di lingkungannya dan menjadi fasilitator sosial dan kompak dengan kelompok, sehingga relatif lebih cepat.

Kerangka Pemikiran

Bencana alam di wilayah pesisir baik yang terjadi secara alami ataupun karena aktivitas manusia dikawasan tersebut berpengaruh terhadap kerentanan masyarakat pesisir dalam menghadapi kemungkinan bahaya bencana terjadi. Kejadian bencana yang mungkin saja terjadi di suatu wilayah menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat yang menempati tempat tersebut. Bencana alam seperti gempa bumi, Tsunami, banjir rob, dan bencana pesisir lainnya dapat setiap saat mengintai dan masyarakat setempat dan merenggut korban jiwa, kekayaan, merusak komponen-komponen strategis bagi perekonomian masyarakat pesisir.

Oleh karena itu, upaya pengurangan risiko bencana sangat perlu dilakukan dalam upaya mengurangi kemungkinan dampak buruk yang dapat terjadi akibat bencana. Analisis tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dapat mempermudah masyarakat untuk menyusun upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah setempat untk mengurangi risiko bencana. Dalam

Page 39: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

23

penelitian ini akan ditelaah hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir yang dilihat dari empat aspek kerentanan seperti; sosial budaya; ekonomi; lingkungan; dan kelembagaan dengan upaya pengurangan risiko bencana di wilayah pesisir, baik upaya preventif bencana (pengurangan risiko dengan mitigasi, kesispsiagaan, dan edukasi masyarakat), upaya penanggulangan saat terjadi bencana, dan upaya penanggulangan pasca bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi).

Gambar 2 Kerangka Pikir Penelitian

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian (H1) sebagai berikut: 1) Terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada variabel tingkat

pemanfaatan jaringan sosial dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya.

2) Terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada variabel tingkat kepercayaan masyarakat dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya.

3) Terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada varibel tingkat pengetahuan masyarakat dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya.

4) Terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada variabel tingkat kesejahteraan masyarakat dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya.

Fokus penelitian Dapat dilihat dari Hubungan yang diteliti

Bencana Alam di Wilayah Pesisir

Tingkat Kerentanan

Aspek sosial budaya: - Tingkat pemanfaatan

jaringan sosial - Tingkat kepercayaan - Tingkat pengetahuan

Aspek ekonomi:

- Tingkat kesejahteraan

Aspek lingkungan: - Tingkat

pemanfaatan SDA

Aspek kelembagaan: ‐ Tingkat kinerja

lembaga

Upaya pengurangan risiko bencana (PRB): Implementasi rekonstruksi bangunan rumah pasca

bencana

Page 40: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

24

5) Terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada variabel tingkat pemanfaatan SDA dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya.

6) Terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada variabel tingkat kinerja lembaga dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya.

Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan unsur penelitian berupa petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur (Singarimbun dan Effendi, 2008). Tujuan penggunaan definisi operasional adalah untuk membantu peneliti dalam menggunakan variabel dan mengetahui bagaimana cara pengukuran variabel dalam penelitian ini, maka dikembangkan beberapa definisi operasional sebagai berikut:

1) Tingkat Kerentanan

Kerentanan merupakan tingkat kekurangan kemampuan suatu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu.Tingkat kerentanan merupakan suatu kondisi tinggi rendahnya kapasitas dan kemampuan tertentu yang dimiliki oleh suatu rumah tangga untuk merespon suatu keadaan dalam situasi bencana. Tingkat kerentanan dapat diukur melalui empat aspek; sosial budaya, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan.

a) Aspek Sosial Budaya Beberapa variabel yang dapat diukur sebagai tingkat kerentanan

masyarakat pada aspek sosial budaya adalah tingkat pemanfaatan jaringan sosial, tingkat kepercayaan, dan tingkat pengetahuan. Ketiga variabel tersebut diukur dengan pernyataan menggunakan skala likert yang terdiri dari tiga skala pilihan jawaban: a. Setuju : diberi skor 1 b. Kurang setuju : diberi skor 2 c. Tidak setuju : diberi skor 3

i) Tingkat pemanfaatan jaringan sosial merupakan hubungan timbal balik pada sebuah situasi yang membutuhkan pertolongan dari orang lain seperti dalam keadaan sakit, meninggal, terkena bencana alam, atau kekurangan uang yang terjadi pada salah satu warga desa. Pemanfaatan jaringan sosial juga dapat berupa melakukan pinjaman pada tetangga, berhutang di warung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, meminta atau memeproleh bantuan dari keluarga/warga desa tidak tertimpa bencana, pemanfaatan program bantuan untuk penanggulangan bencana, dan pemanfaatan program bersubsidi pemerintah. Jumlah pertanyaan 10 poin. Tingkat kerentanan pada variabel ini diukur dengan skala ordinal yang mempunyai gradasi dari rendah-sedang-tinggi dengan skor sebagai berikut:

a. Rendah, diberi kode 1 (jika total skor antara 10.0-16.3) b. Sedang, diberi kode 2 (jika total skor antara 16.4-22.7) c. Tinggi, diberi kode 3 (jika total skor antara 22.8-30)

Page 41: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

25

ii) Tingkat Kepercayaan merupakan sejauhmana persepsi mengenai hubungan antar individu meliputi tindakan-tindakan yang dilandasi rasa tidak saling curiga terhadap orang lain, dan norma-norma yang dilandasi rasa kepercayaan. Jumlah pertanyaan 10 poin. Tingkat kerentanan pada variabel ini diukur dengan skala ordinal yang mempunyai gradasi rendah-sedang-tinggi dengan skor sebagai berikut:

a. Rendah, diberi kode 1 (jika total skor antara 10.0-16.3) b. Sedang, diberi kode 2 (jika total skor antara 16.3-22.7) c. Tinggi, diberi kode 3 (jika total skor antara 22.8-30)

iii) Tingkat Pengetahuan merupakan pengukuran sejauhmana responden mengetahui tentang aspek-aspek bencana dan nilai tata ruang wilayah. Aspek-aspek bencana termasuk definisi, penyebab terjadinya, dampak yang ditimbulkan, dan cara mengindari bencana atau cara mengevakuasi diri ketika bencana itu terjadi. Terdapat dua kelompok pertanyaan untuk mengukur variabel tingkat pengetahuan, yaitu; 1 Aspek-aspek bencana. Terdari dari 14 pertanyaan. Tingkat kerentanan

responden pada tingkat pengetahuan mengenai aspek bencana diukur dengan skala ordinal yang mempunyai gradasi rendah-sedang-tinggi dengan skor sebagai berikut; a. Rendah, diberi kode 1 (jika total skor antara 14.0-23.3) b. Sedang, diberi kode 2 (jika total skor antara 23.4-32.7) c. Tinggi, diberi kode 3 (jika total skor antara 32.8-42)

2 Nilai tata ruang wilayah. Pertanyaan pada aspek ini menguji sejauhmana pengetahuan responden mengenai derajat kesesuaian tatanan letak pemukiman responden yang ideal. Terdiri dari 11 pertanyaan. Tingkat kerentanan responden pada tingkat pengetahuan mengenai nilai tata ruang wilayah diukur dengan skala ordinal yang mempunyai gradasi rendah-sedang-tinggi dengan skor sebagai berikut; a. Rendah, diberi kode 1 (jika total skor antara 11.0-18.3) b. Sedang, diberi kode 2 (jika total skor antara 18.4-25.7) c. Tinggi, diberi kode 3 (jika total skor antara 25.8-33.0)

Skor total pada tingkat pengetahuan masing-masing responden dihitung dengan rumus berikut ini:

Skor totalSkor Pengetahuan Aspek bencana x 11 Skor Pengetahuan nilai tata ruang wilayah x 11

2

Tingkat kerentanan dilihat dari tingkat pengetahuan responden dari skor total pengetahuan mengenai aspek bencana dan nilai tata ruang wilayah diukur dengan skala ordinal (rendah-sedang-tinggi) dengan skor sebagai berikut:

a. Rendah, diberi kode 1 (jika total skor antara 11.00-18.30) b. Sedang, diberi kode 2 (jika total skor antara 11.31-25.61) c. Tinggi, diberi kode 3 (jika total skor antara 25.62-33.00)

Page 42: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

26

b) Aspek Ekonomi Pengukuran tingkat kerentanan responden pada aspek ekonomi

ditunjukkan dari hasil pengukuran tingkat kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan merupakan upaya pengkategorian taraf hidup masyarakat pesisir pada tingkat kesejahteraan tinggi dan rendah melalui data sekunder yang diperoleh dari catatan atau dokumen pemerintahan setempat melalui penggunaan asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin), bantuan langsung tunai (BLT), raskin (beras miskin), dan atau program bersubsidi dari pemerintah yang lainnya. Tingkat kerentanan responden pada variabel ini diukur dalam skala nominal dengan dua kategori, sebagai berikut:

a. Rendah, diberi kode 1 (jika tidak menerima program bersubsidi dr pemerintah)

b. Tinggi, diberi kode 2 (jika menerima program bersubsidi dari pemerintah)

c) Aspek Lingkungan Tingkat kerentanan masyarakat pada aspek lingkungan ditunjukkan dari

hasil pengukuran terhadap tingkat pemanfaatan sumberdaya alam (SDA). Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam merupakan bentuk aktivitas pengoptimalisasian potensi sumber daya pesisir yang terdapat di suatu kawasan termasuk juga aktivitas melindungi dan menjaga kelestraian lingkungan. Variabel ini diukur dengan pernyataan dalam skala likert. Jumlah pernyataan 6 poin yang terdiri dari tiga skala pilihan jawaban dengan, yaitu; a. Setuju : diberi skor 1 b. Kurang setuju : diberi skor 2 c. Tidak setuju : diberi skor 3

Tingkat kerentanan responden pada aspek lingkungan yang diukur dari variabel tingkat pemanfaatan SDA diukur dalam skala ordinal (rendah-sedang-tinggi) dengan skor sebagai berikut:

a. Rendah, diberi kode 1 (jika skor total antara 6.0-10.0) b. Sedang, diberi kode 2 (jika skor total antara 10.1-14.1) c. Tinggi, diberi kode 3 (jika skor total antara 14.2-18)

d) Aspek Kelembagaan Tingkat kerentanan masyarakat pada aspek kelembagaan ditunjukkan

dari hasil pengukuran pada variabel tingkat kinerja lembaga. Tingkat kinerja lembaga merupakan merupakan pengkategorian derajat efektifitas kerja sebuah lembaga baik lembaga masyarakat, pemerintah, atau lembaga/badan non-pemerintah dalam pencapaian tujuan sebuah lembaga tersebut. Pengukuran terhadap tingkat kinerja lembaga tersebut ditunjukkan dari penilaian masing-masing responden terhadap efektifitas kinerja lembaga pemerintah, LSM atau lembaga lain pemberi bantuan pasca bencana. Variabel tingkat kinerja lembaga diukur dengan pernyataan dalam skala likert. Jumlah pernyataan 12 poin yang terdiri dari tiga skala pilihan jawaban sebagai berikut: a. Setuju : diberi skor 1 b. Kurang setuju : diberi skor 2 c. Tidak setuju : diberi skor 3

Tingkat kerentanan responden pada aspek kelembagaan yang ditunjukkan dari hasil pengukuran variabel tingkat kinerja lembaga diukur dalam skala ordinal (rendah-sedang-tinggi) dengan skor sebagai berikut:

Page 43: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

27

a. Rendah, diberi kode 1 (jika skor total antara 12.0-20.0) b. Sedang, diberi kode 2 (jika skor total antara 20.1-28.1) c. Tinggi, diberi kode 3 (jika skor total antara 28.2-36.0)

2) Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Upaya pengurangan risiko bencana merupakan konsep dan praktik mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengelola faktor-faktor penyebab dari bencana termasuk dengan dikuranginya paparan terhadap ancaman, penurunan kerentanan manusia dan properti, pengelolaan lahan dan lingkungan yang bijaksana, serta meningkatkan kesiapsiagaan terhadap kejadian yang merugikan. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi terhadap upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan di lokasi penelitian. Analisis upaya pengurangan risiko bencana dapat dilihat dari beberapa aspek berikuti:

a) Mengidentifikasi manajemen bencana menurut UNDP 1992 yang terdiri dari fase pemulihan pasca bencana (bantuan, rehabilitasi, dan rekonstruksi) dan fase pengurangan risiko pra bencana (kesipsiagaan dan mitigasi). Teknik pengumpulan data dengan mengambil data primer melalui observasi langsung di Korong Sungai Paku terhadap bentuk-bentuk upaya PRB yang diimplementasikan oleh lembaga pemerintah dan atau lembaga non pemerintah terhadap masyarakat pada masing-masing fase manajemen bencana (pemulihan pasca bencana dan pengurangan risiko pasca bencana). Data tersebut digunakan sebagai data kualitatif untuk menjelaskan upaya manajemen bencana yang dilakukan di Korong Sungai Paku pada fase pemulihan pasca bencana dan fase pengurangan risiko pra bencana.

b) Mengidentifikasi implementasi rekonstruksi rumah responden pra dan pasca bencana berdasarkan konstruksi bangunan rumah oleh setiap responden. Teknik pengumpulan data diperoleh dari data primer dengan observasi langsung di Korong Sungai Paku terhadap bentuk upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi bangunan rumah responden berdasarkan tingkat kerentanannya. i) Bentuk rumah responden pra bencana ditentukan dari data primer

berdasarkan sensus bentuk rumah responden pra bencana berdasarkan konstruksinya. Terdapat tiga bentuk bangunan rumah responden pra bencana berdasarkan konstruksinya, yaitu; rumah kayu (RK); rumah semi permanen (RSP); dan rumah permanen (RP). Tingkat kerentanan responden berdasarkan bentuk bangunan rumah pra bencana diukur dengan skala ordinal sebagai berikut:

a. Rendah, diberi kode 1 (jika bentuk bangunan rumah RK dengan skor kerentanan 1)

b. Sedang, diberi kode 2 (jika bentuk bangunan rumah RSP dengan skor kerentanan 2)

c. Tinggi, diberi kode 3 (jika bentuk bangunan rumah RP dengan skor kerentanan)

ii) Bentuk rumah responden pasca bencana ditentukan dari data primer berdasarkan sensus bentuk rumah responden pasca bencana berdasarkan konstruksinya. Terdapat lima bentuk bangunan rumah responden pasca becnana berdasarkan konstruksinya, yaitu; rumah kayu (RK); rumah

Page 44: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

28

semi permanen (RSP); rumah aman gempa (RA); rumah permanen (RP); dan penggabungan rumah permanen dan rumah aman gempa (RPA). Tingkat kerentanan responden berdasarkan bentuk implementasi rekonstruksi rumah responden pasca bencana diukur dalam skala ordinal (rendah-sedang-tinggi- sangat tinggi) dengan skor sebagai berikut:

a. Rendah, diberi kode 1 (dengan skor tingkat kerentanan 1 untuk bentuk bangunan rumah kayu/RK)

b. Sedang, diberi kode 2 (dengan skor tingkat kerentanan 2 untuk bentuk bangunan rumah semi permanen/RSP atau rumah aman /RA)

c. Tinggi, diberi kode 3 (dengan skor tingkat kerentanan 3 untuk bentuk bangunan rumah gabungan rumah permanen dan rumah aman atau RPA)

d. Sangat tinggi, diberi kode 4 (dengan skor tingkat kerentanan 4 untuk bentuk bangunan rumah permanen/RP)

Data mengenai bentuk upaya PRB dalam implemetasi rekonstruksi rumah responden pasca bencana berdasarkan tingkat kerentanan bangunannya ini selanjutnya digunakan untuk menganalisis hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dengan upaya PRB.

Page 45: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

29

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian mengenai analisis kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana di pesisir merupakan penelitian survai dengan tujuan penjelas (explanatory research). Metode survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Tipe penelitian explanatory merupakan penelitian yang sifat analisisnya menjelaskan hubungan antar variabel melalui uji hipotesis (Singarimbun dan Effendi, 2008).

Penelitian ini menggunakan pendekatan (teknik pengumpulan data) kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survai menggunakan kuesioner terstuktur, yang di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan dan/atau pernyataan yang mengukur semua variabel penelitian.

Adapun pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara mendalam dan observasi, hal ini dilakukan untuk memahami permasalahan penelitian secara lebih mendalam dan menyeluruh. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh tentang profil desa, kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana, dan upaya-upaya pengurangan risiko bencana. Selain itu, pendekatan kualitatif digunakan untuk mendukung data kuantitatif yang diperoleh. Dengan menelusuri lebih jauh kondisi lapang melalui wawancara mendalam kepada setiap responden ataupun informan lainnya.

Data penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer yang diperoleh dari hasil penelitaian menggunakan data yang mencakup semua variabel yang diukur. Selain itu, juga data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi lapang. Adapun data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi dokumentasi tentang monografi lokasi penelitian, data dari lembaga pemerintahan setempat, lembaga/badan penanggulangan bencana nasional dan daerah, serta dokumentasi lainnya yang relevan dalam penelitian ini.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Korong Sungai Paku, Nagari Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan wilayah tersebut merupakan wilayah gempa dan potensial terjadinya Tsunami. Pemilihan tempat penelitian ini diharapkan relevan dengan data yang diperoleh dan tujuan penelitian.

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2012 sejak penyusunan proposal hingga penyusunan data. Selama pengambilan data berlangsung, peneliti menetap di lokasi penelitian dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui lokasi penelitian dengan baik, menciptakan hubungan sosial yang dekat dengan objek penelitian dan mendapat data yang lebih dalam dan valid.

Page 46: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

30

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

Populasi studi ini mencakup masyarakat yang berada di daerah rawan bencana gempa bumi dan Tsunami yaitu Korong Sungai Paku, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat yang berjumlah sekitar 800 orang yang terdiri dari 240 KK. Jumlah populasi didapat dari dokumen pemerintahan korong dan kantor wali nagari. Unit penelitian yang diteliti adalah rumah tangga. Kerangka sampling yang diambil adalah seluruh rumah tangga yang menetap dan mengalami bencana pada bulan September tahun 2009 berjumlah 150 RT. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling dimana sampel penelitian adalah sampel yang homogen dari populasi penduduk yang mendiami wilayah tersebut serta mengalami bencana gempa bumi pada tahun 2009. Jumlah responden yang akan diambil adalah sebanyak 40 rumah tangga.

Jumlah informan pada penelitian ini tidak dibatasi dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai objek penelitian ini. Informan kunci yang didapat pada penelitian ini berasal dari pihak pelaku kepentingan di desa tersebut yang berhubungan langsung dengan masalah yang akan diteliti (lembaga pemerintahan setempat, lembaga penanggulangan bencana setempat, dan sebagainya).

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti sendiri, yakni hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti sendiri.

Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara terstruktur dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data primer yang dikumpulkan adalah: 1) Profil lokasi penelitian yang meliputi letak goegrafis dan kondisi alam, sarana

dan prasarana, pengelolaan tempat wisata pantai, dan sebagainya. 2) Karakteritik responden yang meliputi usia, tingkat pendidikan, jumlah anggota

keluarga, dan tingkat pendapatan per bulan 3) Tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana. Tingkat kerentanan

tersebut ditelusri dari empat aspek kerentanan, yaitu; (1) sosial budaya; (2) ekonomi; (3) lingkungan; (4) dan kelembagaan.

4) Upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan di lokasi penelitian. Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga

menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. Sumber data sekunder diperoleh dari Kantor Wali Nagari Kuranji Hilir, Kantor Kecamatan Sungai Limau, BNPB Sumatera Barat serta buku, internet, jurnal penelitian, thesis, disertasi, dan laporan penelitian lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Page 47: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

31

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini data yang telah dikumpulkan diolah secara kuantitatif dan kualitatif. Unit analisis dari penelitian ini adalah hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir dengan upaya pengurangan risiko bencana dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana.

Data primer yang diperoleh dari penyebaran kuesioner diolah dengan melakukan pengkodean data dari pertanyaan di kuesioner. Kegiatan ini dilakukan untuk menyeragamkan data. Sistem scoring dibuat konsisten. Data kemudian dikategorikan dengan menggunakan teknik scoring normative yang dikategorikan berdasar interval kelas (Sarwono 2006).

N=

Pengelompokan kategori sebagai berikut: Rendah : x skor < [skor min + N] Sedang : [skor min + N] ≤ x skor ≤ [skor min + 2N] Tinggi : x > [skor min + 2N]

Data tersebut kemudian dihitung untuk melihat presentase jawaban yang dibuat dalam bentuk tabel frekuensi. Data hasil pengkodean dari kuesioner yang telah terkumpul tersebut kemudian dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia dengan uji korelasi Rank Spearman pada program komputer SPSS for windows versi 19. Uji korelasi dengan Rank Spearman digunakan untuk mengukur korelasi variabel berskala ordinal seperti hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir dengan upaya pengurangan risiko bencana dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana. Hasil pengolahan data dan pengujian hipotesis dianalisis dengan mengacu kepada sejumlah pendekatan dan teori yang dirujuk dalam kerangka penelitian.

Berdasarkan uji korelasi Rank Spearman, hunungan yang diteliti dilihat dari nilai alfa/taraf nyata (α) dan nilai signifikansi/probabilitas hasil penelitian. nilai taraf nyata (α) yang digunakan adalah sebesar 0.5%=0.05. Artinya hasil penelitian mempunyai kesempatan untuk benar dengan tingkat kebenaran 95 persen dan tingkat kesalahan 5 persen. Menurut Sarwono (2009), untuk menunjukkan kekuatan hubungan linear dan arah hubungan dua variabel secara acak digunakan koefisien korelasi berkisar antara +1 sampai dengan -1. Jika koefisien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Sebaliknya jika negatif, maka kedua variabel memiliki hubungan berlawanan arah. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel maka terdapat beberapa kriteria kekuatan hubungan antara variabel berdasarkan nilai koefisien korelasi yang ditunjukkan, sebagai berikut: a) 0 ; tidak ada korelasi antara dua variabel b) > 0 – 0.25; korelasi sangat lemah c) > 0.25 – 0.5 ; korelasi cukup d) > 0.5 – 0.75 ; korelasi kuat

Keterangan: N = nilai batas selang Max = Nilai maksimum dari penjumlah skor Min = Nilai minimum dari penjumlahan skor Σk = jumlah kategori

Page 48: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

32

e) > 0.75 – 0.99 ; korelasi sangat kuat f) 1 ; korelasi sempurna

Signifikansi hubunga dua variabel dapat dianalisis dengan ketentuan sebagai berikut: a) Jika probabilitas atau signifikansi < 0.05, hubungan kedua variabel signifikan. b) Jika probabilitas atau signifikansi > 0.05, hubungan kedua variabel tidak

signifikan.

Keterbatasan Studi

Penulis menyadari dalam penulisan studi ini masih terdapat banyak kesalahan. Pada perencanaan penelitian penulis hendak meneliti hubungan antara tingkat kerentanan masyarakat pesisir dengan upaya pengurangan risiko bencana. Namun, terdapat kesalahan pada penentuan variabel upaya pengurangan risiko bencana (PRB) pada kuesioner penelitian. Unsur-unsur pertanyaan yang disusun untuk variabel upaya pengurangan risiko bencana tidak dapat mengukur variabel upaya PRB secara tepat. Peneliti menyadari setelah pengumpulan data, ternyata data yang dikumpulkan untuk variabel upaya PRB tidak memiliki nilai yang bervariatif. Hal tersebut karena, pertanyaan yang disusun untuk mengukur variabel tersebut pada kuesioner terdiri dari pertanyaan yang menanyakan program-program yang dilaksanakan pasca bencana dalam rangka upaya penguranga risiko bencana. Oleh karena itu, variabel tingkat kerentanan masyarakat pesisir yang dilihat dari empat aspek tidak dapat dihubungankan dengan variabel upaya PRB. Sebagai solusinya peneliti mengklasifikasikan variabel upaya PRB lebih spesifik dengan melihat upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah responden pasca bencana berdasarkan tingkat kerentanannya.

Selain itu, pada pengajuan proposal penelitian awalnya peneliti merumuskan lima aspek tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana, yaitu: sosial budaya; ekonomi;pemukiman dan infrastruktur; lingkungan; dan kelembagaan. Namun terdapat kesalahan dalam penyusunan salah satu diantara variabel penelitian tersebut, yakni untuk variabel tingkat kerentanan pada aspek pemukiman dan infrastruktur. Hal tersebut karena, atribut yang diukur pada variabel aspek pemukiman dan infrastruktur tidak memiliki mutually exclusive atau tumpang tindih dengan atribut pada variabel upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah responden pasca bencana. Oleh karena itu, kedua variabel tersebut tidak dapat dihubungkan. Singarimbun dan Efendi (2008) menjelaskan bahwa agar kumpulan atribut dapat dikelompokkan menjadi satu, dua, atau lebih variabel maka atribut pada sebuah variabel tidak boleh tumpang tindih (mutually exclusive). Oleh karena itu, variabel penyusun aspek pemukiman dan infrastruksur pada penelitian ini tidak bisa digunakan sebagai variabel dan dihilangkan.

Kemudian, pada penyusunan pertanyaan pada kuesioner penelitian yang berkaitan dengan tingkat kerentanan pada keempat aspek kerentanan hanya mampu menunjukkan tingkat kerentanan pada keempat aspek tersebut sesuai dengan pertanyaan yang mewakili atribut setiap variabel tingkat kerentanan yang telah disusun. Pada pembuktian hipotesis penelitian (H1), terkait dengan terdapat hubungan masing-masing variabel tingkat kerentanan dengan upaya PRB dalam

Page 49: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

33

implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya tidak mampu membuktikan adanya korelasi signifikan pada setiap variabel tingkat kerentanan dan upaya PRB. Dari hasil analisis hubungan antara tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana yang dilihat pada setiap variabel yang di uji dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana, hanya mampu menujukkkan hubungan signifikan antara variabel tingkat kesejahteraan dengan upaya PRB yang diimplementasi. Selain itu, tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dari masing masing aspek tersebut tidak dapat dikomposit karena untuk menganalisis setiap variabel menjadi sebuah kesimpulan (komposit) sebaiknya dilakukan dengan menerapkan Multidimensional Scaling (MDS). Penerapan MDS dapat memberikan gambaran visual dari pola kedekatan yang berupa kesamaan atau jarak diantara sekumpulan objek-objek. Selain itu MDS dapat digunakan dalam pemetaan perseptual (perceptual mapping).

Secara umum, dapat dijelaskan bahwa kekurangan pada penelitian ini adalah intsrumen penelitian (kuesioner) yang digunakan tidak memiliki validitas dan reabilitas yang tinggi. Singarimbun dan Efendi(2008) menjelaskan pentingnya validitas dan reabilitas pada sebuah instrument penelitian agar instrument yang digunakan dapat mengukur apa yang ingin diukur dan relatif konsisten terhadap pengukuran yang dilakukan lebih dari satu kali. Berdasarkan penjelasan di atas kuesioner yang telah disusun dan digunakan sebagai instrumen pada penelitian belum mampu menunjukkan sejauhmana kuesioner tersebut dapat mengukur apa yang ingin diukur pada perencanaan penelitian semula. Selain itu, perlu adanya uji reabilitas terhadap instrument penelitian atau kuesioner untuk mengetahui sejauhmana alat pengukur relatif konsisten jika dilakukan berulang. Untuk itu, sebagai solusi dari permasalahan tersebut pada akhirnya peneliti mengklasifikasikan atribut pada variabel upaya PRB lebih spesifik dan memiliki nilai yang bervariatif dan melepas variabel kerentanan pada aspek pemukiman dan infrastruksur dengan tetap mengoptimalkan semua data yang telah dikumpulkan pada kegiatan penelitian yang telah dilakukan.

Page 50: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

34

Page 51: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

35

PROFIL LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis dan Kondisi Alam

Korong Sungai Paku merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah administratif Nagari Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Padang Pariaman tahun 2011, Korong Sungai Paku memiliki luas daerah 1.07 Km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah sekitar 800 jiwa yang terdiri atas 150 rumah tangga. Secara geografis wilayah Korong Sungai Paku berbatasan dengan wilayah-wilayah administratif sebagai berikut:

Sebelah utara : Korong Sungai Limau, Nagari Kuranji Hilir Sebelah selatan : Korong Pasar Ampalam, Nagari Koto Tinggi Sebelah timur : Korong Guguak, Nagari Padang Olo Sebelah barat : Samudra Indonesia Berdasarkan perbatasan wilayah administratif di atas, jarak antara

perbatasan sebelah utara ke selatan atau jarak antara batas terluar dengan Korong Sungai Limau ke batas terluar dengan Korong Pasar Ampalam adalah sekitar ± 1.5 kilometer. Sedangkan jarak antara perbatasan sebelah barat ke timur atau jarak antara batas terluar dengan Samudra Indonesia ke batas terluar dengan Korong Guguak adalah sekitar ± 1 kilometer. Wilayah yang berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia ini secara geografis memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap bencana pesisir terutama bencana tsunami. Selain itu, secara geografis wilayah tersebut juga terletak pada jalur cincin api dan pertemuan tiga lempeng yang saling bertumbukan.

Pemukiman masyarakat tersebar di wilayah pesisir yang merupakan dimulai dari 10 sampai 850 meter dari bibir pantai. Kawasan padat penduduk terdapat pada lokasi sekitar 10 sampai 650 meter dari bibir pantai. Sedangkan, zona merah tsunami adalah daerah yang berjarak sekitar 0 sampai 500 meter dari bibir pantai. Ketinggian tanah di kawasan ini berkisar 0 sampai 5 meter di atas permukaan laut (dpl).

Korong Sungai Paku memiliki dua tempat objek wisata pantai yang letaknya sangat berdekatan, yaitu Pantai Arta Permai (PAP) dan Pantai Arta Indah (PAI). Lokasi kedua tempat wisata ini sangatlah berdekatan hanya terpisah antara muara sungai. Kedua tempat wisata ini memiliki struktur kepengurursan atau pengelola yang berbeda. Berbeda pihak pengelola tentunya tempat ini memiliki pintu masuk dan keluar wisata yang berbeda pula meskipun keduanya terletak sangat berdekatan. a. Pantai Arta Permai (PAP)

Pantai PAP dibuka sejak tahun 2004 dengan dengan luas ±4 hektar. Pengelolaan tempat wisata Pantai PAP ini sudah memiliki legalisasi dari Dinas Pariwisata dengan Nomor Surat Keputusan 06/KNKH/KCSL/192008. Berdasarkan SK pengelolaan tempat tersebut menetapkan kepengurusan pantai setiap 5 tahun. Kemudian asset-aset dan fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah dijaga bersama dan menjadi hak milik masyarakat. Selain itu, masyarakat berkewajiban untuk membayarkan biaya retribusi dalam bentuk karcis

Page 52: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

36

masuk sebesar 10 persen dan area parkir sebesar 20 persen dari hasil pendapatan biaya parkir di tempat wisata tersebut. Dalam pengelolaan tempat wisata Pantai PAP ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan di tempat wisata tersebut. Masyarakat setempat selain sebagai pelaksana kegiatan pariwisata sehari-hari selain itu juga berkewajiban dalam perawatan dan penjagaan semua asset-aset dan fasilitas. Baik yang diberikan oleh pemerintah maupun yang mereka bangun sendiri. Pemerintah memberikan sejumlah dana untuk pengadaan beberapa fasilitas sebagai berikut; pembangunan gerbang pintu masuk; pengaspalan jalan dari pintu masuk hingga tempat parkiran; jembatan; pentas; wc umum; tempat sampah; tempat duduk; gazebo sebagai tempat sholat dan beristirahat para pengunjung. Beberapa fasilitas yang disediakan oleh Dinas Pariwisata telah bermitigasi bencana, seperti pentas dan gazebo. Selebihnya, pondok-pondok tempat berjualan seperti makanan dan minuman dibangun sendiri oleh masyarakat setempat. Pasca bencana, masih terdapat fasilitas-fasilitas yang rusak akibat bencana 2009. Fasilitas wisata yang masih mengalami kerusakan hingga saat penelitian berlanjut antara lain; gerbang pintu masuk, jembatan penyebrangan, tempat duduk dan wc umum. Kerusakan yang dialami berupa kerentakan akibat gempa.

Pantai PAP tidak hanya dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata atau kegiatan rutin pesta pantai yang diadakan setiap tahunnya setelah Hari Raya Idul Fitri (hari besar keagamaan umat Islam) saja. Namun, tempat tersebut juga sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, pemerintah ataupun LSM untuk pelaksanaan kegiatan sosial. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa; penyerahan bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) kepada kelompok nelayan; sosialisasi, penyuluhan dan simulasi mengenai bencana gempa dan tsunami; pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh BNPB, dan lain-lain. b. Pantai Arta Indah (PAI)

Pantai PAI dibuka sejak tahun 1998 dengan luas ±1.5 hektar dan dikelola oleh warga setempat pemilik tanah. Pantai ini memiliki beberapa fasilitas pendukung aktivitas pariwisata di tempat wisata tersebut, seperti; pintu masuk wisata, tempat parkir (parking area), wc umum, tempat bermain bilyard, cafe atau tempat makan, dan tenda-tenda di pinggir pantai. Pengadaan dan status kepemilikan fasilitas-fasilitas tersebut atas nama warga setempat pemilik tanah. Usaha bilyard atau warung makan ditepi pantai dikelola sendiri oleh masing-masing pemilik tanah. Area parkir di tempat wisata pantai ini masih menggunakan lahan kosong yang ada di tempat wisata tersebut. Tempat wisata ini belum memiliki tempat pembuangan sampah. Warga setempat dilingkungan tempat wisata tersebut masih membuang sampah di sepanjang pinggir batang aia (muara sungai) yang ada dilokasi tersebut. Pantai PAI ini belum memiliki struktur pengelola pantai yang jelas seperti pada Pantai PAP. Oleh karena itu, segala bentuk pengelolaan sarana dan prasarana di tempat wisata ini masih dalam kondisi seadanya dan belum bermitigasi bencana. Berbeda dengan Pantai PAP yang pengelolaan pantainya telah diserahkan kepada Dinas Pariwisata setempat Pantai PAI masih memilih independen dalam pengelolaan tempat wisata tersebut. Hal ini karena warga pemilik tanah dilokasi tempat wisata tersebut belum mau menyerahkan pengelolaan tanah milik mereka kepada Dinas Pariwisata setempat untuk kegiatan pariwisata. Meskipun anggapan masyarakat tidak semuanya bencar, hal ini juga berkaitan dengan pola pikir masyarakat setempat bahwa jika

Page 53: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

pengelolaadikhawatirPariwisatasepenuhnymenginginpribadi ole

Setiaberupa peantara lainkomedi pu

SebamenghubuKota Padarelawan atbibir pantmerupakanwarga diw100 meter

Jumlah

Badpenduduk kelamin juterbagi ataberdasarkapenduduk (umur 15-penduduk

Messedikit wabekerja sebekerja seSungai Pa

SumGa

12

an tempat rkan hak ka dan segalya oleh Dnkan privaseh masing-map tahunnyelaksanaan n acara “orgutar) untuk pagai lokasi ungkan Kaang. Posisi tau pemberitai terdapat n jalur eva

wilayah tersr dpl.

h Penduduk

an Pusat Skorong in

umlah pendas 428 penan kelompberusia ana

-65 tahun kusia produk

skipun Koroarga yang bebagai wiraebagai buruhaku.

mber: Data prambar 3 Jen

12%

2%

8%8%

5%

wisata terkepemilikana pemasuka

Dinas Pariwsi dan menimasing pemya, Pantai

acara pestgen tunggal”para pengunwisata, Kor

abupaten Agtersebut mi bantuan ksebuah dat

akuasi wargsebut. Wilay

k, Tahapan

Statistik Pani tahun 20duduk koronnduduk lakipok umurnyak-anak (umkeatas). Penktif. ong Sungai

bekerja sebaaswasta (beh tukang. B

rimer diolah (2nis pekerjaan

3%

rsebut disern atas tanaan dari akti

wisata. Selaikmati peng

milik tanah dPAP dan Pta pantai. K” (pentas mnjung temparong Sungagam (Manin

membuat korketika bencataran tinggiga. Korong yah Korong

n Keluarga

dang Paria010 adalah ng tersebut i-laki dan 4ya jumlah

mur 0-14 tahnduduk usi

i Paku terleagai nelayanerdagang, oBerikut tabe

2013) n kepala rum

37

15%

rahkan padah tersebut ivitas wisatain itu, mgelolaan temdi tempat wiPAI melakKegiatan-ke

musik) dan pat wisata. ai Paku dilenjau) menurong ini sanana. Sekitar i atau wilayGuguak m

g Guguak m

Sejahtera,

aman tahun sekitar 80

terdiri dari 439 pendud

pendudukhun) dan 39a dewasa d

etak di wiln. Umumny

ojek becak el jenis peke

mah tangga

7%

da Dinas Pjatuh pad

ta tersebut jmasyarakat

mpat wisataisata tersebu

ksanakan keegiatan yan

pengadaan ta

ewati jalan ruju Ibu Kotangat mudah650 sampa

yah bukit. merupakan memiliki ke

, dan Mata

2011 men00 jiwa. Be

240 KK atduk perempk korong t94 pendudukdi dalamny

ayah pesisiya masyarakmotor, ata

erjaan respo

(KRT) resp

Wiraswasta

Buruh

Pegawai Neg

Nelayan

Bertani

Ibu Rumah T

Pegawai Swa

Pensiunan

Pariwisata da tangan Djuga akan dsetempat m

a tersebut sut. egiatan berng dilaksanaman ria (se

raya utama a Provinsi yh dijangkauai 700 meteTempat tertempat evaetinggian se

a Pencahari

nyatakan juerdasarkan tau 150 RT puan. Sedanterdiri darik berusia dea juga term

ir, namun hkat Sungai

au bengkel)onden di Ko

ponden

geri Sipil (PNS

Tangga (IRT)

asta

37

maka Dinas diatur masih secara

rsama nakan eperti

yang yakni

u oleh r dari

rsebut akuasi ekitar

ian

umlah jenis yang

ngkan 406 ewasa masuk

hanya Paku

) atau orong

S)

Page 54: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

38

Merujuk pada Gambar 3, data jenis pekerjaan KRT responden. Dapat dilihat kebanyakan KRT bekerja sebagai wiraswasta sekitar 15 orang atau 37.5 persen dan buruh tukang sekitar 6 orang atau 15 persen. Pekerjaan wiraswasta paling diminati adalah berdagang dan ojek. Meskipun korong ini terletak di wilayah pesisir, namun jumlah nelayan sangat sedikit. Pada tabel di atas terlihat jumlah nelayan sekitar 5 orang atau 12.5 persen dari 40 orang responden. Sisanya merupakan responden dengan mata pencarian PNS, petani, pegawai swasta, dan ibu rumah tangga.

Badan PPLKB Sungai limau atau Family Planning Official of Sungai Limau membagi sejumlah rumah tangga menjadi beberapa tahapan keluarga sejahtera (walfare level), yakni; rumah tangga pra sejahtera (PS); rumah tangga sejahtera tahapan 1 (S-1); rumah tangga sejahtera tahapan 2 (S-2); rumah tangga sejahtera tahapan 3 (S-3); dan rumah tangga sejatera tahapan 3 plus (S-3 Plus). Berdasarkan data PPLKB Sungai Limau tahun 2011, jumlah rumah tangga menurut tahapan keluarga sejahtera di Korong Sungai Paku terbagi atas; 62 rumah tangga tergolong S-1; 47 rumah tangga tergolong S-2; 25 rumah tangga tergolong S-3; dan 21 rumah tangga tergolong S-3 Plus.

Sarana dan Prasarana

Prasarana atau fasilitas sosial yang terdapat di Korong Sungai Paku mencakup fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas pemerintahan korong, kesehatan, keagamaan, pendidikan dan wisata. Sarana strategis pemerintahan yang dimiliki oleh korong ini hanya 1 unit kantor wali nagari yang sekarang juga berfungsi sebagai Kantor Pos Persalinan Desa (Polindes) Korong Sungai Paku. Polindes Korong Sungai Paku didirikan semenjak tahun 2009 pasca bencana gempa 30 September 2009. Sehari-hari kantor tersebut lebih didominasi untuk kegiatan persalinan atau untuk pelayanan kesehatan anggota masyarakat Korong Sungai Paku sekaligus menjadi tempat tinggal bidan desa korong tersebut. Kantor tersebut berlokasi sekitar ±450 meter dari bibir pantai.

Pada bidang keagamaan hanya dapat ditemui sarana atau fasilitas keagaamaan seperti mesjid dan mushola, karena mayoritas penduduk Korong Sungai Paku beragama Islam. Korong ini memiliki satu bangunan mesjid dan tiga bangunan musholla. Secara umum, mesjid merupakan tempat anggota masyarakat melaksanakan kegiatan keagamaan seperti sholat, pengajian ibu-ibu atau bapak-bapak, tempat pendidikan mengaji anak-anak atau TPA Madrasah Dinniyah Awaliyah (TPA/MDA), upacara keagamaan dan merupakan tempat penyebaran informas seperti penyebaran berita kemalangan, kematian, undangan berkumpul, dan penyebaran informasi lainnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat bersama. Bangunan Mesjid dan mushola ini berlokasi sekitar 400 sampai 500 meter dari bibir pantai.

Bidang pendidikan, korong ini memiliki Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ar-Rohim, Sekolah Dasar Negeri 27 (SDN 27) Sungai Limau, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 (SMAN 1) Sungai Limau. Bangunan sekolah tersebut berlokasi sekitar 60 sampai 150 meter dari bibir pantai. Korong ini belum memiliki bangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mayoritas anggota masyarakat yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMP harus memilih sekolah di tempat lain. Sekolah SMP dapat ditemui di kota kecamatan yang

Page 55: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

39

berjarak 2 kilometer dari korong sungai paku atau di tempat lainnya yang memiliki fasilitas Sekolah SMP.

Selain fasilitas yang berkaitan dengan empat hal di atas, Korong Sungai Paku juga memiliki sarana dan prasarana objek wisata pantai. Korong ini memiliki dua tempat wisata pantai, yakni Pantai Arta Permai (PAP) dan Pantai Arta Indah (PAI).

Pemukiman Penduduk, Zona Merah Tsunami, dan Keberadaan Jalur

Evakuasi

Sekitar ±80 persen pemukiman penduduk Korong Sungai Paku memadati sekitar wilayah pesisir yang berjarak 10 hingga 650 meter dari bibir pantai dengan ketinggian daerah 0 sampai 5 meter dpl. Sedangkan untuk sekitar wilayah pesisir Pariaman, wilayah yang berjarak 0 sampai 500 meter dari bibir pantai dikategorikan sebagai zona merah tsunami. Oleh karena itu, masih banyak penduduk pesisir yang tinggal di wilayah rawan bencana. Selain itu di sebelah timur Korong Sungai Paku berbatasan langsung dengan Korong Guguak yang terletak di wilayah ketinggian 90 sampai 100 dpl. Kemudian wilayah sepanjang utara ke selatan Korong Paku yang berjarak sekitar 1.5 kilometer dan 650 sampai 700 meter dari bibir pantai (sebelah barat Korong Sungai Paku) hanya terdapat satu jalur evakuasi sebagai fasilitas jalur dan tempat penyelematan warga saat terjadi gempa dan prediksi tsunami. Jalur Evakuasi Tsunami tersebut terletak persis di seberang pintu masuk objek wisata Pantai Arta Permai. Jalur evakuasi tersebut telah difasilitasi jalan aspal yang relatif aman bisa dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Jalur evakuasi tsunami tersebut merupakan jalan utama untuk mencapai Korong Guguak yang merupakan tempat evakuasi warga Korong Sungai Paku pada umunya. Kondisi tempat evakuasi warga di Korong Guguak tergolong relatif aman. Warga yang mengungsi sementara di korong tersebut biasanya di alokasikan dekat dengan tanah lapang (lapangan bola) dan pada kondisi aman gempa warga menempati tempat-tempat ibadah seperti mesjid atau musholla. Tempat tersebut difasilitasi tenda-tenda darurat, dapur umum, wc umum memanfaatkan fasilitas mesjid atau musholla. Sedangkan dari sepanjang utara ke selatan yang berjarak 1.5 kilometer tersebut, pada kondisi lapang ditemui dua titik alternatif jalur evakuasi tsunami terdekat yang dapat ditempuh warga untuk mencapai wilayah ketinggian. Namun, dua jalur tersebut belum bisa dilewati oleh kendaran bermotor seperti kendaraan roda dua. Untuk menempuh dua jalur evakuasi tsunami tersebut hanya dapat dilalui dengan jalan kaki (jalan setapak). Meskipun warga dapat mencapai tempat ketinggian untuk menghindari bahaya bencana tsunami tetapi tempat evakuasi alternatif warga tersebut masih tergolong tidak aman. Tempat evakuasi alternative tersebut masih terdapat pohon-pohon besar dan memiliki kemiringan tempat yang rawan longsor. Jadi, tempat itu hanya dapat digunakan tempat evakuasi sementara saat tiba-tiba datang goncangan gempa terutama gempa kuat dan pada saat kondisi aman warga bisa pindah ke tempat evakuasi yang lebih aman atau kembali kerumahnya masing-masing. Tempat tersebut tidak terdapat fasilitas seperti yang tersedia di tempat pengungsian Korong Guguak, kecuali fasilitas yang dibawa oleh masing-masing pengungsi.

Page 56: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

40

Program dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Upaya pengurangan risiko bencana merupakan tindakan atau praktik mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengelola faktor-faktor penyebab dari bencana termasuk dengan dikuranginya paparan terhadap ancaman, penurunan kerentanan manusia dan properti, pengelolaan lahan dan lingkungan yang bijaksana, serta meningkatkan kesiapsiagaan terhadap kejadian yang merugikan (Rasul 2009).

Pada Permen RI No. 64 Tahun 2010 menyebutkan bahwa mitigasi bencana merupakan upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk itu pembangunan suatu wilayah perlu perencanaan yang baik, terutama pada wilayah rawan bencana. Maka sebaiknya perencanaan wilayah tersebut harus mempertimbangkan aspek mitigasi bencana. Pembangunan fisik alami dan/atau buatan yang dimaksud merupakan pembangunan fasilitas-fasilitas yang dapat digunakan oleh masyarakat pesisir dan sekitarnya termasuk pemukiman dan infrastrur pendukung lainnya.

Identifikasi terhadap upaya pengurangan risiko bencana dilakukan untuk mengetahui upaya manajemen bencana yang telah dilaksanakan oleh instansi terkait yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Upaya tersebut diidentifikasi dengan merujuk pada konsep manajemen bencana yang telah dirumuskan oleh UNDP (1992) dalam Nasution (2005). Manajemen bencana terdiri dari fase pemulihan pasca bencana dan fase pengurangan risiko pra bencana. Fase pemulihan pasca bencana merupakan periode yang muncul mengikuti suatu bencana yang tiba-tiba dan diikuti dengan tindakan-tindakan yang harus segera dilakukan untuk menyelamatkan korban bencana. Pada fase pemulihan pasca bencana terdapat tiga tahapan, yaitu; bantuan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Sedangkan fase pengurangan risiko pra bencana merupakan merupakan periode meningkatkan kesiapan masyarakat baik secara fisik maupun non fisik dan didukung dengan aktivitas tertentu untuk mengurangi kemungkinan dampak atau risiko sebelum bencana itu terjadi. Pada fase pengurangan riko pra bencana terdapat dua tahap, yaitu kesiapsiagaan dan mitigasi.

Berikut dijelaskan mengenai program-program terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana baik dari lembaga pemerintah ataupun lembaga non pemerintah setelah bencana gempa bumi September 2009 di Korong Sungai Paku. Selanjutnya, partisipasi masyarakat dalam implementasi program-program tersebut yang akan di analisis sebagai upaya masyarakat untuk mengurangi risiko bencana.

1) Fase Pemulihan Pasca Bencana

Upaya pendistribusian bantuan, rehabilitasi dan rekonstruksi termasuk pada fase pemulihan pasca bencana. Pasca bencana gempa tanggal 30 September 2009, berbagai jenis bantuan didistribusikan untuk membantu masyarakat korban bencana gempa termasuk di lokasi penelitian. Bantuan-bantuan tersebut datang dari lembaga pemerintah dan LSM baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bantuan yang datang berupa makanan, obat-obatan dan pakaian.

Page 57: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

41

Pada tahap rehabilitasi pasca bencana seperti penyediaan tempat evakuasi yang aman serta dilengkapi fasilitas memadai seperti tenda darurat, perlengkapan memasak, alat transportasi darurat. Tahap rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan kondisi-kondisi kehidupan sebelumnya dari suatu masyarakat yang terkena bencana. Selain itu, upaya rehabilitasi juga mendorong dan memfasilitasi penyesuaian seperlunya terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan oleh bencana. Pasca bencana 2009 pemerintah juga memberikan bantuan berupa dana lauk. Dana lauk adalah sejumlah uang yang dibagikan kepada keluarga korban bencana untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, dimana penerima bantuan tersebut adalah korban bencana yang mengalami kerusakan rumah rusak berat. Dana tersebut dibagikan selama 3 bulan pertama pasca bencana. dana tersebut dibagikan untuk memenuhi kebutuhan selama satu minggu setiap bulannya, dengan perhitungan sebagai berikut: 1) Bulan pertama: Rp 5 000 /kepala/hari x 7 hari x jumlah anggota keluarga

(maksimal 8 orang) 2) Bulan kedua: Rp 5 000 /kepala/hari x 7 hari x jumlah anggota keluarga

(maksimal 5 orang) 3) Bulan ketiga : Rp 5 000 /kepala/hari x 7 hari x jumlah anggota keluarga

(maksimal 3 orang) Pada tahap rekonstruksi, pemerintah menyalurkan dana untuk biaya

konstruksi rumah para korban bencana. Kerusakan rumah pasca bencana dikategorikan tiga macam jenis kerusakan, yaitu; rumah rusak ringan, sedang dan berat. Kerusakan rumah disurvai dan ditetapkan langsung dari lembaga survai pemerintah. Setiap jenis kerusakan rumah menerima sejumlah dana yang berbeda. Masing-masing memperoleh bantuan dana rekonstruksi sebagai berikut: 1) Rusak ringan, memperoleh bantuan dana rekonstruksi sebesar Rp 5 000 000. 2) Rusak sedang, memperoleh bantuan dana rekonstruksi sebesar Rp 10 000 000. 3) Rusak Berat, memperoleh bantuan dana rekonstruksi sebesar Rp 15 000 000.

Selain dana rekonstruksi dari pemerintah juga ada jenis bantuan rumah aman gempa dari LSM AMAN Indonesia. Bantuan rekonstruksi rumah aman gempa ini diberikan untuk korban bencana gempa yang mengalami rusak berat pada bangunan rumah. Namun, calon penerima bantuan harus menyediakan beberapa bahan sebagai berikut: 1) Pondasi rumah 4 x 6 m2 2) Atap seng bekas atau baru (layak pakai) 3) 3 batang pohon kelapa yang telah dipotong 4) Pintu bekas atau baru layak pakai

Selanjutnya, bahan bangunan lain yang dibutuhkan untuk bangunan rumah ama tersebut disediakan oleh LSM pemberi bantuan, seperti: 1) Semen 2) Pasir 3) Kawat 4) Tukang dan upah

2) Fase Pengurangan Risko Pra Bencana Upaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dan mitigasi sudah mulai

dilaksanakan pasca bencana 2009. Kesipsiagaan terdiri dari aktivitas-aktivitas

Page 58: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

42

yang dirancang untuk meminimalisir kerugian dan kerusakan, mengorganisir pemindahan sementara orang-orang dan properti dari lokasi yang terancam serta memfasilitasi secara tepat dan penyelamatan yang efektif. Upaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana antara lain dengan pengadaan kegiatan-kegiatan seperti; penyuluhan, simulasi bencana, pembentukan kelompok siaga bencana (KSB) di tingkat sekolah maupun masyarakat, penyediaan sirine Tsunami, jalur evakuasi bencana gempa dan Tsunami dan tempat pengungsian sementara.

Bentuk Konstruksi Bangunan Rumah Penduduk dan Tingkat

Kerentanannya

Bentuk konstruksi bangunan rumah menjadi faktor keamanan penting dalam upaya mitigasi bencana pada masyarakat pesisir. Berdasarkan hasil observasi lapang, berikut bentuk bangunan rumah responden pada saat pra bencana antara lain: a) Rumah kayu (RK) atau non permanen, rumah yang dibangun dengan bahan

konstruksi bangunan mengunakan bahan kayu, umumnya tidak memiliki pondasi, dengan dinding kayu, dan memliki bentuk struktur bangunan rumah seperti biasanya (memiliki atap, jendela, pintu, dan lainnya). Pada umunya dilokasi penelitian rumah kayu dibangun dengan lantai bersemen/plester.

b) Rumah semi permanen (RSP), rumah yang dibangun dengan ciri-ciri bangunan memiliki pondasi, dinding setengah tembok dan setengah kayu/bambu, berlantai semen (plester) atau keramik.

c) Rumah permanen (RP), rumah yang dibangun dengan ciri-ciri bangunan memiliki pondasi, dinding batu-bata atau batako, dan lantai bersemen (plester) atau keramik.

Pasca bencana gempa bumi pada September 2009 tidak sedikit rumah warga yang mengalami kerusakan, mulai dari rusak berat, sedang, dan ringan. Untuk itu anggota masyarakat yang mengalami kerusakan rumah rusak berat, sedang dan ringan memperoleh bantuan dana rekonstruksi dari pemerintah. Selain itu LSM AMAN Indonesia (LAI) juga memberikan bantuan berupa rekonstruksi “Rumah Aman Gempa”. Bantuan rekonstruksi rumah aman tersebut diutamakan pada rumah rusak berat yang umumnya terjadi pada rumah permanen. Sebagian warga dengan rumah rusak berat merekonstruksi rumah permanen dengan memanfaatkan dana rekonstruksi dari pemerintah tersebut dan membangun rumah aman dari LAI secara berdampingan atau bergabung dengan rekonstruksi bangunan rumah lama. Bantuan ‘Rumah Aman’ dari LAI memberikan kontribusi atas variasi bentuk konstruksi rumah responden pasca bencana. Namun, tidak semua warga dengan rumah rusak berat memanfaatkan bantuan rumah aman dari LAI. Hal ini karena bantuan yang diterima tidak seutuhnya rumah aman dari LAI tetapi warga perlu mempersiapkan bahan-bahan tertentu melengkapi bantuan dari LAI. Warga menganggap menerima bantuan tersebut akan mengeluarkan biaya tambahan yang cukup banyak. Oleh karena itu, sebagian dari bantuan rumah aman tersebut dialihkan kepada warga dengan rumah rusak sedang yang menginginkan bantuan tersebut. Bentuk konstrusi bangunan rumah masyarakat pasca bencana adalah sebagai berikut: a) Rumah kayu (RK)

Page 59: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

43

b) Rumah Semi Permanen (RSP) c) Rumah Aman (RA) d) Rumah permanen (RP) e) Penggabungan antara rumah permanen dan rumah aman (RPA)

Berikut urutan tingkat kerentanan bangunan rumah pasca bencana terhadap gempa berdasarkan bentuk konstruksi rumah dari rendah hingga sangat tinggi, sebagai berikut: a) Rendah; rumah kayu (RK). Rumah kayu merupakan bangunan yang relatif

aman terhadap bencana gempa. Karena jika memungkinkan rumah tersebut runtuh akibat gempa namun tidak terlalu membahayakan penghuni seperti pada bangunan dengan konstruksi berat seperti rumah permanen.

b) Sedang; rumah aman (RA) atau rumah semi permanen (RSP), karena bahan konstruksi bangunan yang terdiri dari setengah kayu dan setengan tembok.

c) Tinggi; rumah permanen yang tergabung dengan rumah aman (RPA). Meskipun pembangunan rumah sudah mengadopsi bantuan rumah aman gempa namun pembangunannya yang disatukan dengan rumah permanen tetap tidak dapat menjamin kemanan penghuni rumahnya.

d) Sangat tinggi; rumah permanen (RP) yang merupakan jenis konstruksi rumah yang memiliki risiko tertinggi terhadap bencana.

Page 60: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

44

Page 61: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

RespSungai Paterdaftar pemerintaRespondenanalisis rupenelitian tangga dan

Usiapenelitian tahun. Ratproduktif

Sumb

UsiaAcherman50 tahun) masuk padsebanyak

Tingditempuh tingkat petersebut, pendidikanorang (47tingkat pejuga termpendidikantergolong Responden

KARAKT

ponden padaku yang mesebagai wa

ahan korongn yang dia

umah tanggmeliputi u

n jumlah pe

a Respondeini dilaksa

ta-rata usia(16-30 tahu

ber: Data primGambar 4

a respondenn dalam Mu

dan tua (leda golongan26 orang (6

Kar

gkat pendidresponden

endidikan reterlihat b

nnya hingg.5 %). Resp

endidikan timasuk pada

nnya pada ppada tingk

n yang men

27.5%

TERISTI

da penelitiengalami bearga koron

g setempat dambil adala. Adapun usia responenghasilan p

Karakt

en adalah sanakan. Usia kelompok un).

mer diolah (204 Presentasen dibagi meugniesyah (2ebih dari 50n usia muda65.5 %) dan

akteristik T

dikan adalan sampai pesponden dabahwa seba jenjang Sponden tersinggi. Selai

golongan perguruan tikat pendidinamatkan p

IK RESPO

ian ini meencana gemng tersebutdan data BPah sebanyakarakteristi

nden, tingkaperbulan.

teristik Usi

selisih antaria responderesponden

013) e respondenenjadi tiga k2008) yaitu 0 tahun). Da sebanyak golongan u

Tingkat Pe

h tingkat penelitian in

apat dilihat agian besaekolah Mensebut terman itu, terdatingkat pe

inggi tertenikan tinggipendidikann

7.5%

65%

ONDEN P

encakup anmpa pada 30t berdasarkPS Kabupatak 40 oranik respondeat pendidik

ia Respond

ra tahun reen bervarias

ini tergolo

n berdasarkakategori meusia muda

Dengan dem3 orang (7.5usia tua seba

endidikan R

pendidikan ni dilakukapada Tabelar respondnengah Atasasuk pada gapat 7 orangendidikan tntu. Secara ki adalah senya hingga

PENELIT

nggota mas0 Septemberkan data seten Padang ng respondn yang diid

kan, jumlah

den

esponden disi dari 25 t

ong kedalam

an golonganenurut teori(18–30 tahu

mikian, usia 5 %), golonanyak 11 or

Responden

formal teraan. Jumlah l 3. Berdasden mamps (SMA) yagolongan reg (17.5 %) inggi dengkeseluruhanebanyak 26

perguruan

Muda (18

Dewasa (

Tua (> 50

TIAN

syarakat Kor tahun 200ensus pendPariaman 2

den dengandentifikasi d

anggota ru

ilahirkan htahun samp

m kelompok

n usia i Havighursun), dewasaresponden

ngan usia derang (27.5 %

akhir yang dan prese

arkan Tabepu menamakni sebanyesponden de

responden gan menamn responden orang (65tinggi mem

8-30 tahun)

(31-50 tahun)

0 tahun)

45

orong 9 dan

duduk 2010.

n unit dalam umah

ingga pai 67 k usia

st dan a (31–

yang ewasa %).

telah entase el 3 di

matkan ak 19 engan yang

matkan n yang 5 %). miliki

Page 62: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

46

peran penting pada setiap acara atau program yang dilaksanakan di korong tersebut.

Tabel 3 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Responden Jumlah (orang) Presentase (%)

Rendah (tidak/tidak tamat/tamat SD) 11 27.5 Sedang (tamat SMP) 3 7.5 Tinggi

Tamat SMA 19 47.5 Tamat Perguruan tinggi 7 17.5

Total 40 100.0 Sumber: Data primer diolah (2013)

Secara umum, responden penelitian ini digolongkan pada tiga tingkat pendidikannya. Selain responden dengan tingkat pendidikan tinggi terdapat responden dengan tingkat pendidikan sedang dan rendah. Responden dengan tingkat pendidikan rendah atau hanya menamatkan pendidikannya hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah sebanyak 3 orang (7.5 %), dan sisanya responden dengan tingkat pendidikan rendah atau responden yang tidak menamatkan maupun menamatkan pendidikannya hingga jenjang Sekolah Dasar (SD), yakni sebanyak 11 orang (27.5 %).

Tabel 4 Jumlah anak usia sekolah berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan

jenjang pendidikan tahun 2010 di Korong Sungai Paku

NNo. Tingkatan Jenjang Pendidikan

Laki-Laki (orang)

Perempuan (orang)

Total (orang)

1. Sekolah Dasar (SD) (7-12 tahun)

66 52 118

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) (13-15 tahun)

34 28 62

3. Sekolah Menengah Atas (SMA) (16-18 tahun)

28 23 51

Total (orang) 128 103 231 Sumber: Data BPS Kabupaten Padang Pariaman (2011)

Tabel 4 di atas merupakan data sensus jumlah anak usia sekolah (umur 7-18 tahun) adalah 231 orang yang terbagi atas 128 orang laki-laki dan 103 orang perempuan. Anak usia sekolah dengan jenis kelamin laki-laki berdasarkan tingkatan jenjang pendidikannya terdiri atas; 66 orang anak usia SD (umur 7-12 tahun); 34 orang anak usia SMP (umur 13-15 tahun); dan 28 orang anak usia SMA (umur 16-18 tahun). Sedangkan anak usia sekolah dengan jenis kelamin perempuan berdasarkan tingkatan jenjang pendidikannya terdiri atas; 52 orang anak usia SD (umur 7-12 tahun); 28 orang anak usia SMP (umur 13-15 tahun); dan 23 orang anak usia SMA (umur 16-18 tahun).

Page 63: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

Jumsatu rumadiduga mekeluarga dkesejahterrespondenpada Gam

Gam

BerdSungai Pahinnga 10orang respsampai 3 anggota ru20.0 persanggota ruArtinya, judalam rum

Tingresponden300 000 –000); dan

Tabel 5

Rendah (Sedang (Tinggi (>

Total Sumber: D

K

mlah anggotaah dimana emengaruhidari total peraan keluarn berdasarka

mbar 5.

Sumber: Dambar 5 Pres

dasarkan suaku, jumlah0 orang. Datponden ataorang. Sebaumah tanggen memilikumah tanggumlah angg

mah tangga d

Kar

gkat pendapn. Tingkat p– Rp 2 200 tingkat pen

5 Jumlah daperbulan

Tingkat P

(Rp300 000 –(Rp 2 200 001> Rp 4 100 00

Data primer di

20

Karakteristi

a rumah tanresponden

i kapasitas enghasilan yrga dalam an banyakn

ata primer dioentase respo

urvai yang dh anggota rta tersebut au 10.0 peranyak 28 orga 4 sampaki jumlah a responden

gota keluargdengan jum

rakteristik

patan meruppendapatan 000); tingk

nghasilan tinan presentas

Pendapatan Pe

– Rp 2 200 0001 – Rp 4 100 000)

iolah (2013)

100%

ik Jumlah A

ngga adalah itu tingga

dan kemamyang diperolrumah tan

nya anggota

olah (2013) onden berda

dilakukan terumah tangdapat diliharsen memilrang responai 6 orang danggota ken yang ada dga responde

mlah anggota

Tingkat Pe

pakan jumladigolongka

kat penghasinggi (lebih dse responde

erbulan

0) 000)

0%

70%

Anggota K

banyaknyaal. Jumlah mpuannya uleh. Hal tersgga terseburumah tang

asarkan jum

erhadap 40 gga respondat pada Tabliki jumlah

nden atau 70dan sebanyeluarga lebidi Korong Sn di Koronga rumah tan

endapatan

ah penghasilan atas; tingilan sedangdari Rp 4 10en berdasark

Jum

Keluarga

a orang yanganggota ru

untuk memesebut juga but. Jumlah gga respond

mlah anggot

orang respoden bervariabel 7. Diketh anggota r0.0 persen m

yak 8 orangih dari 6 oSungai Pakug Sungai Pa

ngga sedang

Perbulan

lan perbulangkat pengha (Rp 2 200 00 000). kan tingkat

Respond

mlah (orang)

24 12 4

40

Sedikit Sedang Banyak

g menetap dumah tanggenuhi kebutberkaitan de

dan preseden dapat d

ta keluarga

onden di Koasi dari 3 otahui sebanyrumah tangmemiliki ju

g respondenorang. Ratau adalah 6 oaku tergolon

g.

n yang dipesilan rendah001 – Rp 4

pendapatan

den

Presentas(%)

60.0 % 30 %

10.0 %

100.0

(1-3)(4-6)

k (> 6)

47

dalam ga ini tuhan engan entase dilihat

orong orang yak 4 gga 1 umlah n atau a-rata

orang. ng ke

eroleh h (Rp 4 100

n

se

Page 64: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

48

Responden memiliki tingkat pendapatan yang beragam dengan jumlah penghasilan perbulan tertentu, yaitu dari Rp 300 000 sampai Rp 6 000 000 dengan rata-rata penghasilan perbulannya adalah Rp 1 983 750. Artinya, rata-rata responden memiliki tingkat penghasilan sedang. Adapun jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat penghasilan dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 65: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

49

TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA

Berkaitan dengan masalah kebencanaan yang sangat sering terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu belakangan ini, maka kajian mengenai kerentanan suatu masyarakat dalam menghadapi bencana dirasa sangat penting. Konsep kerentanan merupakan tingkat kekurangan kemampuan suatu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menghadapi dampak bahaya bencana tertentu. Penelitian ini mengkaji konsep kerentanan tersebut pada masyarakat pesisir dengan melihat tingkat kerentanannya terhadap bencan pada empat aspek kerentanan. Konsep tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dalam penelitian ini merupakan suatu kondisi tinggi rendahnya kapasitas dan kemampuan suatu rumah tangga responden untuk merespon suatu keadaan dalam situasi bencana. Tingkat kerentanan masyarakat pesisir tersebut diukur dari beberapa aspek yakni; aspek sosial budaya (tingkat kerentanan masyarakat pesisir yang dilihat dari tingkat kepercayaan masyarakat, tingkat pemanfaatan jaringan sosial, dan tingkat pengetahuan); aspek ekonomi, tingkat kerentanan masyarakat pesisir dilihat dari indikator tingkat kesejahteraan rumah tangga responden; aspek infrastruktur dan pemukiman (tingkat kerentanan masyarakat pesisir dilihat dari nilai konstruksi dan material bangunan dan nilai tata letak pemukiman); aspek lingkungan, tingkat kerentanan masyarakat pesisir dilihat dari tingkat pemanfaatan SDA; dan aspek kelembagaan dengan tingkat kerentanan masyarakat pesisir dilihat dari tingkat kinerja lembaga.

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Sosial Budaya

Pada aspek sosial budaya, tingkat kerentanan masyarakat diukur dari tiga indikator, yakni; tingkat kepercayaan yang ada pada masyarakat, tingkat pemanfaatan jejaring sosial masyarakat, dan tingkat pengetahuan masyarakatnya. Ketiga indikator tersebut dinilai sebagai konsep penting untuk dikaji dalam melihat tingkat kerentanan masyarakat pesisir pada aspek ini.

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Kepercayaan Masyarakat

Indikator tingkat kepercayaan dinilai penting dalam menentukan tingkat kerentanan masyarakat pesisir. Hal ini karena unsur-unsur kepercayaan yang ada pada masyarakat tertentu merupakan modal sosial yang sangat penting dalam membangun sebuah ikatan yang kuat pada masyarakatnya. Unsur kepercayaan yang baik dapat mendorong masyarakat mudah memberi dan menerima dari sesama mereka terutama pada masa sulit seperti padasaat mereka tertimpa musibah atau mengalami bencana. Tidak hanya kepercayaan antar sesama, kepercayaan yang baik terhadap pihak luar pun berpengaruh terhadap bagaimana mereka dapat mempertahankan diri pada masa sulit tersebut. Hal tersebut dapat mempermudah pihak luar untuk segera menolong ketika mereka mendapati musibah atas dasar kepercayan yang baik tanpa ada rasa curiga dan pikiran buruk lainnya.

Page 66: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

50

Konsep tingkat kepercayaan merupakan sejauh mana persepsi masyarakat mengenai hubungan antar individu ataupun dengan sebuah kelompok (organisasi, lembaga, ataupun instansi) meliputi tindakan-tindakan dan norma-norma yang dilandasi rasa tidak saling curiga terhadap orang lain. Pada kuesioner penelitian, tingkat kepercayaan yang ada pada masyarakat diukur melalui pertanyaan-pertanyaan kepada responden yang dapat mempresentasikan bagaimana masyarakat secara umum mempercayai satu sama lain terutama saat menerima dan memberikan bantuan sesaat terjadi bencana. Kemudian dari sikap mereka yang saling mempercayai satu sama lain juga akan terlihat bagaimana wujud sikap mereka yang saling tolong menolong sesaat terjadi bencana. Selain itu, pada kuesioner penelitian juga menanyakan bagaimana kepercayaan responden terhadap tokoh-tokoh masyarakat dalam memperjuangkan kepentingan masyarakatnya. Kemudian kepercayaan masyarakat terhadap LSM/lembaga donor dan pemerintah yang memberikan bantuan bencana, mengenai keadilan dan tidak dibeda-bedakan. Ada sepuluh pertanyaan yang berkaitan dengan hal ini yang harus dijawab oleh masing-masing responden. Selanjutnya skor dari penilaian atas jawaban oleh responden dikelompokkan menjadi tiga tingkatan tingkat kerentanan yaitu; tinggi, sedang, dan rendah. Berikut disajikan data tingkat kerentanan dilihat dari tingkat kepercayaan yang ada pada warga Korong Sungai Paku, Nagari Kuranji Hilir yang diambil dari sampel responden 40 orang.

Sumber: Data primer diolah (2013)

Gambar 6 Tingkat kepercayaan

Gambar 6 menjelaskan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat tinggi. Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi menunjukkan tingkat kerentanan masyarakat yang rendah. Sekitar 95.0 persen diantara mereka yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Pada umumnya warga Sungai Paku saling mempercayai bahwa adanya toleransi yang tinggi, sikap saling tolong menolong dan mendahulukan kepentingan bersama diantara mereka. Selain itu, mereka percaya bahwa nilai-nilai tolong menolong itu ada karena nilai/norma setempat yang dapat mengakomodir kepentingan orang banyak. Hal ini menyebabkan saat terjadi bencana, selain mereka harus menyelamatkan diri sendiri sesaat terjadi

0 2

38

05

95

0102030405060708090

100

Rendah Sedang Tinggi

Frek

uens

i dan

pre

sent

ase

Tingkat Kepercayaan

Frekuensi

Persentase (%)

Page 67: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

51

bencana, tetapi dengan modal sosial tingkat kepercayaan diantara mereka yang tinggi akan mendorong mereka juga akan memperhatikan keselamatan warga lainnya yang juga merupakan sama-sama korban bencana.

Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan LSM/lembaga donor pemberi bantuan saat bencana juga tinggi. Hal ini dapat dilihat dari persentase responden yang menjawab pernyataan yang terkait dengan hal tersebut. Pernyataan tersebut dijawab dengan tipe jawaban skala likert, yaitu; setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Berikut terdapat tabel kepercayaan masyarakat terhadap beberapa pemangku kepentingan (tokoh masyarakat, pemerintah, dan LSM/lembaga donor) tersebut yang memberikan jawaban pernyataan setuju. Berikut dirangkum sebuah tabel yang memuat informasi mengenai kepercayaan masyarakat yang terdapat di lokasi penelitian terhadap beberapa pemangku kepentingan dalam memberikan pertolongan saat terjadi bencana. Tabel 6 Kepercayaan masyarakat terhadap beberapa pemangku kepentingan

dalam memberikan pertolongan saat terjadi bencana

No Pernyataan Persentase (%)

1. Percaya bahwa tokoh-tokoh masyarakat yang ada di korong memperjuangkan kepentingan orang banyak 85.0

2. Percaya bahwa bantuan pasti akan segera datang baik dari pemerintah, LSM, dan atau lembaga donor lainnya saat tertimpa bencana 82.5

3. Percaya terhadap LSM/lembaga donor yang datang ke desa pasca bencana memiliki kepentingan untuk membantu masyarakat tanpa ada kepentingan lainnya

90.0

4. Percaya terhadap pemerintah yang selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa memandang RAS terutama saat terjadi bencana 87.5

Sumber: Data primer diolah (2013)

Tabel 6 memperlihatkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap beberapa pemangku kepentingan seperti tokoh masyarakat, pemerintah, dan LSM/lembaga donor tinggi. Karena lebih dari 80.0 persen mereka menjawab setuju terhadap pernyataan pertama dan kedua. Selebihnya, menjawab pernyataan tersebut pada kisaran jawaban kurang setuju atau tidak setuju.

Pernyataan ke-tiga mengenai keercayaan masyarakat atas kepentingan LSM/lembaga donor terhadap masyarakat setempat dalam memberikan bantuan pasca bencana tergolong paling tinggi diantara tiga pernyataan lainnya, yakni sekitar 90.0 persen, sisanya 10.0 persen menjawab kurang setuju atau tidak setuju. Saat wawancara mendalam dilakukan terhadap responden terkait pernyataan tersebut, sebagian dari responden yang menjawab kurang setuju atau tidak setuju melontarkan pernyataan sebagai berikut :

“…saya kurang percaya terhadap LSM atau lembaga dari luar yang memberikan bantuan setelah bencana. Terutama pada LSM dari luar negeri. Takutnya, mereka memiliki kepentingan lain selain dalam memberikan bantuan pasca bencana...” (DOY, 52 th, 24 Oktober 2012).

Page 68: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

52

Beberapa responden yang tidak menjawab setuju atas pernyataan ketika melontarkan pernyataan seperti itu. Pada umumnya, mereka kurang mempercayai LSM/lembaga donor dari luar negeri. Sebagian masyarakat sangat mengkhawatirkan bahwa ada kepentingan lain selain adanya maksud membantu masyarakat yang terkena bencana. Beberapa dari mereka juga melontarkan pernyataan kekhawatiran mereka terhadap LSM/lembaga donor lainnya seperti pernyataan berikut ini:

“…kami takut jika lembaga yang memberikan bantuan tersebut menyebarkan agama mereka melalui ajaran-ajaran yang mereka berikan secara tidak kita sadari. Pernah ada di beberapa tempat lain mereka menetap lama. Takutnya, mereka menikahi anak gadis kami kemudian mengajaknya pindah agama…”(SAP, 62 th, 19 Oktober 2012). Namun, tidak semua responden yang tidak memilih jawaban setuju terhadap

pernyataan ke-3 pada Tabel 6 dengan atas dasar alasan seperti pernyataan di atas (alasan agama). Pada dasarnya, memang sebagian masyarakat Korong Sungai Paku memiliki ketaatan agama yang tinggi. Tetapi, tidak sejalan dengan wawasan, pengetahuan, dan kepercayaan mereka terhadap LSM/lembaga donor dari luar yang murni memberikan bantuan pasca bencana kepada mereka tanpa ada misi lain terutama berkaitan dengan isu agama.

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Pemanfaatan Jaringan Sosial

Kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana pada aspek sosial budaya juga dilihat dari bagaimana tingkat pemanfaatan jaringan sosialnya. Skala tingkat kerentanan pada aspek sosial budaya direfleksikan dari tingkat pemanfaatan jaringan sosial tersebut. Tingkat pemanfaatan jaringan sosial merupakan sebuah konsep yang melihat sejauh mana hubungan timbal balik pada sebuah situasi yang membutuhkan pertolongan dari individu lain ataupun dari sebuah organisasi, lembaga, atau instansi tertentu dalam keadaan sakit, meninggal, terkena bencana alam atau lainnya yang terjadi pada satu individu ataupun kelompok.

Pada penelitian ini, tingkat pemanfaatan jaringan sosial menjadi bagian penting dalam membahas tingkat kerentanan masyarakat pesisir pada aspek sosial budaya. Sama halnya seperti unsur kepercayaan, jaringan sosial yang ada pada masyarakat tertentu juga menjadi modal sosial yang tidak kalah pentingnya dalam suatu komunitas sosial atau masyarakat. Hal ini karena setiap masyarakat sosial tertentu memiliki sebuah interaksi antar kelompok sosial/tokoh yang masing-masing memiliki peran tertentu. Suatu komunitas yang stabil tentunya setiap staheholders atau tokoh tersebut memiliki interaksi yang timbal balik yang mendatangkan keuntungan baik terhadap sebelah pihak maupun keduanya. Untuk itu, perlu adanya kajian mendalam mengenai bagaimana tingkat pemanfaatan jaringan sosial yang ada pada masyarakat, khususnya yang terjadi pada lokasi penelitian. Hal ini tentunya sangat berguna pada situasi-situasi tertentu. Jika tingkat pemanfaatan jaringan sosialnya baik, artinya interaksi timbal balik yang ada pada masyarakat tersebut juga baik. Hal tersebut juga mempermudah mereka untuk tetap bertahan pada situasi tersebut dengan adanya fungsi dan peran dari

Page 69: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

53

pihak lain yang berjalan dengan baik. Misalnya, ketika terjadi bencana gempa bumi hebat pada suatu tempat, masyarakat tersebut tentunya membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Dari jaringan sosial yang sudah terbentuk sebelumnya maka akan mempermudah atau mempercepat datangnya bantuan. Kepala Korong (pemimpin desa) akan segera meminta pertolongan atas warga korban bencana kepada pemerintah setempat untuk memperoleh bantuan seperti makanan, pakaian, obat-obatan, dan lainnya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk pemanfaatan jaringan sosial pada suatu kelompok masyarakat.

Berikut, disajikan data yang menghimpun informasi dari lokasi penelitian mengenai tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana yang dilihat dari tingkat pemanfaatan jaringan sosial.

Sumber: Data primer diolah (2013)

Gambar 7 Tingkat pemanfaatan jaringan sosial

Gambar 7 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan jaringan sosial di Sungai Paku tinggi yakni sebesar 97.5 %. Tingkat pemanfaatan jaringan sosial yang tinggi menujukkan tngkat kerentanan masyarakat pesisir pada aspek tersebut adalah rendah. Angka tersebut mewakili persentase jawaban responden atas pernyataan yang terdapat pada kuesioner penelitian mengenai pemanfaatan jaringan sosial. Masing-masing responden diberikan 10 pernyataan dengan 3 pilihan jawaban; setuju; kurang setuju; dan, tidak setuju. Pernyataan tersebut menyinggung beberapa hal sebagai berikut; (1) rumah saudara dekat yang tidak terkena bencana adalah opsi pertama mereka sebagai alternatif tempat pengungsian; (2) kepala korong (pemimpin desa) akan meminta pertolongan atas seluruh warga korban bencana kepada pemerintah setempat; (3) jaminan keuangan diperoleh dari tetangga atau tokoh masyarakat, sementara mereka masih dalam kondisi darurat yang menyebabkan mereka tidak bisa untuk mencari nafkah; (4) memanfaatkan bantuan dari LSM/lembaga donor terhadap korban bencana; (5) tokoh masyarakat atau pemuka kaum memanfaatkan jaringan-jaringan sosial tertentu untuk memeroleh bantuan; (6) masyarakat akan saling tolong-menolong atau bergotong-royong antara sesame korban bencana dalam mendistribusikan bantuan yang diperoleh pendonor atau pemerintah setempat; (7) memanfaatkan program bersubsidi dari pemerintah.

0 1

39

0 2.5

97.5

0

20

40

60

80

100

120

Rendah Sedang Tinggi

Frek

uens

i dan

pre

sent

ase

Tingkat pemanfaatan jaringan sosial

Frekuensi

Persentase (%)

Page 70: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

54

Berikut dirangkum sebuah tabel yang mencakup informasi mengenai tujuh hal di atas berkaitan dengan pemanfaatan jaringan sosial masyarakat dilokasi penelitian. Data tersebut diperoleh dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh responden penelitian berkaitan dengan pernyataan-pernyataan mengenai hal tersebut. Pada Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa rata-rata di atas 90.0 persen responden menjawab pernyataan 1, 2, 4, 5, 6, 7, dengan jawaban setuju. Pada point pertama, pada umunya warga korban bencana menjadikan rumah saudara dekat yang tidak terkena bencana menjadi alternatif pertama sebagai tempat pengungsian. Hal ini juga didukung dari hasil data statistik bahwa sekitar 92.5 persen responden menjawab setuju atas pernyataan tersebut. Tabel 7 Pemanfaatan jaringan sosial masyarakat sesaat terjadi bencana

No Pernyataan Presentase (%)

1. Rumah saudara dekat yang tidak terkena bencana adalah opsi pertamamereka sebagai alternatif tempat pengungsian 92.5

2. Kepala korong (pemimpin desa) akan meminta pertolongan atas seluruhwarga korban bencana kepada pemerintah setempat 97.5

3. Jaminan keuangan diperoleh dari tetangga atau tokoh masyarakat,sementara mereka masih dalam kondisi darurat yang menyebabkan merekatidak bisa untuk mencari nafkah

82.5

4. Memanfaatkan bantuan dari LSM/lembaga donor terhadap korban bencana 92.5 5. Tokoh masyarakat atau pemuka kaum memanfaatkan jaringan-jaringan

sosial tertentu untuk memeroleh bantuan 90.0

6. Masyarakat akan saling tolong-menolong atau bergotong-royong antara sesame korban bencana dalam mendistribusikan bantuan yang diperolehpendonor atau pemerintah setempat

95.0

7. Memanfaatkan program bersubsidi dari pemerintah 95.0 Sumber: Data primer diolah (2013)

Secara geografis Korong Sungai Paku tidak jauh dengan wilayah perbukitan. Terdapat Korong Guguak yang sudah menjadi tempat evakuasi warga saat terjadi bencana gempa. Dilihat dari silsilah kekeluargaan memang antara warga Korong Sungai Paku dengan warga Korong Guguak masih memiliki hubungan keluarga. Hal ini juga mempermudah mereka untuk melarikan diri untuk menemukan tempat yang relatif aman untuk mengungsi. Biasanya selain menempati rumah-rumah saudara mereka yang ada di wilayah perbukitan tersebut, bangunan tempat ibadah seperti masjid juga sering menjadi tempat pengungsian bagi warga yang tidak memiliki kerabat di wilayah tersebut. Selain itu juga didirikan tenda-tenda darurat yang juga bisa digunakan sebagai tempat peristirahatan sementara sampai kondisi kembali aman.

Berdasarkan laporan penelitian LIPI oleh Humaedi (2011) berkairtan dengan fungsi utama mesjid sebagai tempat ibadah selai itu memiliki fungsi lain sebagai tempat pengungsian dalam situasi bencana. Fenomena loncatan dan penambahan fungsi mesjid ini dari funsi biasanya sebagai tempat ibdah menajdi tempat pengungsian juga dapat dijelaskan dengan teori perubahan sosial yang dikemukakan oleh Anthony Giddens dalam Humaedi (2011). Dimana perubahan sosial selalu didasarkan pada relasi ruang dan waktu. Setiap pola interaksi yang ada pasti berada pada relasi ruang dan waktu. Dengan pola interaksi yang terjadi di masyarakat seiring dengan berjalanya waktu keberadaan mesjid secara ruang

Page 71: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

55

dan tempat pada wilayah terkena bencana mengalami loncatan kuat terhadap peran mesjid dalam masyarakat.

Pada pernyataan kedua dan keempat, 97.5 persen setuju bahwa Kepala Korong atau Wali Korong meminta pertolongan atas seluruh warga korban bencana kepada pemerintah setempat dan 90.0 persen menjawab setuju bahwa Tokoh masyarakat atau pemuka kaum memanfaatkan jaringan-jaringan sosial tertentu untuk memeroleh bantuan. Pada kenyataannya memang setiap Wali Korong merupakan perwakilan BNPB disetiap korong yang mereka pimpin.

Untuk pernyataan ke-3, hanya sekitar 82.5 persen responden yang menjawab atas pernyataan tersebut. Hal ini karena, tidak semua warga dapat menjamin kecukupan materi yang dibutuhkan oleh setiap korban bencana yang rata-rata mengalami kelumpuhan kegiatan perekonomian pasca bencana. Namun demikian, ada sejenis bantuan dari pemerintah yang diberikan berkala berupa dana lauk yang didistribusikan tiga kali pencairan selama tiga bulan pasca bencana gempa bumi 30 September 2009. Dana lauk ini dibagikan oleh pemerintah kepada korban bencana gempa dengan pertimbangan bahwa warga korban bencana otomatis mengalami kelumpuhan pada kegiatan perekonomian. Artinya, mereka tidak dapat beraktifitas secara optimal dalam mencari nafkah terutama untuk mencukupi kebutuhan primer keluarga seperti sandang dan pangan. Namun, penerima dana tersebut ditetapkan berdasarkan jenis kerusakan bangunan rumah yang dialami oleh korban gempa. Penerima dana lauk tersebut merupakan korban bencana yang mengalami jenis kerusakan rumah ‘rusak berat’. Sebagian warga yang juga merupakan korban bencana merasa pembagian dana tidak adil dengan pertimbangan kriteria penerima dana tersebut berdasarkan jenis kerusakan rumah. Pada umumnya warga yang mengalami kerusakan bangunan ‘rusak berat’ adalah warga yang memiliki bentuk bangunan rumah permanen yang rata-rata adalah golongan menengah keatas. Sedangkan yang membutuhkan bantuan dana yang dapat dialokasikan pada kebutuhan sehari-hari itu tidak hanya warga yang mengalami kerusakan banguanan ‘rusak berat’ saja, tetapi seluruh warga yang merupakan korban bencana gempa tersebut.

Umumnya, nelayan sekitar Korong Sungai Paku memiliki bentuk bangunan rumah kayu atau semi permanen. Pada umumnya rumah dengan bentuk bangunan seperti itu tidak mengalami kerusakan pasca gempa. Tetapi, mereka tidak mendapatkan tunjangan dana lauk tersebut karena mereka tidak mengalami kerusakan pada bangunan rumah mereka. Padahal jika dicermati, nelayan dengan jenis mata pencarian mereka yang sangat menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan di laut inilah yang paling merasakan ketidakstabilan pendapatan pasca bencana. Pendapatan mereka sehari-hari juga bergantung pada kondisi cuaca yang baik. Apalagi, pada kondisi alam yang tidak baik pasca bencana mereka sering tidak bisa melaut untuk mencari ikan. Maka, hal ini adalah salah satu alasan yang membuat beberapa kalangan dari masyarakat merasakan adanya ketidakadilan berkaitan dengan pembagian dana tersebut. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa sebenarnya nelayan yang tidak mengalami sedikit pun kerusakan bangunan rumah lebih membutuhkan bantuan dana lauk tersebut dari pada warga korban gempa yang mengalami kerusakan bangunan rumah ‘rusak berat’. Namun, data menunjukkan bahwa sebagian besar mereka setuju bahwa mereka mendapatkan jaminan keuangan pasca bencana yaitu sekitar 82.5 persen responden. Hal ini bisa saja karena memang sebagian besar warga mengalami kerusakan bangunan rumah

Page 72: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

56

rusak berat dan mereka adalah prioritas pemerintah dalam pembagian berbagai jenis bantuan pasca bencana. Selain bantuan dari pemerintah, ada berbagai jenis bantuan lainnya datang dari berbagai sumber, seperti; LSM/lembaga donor dalam dan luar negeri, instansi pemerintah, dan lain sebagainya. Jaminan keuangan sebenarnya bisa saja mereka peroleh dari tetangga atau kerabat dekat yang memiliki persediaan keuangan yang lebih dari cukup. Jaminan tersebut dapat berupa pinjaman, pemberian suka rela, atau berbagi makanan sehari selama di tempat pengungsian. Namun, tentu saja hal semacam itu tidak dapat mengakomodir kebutuhan seluruh warga yang membutuhkan bantuan yang sama. Biasanya, mereka akan memprioritaskan warga yang mereka kenal dekat seperti saudara, kerabat dan atau pun tetangga dekat.

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai kebencanaan merupakan salah satu bentuk kesiagaan masyarakat terhadap bencana terutama masyarakat yang mendiami suatu wilayah potensial bencana. Dengan bekal pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang kebencanaan, maka dapat membantu masyarakat untuk mempersiapkan diri dari kemungkinan datangnya bencana, mengetahui bagaimana tindakan yang harus dilakukan jika suatu ketika bencana datang secara tiba-tiba. Selanjutnya melakukan upaya-upaya preventif lainnya untuk mengurangi dampak yang diakbatkan oleh bencana tersebut.

Nagib dkk. (2008) juga melakukan penelitian tentang kebencanaan di Nagari Kuranji Hilir, Kabupaten Padang Pariaman, yakni mengenai “Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantisipasi Bencana Alam”. Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa pengetahuan tentang arti bencana pada umumnya lebih baik pada responden yang tinggal di zona aman dari pada di zona rawan. Kondisi ini menurutnya dapat mencerminkan bahwa responden yang berada di daerah rawan cenderung lebih siap mengantisipasi bencana.

Pada penelitian ini juga melihat bagaimana tingkat pengetahuan responden di lokasi penelitian mengenai; (1) aspek bencana (istilah, sifat-sifat dan ciri-ciri bencana,); dan (2) nilai tata ruang wilayah. Berdasarkan hasil survai yang dilakukan terhadap tingkat kerentanan masyarakat pesisir dilihat dari tingkat pengetahuan responden, berikut telah dirangkum sebuah data yang mencakup informasi mengenai hal tersebut.

Pada Gambar 8 berikut ini menjelaskan mengenai tingkat kerentanan masyarapakt pada aspeki tingkat pengetahuan. Sekitar 62.5 persen responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi atau dengan kata lain tingkat kerentanan pada aspek pengetahuan yang rendah. Kemudian, sekitar 35.0 persen responden dengan tingkat kerentanan sedang, sisanya 2.5 persen responden dengan tingkat kerentanan tinggi. Sejalan dengan hasil penelitian Nagib dkk. (2008) dimana pengetahuan masyarakat yang tinggal pada zona rawan cukup baik.

Page 73: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

57

Sumber: Data primer diolah (2013)

Gambar 8 Tingkat pengetahuan mengenai aspek-aspek bencana

Pada Tabel 8 berikut ini, disajikan data sebaran jawaban responden. Jawaban tersebut dalam bentuk pernyataan yang mengukur pengetahuan responden dengan jawaban “setuju” (dalam arti menjawab benar). Tabel 8 Sebaran jawaban benar responden menjawab pernyataan tentang

pengetahuan mengenai aspek bencana gempa dan Tsunami

No Pernyataan Presentase (%)

1. Wilayah tempat tinggal rawan terkena Tsunami 77.5 2. Pernah mendengar istilah Tsunami 100.0 Pengetahuan tentang sifat-sifat, ciri-ciri Tsunami

3. Tsunami selalu didahului oleh surutnya air laut secara mendadak (97.5 persen menjawab tidak setuju, 2.5 persen menjawab ragu-ragu) 00.0

4. Tsunami tidak selalu terjadi hanya dengan sekali gelombang air laut (gelombang tunggal ) 10.5

5. Getaran gempa yang lemah dapat menyebabkan terjadinya Tsunami 27.5 6. Getaran gempa yang kuat tidak selalu menyebabkan terjadinya Tsunami 95.0 7. Tsunami tidak dipengaruhi oleh cuaca 42.5 8. Tsunami tidak hanya dapat terjadi akibat patahan pada dasar laut 32.5 9. Gelombang Tsunami dapat saja berbelok arah karena adanya benda padat

seperti adanya dataran tinggi/bukit, susunan tegakan/pohon sehingga dapat digunakan sebagai pelindung di pinggir pantai

92.5

10. Keberadaan mangrove, cemara laut, atau tegakan/pohon (green belt) lainnya disepanjang pinggir pantai dapat meredam gelombang Tsunami yang menerjang daratan

92.5

11. Pemukiman/perumahan seharusnya terletak menjauhi garis pantai/zona merah 95.5

12. Gelombang Tsunami bergerak maju ke segala arah dari sumbernya, sehingga wilayah disekitar daerah gelombang akan berpotensi terkena dampak Tsunami

97.5

Sumber: Data primer diolah (2013)

1

14

25

2.5

35

62.5

0

10

20

30

40

50

60

70

Rendah Sedang Tinggi

Frek

uens

i dan

pre

sent

ase

Tingkat pengetahuan

Frekuensi

Persentase (%)

Page 74: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

58

Merujuk pada Tabel 8, dapat disimpulkan bahwa warga sudah sangat akrab sekali dengan istilah Tsunami. Hal ini dibuktikan dari hasil survai bahwa sekitar 100.0 persen responden warga Sungai Paku menyatakan bahwa mereka pernah mendengar istilah Tsunami. Salah seorang kader desa bernama RIN yang aktif membantu kegiatan LSM atau lembaga pemerintah dalam pemberian penyuluhan kepada masyarakat pesisir berkaitan dengan bencana gempa dan Tsunami di Korong Sungai Paku juga menyatakan bahwa:

“…kalau istilah Tsunami itu sudah bagaikan makanan sehari-hari bagi kami, bagaimana tidak semenjak kejadian gempa beberapa tahun lalu dan berpusat di sekitar laut mentawai isu Tsunami sering kali kami dengar, dan juga tempat tinggal kami merupakan zona merah bencana Tsunami…” (RIN, 39 th, 19 Oktober 2012) Kemudian, hanya sekitar 77.5 persen responden yang setuju bahwa wilayah

Korong Sungai Paku dikategorikan sebagai wilayah rawan Tsunami. Sisanya menjawab ragu-ragu dan tidak setuju. Fakta sebelumnya menunjukkan bahwa pada umumnya warga sudah sangat akrab dengan istilah Tsunami yang diwakili dari hasil survai yang menunjukkan sekitar 100.0 persen responden yang menyatakan hal tersebut. Sebenarnya wilayah Sungai Paku dikategorikan sebagai wilayah zona merah Tsunami, karena letaknya sangat dekat dengan garis pantai. Namun, sekitar 22.5 persen diantaranya masih ada yang menjawab ragu-ragu atau tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Mengutip pernyataan salah seorang responden bernama IBN yang termasuk pada 22.5 persen (menjawab ragu-ragu atau tidak setuju) mengatakan bahwa:

“…katanya memang wilayah tempat tinggal saya termasuk daerah rawan Tsunami, namun saat gempa besar tahun 2007 dan 2009 lalu yang pernah diisukan akan terjadi Tsunami namun tidak terjadi sekalipun di daerah ini, saya tidak tahu pasti apakah berita tersebut adalah benar atau hanya isu…”(IBN, 42 th, 24 Oktober 2012). Berkaitan dengan hal di atas, pada umumnya warga mengetahui bahwa

gempa besar yang terjadi disekitar wilayah pesisir tidak selalu diikuti oleh bencana Tsunami. Mereka menjawab pernyataan tersebut berdasarkan pengalaman yang pernah mereka alami pada bencana gempa besar pada tahun 2007 atau 2009 sebelumnya. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil survai yaitu sekitar 95.0 persen responden yang menjawab benar pernyataan tersebut.

Hal di atas sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Rasul (2009) dan Diposaptono (2011). Pada Rasul (2009) menyatakan bahwa tidak seluruh kejadian bencana gempa bumi akan menimbulkan Tsunami. Gempa bumi yang terjadi di sepanjang punggungan pemekaran lantai samudra tidak cukup kuat untuk menghasilkan sebuah Tsunami. Gempa bumi yang besar dan dangkal juga terjadi di sepanjang patahan mendatar antar lempeng, tetapi ketika terjadi patahan hanya menghasilkan gerakan vertikal kecil saja sehingga tidak menghasilkan Tsunami. Berkaitan dengan hal tersebut Diposaptono (2011) juga menyatakan bahwa Tsunami tidak selalu terjadi karena gempa yang kuat. Terkadang ada kejadian Tsunami yang didahului oleh gempa yang lemah. Tsunami dapat terjadi

Page 75: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

59

pada gempa kuat atau lemah dengan berbagai kondisi cuaca apapun. Tsunami akan terjadi apabila gempa di laut berkekuatan lebih 6.5 SR, pusat gempanya kurang dari 60 km, dan mengalami deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar. Namun, hanya 27.5 persen yang menjawab setuju bahwa Tsunami juga dapat terjadi pada gempa lemah dan hanya sekitar 42.5 persen menjawab bahwa Tsunami tidak dipengaruhi oleh cuaca. Hal tersebut dibuktikan dari hasil survai penelitian. Beberapa responden mengungkapkan hal yang sama menanggapi pernyataan mengenai ciri-ciri tersebut:

“…sedangkan gempa kuat saja tidak terjadi Tsunami, apalagi gempa lemah sepertinya tidak mungkin gempa lemah bisa disusul Tsunami…” (IBN, 42 th, 24 Oktober 2012). “…waktu gempa tahun 2009 lalu, langit hitam, mendung, angin kencang dan gelombang air laut tidak seperti biasaanya…” (RAJ, 67 th, 24 Oktober 2012). Pengetahuan yang baik tentang bencana berimplikasi pada bagaimana

masyarakat mempersiapkan upaya penyelamatan diri dari bahaya bencana. Namun masyarakat pesisir juga sarat dengan mitos-mitos yang keliru berkaitan dengan bencana. Tidak sedikit masyarakat pesisir yang tinggal di daerah rawan bencana menjadi korban bencana karena kurangnya persiapan dengan pengetahuan yang kurang atau mitos-mitos keliru tentang bencana tersebut. Disadur dari Diposaptono (2011) bahwa terdapat mitos-mitos bencana yang keliru berkembang pada masyarakat pesisir, khususnya mitos mengenai Tsunami. Diantara mitos-mitos tersebut antara lain; (1) Tsunami terjadi akibat gempa yang kuat; (2) Tsunami selalu didahului air laut surut mendadak; dan, (3) gelombang pertama Tsunami merupakan gelombang terbesar. Mitos-mitos yang berkembang di Korong Sungai Paku antara lain mitos ke-2 dan 3. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, warga Korong Sungai Paku mengetahui bahwa Tsunami tidak selalu terjadi pada gempa kuat karena belajar dari pengalaman bencana gempa tahun 2009 yang berpusat di kepulauan Mentawai dan diwaspadai akan terjadi Tsunami tetapi tidak terjadi. Sekitar 97.5 persen masyarakat percaya bahwa Tsunami selalu didahului oleh air laut surut secara mendadak. Padahal Tsunami bisa saja datang langsung menyapu kawasan pesisir, sisanya menjawab ragu-ragu. Hal ini berarti bahwa mitos ini berkembang sangat kuat pada masyarakat pesisir. Pada umunya mereka memberikan penjelasan yang menguatkan jawaban mereka tersebut seperti:

“…Tsunami selalu ditandai dengan air laut surut secara mendadak, karena kejadian Tsunami di Aceh dan Jepang juga demikian…”(AGU, 26 th, 24 Oktober 2012). Tidak ada yang salah dengan kenyataan bahwa Tsunami dapat ditandai

dengan air laut surut secara mendadak, namun yang perlu digaris bawahi bahwa Tsunami tidak selalu terjadi demikian. Hal ini, menjadi sangat penting karena bisa memengaruhi kesiapan masyarakat.

Page 76: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

60

Selanjutnya, sekitar 10.5 persen tahu bahwa Tsunami tidak selalu terjadi hanya dengan sekali gelombang air laut (gelombang tunggal). Hal ini didukung oleh Diposaptono (2011) yang menyatakan bahwa gelombang Tsunami dapat saja terjadi pada gelombang pertama, kedua, atau ketiga. Bahkan ada kejadian bahwa ternyata gelombang Tsunami terbesar datang pada gelombang susulan.

Umumnya, Tsunami terjadi disebabkan oleh patahan atau pergeseran lempeng bumi di palung laut. Namun, selain itu ada beberapa penyebab lain yang dapat menyebabkan terjadinya Tsunami. Berdasarkan hasil survai hanya sekitar 32.5 persen yang menjawab benar bahwa Tsunami tidak hanya disebabkan oleh patahan di palung laut atau pergesaran lempeng bumi di dasar laut. Berikut terdapat beberapa penyebab Tsunami (Rasul 2009): a. Pergeseran lempeng bumi yang menyebabkan gempa bumi di bawah laut. b. Longsor di dasar laut atau longsor bagian kecil daerah yang memasuki wilayah

air. c. Letusan gunung berapi di bawah laut. d. Jatuhnya meteor ke dalam lautan.

Keberadaan tegakan pohon, bukit atau benda padat lainnya di sepanjang pantai dapat meredam energi dan mengubah pola gelombang (periode, panjang gelombang, dan kecepatan rambatnya). Hampir seluruh responden mengetahui hal tersebut, yakni sekitar 92.5 persen responden yang menjawab pernyataan dengan tepat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survai yang ditunjukkan pada Tabel 8 pernyataan ke-9 dan ke-10. Namun, kondisi wilayah Korong Sungai Paku yang diapit langsung oleh samudra dan dataran tinggi/ daerah perbukitan membuat daerah ini menjadi semakin rentan terhadap amukan gelombang Tsunami. Karena dengan sebaran rumah penduduk yang dominan di sepanjang garis pantai ini bisa saja menjadi korban utama dari amukan gelombang tersebut. Ketika golombang Tsunami datang menghempas wilayah daratan kemudian bertemu dengan perbukitan, gemlombang Tsunami bisa saja tidak diteruskan dan berbelok sehingga menyapu wilayah tersebut kembali kearah lautan. Namun, hal ini dapat diantisipasi jika seluruh warga sangat waspada dan tanggap pada setiap kumungkinan datangnya bencana dan segera mengevakuasi ke wilayah yang lebih aman. Berdasarkan hal tersebut, sekitar 95.5 persen tahu bahwa seharusnya pemukiman/perumahan terletak menjauhi garis pantai/zona merah dan juga sekitar 97.5 persen tahu bahwa gelombang Tsunami bergerak maju ke segala arah dari sumbernya, sehingga wilayah disekitar daerah gelombang akan berpotensi terkena dampak Tsunami. Namun, kenyataannya hampir seluruh warga masih menetap di wilayah dikategorikan sebagai zona merah tersebut yang sebagian besar rumah-rumah warga tersebar disepanjang garis pantai. Kenyataan yang terjadi adalah, mereka menganggap tempat tersebut dimana mereka hidup berkeluarga, mencari nafkah, dan menjadi sebuah kelompok sosial masyarakat yang sudah lama menyatu jauh semenjak sebelum wilayah tersebut dikategorikan sebagai zona merah Tsunami setelah mengalami bencana gempa besar tahun 2007 dan 2009. Selain itu, pada umumnya masyarakat hanya memiliki tanah dan bangunan yang mereka tempati sekarang ini, sehingga masyarakat tidak memiliki tempat alternatif lainnya yang relative lebih aman yang menjauhi bahaya Tsunami. Hanya sebagaian kecil dari masyarakat yang memiliki saudara yang menempati wilayah yang lebih aman dan biasanya dijadikan sebagai tempat pengungsian ketika terjadi bencana.

Page 77: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

61

Tingkat kerentanan pada aspek pengetahuan juga dilihat dari pengetahuan masyarakat mengenai nilai tata letak pemukiman dan infrastruktur. Kerentanan masyarakat pada kondisi pemukiman dan infrastruktur juga merupakan suatu hal yang perlu diteliti lebih lanjut. Hal tersebut karena dari hasil penelitian tersebut dapat melihat kondisi kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah dan tatanan letak pemukiman yang seharusnya ideal mengikuti dan mempertimbangan aspek mitigasi bencana disuatu wilayah untuk waktu tertentu sehingga mengurangi kemampuan masyarakat mencegah, meredam, dan menanggapi dampak tertentu. Untuk memperkecil tingkat kerentanan masyarakat pesisir dari segi tata ruang wilayah dan pemukiman maka dalam penyusunan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (PWP3K) wajib memuat mitigasi yang merupakan bagian dari penanggulangan bencana. Perencanaan PWP3K tersebut salah satunya memasukkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang wajib mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta risiko bencana. Hal tersebut tercantum pada pasal 6, 8, dan 9 Peraturan Pemerintah RI Nomor 64 Tahun 2010 (Permen RI No. 64 Tahun 2010). Berikut disajikan gambar berisi data hasil survai mengenai tingkat kerentanan masyarakat pesisir dilihat dari tingkat pengetahuan tentang nilai tata ruang wilayah.

Sumber: Data primer diolah (2013)

Gambar 9 Tingkat pengetahuan tentang nilai tata ruang wilayah

Tingkat pengetahuan responden yang tinggi menunjukkan tingkat kerentanan pada aspek pengetahuannya rendah, demikian sebaliknya jika tingkat pengetahuan responden rendah mengindikasikan bahwa tingkat kerentanan responden pada aspek pengetahuan yang tinggi. Untuk tingkap pengetahuan sedang maka tingkat kerentanan juga sedang. Merujuk data pada Gambar 9, dapat diketahui jumlah tingkat kerentanan masyarakat pada aspek ini, yakni terdapat sebanyak 52.5 persen responden yang memiliki tingkat kerentanan rendah dan sebanyak 42.5 persen responden dengan tingkat kerentanan sedang. Sedangkan sisanya sebanyak dua orang atau 5.0 persen responden dengan tingkat kerentanan tinggi. Pada kuesioner terdapat sebelas pernyataan yang menguji pengetahuan responden berkaitan dengan aspek tersebut. Pernyataan tersebut antara lain mengenai; (1) perencanaan pembangunan seharusnya dilakukan sedemikian rupa (mitigasi) dalam upaya pencegahan bencana; (2) untuk daerah rawan tsunami

2

1721

5

42.5

52.5

0

10

20

30

40

50

60

Rendah Sedang Tinggi

Frek

uens

i dan

pre

sent

ase

Tingkat pengetahuan

FrekuensiPersentase (%)

Page 78: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

62

sebaiknya pemukiman, sekolah, tempat ibadah, dan perkantoran (wali nagari, kecamatan, dan lainnya) dibangun menjauhi pantai; (3) keberadaan pepohonan seperti cemara pantai, mangrove, dan kelapa berguna sebagai tiang penghambat gelombang tsunami; (4) lokasi tempat wisata pantai serta infrastruktur penunjang kurang aman bagi keselamatan pengunjung (belum bermitigasi bencana) (5) Keamanan jalur dan lokasi evakuasi bencana gempa dan tsunami.

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Ekonomi: Tingkat

Kesejahteraan

Bukan suatu hal baru bahwa setiap kali terjadi bencana bisa menyumbang angka kemiskinan baru. Terutama pada setiap kejadian bencana besar di negeri ini. Khawatirnya adalah ketika yang menjadi korban bencana tersebut adalah masyarakat yang juga berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi. Hal ini berimplikasi pada semakin terpuruknya kondisi perekonomian mereka. Salah satu program pengentasan kemiskinan yang telah diupayakan oleh Pemda Padang Pariaman adalah dengan pelaksanaan Program Raskin.

Pada pelaksanaan kegiatan yang digagas oleh bagian Ekbang Pemda Padang Pariaman 5 Maret 2013, yakni Sosialisasi dan Koordinasi Program Raskin Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni menyampaikan apresiasinya atas perkembangan Kepala Keluarga (KK) miskin di Padang Pariaman dari segi penerima bantuan Raskin. Terdapat penurunan sebesar 2.5 persen bila dibandingkan dengan tahun 2012. Pada tahun 2012 terdapat 22.355 Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima Raskin, sedangkan tahun 2013 RTS turun menjadi 21.794 RTS1. Bantuan tersebut harus diberikan tepat sasaran kepada KK miskin. Berikut disajikan sebuah tabel responden penerima Raskin di Korong Sungai Paku dari tahun 2009 sampai 2013.

Sumber: Pemerintahan Korong Sungai Paku (2013)

Gambar 10 Responden penerima program Raskin di Korong Sungai Paku tahun

2009 hingga 2013

1 Sumber: Sosialisai dan koordinasi program [internet]. [diunduh pada 15 Maret 2013].

Tersedia dari: http://www.padangpariamankab.go.id

50.00% 50.00%

0.00%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

60.00%

Penerima Bantuan Raskin Bukan Penerima Bantuan Raskin

Pres

enta

se (%

)

Kategori RT

Presentase (%)

Page 79: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

63

Data penerima bantuan Program Raskin di Korong Sungai Paku dia atas, diperoleh dari catatan pemerintahan desa. Data tersebut kemudian digunakan sebagai acuan untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Merujuk pada Gambar 10, terdapat sekitar 50.0 persen RTS penerima raskin dan sisanya adalah bukan penerima. Kategori penerima Raskin menggunakan data Rumah Tangga Miskin (RTM) BPS sebagai data dasar dalam pelaksanaan Raskin. Penggunaan data RTM hasil pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (2008) dari BPS diberlakukan sejak tahun 2008 yang juga berlaku untuk semua program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah2. Oleh karena itu, rumah tangga diluar RTM dapat dikategorikan sebagai RT dengan tingkat kesejahteraan tinggi dan RTM yang merupakan penerima bantuan Raskin dikategorikan sebagai RT dengan tingkat kesejahteraan rendah. Berdasarkan hal di atas, maka jumlah RT dengan tingkat kesejahteraan tinggi dan rendah dari segi penerima Raskin di Korong Sungai paku adalah seimbang dengan presentase yang sama yakni sebesar 50.0 persen. Data tersebut berdasarkan data yang diperoleh dari arsip/catatan pemerintahan setempat.

Meskipun angka tersebut memperlihatkan jumlah yang seimbang antara masyarakat dengan tingkat kesejateraan tinggi dan rendah, namun hal ini tetap perlu mendapat perhatian lebih. Terutama untuk mempersiapkan masyarakat secara ekonomi yang lebih baik terhadap kemungkinan bencana yang akan terjadi nanti. Jika tidak, bisa saja angka tersebut akan terus meningkat jika suatu saat bencana yang lebih besar datang dan merusak sistem ekonomi masyarakat yang ada.

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Pemanfaatan SDA

Tingkat pemanfaatan SDA yang dimaksud pada penelitian ini adalah skala tinggi, sedang, atau rendahnya aktivitas pengoptimalisasian potensi sumberdaya pesisir yang menjadi sumber kehidupan (tempat tinggal dan sumber mata pencaharian) pada suatu kawasasan pesisir. Aktivitas-aktivitas pengoptimalisasian potensi SDA yang dimaksud pada penelitian ini antara lain; (1) perilaku masyarakat yang bijak dalam memanfaatkan SDP; (2) Keikutsertaan masyarakat dalam penjagaan lingkungan; (3) Keikutsertaan masyarakat dalam penanaman tegakan/pohon sebagai upaya pengurangan risiko bencana; (4) membuang sampah pada tempat pembuangan sampah terpadu; (5) perencanaan pembangunan tempat wisata pantai dengan memerhatikan aspek lingkungan yang menyeluruh; dan (6) adanya kelompok masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan hasil survai diperoleh data mengenai tingkat kerentanan masyarakat pesisir dari tingkat pemanfaatan SDA-nya, yakni terdapat pada Gambar 14 dibawah ini.

2 Sumber: Sekilas Raskin (Beras untuk Rakyat Miskin) [internet]. [diunduh pada 15 Maret

2013]. Tersedia dari: http://www.bulog.co.id

Page 80: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

64

Sumber: Data primer diolah (2013) Gambar 14 Persentase tingkat pemanfaatan SDA di Korong Sungai Paku

Pada Gambar 14 dapat dilihat tingkat kerentanan masyarakat pesisir pada aspek tingkat pemanfaatan SDA pesisir. Terdapat sekitar 4 orang atau sekitar 10.0 persen responden dengan tingkat pemanfaatan SDA yang rendah atau tingkat kerentanan tinggi. Sekitar 31 orang atau sekitar 77.5 persen responden dengan tingkat pemanfaatan SDA yang sedang (tingkat kerentanan sedang). Sisanya merupakan responden dengan tingkap pemanfaatan SDA tinggi (tingkat kerentanan rendah), yakni sebanyak 5 orang atau 12.5 persen responden dari total keseluruhan.

Korong Sungai Paku memiliki letak goegrafis dan strategis di sepanjang pinggir pantai. Wilayah ini memiliki dua tempat wisata pantai yaitu Pantai Arta Indah (PAI) dan Pantai Arta Permai (PAP). Tidak jauh berbeda pemandangan dan keindahan pada kedua tempat wisata tersebut. Perbedaannya hanya pengelola antara dua tempat wisata pantai tersebut. Pantai Arta Indah dikelola oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pantai tersebut dalam satuan batasan wilayah yang telah ada semenjak dahulu. Pantai PAI merupakan tempat wisata pantai pertama yang ada di korong tersebut. Sedangkan pantai PAP dikelola oleh masyarakat setempat dengan dinas pariwisata. ditinjau dari segi lokasi tempat wisata tersebut, letaknya sangat berdekatan. Hanya dibatasi oleh muara sungai diantara dua lokasi tempat wisata tersebut. Keberadaan dua objek wisata ini dinilai tidak efektif, karena dari segi karakteristik tempat lokasi dan objek wisata yang disajikan pada dua tempat ini tidak jauh berbeda. Namun, PAP tediri dari fasilitas yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan PAI karena PAP telah difasilitasi pemerintah. Pantai PAI dikelola oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi objek wisata tersebut. Tempat wisata tersebut masih dikelola oleh masyarakat setempat karena mereka menginginkan pengelolaan oleh mereka sendiri sehingga hal-hal mengenai pengaturan keuangan dan fasilitas yang ada mereka lakukan sendiri. Berbeda dengan PAP masyarakat setempat bersedia menyerahkan pengelolaan tanah atau wilayah mereka kepada dinas pariwisata setempat. Ketersediaan fasilitas pada dua tempat ini jauh berbeda. Fasilitas-fasilitas yang tersedia di PAP umunya sudah memerhatikan aspek bencana, meskipun kenyataannya masih terdapat kerusakan akibat bencana 2009.

4

31

510

77.5

12.5

0102030405060708090

Rendah Sedang Tinggi

Frek

uens

i dan

pre

sent

ase

Tingkat pemanfaatan

Frekuensi

Persentase (%)

Page 81: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

65

Keberadaan pintu masuk PAP berseberangan dengan jalur evakuasi tsunami. Hal tersebut memungkinkan pengunjung untuk dapat segera mengevakuasi diri ke jalur evakuasi tersebut jika seketika bencana datang.

Tempat pembuangan sampah terpadu menjadi penilaian yang sangat penting dalam pemanfaatan dan penjagaan lingkungan. Terutama wilayah ini memiliki dua tempat wisata yang sering didatangi oleh pengunjung. Namun demikian, kedua tempat tersebut belum memiliki tempat pembuangan sampah terpadu. Sampah-sampah yang ada ditumpuk lalu kemudian dibakar. Selain itu, tidak sedikit masyarakat yang masih membuang sampah disepanjang tepi muara sungai karena masih banyak ditemukan tumpukan sampah di tepi muara sungai.

Masyarakat setempat mengakui bahwa belum ada kegiatan rutin dengan organisasi khusus yang barkaitan langsung dengan penjagaan lingkungan. Penanaman, penjagaan, dan perawatan pohon cemara pantai atau pohon sejenis spesies tepi pantai biasanya ditanam perorangan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pantai saja. Belum melibatkan masyarakat secara menyeluruh dalam kegiatan tersebut.

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Kinerja Lembaga

Tingkat kinerja lembaga merupakan pengkategorian tingkat efektifitas kerja sebuah lembaga baik lembaga masyarakat, pemerintah, atau lembaga/badan non-pemerintah dalam pencapaian tujuan sebuah lembaga tersebut. Pada penelitian ini tingkat kinerja lembaga dinilai oleh masing-masing responden melalui penyebaran kuesioner penelitian. Aspek ini penting diteliti lebih jauh untuk melihat bagaiamana efektivitas kerja sebuah lembaga baik lembaga pemerintah, LSM atau lembaga donor lainnya ketika fase pemulihan pasca bencana (pendistribusian bantuan, rehabilitasi, dan rekonstruksi) maupun ketika fase pengurang risiko pra-bencana (mitigasi dan kesiapan). Berdasarkan penelitian di lapang, diperoleh presentase tingkat kerentanan masyarakat dilihat dari tingkat efektifitas kinerja lembaga yang terdapat pada Gambar 11.

Sumber: Data primer diolah (2013)

Gambar 11 Persentase tingkat efektifitas kinerja lembaga

0 4

36

010

90

0102030405060708090

100

rendah Sedang tinggi

Frek

uens

i dan

pre

sent

ase

Tingkat efektifitas kinerja lembaga

Frekuensi

Persentase (%)

Page 82: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

66

Merujuk pada Gambar 11, dapat dijelaskan bahwa terdapat nol persen responden dengan memberikan penilaian terhadap tingkat efektifitas kinerja lembaga yang rendah, 4 responden atau 10.0 persen responden dengan memberikan penilaian tingkat kinerja lembaga sedang dalam artian tingkat kerentanan sedang. Sisanya adalah 36 responden dengan memberikan penilaian terhadap efektifitas kerja lembagatinggi yang menujukkan bahwa tingkat kerentanan pada aspek ini adalah rendah.

Tingkat kerentanan dilihat dari penilaian terhahap tingkat efektifitas kinerja lembaga oleh masing-masing responden tersebut merefleksikan penilaian mereka terhadap beberapa hal sebagai berikut; (1) peranan pemerintah, LSM ataupun lembaga donor lainnya terhadap penanggulangan bencana pesisir; (2) ketangkasan tanggapan pemerintah, LSM ataupun lembaga donor lainnya terhadap penanggulangan bencana pesisir; (3) pelaksanaan tugas sebuah lembaga baik pemerintah, LSM ataupun lembaga donor lainnya sesuai dengan fungsinya; (4) efektifitas bantuan yang diberikan dapat bermanfaat oleh masyarakat sekitar; (5) ketangkasan tanggapan pemerintah, LSM ataupun lembaga donor lainnya terhadap penyediaan bantuan atau fasilitas darurat pasca bencana.

Kerentanan Masyarakat Pesisir Terhadap Bencana

Kerentanan merupakan sensitivitas seseorang atau kelompok terhadap perubahan situasi yang terjadi secara tidak terduga karna suatu kejadian atau bencana yang memengaruhi kestabilan kondisi sebelumnya serta kapasitas seseorang atau kelompok tersebut untuk dapat beradaptasi ataupun memulihkan diri dari dampak yang ditimbulkan oleh kondisi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bagaimana kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana pada empat aspek kerentanan terhadap bencana. Kerentanan masyarakat pesisir pada empat aspek kerentanan bencana dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 9 Persentase kerentanan masyarakat pesisir berdasarkan lima aspek

kerentanan bencana

No Aspek Kerentanan Persentase Kerentanan

Rentan (%) Tidak Rentan (%) 1. Sosial Budaya 2.5 97.5 2. Ekonomi 50.0 50.0 3. Lingkungan 57.5 42.5 4. Kelembagaan 0 100.0

Sumber: Data primer diolah (2013)

Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat persentase kerentanan masyarakat Korong Sungai Paku pada masing-masing aspek kerentanan bencana. Pada aspek sosial budaya, sekitar 97.5 persen dapat dikatakan bahwa masyarakat korong tersebut tidak rentan. Pada aspek infrastrukstur dan pemukiman dan aspek kelembagaan juga menunjukkan hal yang sama, dengan besar persentase adalah 100.0 persen. pada aspek ekonomi, sekitar 50.0 persen dapat dikatakan bahwa masyarakat korong rentan. Selanjutnya pada aspek lingkungan sekitar 57.5 persen dapat dikatan bahwa masyarakat pesisir korong tersebut rentan terhadap bencana.

Page 83: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

67

UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB) OLEH MASYARAKAT

Bab ini akan membahas mengenai upaya pengurangan risiko bencana yang diimplementasikan oleh masyarakat di Korong Sungai Paku berdasarkan program bantuan yang disalurkan oleh lembaga pemerintah ataupun non pemerintah untuk masyarakat setelah bencana gempa September 2009. Pada bab sebelumnya terdapat subbab yang menjelaskan menganai program-program bantuan yang didistrusikan pemerintah maupun non pemerintah dalam upaya manajemen bencana untuk mengurangi risiko. Manajemen bencana tersebut mencakup fase pemulihan pasca bencana dan fase pengurangan risiko bencana

Menurut Baron dan Byrne (2005), pengaruh sosial merupakan usaha yang dilakukan seseorang atauh lebih untuk mengubah sikap, belief, presepsi, atau tingkah laku dari orang lain. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa segala bentuk upaya manajemen bencana yang dilakukan, baik oleh lembaga pemerintah ataupun non pemerintah yang ditujukan untuk mengubah sikap, belief, presepsi serta tingkah laku masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengurangan risiko bencana merupakan suatu bentuk pengaruh sosial. Oleh karena itu, implementasi program bantuan pemerintah dalam upaya PRB dibatasi hanya pada program yang diimplementasi oleh masyarakat yang memengaruhi sikap, belief, presepsi dan tingkah laku masyarakat korban bencana di Korong Sungai Paku. Diantaranya adalah rehabilitasi, rekonstruksi, dan kesiapan.

Pada upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, pemerintah melakukan berbagai kegiatan seperti penyuluhan, sosialisasi dan simulasi bencana. Kegiatan penyuluhan, sosialisasi dan simulasi bencana yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam segi pengetahuan yang berkaitan dengan kebencanaan. Upaya tersebut dapat diartikan sebagai tindakan pengaruh sosial yang dilakukan oleh lembaga pemerintah ataupun lembaga non pemerintah untuk mengubah sikap, belief, presepsi, dan tingkah laku masyarakat menjadi lebih siap dan siaga terhadap kemungkinan peristiwa bencana yang akan datang. Namun, pada kenyataannya ada pula diantara masyarakat yang menerima program penyuluhan, sosialisasi dan simulasi bencana kemudian tidak mengikutinya.

Sebagian besar orang hampir selalu bertingkah laku sesuai dengan norma sosial. Dengan kata lain orang-orang menunjukkan kecenderungan yang kuat terhadap konformitas. Baron dan Byrne (2005) menjelaskan bahwa konformitas merupakan suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka sesuai dengan norma sosial yang ada.

Ketika bentuk pengaruh sosial yang dilakukan pemerintah yang telah dikemas menjadi kegiatan pendidikan, praktik, dan fasilitas-fasilitas penting yang mendukung upaya PRB pada masyarakat, hal ini bisa saja dapat berpengaruh signifikan terhadap sikap, belief, presepsi dan tingkah laku masyarakat dalam mengahadapi bencana. Berdasarkan hasil penelitian Asc yang dikemukakan oleh Baron dan Byrne (2005) menunjukkan bahwa adanya tekanan yang kuat terhadap konformitas dan juga konformitas tersebut tidak terjadi pada derajat yang sama di semua situasi. Artinya, diantara masyarakat yang diberi pengaruh sosial ada yang mengikutinya dan ada juga yang tidak mengikutinya. Selain masyarakat dibekali

Page 84: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

68

pengmenedari penyjalur ketikperintemppengtelahnormtidakatau menjhanytertenatau tersetidaknorm

bangdilakmasioleh pascajenis(RK)terdaterda1 orpermbangGamrespo

getahuan derima bantu

lembaga yelamatan y

evakusi daka masa rengatan melapat evakuasigetahuan padh dilakukan ms atau normk menuruti

mengikuti jelaskan de

ya mengindntu. Normalebih meng

ebut. Hal ink menerimama deskripti

Hasil surgunan rumahkukan untukng-masing setiap jenisa bencana. B bentuk ban); rumah seapat pada Gapat 4 orangrang atau 2

manen, sisangunan rumah

mbar 12 beonden pada

SumbeGambar 12

an praktikuan berupa f

pemerintayang diteriman penyediaehabilitasi alui bunyi si bencana yda saat pensebelumny

ma himbauatekanan kotekanan n

escriptive ndikasikan apa ini memengenai apa yni juga mema bentuk pef.

rvai di Koh respondenk meneliti responden

s konstruksiBerdasarkanngunan rumemi perman

Gambar 12 dg 10.0 perse2.5 persen nya 35 orh permanenerisi informsaat pra ben

er: Data prime2 Bentuk ko

87.5%

k penanggufasilitas untuah maupu

ma oleh maaan tempat sesaat terjasirine maka

yang telah dnyuluhan, soya. Dengan an yang menonformitas. orma konfo

norms atau pa yang se

ngaruhi tingyang umumnmungkinkan

ngaruh sos

orong Sungn pada masalebih lanjuberdasarka

i bangunan n hasil surv

mah yang ditnen (RSP); di bawah inen responderesponden ang atau 8

n pada saat pmasi mengncana tahun

er diolah (2013onstruksi rum

10%

ulangan beuk penyelam

un lembagsyarakat beevakuasi b

adinya gema masyarakisediakan se

osialisasi dademikian, t

nentukan sejPada kasus

ormitas ternorma him

ebagian begkah laku denya dianggpterjadinya

ial karena n

gai Paku ma pra bencaut bagaimaan kriteria trumah yang

vai di lapangtemui dilokdan rumah

ni. Dari Gaen dengan k

dengan ko87.5 persenprabencana enai presenn 2009.

3) mah respon

2.5%

Re

Sed(RTin

encana, mamatan ketik

ga non perupa, sirinebagi korbanmpa dan akat akan segesuai dengaan praktik stelah terdap

ejauhmana ins ini, masysebut. Baro

mbauan mesar orang engan cara mp efektif atapenolakan

norma yang

menunjukkaana dan pascna bentuk tingkat kereg mereka teg, masa pra

kasi penelitih permanenmbar 12 da

konstruksi bonstruksi ban respondegempa Sep

ntase bentu

nden pra ben

endah: Rumah

dang: Rumah SP)nggi: Rumah P

asyarakat jka terjadi bepemerintah. e peringatan

n bencana. Ktau diiringgera lari kean instruksi imulasi ben

pat sebuah dndividu mearakat telahon dan Byrerupakan nolakukan pamember tahau adaptif patau sebag

g ditanamk

an presentaca bencana.konstruksi

entanan yanempati saat bencana tean, yaitu; run (RP). Datapat dijelaskbangunan ruangunan ru

en dengan ptember 200uk bangun

ncana tahun

h Kayu (RK)

Semi Perman

Permanen (RP

juga telah encana baik

Fasilitas n bencana, Kemudian,

ggi dengan e jalur dan atau bekal

ncana yang descriptive nuruti atau h menuruti rne (2005) orma yang ada situasi hu individu pada situasi gaian orang an beruma

asi bentuk . Survai ini

bangunan ng dimiliki pra maupu

erdapat tiga umah kayu ta tersebut kan bahwa

umah kayu, umah semi konstruksi

09. Berikut nan rumah

n 2009

nen

P)

Page 85: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

69

Mengacu pada Bab Profil Lokasi Penelitian terdapat subbab yang menjelaskan mengenai bentuk konstruksi bangunan dan tingkat kerentanan bangunan rumah pra bencana dan pasca bencana. Pada Tabel 12 terdapat sekitar 87.5 persen responden tersebut memiliki tingkat kerentanan tinggi dengan kontruksi bangunan rumah permanen. Kemudian jika dilihat data jenis kerusakan rumah responden akibat bencana September 2009 dihubungkan dengan bentuk bangunan rumah pra bencana, ternyata memang yang paling banyak mengalami kerusakan adalah bangunan rumah permanen. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Tabulasi silang bentuk konstruksi rumah responden pra bencana dan

jenis kerusakan rumah responden

Bentuk Konstruksi Rumah Pra Bencana

Jumlah Jenis Kerusakan Bangunan Responden

Tidak Rusak

Rusak Ringan

Rusak Sedang

Rusak Berat Total

Rumah Kayu (RK) 4

100.0 % 0

0 % 0

0 % 0

0 % 4

10.0 %

Rumah Semi Permanen (RSP) 0

0 % 1

16.7 % 0

0 % 0

0 % 1

2.5 %

Rumah Permanen (RP) 0

0 % 5

83.3 % 7

100.0 23

100.0 35

87.5 %

Total 4

100 % 6

100.0 7

100.0 23

100.0 40

100.0 Sumber: Data primer diolah (2013)

Pada Tabel 10, dapat dijelaskan bahwa terdapat 100.0 persen rumah yang tidak mengalami kerusakan merupakan bangunan rumah dengan konstruksi rumah kayu/non permanen yaitu sebanyak 4 unit rumah. Pada jenis kerusakan bangunan “rusak ringan” terdapat 1 unit atau 16.7 persen rumah semi permanen (RSP) dan 5 unit atau 83.0 persen rumah permanen (RP). Kemudian untuk jenis kerusakan rumah “rusak sedang” dialami oleh 100.0 persen atau 7 unit rumah permanen (RP). Sisanya untuk “rusak berat” juga terjadi pada 100.0 persen atau sekitar 23 unit rumah permanen (RP). Artinya, secara keseluruhan rumah kayu (RK) tidak mengalami kerusakan dengan jumlah total 4 unit RK atau 10.0 persen. Sisanya merupakan rumah-rumah yang mengalami kerusakan yaitu sekitar 90.0 persen atau 36 unit rumah, terdiri dari; 2.5 persen atau 1 unit rumah semi permanen (SP) dan sisanya 87.5 persen atau 35 unit rumah permanen (RP) dari total keseluruhan responden.

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kerusakan bangunan banyak terjadi pada jenis rumah permanen. Dari segi tingkat kerentanan rumah permanen memiliki tingkat kerentanan relatif tinggi terhadap bahaya bencana gempa bumi. Dan nol persen tidak terjadi kerusakan pada rumah kayu. Dilihat dari tingkat kerentanannya rumah kayu memang paling aman dari ketiga kategori bentuk bangunan rumah tersebut (rumah kayu, semi permanen, dan permanen) dengan tingkat kerentanan rendah.

Pada pengimplementasian program rekonstruksi baik oleh lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah, masyarakat menerima bantuan dana rekonstruksi dari lembaga pemerintah untuk rumah rusak ringan, sedang dan berat.

Page 86: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

70

KemsebuPadamasytelahpenydilaksedikpermpenghimbmeruyangPadarespo

Gam

terjadBangTidakbencpascarekonpenu47.5 masymerememterdaatau RA ymengbenc

amandibermenyseng pintubantu

mudian jugaah lembaga

a pengimpleyarakat sasah dilakukanyuluhan dankukan untukkit masyar

manennya pgaruh sosialbauan bukaupakan normg diterima aa Gambar onden pasca

Sumbembar 13 Bent

Gambar 1di pertambgunan rumak terjadi peana. Namua bencana knstruksi ba

urunan jumlpersen. Pe

yarakat yaekonstruksi

mperbaiki baapat 19 unit sekitar 25.0yaitu sebangalami rusaana. Selain dan

n gempa drikan untuyediakan be

bekas atauu bekas atauan, sepert

47.

a menerimaa non- pemeementasian raran bantuan tindakann sosialisask mencegahakat yang

pada saat pl yang dibean sebagaima yang matau tidak d

13 terdapaa bencana.

er: Data primetuk Rekons

13 menunjubahan atau ah kayu pasengurangan

un, juga tidakarena tidakangunan paah, pada pa

enyusutan teang menga

rumah mangunan be rumah perm0 persen. Senyak 6 unit ak ringan d

na rekonstrari sebuah

uk korban eberapa bahu baru (layaau baru layti; semen;

1.5%

a bantuanerintah yangreskonstrukan tersebut n pengaruhsi berkaitanh kurugian

masih mpasca bencaerikan olehi norma i

menetapkan diterima padat presenta

er diolah (2013truksi Rum

ukkan bahwpengurang

sca bencana karena semak terdapat

k ada warga asca bencanasca bencanersebut terj

alami rumamereka RAentuk rumahmanen. Rekedangkan si

rumah dandan tidak m

ruksi dari pLSM. Banyang me

han bangunak pakai); byak pakai.

pasir; kaw

10%17.5%

25%

rekonstrukg ditujukan ksi rumah pa

yang mengh sosial yan dengan akibat dari

mempertahanana. Hal t

h pemerintainjungtif atapa yang h

da situasi tease bentuk

3) mah Respond

wa pada pagan terhadaa sebanyak mua RK tid

penambahyang memb

na. Sedangna yaitu sebadi karena ah rusak A atau Rh permanenkonstruksi Risanya adalan 1 unit rummerubah be

pemerintahntuan rekonengalami rnan seperti;batang pohSelebihnya

wat; tukang

Rum

Rum(RA

ksi bangunauntuk korb

ada level mgikutinya. Mang dikemupaya rekodampak be

nkan bentuersebut terj

ah berupa ntau perinta

harus dilakuertentu (Bar

rekonstruk

den Pasca B

asca bencaap jumlah

k 4 unit rumdak mengalan terhadapbangun rumkan pada banyak 19 unpasca bencberat pad

RPA. Sebagn, sehingga RPA ada sebah bangunanmah semi pentuk rekon

h juga ada nstruksi rumrusak bera; pondasi ruon kelapa y

disediakang dan upa

mah Kayu (RK

mah Aman/SeA/RSP)

an rumah ban rumah ruasyarakat ti

Meskipun semas melalui

onstruksi yencana. Namuk bangunrjadi karenanorma deskah. Normaukan tingkahron dan Byrksi bangun

Bencana tahu

ana tahun 2RK pasca

mah atau 10lami kerusap jumlah ru

mah kayu dabangunan Rnit rumah acana karena

da rumah gian lainnpasca bencbanyak 10 un dengan repermanen ynstruksi rum

jenis bantumah aman at. Kemudumah 4 x 6yang telah n oleh LSMah tukang.

K)

mi Permanen

aman dari usak berat. idak semua ebelumnya i program

yang harus mun, tidak

nan rumah a memang kriptif atau a injungtif h laku apa rne, 2005). nan rumah

un 2009

2009 tidak a bencana. 0.0 persen. akan akibat umah kayu alam upaya RP terjadi

atau sekitar a beberapa

permanen nya masih cana masih unit rumah ekonstruksi yang hanya mah pasca

uan rumah gempa ini

dian harus 6 m2; atap dipotong ;

M pemberi Meskipun

Page 87: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

71

demikian, tidak semua korban rusak berat memutuskan untuk menerima bantuan ini. Hal tersebut karena beberapa alasan sebagai berikut:

1) Menyediakan lahan seluas 4 x 6 m2. Untuk korban yang hanya memiliki tanah seluas rumah yang mereka tempati sedangkan kerusakan rumah masih dapat diperbaiki tanpa harus dirobohkan untuk direkonstruksi rumah aman gempa.

2) Membutuhkan biaya tambahan untuk membeli 3 batang pohon kelapa, upah potong batang kelapa, penyedian bahan dan mengerjakan pondasi rumah 4 x 6 m2.

Oleh karena itu, beberapa korban bencana rusak berat namun tidak mengalami kerusakan yang terlalu parah seperti ada bangian rumah yang roboh, lebih memilih memperbaiki rumah dari bantuan dana rekonstruksi yang diperoleh pemerintah. Hanya sekitar 44 rumah yang mengambil bantuan rumah aman gempa dari 64 total rumah rusak berat. Meskipun melalui bantuan dana rekonstruksi dari lembaga pemerintah dan bantuan rekonstruksi rumah aman gempa dari LSM, namun rumah permanen masih tetap ditemui pada implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana. Hal ini karena norma yang ada hanya memengaruhi tingkah laku masyarakat untuk bertindak sesuai norma menurut masyarakat yang dianggap efektif atau adaptif pada situasi tersebut.

Pada tahap rehabilitasi pasca bencana seperti penyediaan tempat evakuasi yang aman serta dilengkapi fasilitas memadai seperti tenda darurat, perlengkapan memasak, alat transportasi darurat. Tahap rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan kondisi-kondisi kehidupan sebelumnya dari suatu masyarakat yang terkena bencana. Selain itu, upaya rehabilitasi juga mendorong dan memfasilitasi penyesuaian seperlunya terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan oleh bencana. Pasca bencana 2009 pemerintah juga memberikan bantuan berupa dana lauk. Dana lauk adalah sejumlah uang yang dibagikan kepada keluarga korban bencana untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, dimana penerima bantuan tersebut adalah korban bencana yang mengalami kerusakan rumah rusak berat. Dana tersebut dibagikan selama 3 bulan pertama pasca bencana. Seorang nelayan SUL menyatakan bahwa:

“… kami merasa pembagian dana yang dibagi berdasarkan kerusakan rumah kurang tepat. Padahal sebenarnya mungkin semua orang membutuhkan dana tersebut. Semua orang berhenti mencari beberapa waktu setelah bencana. Apalagi kami nelayan yang bergantung dari hasil laut tidak punya penghasilan lain selain dari hasil melaut. Sebenarnya, kami bersyukur rumah kayu kami tidak mengalami kerusakan akibat gempa, tetapi jika pembagian bantuan seperti dana lauk berdasarkan kerusakan rumah menurut kami itu tidak adil karena terkadang banyak yang lebih pantas menerima dan lebih membutuhkannya dibandingkan dari sekedar seorang korban bencana yang mengalami rumah rusak berat…” (SUL, 40 th, 25 Oktober 2012).

Seharusnya, bantuan-bantuan yang didistribusikan secara tepat dan dirasakan manfaatnya oleh orang-orang yang membutuhkan. Tetapi, di lapang sebagian masyarakat menganggap bahwa pendistribusian bantuan tersebut dinilai

Page 88: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

72

kurang tepat. Hal tersebut karena pembagian dana lauk berdasarkan kategori kerusakan rumah yang dialami oleh korban bencana. Sedangkan yang membutuhkan bantuan tersebut tidak hanya warga yang mengalami rusak berat pada bangunan rumah saja.

Page 89: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

73

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN

UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB)

Penelitian ini juga menganalisis apakah terdapat hubungan antara dua konsep yakni kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dengan upaya pengurangan risiko bencana. Bab sebelumnya menjelaskan tentang tingkat kerentanan masyarakat pesisir dilihat dari empat aspek kerentanan dengan setiap variabelnya. Selain itu, dari kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan terdapat berbagai upaya PRB yang dilaksanakan di lokasi penelitian yang ditandai sejak kejadian bencana gempa 30 September 2009 hingga penelitian dilaksanakan. Kemudian pada konsep upaya pengurangan risiko bencana, variabel yang digunakan adalah implementasi rekonstruksi bangunan rumah pasca bencana yang dilihat dari bentuk rumah responden pasca bencana. Variabel tersebut dipilih karena dari semua bentuk upaya PRB yang diidentifikasi di lapangan, jenis rekonstruksi rumah responden pasca bencana dapat dikategorikan kepada beberapa bentuk rekonstruksi yang dipilih oleh responden dan responden terlibat langsung dalam pengambilan keputusan untuk merekonstruksi rumah ke bentuk yang mereka anggap paling baik. Untuk menganalisis hubungan antara dua variabel tersebut secara empiris, maka dilakukan uji korelasi menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman yang terdapat pada program palikasi statistik SPSS terhadap tingkat pengukuran data ordinal dan nominal pada variabel uji. Adapun hasil uji korelasi Rank Spearman terhadap dua variabel uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil uji korelasi Rank Spearman terhadap hubungan antara tingkat

kerentanan masyarakat pesisir dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana berdasarkan tingkat kerentannyaa

Variabel Tingkat Kerentanan

Hasil uji korelasi Rank Spearman Keterangan

Correlation Coefficient

Sig. (2-tailed)

Arah Hubungan

Signifikansi Kekuatan Hubungan

Tingkat kepercayaan -0.021 0.096 Negatif Tidak signifikanc Sangat lemah

Tingkat pemanfaatan jaringan sosial 0.156 0.336 Positif Tidak signifikanc Sangat lemah

Tingkat pengetahuan -0.062 0.703 Negatif Tidak signifikanc Sangat lemah

Tingkat kesejahteraan -0.626** 0.000 Negatif Signifikanb Korelasi kuat

Tingkat pemanfaatan SDA -0.235 0.145 Negatif Tidak signifikanc Sangat lemah

Tingkat kinerja lembaga -0.012 0.943 Negatif Tidak signifikanc Sangat lemah

aSumber: Data promer diolah (2013); bNilai Sig (2-tailed) < α = Signifikan berkorelasi; cNilai Asymp.Sig (2 Sided)> α = tidak signifikan berkorelasi. ** Korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed)

Page 90: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

74

Nilai taraf nyata (α) yang digunakan dalam analisis uji korelasi Rank Spearman adalah 0.05 (α = 0.05 = 5%). Jika nilai probabilitas (p) atau nilai Sig (2 -tailed) yang dihasilkan lebih kecil dari nilai taraf nyata (α) yang digunakan (Sig (2-tailed) < α) maka kedua variabel yang dihubungkan memiliki hubungan atau korelasi yang signifikan. Sebaliknya, jika nilai probabilitas (p) atau nilai Sig (2-tailed) yang dihasilkan lebih besar dari nilai taraf nyata (α) yang digunakan (Sig (2 tailed) > α) maka kedua variabel memiliki hubungan atau korelasi yang tidak signifikan.

Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Sosial Budaya dengan Upaya Rekonstruksi Bangunan Rumah Pasca Bencana

Hubungan antara Tingkat Kerentanan pada Tingkat Kepercayaan dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana

Hipotesis awal (H1) menyatakan terdapat hubungan antara tingkat

kerentanan pada tingkat kepercayaan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi bangunan rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Hasil uji statistik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dilihat pada variabel tingkat kepercayaan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah responden pasca bencana menurut tingkat kerentannya memiliki nilai koefisien korelasi = -0.021 dan nilai signifikansi (p) = 0.096. Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang diperoleh dari hasil uji statistik tersebut, dapat diartikan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang negatif dengan kekuatan korelasi yang sangat lemah. Kemudian, merujuk pada nilai signifikansi > 0.05 maka tolak H1. Hal ini berarti bahwa tingkat kepercayaan masyarakat tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Pengambilan keputusan dalam merekonstruksi rumah pasca bencana dan pertimbangan tingkat kerentanan rumah yang dibangun pasca bencana tidak memiliki hubungan dengan tingkat kepercayaan masyarakat setempat. Berdasarkan pengamatan di lapang, meskipun masyarakat mempercayai setiap bantuan yang diditribusikan baik dari pemerintah maupun LSM kepada korban bencana dengan tujuan dan kepentingan hanya untuk membantu masyarakat korban bencana, tetapi masyarakat memiliki presepsi dan paradigma terhadap penerimaan maupun dalam hal penggunaan bantuan tersebut termasuk bantuan yang berkaitan dengan rekonstruksi bangunan rumah pasca bencana. Masyarakat juga memiliki pilihan dan keputusan sendiri untuk memperbaiki dan atau mempertahankan bentuk rekonstruksi bangunan rumah yang lama bahkan merubah bentuk bangunan dengan konstruksi bangunan rumah yang relatif lebih aman. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi dari hasil penelitian ini hanya menunjukkan sebatas bentuk kepercayaan masyarakat pada setiap pihak yang datang untuk memberikan bantuan kepada korban bencana. Dimana tujuan tersebut tidak ada kepentingan lain selain dengan tujuan untuk mendistribusikan bantuan-bantuan kepada korban bencana baik dari pihak pemerintah dan LSM dalam negeri maupun dari luar negeri.

Page 91: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

75

Hubungan antara Tingkat Kerentanan pada Tingkat Pemanfaatan Jaringan Sosial dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana

Hipotesis awal (H1) menyatakan terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada tingkat pemanfaatan jaringan sosial dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Hasil uji statistik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana yang dilihat pada variabel tingkat pemanfaatan jaringan sosial dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentannya memiliki nilai koefisien relasi = 0.156 dan nilai signifikansi (p) = 0.336. Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang diperoleh dari hasil uji statistik tersebut, dapat diartikan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang positif dengan kekuatan korelasi yang sangat lemah. Kemudian, merujuk pada nilai signifikansi > 0.05 maka tolak H1. Hal ini berarti bahwa tingkat kerentanan masyarakat pada variabel tingkat pemanfaatan jaringan sosial tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Berdasarkan pengamatan di lapang, masyarakat di Sungai Paku memiliki tingkat kerentanan rendah pada tingkat pemanfaatan jaringan sosial. Hal ini ditunjukkan dari kebersamaan dan gotong royong yang dimiliki oleh sesama korban becana yang saling tolong menolong ketika pasca bencana. Pemuka atau tokoh masyarakat korong juga sangat memanfaatkan jaringan sosial yang mereka miliki untuk memperoleh bantuan pasca bencana. Tingkat kerentanan yang ditunjukkan pada aspek ini hanya mengukur pada sebatas bagaimana masyarakat memanfaatkan jaringan sosial yang ada untuk memperoleh bantuan pertama setelah pasca bencana. Oleh karena itu berdasarkan penelitian di lapang dua variabel ini juga tidak memiliki hubungan atau korelasi yang signifikan.

Hubungan antara Tingkat Kerentanan pada Tingkat Pengetahuan dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana

Hipotesis awal (H1) menyatakan terdapat hubungan antara tingkat kerentanan masyarakat pesisir pada variabel tingkat pengetahuan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Hasil uji statistik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa korelasi antara tingkat pengetahuan responden dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana memiliki nilai koefisien relasi = -0.062 dan nilai signifikansi (p) = 0.703. Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang diperoleh dari hasil uji statistik tersebut, dapat diartikan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang negatif dengan kekuatan korelasi yang sangat lemah. Kemudian, merujuk pada nilai signifikansi (p) > 0.05 maka tolak H1. Hal ini berarti bahwa tingkat pengetahuan tidak memiliki hungan yang signifikan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Jika dilihat dari nilai koefisien korelasi dari hasil uji sebesar -0.062, kedua variabel ini memiliki hubungan yang sangat lemah (koefisien korelasi > 0 – 0.25) dengan arah korelasi yang negatif (koefisien korelasi menunjukkan nilai yang negatif). Artinya, pada pembuktian hipotesisi awal (H1) terdapat hubungan “negatif” antara tingkat kerentanan masyarakat pesisir pada variabel tingkat pengetahuan dengan upaya PRB dalam implementasi

Page 92: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

76

rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Meskipun jika dilihat dari nilai signifikansi (p) yang menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapang, hal ini dapat dijelaskan karena beberapa faktor. Pertama, pada umumnya masyarakat telah memiliki bangunan rumah permanen sejak sebelum terjadi bencana. Ketika terjadi kerusakan rumah akibat bencana kecenderungan masyarakat untuk memperbaiki bagian-bagian rumah yang rusak dari pada mereka harus merekonstruksi ulang bangunan rumah. Meskipun mereka mendapatkan pengetahuan dari berbagai sosialisasi atau penyuluhan yang dilaksanakan pasca bencana khususnya berkaitan dengan bentuk rekonstruksi bangunan yang aman. Hal tersebut karena membutuhkan biaya waktu dan tenaga lebih.

Kedua, walaupun sebenarnya lembaga pemerintah telah melaksanakan sosialisasi terkait bentuk-bentuk rumah aman gempa tetapi tidak ada keberlanjutannya melalui implementasi nyata terhadap program rekonstruksi rumah-rumah penduduk yang rusak akibat bencana. Ketiga, tidak terdapat standar baku bentuk rekonstruksi bangunan yang harus diimplementasikan oleh masyarakat korban bencana. Setelah program sosialisai dilaksanakan sebaiknya diimplementasikan langsung seiring dengan pendistribusian bantuan dana rekonstruksi bangunan rumah. Kemudian ditetapkan standar baku bentuk rekonstruksi rumah yang harus diterapkan oleh masyarakat setempat.

Keempat, kurangnya pengawasan dan pendampingan oleh pemerintah ketika pendistribusian dana bantuan rekonstruksi ataupun pada proses rekonstruksi yang berlanjut dilokasi bencana. Pada pelaksanaan program pemulihan wilayah pasca bencana salah satunya melalui pendistribusian bantuan untuk rekonstruksi bangunan, seharusnya pemerintah melakukan pengawasan lebih lanjut ataupun pendampingan baik terhadap pengimplementasian, pendistribusian bantuan, bahkan penggunaan bantuan tersebut oleh masyarakat korban bencana. Ketika proses rekonstruksi pasca bencana di perumahan penduduk sedang berlangsung, sebaiknya pemerintah melakukan pengawasan terhadap proses pelaksanaan rekonstruksi tersebut. seiring dengan itu, sebaiknya pemerintah juga melakukan pendampingan ketika proses rekonstruksi sedang berlangsung. Pendampingan dilakukan dengan mengarahkan masyarakat untuk merekonstruksi rumah mereka dengan pembangunan atau perbaikan rumah yang lebih bermitigasi bencana. Hal tersebut seharusnya juga sejalan dengan sosialisasi atau penyuluhan berkaitan dengan rekonstruksi bangunan aman bencana yang telah dilakukan sebelumnya.

Kelima, masyarakat dihadapkan pada pilihan boleh menerima atau menolak bantuan yang diberikan. Contohnya, ada jenis bantuan rumah aman gempa yang disediakan oleh suatu LSM untuk rumah rusak berat. Tetapi responden diberikan pilihan boleh menerima atau menolak bantuan tersebut. Selain itu, pengimplementasian membangun rumah aman malah menyulitkan atau memberikan beban baru bagi masyarakat. Hal tersebut karena, selain mereka mendapatkan bantuan rekonstruksi bangunan berupa rumah aman, tetapi penerima bantuan harus menyediakan bahan-bahan lain yang mengeluarkan biaya sendiri. Pada pelaksanaannya penerima bantuan tersebut umumnya korban bencana yang mengalami rusak berat dan seluruh bangian rumah roboh oleh bencana. Responden yang mengalami rusak berat tetapi keadaan rumah masih utuh mereka memilih memperbaiki rumah permanen dengan memanfaatkan bantuan dana kontruksi dari pemerintah.

Page 93: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

77

Keenam, kemudahan implementasi opsi memperbaiki bagian rumah yang rusak dibandingkan dengan merekonstruksi ulang seluruh fisik bangunan rumah dengan kontruksi bangunan yang memiliki tingkat kerentanan terhadap bencana relatif lebih aman. Enam hal di atas merupakan hasil pengamatan fakta di lapang yang menjadi alasan masyarakat lebih cenderung mengabaikan pengetahuan yang dimiliki ketika proses rekonstruksi bangunan rumah berlangsung.

Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Dilihat dari

Aspek Ekonomi (Tingkat Kesejahteraan) dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana

Hipotesis awal (H1) menyatakan terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada variabel tingkat kesejahteraan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Hasil uji statistik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya memiliki nilai signifikansi (p) = 0.000. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman kedua variabel ini memiliki nilai koefisien korelasi -0.626**. Pada output SPSS pada angka korelasi tersebut diberi tanda (**) maka probabilitas untuk kedua variabel ini menjadi sebesar 0.01 atau 1%. Jika dilihat dari hasil perhitungan nilai signifikansi (p) < 0.01 maka terima H1. Selanjutnya, dapat dijelaskan bahwa, korelasi antara variabel “tingkat kesejahteraan” dengan “upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya” memiliki hubungan yang signifikan. Dilihat dari besar nilai koefisien korelasi yang negatif dan berkisar antara > 0.50 – 0.75, maka hubungan yang ditunjukkan adalah hubungan negatif dengan kekuatan korelasi/hubungan yang “kuat”. Pada pembuktian hipotesis penelitian (H1), bahwa terdapat hubungan “negatif” antara tingkat kerentanan pada variabel tingkat kesejahteraan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Jika tingkat kesejahteraan tinggi atau tingkat kerentanan rendah maka implementasi rekonstruksi bangunan rumah pasca bencana akan semakin baik menurut tingkat kerentanannya.

Merujuk pada hasil pengamatan di lokasi penelitian, dapat dijelaskan bahwa pertama, bangunan rumah permanen di lokasi penelitian telah ada sebelum bencana gempa besar pada tahun 2007 dan 2009 terjadi. Kedua, terdapat kecenderungan masyarakat untuk membangun rumah permanen karena rumah permanen dianggap memiliki nilai prestige atau gengsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah kayu dan semi permanen.

Selain itu, ketika secara kemapanan seseorang telah merasa mampu untuk membangun sebuah tempat tinggal maka mereka relatif lebih mudah unutk menentukan pilihannya untuk membangun rumah dengan jenis konstruksi yang mereka kehendaki. Tingkat kesejahteraan termasuk juga kecukupan materi baik berupa uang ataupun barang berharga yang mereka miliki. Ketika seseorang telah mapan dari segi ekonomi untuk membangun tempat tinggal, maka mereka akan mempertimbangkan berbagai aspek tertentu seperti; bentuk rumah, konstruksi bangunan yang digunakan, dan biaya perawatan bangunan tersebut. Pada masa pra bencana, umumnya masyarakat menganggap bahwa bangunan rumah permanen memiliki bentuk desain bangunan yang sudah modern, konstruksi bangunan yang

Page 94: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

78

sudah permanen dan tidak mengeluarkan biaya perawatan yang relatif besar meskipun harus mengeluarkan biaya pembangunan yang relatif tinggi. Oleh karena itu, masyarakat di lokasi penelitian yang memiliki kemampuan lebih secara materi cederung memilih bentuk bangunan rumah permanen. Hasil survei juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi memiliki kecenderungan untuk memiliki rumah permanen yang ditunjukkan oleh jumlah unit rumah permenen yang relatif lebih banyak pada responden dengan tingkat kesejahteraan tinggi.

Ketiga, setiap orang memiliki prioritas-priotas tertentu yang harus mereka capai terutama ketika pada masa pasca bencana. Selain harus membangun kembali atau memperbaiki bangunan rumah yang rusak akibat bencana, mereka juga harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meski dalam kondisi yang masih belum stabil. Ketika upaya rekonstruksi rumah menjadi bentuk yang lebih aman membutuhka biaya tambahan, maka secara tidak langsung masyarakat akan memilih untuk memaksimalkan bantuan yang diterima dari pemerintah atau lembaga lain tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan. Hal ini karena, selain mereka harus merekonstruksi atau memperbaiki rumah yang membutuhkan kecukupan materi dan tenaga, mereka juga memiliki tanggung jawab dan kebutuhan lain yang harus dipenuhi.

Keempat, kurangnya pengawasan dan pendampingan oleh pemerintah ketika pendistribusian bantuan dana rekonstruksi ataupun pada proses rekonstruksi yang berlanjut dilokasi bencana. Kenyataan yang terjadi dilapang ialah penditribusian dana rekonstruksi di lokasi penelitian dilakukan selama 3 tahap. Setiap pencairan dana pada tahap tertentu masyarakat penerima bantuan memiliki kewajiban untuk memberikan laporan terhadap barang-barang bangunan yang telah dibeli. Namun, saat pembangunan bangunan tersebut tidak ada pengawasan dan pendampingan langsung bagi masyarakat dalam proses rekonstruksi bangunan rumah. Oleh karena itu, masyarakat melaksanakan proses rekonstruksi rumah dengan sebaik mungkin menurut pandangan mereka tanpa ada pengawasan, pendampingan dan penetapan standar tertentu terhadap bentuk rekonstruksi bangunan rumah pasca bencana. Selain itu, untuk rumah-rumah yang tidak rusak seluruhnya atau roboh terdapat kecenderungan masyarakat untuk memperbaiki bagian-bagian rumah yang rusak daripada harus merekonstruksi ulang seluruh bagian rumahnya menjadi rumah dengan konstruksi yang relatif aman terhadap bencana.

Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat

Pemanfaatan SDA dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana

Hipotesis awal (H1) menyatakan terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada varibel tingkat pemanfaatan SDA dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Hasil uji statistik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat kerentanan pada variabel tingkat pemanfaatan SDA dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi pasca bencana menurut tingkat kerentanannya memiliki nilai koefisien korelasi = -0.235 dan nilai signifikansi (p) = 0.145. Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang diperoleh dari hasil uji statistik tersebut, dapat diartikan

Page 95: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

79

bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang negatif dengan kekuatan korelasi yang sangat lemah. Kemudian, merujuk pada nilai signifikansi > 0.05 maka tolak H1. Hal ini berarti bahwa tingkat kerentanan pada variabel tingkat pemanfaatan SDA tidak memiliki hubungan signifikan dengan upaya PRB dalam implemntasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya.

Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Pada Tingkat

Kinerja lembaga dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana

Hipotesis awal (H1) menyatakan terdapat hubungan antara tingkat kerentanan pada variabel tingkat kinerja lembaga dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Hasil uji statistik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat kerentanan pada variabel tingkat kinerja lembaga dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi bangunan rumah pasca bencana memiliki nilai koefisien korelasi = -0.012 dan nilai signifikansi (p) = 0.943. Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang diperoleh dari hasil uji statistik tersebut, dapat diartikan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang negatif dengan kekuatan korelasi yang sangat lemah. Kemudian, merujuk pada nilai signifikansi > 0.05 maka tolak H1. Hal ini berarti bahwa tingkat kerentanan pada variabel tingkat kinerja lembaga tidak memiliki hubungan signifikan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Meskipun dari hasil nilai koefisien korelasi yang ditujukkan sebesar -0.012 berati kedua variabel tersebut memiliki korelasi negatif yang sangat lemah namun tidak signifikan.

Page 96: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

80

Page 97: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

81

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sesuai dengan hasil-hasil penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya dapat dibuat beberapa kesimpulan seperti berikut ini: 1. Tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dapat dilihat dari 5

aspek, yaitu; sosial budaya, ekonomi, pemukiman dan infrastruktur, lingkungan, dan kelembagaan. Berdasarkan hasil penelitian, aspek sosial budaya dan aspek kelembagaan menunjukkan tingkat kerentanan yang rendah. Pada aspek sosial budaya terdapat tiga variabel tingkat kerentanan yaitu; tingkat pemanfaatan jaringan sosial, tingkat kepercayaan, dan tingkat pengetahuan. Tingkat kerentanan pada aspek kelembagaan ditunjukkan oleh variabel tingkat kinerja lembaga. Kemudian, pada aspek ekonomi dilihat tingkat kerentanan masyarakat pesisir dari tingkat kesejahteraannya. Tingkat kesejahteraan responden pada penelitian ini dibedakan atas tingkat kesejahteraan rendah dan tinggi. Separuh dari sampel penelitian yang diambil menujukkan tingkat kerentanan rendah dan separuhnya menunjukkan tingkat kerentanan tinggi dilihat dari tingkat kesejahteraannya. Pada aspek lingkungan, secara umum menujukkan tingkat kerentanan sedang terhadap bencana. Tingkat kerentanan responden pada aspek lingkungan ditunjukkan oleh variabel tingkat pemanfaatan SDA.

2. Identifikasi terhadap upaya PRB di lokasi penelitian dilakukan dengan mengetahui upaya manaejemen bencana yang terdiri atas dua fase, yaitu fase pemulihan pasca bencana dan fase pengurangan risiko pra bencana. Implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana dinilai kurang efektif, karena masih terdapat warga yang masih mempertahankan bentuk bangunan rumah permanen yang memiliki tingkat kerentanan terhadap bencana yang relatif tinggi.

3. Berdasarkan hasil uji korelasi dengan Rank Spearman terdapat hubungan signifikan antara tingkat kerentanan masyarakat pesisir pada variabel tingkat kesejahteraan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana menurut tingkat kerentanannya. Pada korelasi yang ditunjukkan pada tingkat kesejahteraan disebabkan oleh empat faktor, yaitu; (1) rumah permanen telah ada jauh sebelum bencana terjadi; (2) prestige; (3) prioritas; dan (4) kurangnya pengawasan dan pendampingan oleh pemerintah.

Saran

Saran yang dapat diberikan sesuai dengan hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1. Melihat masih banyak ditemui pemukiman penduduk, sarana dan prasarana

sosial masyarakat yang terletak di zona merah tsunami dan minimnya ketersediaan jalur evakuasi tsunami dan gempa untuk penduduk setempat untuk itu diharapkan pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah pesisir dan wilayah bencana dapat lebih memerhatikan aspek mitigasi bencana.

2. Sejauh ini, pemerintah dan lembaga terkait sudah melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana di wilayah pesisir. Pada pendistribusian bantuan pasca bencana, penyelamatan korban

Page 98: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

82

bencana (rehabilitasi korban bencana), dan program rekonstruksi di wilayah terkena dampak bencana dalam kaitannya dengan fase pemulihan pasca bencana. Kemudian, kegiatan penyuluhan dan sosialisasi bencana, pelaksaanaan simulasi bencana untuk meningkatkan kesipasiagaan masyarakat dan mitigasi bencana dalam kaitannya dengan fase pengurangan risiko pra bencana. Namun, setiap upaya yang dilakukan pada fase pemulihan pasca bencana (bantuan, rehabilitasi, dan rekonstruksi) dengan fase pengurangan risiko pra bencana (meningkatkan mitigasi dan kesiapan) diharapkan ada kontinuitas atau keberlanjutan dan keintegrasian dari setiap program yang dilaksanakan. Misalnya, ketika pemerintah telah sempurna memberikan penyuluhan, sosialisasi dan simulasi bencana sebaiknya menjadi pertimbangan penting dalam melaksanakan proses pemulihan pasca bencana. Berdasarkan pengamatan, secara umum masyarakat telah memahami mengenai karakteristik bencana gempa dan Tsunami dan upaya penanggulangannya. Namun, dalam beberapa hal masyarakat cenderung mengabaikan pengetahuan yang mereka miliki untuk menghindari dampak bencana karena keterbatasan yang mereka miliki. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan, perlindungan, peraturan dan perhatian yang lebih dari pemerintah.

3. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya termasuk program bantuan pasca bencana yang diberikan pada masa pasca bencana. Namun, ada beberapa bantuan tersebut dinilai masih belum tepat saasaran. Seperti pembagian dana lauk yang dibagikan berdasarkan kerusakan rumah responden. Hal tersebut bertolak dari konndisi kesejahteraan masyarakatnya.

4. Mengingat banyaknya kelemahan dalam penelitian ini, maka akan lebih apabila ada pihak akademisi yang meneliti lebih lanjut untuk memperbaiki berbagai kelemahan dalam penelitian ini.

Page 99: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

83

DAFTAR PUSTAKA

Amir S. 2012. Optimasi pemanfaatan wisata bahari bagi pengelola pulau-pulau kecil berbasis mitigasi: kasus kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat. [disertasi]. Bogor [ID]. Instritut Pertanian Bogor.

Anshori SB. 2010. Efektifitas pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas oleh Nahdlatul Ulama di Kabupaten Jember. [tesis]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.

Badri M. 2008. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta. [tesis]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.

Baron RA, Byrne D. 2005. Psikologi sosial jilid 1. Jakarta [ID]: Penerbit Erlangga. 302 hal.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Pariaman. 2011. Kecamatan Sungai Limau dalam angka tahun 2011. Padang Pariaman [2011]: BPS Kabupaten Padang Pariaman.

Diposaptono S. 2005. Kebutuhan riset tsunami untuk mendukung pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia. Dalam: Sadikin A, Aprijanto, Wibawa B, Sujoko SU, Suranto, editor. Prosiding seminar tsunami: dalam kerangka research on tsunami hazarrd and its effects on indonesia coastal region (2002-2003-2004). Jogjakarta [ID]: Tsunami Research Center, BPP Teknologi dan Jakarta [ID]: BPPT-Press. Hal.207-233.

Diposaptono S, Budiman, Agung F. 2009. Menyiasati perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.Bogor [ID]: PT. Sarjana Komunikasi Utama. 359 hal.

Diposaptono S. 2011. Sebuah Kumpulan Pemikiran: Mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim. Jakarta [ID]: Direktorat Pesisir dan Laut. 176 hal.

Gunawan. 2007. Pemberdayaan sosial keluarga pasca bencana alam: studi tentang kondisi sosial masyarakat dalam managemen bencana. Laporan Penelitian Departemen Sosial Republik Indonesia [internet]. [diacu 31 Mei 2012]. Tersedia dari:http://www.depsos.go.id/unduh/penelitian2007/200704_PEMB ERDAYAAN%20SOSIAL%20KELUARGA%20PASCA%20BENCANA%20ALAM.pdf

Humaedi MA. 2011. Dilema sosial kebudayaan para pemimpin lokal dalam pemeranan mesjid pada situasi bencana. [laporan penelitian]. Jakarta [ID]: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Maarif S. 2010. Bencana dan penanggulangannya tinjauan dari aspek sosiologis.Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana [internet]. [diacu 16 Juni 2012].1(1:1-7). Tersedia dari:http:// mis.bnpb.go.id/userfiles/file/jurnal/ jurnal%202/03_%20Bencana%20dan%20Penanggulangannya%20Tinjauan%20%20Dari%20Aspek%20Sosiologis.pdf

Misron U. 2009. Strategi penanggulangan bencana berbasis masyarakat di Kabupaten Lampung Barat. [tesis]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.

Mugniesyah SG. 2008. Modul Kuliah Pendidikan Orang Dewasa. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Page 100: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

84

Nagib L, Asiati D, Latifa A, Mujiyani. 2008. Kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana alam di Kota Padang Pariaman. Jakarta [ID]: LIPI Press. 207 Hal.

Naryanto HS. 2000. Prinsip dasar bencana, mitigasi, dan penanggulangan bencana. Dalam: Seri Forum LPPS No. 43. Penanggulangan bencana: kumpulan-kumpulan pelatihan penanganan bencana. Jakarta [ID]: Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial KWI (LPPS-KWI). Hal. 33-50.

Naryanto SN, Nugroho SP, Kurniawan L, Ikawati Y. 2009. Indonesia diantara berkah dan musibah. Jakarta [ID]: Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT). 175 hal.

Nasution MS. 2005. Penanggulangan bencana berbasis komunitas: studi kasus kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas daerah rawan bencana alam tanah longsor di Desa Kidangpanjung Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Jawa Barat. [tesis]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.

Purbani D. 2012.Strategi mitigasi tsunami berbasis ekosistem mangrove dalam aplikasi pemanfaatan ruang pantai. [disertasi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.

Rasul D. 2009. Modul ajar pengintegrasian pengurangan risiko tsunami. Jakarta [ID]. Program Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SCDRR). 90 hal.

Ruswandi. 2009. Model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana alam di pesisir Indramayu dan Ciamis. [disertasi].Bogor [ID] Institut Pertanian Bogor.

Sarwono J. 2006. Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Yogyakarta [ID]: Graha Ilmu. 286 hal.

Sarwono J. 2009. Statistik itu mudah: panduan lengkap untuk belajar komputasi statistik menggunakan SPSS 16. Yogyakarta [ID]: Andi. 345 hal.

Satria A. 2012 16 April. Kerentanan pesisir.Republika.hal 4. Satria A. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor [ID]: IPB Press. 144 hal Singarimbun M, Effendi S. 2008. Metode penelitian survai. Jakarta [ID]: LP3ES.

336 hal. Sunarti E, Sumarno H, Murdiyanto, Hadianto A. 2009. Indikator kerentanan

keluarga petani dan nelayan. [karya ilmiah]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.

Warto, Cahyono SAT, Probokusumo PN. 2002. Pengkajian manajemen penanggulangan korban bencana pada masyarakat di daerah rawan bencana alam dalam era otonomi daerah. Yogyakarta [ID]: Departemen Sosial RI. 126 hal.

Page 101: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

85

LAMPIRAN

Page 102: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

86

Page 103: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

87

Lampiran 1 Peta lokasi penelitian

Page 104: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

1

Lampiran 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2012

Kegiatan Agustus September Oktober November Desember Januari

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan proposal skripsi Survai dan observasi lapang Kolokium Proposal Perbaikan proposal penelitian

Pengambilan data lapangan

Pengolahan dan analisi data

Penulisan Skripsi

Sidang Skripsi

Revisi Skripsi

88

Page 105: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

89

Lampiran 3 Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian

1 AZW 26 DOY 27 RAJ 28 ERM 29 MNSR30 IBN 31 MAL 32 NUR 33 DAH 34 RUS 35 ZNA 36 YOH 37 RAM 38 ZUL 39 ALMN40 EFR 41 HERJ 42 AUL 43 ERI 44 ADI 45 MUZ 46 RIN 47 SYO 48 BAS 49 NUZ 50 ALIN

51 KAM 52 ANS 53 RAM 54 MIS 55 ERD 56 ANSR 57 MAS 58 ZAIN 59 ZUL 60 ALZ 61 SYFL 62 RUM 63 ISR 64 BAI 65 MASR 66 AKML67 RAZ 68 JUL 69 AKMD70 YUS 71 CAN 72 TAS 73 IKH 74 NOV 75 AFR

76 RIS 77 ELV 78 BIS 79 KUD 80 NAS 81 MAR 82 YANG 83 AGUSTY 84 MAI 85 HER 86 SAM 87 JAH 88 IND 89 SYAFL 90 DAS 91 ZAIL 92 ALI 93 BAIN 94 MUSK 95 BUSR 96 SAR 97 ISM 98 ISH 99 ANI 100 MAR

2 WIR 3 ABU 4 BASJ 5 AGU 6 BAS 7 IND 8 ADR 9 SAFI

10 HAR 11 SAF 12 KAL 13 SYAF 14 WIRD 15 AKIR 16 ZNL 17 DAR 18 MUR 19 AMN 20 RNL 21 SYAH 22 ALN 23 EPI 24 AMNL 25 SYHR

Page 106: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

90

Sambungan Lampiran 3 Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian

101 JUN 126 ELD 127 ROS 128 BYG 129 SYAM 130 FIRM 131 HAS 132 AKI 133 YUSM 134 ZAID 135 SYAR 136 ZUL 137 USW 138 FAJ

139 DAHN

140 ALYR

141 TAHA 142 AFD 143 ISK 144 MUST 145 AZI 146 ZUR

147 RIN KW 148 ZUA

149 JUS

150 RAS

102 ERLT 103 SAP 104 LUK 105 DAN 106 AKM 107 YUY 108 SUD 109 NUR 110 SUP 111 LIND 112 JAM 113 SUL 114 SAL

115 LES

116 ZAH 117 SYA 118 SUK 119 KAS 120 AZR 121 YUL

122 NEL 123 ASNI 124 FAR

125 WAR

Keterangan : : Individu yang menjadi sampel penting

Page 107: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

91

Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian

A. Fasilitas korong yang terletak pada zona merah (0 sampai 500 meter)

Kantor Wali Nagari/Polindes Sekolah PAUD

Bangunan Sekolah Dasar

Bangunan Sekolah Menengah Atas

Jalur evakuasi

Page 108: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

92

Jalur evakuasi alternatif

B. Fasilitas dan kondisi Objek Wisata Pantai (Pantai Arta Permai dan Pantai Arta

Indah) 1. Fasilitas Pantai Arta Permai kondisi buruk/ belum direkonstruksi

Pintu Gerbang Tempat ibadah

Wc umum Jembatan pintu masuk menuju pantai

Page 109: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

93

2. Fasilitas Pantai Arta Permai dengan kondisi baik

Panggung/pentas untuk acara tahunan pesta pantai

Jembatan menuju pemukiman penduduk Vegetasi pantai dan tempat duduk

Gazebo tempat peristirahatan pengunjung

3. Fasilitas Pantai Arta Indah dengan kondisi buruk/belum direkonstruksi

Batang aia sebagai tempat buang sampah Tempat bilyard

Page 110: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

94

Vegetasi Pantai

Muara batang aia dan vegetasi alam di pantai

4. Fasilitas Pantai Arta Indah dengan kondisi baik

Pintu gerbang Jembatan

C. Infrastruktur dan Pemukiman Penduduk

Contoh bangunan rumah rusak berat pasca bencana (korong lain)

Page 111: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

95

Bangunan rumah pasca rekonstruksi “Rumah Aman”

Rumah penduduk tersebar zona merah (0 - 500 meter dari bibir pantai)

Page 112: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

96

Lampiran 5 Tabel Frekuensi (hasil olah data dengan program aplikasi SPSS)

Jenis Pekerjaan Respondena

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Bertani 3 7.5 7.5 7.5

Nelayan 5 12.5 12.5 20.0

Pegawai Negeri Sipil 5 12.5 12.5 32.5

Pegawai swasta 2 5.0 5.0 37.5

wiraswasta 16 40.0 40.0 77.5

Buruh 5 12.5 12.5 90.0

Ibu Rumah Tangga 3 7.5 7.5 97.5

Beristirahat/pensiun 1 2.5 2.5 100.0

Total 40 100.0 100.0 aTabel Frekuensi untuk Gambar 3

Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Usiac

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Muda 3 7.5 7.5 7.5

Dewasa 26 65.0 65.0 72.5

Tua 11 27.5 27.5 100.0

Total 40 100.0 100.0 cTabel frekuensi untuk Gambar 4

Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluargab

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid sedikit 4 10.0 10.0 10.0

sedang 28 70.0 70.0 80.0

banyak 8 20.0 20.0 100.0

Total 40 100.0 100.0 bTabel frekuensi untuk Gambar 5

Page 113: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

97

Tingkat Kerentanan Dilihat dari Tingkat Kepercayaan Masyarakatd

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Rendah 38 95.0 95.0 95.0

Sedang 2 5.0 5.0 100.0

Total 40 100.0 100.0 dTabel frekuensi untuk Gambar 6

Tingkat Kerentanan dilihat dari Tingkat Pemanfaatan Jaringan Sosiale

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Rendah 39 97.5 97.5 97.5

Sedang 1 2.5 2.5 100.0

Total 40 100.0 100.0 eTabel frekuensi untuk Gambar 7

Tingkat Kerentanan Dilihat dari Tingkat Pengetahuan tentang aspek-aspek bencanaf

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid rendah 31 77.5 77.5 77.5

sedang 8 20.0 20.0 97.5

tinggi 1 2.5 2.5 100.0

Total 40 100.0 100.0 fTabel frekuensi untuk Gambar 8

Tingkat Kerentanan pada tingkat pengetahuan mengenai Nilai Tata Ruang

Wilayahg

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid rendah 21 52.5 52.5 52.5

sedang 17 42.5 42.5 95.0

tinggi 2 5.0 5.0 100.0

Total 40 100.0 100.0 gTabel frekuensi untuk Gambar 9

Page 114: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

98

Tingkat Kerentanan Dilihat dari Tingkat Pengetahuan (komposit)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid rendah 25 62.5 62.5 62.5

sedang 14 35.0 35.0 97.5

tinggi 1 2.5 2.5 100.0

Total 40 100.0 100.0

Tingkat Kesejahteraanh

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Tinggi 20 50.0 50.0 50.0

Rendah 20 50.0 50.0 100.0

Total 40 100.0 100.0 hTabel frekuensi untuk Gambar 10

Tingkat Kerentanan dilihat dari Nilai Konstruksi Bangunani

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid rendah 3 7.5 7.5 7.5

Sedang 33 82.5 82.5 90.0

Tinggi 4 10.0 10.0 100.0

Total 40 100.0 100.0 iTabel frekuensi untuk Gambar 11

Bentuk Rumah Responden Prabencanaj

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Rumah Kayu (RK) 4 10.0 10.0 10.0

Rumah Semi Permanen (SP) 1 2.5 2.5 12.5

Rumah Permanen (RP) 35 87.5 87.5 100.0

Total 40 100.0 100.0 jTabel frekuensi untuk Gambar 12

Page 115: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

99

Bentuk Rumah Responden Pasca Bencanak

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Rumah Kayu (RK) 4 10.0 10.0 10.0

Rumah Aman Gempa / Semi

Permanen (RA/SP)

7 17.5 17.5 27.5

Rumah Permanen dan Aman

(RPA)

10 25.0 25.0 52.5

Rumah Permanen (RP) 19 47.5 47.5 100.0

Total 40 100.0 100.0 kTabel frekuensi untuk Gambar 13

Tingkat Kerentanan Dilihat dari Tingkat Pemanfaatan SDAl

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Rendah 5 12.5 12.5 12.5

Sedang 31 77.5 77.5 90.0

Tinggi 4 10.0 10.0 100.0

Total 40 100.0 100.0 lTabel frekuensi untuk Gambar 14

Tingkat Kerentanan Dilihat dari Tingkat Kinerja Lembagam

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Rendah 36 90.0 90.0 90.0

Sedang 4 10.0 10.0 100.0

Total 40 100.0 100.0 mTabel frekuensi untuk Gambar 15

Page 116: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

100

Lampiran 6 Bentuk bangunan rumah responden pra bencana dan pasca bencana serta jenis kerusakan bangunan rumah pasca bencana

No Nama Bentuk Bangunan Rumah

Pra Bencana

Jenis Kerusakan

Pasca Bencana

1 SAP RP RS RP 2 AKM RP RB RP 3 RIN RP RS RP 4 NUR RP RB RP 5 SYA RP RR RP 6 ZUL RP RB RP 7 WIR RP RB RP 8 YUL RP RB RP 9 AKI RP RB RP 10 SAR RP RB RP 11 KAL RP RB RP 12 DAR RP RB RA 13 SAF RP RS RP 14 EPI RP RR RP 15 DOY RK TR RK 16 AUL RP RR RP 17 AGU RP RR RP 18 IBN RK RR RK 19 YOH RP RR RP 20 RAJ RP RS RP 21 RUS SP TR SP 22 ZAIN RP RS RA 23 ISR RP RS RP 24 SUL RK TR RK 25 MIS RP RB RPA 26 KAM RP RB RA 27 JUL RP RB RA 28 ELV RP RS RP 29 NOV RP RB RPA 30 YUS RP RB RPA 31 AFR RP RB RPA 32 KUD RP RB RPA 33 YANG RP RB RPA 34 HER RP RB RPA 35 SYAR RP RB RA 36 IND RP RB RPA 37 ZAIL SP RR SP 38 FAJ RP RB RA 39 RAS RP RB RPA 40 RIN KW RP RB RPA

Keterangan bentuk bangunan rumah: 1. RK : Rumah kayu 2. RSP : Rumah semi

permanen 3. RP : Rumah permanen 4. RA : Rumah aman 5. RPA: Gabung rumah

permanen dan aman

Page 117: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

2

Lampiran 7 Hasil Crosstab Hasil Uji korelasi Rank Spearman terhadap hubungan antara tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana berdasarkan tingkat kerentanannya (Tabulasi Silang dengan program aplikasi SPSS)

Correlations

Tingkat

Pemanfaatan

Jaringan Sosial

Tingkat

Kepercayaan

Masyarakat

Tingkat

Pengetahuan

(composite)

Tingkat

Pemanfaatan

SDA

Tingkat Kinerja

Lembaga

Tingkat

Kesejahteraan

Tingkat Kerentanan

Bntk Konstruksi Rmh

Pasca Bencana

Spearman's

rho

Tingkat

Pemanfaatan

Jaringan Sosial

Correlation Coefficient 1.000 -.037 .197 -.333* -.053 -.160 .156

Sig. (2-tailed) . .822 .223 .036 .744 .324 .336

N 40 40 40 40 40 40 40

Tingkat

Kepercayaan

Masyarakat

Correlation Coefficient -.037 1.000 .053 -.232 .306 .000 -.021

Sig. (2-tailed) .822 . .746 .150 .055 1.000 .896

N 40 40 40 40 40 40 40

Tingkat

Pengetahuan

(composite)

Correlation Coefficient .197 .053 1.000 .147 .077 .169 -.062

Sig. (2-tailed) .223 .746 . .367 .637 .297 .703

N 40 40 40 40 40 40 40

Tingkat

Pemanfaatan

SDA

Correlation Coefficient -.333* -.232 .147 1.000 .015 .160 -.235

Sig. (2-tailed) .036 .150 .367 . .928 .323 .145

N 40 40 40 40 40 40 40

Tingkat Kinerja

Lembaga

Correlation Coefficient -.053 .306 .077 .015 1.000 .167 -.012

Sig. (2-tailed) .744 .055 .637 .928 . .304 .943

N 40 40 40 40 40 40 40

Tingkat

Kesejahteraan

Correlation Coefficient -.160 .000 .169 .160 .167 1.000 -.626**

Sig. (2-tailed) .324 1.000 .297 .323 .304 . .000

101

Page 118: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

3

N 40 40 40 40 40 40 40

Bntk Konstruksi

Rmh Pasca

Bencana

Correlation Coefficient .156 -.021 -.062 -.235 -.012 -.626** 1.000

Sig. (2-tailed) .336 .896 .703 .145 .943 .000 .

N 40 40 40 40 40 40 40

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Keterangan:

: Nilai koefisien korelasi dan significancy 2-tailled yang digunakan untuk uji korelasi Rank Spearman

102

Page 119: ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN … · mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, ... sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar

103

Lampiran 8

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama Yolla Rahmi dilahirkan di Bukittinggi, pada tanggal 25 Juli 1990. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, anak dari pasangan Alm.Mulyadi Djunid dan Jernie. Penulis telah menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak di TKI Al-Irsyad (1995-1996), SD Negeri 29 Kubang Putih (1996-2002), SMP Negeri 7 Bukittinggi (2002-2005), SMA Negeri 2 Bukittinggi (2005-2008). Kemudian pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif dalam beberapa organisasi baik di kampus ataupun diluar kampus. Di kampus, penulis mengikuti kegiatan pada Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang jurnalistik, yaitu Koran Kampus IPB sebagai anggota pada staff perusahaan tahun 2010, kemudian pada tahun 2011-2012 penulis aktif pada UKM Koran Kampus sebagai Menejer Proyek pada Divisi Perusahaan Koran Kampus IPB. Pada tahun yang sama penulis juga aktif pada organisasi luar kampus, yaiu Organisasi Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang Bogor (IPMM Bogor) dan Keluarga Mahasiswa Minang Bukittinggi dan Kota Wisata (Kemawita). Pada organisasi IPMM Bogor penulis menjabat sebagai Sekretaris Umum (staff BPH) dan menjabat sebagai Bendahara Umum (staff BPH) pada Organisasi Kemawita. Penulis juga aktif dalam sebuah komunitas teater Playground Theater Institute mulai tahun 2010.

Selain Pengalaman dalam berbagai kegiatan Organisasi dan Komunitas, penulis juga memiliki pengalaman kerja pada beberapa instansi media massa. Pada tahun 2010, penulis pernah bekerja di stasiun penyiaran radio lokal di Bukittinggi yaitu Radio Giggsy FM sebagai script writer, dan pada tahun 2010-2011 penulis magang di Majalah FoodRiview Indonesia, PT Media Pangan Indonesia sebagai reporter dan fotografer. Pada tahun 2012 penulis aktif kembali dan bekerja sebagai reporter di Majalah FoodRiview Indonesia. Penulis juga pernah bekerja sebagai enumerator pada survey kepuasan pelanggan yang dilakukan oleh PT. PDAM Tirta Pakuan Bogor yang bekerjasama dengan LPPM PSP3 IPB. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitian dan pelatihan dikampus dan luar kampus. Penulis juga pernah meraih beberapa prestasi di bidang kesenian, fotografi dan juga pernah lolos dan mengikuti kegiatan YOT Campus Ambassador (Young On Top Campus Ambassador) mewakili IPB pada tahun 2010.