analisis novel bumi manusia karya pramoedya ananta …
TRANSCRIPT
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA |
31
ANALISIS NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
DENGAN KAJIAN FEMINISME
Ira Rahayu, S.Pd., M.Pd.
Tri Pujiatna, S.Pd., M.Pd.
Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unswagati Cirebon
ABSTRAK
Ditinjau dari segi penikmatnya, karya sastra merupakan bayang-bayang
realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan refleksi berbagai permasalahan
dalam kehidupan. Keistimewaan sebuah karya sastra yakni terdapat berbagai sifat
yang dapat dikaji dengan sebuah teori, salah satunya yaitu teori feminisme.
Kajian feminisme muncul akibat adanya dorongan kaum perempuan yang
ingin menyetarakan hak antara pria dan perempuan yang selama ini seolah-olah
perempuan tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam
hidup. Perempuan merasa terkekang karena superioritas laki-laki dan perempuan
hanya dianggap sebagai “bumbu penyedap” dalam hidup laki-laki. Adanya pemikiran
tersebut tampaknya sudah membudaya sehingga perempuan harus berjuang keras
untuk menunjukkan eksistensi dirinya di mata dunia. Adapun judul penelitian yang
kami susun berjudul “Analisis Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
dengan Kajian Feminisme”
Kata Kunci : Kajian Feminisme, Feminisme, Novel Bumi Manusia
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
32
A. PENDAHULUAN
Manusia pada hakikatnya
diciptakan oleh yang Maha Kuasa terbagi
menjadi dua jenis yaitu perempuan dan
laki-laki. Kaum pria/laki-laki selalu
mempunyai peran sentral dalam keluarga
maupun dalam pekerjaan dan kehidupan
bermasyarakat, sedangkan perempuan
selalu berada di lapis kedua: mengurus
keluarga, memasak, mengurus rumah
tangga, mengurus anak. Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, masa
itu pun berubah. Terjadi pergeseran
paradigma, perempuan yang dulu hanya
ditempatkan di bagian belakang, kini
mempunyai peran yang sama dengan
kaum pria. Mereka bisa menjadi
pemimpin dan mempunyai hak dan peran
yang sama dengan pria tanpa mengubah
kodratnya sebagai seorang perempuan.
Bagaimana tokoh perempuan di
dalam karya sastra? Tentu saja peran
tokoh perempuan sangat berpengaruh
terhadap jalannya cerita dalam sebuah
karya sastra. Peran perempuan tidak
hanya sebagai tokoh pelengkap, tetapi
bisa saja sebagai tokoh sentral yang
mengatur penceritaan di dalam cerita
yang dibawakan oleh pengarang. Tokoh
perempuan dalam novel Bumi Manusia
pun menarik untuk dianalisis. Tokoh yang
pertama yaitu Nyai Ontosoroh (Sanikem).
Nyai Ontosoroh merupakan gambaran
perempuan awal abad 20 yang berpikiran
modern, karena memperoleh didikkan
dari suaminya yang berkebangsaan
Belanda dan gemar membaca berbagai
buku dan surat kabar, Nyai Ontosoroh
yang tadinya hanya seorang gundik yang
tak memiliki hak (sama halnya seperti
budak) tumbuh menjadi perempuan yang
mandiri, berani mengemukakan pendapat,
berani melawan ketidakadilan yang
menimpa dirinya. Nyai Ontosoroh
merupakan tokoh yang istimewa, ia
mampu mengubah kemalangan hidupnya
yang tadinya hanya seorang gundik
namun kemudian bertumbuh menjadi
wanita yang terpandang, bermartabat,
berwawasan, dan berkarakter.
Tidak hanya Nyai Ontosoroh
dalam novel Bumi Manusia ada juga
tokoh Annelis Mellema yang merupakan
simbol perempuan cantik luar biasa,
namun lemah dan teraniaya. Tokoh
Bunda Minke, gambaran perempuan Jawa
yang sangat menjunjung tinggi norma
budaya, bunda juga merupakan karakter
ibu yang ideal, bijaksana, mampu
memposisikan dirinya sebagai ibu
maupun sebagai istri. Selain itu, ada juga
tokoh Minem, Minem merupakan figur
perempuan centil, hanya bisa
mengandalkan kecantikannya untuk
memperdaya lelaki, pemalas, lebih suka
bersolek daripada bekerja, tidak bermoral.
Karakter tokoh perempuan dalam novel
Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta
Toer, menarik untuk dikaji dari berbagai
perspektif.
B. KAJIAN TEORI
B.1 FEMINISME
Feminisme merupakan gerakan
perjuangan para kaum hawa untuk
mendapatkan kesetaraan dan persamaan
derajat dengan para laki-laki. Inti dari
gerakan feminisme adalah bagaimana
cara meningkatkan status perempuan
melalui tema-tema seperti kesetaraan
gender dan emansipasi wanita.
Feminisme digambarkan sebagai bentuk
pemberontakan kepada kaum laki-laki.
Humm (2007: 157-158) feminisme
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA |
33
menggabungkan doktrin persamaan hak
bagi perempuan yang menjadi gerakan
yang terorganisasi untuk mencapai hak
asasi perempuan dengan sebuah
ideologi transformasi sosial yang
bertujuan untuk menciptakan dunia
bagi perempuan. Upaya melawan pranata
sosial sebagai institusi rumah tangga
untuk perkawinan maupun upaya wanita
untuk mengakhiri kodratnya.
Secara umum feminisme adalah
pembebasan wanita karena yang melekat
dalam semua pendekatannya adalah
keyakinan bahwa wanita mengalami
ketidakadilan karena jenis kelamin. Kaum
perempuan melalui gerakan feminis dan
teori feminis menuntut agar kesadaran
kultural yang selalu memarginalkan
wanita dapat diubah sehingga
keseimbangan yang terjadi adalah
keseimbangan yang dinamis.
Feminisme lahir untuk mengakhiri
dominasi laki-laki terhadap kaum
perempuan. “Menurut Abrams
Feminisme sebagai aliran pemikiran dan
gerakan berawal dari kelahiran era
Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh
Lady Mary Wortley Montagu dan
Marquis de Condorcet. Perkumpulan
masyarakat ilmiah untuk perempuan
pertama kali didirikan di Middelburg,
sebuah kota di selatan Belanda pada
tahun 1785. Menjelang abad ke-19,
feminisme lahir menjadi gerakan yang
cukup mendapatkan perhatian dari para
perempuan kulit putih di Eropa.
Perempuan di negara-negara penjajah
Eropa memperjuangkan apa yang
mereka sebut sebagai universal
sisterhood (Arivia, 2006: 18-19).”
Feminisme, di samping sebagai
gerakan kultural juga dianggap sebagai
salah satu teori sastra. Teori-teori feminis,
sebagai alat kaum perempuan untuk
memperjuangkan hak-haknya, yang erat
kaitannya dengan konflik ras, khususnya
konflik gender. Artinya, antara konflik
kelas dengan feminisme memiliki asumsi-
asumsi yang sejajar, mendekonstruksi
sistem dominasi dan hegemoni,
pertentangan antara kelompok yang
lemah dengan kelompok yang dianggap
lebih kuat (Ratna, 2006: 186).
B.1 Sasaran Kajian Feminisme
Tujuan utama kajian sastra feminis
adalah menganalisis relasi gender, situasi
ketika perempuan berada dalam
dominasi laki-laki. Dalam pengertian
yang paling luas, feminis adalah gerakan
kaum perempuan untuk menolak segala
sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh
kebudayaan dominan, baik dalam bidang
politik dan ekonomi, maupun kehidupan
sosial pada umumnya (Ratna, 2004: 184).
Djajanegara (2000: 4) inti tujuan
feminisme adalah meningkatkan
kedudukan dan derajat perempuan
agar sama atau sejajar dengan kedudukan
serta derajat laki-laki. Perjuangan serta
usaha feminisme untuk mencapai tujuan
ini mencakup berbagai cara. Salah satu
caranya adalah memperoleh hak dan
peluang yang sama dengan yang dimiliki
laki-laki.
Peran dan kedudukan perempuan
tersebut akan menjadi sentral pembahasan
kajian sastra.
“Endraswara (2008: 148) terdapat
lima sasaran penting dalam analisis
feminisme sastra, (1) mengungkap karya-
karya penulis wanita masa lalu dan masa
kini agar jelas citra wanita yang merasa
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
34
ditekan oleh tradisi; (2) mengungkap
berbagai tekanan pada tokoh wanita
dalam karya yang ditulis oleh pengarang
pria; (3) mengungkap ideologi pengarang
wanita dan pria, bagaimana mereka
memandang diri sendiri dalam kehidupan
nyata; (4) mengkaji dari aspek ginokritik,
yakni memahami bagaimana proses
kreatif kaum feminis; dan (5)
mengungkap aspek psikoanalisis feminis,
yaitu mengapa wanita, baik tokoh
maupun pengarang, lebih suka pada hal-
hal yang halus, emosional, penuh kasih
sayang, dan sebagainya.”
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa kritik
sastra feminis adalah memperjuangkan
hak-hak perempuan di semua aspek
kehidupan dengan tujuan agar kaum
perempuan mendapatkan kedudukan yang
sederajat dengan kaum laki-laki.
B.2 Bumi Manusia
Novel Bumi Manusia menceritakan
tentang seorang keturunan Jawa, Minke,
yang sering diperolok-olok kaum totok
Belanda karena kulitnya. Pram
memberikan karakter Minke sebagai
manusia pribumi yang terpelajar, melawan
penindasan terhadap dirinya, terhadap
orang lain dan terhadap bangsanya. Minke
bersekolah di HBS (Hogere Burger
School) yaitu sekolah yang setara SMA
yang tidak semua kaum pribumi bisa
bersekolah sampai sejauh itu. Hanya
keturunan minimal ningrat yang boleh
bersekolah di HBS. Minke anak dari
bupati kota B (disebutkan dalam
novelnya) karena itulah dia dapat
bersekolah di HBS. Hidup di tengah-
tengah pergaulan Eropa menjadikan
pandangan Minke menjadi pengagung
Eropa. Dia melupakan tradisi dan adat
Jawanya. Hal tersebut sempat membuat
geram ayahnya yang merupakan Bupati B
sementara ibunda mendukung anaknya
Minke agar melaksanakan apa yang ia
cita-citakan. Di sini Minke mengalami
pencarian jati dirinya, seorang pribumi
tapi pengagung Eropa.
Robert Surhof teman sekaligus
akan menjadi lawan, teman yang memiliki
niat picik, serakah dan ingin mendapatkan
apapun yang dia inginkan dengan
menghalalkan segala cara. Suatu hari
Robert Surhof mengajak Minke
berkunjung ke Wonokromo, sebuah
perkebunan tebu dan perusahaan
perdagangan, peternakan milik Nyai
Ontosoroh (Nyai adalah sebutan bagi
gundik-gundik kompeni). Perkebunan
yang begitu luas dengan rumah yang bagai
istana. Pertemuan pertama Minke dengan
Annelies (putri dari Nyai Ontosoroh)
menjadi poin penting dalam novel ini.
Kisah Cinta pada pandangan pertama
digambarkan oleh Pram begitu romantis.
Annelies dideskripsikan oleh Pram
sebagai Gadis Indo-Belanda yang
memiliki paras yang sangat elok, bertubuh
langsing, berambut pirang dan lurus,
dikatakan bahwa kecantikannya melebihi
Ratu Wilhemnia (Ratu Belanda).
Walaupun taraf pendidikan Annelies tidak
sampai HBS akan tetapi dia memiliki
pesona luar biasa lainnya, yaitu di usia
yang masih belia dia mampu mengurusi
perkebunan dan peternakan dan membantu
ibunya menjalankan perusahaan, karena
ayahnya, Mellema, kelakuannya berubah
180 derajat yang dikatakan akibat
pengaruh hobinya pelesiran dan mabuk-
mabukan pada saat itu.
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA |
35
Pertemuan pertama antara Minke
dan Annelies telah menimbulkan benih
cinta di antara keduanya. Minke
terpandang, terpelajar, dan pintar dalam
berbahasa Belanda serta Prancis membuat
Nyai Ontosoroh kagum dan tak ragu
menyetujui jika mereka berhubungan.
Namun, masalah lain timbul, Robert
Surhof yang ternyata temannya memang
mengincar Annelies sejak lama. Robert
berteman lama dengan kakak kandung
Annelies, Robert Mellema, tentunya
Surhof memandang Annelies secara
nafsu. Berbagai siasat ditempuh Surhof
untuk menjauhkan Minke dari Annelies.
Suatu hari, Annelies jatuh sakit karena
memikirkan sang pangerannya, Minke,
karena Minke pernah berucap janji
kepada Annelies pada kunjungan yang
pertamanya bahwa dia akan menemuinya
lagi beberapa hari ke depan. Namun,
sudah berminggu-minggu Minke tidak
berkunjung ke kediaman Nyai Ontosoroh.
Nyai menyuruh salah seorang
pekerjanya mengirimkan surat kepada
Minke lalu menjemput Minke untuk
bersedia tinggal di kediamannya. Begitu
besar kisah cinta yang digambarkan
antara Minke dengan Annelies sehingga
akhirnya mereka menikah walaupun
banyak pertentangan dari orang tua
Minke yang tidak menyetujui ia menikah
dengan seorang keturunan Belanda.
Namun, yang menarik, Pram menyajikan
novel selalu di luar dugaan, ketika
kondisi pembaca tengah asik dan
memiliki perasaan senang tiba-tiba Pram
membalikkan kondisi tersebut menjadi
terbalik. Kisah cinta antara Minke dan
Annelies mengalami sesuatu yang sangat
memilukan, yaitu karena Annelies anak
dari seorang gundik yang bernama Nyai
Ontosoroh. Perkawinan antara Nyai
Ontosoroh dengan Robert Mellema tidak
diakui Pengadilan Tinggi Belanda.
Begitupun dengan pernikahan Minke dan
Annelies tidak diakui di Pengadilan
Belanda karena tidak ada izin orang tua
yang sah dari Annelies. Hak asuh
Annelies diberikan kepada ibu tirinya di
Belanda.
Akhirnya secara terpaksa Annelies
harus angkat kaki dari dan pergi ke
Belanda. Mendengar kabar tersebut
Annelies kembali jatuh sakit.
Kekecewaan yang mendalam dirasakan
Annelies. Dia akan kehilangan cintanya,
ibunya dan semua kenangan-kenangan
dari masa kecilnya. Sementara Minke dan
Nyai Ontosoroh tidak tinggal diam
melawan ketidakadilan pengadilan putih
Belanda, Minke dengan kemahiran
menulis pengaduan di berbagai media
cetak telah menyalakan api para
pembacanya. Pendukung Minke tidak
hanya sekadar para kerabat-kerabatnya,
kini seluruh masyarakat di Wonokromo
dan Madura ikut protes terhadap
ketidakadilan Belanda. Hal tersebut
mengubah semua pemikiran Minke yang
semula pengagum Belanda kini
merasakan ketidakadilan, penjajahan,
diskriminasi Belanda terhadap Pribumi.
C. TEMUAN
C.1 Bentuk Feminisme dalam Tokoh
Nyai Ontosoroh
Feminisme khususnya dengan
segala permasalahan mengenai wanita,
pada umumnya dikaitkan dengan
emansipasi. Kaum wanita menuntut
persamaan hak dengan laki- laki, seperti
halnya pekerjaan wanita yang selalu
dikaitkan dengan memelihara, sedangkan
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
36
laki-laki dikaitkan dengan bekerja.
Feminisme yang sekarang cenderung
digambarkan sebagai bentuk
pemberontakan kepada kaum laki-laki.
Upaya melawan pranata sosial sebagai
institusi rumah tangga untuk perkawinan
maupun upaya wanita untuk mengakhiri
kodratnya. Hal tersebut merupakan
anggapan yang salah karena feminisme
merupakan upaya untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi wanita (Fakih,
2008: 78-79). Secara umum feminisme
adalah pembebasan wanita karena yang
melekat dalam semua pendekatannya
adalah keyakinan bahwa wanita
mengalami ketidakadilan karena jenis
kelamin.
Novel Bumi Manusia banyak
mengusung nilai-nilai feminisme, bentuk
feminisme tersebut dapat terlihat dalam
kutipan-kutipan di bawah ini.
“Nyai Ontosoroh pergi lagi melalui
pintu belakang, aku masih
terpesona melihat seorang wanita
pribumi bukan saja bicara bahasa
Belanda, begitu baik, lebih karena
tidak mempunyai suatu kompleks
terhadap tamu pria. Di mana lagi
bisa ditemukan wanita semacam
dia? Apa sekolahnya dulu? Dan
mengapa hanya seorang Nyai,
seorang gundik? Siapa pula yang
telah mendidiknya jadi begitu bebas
seperti wanita Eropa”? (Bumi
Manusia, 34)
Tokoh Nyai Ontosoroh seorang
wanita pribumi, gundik yang dapat bicara
bahasa Belanda begitu baik, tidak
memiliki kompleks terhadap tamu pria.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan
keadaan perempuan pribumi pada saat itu.
Wanita pribumi saat itu (awal abad ke 19)
hanya sedikit sekali yang dapat
mengenyam pendidikan, yang
mengenyam pendidikan hanya
perempuan dari golongan priyayi saja.
Nyai Ontosoroh pun merupakan
gambaran perempuan modern, yang
keluar dari peodalisme sikap perempuan
Pribumi pada umumnya yang kaku,
segan, dan sungkan berbicara dengan
tamu pria. Nyai Ontosoroh sangat
berbeda, ia nampak sangat ramah,
terbuka, dan seperti perempuan Eropa
terpelajar.
Sebagai ibu, Nyai Ontosoroh figur
yang baik, halus, bijaksana, dan terbuka.
Hal ini dapat dilihat saat Annelis
mengadu padanya bahwa Minke
memujinya cantik. Nyai Ontosoroh tidak
marah, malah membenarkan pujian
Minke. Nyai Ontosoroh secara terbuka
bertanya pada Minke apa yang harus
dikatakan perempuan saat dipuji. Sikap
Nyai Ontosoroh menggambarkan aspek
feminisme. Perempuan harus
menonjolkan sisi keperempuannya,
terutama saat menjalani perannya sebagai
ibu. Ia harus bersikap halus dan
bijaksana, sedangkan sebagai perempuan
dapat berpikir terbuka.
“Aku tunggu-tunggu meledaknya
kemarahan Nyai karena puji-pujian
itu. Tapi ia tidak marah. Tepat
seperti Bunda, yang tidak pernah
marah padaku. Terdengar
peringatan pada kuping batinku:
awas jangan samakan dia dengan
Bunda. Dia hanya seorang nyai-
nyai, tidak mengenal perkawinan
syah, melahirkan anak-anak tidak
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA |
37
syah, sejenis manusia dengan kadar
kesusilaan rendah, menjual
kehormatan untuk kehidupan
senang dan mewah…. Dan tidak
dapat aku katakan dia bodoh.
Bahasa Belandanya cukup fasih,
baik dan beradab; sikapnya pada
anaknya halus dan bijaksana, dan
terbuka, tidak seperti ibu-ibu
pribumi; tingkah lakunya tak beda
dengan wanita Eropa terelajar. Ia
seperti seorang guru dari aliran
baru yang bijaksana itu. Beberapa
guruku yang keranjingan kata
modern sering mengedepankan
contoh tentang manusia jaman
modern ini mungkinkah Nyai
mereka masukan ke dalam
daftarnya?” (Bumi Manusia, 38)
Dari perbincangan antara Annelies
dan Minke diketahui bahwa Nyai
Ontosoroh melakukan semua pekerjaan
kantor, mengurus administrasi, buku
dagang, surat-menyurat bank. Sungguh
hal yang luar biasa yang bisa dilakukan
oleh seorang perempuan Pribumi, yang
tidak pernah bersekolah.
“Apa pekerjaanmu sesungguhnya?”
“Semua, kecuali pekerjaan kantor.
Mama sendiri yang lakukan itu.”
Jadi Nyai Ontosoroh melakukan
pekerjaan kantor. Pekerjaan kantor
macam apa yang dia bisa?
“Administrasi?” tanyaku mencoba-
coba.
“Semua. Buku, dagang, surat-
menyurat, bank.. (Bumi Manusia, 45)
Pram melukiskan tokoh Nyai
Ontosoroh sebagai tokoh perempuan yang
mandiri, tangkas, dan ulet. Perempuan
agar terbebas dari dominasi laki-laki
memang harus mandiri, baik itu dalam
hal bisa melakukan pekerjaan tanpa selalu
mengandalkan laki-laki, maupun mandiri
dari segi ekonomi. Berikut kutipan
pendapat Nyai Ontosoroh.
“Berbahagialah dia yang makan
dari keringatnya sendiri bersuka
karena usahanya sendiri dan maju
karena pengalamannya sendiri.”
(Bumi Manusia, 59)
Ciri feminisme adalah perempuan
dapat secara terbuka mengemukakan
pendapatnya dan dapat memperjuangkan
keadaan yang diinginkannya.
“Memang bukan nyai sembarang
nyai. Dia hadapi aku, siswa H.B.S
tanpa rendah diri. Dia punya
keberanian menyatakan pendapat.
Dan dia sadar akan kekuatan
pribadinya.” (Bumi Manusia, 102)
“Memang ada sangat banyak wanita
hebat. Hanya saja baru Nyai
Ontosoroh yang pernah kutemui.
Menurut cerita Jean Marais wanita
Aceh sudah terbiasa turun ke medan-
perang melawan Kompeni. Dan rela
berguguran di samping pria. Juga di
Bali. Di tempat kelahiranku sendiri
wanita petani bekerja bahu-
membahu dengan kaum pria di
sawah dan ladang. Namun semua itu
tidak seperti Mama-dia tahu lebih
daripada hanya kampung depan
hamannya sendiri.” (Bumi Manusia,
106)
“Beberapa kali jurutulis Sastrotomo
datang menengok. Mama menolak
menemi. Sekali istrinya datang,
melihatnya pun aku tak sudi. Tuan
Mellema tidak pernah menegur
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
38
kelakuanku. Sebaliknya ia sangat
puas dengan segala yang kulakukan.
Nampaaknya ia juga senang pada
kelakuanku yang suka belajar. Ann,
papamu sangat menyayangi aku.
Namun semua itu tidak dapat
mengobati kebanggaan dan harga
diri yang terluka. Papamu tetap
orang asing bagiku. Dan memang
mama tak pernah menggantungkan
hidup diri padanya. Ia tetap
kuanggap sebagai orang yang tak
pernah kukenal, setiap saat bias
pulang ke Nederland dan
meninggalkan aku, dan melupakan
segala sesuatu di Tulungan. Maka
diriku kuarahkan setiap waktu pada
kemungkinan itu. Bila Tuan Besar
Kuasa pergi aku sudah harus tidak
akan kembali ke rumah Sastrotomo.
Mama belajar menghemat, Ann,
menyimpan. Papamu tak pernah
menanyakan penggunaan uang
belanja. Ia sendiri yang berbelanja
bahan ke Sidoarjo atau Surabaya
untuk sebulan.
Dalam setahun telah dapat
kukumpulkan lebih dari seratus
golden. Kalau pada suatu kali Tuan
Mellema pergi pulang atau mengusir
aku, aku sudah punya modal pergi
ke Surabaya dan berdagang apa
saja.” (Bumi Manusia, 129)
Perempuan akan selalu menjadi
bayang-bayang laki-laki, bila ia masih
menggantungkan diri pada orang lain.
Meskipun kodratnya sesama manusia
baik laki-laki maupun perempuan saling
membutuhkan. Akan tetapi alangkah
baiknya jika perempuan dapat mandiri
sehingga tidak bergantung pada orang
lain. Tokoh Nyai Ontosoroh mengajarkan
pada pembaca perempuan akan hal itu.
“Pada waktu itu Mama mulai
merasa senang, berbahagia. Ia
selalu mengindahkan aku,
menanyakan pendapatku, mengajak
aku memperbincangkan semua hal.
Lama kelamaan aku merasa
sederajat dengannya. Aku tak lagi
malu bila toh terpaksa bertemu
dengan kenalan lama. Segala yang
kupelajari dan kukerjakan dalam
setahun ini telah mengembalikan
harga diriku. Tapi sikapku tetap:
mempersiapkan diri untuk tidak
akan lagi tergantung pada siapa
pun. Tentu saja sangat berlebihan
seorang perempuan Jawa bicara
tentang harga diri, apalagi semuda
itu. Papamu yang mengajari, Ann.
Tentu saja dikemudian hari aku
dapat rasakan wujud hargadiri
itu.” (Bumi Manusia, 130)
Sikap Nyai Ontosoroh terhadap
Tuannya mandiri. Justru Tuan
Mellemalah yang merasa tergantung
padanya. Ia beranggapan Nyai Ontosoroh
teman hidup yang bisa diandalkan karena
mampu mengurus perusahaan,
memelihara peternakan, dan mengurus
segala keperluan.
“Begitulah aku mulai mengerti,
sesunggguhnya Mama sama sekali
tidak tergantung pada Tuan
Mellema. Sebaliknya, dia yang
tergantung padaku. Jadi Mama
lantas mengambil sikap ikut
menentukan sehagala perkara.
Tuan tidak pernah menolak. Ia pun
tidak pernah memaksa aku kecuali
dalam belajar. Dalam hal ini ia
seorang guru yang keras tapi baik,
aku seorang murid yang taat juga
baik. Mama tahu, semua yang
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA |
39
diajarkannya pada suatu kali kelak
akan berguna bagi diriku dan anak-
anakku kalau Tuan pulang ke
Nederland.” (Bumi Manusia, 131)
Perempuan pun jika diberi
kesempatan sebagai pemimpin dapat
menjadi pemimpin yang baik, memiliki
karakter tegas, tangkas, ulet, dan
bertanggung jawab. Nyai Ontosoroh
pembuktian dari hal tersebut.
“Tuan kemudian mendatangkan sapi
baru juga dari Australia. Pekerjaan
semakin banyak. Pekerja-pekerja
harus disewa. Semua pekerjaan di
dalam lingkungan perusahaan mulai
diserahkan kepadaku oleh Tuan.
Memang mula-mula aku takut
memerintah mereka. Tuan
membimbing. Katanya: majikan
mereka adalah penghidupan mereka,
majikan penghidupan mereka adalah
kau! Aku mulai berani memerintah di
bawah pengawasannya. Ia tetap
keras dan bijaksana sebagai guru.
Tidak, tak pernah ia memukul aku.
Sekali saja dilakukan, mungkin
tulang belulangku berserakan.
Bagaimana pun sulitnya lama-
kelamaan dapat kulakukan apa yang
dikehendakinya. ”(Bumi Manusia,
132)
Semakin banyak yang dipelajari,
pribadi Sanikem makin lama makin
lenyap. Nyai Ontosoroh tumbuh menjadi
Nyai yang berwawasan luas, menguasai
berbagai bidang pekerjaan perusahaan,
menjadi majikan bagi para pekerja harian.
Nyai Ontosoroh tumbuh menjadi
perempuan yang lebih maju dibandingkan
dengan perempuan Pribumi, Totok,
maupun Peranakan.
Feminisme menganjurkan
perempuan dapat berjuang membela
dirinya sendiri. Feminisme sangat
menentang eksploitasi terhadap
perempuan. Perempuan hendaknya berani
membela dirinya sendiri, jika hak-haknya
dilanggar oleh orang lain. Perempuan
sudah masanya tidak hanya diam saat
diperlakukan tidak adil.
C.2 Bentuk Feminisme dalam Tokoh
Annelies
“Annelies mendekati seorang demi
seorang dan mereka memberikan
tabik , tanpa bicara, hanya dengan
isyarat. Itulah untuk pertama
kalinya kuketahui, gadis cantik
kekanak-kanakan ini ternyata
seorang pengawas yang harus
diindahkan oleh para pekerja,
lelaki dan perempuan.” (Bumi
Manusia, 44)
Dalam Bumi Manusia, Annelies
digambarkan oleh Pram sebagai gadis
yang memiliki daya kepemimpinan yang
disegani oleh para pekerjanya. Seorang
wanita juga dapat memiliki jiwa
kepemimpinan yang baik sehingga
menjadikan panutan bagi bawahannya.
Kaum perempuan tidak hanya mahir
mengurus rumah tangga tetapi harus bisa
mengurus dirinya sendiri. Bekerja untuk
membantu perekonomian keluarga ketika
pemimpin keluarga memiliki keterbatasan
dalam penghasilan maupun fisik.
Perempuan juga terkadang memiliki
kemampuan yang lebih dibandingkan
kaum lelaki karena telaten dan sabar. Inti
dari gerakan kaum feminis adalah usaha
dalam menuntut adanya persamaan hak
perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan. Oleh karena itu, terjadi
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
40
pergeseran dalam mempersepsikan sosok
perempuan tahap demi tahap. Mereka
tidak dipandang lagi sebagai sosok lemah
yang selalu berada pada garis belakang.
Mereka juga bisa tampil di garis depan
sebagai pemimpin yang sukses dalam
berbagai sektor kehidupan, yang selama
ini justru dikuasai oleh kaum laki-laki.
Ungkapan populer “ladies First”
merupakan salah satu bentuk nyata dari
pergeseran status perempuan. Bahkan
tidak jarang kebanyakan dari perempuan
ini merupakan bos dan direktur di
perusahaan tertentu. Hal tersebut dapat
dilihat dari pernyataan tokoh Minke
terhadap tokoh Annelies “....gadis cantik
kekanak-kanakan ini ternyata seorang
pengawas yang harus diindahkan oleh
para pekerja, lelaki dan perempuan....”.
Hal ini menggambarkan pergeseran status
perempuan ke arah sederajat dengan para
lelaki, yang kita sering sebut sebagai
emansipasi wanita.
“Gadis kekanak-kanakan yang
belum pernah menamatkan sekolah
dasar ini tiba-tiba muncul di
hadapanku sebagai gadis luar
biasa: bukan hanya dapat mengatur
pekerjaan begitu banyak, juga
seorang pengunggang kuda,dapat
memerah lebih banyak daripada
semua pemerah.” (Bumi Manusia,
48)
Sosok perempuan identik dengan
sosok yang lemah, halus, mudah
terpengaruh, dan emosional, sedangkan
laki-laki identik dengan sosok gagah,
berani, tangguh, dan rasional. Hal
tersebut memosisikan sosok perempuan
sebagai makhluk yang seolah-olah harus
dilindungi dan senantiasa bergantung
pada kaum laki-laki. Dengan adanya
gerakan kaum feminis, hal tersebut bukan
sebagai titik ukur terhadap sosok seorang
perempuan sebagai sosok yang harus
dilindungi. Melalui tokoh Annelies,
seorang perempuan juga dapat menjadi
seorang pemimpin. Tokoh Annelies
digambarkan oleh pengarangnnya sebagai
pemimpin perempuan yang bisa
melakukan apa yang dilakukan oleh
seorang lelaki. Penggambaran feminisme
tokoh Annelies dari sudut pandang tokoh
Minke “....bukan hanya dapat mengatur
pekerjaan begitu banyak, juga seorang
pengunggang kuda,dapat memerah lebih
banyak daripada semua pemerah....”, hal
ini menunjukan bahwa hasil yang
diperoleh dari tangan perempuan bisa
lebih baik dari kaum lelaki karena
perempuan mengerjakannya dengan hati,
dengan perasaan.
“Beberapa orang perempuan
menahan Annelies dan
mengajaknya bicara, minta
perhatian dan bantuan. Dan gadis
luar biasa ini seperti seorang ibu
melayani mereka dengan ramah.
Jangankan pada sesama manusia,
pada kuda pun ia berkasih-sayang
selama meereka semua memberikan
kehidupan. Ia nampak begitu agung
di antara penduduk kampung
rakyatnya. Mungkin lebih agung
dari pada dara yang pernah
kuimpikan selama ini dan kini telah
marak di atas tahta, memerintah
Hindia, Suriname, Antillen, dan
Nederland sendiri. Kulitnya pun
mungkin lebih halus dan
cemerlang. Lebih bisa didekati.”
(Bumi Manusia, 54)
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA |
41
Penggambaran sosok kepemimpinan
seorang perempuan sebagai sosok yang
supel, demokratis, perhatian, artistik,
bersikap baik, cermat dan teliti,
berperasaan dan berhati-hati. Mereka
(bukan tokoh Annelies saja) cenderung
menjadi sosok team work yang handal,
lengkap dan sempurna. Mereka juga dapat
mengidentifikasikan dirinya serta
mempersepsi dirinya sebagai sosok yang
lebih rasional, keras hati, aktif, dan
kompetitif. Dalam hal berkomunikasi,
mereka dapat tampil lebih sopan dan
tentatif daripada laki-laki, yang cenderung
sederhana. Hal ini dapat dilihat dari
ungkapan tokoh Minke “Dan gadis luar
biasa ini seperti seorang ibu melayani
mereka dengan ramah”. Bahasa tubuh
juga berbeda, yang menunjukkan bahwa
perempuan lebih baik daripada laki-laki.
Perempuan cenderung lebih menggunakan
model manajemen partisipatoris, dan
menggunakan strategi-strategi kolaboratif
dalam menyelesaikan konflik. Mereka
juga memandang segala sesuatu dengan
hati bukan dengan otot. Secara esensial,
kepemimpinan seorang perempuan pada
dasarnya tidak akan jauh berbeda dengan
kaum laki-laki. Kita mencatat beberapa
tokoh perempuan yang berhasil menjadi
pemimpin, Margareth Tatcher di Inggris
yang dijuluki sebagai “Si Wanita Besi”,
Indira Gandhi di India, Benazir Butho di
Pakistan, Aun San Su Ki di Thailand, R.A.
Kartini, Cut Nyak Dien, Kristina
Marthatiahahu, Dewi Sartika, Megawati
Soekarno Putri di Indonesia dan tokoh-
tokoh perempuan lainnya.
“... Tapi sekarang ada yang
menarik – keluarga kaya-raya yang
aneh itu ; Nyai yang pandai
menggenggam hati orang seakan ia
dukun sihir, Annelies Mellema,
yang cantik, kebocah-bocahan,
namun, seorang yang
berpengalaman yang pandai
mengatur para pekerja:...” (Bumi
Manusia, 71)
Pembahasan tentang perempuan,
tidak melulu membahas soal seksualitas,
kemolekan pesona wajah dan lekuk tubuh
saja. Daya tarik perempuan banyak juga
menghiasi berbagai ruang dalam
kehidupan yang dijelaskan oleh pram
seolah-olah seperti “dukun sihir” yang
digambarkan oleh Minke pada tokoh Nyai
Ontosoroh. Salah satunya gaya
kepemimpian Annelies dapat memberikan
contoh yang baik tentang kepemimpinan
bahwa perempuan juga dapat menjadi
seorang pemimpin, dapat mengatur
puluhan, ratusan, ataupun ratusan
bawahannya. Tokoh Annelies memotivasi
perempuan lainnya untuk bangkit, bukan
menjadi objek penderitaan dari kaum
laki-laki.
“Baik Annelies maupun Mama
tidak menghendaki suatu mas
kawin. Apa yang kami harapan?
Kata Mama, Annelies telah
mendapatkan segala dari calon
suaminya. Kalau toh diharuskan
ada mas kawin, kata Annelies, ialah
sesuatu yang belum kudapatkan
dari dia: janji setia selama
hidupku. Dan aku telah
memberikannya pada akad nikah.”
(Bumi Manusia, 452)
Secara fisik dan psikologi,
perempuan berbeda dengan laki-laki.
Secara fisik, perbedaan itu dapat
| DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
42
terlihat dengan kasat mata. Perempuan
dapat melahirkan, laki-laki tidak. Secara
psikologis, laki-laki biasanya lebih aktif,
agresif dan lebih rasional. Perempuan
sebenarnya memegang peran penting.
Namun, peran tersebut bersifat abstrak.
Ibarat seorang pelatih yang mengatur para
pemainnya, perempuan pun memiliki
peran yang signifikan untuk mencetak
generasi yang cerdas dan berakhlak. Oleh
karena itu, perempuan lebih bisa
memahami kondisi lingkungan di
sekitarnya. Sebagai sosok yang
memahami kondisi di sekitanya, dia akan
memosisikan dirinya dengan baik.
D. SIMPULAN
Penokohan perempuan dalam
novel Bumi Manusia sangat menarik.
Tokoh-tokoh perempuan yang
ditampilkan Pramoedya Ananta Toer
adalah karakter perempuan yang kuat,
tangguh, cerdas, dan berani. Karakter
tersebut nampak pada tokoh Nyai
Ontosoroh, menganalisis karakter Nyai
Ontosoroh membuat penulis terpukau.
Betapa tokoh Ontosoroh telah
membelalakkan pikiran, bahwa
perempuan juga dapat mengubah
kemalangan hidupnya menjadi keadaan
yang lebih baik, dengan kerja keras,
dengan keuletan dan kemauan keras
untuk belajar. Dari karakter tokoh
Ontosoroh juga penulis dapat
pemahaman bahwa sebagai perempuan,
perempuan tidak selalu harus diam saat
kita diperlakukan tidak adil oleh hukum
atau oleh manusia siapapun. Sebagai
manusia, perempuan pun harus berani
melawan.
Melalui Tokoh Annelies kita dapat
melihat bahwa perempuan pun dapat
menjadi atasan atau mador yang baik
karena perempuan luwes, dan lebih
komunikatif. Melalui tokoh Annelies pun
pembaca disadarkan bahwa apabila hati
kita tidak kuat, rapuh, maka kita akan
mudah dipatahkan oleh ujian-ujian hidup
yang menerpa. Selain itu ada juga tokoh
Magda Peter, Sarah dan Miriam de la
Croix yang berwawasan luas dan bercita-
cita luhur mengajak pembaca untuk
kembali memancang cita-cita terluhur
dalam diri. Fiksi adalah suatu bentuk
karya kreatif, maka bagaimana pengarang
mewujudkan dan mengembangkan tokoh-
tokoh ceritanya pun tak lepas dari
kebebasan kreativitasnya. Fiksi
mengandung dan menawarkan model
kehidupan seperti yang disikapi dan
dialami tokoh-tokoh cerita sesuai dengan
pandangan pengarang terhadap kehidupan
itu sendiri.
Dalam novel Bumi Manusia
spirit feminisme sangat kental terasa,
feminisme dapat terlihat jelas dalam
segala ucapan, pikiran, dan tindakan para
tokoh perempuan dalam novel ini
terutama pada tokoh Nyai Ontosoroh.
Segala ucapan, sikap, dan tindakan yang
dilakukannya yang mengarah pada sikap
perempuan modern yang tidak ingin
tergantung dengan orang lain, ulet,
tangguh dalam menekuni pekerjaan,
berani melawan penindasan dan
ketidakadilan yang menimpanya.
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA |
43
DAFTAR PUSTAKA
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat
Berperspektif Feminis. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.
Arivia. 2006. Feminisme Sebuah Kata
Hati. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Djokosujatno, Apsanti. 2007. Membaca
Katrologi Bumi Manusia
Pramoedya Ananta Toer. Jakarta
:Gramedia Pustaka Utama.
Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik
Sastra. Jakarta: Buku Seru.
Humm, Maggie. 1986. Feminist
Criticism. Great Britain: The
Harvester Press.
Arivia. 2007. Ensiklopedia Feminisme.
Edisi Bahasa Indonesia
diterjemahkan oleh Mundi
Rahayu. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru.
Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya
Ananta Toer dan sastra Realisme
Sosialis. Jakarta : Gramedia.
Mahendra, Daniel. 2004. Pramoedya
Ananta Toer dan Manifestasi
Karya Sastra. Bandung: Malka.
Nurgiantoro, Burhan. 2007. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik
sastra Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gama Media.
Ratna, Nyoman Khuta. 2004. Teori,
Metode dan Teknik Penelitian
Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung:
Angkasa.
Sugihastuti.2013. Kritik Sastra Feminis:
Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1997. Citra Manusia
Indonesia dalam Karya
Pramoedya Ananta Toer. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra,
Pengantar Teori Sastra. Jakarta;
Pustaka Jaya.
Toer, Pramoedya Ananta. 2002. Bumi
Manusia. Yogyakarta: Hasta Mitra.
Zoets. Van A. 1990. Fiksi dan Nonfiksi
dalam Kajian Semiotik. Jakarta:
Intermasa.