analisis rencana perubahan sistem pemungutan …
TRANSCRIPT
ANALISIS RENCANA PERUBAHAN SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK DARI
WORLWIDE KE TERRITORIAL TERHADAP MASUKNYA INVESTASI DI
INDONESIA
Rama Semida Nehemia Makatita, Naila Rahmah, Aliza Putri Ramadhany
Program Studi Perpajakan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya
1. Abstrak
Pemerintah Indonesia mengeluarkan salah satu Rancangan Undang-Undang Sapu Jagad
(Omnibus Law) khususnya dalam bidang perpajakan. Salah satu poin yang didapat dari
Omnibus Law Perpajakan ini adalah perubahan sistem pemungutan pajak dari worldwide ke
territorial. Tren perubahan pemungutan sistem perpajakan ini dimulai pada tahun 2009 dan
kemudian diikuti oleh negara-negara lain di dunia. Adapun tujuan utama dari perubahan ini
adalah untuk repatriasi penghasilan yang diterima dan penyederhanaan dari sistem
perpajakan yang ada. Di Indonesia sendiri, wacana perubahan sistem pemungutan pajak
sebenarnya sudah pernah diusulkan ke dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia) pada butir ke empat yang menyebutkan bahwa “pajak
dikenakan terhadap objek pajak di Indonesia dan bukan terhadap subjek pajak Indonesia
(Perubahan konsep dari Nasional menjadi Domestik atau dari konsep GNP menjadi konsep
GDP”. Pada paper ini akan dijelaskan mengenai sistem pemungutan pajak manakah yang
sesuai untuk diterapkan di Indonesia terhadap masuknya investasi di Indonesia. Sehingga
pemasukan negara dapat optimal seiring dengan pengoptimalan penerimaan negara yang
berasal dari pajak.
Kata Kunci : Omnibus Law, perubahan, worldwide, territorial, masuknya investasi
2. Pendahuluan
Omnibus law adalah suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar
yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih
sederhana. Istilah hukum tersebut belakangan ini sedang marak di Indonesia. Pasalnya,
pemerintah Indonesia sedang menyusun omnibus law yang tujuan akhirnya untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional. Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU perpajakan,
cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Salah satu yang menjadi perhatian dalam
pembuatan Omnibus Law ini adalah mengenai UU Perpajakan.
Di dalam Omnibus Law Perpajakan, terdapat 6 poin penting dalam undang-undang yang
baru ini, yaitu penurunan pajak penghasilan badan dan bunga denda pajak untuk menarik
investasi, perubahan sistem pemungutan pajak dari worldwide ke territorial, perubahan status
Wajib Pajak yang berada di luar atau di dalam wilayah negara Indonesia, pengaturan sanksi
dan bunga denda, menerapkan pajak elektronik, dan memasukkan insentif pajak dalam satu
klaster.
Dalam melakukan sebuah perubahan sistem pemungutan pajak. Kita perlu mengetahui
terlebih dahulu tentang Administrasi Perpajakan itu sendiri. Administrasi Perpajakan adalah
pencatatan, penggolongan, penyimpanan dan layanan terhadap kewajiban dan hak Wajib Pajak
yang dilakukan di kantor pajak maupun di kantor Wajib Pajak. Tax administration merupakan
kepentingan baik negara sebagai pemungut pajak dan Wajib Pajak sebagai pelaksana hak dan
kewajiban pajak.1
Adapun kriteria suatu administrasi perpajakan dikatakan baik adalah (1) harus dapat
mengamankan penerimaan negara, (2) berdasarkan aturan Undang-Undang Perpajakan yang
sah, (3) menyelenggarakan sistem perpajakan yang efektif dan efisien, (4) pelaksanaan sesuai
dengan peraturan (ruled-base) dan transparan, (5) Merealisasikan perpajakan yang sah, (6)
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, dan (7) mencegah segala tindak penyelewengan
perpajakan dan memberikan sanksi dan hukuman yang adil. 2
Dari uraian diatas, maka sangat penting bagi penulis untuk membahas dan menganalisis
secara mendalam mengenai rencana perubahan tersebut. Oleh karena itu penulis mengajukan
judul “Analisis Rencana Perubahan Sistem Pemungutan Pajak dari Worlwide ke Territorial
terhadap Masuknya Investasi di Indonesia”. Alasan kami mengangkat judul tersebut adalah
untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia
pada saat ini dan membandingkan bagaimana perubahan sistem pemungutan pajak dapat
memengaruhi masuknya investasi di Indonesia.
1 Mas Rasmini dan Tjip Ismail, Modul 1 Administrasi Perpajakan Universitas Terbuka: 9-29 2 Gunawan Setiadji dan Hidayat Amir, Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan Indonesia, Jurnal Ekonomi Universitas Indonusa Esa
Unggul, Edisi November 2005.
3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan latar belakang yang telah dibuat
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan sistem pemungutan pajak worldwide?
2. Bagaimana rencana penerapan sistem pemungutan pajak territorial di Indonesia?
3. Bagaimana perbandingan untuk penerapan sistem pemungutan pajak dari worldwide
ke territorial?
4. Bagaimana perbandingan kemudahan sistem pemungutan pajak terhadap masuknya
investasi di Indonesia?
4. Metodologi Penelitian
a. Metode dan Waktu
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode penulisan eksplanatoris. Metode ini hanya membahas suatu topik dengan
memberikan gambaran atas topik yang sedang dibahas, implikasi permasalahan yang
timbul atas topik itu, dan tidak ditujukan untuk mencari atau menguji solusi terbaik atas
permasalahan yang ada. Analisis yang ada biasanya bersifat kualitatif yang ditujukan
untuk mengeksplorasi konsekuensi permasalahan yang muncul atas kondisi yang
diterangkan dalam topik pembahasan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 27 April
hingga 1 September 2020, dengan rincian timeline pengerjaan sebagai berikut:
1. Pembentukan Kelompok Penelitian dan Pembahasan Tema (1 s.d. 7 April
2020)
2. Pematangan Konsep (11 s.d. 17 April 2020)
3. Konsultasi Penelitian I (18 April 2020)
4. Konsultasi Penelitian II (25 April 2020)
5. Pengerjaan Paper (27 April s.d. 1 September 2020)
6. Review Paper (5 Juni 2020)
7. Perbaikan Paper (4 Juli s.d. 1 September 2020)
b. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Jenis data
sekunder diperoleh dengan mencari Jurnal Ilmiah, Buletin Ekonomi, serta Tajuk
Rencana. Adapun untuk data sekunder yang telah diperoleh dengan studi literatur
meliputi: 1) Penerapan sistem pemungutan pajak worldwide di Indonesia; 2) Rencana
penerapan sistem pemungutan pajak territorial di Indonesia; 3) Perbandingan
penerapan sistem pemungutan pajak worldwide dengan territorial; dan 4)
Perbandingan kemudahan penerapan sistem pemungutan pajak terhdapa masuknya
investasi di Indonesia. Alasan kami keempat poin tersebut karena data mudah
didapatkan dan dapat dilakukan analisa secara mendalam melalui kalimat-kalimat
deskriptif dan dapat dibuat dalam bentuk tabel/chart. Pembahasan menggunakan studi
literatur dan pengumpulan data-data sekunder yang berasal dari berbagai sumber,
antara lain: Tajuk Rencana dari Ortax.org, DDTC Fiscal Research, Paparan Ilmiah
terbitan CITA, serta Jurnal Ilmiah terbitan dari berbagai universitas di Indonesia.
c. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh melalui studi literatur dan kajian dokumen diolah dengan proses
pengumpulan data, reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Data
sekunder dianalisis dengan analisa deskriptif, penyederhanaan data, pengabstrakan,
dan transformasi data yang muncul pada tinjauan literatur dan dokumen. Display data
dilakukan dengan membuat chart atau tabel perbandingan terhadap data yang telah
dikumpulkan dan kemudian data yang dikumpulkan kemudian diolah menjadi kalimat-
kalimat deskriptif yang mudah dipahami untuk mendukung data yang telah
dikumpulkan pada tahap pengumpulan data.3
5. Pembahasan
a. Penerapan Sistem Pemungutan Pajak Worldwide.
Sistem pemungutan pajak worldwide atau yang lebih sering disebut sebagai sistem
pajak internasional merupakan sistem pemungutan pajak yang banyak diterapkan di
berbagai negara, termasuk negara-negara yang mempunyai skala ekonomi yang besar
3 Cahya Suryana, Pengolahan dan Analisis Data Penelitian (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2007), 8-14
di dunia. Hwa See menyatakan bahwa sistem ini merupakan sistem yang paling umum
digunakan.4
Negara yang menganut sistem pemungutan pajak worldwide akan mengenakan pajak
atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri
(WPDN) negara tersebut, tanpa memperhatikan apakah penghasilan tersebut
bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri.5 Apabila suatu badan merupakan
WPDN dari negara yang menganut sistem pajak worldwide, maka badan tersebut akan
dikenai pajak terlepas dari sumber penerimaan yang dihasilkan oleh badan tersebut.
Selain mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh WPDN,
negara yang menganut sistem pajak worldwide juga mengenakan pajak atas
penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang bersumber
dari negaranya.6 Ketentuan ini memberikan kesimpulan bahwa pada dasarnya dalam
sistem pajak worldwide terdapat dua prinsip yang mendasari sistem ini, yaitu prinsip
domisili dan prinsip sumber. Prinsip domisili digunakan untuk memajaki penghasilan
WPDN. Sedangkan prinsip sumber digunakan untuk memajaki penghasilan WPLN.
Penjelasan ini sebagaimana pendapat Jane G. Gravelle dalam Avi-Yonah dan Satori
yang menyebutkan bahwa:7
“A worldwide system, … imposes taxes on both residents (on their worldwide
income, …) and foreigners (on their source income)…”
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi negara yang
menerapkan sistem pajak worldwide berlaku ketentuan sebagai berikut:
4 Wei Hwa See, Op.Cit., 43. 5 Avi-Yonah, Sartori, dan Amrian menjelaskan bahwa secara teori, dalam sistem pajak worldwide, WPLN juga seharusnya
dikenakan pajak dengan basis seluruh penghasilan yang diterima atau diperolehnya terlepas tempat penghasilan tersebut bersumber. Namun, teori ini ternyata menciptakan beberapa masalah praktis, misalnya hambatan dalam pemungutan pajak serta adanya isu mengenai pembatasan yurisdiksi pemajakan. Oleh karena itu, untuk merespon permasalahan tersebut, negara yang menganut sistem worldwide pada umumnya mengenakan pajak terhadap WPLN terbatas pada penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. 6 Assaf Razin dan Joel Slemrod, Taxation in The Global Economy (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 2. 7 Reuven S. Avi-Yonah dan Nicola Sartori, “International Taxation and Competitiveness: Introduction and Overview,” Law and
Economics Working Paper 58 (2012): 6.
(i) Seluruh penghasilan yang diterima oleh WPDN, akan dikenakan pajak tanpa
memperhatikan dari mana asal penghasilan apakah dari dalam negeri atau pun
dari luar negeri; dan
(ii) Setiap penghasilan yang diterima oleh WPLN yang bersumber dari negara
tersebut juga akan dikenakan pajak di negara yang bersangkutan.
Dengan menerapkan sistem pajak worldwide, maka penghasilan yang bersumber dari
luar negeri yang diperoleh oleh WPDN akan dikenakan pajak di negara domisili ketika
penghasilan tersebut diterima oleh WPDN tersebut. Kemudian, apabila atas
penghasilan yang sama dikenakan pajak di negara sumber, terlepas negara sumber
tersebut menerapkan sistem pajak territorial atau sistem pajak worldwide, maka terjadi
pajak berganda yuridis.8 Artinya, satu penghasilan yang sama dikenai pajak lebih dari
satu kali di negara yang berbeda.
Untuk mengatasi terjadinya pajak berganda yang disebabkan oleh adanya pemajakan
di negara domisili dan negara sumber, negara domisili dari WPDN yang menerima
penghasilan umumnya memberikan kredit pajak atas penghasilan yang telah
dibayarkan di negara sumber. Dengan demikian, pajak di negara sumber dapat menjadi
pengurang dalam menghitung besarnya pajak yang harus dibayar di negara domisili.
Inilah yang kita kenal dengan istilah Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN).9
Negara yang menganut sistem pajak worldwide biasanya juga tetap memiliki unsur
dari sistem pajak territorial. Contohnya, dengan menerapkan mekanisme penangguhan
pajak atas penghasilan yang bersumber dari luar negeri tertentu hingga penghasilan
tersebut dipulangkan kembali ke negara domisili. Sebaliknya, negara yang menganut
sistem pajak territorial juga seringkali memiliki unsur dari sistem pajak worldwide.
Contohnya, dengan menerapkan batasan terhadap penghasilan luar negeri yang
8 Menurut Arnold, timbulnya pajak berganda dalam penerapan sistem pajak worldwide merupakan sesuatu yang tidak dapat
terelakkan. Alasannya, sebagai besar negara bersikeras untuk tetap mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal atau bersumber dari negara mereka. Lihat Brian J. Arnold, International Tax Primer (Third Edition) (The Netherlands: Kluwer International BV, 2016), 32. 9 Charles H. Gustafson, Robert J. Peroni, dan Richard Crawford Pugh, Taxation of International Transactions: Material, Text, and
Problems (3d edition), (New York: Thomson West, 2006), 277.
dikecualikan dari pengenaan pajak di negara domisili. Pendapat ini sebagaimana
diutarakan oleh Mullins berikut:10
“In practice, no country has a pure worldwide system or a pure territorial system.
Countries with a worldwide tax system often have elements of a territorial system—for
example, deferral of tax on certain foreign source income until it is repatriated to the
country of residence. Countries with a territorial system often impose limitations on
access to the exemption so that foreign source income falling outside those limitations
is taxed in the country of residence. For example, to prevent tax avoidance, the
exemption usually does not apply to passive income.”
Sistem pajak yang mempunyai unsur worldwide sekaligus unsur territorial ini
disebut juga sebagai pajak hybrid. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara yang
telah bergerak menuju sistem pajak hybrid. Adapun saat ini hampir separuh negara
aggota OECD telah menerapkan sistem pajak ini.11
Berdasarkan tingkat kecenderungannya, sistem pajak hybrid dikelompokkan menjadi
2, yaitu sistem pajak hybrid worldwide dan sistem pajak hybrid territorial. Sistem pajak
hybrid worldwide merupakan sistem pajak hybrid yang cenderung worldwide, sistem
ini biasanya mengacu pada sistem pajak worldwide yang disertai dengan mekanisme
penangguhan pajak (worldwide with defferal). Sedangkan sistem pajak hybrid
territorial adalah sistem pajak hybrid yang cenderung territorial. Contohnya, sistem
territorial tidak menerapkan pembebasan kepada semua penghasilan luar negeri,
melainkan memberikan batasan berdasarkan jenis penghasilan atau wajib pajak yang
menerima penghasilan.12
Sehubungan dengan sistem pajak hybrid, Fleming, Peroni, dan Shay memberikan
kesimpulan bahwa ketika suatu negara disebut sebagai negara yang menerapkan sistem
pajak territorial atau sistem pajak worldwide, tidak dapat diartikan bahwa negara
10 Peter Mullins, “Moving to Territoriality? Implications for the United States and the Rest of the World,” IMF Working Paper
(Juni 2006): 12. 11 OECD, Tax Effects on Foreign Direct Investment: Recent Evidence and Policy Analysis (2007), 18, 99. 12 Staff of Joint Committee on Taxation, “Economic Efficiency and Structural Analyses of Alternative U.S.,” Tax Policies for
Foreign Direct Investment, JCX-55-08, Internet, dapat diakses melalui http://www.house.gov/jct/x-55-08.pdf.
tersebut adalah negara yang telah mengadopsi bentuk murni dari sistem pajak
territorial atau worldwide.13
Berdasarkan penerapannya, sistem pajak worldwide dikelompokkan ke dalam tiga
kategori, yaitu:
1. Sistem Pajak yang Lebih Dominan Worldwide (Predominantly Worldwide Tax
Systems).
Dalam sistem pajak worldwide kategori pertama ini, semua penghasilan, baik
yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dikenai pajak di negara
domisili. Pengenaan pajak ini juga meliputi penghasilan aktif luar negeri yang
diperoleh melalui BUT luar negeri dan penghasilan dividen yang bersumber dari
luar negeri. Umumnya, negara yang menganut sistem pajak ini memiliki ketentuan
CFC yang digunakan sebagai anti-penyalahgunaan pajak di negara tersebut.
2. Sistem Pajak Worldwide dengan Pengecualian Dividen Luar Negeri
(Worldwide Tax Systems with an Exclusion Regime for Foreign Dividends).
Dalam sistem pajak worldwide kategori kedua ini, semua penghasilan yang
diterima oleh WPDN badan akan dikenakan pajak di negara domisili dari WPDN
tersebut, kecuali penghasilan berupa dividen yang bersumber dari luar negeri.
Lazimnya, pengecualian ini diterapkan dalam bentuk pengurangan dividen yang
diterima atau berupa participation exemption. Adanya pengecualian terhadap jenis
penghasilan tertentu menyebabkan sistem ini disebut pula dengan residence-based
territorial.
3. Sistem Pajak Worldwide dengan Pengecualian Dividen Luar Negeri dan Laba
BUT di Luar Negeri (Worldwide Tax Systems with an Exclusion Regime for
Foreign Dividends and Foreign PE Profits).
Berdasarkan kategori ketiga ini, sistem pajak worldwide diterapkan terhadap
seluruh jenis penghasilan, kecuali penghasilan berupa dividen luar negeri dan laba
dari BUT yang berada di luar negeri.14 Pengecualian penerapan sistem pajak
worldwide terhadap dua jenis penghasilan ini biasanya berbentuk participation
13 J. Clifton Fleming, Robert J. Peroni, dan Stephen E. Shay, Op.Cit., 37. 14 Yang dimaksud dengan laba dari BUT di luar negeri adalah penghasilan aktif yang diperoleh melalui BUT yang berada
luar negeri.
exemption. Dengan demikian, negara yang menganut sistem pajak worldwide
kategori ini, akan memberikan pembebasan pajak atas penghasilan berupa dividen
luar negeri atau laba BUT luar negeri yang diterima oleh WPDN badan-nya.
Penerapan sistem pajak worldwide juga berkaitan erat dengan konsep capital export
neutrality, yaitu netralitas yang terwujud ketika wajib pajak suatu negara membayar
beban pajak yang sama terlepas dari sumber penghasilan mereka.15 Alasannya, negara
akan mengenakan pajak dengan beban pajak yang sama terhadap WPDN yang
melakukan investasi di negaranya sendiri (domestic investment) maupun ketika
WPDN tersebut melakukan investasi di negara lain (foreign investment).16 Dengan
kata lain, dalam capital export neutrality, WPDN tidak diperlakukan berbeda jika
melakukan aktivitas investasi di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu, dengan
diterapkannya sistem pajak worldwide, tidak terjadi distorsi yang dapat mempengaruhi
keputusan WPDN untuk melakukan investasi di luar negeri atau di dalam negeri.
Tercapainya capital export neutrality dalam penerapan sistem pajak worldwide juga
dikemukakan oleh Gravele sebagai berikut:17
“A worldwide system, which imposes taxes on both residents (on their worldwide
income, with an unlimited foreign tax credit) and foreigners (on their source income),
would also achieve capital export neutrality, even though “the distribution of taxes is
different, with more tax collected by net capital importers than in a straightforward
residence system.”
b. Rencana Penerapan Sistem Pemungutan Pajak Territorial.
Sistem pemungutan pajak territorial merupakan sistem yang mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara/yurisdiksinya.
Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negara tersebut (foreign income),
15 Peter Mullins, Op.Cit., 5. 16 Darussalam dan Danny Septriadi, “Pajak Internasional suatu Pengantar,” dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda:
Panduan, Interpretasi, dan Aplikasi, ed. Darussalam dan Danny Septriadi (Jakarta: DDTC, 2017), 5. 17 Reuven S. Avi-Yonah dan Nicola Sartori, Op.Cit., 5.
tidak dikenakan pajak. Oleh Rohatgi, sistem ini disebut juga dengan istilah full
territoriality. Berikut pendapat Rohatgi mengenai sistem pajak ini.18
“Full territoriality: The countries, which follow the full territorial tax regime, tax
their residents only on the taxable objects sourced or deemed sourced in their
jurisdiction.”
Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Avi-Yonah, Sartori, dan Amrian,
negara yang menganut sistem pajak territorial mempunyai hak untuk mengenakan
pajak terhadap semua orang baik berstatus Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)
maupun Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Namun, hak pemajakan tersebut dibatasi
hanya atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut19. Artinya, dalam sistem
pajak territorial, hanya penghasilan yang bersumber dari dalam negeri yang dikenai
pajak secara efektif.20
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi negara yang
menerapkan sistem pajak territorial berlaku ketentuan sebagai berikut:
(i) Setiap penghasilan yang bersumber dari negara tersebut, akan dikenakan
pajak tanpa memperhatikan apakah pihak yang menerima penghasilan
merupakan WPDN atau WPLN; dan
(ii) Semua penghasilan yang bersumber dari luar negeri dikecualikan dari
pengenaan pajak di negara tersebut.21
Berdasarkan penerapannya, sistem pajak territorial dikelompokkan ke dalam tiga
kategori, yaitu:
1. Sistem Pajak yang Lebih Dominan Territoral (Predominantly Territorial Tax
Systems).
18 Roy Rohatgi, Basic International Taxation Volume 1: Principles (London: BNA International, 2005), 198. 19 Reuven S. Avi-Yonah, Nicola Sartori, dan Omri Marian, Global Perspectives on Income Taxation Law (New York: Oxford
University Press, Inc., 2011): 151. 20 Wei Hwa See, Op.Cit., 45. 21 Ault dan Arnold juga menyebutkan bahwa dalam penerapan sistem pajak territorial, penghasilan dari luar negeri yang diterima
oleh WPDN berbentuk badan tidak dikenakan pajak di negara domisili dari badan tersebut. Biasanya, mekanisme ini diterapkan dengan mengecualikan semua penghasilan WPDN badan tersebut, baik penghasilan yang berasal dari cabang di luar negeri maupun
penghasilan berupa dividen yang diterima dari perusahaan anak di luar negeri, dari pengenaan pajak di negara domisili. Dengan demikian, dalam sistem ini, penghasilan luar negeri dari WPDN badan hanya dikenakan pajak di negara sumber penghasilan. Lihat Hugh J. Ault dan Brian J. Arnold, Comparative IncomeTaxation: A Structural Analysis (2nd Edition) (The Netherlands: Kluwer Law International, 2004), 372-373.
Negara yang menerapkan sistem pajak dominasi territorial ini hanya
mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber di
negara tersebut tanpa memperhatikan status subjek pajak dari person yang
menerima penghasilan tersebut (WPDN atau WPLN). Sebaliknya, penghasilan
yang bersumber dari luar negeri umumnya tidak dikenai pajak.
2. Sistem Pajak Territorial untuk Penghasilan Aktif (Territorial Tax Systems for
Active Income).
Dalam sistem territorial kategori kedua ini, prinsip sumber hanya berlaku atas
penghasilan aktif. Sementara itu, untuk pemajakan atas penghasilan yang bersifat
pasif diberlakukan sistem pajak worldwide. Pemberlakuan sistem pajak ini
menyebabkan penghasilan pasif, meskipun bersumber dari luar negeri, tetap
dikenai pajak di negara domisili.
3. Sistem Pajak Territorial Berbasis Remittance (Territorial plus Remittance
based Tax systems).
Negara yang menganut sistem pajak kategori ketiga ini hanya mengenakan pajak
atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri dan mengecualikan pengenaan
pajak atas penghasilan yang bersumber dari luar negeri. Namun, pengecualian
pengenaan pajak atas penghasilan yang bersumber dari luar negeri ini tidak berlaku
ketika penghasilan tersebut “diterima” (remitted) di negara tersebut. Dalam sistem
pajak territorial berbasis remittance ini, penghasilan aktif dan pasif dari WPDN
berpotensi dikenai pajak di negara domisili atas dasar sistem pajak worldwide
apabila persyaratan untuk pengecualian penghasilan yang bersumber dari luar
negeri tidak terpenuhi.
Menurut Mullins, penerapan sistem pajak teritorial ini berkaitan erat dengan konsep
capital import neutrality, yaitu netralitas yang terwujud apabila semua investor di suatu
negara menghadapi tarif pajak yang sama, terlepas dari besarnya tarif pajak di negara
domisili mereka. Oleh karena itu, dengan diterapkannya sistem pajak territorial,
investor asing dan lokal di suatu negara dapat bersaing dengan basis pajak yang sama.
Inilah alasan mengapa penerapan sistem territorial dapat mendorong terjadinya investasi
ke luar negeri (outbound investment).22
Sistem pajak territorial yang memenuhi konsep capital import neutrality juga
dikemukakan oleh Gravele sebagai berikut:23
“in territorial or source-based tax systems, income is taxed only by the country in
which it is earned. It meets the standards of capital import neutrality in that each firm
in a location faces the same tax rate.”
Sistem pajak territorial yang mengecualikan pengenaan pajak atas penghasilan yang
bersumber dari luar negeri ini juga biasa disebut dengan sistem pembebasan.24 Dari
perspektif pajak berganda, pemajakan yang didasarkan pada sistem pajak territorial
dikenal dengan istilah limited tax liability. Alasannya, sistem ini menyebabkan hak
pemajakan suatu negara dibatasi hanya atas penghasilan yang bersumber dari negara
tersebut. Adapun Lang berpendapat bahwa secara umum pemajakan dengan sistem
pajak territoral tidak menyebabkan pajak berganda karena negara-negara yang saling
bertransaksi hanya akan mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari
masing-masing negara tersebut. Bahkan, dalam beberapa literatur disebutkan bahwa
salah satu cara terbaik untuk memecahkan isu pajak berganda internasional adalah
dengan menerapkan sistem pajak territorial.
Di Indonesia sendiri, rencana perubahan penerapan sistem pemungutan pajak dari
worldwide ke territorial disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
yang memengaruhi adalah adanya dokumen Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011
tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) 2011-2025. Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa diperlukan reformasi
22 Penyebabnya, negara yang menganut sistem pajak territorial tidak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari luar
negeri sehingga beban pajak yang ditanggung oleh investor yang melakukan investasi di luar negeri hanyalah pajak di negara sumber. Dengan ringannya beban pajak yang ditanggung jelas mendorong investor untuk melakukan investasi ke luar sebanyak-banyaknya. Pada akhirnya, sebagaimana pendapat Knoll, sistem pajak territorial mendukung agar perusahaan multinasional dapat
bersaing dengan perusahaan asing dalam merebut pasar investasi global. Lihat Reuven S. Avi-Yonah dan Nicola Sartori, Op.Cit., 3,5. 23 Reuven S. Avi-Yonah dan Nicola Sartori, Op.Cit., 5. 24 Perlu diperhatikan bahwa tidak semua negara yang membebaskan pengenaan pajak atas penghasilan dari luar negeri disebabkan
negara tersebut menerapkan sistem pajak territorial. Beberapa negara, biasanya negara tax haven, juga memberikan pembebasan
pajak atas penghasilan yang bersumber dari luar negeri yang semata-mata ditujukan demi menarik investasi luar masuk ke negara tersebut. Namun, pembebasan tersebut harus dikecualikan dari definisi sistem pajak territorial sehingga negara dengan karakteristik seperti ini tidak termasuk sebagai negara dengan sistem pajak territorial. Lihat Reuven S. Avi-Yonah, Nicola Sartori, dan Omri Marian, Op.Cit,.
paradigma perpajakan dan pendekatan sistem perpajakan mengenai pajak yang
dikenakan terhadap objek pajak di Indonesia dan bukan terhadap subjek pajak Indonesia
(perubahan konsep Nasional menjadi Domestik atau dari konsep GNP menjadi GDP).
Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi adalah reformasi perpajakan yang
dilakukan oleh Amerika Serikat pada Desember 2017. Reformasi perpajakan yang
dilakukan oleh Amerika Serikat diantaranya adalah memotong tarif PPh Badan dari 35
persen menjadi 21 persen dan merubah sistem perpajakan dari sebelumnya worldwide
tax system menjadi territorial tax system. Kedua kebijakan ini akan merepatriasi modal,
menggerek investasi, dan mengunci dana di domestik.
Untuk melakukan perubahan sistem pemungutan pajak, pemerintah Indonesia harus
melakukan beberapa pertimbangan kondisi sehingga perubahan tersebut tidak menjadi
bumerang bagi perekonomian Indonesia, yaitu:
(i) Perubahan sistem pemungutan pajak yang mengarah ke sistem territorial
akan membatasi kewenangan pemerintah dalam memungut pajak. Hal ini
disebabkan sifat sistem territorial yang memberlakukan pengenaan pajak atas
penghasilan yang sumbernya berasal dari dalam negeri. Akibatnya,
pemerintah akan kehilangan basis pemajakan (base erotion);
(ii) Melihat data negara-negara yang berhasil melakukan perubahan dari sistem
worldwide ke territorial adalah negara industri maju contohnya Inggris dan
Jepang. Negara tersebut memiliki basis data pajak yang mendukung dan
memiliki iklim politik dan ekonomi yang cukup stabil, sehingga risiko
investasi di negara tersebut sangat rendah;
(iii) Tingkat kompetitif tarif pajak. Perubahan sistem territorial juga diikuti
dengan kebijakan penurunan tarif pajak secara kompetitif. Contohnya adalah
Amerika Serikat yang melakukan penurunan tarif PPh badan dari 31 persen
menjadi 25 persen, Jepang menjadi sebesar 29,97 persen, dan Inggris menjadi
20 persen. Jika kita melihat perbandingan terhadap negara-negara di kawasan
ASEAN, tarif pajak penghasilan badan Indonesia menempati urutan tertinggi
kedua setelah Filipina yang mengenakan tarif pajak sebesar 30 persen.
Indonesia bersaing dengan Myanmar dan Malaysia yang masing-masing
menerapkan tarif pajak penghasilan badan sebesar 25 persen (Myanmar) dan
24 persen (Malaysia). Jika Indonesia ingin tarif pajaknya lebih kompetitif
dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, maka
Indonesia harus menetapkan tarif pajak penghasilan badannya di bawah
Singapura (Tarif pajak sebesar 17%). Namun, penurunan tarif pajak ini akan
sangat beresiko terhadap penerimaan negara.
Gambar 1. Tarif Pajak Penghasilan Badan di Negara-negara ASEAN
Sumber : Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI Edisi 6 Vol. III.
April 2018 Hal. 6 (Dikutip dari data Corporate Tax Rate KPMG)
(iv) Terjadinya outbound Foreign Direct Investment (FDI). Pengecualian atas
pemajakan penghasilan yang berasal dari luar negeri juga diikuti dengan
penurunan tarif Pajak Penghasilan Badan secara kompetitif akan berdampak
pada meningkatnya outbound FDI secara signifikan. Keberhasilan negara-
negara yang menerapkan sistem territorial salah satunya diukur dari
tingginya outbound FDI. Alasannya, negara-negara tersebut memiliki
sumberdaya ekonomi domestik yang sudah kurang menarik atau jenuh,
sehingga perlu diupayakan adanya outbound FDI untuk memperkuat
ekonominya. Jika melihat kondisi saat ini, Indonesia lebih membutuhkan
inbound FDI. FDI yang masuk ke dalam negeri memiliki peran penting
sebagai salah satu penggerak ekonomi nasional yang berdampak pada
peningkatan ekspor, mempercepat alih teknologi dan manajemen, dan
membiayai defisit neraca pembayaran.
Gambar 2. Jumlah Outbound Stock FDI dari Negara dengan Sistem Worldwide
dan Territorial (persen dari total OECD Outbound Stock)
Sumber : Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI Edisi 6 Vol. III.
April 2018 Hal. 7 (Dikutip dari data PWC berdasarkan UNCTAD)
c. Perbandingan Penerapan Sistem Pemungutan Pajak Worldwide dengan
Territorial
Adapun tren berkembang saat ini di negara-negara OECD (Organization for
Economic Co-operation and Development) yaitu beralihnya sistem perpajakan
worldwide ke territorial (Fleming, Peroni, dan Shay; 2008). Hal ini juga diperkuat
dengan studi IMF (International Monetary Fund) pada tahun 2013 yang meyakinkan
negara-negara berkembang untuk melakukan perubahan sistem pemungutan pajak dari
worldwide ke territorial dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan modal bagi negara
berkembang. Tetapi pada kenyataannya, tidak ada negara di dunia yang menerapkan
sistem pemungutan pajak territorial secara murni.
Setidaknya ada 2 pertimbangan mengapa suatu negara ingin merubah sistem
perpajakannya ke territorial, yang pertama yaitu daya saing. Agar suatu perusahaan
dapat bersaing di pasar dunia, perlu adanya pengecualian kelonggaran pajak atas
penghasilan yang diterima dan bersumber dari luar negeri. Dengan adanya sistem
pemungutan pajak territorial, pajak penghasilan hanya dikenakan untuk penghasilan
yang sumbernya hanya berasal dari negara yang bersangkutan. Yang kedua adalah agar
negara dapat merepatriasi modal dalam tujuan untuk investasi kembali ke negara asal.
Kedepannya, hal ini dapat diharapkan meningkatkan perekonomian negara.
Tabel 1. Sistem Perpajakan di Negara OECD
Sistem Pemungutan Pajak Negara
Worldwide Australia, Austria, Belgia, Kanada, Republik Ceko,
Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman,
Hungaria, Islandia, Italia, Jepang, Luksemburg,
Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Portugal,
Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki,
Inggris
Territorial Chile, Yunani, Irlandia, Israel, Korea Selatan,
Meksiko, Polandia Sumber : IMF Working Paper, 2013
Tabel 2. Worldwide vs Territorial System
Worldwide System Territorial System
Penghasilannya dikenakan pajak yang
sumbernya baik dari dalam negeri
maupun luar negeri
Penghasilan dikenakan pajak yang
sumbernya hanya berasal dari negara
yang bersangkutan
Kelebihan:
Penerimaan negara stabil
Diperkenankan untuk
mengkreditkan pajak
penghasilan yang sudah
dikenakan di luar negeri untuk
menghindari pajak berganda
Kelebihan:
Sistem pajak standar digunakan
negara maju
Repatriasi penghasilan yang
diperoleh dari luar negeri
Simplifikasi administrasi
perpajakan
Dibarengi dengan penurunan tarif
pajak
Kekurangan:
Sistem perpajakan rumit
Tidak banyak digunakan dalam
ekonomi global
Tidak ada insentif untuk
memulangkan pajak dalam
negeri
Umumnya menggunakan tarif
pajak yang tinggi
Biaya kepatuhan sangat besar
Kekurangan:
Membatasi kewenangan negara
dalam memungut pajak
Ketidakadilan dalam pemungutan
pajak: keadilan vertikal (equal
treatments for equals) dan
keadilan horizontal (unequal
treatments for unequals)
Sumber: Buletin APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian DPR RI Edisi 6 Vol. III.
April 2018
Pada sistem perpajakan worldwide, pajak penghasilan dapat dikenakan tanpa melihat
sumber penghasilannya, baik berasal dari luar negeri maupun dalam negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang berkedudukan di suatu negara. Namun untuk
mencegah pajak berganda internasional, perusahaan dapat mengkreditkan pajak atas
penghasilan luar negeri yang telah dibayarkan. Selain itu, umumnya sistem worldwide
menggunakan aturan CFC (Control Foreign Company) dan regulasi transfer pricing.
Adapun kekurangan dari sistem worldwide sendiri terletak pada sistem
perpajakannya yang rumit dan tidak ada insentif untuk mengembalikan dana dari luar
negeri ke negara asalnya. Dengan sistem worldwide, suatu negara akan cenderung
menerapkan tarif pajak penghasilan yang tinggi. Hal ini menimbulkan persepsi bagi
perusahaan multinasional untuk menempatkan kantor pusatnya di luar negeri di negara
yang pengenaan tarif pajak penghasilannya lebih rendah dari negara asal.
Salah satu contoh negara yang melakukan perubahan sistem perpajakan dari sistem
worldwide menjadi sistem territorial adalah Jepang. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan ekonomi domestik dengan mendorong pemulangan dana korporasi yang
berada di luar negeri masuk ke dalam negeri kembali. Menurut catatan, akumulasi
penghasilan Wajib Pajak yang diterima atau diperoleh dari yuridiksi asing meningkat
dari ¥138 miliar (1,1 miliar USD) pada tahun 2001 menjadi ¥3,2 triliun (28 miliar USD)
pada tahun 2006. Hal ini membuat pemerintah Jepang prihatin, pasalnya peningkatan
ini disebabkan karena penghasilan tersebut terakumulasi dan tidak dilakukan repatriasi
karena tingginya tarif pajak di Jepang pada saat itu. Kemudian, pemerintah Jepang
memutuskan untuk mengubah sistem pemungutan pajak worldwide ke sistem
pemungutan pajak territorial secara sederhana. Perubahan ini memiliki tujuan agar
memacu perusahaan tumbuh di luar negeri dan pada akhirnya akan menghasilkan
investasi dan menciptakan lapangan kerja di Jepang. Selain meningkatkan investasi dan
daya saing, Jepang juga mulai menurunkan tarif pajak penghasilan badan.
d. Perbandingan Kemudahan Penerapan Sistem Pemungutan Pajak Terhadap
Masuknya Investasi di Indonesia
Berdasarkan dari Tax Incentives for Investment – A Global Perspective : Experiences
in MENA and Non-Mena Countries (OECD: 2007), setidaknya ada dua faktor yang
memengaruhi masuknya investasi ke suatu negara, yaitu :
Tabel 3. Faktor Masuknya Investasi ke Suatu Negara
Non-Tax Factors Tax Factors
Ukuran/pangsa pasar
Akses menuju bahan baku (contohnya
sumber daya alam dan cadangan
energi)
Ketersediaan dan biaya tenaga kerja
terampil
Akses menuju infrastruktur
Biaya transportasi
Akses menuju pasar output
Stabilitas politik
Stabilitas ekonomi makro
Beban penyusutan
Transparansi, kemudahan, stabilitas,
dan kepastian dalam penerapan
undang-undang perpajakan dan
dalam administrasi perpajakan
Tarif pajak
Insentif pajak
Sumber : Tax Incentives for Investment – A Global Perspective : Experiences in MENA and
Non-Mena Countries (OECD: 2007)
Adapun proporsi permasalahan utama yang dihadapi oleh para investor dalam
melakukan investasi ke suatu negara adalah sebagai berikut :
Gambar 3. Permasalahan Utama Investasi di Suatu Negara
Sumber: Tax Incentives for Investment – A Global Perspective : Experiences in MENA and
Non-Mena Countries (OECD: 2007)
Dalam melakukan investasi ke suatu negara, biasanya investor akan melihat pajak
sebagai salah satu faktor dalam penentuan lokasi investasi. Kebijakan Fiskal yang
berlaku di suatu negara biasanya menjadi kendala utama yang memengaruhi persepsi
35%
35%
29%24%
24%
18%12% 6%
Permasalahan Utama
Stabilitas Politik Stabilitas Ekonomi Kerangka Hukum Birokrasi
Isu Perpajakan Transparansi Korupsi Sistem Finansial
investor global. Biasanya, investor akan mempertimbangkan tarif pajak, insentif pajak,
transparansi, kesederhanaan sistem pemungutan, kepastian peraturan perpajakan, serta
segala jenis pajak dan beban-beban lainnya dapat diterima (bernilai wajar), stabil, dan
dapat diprediksi untuk jangka panjang.
Berdasarkan data Global Competitiveness Survey 2017/2018 yang dirilis oleh Bank
Dunia, yang menjadi pertimbangan investor dalam menanamkan modalnya di negara-
negara berkembang adalah sebagai berikut:
Gambar 4. Pertimbangan Investasi di Negara Berkembang
Sumber: World Bank
Menurut Yustinus Prastowo (2019), yang perlu diperhatikan oleh pemerintah untuk
melakukan perubahan sistem pemungutan pajak dari worldwide ke territorial adalah
sebagai berikut:
a. Mempertahankan keberlanjutan penerimaan pajak, dengan tetap menjaga
kondusivitas iklim bisnis;
b. Perbaikan ekosistem perpajakan yang berkeadilan, berkepastian hukum,
transparan dan akuntabel;
c. Harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan dan regulasi agar efektif,
sederhana, dan implementatif (Revisi UU Perpajakan secara komprehensif
dan sesegera mungkin, perbaikan kebijakan fiskal pusat dan daerah yang
saling bersinergi); dan
d. Ekstensifikasi Perpajakan yang kreatif dan terukur untuk memperluas basis
pemajakan dan menciptakan fairness bagi Wajib Pajak patuh, termasuk
bersinergi dengan Pemda untuk penggalian potensi dan akurasi data.
6. Kesimpulan
Perubahan sistem pemungutan pajak telah dilakukan oleh berbagai negara di dunia dalam
rangka untuk meningkatkan investasi yang masuk ke negaranya dan saling berkompetisi
dengan negara lain dalam menarik investasi masuk. Bagi Indonesia sendiri, untuk melakukan
perubahan sistem pemungutan pajak harus memperhatikan sistem administrasi perpajakan saat
ini, stabilitas politik dan ekonomi, serta perlu menciptakan keadilan pajak yang
menguntungkan bagi semua pihak.
7. Referensi
a. Fleming Clifton J., (2008) Some Perspectives from the United States on the Worldwide
Taxation vs. Territorial Taxation Debate, Journal of the Australasian Tax Teachers
Association, Vol. 3, No. 35, 2008
b. Matheson Thornthon, (2013) Territorial vs Worldwide Corporate Taxation:
Implications for Developing Countries, IMF Working Paper Series WP/13/205
c. Prastowo Yustinus, (2019) Mujarabkah Omnibus Law Sebagai Obat Lesu Ekonomi?,
Ikatan Akuntan Indonesia, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)
d. Hasegawa Makoto, (2013) The Effect of Moving to a Territorial Tax System on Profit
Repatriation: Evidence from Japan, The Research Institute of Economy, Trade and
Industry Paper Series May 2013
e. Darussalam, B. B. (2018). Sistem Pemajakan: Dari Worldwide ke Territorial,
Bagaimana dengan Indonesia? DDTC Working Paper 1818, 57.
f. Alvaro, Rendy, (2018) Perlukah Indonesia Beralih ke Territorial Tax System?, Buletin
APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI, Edisi 6 Vol. III. April 2018,
Hal 3-8.