animorphs 02 - aksi penyelamatan
DESCRIPTION
novel terjemahanTRANSCRIPT
Chapter 1
NAMAKU Rachel. Nama lengkapku? Hmm, sayang sekali, aku
tak akan menyebutkannya. Kami semua takkan pernah menyebutkan nama lengkap masing-masing. Kalaupun suatu ketika aku menuliskan
nama keluargaku, berarti itu nama palsu. Sori, tapi kami harus hati-hati. Aku juga merahasiakan sekolah kami, kota, bahkan negara
tempat kami tinggal. Seandainya aku menyebutkan nama lengkapku, para Yeerk pasti akan melacak diriku dan teman-temanku. Dan kalau
mereka sampai menemukan kami, tamatlah riwayat kami. Kami mungkin akan dibunuh. Atau malah mengalami nasib
lebih buruk lagi.
Ya, ternyata ada yang lebih buruk dari kematian. Aku tahu karena aku pernah melihatnya. Aku pernah mendengar jeritan putus
asa orang-orang malang yang dijadikan budak kaum Yeerk. Aku pernah melihat bagaimana makhluk-makhluk busuk itu menggeliat-
geliut masuk ke telinga seseorang, lalu menyusup ke dalam otaknya dan merampas kebebasannya. Teman-temanku dan aku pernah
menyaksikan semua itu dengan mata kepala sendiri. Kami berlima. Hanya berlima: Jake, Cassie, Marco, Tobias, dan
aku. Marco yang menamakan kelompok kami, nama yang menggambarkan keadaan kami sekarang. Ia menyebut kami
Animorphs. Sebenarnya, aku tetap merasa seperti anak biasa. Tapi anak biasa tentu saja tidak mungkin berubah menjadi gajah atau elang berkepala botak. Anak biasa juga tidak menghabiskan waktu luang
mereka dengan berjuang untuk menyelamatkan dunia dari ancaman para Yeerk.
Hari itu matahari bersinar cerah. Sinarnya menghangatkan bumi di bawah kami. Udara hangat yang bergerak naik menimbulkan angin
termal yang menyebabkan sayap kami seakan-akan terdorong ke atas. Kami berputar-putar, semakin lama semakin tinggi. Kami serasa
mencapai batas angkasa luar. Jauh di angkasa luar yang dingin, kapal induk Yeerk sedang
mengitari bumi. Mungkin saja posisinya persis di atas kami. Kaum Yeerk adalah makhluk-makhluk parasit. Wujud asli
mereka tak lebih dari ulat-ulat besar yang hidup dalam kolam berlumpur yang disebut kolam Yeerk. Tapi kaum Yeerk mempunyai
kemampuan menguasai tubuh makhluk lain. Bangsa-bangsa di jagat raya yang telah mereka perbudak sudah tak terhitung jumlahnya—
bangsa Taxxon, bangsa Hork-Bajir, dan masih banyak lagi. Dan kini mereka datang ke Bumi untuk mencari korban baru.
Siapa yang akan menghentikan mereka? Hmm, di angkasa luar
mereka berhadapan dengan bangsa Andalite. Tapi bangsa Andalite hidup di tempat yang teramat jauh, dan mereka membutuhkan waktu
lama sebelum sampai di Bumi untuk menyelamatkan umat manusia. Sementara itu, tak seorang pun di Bumi mengetahui kehadiran
para Yeerk. Tak seorang pun, kecuali lima anak yang sedang bersenang-senang sambil terbang dalam wujud burung.
Aku menoleh ke arah teman-temanku. Sebagian melayang di bawahku, sebagian terbang lebih tinggi. Kepak sayap Jake sedikit
lebih cepat dari yang lain. Ia telah memilih wujud falcon, dan dalam hal melayang-layang jenis burung ini kalah hebat dari elang dan
rajawali. Di antara kami berlima, Tobias-lah yang paling jago terbang.
Penyebabnya antara lain karena elang berbuntut merah memang
dilahirkan sebagai akrobat udara. Di samping itu, Tobias juga lebih banyak punya kesempatan berlatih dibanding kami.
Terlalu banyak, malah.
<Oke, Tobias, kau benar. Ini memang pengalaman paling seru di dunia,> kataku.
<Mau coba menukik?> ia bertanya. Sebenarnya aku kurang berminat, tapi aku harus bilang apa?
Aku tidak biasa menolak kalau ditantang. Karena itu aku menyahut, <Boleh saja.>
<Ikuti aku.> Tobias melipat sayapnya ke belakang. Bagaikan peluru ia
meluncur ke bawah. Aku pun segera menekuk sayap dan mengejarnya. Permukaan
bumi mendekat dengan cepat. Aku jatuh! Jatuh, dan tak ada apa pun yang sanggup mencegah
aku terempas ke tanah! Rasanya seperti mimpi buruk. Kami meluncur dengan kecepatan seratus kilometer per jam,
sekencang mobil yang melaju di jalan tol. Seratus kilometer per jam, hampir tegak lurus ke bawah.
Aku ketakutan, tapi sekaligus senang. Lupakan surfing. Lupakan skateboard. Lupakan snow-board.
Semua itu tak ada apa-apanya dibandingkan mengikuti angin termal sampai ketinggian satu kilometer, lalu menukik tegak lurus ke bawah
dengan kecepatan penuh. Angin menampar-nampar wajahku, seperti kalau kita membuka
jendela mobil pada saat melaju kencang. Rasanya seperti berada di tengah-tengah badai hurricane. Sisi depan sayapku gemetaran diacak-
acak angin. Kurasakan bulu-bulu di ekorku melakukan serangkaian penyesuaian kecil agar aku tetap terbang lurus. Sekali saja aku keliru, aku bakal jumpalitan di udara. Pada kecepatan setinggi ini, bukan
tidak mungkin sayapku akan patah kalau aku jumpalitan. Dan patah sayap di ketinggian beberapa ratus meter sama saja dengan hukuman
mati.
<Tobias! Aku baru sadar sekarang.> <Sadar apa? >
<Ini tidak seperti menjadi gajah. Kalau aku jadi gajah, lalu mendapat kesulitan, aku tinggal balik ke tubuh manusiaku. Tapi
sekarang kita jauh di atas bumi. Kalau aku kembali ke wujud manusia....> Aku terdiam, tak bisa melanjutkan kalimatku. Tiba-tiba
saja terbayang bagaimana aku—diriku yang yang asli, Rachel—meluncur bagaikan batu menuju tanah yang keras di bawah.
Kurasa Tobias merasakan ketakutan yang mulai bangkit dalam diriku.
<Biarkan si rajawali pegang kendali,> Tobias menyarankan. <Santai saja. Serahkan semuanya pada naluri si rajawali. Dia tahu apa
yang harus dilakukan.> <Mudah-mudahan saja,> sahutku gelisah. Rasanya memang
aneh kalau kita lagi berubah wujud. Otak kita seakan-akan menyatu
dengan otak binatang yang kita tiru. Biasanya kita bisa mengendalikan naluri binatang yang ada dalam diri kita. Tapi tidak selalu.
Kadang-kadang kita malah harus berani membiarkan binatang itu memegang kendali, seperti saran Tobias tadi.
Aku berusaha tenang. Seketika getaran di sayapku berkurang. Aku merasa lebih stabil. Si rajawali mengambil alih kendali, dan
ternyata Tobias benar: si rajawali tahu bagaimana caranya terbang. Tiba-tiba aku kaget. Sesuatu lewat di samping kami, sesuatu yang jauh
lebih cepat daripada aku dan Tobias. Rupanya Jake. Sayap falcon-nya yang lebih kecil memang kurang
cocok untuk memanfaatkan angin termal, tapi sangat berguna untuk meluncur luar biasa cepat saat menukik dari langit. Dibandingkan Jake, Tobias dan aku seakan-akan diam di tempat.
<Yaaaaaaah ha ha!> tawa Jake berkumandang dalam kepala kami.
Seandainya mulutku bukan berbentuk paruh, aku pasti akan tersenyum. Jake sama seperti aku. Ia suka ketegangan dan petualangan
dan hal-hal mendebarkan. Mungkin sifat kami begitu mirip karena kami sepupu.
Selain itu, kami juga senang bersaing. Sebal rasanya melihat ia bisa meluncur lebih cepat daripadaku. Sebaliknya, Jake sebal aku
sanggup melayang lebih tinggi. Konyol banget, ya? Zzzzinunnnggggg!
Sesuatu mendesing di samping kepalaku. <Kaudengar itu?> tanya Tobias.
<Yeah, jelas sekali,> jawabku. <Bunyi apa sih? > <Entahlah.>
Secara naluri aku merentangkan sayap untuk mengurangi kecepatan. Otot-ototku harus bekerja keras untuk menahan hantaman angin yang begitu mendadak. Aku merasa seperti penerjun payung
yang baru saja membuka parasutnya. Yang lain mengikuti contohku. Kami masih beberapa ratus
meter di udara, tapi sudah jauh lebih dekat ke permukaan bumi. Zzzziiinnnggggg!
Ada sesuatu yang menerobos bulu-bulu ekorku. <Hei, ada orang yang menembak kita dari bawah!> seruku.
<Ya, aku melihat mereka,> sahut Cassie. Ia dan Marco telah menyusul kami. Keduanya sama-sama memilih wujud burung osprey.
Mereka sulit dibedakan, sebab dalam pembicaraan melalui pikiran tidak bisa diketahui dari arah mana suatu pikiran berasal. <Dua orang,
di hutan sebelah sana. Mereka bawa senapan.> <Keterlaluan!> Aku benar-benar marah. <Aku kan termasuk
satwa yang dilindungi. Aku elang berkepala botak! Mereka tidak
boleh menembakku!> <Awas, dia mau menembak lagi,> Marco melaporkan. <Dia
membidik kita.>
<Buang badan ke kanan begitu ada kilatan cahaya dari laras senapan!> aku berseru.
Rajawali atau elang atau falcon biasa takkan bisa menyusun strategi seperti itu. Tapi kami bukan burung pemangsa biasa. Kami
masih memiliki kecerdasan manusia. Memang ada kalanya kendali harus diserahkan pada naluri binatang dalam diri kami. Namun tidak
jarang pula akal sehat kami yang harus berperan. <Awas! Mereka menembak!> seru Jake.
Seketika aku membelok tajam ke kanan. Peluru itu melesat jauh di sebelah kiriku.
<Hmm, kurasa aku tidak suka orang-orang itu,> kata Tobias. Tobias punya alasan tersendiri untuk membenci orang-orang yang
gemar menembak burung. <Aku juga,> ujarku. <Eh, aku punya ide.> Aku menjelaskan rencanaku dan kami berlima langsung terbang
menjauh, keluar dari jangkauan para penembak. Setelah berada pada jarak yang aman, kami segera menukik ke arah pepohonan. Semakin
lama semakin cepat, terus ke bawah. Terbang menukik dari ketinggian satu kilometer sudah
membuatku gelisah. Dan sekarang kami meluncur dari tempat yang jauh lebih rendah, dan mengarah tepat ke pohon-pohon. Aku bukan
cuma gelisah, tapi benar-benar panik. Dengan mata elangku yang tajam, batang-batang pohon di bawah tampak jelas. Jangankan batang
pohon, semut yang merayap di kulit pohon pun kelihatan. Pohon-pohon itu seolah berada tepat di depan mataku.
Aku hanya bisa berharap si rajawali dalam diriku tahu kapan harus berhenti meluncur. Kalau aku sampai menabrak pohon dengan kecepatan seratus kilometer per jam, aku bakal jadi bubur.
Kemudian, pada saat yang tepat, kami merentangkan sayap dan melayang ke tengah pepohonan, bagaikan skuadron pesawat tempur
yang terlatih sempurna.
Luar biasa! <Aaaaah!> aku mendengar Marco berseru. <Kita pasti sudah
sinting semua!> Kami serasa bermain video-game yang sulitnya minta ampun.
Kecepatan kami tidak banyak berkurang, dan kini kami terbang meliuk-liuk di antara pepohonan. Saking kencangnya, semua pohon
membaur seperti bayangan berwarna cokelat. Pohon! Belok kiri.
Pohon! Belok kanan. Pohon! Lusinan bulu tak henti-hentinya melakukan penyesuaian
kecil. Otot-otot sayapku terus mengatur sudut aliran udara. Pohon! Pohon! Pohonpohonpohonpohonpohon!
<Uiiiiih!> aku memekik. Aku ngeri setengah mati, tapi sekaligus merasakan ketegangan yang mengasyikkan.
Belok kiri. Belok kanan. Kiri lagi. Kanan lagi. Wus, wus,
WUSSSSS! Tiba-tiba aku melihat mereka, di lapangan terbuka, tepat di
depan. Dua pemuda duduk di bak mobil pickup. Salah satu dari mereka berambut pirang dikuncir. Yang satu lagi mengenakan topi
bisbol. Mereka masih seratus meter di depan kami, tapi mata elangku begitu tajam sehingga, kalau mau, aku bisa menghitung jumlah bulu
mata mereka. Pemuda dengan rambut dikuncir memegang senapan.
Temannya sedang mereguk bir kaleng. Keduanya masih memandang ke langit, mencari-cari kami.
Dasar tolol, pikirku ketika kami melejit mendekati mereka. Kami sudah tidak ada di atas sana. Kami sudah di sini....
Tepat.
Di... Depan...
HIDUNGMU!
Chapter 2
KAMI menyerang. Begitu cepat, hingga kedua pemuda berandal itu tidak sempat kaget.
Sebagai elang berkepala botak, akulah yang paling besar di antara kami berlima. Akulah yang sanggup membawa beban paling
berat. Kujulurkan cakar ke depan.
"Tsseeeer!" Tobias memekik nyaring. Cakarku menyambar laras senapan dan langsung
mencengkeramnya. Tobias mengincar kepala si rambut kuncir. Pemuda itu menjerit
kesakitan dan melepaskan senapannya. "Hei!" temannya berseru.
Wusss! Aku terbang menjauh sambil membawa senapan. Senjata itu cukup berat, sehingga aku sukar menambah ketinggian.
"Burung itu mencuri senapanmu, Chester! Dan burung yang satu lagi merampas kaleng birku!"
Aku menoleh dan melihat Marco—atau mungkin Cassie. Aku tak bisa memastikannya. Kayaknya sih Marco. Ia mencengkeram
kaleng bir yang sudah setengah remuk. <Mereka masih terlalu kecil untuk minum bir,> kata Marco. Ia
meniru suara orangtua yang sedang memberikan nasihat.
Aku mendengar si rambut kuncir mengomel di bawah. "Brengsek! Seenaknya saja burung jelek itu mencuri senapanku."
Dengan bantuan angin aku berhasil melewati puncak-puncak pohon. Tapi aku masih harus bekerja keras. Sayapku mengepak-
ngepak sekuat tenaga, namun tetap saja aku sulit menambah ketinggian. Aku menyerempet pucuk pohon cemara. Dengan susah
payah aku berhasil mencapai pantai dan terbang melewati tebing-tebing di tepi laut.
Ah, akhirnya ada angin termal. Angin itu mendorongku ke atas. Aku merentangkan sayap lebar-lebar, dan membiarkan diriku terbawa
ke tengah laut. Kujatuhkan senapan si pemuda berandal kira-kira satu
kilometer dari pantai. Orang yang berani menembak elang berkepala botak tidak sepantasnya memegang senjata, kataku dalam hati. Marco
pun menjatuhkan kaleng bir yang dibawanya. Bidikannya tepat sekali. Kaleng itu jatuh persis ke dalam keranjang sampah. Marco tampak bangga, seolah ia baru saja mencetak angka penentu kemenangan
dalam pertandingan final NBA. <Sudah hampir dua jam,> Cassie mewanti-wanti ketika kami
melayang santai menuju daratan. Dua jam adalah batas waktu yang harus ditaati.
Kalau kita berubah wujud lebih dari dua jam, kita tidak bisa kembali ke wujud manusia.
Untuk selama-lamanya. Tak jauh dari pantai ada gereja tua yang sudah tidak digunakan.
Menara loncengnya masih berdiri tegak, tapi loncengnya telah dicopot. Kami terbang ke sana. Dari situlah kami berangkat tadi.
Pakaian dan sepatu kami masih bertumpuk di gereja itu. Empat pasang sepatu untuk kami berlima. Cassie, yang masih berwujud osprey, menatap arlojinya yang
tergeletak di lantai. <Bagus. Baru satu setengah jam. Sebaiknya jangan lewat dari satu setengah jam, biar aman.>
Kami mulai bermetamorfosis untuk kembali menjadi manusia.
Proses itu membutuhkan konsentrasi. Yang lebih sulit adalah berubah dari manusia menjadi binatang. Kita benar-benar harus
memusatkan pikiran. Proses sebaliknya lebih mudah. Aku berkonsentrasi. Kubayangkan diriku sebagai manusia—
jangkung, langsing, dengan rambut pirang sebahu. Aku memberi perhatian khusus pada rambutku, sebab aku tidak suka potongan
rambutku yang terakhir. Bagian bawahnya tidak rata. Sebenarnya sih tidak ada pengaruhnya. Aku cuma berharap aku bisa mengatur
rambutku pada waktu berubah wujud. Sayangnya, bukan begitu cara kerja metamorfosis.
Dalam sekejap aku mulai berubah. Bulu-bulu yang menyelubungi seluruh tubuhku mulai meleleh dan menyatu bagaikan
lilin panas. Selama detik-detik pertama masih ada bayangan bulu-bulu yang indah pada kulitku, tapi hanya di beberapa tempat saja.
Paruhku yang kuning tertarik ke dalam mulut, lalu berubah
menjadi deretan gigi putih. Bagian ini agak mengganggu. Aku selalu mengertakkan gigi untuk mengusir rasa tidak enak pada gusiku.
Bibirku terbentuk kembali. Mataku berubah warna, dari kuning pucat keemasan menjadi biru. Kakiku juga tumbuh, dari sekitar
sepuluh sentimeter kembali ke ukuran normal. Aku menoleh ke arah Jake dan melihat perubahan yang sama.
Asal tahu saja—proses berubah wujud tidak enak dilihat. Orang yang tidak tahu apa-apa pasti akan menjerit ketakutan kalau
menyaksikannya. Dalam hal ini Cassie berbeda dengan kami. Ia mampu
mengendalikan proses tersebut sehingga kelihatan berseni. Misalnya, kalau ia berubah menjadi kuda, ia bisa mengatur perubahannya agar tampak indah—ia memiliki bakat alam untuk berubah wujud. Kalau
memang ada bakat seperti itu. Sedangkan kami hanya bisa mengikuti proses perubahan tanpa sanggup mempengaruhinya. Dan hasilnya
sering kali cukup mengejutkan.
Aku kebetulan melirik ke arah Marco ketika kaki manusianya yang berbulu muncul dari tubuh burungnya yang mungil. "Ih!
Jeleknya!" aku langsung berkomentar. "Ah, au eniyi ua didak bisa dibilang cantik, Rachel."
Marco berbicara sementara mulutnya berubah. Karena itu kata-kata pertamanya kurang jelas. Kedengarannya ia berkata, "Ah, kau sendiri
juga tidak bisa dibilang cantik, Rachel." Kemungkinan besar ia benar. Aku bersyukur tidak ada cermin di sekitarku.
Lidahku mulai membesar. Penglihatanku semakin buram dan kabur. Naluri elang dalam diriku berangsur-angsur hilang. Sayapku
berubah menjadi lengan. Cakarku berubah menjadi jari kaki. Kaki elang yang bersisik kuning berubah menjadi kakiku sendiri, tapi sisik-
sisiknya masih bertahan sejenak. "Wah, mirip paha ayam," ujar Marco. "Digoreng boleh juga
nih."
Aku menatapnya sambil tersenyum. "Jangan banyak omong deh," kataku sambil menunjuk ke lantai. "Coba urus kakimu sendiri."
Tungkai Marco memang telah bertambah panjang, tapi kakinya masih bercakar.
Kulitku muncul kembali bersamaan dengan baju yang melekat di tubuhku. Untung saja, setelah berlatih beberapa kali, kami akhirnya
mampu berubah wujud dalam keadaan berpakaian. Memang cuma baju senam ketat, tapi paling tidak kami tak perlu malu saat kami
berubah beramai-ramai. Aku mengamati teman-temanku. Mereka sudah hampir menjadi
manusia normal lagi. Hampir tak ada tanda-tanda bahwa beberapa menit sebelumnya mereka masih berwujud burung.
Jake termasuk jangkung. Badannya kekar dan rambutnya
cokelat. Matanya yang biasanya sok serius kini tampak berbinar-binar. Berubah jadi binatang kadang-kadang memang cukup mendebarkan.
Jake pernah berubah jadi kadal, dan sampai sekarang ia masih uring-
uringan karena sempat melahap labah-labah hidup. Tapi kelihatannya ia senang menjadi falcon, sebab ia terus mengoceh betapa asyiknya
pengalaman tadi. "Wow, seumur hidup aku belum pernah merasa sebebas tadi!"
katanya. "Begitu balik ke tubuh manusia, aku serasa di penjara. Aku serasa dipantek ke tanah."
"Dan buta," Cassie menimpali. "Mata manusia terlalu lemah untuk melihat jauh."
Ia tersenyum, lalu merentangkan sayap yang berhasil ia pertahankan sampai saat terakhir. Ia tampak anggun sekali dengan
sayap osprey selebar satu setengah meter. Hampir seperti malaikat. "Apa kau masih bisa terbang?" Jake bertanya padanya. Ia
tampak terkagum-kagum. Cassie tertawa. "Tidak, Jake. Beratku hampir empat puluh kilo.
Sayap ini takkan sanggup mengangkat beban seberat itu."
Ia mengubah sayapnya menjadi lengan dalam waktu sekitar tiga detik dan tertawa riang.
Marco geleng-geleng kepala. "Bagus. Kalau kita yang berubah, hasilnya seperti eksperimen gagal ilmuwan gila. Tapi Cassie malah
kelihatan seperti malaikat." Cassie dan aku sudah lama berteman, tapi kalau dilihat sepintas
lalu, orang takkan menyangka kami berteman akrab. Penampilan Cassie benar-benar santai. Anak itu sama sekali tidak peduli soal
pakaian atau gaya. Cuek sekali. Aku takkan heran kalau ia memakai baju montir ke pesta perkawinan.
Cassie tinggal di rumah pertanian. Seluruh keluarganya sangat menyayangi binatang. Ayahnya menggunakan gudang jerami mereka sebagai Klinik Rehabilitasi Satwa Liar, semacam rumah sakit untuk
hewan yang cedera. Tempat itu selalu penuh burung, berang-berang, anjing liar, dan berbagai satwa lainnya.
Ibu Cassie juga dokter hewan. Ia bekerja di The Gardens, taman hiburan besar yang digabung dengan kebun binatang. Jadi mungkin
saja Cassie memang memiliki bakat alam untuk memahami satwa. Setiap kali kami berubah wujud ia selalu selesai lebih dulu, sementara
yang lain masih tampak seperti monster setengah manusia setengah hewan.
Aku sendiri bukannya gila mode, tapi aku memang suka baju bagus. Mungkin itu sebabnya banyak orang menganggap aku
sombong. Ditambah tampangku. Kata orang aku cantik. Tapi bagiku itu cuma kebetulan. Bukan tampang yang penting, melainkan isi
kepala kita. Nah, itu satu lagi perbedaan antara Cassie dan aku. Cassie pasti
bilang, "Bukan, yang paling penting justru apa yang ada dalam hati kita." Ia punya bakat alam sebagai juru damai. Kalau kami bertengkar, biasanya aku dan Marco biang keladinya. Dan Cassie yang
mendamaikan kami. "Terus terang, aku senang bisa kembali ke tubuhku yang asli,"
ujar Marco. "Terbang mondar-mandir memang seru, tapi aku kurang suka kalau mataku terlalu tajam."
"Memangnya kenapa?" tanya Jake. "Begini, Jake, sudah berapa kali kau jalan-jalan di mall, dan
kaulihat cewek yang tampangnya dari jauh sih kece, tapi dari dekat minta ampun? Coba bayangkan kalau mata kita selalu setajam mata
elang...." "Tunggu dulu," aku menyela. "Rasanya aku salah dengar nih."
"Hei, aku tidak bermaksud merendahkan cewek," Marco memprotes. "Ini juga berlaku sebaliknya. Aku sendiri, misalnya. Dari jauh aku kelihatan lebih tinggi lho."
Marco memang agak peka soal tinggi badan. Sebetulnya penampilannya sih lumayan. Rambutnya yang cokelat dibiarkan
panjang. Kulitnya sawo matang karena sering terkena matahari.
Tampangnya juga oke. Cuma tinggi badannya yang membuatnya prihatin.
"Masalahmu bukan dengan orang-orang bermata tajam," ujarku. "Tapi dengan orang-orang yang pendengarannya tajam. Kau kelihatan
cukup pintar. Tapi begitu kau mulai buka mulut..." Marco cuma cengar-cengir. Ia memang paling senang bikin
orang jengkel. Tapi sebenarnya ia sangat cerdas dan pada dasarnya juga baik hati. Hanya saja ia suka cari gara-gara.
Marco sahabat karib Jake. Ini juga agak aneh, sebab Jake selalu serius dan tenang, sementara Marco panasan dan suka berkomentar
pedas. Di antara kelima anggota Animorphs, hanya Marco yang belum rela menerima kenyataan yang kami hadapi. Sampai sekarang ia tetap
enggan melawan kaum Yeerk, dan cenderung mencari selamat sendiri. Tapi, namanya juga Marco. Kita takkan tahu apakah ia sungguh-sungguh atau sekadar ingin berbeda pendapat dengan yang lain.
"Ayo, kita pulang," ajak Jake. "Aku belum selesai bikin PR." "Aku juga," kataku. "Terus, nanti sore aku ada latihan senam,
padahal aku belum sempat siap-siap." Cassie menghela napas. "Menyebalkan. Begitu kita balik ke
wujud manusia, kita langsung repot memikirkan PR dan segala macam tugas. Oh!"
Ia terdiam, lalu menatap Tobias dengan pandangan bersalah. Masalahnya, sementara kami berubah, Tobias tetap berwujud
elang. Tobias sempat terperangkap ketika berusaha melarikan diri dari
mimpi buruk di kolam Yeerk. Ia terpaksa bersembunyi, dan tak sempat berubah kembali menjadi manusia. Tobias telah melewati batas waktu dua jam.
Kami semua sudah kembali ke wujud kami yang asli sebagai manusia, tapi Tobias tetap seekor elang. Tobias takkan pernah bisa
berubah lagi.
Chapter 3
KAMI pulang bersama-sama. Semua agak letih. Terbang memang melelahkan, dan proses berubah wujud pun cukup menguras
tenaga. Tobias terbang tinggi di atas kami. Ia tidak ikut mengobrol.
Kasihan dia. Tobias bisa berkomunikasi melalui pikiran dengan kami dan kami bisa memahaminya, tapi dalam wujud manusia kami hanya
bisa bicara seperti manusia lainnya. Ia tidak bisa mendengar kami kecuali kalau ia berdekatan, padahal ia tidak mungkin berdekatan sambil tetap terbang.
"Coba kalau kita tidak perlu berurusan dengan kaum Yeerk," kata Marco. "Seandainya mereka tidak ada, kemampuan kita untuk
berubah wujud bisa benar-benar dimanfaatkan." "Untuk apa? Untuk memerangi kejahatan?" tanya Jake.
Marco menatapnya dengan sikap antara kasihan dan geli. "Untuk memerangi kejahatan? Memangnya kau mau jadi Spiderman?
Maksudku untuk bisnis. Film! TV! Seharusnya aku bisa tampil di acara Dunia Bintang atau Aneh Tapi Nyata."
"Kau benar," aku berkata sambil mengedipkan mata supaya ia tahu aku bercanda. "Untuk urusan aneh, kau memang jagonya."
"Kita pasti laku keras untuk membintangi film-film horor," Cassie menimpali.
"Bagaimana kalau kita jadi stuntman saja?" Jake mengusulkan.
"Takkan ada yang bisa mengalahkan kita. Kita bisa terjun dari gedung pencakar langit. Di tengah jalan kita tinggal berubah jadi burung dan
terbang."
"Sekarang aku benar-benar kesal pada kaum Yeerk," ujar Marco. "Gara-gara mereka aku tidak bisa memulai karier di dunia
showbiz. Mestinya aku bisa jadi jutawan. Mestinya aku bisa adu kocak dengan Jim Carrey. Dan dikelilingi supermodel Hollywood
yang kece-kece." "Yeah," aku berkata sambil mengedipkan mata kepada Cassie.
"Memang banyak cewek yang suka binatang. Tapi cepat atau lambat kau harus kembali ke wujudmu yang asli, Marco. Dan begitu kau
berubah, mereka langsung kabur." Kami menyusuri jalan raya yang melewati bekas tempat
pembangunan, lapangan luas yang penuh bangunan setengah jadi. Buldoser, derek, dan alat berat lainnya dibiarkan tergeletak begitu saja
sampai berkarat. Tadinya di sini mau dibangun pusat perbelanjaan, tapi entah kenapa akhirnya tidak jadi.
Kami tidak mengambil jalan pintas memotong tempat
pembangunan, seperti yang dulu selalu kami lakukan. Soalnya, di tempat inilah kami melihat sang pangeran Andalite mendarat dengan
pesawat tempurnya yang rusak berat. Di sinilah ia memperingatkan kami tentang rencana busuk kaum Yeerk, lalu memberi kami
kemampuan untuk berubah wujud. Di sini pula kami menyaksikan Visser Three, pemimpin kaum
Yeerk, membunuh sang pangeran Andalite. Visser Three satu-satunya Yeerk yang memiliki kemampuan berubah wujud seperti kami. Visser
Three adalah Pengendali-Andalite, yang berarti ia berwujud Andalite. Pengendali-manusia adalah Yeerk dengan tubuh manusia. Pengendali-
Taxxon adalah Yeerk dengan tubuh Taxxon. Cukup jelas, bukan? Visser Three satu-satunya Yeerk yang berhasil menguasai tubuh
Andalite. Dengan demikian ia satu-satunya Yeerk yang mampu
berubah wujud. Malam itu di bekas tempat pembangunan, ia berubah menjadi
makhluk penghuni planet yang sangat jauh. Ia menjelma sebagai
monster raksasa yang mengerikan. Kemudian ia menangkap si Andalite dan...
Ehm... sebenarnya aku enggan bicara tentang kejadian itu.... Sebaiknya tanya Jake saja.
Kami semua membisu ketika melewati tempat itu. Kulihat Cassie berhenti dan berdiri seperti patung. Aku langsung berbalik dan
menghampirinya. Ternyata ia sedang menangis. "Kau masih ingat terus, ya?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Ya. Kau sendiri?" Aku menghela napas. Mengarungi angkasa luas memang enak
untuk mengalihkan pikiran. Tapi kepalaku masih dipenuhi berbagai kenangan mengerikan. "Aku juga," aku mengakui. "Semalam aku
mimpi buruk. Tentang kolam Yeerk. Dalam mimpiku, aku ada di bawah lagi. Di gua itu. Lalu aku mendengar jeritan orang-orang yang diseret ke kolam."
Cassie kembali mengangguk. "Ya, jeritan mereka memang memilukan. Tapi ada yang lebih parah lagi, yaitu bagaimana orang-
orang itu berhenti menjerit begitu kepala mereka dimasuki Yeerk. Begitu mereka jadi Pengendali lagi. Kita langsung tahu mereka
kembali jadi budak. Tanpa harapan." "Seperti Tom."
Kami menoleh. Ternyata Jake telah berdiri di belakang kami. Marco ada di sampingnya.
Tom adalah kakak Jake. Tom salah satu Pengendali-manusia—seseorang yang diperbudak oleh Yeerk yang bercokol dalam
kepalanya. Kami mencari kolam Yeerk dan turun ke tempat terkutuk itu untuk menyelamatkan Tom. Tapi kami gagal. Masih untung kami bisa menyelamatkan diri sendiri.
Cassie merangkul pinggang Jake. "Suatu hari kita akan membebaskan Tom," katanya.
Aku memandang ke tempat pembangunan dan melihat Tobias meluncur turun dari langit. Aku tidak melihat di mana ia mendarat,
sebab sebagian tempat itu memang tidak terlihat dari jalanan. Tapi aku tahu —ia mendarat di tempat si Andalite mati. Dalam pertemuan kami
yang singkat, Tobias memang sempat menjalin semacam ikatan khusus dengannya.
Kami meneruskan perjalanan. "Kita harus cari cara lain untuk melawan mereka," kataku
geram. Hatiku sedih membayangkan Tobias bertengger di antara gedung-gedung setengah jadi, berdukacita untuk si Andalite.
"Melawan siapa?" tanya Marco curiga. "Orang Prancis, Marco," sahutku sengit. "Siapa lagi kalau
bukan kaum Yeerk? Huh!" "Wah, nanti dulu!" ujar Marco. "Kan sudah kita coba. Kita
sudah mengejar mereka sampai ke kolam Yeerk, tapi akibatnya kita
malah babak-belur. Skornya sepuluh untuk mereka, nol besar untuk kita."
"Jadi kau lebih suka menyerah saja?" balasku dengan nada menantang.
"Kita memang kalah, tapi itu baru pertandingan pertama," kata Jake. "Kita jangan patah semangat hanya karena kalah di satu
pertandingan." "pertandingan apa?" gumam Marco getir. "Ini bukan
permainan." "Lagi pula, kita tidak kalah kok," aku kembali bicara. Yang lain
menatapku seakan-akan aku sudah tidak waras. "Begini," aku menjelaskan, "aku tahu kita gagal menyelamatkan Tom, dan kita juga tidak berhasil menghalau kaum Yeerk. Tapi paling tidak, mereka
sudah tahu bahwa ada yang sanggup melawan." "Yeah, dan saking ngerinya, mereka sekarang pasti gemetaran
semua. Visser Three pasti tidak bisa tidur karena cemas," komentar
Marco sinis. "Begini, bagi Visser Three kita bukan ancaman. Kita cuma dianggap makan siang oleh dia."
"Mereka tidak tahu siapa—atau apa—kita sebenarnya," aku berkilah. "Kaum Yeerk pikir kita prajurit Andalite karena kita bisa
berubah wujud. Mereka juga tahu bahwa kita berhasil menemukan kolam Yeerk, menyusup ke sana, dan menghabisi beberapa Taxxon
dan Hork-Bajir. Menurutku, itu sudah cukup untuk membuat mereka agak gugup."
Jake mengangguk. "Rachel benar. Tapi memang lebih baik kita tidak kembali ke kolam Yeerk. Lagi pula... pintunya sudah tidak ada."
Kami semua berhenti, dan menatap Jake. Ia angkat bahu. "Hei, aku cuma penasaran apakah pintunya
masih berfungsi, oke? Sekadar untuk jaga-jaga. Tapi ternyata pintunya sudah tidak ada."
Pintu menuju ke kolam Yeerk semula tersembunyi di gudang
tukang sapu di sekolah kami. Sebenarnya pintu menuju kolam Yeerk di bawah tanah ada lusinan, tersebar di seluruh kota, tapi ini satu-
satunya yang kami ketahui. "Berarti kita harus cari jalan lain untuk menghadapi mereka,"
ujarku. "Tom bisa kita manfaatkan. Kita ikuti dia. Yeerk di dalam kepalanya kan harus balik ke kolam Yeerk." Setiap tiga hari sekali
semua Yeerk harus kembali ke kolam tersebut. Pada saat itu mereka keluar dari kepala induk semang masing-masing untuk menyerap sinar
Kandrona. "Jangan. Jangan membawa-bawa Tom”, kata Jake tegas. "Kalau
dia sampai dicurigai gara-gara kita, dia mungkin akan dibunuh." Marco menatapku sambil memicingkan mata. "Jadi kau belum
kapok juga? Kau masih juga nekat mempertaruhkan nyawa kita dan
nyawa semua orang yang kita kenal? Untuk apa?" "Demi kebebasan," Cassie menjawab singkat.
Marco tidak bisa bilang apa-apa.
"Kita bisa memanfaatkan Chapman”, ujar Jake. Mr. Chapman wakil kepala sekolah kami. Ia juga salah satu
Pengendali-manusia paling penting. Ia mendirikan The Sharing, sebuah klub yang menjaring anak-anak muda untuk dijadikan budak
kaum Yeerk. "Seandainya ada cara untuk mendekati Chapman...," Jake
membiarkan ucapannya menggantung. Ia sengaja tidak menoleh ke arahku. Tapi aku tahu maksudnya. Agaknya ia sudah cukup lama
mempertimbangkan hal ini. "Melissa?" tanyaku.
Jake mengangguk. "Itu salah satu kemungkinan." Melissa Chapman, anak perempuan Chapman, termasuk teman
akrabku. Paling tidak, dulu. Tapi sejak beberapa bulan ini ia bersikap aneh sekali terhadapku. Seakan-akan ia tidak peduli padaku. Kami sama-sama ikut latihan senam. Malahan aku ikut senam karena
ajakannya. "Ehm... aku tidak suka memperalat teman," kataku.
"Oh, tiba-tiba kau jadi si lembut hati, " Marco langsung berkoar. "Kau tidak suka memperalat teman?Hah, dari tampangmu
kau bahkan tak keberatan mengorbankan nyawaku." "Memang, Marco, tapi siapa bilang kau temanku?"
"Lucu sekali," Marco menyahut sambil meringis. Tapi aku tahu ia agak sakit hati.
"Bercanda, Marco," ujarku. "Cuma bercanda. Tentu saja kau temanku. Tapi kau anggota Animorphs, sedangkan Melissa tidak tahu
apa-apa." "Huh, Animorphs," Marco menggerutu. "Aku menyesal telah
mengarang nama itu?"
"Rachel, ayah Melissa salah satu pimpinan para Pengendali," Jake berkata dengan nada membujuk, tanpa menghiraukan Marco.
"Suka atau tidak, Melissa terlibat dalam urusan ini."
Mulutku mendadak terasa pahit. Aku tahu Jake benar. Chapman adalah petunjuk terbaik yang kami miliki. Dan Melissa adalah cara
terbaik untuk mendekatinya. Masuk akal memang. Aku memang punya alasan kuat untuk mengkhianati teman lama.
Tapi alasan sehebat apa pun tidak mampu menghalau perasaan hina yang timbul dalam diriku.
Ebukulawas.blogspot.com
Chapter 4
KEESOKAN hari seusai sekolah aku menuju tempat latihan senam di gedung YMCA, yang terletak di seberang mall. Di sana ada
kolam renang besar, jadi seluruh bangunan selalu berbau kaporit. Kecuali ruang fitness, yang selalu berbau keringat.
Latihan senam diadakan di ruangan lebih kecil yang lantainya dilapisi matras biru. Peralatan yang tersedia adalah balok
keseimbangan, palang bertingkat, dan kuda-kuda lompat lengkap dengan papan lontarnya.
Aku cukup oke di nomor kuda-kuda lompat dan palang
bertingkat, tapi masih perlu banyak latihan untuk balok keseimbangan. Terus terang, aku agak ngeri meniti balok panjang itu. Kita perlu
konsentrasi total. Suasana latihan kami santai saja. Memang tidak perlu serius.
Kami semua sadar di antara kami tidak ada calon atlet Olimpiade. Memang ketika baru mulai, aku punya angan-angan jadi Shannon
Miller. Tapi tubuhku terus tumbuh. Untuk anak seusiaku, aku termasuk jangkung. Orang-orang yang melihatku selalu berkomentar,
"Oh, kau pantas jadi peragawati." Tak ada yang bilang, "Oh, kau pantas jadi pesenam."
Sebagian besar rekanku punya badan terlalu tinggi atau terlalu berat. Jadi memang sulit meraih prestasi tinggi. Kami berlatih senam karena senang, dan juga untuk olahraga. Aku sendiri memilih senam
karena sejak dulu aku menganggap gerak-gerikku terlalu kikuk. Ibuku sih tidak bilang begitu, tapi itulah yang kurasakan.
Lagi pula, melompat ke papan lontar dan jumpalitan di udara sambil bertumpu di kuda-kuda cukup asyik. Memang kalah seru
dibandingkan terbang, tapi tetap asyik. Melissa Chapman sedang berganti baju di ruang ganti ketika
aku masuk. Ia berbeda di antara kami. Penampilannya memang seperti pesenam. Tubuhnya mungil dan kurus. Tentu saja ia tidak menyiksa
diri dengan diet mati-matian seperti banyak orang konyol yang bercita-cita jadi pesenam terkenal. Matanya kelabu dan rambutnya
pirang. Semuanya serbapucat. Termasuk kulitnya. Melissa mirip peri dalam buku-buku dongeng. Sepintas lalu ia tampak lemah, tapi kalau
diperhatikan lebih saksama, kita akan tahu ia memiliki kekuatan tersembunyi.
Melissa menatapku sambil tersenyum seperlunya. Akhir-akhir ini ia selalu bersikap begitu, seakan-akan ia tidak punya waktu untukku.
"Hei, Melissa," aku menyapanya. "Apa kabar?" "Baik. Kau sendiri?"
"Ya, begitulah. Seperti biasa." Tentu saja itu tidak benar. Tapi aku harus bilang apa? Aku kan tak mungkin bercerita bahwa aku kini
bisa berubah jadi binatang dan sibuk melawan makhluk asing. Melissa diam saja. Ia merapikan baju senamnya dan melakukan
peregangan sambil membisu. Aku cuma bisa menggelengkan kepala. Persahabatan kami telah menjadi hambar. Setiap kali bertemu, kami
cuma berbasa-basi sekadarnya. Padahal tadinya kami akrab sekali. Selain Cassie, Melissa adalah temanku yang paling dekat.
"Melissa, kita jalan-jalan ke mall yuk? Sehabis latihan nanti. Aku perlu sepatu kets baru."
"Ke mall?" Ia tergagap-gagap sebentar, lalu tersipu-sipu.
"Maksudmu, pergi belanja?" "Yeah. Biasa—jalan-jalan sambil lihat-lihat toko. Siapa tahu
ketemu cowok keren."
Aku mencoba bersikap biasa, seakan-akan tidak ada masalah di antara kami. Dulu Melissa pasti langsung mau kalau kuajak jalan-jalan
ke mall. Tapi sekarang ia pasang tampang seolah-olah harus ke dokter gigi.
Aku tak habis pikir, kenapa persahabatan kami bisa jadi renggang begini.
"Aku, ehm, sudah ada acara," ujar Melissa. "Oh. Tidak apa-apa. Aku ngerti kok," sahutku. Padahal aku
sama sekali tidak mengerti. Melissa berbalik, pergi menuju ruang latihan. Tadinya aku mau
diam saja, tapi tiba-tiba aku ingat: ayah Melissa salah satu pimpinan para Pengendali. Salah satu musuh kami yang paling berbahaya.
Aku meraih lengannya. "Melissa, tunggu... aku merasa belakangan ini kau selalu menghindariku. Padahal aku kangen ngobrol denganmu."
Ia angkat bahu. "Oke, ehm, kapan-kapan deh kita pergi sama-sama."
"Tuh, kan! Kau menghindar lagi. Ada apa sih sebenarnya?" "Ada apa?" Melissa mengulangi. Sepintas lalu aku melihat
kesedihan luar biasa terbayang di matanya, kesedihan yang membuat raut mukanya jadi keruh. "Tidak ada apa-apa kok." Lalu ia
melanjutkan, "Ayo, Coach Ellway sudah menunggu. Dia bisa marah-marah kalau kita telat."
Ia menarik lengannya, melepaskan diri dari peganganku. Aku mengamatinya pergi. Perasaanku kacau-balau. Rupanya
terjadi sesuatu pada Melissa. Dan aku tidak menyadarinya. Ia sahabatku dan ia sedang menghadapi masalah, tapi aku tidak memperhatikannya. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri.
Dan sekarang pun aku cuma pura-pura prihatin. Aku berusaha mendekatinya karena ada maksud terselubung.
Sepanjang latihan aku tidak sanggup berkonsentrasi. Padahal latihan senam tanpa konsentrasi bisa bahaya. Seperti yang kualami.
Aku tergelincir di balok keseimbangan, dan lututku terbentur kayu yang keras. Saking sakitnya, aku sampai menitikkan air mata.
Melissa bergegas menghampiriku. Dan selama sekitar sepuluh detik ia kembali menjadi Melissa yang lama. Tapi begitu aku bisa
berdiri lagi, ia segera menjauh. Saat itulah kecurigaanku timbul.
Sikap Melissa aneh sekali. Dan ayahnya salah satu Pengendali. Aku merinding ketika aku mengamatinya diam-diam.
Apakah ia juga anggota mereka? Apakah Melissa juga telah berubah menjadi Pengendali?
Aku tidak jadi pergi ke mall seusai latihan. Minatku berbelanja lenyap mengingat tatapan mata Melissa.
Seharusnya aku membeli sepatu di mall, lalu menelepon ibuku
agar ia menjemputku di sana. Begitulah rencana semula. Tapi kini aku langsung pulang. Sendirian. Sementara langit semakin gelap karena
tert utup awan kelabu. Tindakanku benar-benar bodoh dan gegabah. Tapi aku memang
sedang banyak pikiran. Masih untung aku tidak nekat melintasi bekas tempat pembangunan.
Aku sedang berjalan sambil melamun ketika aku sadar ada mobil menepi dan berhenti di depanku. Seorang cowok turun.
Tampangnya seperti anak SMU, atau bahkan mahasiswa. Sikapnya agak mencurigakan.
Seharusnya aku langsung balik badan dan pergi ke arah mall. Tapi kadang-kadang aku mengambil keputusan tanpa memakai akal sehat. Kadang-kadang aku menyesal karena berbuat begitu. Seperti
sekarang, misalnya. "Hei, sayang," ia menegurku. "Mau ikut jalan-jalan?"
Aku menggeleng dan mendekap tas berisi baju senamku.
"Hei, jangan sombong dong, Manis," ia berkata. "Sebaiknya kau segera masuk mobil."
Nada bicaranya bukan seperti ajakan. Melainkan seperti perintah. Aku semakin ngeri.
Kudekap tas senamku erat-erat sementara aku melewatinya. "Jangan diam saja kalau diajak bicara," katanya dengan nada
mengancam. Ia berusaha menyentuhku, tapi meleset. Kupercepat langkahku.
Tapi ia malah mengejarku. Aku mulai berlari.
Ia terus mengejar. "Hei. Hei, kau! Mau lari ke mana?"
Aku telah melakukan kesalahan besar dengan berjalan seorang diri. Tapi untung saja, berbeda dari orang lain, aku bukannya tak berdaya.
Sambil berlari aku memusatkan pikiran. Aku berkonsentrasi pada sebuah bayangan yang telah terpateri dalam benakku.
Kemudian aku sadar prosesnya sudah dimulai. Kakiku membengkak. Lenganku membesar. Kurasakan tubuhku tumbuh pesat
dan bertambah padat. Telingaku serasa ditusuk-tusuk ketika berubah menjadi tipis dan lebar.
Tapi kalau cuma kelihatan seram sih belum cukup. Cowok itu telah membuatku jengkel. Aku ingin membuatnya ketakutan setengah
mati. Tiba-tiba hidungku mulai memanjang. Menyusul sepasang
gading menyembul dari mulutku. Nah, itu sudah cukup. Kubiarkan konsentrasiku buyar, dan
seketika proses metamorfosis pun terhenti.
Aku berhenti mendadak—dan cowok brengsek yang mengejarku itu langsung menabrakku.
Pasti ia takkan suka melihatku.
Chapter 5
AKU ingin membentaknya. Aku ingin berkata, "Nah, masih
mau jalan-jalan bersamaku?" Tapi yang terdengar dari mulutku cuma, "HhohhHEEEERRR!"
Cowok itu shock. Matanya terbelalak lebar. Apa yang dilihatnya adalah aku—setengah manusia, setengah
gajah Afrika. Sepertiga belalaiku sudah jadi. Telingaku yang besar malah sudah hampir sempurna. Kakiku sebesar batang pohon.
Lenganku sebesar lengan Arnold Schwarzenegger, hanya saja warnanya kelabu. Dan dari mulutku keluar sepasang gading scpanjang hampir setengah meter. Supaya tambah seru, rambut dan mataku
masih yang asli. Nyali si brengsek mendadak ciut.
"AAAAHHHH!" Ia berbalik. Dan kabur tunggang-langgang. Ia bahkan lupa kalau
ia membawa mobil. Ia berbalik lagi dan melompat masuk melalui jendela yang terbuka.
Terburu-buru ia menyalakan mesin dan memacu mobilnya. Seandainya ada polisi ia pasti kena tilang, sebab ia jelas-jelas
melanggar batas kecepatan ketika melesat menjauh. Aku berkonsentrasi lagi untuk kembali ke wujud manusia.
Untung saja aku memakai sweter longgar dan celana senam tadi. Keduanya ikut mengembang bersama tubuhku. Tapi sepatuku rusak berat karena mendadak harus menampung kaki gajah.
Hujan gerimis mulai turun. Sebal rasanya harus jalan kaki. "Huh, sial," aku bergumam. "Lain kali aku harus buka sepatu dulu
sebelum berubah jadi gajah."
Tiba-tiba sebuah mobil menepi dan berhenti di sampingku. Jendela depan di sisi penumpang membuka.
"Hei, Rachel." Ternyata Melissa. Aku mengenali suaranya. "Mau diantar pulang?" ia menawarkan dengan nada datar, seolah
terpaksa. Aku memandang ke dalam mobil—dan melihat Chapman duduk di balik kemudi.
Aku panik. Apakah ia sempat melihat apa yang baru saja kulakukan? Kalau ya, berarti tamatlah riwayatku. Teman-temanku pun
bakal celaka. "A... aku jalan kaki saja, deh," sahutku. "Hitung-hitung
olahraga." "Jangan membantah, Nona," ujar Chapman. Suaranya seperti
biasa, khas wakil kepala sekolah. "Hujannya pasti semakin deras nanti. Ayo, naiklah."
Apa yang bisa kulakukan? Dengan susah payah aku
memaksakan senyum. "Thanks," kataku. Melissa duduk di depan bersama ayahnya. Aku duduk di
belakang. Aku, berusaha tidak gemetar. Aku berusaha mengalihkan pandang dari bagian belakang kepala Chapman. Begitulah rasanya
kalau ada Pengendali di dekat kita. Kita tahu ada makhluk busuk di dalam kepala si Pengendali, makhluk busuk yang menguasai otaknya
dan membajak semua sarafnya. "Rasanya aku melihat ada cowok bersamamu waktu kami
berhenti di lampu merah tadi," ujar Melissa. "Tapi setelah itu dia langsung kabur. Apakah dia mengganggumu?"
"Ehm... tidak," aku berbohong. "Dia... dia cuma memungut sesuatu yang jatuh di pinggir jalan."
Payah! Aku memang tidak pandai berbohong.
Aku sadar Chapman memperhatikanku melalui kaca spion. Ia kelihatan biasa saja. Itulah susahnya. Tak ada tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa ia Pengendali. Tak ada tanda-tanda yang
menunjukkan siapa ia sebenarnya. Dari luar ia tak berbeda dengan orang biasa.
"Dia kabur seperti dikejar setan," Chapman berkomentar. "Masa, sih?" sahutku dengan suara gemetar. "Saya tidak
memperhatikannya. Mungkin karena hujan. Mungkin karena itu dia lari. Oh, kita belok kiri di sini."
"Saya tahu rumahmu," balas Chapman. Aku hampir tersedak. Apakah ini ancaman? Mungkinkah ia
curiga? Mungkinkah ia tahu rahasiaku? Bukankah cara ia menatapku lain dari biasanya?
Ataukah aku cuma mengada-ada? Ia berhenti di depan rumahku. Jantungku berdegup kencang,
tapi aku memaksakan diri untuk tetap bersikap normal. "Terima kasih, Mr. Chapman," ujarku. "Eh, Melissa, aku serius lho soal pergi sama-sama."
Melissa mengangguk. "Yeah, Rachel. Oke." Aku turun dari mobil dan menutup pintu. Aku berhasil lolos.
Aku masih hidup. Tampaknya segala ketakutanku tadi tidak perlu. Kemudian aku mendengar Melissa berseru, "Hei, sepatumu
kenapa tuh?" Aku memandang ke bawah. Sepatuku koyak-koyak akibat
membengkaknya kakiku tadi, dari ukuran tiga enam menjadi ukuran tiga ratus—dalam waktu lima detik.
"Tuh benar, kan?" jawabku dengan nada seriang mungkin. "Aku memang perlu sepatu baru."
Melissa tampak bingung. Ayahnya menatapku dengan ekspresi tak bisa kutebak.
Tubuhku masih gemetaran ketika masuk ke rumah. Langsung
saja aku naik ke kamarku dan membuang sepatuku ke keranjang sampah. Setelah itu aku turun untuk menemui Mom. Ia sedang duduk
di meja dapur, setengah tersembunyi di balik setumpuk buku berwarna
kekuning-kuningan. Mom pengacara, dan ia sering membawa pulang pekerjaan agar bisa menemani aku dan kedua adik perempuanku.
Orangtuaku bercerai. Aku bertemu Dad hanya beberapa hari dalam sebulan, sehingga Mom selalu merasa bersalah kalau ia
terpaksa meninggalkan kami sendirian di rumah. "Hai, Sayang. Sudah pulang?" tanyanya. Tapi raut mukanya
mendadak berubah. Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Kau pulang naik apa? Tidak jalan kaki, kan? Kau sudah janji akan
menelepon ke rumah seusai membeli sepatu." "Aku diantar Melissa dan ayahnya," jawabku.
Memang benar, walaupun tidak sepenuhnya benar. Ekspresi Mom melunak dan ia segera menutup buku yang
sedang dibacanya. "Sori. Kau tahu kan, Mom takut terjadi apa-apa." "Mana Jordan dan Sara?" "Di ruang duduk, nonton TV. Ada film horor. Wah, nanti
malam Jordan pasti tidak berani mematikan lampu kalau mau tidur. Sara lebih gawat lagi. Ia akan pindah ke tempat tidur Mom. Huh,
Mom tidak mengerti kenapa mereka suka film-film seram seperti itu. Kau tidak pernah begitu."
Aku hampir tertawa. Aku ingin berkomentar, Mom, aku tidak perlu nonton film seram, soalnya aku sendiri sudah seram. Coba kalau
tadi Mom sempat melihatku dengan gading menyembul dari mulut dan hidung sepanjang satu-meter.
Tapi yang kukatakan cuma, "Jadi, kita makan apa nanti?" Mom meringis. "Bagaimana kalau piza? Atau makanan Cina?
Atau apa saja yang bisa dipesan lewat telepon? Sori, Mom belum sempat masak. Mom harus mempelajari berkas-berkas ini karena besok pagi ada sidang.
"Mom," aku memberitahu, mungkin untuk keseribu kalinya, "kalau Mom tidak sempat masak, ya tidak apa-apa. Lagi pula," aku
menambahkan sambil nyengir, "kalau boleh pilih, aku lebih suka piza daripada masakan Mom."
"Dasar konyol," sahutnya sambil tertawa. "Tapi jangan lupa, pesan piza yang ada sayurannya."
Sehabis makan malam aku menelepon Jake. "Hei, sepupu," ujarku. "Kau kemari, dong! Aku baru beli CD
yang bagus sekali. Kau pasti suka lagu-lagunya." Sebenarnya, CD itu cuma alasan untuk mengajak Jake ke
rumahku. Kami memang harus hati-hati. Tadi aku sudah bilang, kan? Kakak Jake, Tom, salah satu Pengendali. Bisa saja ia menguping
percakapan kami melalui pesawat telepon paralel. Setelah menelepon Jake, aku menghubungi Cassie dan Marco,
dengan cara yang sama. Begitu semua kumpul, aku langsung bercerita tentang Melissa,
dan juga tentang cowok brengsek yang telah kuberi pelajaran. Tapi
aku tidak bilang aku diantar pulang oleh Chapman. Entah kenapa aku enggan. Ketika aku melihat reaksi Marco, aku bersyukur tidak
menceritakannya. "Aduh, kau benar-benar bodoh. Bodoh! BODOH!" Marco
mengomel. "Bagaimana kalau dia seorang Pengendali?" "Dia bukan Pengendali," sahutku kesal. "Mana mungkin
kaum.Yeerk memilih cowok pengacau seperti itu untuk dijadikan Pengendali? Mereka pasti mengincar orang-orang penting."
"Belum tentu," ujar Jake. "Tom bukan orang penting. Dia tidak punya kekuasaan apa-apa."
"Bagaimana dengan orang-orang yang kebetulan lewat naik mobil, atau melongok dari jendela rumah mereka?" tanya Marco, "Dan bagaimana kalau si brengsek itu memberitahu orang-orang
tentang cewek yang tiba-tiba punya belalai dan gading?" "Tenang. Takkan ada yang percaya," balasku.
"Teman-temannya memang pasti tidak percaya," kata Marco sengit, "tapi bagaimana kalau dia bercerita pada salah satu
Pengendali? Seorang Pengendali pasti langsung mengerti apa maksudnya."
Ya. Para Pengendali tentu langsung paham. Chapman, misalnya. Atau Melissa, bila ternyata ia juga salah satu dari mereka.
Aku jadi muak. Rasanya seluruh hidupku cuma setumpuk kebohongan. Aku bohong pada Melissa. Bohong pada Mom. Sekarang
aku bohong dengan merahasiakan sesuatu dari teman-temanku. "Oke, aku memang salah," aku bergumam.
"Betul sekali!" Marco berkoar. "Kau membuat kesalahan besar. Kau..."
"Cukup, Marco!" Jake menyela. "Rachel tahu dia salah. Kita semua pernah membuat kesalahan."
Marco cuma geleng-geleng kepala.
Cassie tersenyum untuk membesarkan hatiku. "Tindakanmu memang gegabah, Rachel. Lain kali kau harus lebih hati-hati. Tapi
aku rela tidak diberi uang saku sepuluh minggu asal bisa melihat tampang cowok brengsek tadi."
"Yang penting, Rachel tidak bisa memanfaatkan Melissa untuk mendekati Chapman," kata Jake. "Melissa kartu mati selama kita tidak
tahu apakah dia Pengendali atau bukan. Dan juga selama dia tetap bersikap aneh kepada Rachel."
"Kelihatannya kita harus cari jalan lain," ujarku cepat-cepat. "Kita tahu kantor Chapman. Kita tahu rumahnya. Barangkali kita bisa
berubah jadi binatang kecil dan mengintainya di tempat-tempat itu." "Binatang kecil?" tanya Marco. "Waktu Jake jadi kadal, dia
sempat terinjak. Buntutnya sampai copot. Lagi pula, kali ini kau mau
jadi apa? Kecoak?"
Membayangkannya saja kami sudah merinding. Binatang terkecil yang pernah ditiru oleh salah satu dari kami adalah kadal. Dan
itu pun sudah membuat Jake panik. Kecoak pasti lebih kacau lagi. "Menurutku kecoak kurang berguna untuk kita," ujarku. "Selain
jorok, belum tentu indranya bisa membantu. Coba, siapa yang tahu kecoa punya kuping atau tidak? Dan kalau pun dia bisa mendengar,
belum tentu otaknya mengerti apa yang didengarnya." Semua langsung menatap Cassie. Di antara kami, ia paling ahli
soal binatang. Cassie langsung angkat tangan. "Hei, yang benar saja.
Memangnya aku tahu bagaimana cara kecoak melihat dan mendengar? Kecoak tidak termasuk jenis satwa yang dirawat di klinik."
Selama beberapa menit kami semua tertunduk lesu. Tapi aku belum mau menyerah. Tujuanku bukan sekadar menghantam kaum Yeerk. Aku perlu tahu apakah Chapman mencurigaiku. Kalau ia
sampai curiga, kami semua terancam bahaya besar. Pandanganku beralih ke meja belajar. Kulihat buku PR
matematika yang sama sekali belum kubuka. Akibatnya aku jadi semakin suntuk. Tapi kemudian aku melihat bingkai foto yang
kupajang di atas meja. Bingkainya besar, berisi enam foto berbeda. Ada fotoku bersama Mom dan Dad naik perahu. Lalu fotoku di tempat
kerja Dad—ia pembaca ramalan cuaca di salah satu stasiun TV. Kami cengar-cengir di depan peta besar yang menunjukkan arah angin. Foto
lain memperlihatkan Cassie dan aku naik kuda. Cassie kelihatan santai di atas pelana, sementara aku tampak kalang kabut karena takut jatuh.
Tapi foto yang paling menarik perhatianku adalah foto Melissa dan aku yang diambil beberapa tahun lalu.
Aku berdiri dan mengambil bingkai foto itu. Aku
mengamatinya dengan kening berkerut. "Kenapa, Rachel?" tanya Jake. "Ada apa?"
"Ini foto aku dan Melissa," ujarku. "Kalau tidak salah ini diambil saat ulang tahunnya yang kedua belas. Kami sedang main di
rumput dengan kado ulang tahun dari ayahnya." "Terus?" tanya Marco tidak sabar.
"Nih...." Kuserahkan foto itu padanya. Aku dan Melissa mengenakan celana pendek. Dan di antara kami berdiri anak kucing
berbulu hitam-putih. "Kado ulang tahunnya seekor kucing."
Chapter 6
LIHAT, tuh! Ada pintu kecil untuk keluar-masuk kucing!" Jake
berkata sambil menunjuk. "Mana?" tanya Marco.
"Kaulihat garis-garis terang di bagian bawah pintu itu?" "Oh, yeah," sahut Marco. "Aduh, kenapa bulan mesti tertutup
awan? Aku tidak bisa melihat apa-apa." Kami berempat meringkuk di balik pagar tanaman yang
membatasi pekarangan keluarga Chapman. Mereka tinggal di pinggir kota. Rumah mereka biasa saja: berlantai dua, dengan garasi dan pekarangan berumput di depan. Tak ada tanda-tanda bahwa
penghuninya terlibat persekongkolan dengan makhluk asing untuk menguasai bumi.
"Aku mau tanya," bisik Marco. "Kenapa mesti Chapman? Dari dulu aku sudah takut padanya. Sebelum kita tahu dia seorang
Pengendali." "Pasti kau masih kesal gara-gara dihukum olehnya, kan?"
sahutku. "Salahmu sendiri, Marco. Kalau selama jam pelajaran matematika kau mau mendengarkan CD dengan earphone
tersembunyi di balik rambut, kau tidak usah ikut nyanyi, dong." "Yeah, itu namanya tolol," Jake menimpali.
"Tapi masa sih aku dihukum satu minggu?" balas Marco. "Bayangkan saja, dari Senin sampai Jumat aku harus tinggal sampai sore di sekolah. Aku yakin Chapman tidak bakal memberi hukuman
seberat itu kalau dia benar-benar manusia."
"Ehm, aku juga mau tanya," ujar Cassie. "Bagaimana cara kita memancing kucing Melissa supaya keluar?" Kami semua langsung
menatapnya. "Pertanyaan bagus," aku mengakui.
"Sebenarnya kita bisa saja terus menunggu sambil sembunyi di semak-semak. Tapi cepat atau lambat para tetangga pasti curiga."
<Seperti apa kucing itu?> Tobias bertengger di dahan pohon di dekat kami. Cukup dekat
untuk mendengar apa yang kami bicarakan. Aku berusaha mengingat-ingat. "Aku ingat, namanya Fluffer.
Fluffer McKitty." "Ah, yang benar?" Siapa lagi yang ngomong kalau bukan
Marco. Aku berusaha mengingat-ingat saat Melissa dan aku masih
akrab. "Bulunya hitam-putih. Maksudku, belang-belang."
<Biar kucari dulu. Siapa tahu dia ada di luar.> Tobias merentangkan sayap. Tanpa suara ia meluncur di atas
kepala kami, lalu menghilang dalam kegelapan malam. "Kalian tahu apa yang kita perlukan?" tanyaku. "Kita perlu
kucing lain. Seharusnya sudah kita siapkan. Kucing kedua itu bisa memanggil Fluffer."
Langsung saja Marco berkomentar, "Meong Fluffer, keluar meong, kita main yuk, meong?"
"Tobias pernah berubah jadi kucing, kan?" tanyaku. "Yeah," sahut Jake. "Waktu pertama kali dia berubah. Di antara
kita, dialah yang pertama kali mencoba metamorfosis." "Rachel, kalau kau sudah masuk, jangan lupa tetap bertingkah
seperti kucing," pesan Cassie. "Kalau ada kucing bersikap aneh, orang
paling-paling cuma heran. Tapi Chapman mungkin curiga kalau Fluffer tiba-tiba tidak bertingkah seperti kucing."
"Maksudnya, aku jangan makan pakai garpu atau menekan remote TV untuk pindah saluran?"
Kami tertawa—pelan dan gelisah memang, tapi tetap saja tertawa.
Tiba-tiba Tobias menukik dari langit. Ia berputar-putar di atas kami dan berseru, <Ketemu!>
Ia kembali bertengger di dahan tadi. Dari luar, sosoknya benar-benar memukau. Selama kita tidak memikirkan anak laki-laki yang
terperangkap di dalam tubuh itu. Sorot mata seekor elang benar-benar menusuk. Tobias yang lemah lembut kini selalu tampil garang.
"Masa sih?Kau berhasil menemukan Fluffer?" tanyaku. <Hei, itu kan gampang. Aku... ehm, elang memang jago cari
mangsa. Sebenarnya ada enam atau tujuh kucing yang berkeliaran di sekitar sini. Selain itu, ada tiga anjing dan banyak sekali tikus.>
"Tikus?" Marco langsung membelalakkan mata. "Tikus? Di
sini? Ini kan daerah orang kaya. Maksudku, daerah ini jauh lebih bagus ketimbang daerahku."
<Tikus ada di mana-mana,> sahut Tobias. <Tikus dan binatang pengerat lain yang gendut dan lezat dan....> Ia terdiam, mungkin
karena malu. "Jangan ngaco, Tobias," kata Marco. "Jangan sampai kau
makan tikus, oke? Aku tidak sudi berteman dengan seseorang yang makan tikus."
Kadang-kadang Marco memang lucu. Tapi kadang-kadang ia keterlaluan. Seperti kali ini.
"Diam, Marco!" aku menghardiknya. "Aku pernah makan labah-labah hidup," ujar Jake. "Berarti kau
juga tidak sudi berteman denganku, dong!" Nada suaranya yang tinggi
menunjukkan ia pun kesal.
Tak seorang pun tahu apa yang akan dialami Tobias. Selain dirinya, belum ada yang melanggar batas waktu dua jam. Dan
sekarang ia sudah lebih dari satu minggu menjadi elang. Marco mendadak sadar. "Yeah, ehm... kurasa kalian benar. Lagi
pula, aku sendiri pernah makan daging burung unta. Jadi memang tidak pantas aku ngomong begitu."
Begitulah cara Marco minta maaf. <Kucing yang kita cari kira-kira setengah blok dari sini,> ujar
Tobias. <Ayo, ikut aku.> Ia mengepakkan sayap dan terbang rendah. Kami segera
mengejarnya. Walaupun sudah berusaha terbang lambat, Tobias tetap terlalu cepat untuk kami. Ia terpaksa berputar-putar menunggu. Kami
berusaha menyusulnya. "Orang-orang pasti heran melihat kita," kata Cassie. "Empat
anak lari-lari sambil mendongak terus."
<Di sebelah sana,> Tobias memberitahu. <Kalian lihat pekarangan dengan dua pohon itu?>
"Yeah. Yang di sebelah kiri, kan?" <Betul. Kucing yang kalian cari sedang mengintai tikus, di
balik pohon terdekat.> "Tunggu dulu, kita tidak bisa ramai-ramai menerobos
pekarangan orang," ujarku. "Biar aku dan Cassie saja." Marco menyerahkan kurungan kucing yang kami bawa. "Perlu
pakai ini?" ia bertanya. "Nanti saja. Fluffer akan kutangkap dulu, lalu kubawa kemari.
Kalian tunggu di sini saja." Cassie dan aku memasuki pekarangan. Rumah di hadapan kami
tampak gelap. Barangkali penghuninya sedang pergi. Mudah-mudahan
saja. "Kau ke kiri," kataku kepada Cassie. Kami mengelilingi pohon
itu.
"Hei, Fluffer," aku memanggil dengan suara kecil yang selalu kupakai untuk bicara dengan binatang. "Sini, manis. Masih ingat
aku?" "Itu dia."
"Ya, aku juga melihatnya." Aku jongkok dan mengulurkan tangan ke arah kucing itu. "Hei, Fluffer Fluffer. Ini aku, Rachel."
Fluffer menatap Cassie, kemudian berpaling padaku. "Ayo, Fluffer, ini aku. Sini, manis."
"Omong-omong, Fluffer kucing jantan atau betina?" tanya Cassie.
"Jantan, kalau tidak salah." "Oh, bagus," Cassie bergumam. "Mudah-mudahan saja dia
sudah dikebiri." "Kau sudah dikebiri, Fluffer McKitty?" ujarku dengan nada
membujuk. "Memangnya kenapa, sih?" aku lalu bertanya pada Cassie.
"Sebab untuk ukuran tubuhnya, kucing jantan termasuk makhluk paling berbahaya."
"Siapa, Fluffer? Teman kecilku ini?" "Mungkin dia memang sudah dikebiri, tapi jangan lupa. Dia
kucing jantan yang sedang berburu di malam hari." Cassie menggelengkan kepala. "Seharusnya kita bawa sarung tangan."
"Ah, kau terlalu kuatir. Dia cuma kucing kecil yang manis." Untuk membuktikan ucapanku, aku kembali mengulurkan tangan dan
mencoba menangkapnya. "Hhhhhssssss!"
Cakar Fluffer menyambar dengan gerakan yang terlalu cepat untuk dilihat mata manusia. Tiga goresan berdarah muncul pada punggung tanganku. Fluffer langsung memanjat pohon.
"Aduh!" Refleks aku memasukkan tanganku yang terluka ke dalam mulut.
"Yeah, seharusnya kita pakai sarung tangan," ujar Cassie.
"Bagaimana?" Jake berseru dengan suara tertahan. "Sudah, belum?"
"Bagus," aku menggeram sambil mengertakkan gigi. "Tanganku luka dan Fluffer ada di atas pohon."
Marco tertawa cekikikan. Memang sudah kuduga. Kemudian Jake ikut-ikutan.
Aku mendongak dan melihat sepasang mata kuning kehijauan menyorot dari pohon yang gelap.
"Tadinya kukira ini gampang," ujarku. "Kupikir kita tinggal menyadap pola DNA Fluffer, lalu kita bisa mulai dengan tugas lebih
berat." "Kucingnya ada di atas pohon," gumam Cassie sambil geleng-
geleng kepala. "Kau tahu, sulit banget menurunkan kucing dari pohon?"
"Aku punya ide," kataku. "Tobias, kau masih di atas?"
<Aku tepat di atas kalian. Tapi aku tidak mau menyambar kucing jantan yang lagi marah.>
"Bukan itu maksudku," aku menyahut. Aku menarik napas dalam-dalam. Malam ini semakin aneh saja. Aku perlu seekor tikus."
Chapter 7 <AKUpunya sesuatu untukmu. Seekor bayi tikus. Tapi hati-
hati. Dia galak. Dari tadi aku mau digigitnya.> Tobias berputar rendah di atas kami. Sebentar-sebentar ia menghilang di balik dahan-dahan
pohon, lalu muncul kembali. <Sudah siap?> Sekali lagi aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian aku
melambaikan tangan padanya. Tentu saja aku siap. Kenapa aku mesti tidak siap menerima bayi tikus dari seekor elang? Itu kan hal biasa.
Tobias melintas rendah sambil mengurangi kecepatan. Kurapatkan tangan dan kuangkat keduanya tinggi-tinggi. Bidikan
Tobias tepat sekali. Ia berhasil menjatuhkan bayi tikus itu tepat ke tanganku.
"Awas, jangan sampai kau digigit!" Cassie mewanti-wanti. "Bisa kena rabies."
"Bagus," aku bergumam. "Tambah asyik saja." Tapi sebenarnya
aku berterima kasih atas peringatan Cassie. Anak tikus itu meronta-ronta ketakutan dan berusaha lari. Telapak tanganku serasa digelitik
oleh cakarnya yang mungil. "Sebaiknya kalian semua disuntik antirabies," ujar Cassie. "Aku
serius lho. Aku sih sudah. Kalau kita berurusan dengan binatang liar... ehm, untuk sementara, hati-hati jangan sampai digigit."
"Siapa yang mau digigit?" sahutku. "Eh, tunggu dulu." Cassie membuka tanganku agar dapat
melihat lebih jelas. "Ini bukan tikus. Ini cecurut. Coba perhatikan matanya. Matanya terlalu kecil. Dan ekornya juga salah. Ini bukan
bayi tikus, Tobias, ini cecurut dewasa." <Sori. Ada pengaruhnya?> Cassie angkat bahu. "Entahlah. Yang jelas, ini bukan tikus."
"Tunggu dulu," ujar Marco sambil nyengir. "Rachel mau jadi cecurut? Dia sudah berubah atau belum sih? Sekarang saja
tampangnya sudah kayak cecurut."
Kami semua terlalu tegang untuk tertawa. Rasanya aneh sekali, berdiri di pekarangan orang sambil main-main dengan binatang
pengerat. Kadang-kadang semua ini benar-benar tidak masuk akal. "Oke, aku sudah siap. Jadi kalian jangan ribut."
Supaya bisa berubah wujud, kita harus menyadap pola DNA binatang yang ingin kita tiru. DNA adalah zat dalam tubuh makhluk
hidup yang membawa sifat keturunan. Nah, untuk proses penyadapan itu suasana harus tenang. Kita
harus berkonsentrasi penuh dan memusatkan pikiran pada binatang itu. Perhatian kita tidak boleh bercabang. Binatang bersangkutan lalu
menjadi lemas, seakan-akan tidak sadar. Seluruh proses itu makan waktu sekitar satu menit.
Cecurut di tanganku terus berontak sambil bercicit-cicit. Sebenarnya sih, aku jijik juga. Tapi apa boleh buat.
Setelah selesai, aku membuka mata. "Oke, cecurut kecil, terima
kasih atas bantuanmu. Kau boleh pergi sekarang." "Kurasa ini bukan ide yang baik," kata Jake bimbang.
"Masa sih?" Marco langsung berkomentar. "Rachel kan cuma berubah jadi cecurut untuk memancing kucing galak turun dari pohon.
Habis itu dia berubah jadi kucing supaya bisa menyelinap ke rumah wakil kepala sekolah kita. Jadi, kenapa mesti kuatir?"
Cassie pun tampak cemas. "Ehm, Rachel, biasanya kucing main-main dulu dengan tikus. Tapi kadang-kadang tidak. Kadang-
kadang mereka langsung menggigit leher mangsanya. Dan tikus atau cecurut itu mati seketika."
<Hati-hati, Rachel,> ujar Tobias. <Aku akan mengawasi dari atas, tapi kau tetap harus hati-hati. Jangan sampai terjadi sesuatu padamu.>
"Ucapan" Tobias diarahkan hanya pada diriku. Aku tahu, sebab yang lain tidak bereaksi.
Aku menoleh ke arah Tobias dan mengedipkan mata. Aku tahu ia bisa melihatnya. Lalu aku menggosok-gosok tangan. "Oke, kita
mulai saja." Sekali lagi aku memusatkan pikiran pada cecurut tadi, yang kini
telah menjadi bagian dariku. Aku tidak tahu cara kerjanya, tapi nyatanya bisa. Berkat teknologi si Andalite, di dalam tubuhku
tersimpan DNA cecurut. Aku seperti memiliki peta yang menuntunku pada saat aku berubah. Tapi aku tetap tidak mengerti bagaimana
semua itu bisa terjadi. Hal pertama yang kurasakan adalah tubuhku tambah pendek.
Tubuhku yang semula satu meter lima puluh mengecil sampai kurang dari lima senti. Bedanya jauh sekali. Dan rasanya seperti melayang-
layang. Hanya saja kaki kita tetap berpijak di tanah. Semula aku masih bertatapan dengan Jake dan Marco dan
Cassie. Tapi tahu-tahu wajah mereka seolah-olah melesat ke atas. Aku
meluncur turun, melewati badan dan kaki mereka. Ketiga temanku seakan-akan berubah jadi gedung pencakar langit, sementara aku
seperti melompat dari atap. Baju luarku berjatuhan bagaikan tenda sirkus roboh.
Aku mendengar bunyi berderit-derit ketika tulang belakangku mengerut menjadi lebih kecil dari jari kelingking. Perasaan janggal
selalu menyertai proses perubahan wujud ini. Kurasakan tulang ekorku tumbuh menjadi ekor sungguhan.
Ekor yang panjang tanpa bulu dan sama sekali tidak indah dipandang. Saking kecilnya, kakiku hampir tidak terlihat. Aku mirip bola
bulu sebesar lima senti, dengan empat kaki mungil. Lalu aku mulai dicekam ketakutan. Ketakutan seekor cecurut. Tubuhku gemetar tak terkendali. Aku benar-benar ngeri. Benar-
benar panik. Aku terkepung! Di mana-mana ada makhluk pemangsa! Aku
bisa mencium bau mereka. Aku bisa melihat mereka—makhluk-
makhluk raksasa yang bergerak pelan dan menjulang tinggi di sekelilingku.
"Rachel? Bagaimana keadaanmu?" Cassie bertanya. Ia mengangkat tumpukan baju yang menindihku.
Suaranya bergemuruh, mirip bunyi guntur di kejauhan. Aku mendengar kata-kata yang diucapkannya, tapi otak cecurut di dalam
kepalaku tidak memahami arti ucapannya. Naluri cecurut mendorongku untuk mencari jalan lari. Cecurut
termasuk binatang yang gampang takut, tapi juga sangat cerdas. Aku mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelamatkan diri.
Aku menaksir jarak di antara ketiga pasang kaki di sekelilingku. Satu pasang kaki bergeser sedikit.
Kesempatan itu tidak kusia-siakan. Kabur! Kabur! Aku menerobos di antara batang-batang rumput
yang kurasakan setinggi dua meter. Dalam pandanganku, ranting-
ranting menyerupai pohon-pohon tumbang. Aku terpaksa memanjat. Kakiku yang mungil bergerak dengan kecepatan luar biasa. Aku
berlari melewati seekor kumbang yang bagiku tampak sebesar anjing. "Rachel, kau harus mengendalikan diri!"
Aku tahu mereka benar. Aku agak memahami kata-kata yang mereka ucapkan. Tapi rasa takut dalam diriku terlalu kuat. Dorongan
untuk menyelamatkan diri terlalu menggebu-gebu. Tapi secara bersamaan aku mulai menyadari perasaan lain. Rasa
lapar. Aku mencium bau kacang-kacangan. Aku mencium bau bangkai. Aku bahkan bisa mencium bau belatung yang menggeliat-
geliut pada bangkai itu. Ah, belatung! Aku tahu ini sukar dipercaya, tapi makhluk-
makhluk menjijikkan tersebut ingin kulahap habis.
Di belakangku terdengar langkah berdebam-debam!
Aku langsung berkelit dan menyelinap ke bawah semak-semak. Suara langkah itu melewatiku, lalu berhenti dan kembali menuju ke
arahku. Mereka lebih cepat ketimbang aku, tapi kalah gesit. Aku pasti
bisa lari. Aku akan lari, mencari sumber bau bangkai itu dan berpesta-pora!
<Rachel, ini Tobias. Kau dikendalikan naluri cecurut. Kau harus melawan! Jangan lari.>
Ngeri! Lapar! <Rachel, dengarkan aku. Kau semakin jauh dari kami. Kau
harus merebut kendali.> Ngeri! Lapar! Lari!
Rumput dan ranting dan gundukan tanah. Dahan-dahan di atas kepala. Bau makanan. Bau anjing yang mengencingi semak-semak.
Bunyi langkah berdebam-debam dan suara-suara gemuruh di
kejauhan. Mereka mau menangkapku. Tapi aku bisa bergerak cepat! Aku cerdik!
Tapi tetap kurang cerdik. Aku keluar dari tempat persembunyianku.
Tiba-tiba aku menyadari kehadiran sesuatu. Sebuah bayangan gelap. Dan seketika aku dicekam ketakutan yang belum pernah
kualami. Suara di dalam otak cecurutku menjerit-jerit. Aku merasakan ketakutan yang tak terbayangkan! Ketakutan
yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata! Inilah musuh yang tak mungkin kukalahkan!
Dan ia mengincarku!
Chapter 8
AKU berusaha mengelak, tapi gerakanku terlalu lamban.
Tubuhku dicengkeram cakar-cakar besar, dan tiba-tiba saja kakiku sudah tergantung-gantung di udara.
<Tenang, Rachel. Jangan panik. Ini cuma aku. Aku sedang mengangkatmu.>
Suara itu bergaung di dalam kepalaku. Aku memahami ucapannya. Dan akhirnya rasa takutku mereda.
<Tenang saja, Rachel. Coba kendalikan diri. Pikirkan hal-hal yang kaualami sebagai manusia. Pikirkan soal sekolah. Kau masih ingat sekolah?>
Sekolah? Ya. Aku ingat sekolah. Sekonyong-konyong akal sehatku berhasil mendesak naluri
cecurut yang sejak tadi menguasaiku. Perubahannya mendadak sekali. Rasanya seperti ada orang memencet tombol. Aku kembali memegang
kendali. Aku kembali tahu siapa diriku. <Oke, Tobias, aku sudah sadar,> ujarku. <Aku mau turun
sekarang.> Tobias berputar dan mendarat dengan hati-hati. <Apakah kau
terluka karena cakarku?> <Rasanya tidak.>
"Kau tidak apa-apa, Rachel?" Itu suara Jake. <Aku baik-baik saja. Wow, ini beda sekali dengan naluri gajah.
Atau naluri rajawali. Dua-duanya begitu tenang kalau dibandingkan
cecurut.> "Ini seperti waktu Jake berubah jadi kadal," ujar Cassie. "Dia
juga sempat panik. Binatang-binatang lain yang pernah kita tiru
semuanya besar dan berwibawa—gorila, harimau. Tapi kuda juga gampang gugup."
<Ayo, kita selesaikan ini secepat mungkin, oke?> kataku. <Semakin cepat semakin baik, biar aku bisa berubah lagi.> Aku
memang telah berhasil menguasai diri, tapi bau bangkai tadi masih tajam tercium. Aku juga masih mendengar suara ribuan belatung yang
sedang berpesta-pora. Makhluk-makhluk menjijikkan itu makanan cecurut. Dan aku lapar sekali.
"Kau yakin bisa tetap tenang?" tanya Marco. Kulihat ia menatapku dari ketinggian sejuta mil. "Kau tetap tampak gelisah.
Ekormu bergoyang terus dan hidungmu berkedut-kedut." <Yeah, aku tahu. Aku memang gelisah. Makanya, cepatlah.
Kalian harus membawaku ke pohon yang dipanjat Fluffer. Aku tidak tahu arahnya.>
Sebelum aku sempat protes, Marco sudah membungkuk dan
meraihku dengan dua tangan. Ia mengangkatku dan menatap mataku. "Aku belum pernah melihatmu secantik ini, Rachel. Tampangmu
seperti gadis sampul." Kami berjalan menyusuri trotoar. Kemudian Marco
menurunkanku di kaki pohon tempat Fluffer bersembunyi. <Sebaiknya kalian mundur sedikit,> kataku.
"Tapi jangan terlalu jauh," Jake segera menanggapi. "Kami harus bertindak cepat sebelum Fluffer menerkammu."
<Oh, Fluffer akan kusikat kalau dia berani macam-macam,> aku berkelakar. Terus terang, aku agak malu karena sempat tidak bisa
mengendalikan diri tadi. "Yeah," Marco berkomentar. "Kucing lawan tikus. Kira-kira
siapa ya yang menang?"
"Kau tidak pernah nonton Itchy and Scratchy?" tanya Cassie. "Tentu saja tikus. Lagi pula, dia bukan tikus."
Asal tahu saja: terjebak dalam tubuh cecurut sambil menunggu apakah seekor kucing raksasa mau turun dari pohon untuk membunuh
kita, sama sekali tidak asyik. Naluri cecurut dalam diriku memang sudah bisa kukuasai, tapi si cecurut tetap saja ketakutan. Ia sudah
sempat disergap elang, dan sekarang ia harus menunggu apakah musuh bebuyutannya yang satu lagi akan menyerang... hmm,
bagaimana ia tidak panik? Aku begitu disibukkan oleh rasa lapar si cecurut sehingga aku
tidak memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya. Aku baru sadar ketika terdengar bunyi kulit pohon tergesek-gesek, tepat di atas
kepalaku. Astaga! Fluffer mau menerkamku! Saking paniknya, aku tidak bisa bergerak. Aku seperti patung!
Untung saja Jake dan Marco tidak ikut bingung. Marco mencoba menangkap Fluffer, tapi kucing itu malah mencakar tangannya. Marco memekik kesakitan.
Kucing itu hampir terlepas. Tapi Jake cepat-cepat menyambar tengkuk Fluffer, dan Cassie segera menghampiri sambil membawa
kurungan kucing. Bertiga mereka berhasil mengurung Fluffer yang terus
mencakar-cakar dan mendesis-desis. Sementara itu aku mulai berubah wujud. "Tanganku berdarah!"
seru Marco. "Kita semua terluka," ujar Cassie tenang. "Kan sudah kubilang:
kucing bisa galak sekali kalau merasa terganggu." Tubhku melesat ke atas, kembali ke wujud asliku.
"Idih! Idih! Pokoknya, sampai kapan pun aku tak mau jadi cecurut lagi!" aku berseru begitu lidah dan bibirku kembali normal. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan ekorku juga telah
lenyap. Ternyata sudah. Aku kembali menjadi diriku sendiri. Aku memang cuma berbaju senam, dan kakiku pun tidak bersepatu, tapi
yang penting aku telah kembali berwujud manusia.
Aku merinding. Bulu kudukku berdiri mengingat perasaan panik dan lapar yang bercampur baur dalam otak si cecurut. Perutku
langsung mual. Aku hampir muntah. Jake menatapku dan geleng-geleng kepala. "Seharusnya aku
yang maju. Seharusnya aku yang mencoba memancing Fluffer supaya turun dari pohon. Dia pasti juga tertarik pada kadal."
Aku menggelengkan kepala. "Kau kan sempat panik waktu berubah jadi kadal,"
"Dan sekarang kau yang kalang kabut," sahut Jake. "Tapi jangan kuatir, kau pasti segera pulih. Paling tidak kau tidak sampai
makan labah-labah." "Yeah. Sudahlah, aku cuma capek, kok. Sekarang aku mau
menyadap kucing brengsek ini. Supaya urusan ini bisa cepat selesai." "Kau masih sanggup?" tanya Cassie. "Meniru dua binatang
dalam semalam?"
"Seharusnya kau tidak kuizinkan berubah jadi tikus. Maksudku, cecurut," ujar Jake. Ia masih merasa bersalah.
"Hei, aku sendiri yang mau, oke? Lagi pula, sejak kapan aku harus dapat izin darimu untuk melakukan sesuatu? Memangnya kau
siapa? Raja? Yang benar saja! Ayo, masih banyak yang harus kita kerjakan." Aku berdiri tegak dan memaksakan senyum. "Sekarang aku
lebih besar dari Fluffer. Coba kita lihat apakah dia masih berani macam-macam."
Tapi tampaknya Fluffer sudah capek membuat ulah. Ia tertidur di dalam kurungan. Tertidur lelap, seakan tidak terjadi apa-apa. Dasar
kucing. Ia malah mendengkur-dengkur ketika aku menyadap pola DNA-nya.
Setelah selesai, aku menyadari Cassie menatapku sambil
tersenyum. "Ada apa?" tanyaku.
"Aku cuma penasaran. Tampangmu sama sekali tidak berubah; padahal dalam dirimu sekarang ada gajah, cecurut, rajawali, dan
kucing. Empat jenis binatang. Paling banyak di antara kita semua." Ia mengerutkan kening. "Kita belum tahu banyak tentang kcmampuan
metamorfosis ini. Siapa tahu jumlah binatang yang bisa kita tiru terbatas."
"Lama-lama juga tahu," kilah Marco. "Mungkin kita akan tahu pada saat paling tidak menguntungkan."
Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah mereka benar. Perasaanku jadi tidak menentu. Aku memiliki kemampuan untuk
menjelma menjadi empat binatang berbeda. Di antaranya bahkan ada yang saling memangsa. Jangan-jangan ada pengaruhnya terhadap
diriku. Tiba-tiba aku lelah sekali. "Ehm, pola DNA Fluffer sudah
kusadap. Tapi mungkin lebih baik urusan selanjutnya kita selesaikan
besok malam saja. Aku... aku tidak yakin aku sanggup meneruskannya malam ini."
"Baik kalau begitu. Lain kali saja," ujar Jake. Ia tampak lega. Agaknya ia menguatirkan diriku. Memang begitulah sepupuku yang
satu ini. "Kalau begitu, Fluffer sudah bisa dilepas," kata Cassie. Ia
membuka pintu kurungan. Fluffer keluar dengan hati-hati. Setelah yakin keadaan aman, kucing itu lari dan menghilang di
kegelapan malam. "Dia pasti mau menghabisi cecurut tadi," Marco menduga-duga.
Aku langsung merinding.
Chapter 9
“AAAAAAAAH! Aaaaah! Aaaaaaaaah!"
"Bangun. Rachel, bangun!" " Aaah! Oh. Oh. Oh." Aku terduduk. Napasku tersengal-sengal.
Keadaan di sekelilingku gelap, tapi aku bisa melihat wajah Jordan. Ia membangunkan diriku.
Aku meraba-raba wajah. Bibir. Mata. Hidung. Aku menepuk-nepuk seluruh tubuhku. Tak ada bulu. Tak ada
ekor. Aku berwujud manusia. Manusia normal. Kemudian aku teringat mimpiku. "Oh. Oh," aku mengerang. Aku menyingkap selimut dan
bangkit dengan susah payah. Terseok-seok aku menuju ke pintu kamar mandi. Kamarku dan kamar Jordan dan Sara dihubungkan oleh kamar
mandi. Aku mencoba menghidupkan lampu, tapi tanganku tidak menemukan sakelarnya. Aku tidak tahan lagi. Langsung saja aku
berlutut di depan WC dan muntah. Jordan terus bertanya, "Kau tidak apa-apa, Rachel? Kau tidak
apa-apa? Mungkin lebih baik aku panggil Mom." "Jangan," ujarku begitu aku bisa bicara. "Tak usah. Aku tidak
apa-apa kok. Tidak perlu panggil Mom." Untung saja Sara kecil tidak ikut terbangun.
Aku menggosok gigi, lalu minum. Tersipu-sipu aku menatap Jordan. Kami sama sekali tidak mirip. Aku lebih mirip Dad, sedangkan Jordan lebih mirip Mom, dengan mata dan rambutnya yang
gelap. Ia tampak bingung bercampur cemas. "Aku tidak apa-apa," aku menegaskan. "Aku cuma mimpi buruk
tadi."
Jordan sedikit lebih tenang. "Mimpinya pasti mengerikan sekali."
"Mestinya, sih. Aku malah sudah lupa aku mimpi apa. Aku cuma ingat perutku mual waktu bangun."
"Ah, masa sih kau sudah lupa? Kau pakai jerit-jerit dan guling-guling di tempat tidur segala."
Aku angkat bahu. "Aku tidak ingat apa-apa. Sudahlah, kau tidur saja lagi."
Ia menatapku dengan serius. "Aku tahu aku dua tahun lebih muda, tapi kau pasti cerita kan kalau kau punya masalah? Aku takkan
cerita pada Mom. Aku bisa jaga rahasia." Aku tersenyum, lalu merangkulnya. "Aku percaya. Kalau aku
ada masalah, kau pasti akan kuberitahu." Perasaanku benar-benar tidak enak karena aku terpaksa membohongi Jordan. Aku mempercayai adikku. Aku yakin sekali ia bukan Pengendali.
Tapi tentu saja semula Jake pun berpikir begitu mengenai Tom. Kudekap adikku lebih erat. Aku muak karena setiap pikiranku
telah disusupi kecurigaan. Aku muak karena aku tidak bisa mempercayainya seratus persen.
"Selamat tidur," ujarku. "Terima kasih kau telah menyelamatkanku dari mimpi buruk tadi."
Jordan menuju ke pintu kamar mandi, tapi kemudian ia berbalik. Lampu kamar mandi yang terang-benderang menyinarinya
dari belakang. "Sebelum jerit-jerit tadi, kau sempat menyerukan sesuatu."
"Apa?" tanyaku waswas. Ia mengerutkan kening. "Kedengarannya seperti 'belatung'.
Atau sesuatu yang mirip itu."
Aku memaksakan senyum. "Sampai besok, Jordan." Aku kembali ke tempat tidur. Bantalku basah kuyup karena keringat.
Sepraiku juga terasa lembap.
Belatung. Belatung yang menggeliat-geliut dan merangkak kian kemari pada seonggok daging berbulu yang sudah membusuk. Dalam
mimpiku, onggokan daging itu bangkai kucing. Bangkai kucing yang sedang digerogoti belatung.
Lalu muncul seekor cecurut. Cecurut yang langsung asyik melahap bangkai serta belatung-belatung yang berkerumun.
Dalam mimpi pun aku tahu: akulah cecurut itu. ****
"Kau kelihatan capek," kata Jake keesokan paginya. Kami sama-sama naik bus sekolah.
"Thanks," sahutku kesal. "Kau kurang tidur, ya?"
"Bisa jadi, kalau tampangku memang separah yang kaukatakan."
"Aku tidak bilang tampangmu parah. Aku cuma bilang kau
kelihatan capek." Ia terdiam, lalu melirik ke belakang untuk melihat apakah ada yang menguping percakapan kami. Untung saja suasana di
dalam bus cukup ramai. Jake merendahkan suara dan mencondongkan badan ke arahku. "Kau tidak apa-apa, kan? Maksudku, soal cecurut
semalam?" "Kenapa? Hanya karena aku cewek, kaupikir aku lebih
gampang terpengaruh daripada kau atau Marco?" "Bukan, bukan begitu," Jake membantah. "Aku cuma... ehm,
waktu aku berubah jadi kadal, pikiranku agak kacau. Sampai berhari-hari sesudahnya. Aku sempat mimpi buruk..."
"Mimpi buruk?" ujarku. Suaraku agak terlalu keras. Cepat-cepat aku merendahkan suara lagi. "Mimpi buruk?"
"Oh, yeah. Aku juga mimpi macam-macam waktu aku jadi
harimau, tapi bukan mimpi buruk." "Mimpinya seperti apa?"
Ia tersenyum. "Mimpinya menyenangkan. Aku menjelajahi hutan gelap di malam hari. Untuk berburu. Aku bertekad menangkap
mangsaku, tapi kalau gagal juga tidak apa-apa. Aku sudah senang bisa berlari dan mengendap-endap di hutan."
Aku mengangguk. "Perasaanku juga begitu setelah aku menjelma jadi gajah. Aku merasa begitu besar dan tak terkalahkan.
Rasanya aku tidak takut pada apa pun." "Tapi cecurut pasti lain, kan?"
"Ya. Mungkin karena setiap binatang punya watak berbeda. Ada yang cocok untuk otak manusia, ada juga yang kurang cocok."
Aku diam sejenak dan memandang keluar jendela. "Kautahu apa yang membuatku gelisah?" tanyaku.
Di luar dugaanku, Jake mengangguk. "Yeah. Kau takut suatu hari kita harus berubah jadi serangga."
Aku merinding. "Ih, tidak terbayang deh. Aku yakin aku takkan
sanggup." "Yang jelas, tugasmu yang berikut adalah menjelma jadi
kucing. Tobias pernah jadi kucing. Katanya sih asyik. Dia suka. Sama seperti aku senang jadi anjing. Kadang-kadang, kalau aku lagi sebal,
aku ingin berubah jadi anjing saja. Anjing selalu bisa bersenang-senang.
Bus kami berhenti di depan gedung sekolah. "Kembali ke sekolah. Kembali ke kehidupan normal." Aku mengamati anak-anak
yang berkerumun di halaman dan di tangga. Kemudian aku melihat Melissa.
"Sampai nanti, Jake," ujarku. "Thanks." "Sama-sama. Kita memang harus saling mendukung." Aku turun dari bus dan bergegas menghampiri Melissa. Tapi
setelah dekat, kulihat matanya merah dan sembap. Rupanya ia habis menangis.
"Hei, Melissa, apa kabar?"
Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Apa?" "Aku tanya bagaimana kabarmu."
Ia menggelengkan kepala, seakan-akan heran aku menyapanya. "Sejak kapan kau peduli?"
"Melissa. Tentu saja aku peduli. Ada apa, sih?" Matanya menerawang. Pandangannya seakan-akan menembus
diriku. "Ada apa? Semuanya kacau. Semuanya beres, tapi sekaligus kacau."
"Apa sih maksudmu?" "Sudahlah, lupakan saja," katanya. Ia berbalik.
Cepat-cepat aku meraih lengannya. "Ceritalah. Aku kan tetap temanmu. Tak ada yang berubah."
"Jangan ganggu aku," ia menyahut geram. "Semuanya sudah berubah. Semua orang sudah berubah. Kau bukan temanku lagi. Dan Mom dan Dad..."
"Ada apa dengan mereka?" tanyaku. Bel sekolah berdering nyaring.
"Aku harus masuk." Ia melepaskan lengannya dari peganganku. Apa lagi yang bisa kulakukan? Kubiarkan ia pergi. Tapi dalam
hati aku bertanya-tanya. Apa yang hendak ia katakan tentang ayahnya. Mungkinkah ia sudah tahu rahasia ayahnya?
Sambil termenung aku menaiki tangga menuju pintu utama. Aku berjalan sambil menunduk, tidak memperhatikan langkahku.
Akibatnya aku bertabrakan dengan seseorang saat melewati pintu. "Hei, hati-hati, Nona."
"Mr. Chapman!" Aku langsung mundur karena ngeri. Orang inilah yang pernah memberi perintah kepada prajurit
Hork-Bajir untuk membunuh kami semua kalau kami tertangkap.
Prajurit itu cukup membawa kepala kami untuk diidentifikasi. Hal seperti itu sulit dilupakan.
Chapman menatapku. "Ada apa Rachel? Kau kelihatan agak tegang pagi ini."
Aku mengangguk. "Ya,Sir. Saya kurang tidur semalam." "Mimpi buruk?" ia bertanya.
Mulutku kering-kerontang. "Ya, Mr. Chapman." Ia mengembangkan senyum, senyum yang tampak biasa.
"Sudahlah, lupakan saja. Mimpi buruk hanya mimpi, bukan kenyataan."
"Biasanya memang begitu," aku bergumam pelan.
Chapter 10
MALAM berikutnya kami tidak bisa ke rumah Chapman karena
Marco dan aku banyak PR. Dan lusanya, ayah Cassie berulang tahun. Tapi akhirnya kami kembali berkumpul di jalan di depan rumah
Chapman, pukul delapan kurang sedikit. Fluffer ada di luar rumah. Ia sedang mengendus-endus tiang
pagar di ujung jalan yang dikencingi kucing lain. Paling tidak, begitulah laporan Tobias.
"Siap?" tanya Jake padaku. Aku mengangguk. "Kau yakin?" tanya Cassie. "Kalau perlu, bisa kita tunda. Tidak
harus malam ini kok." "Lebih cepat lebih baik," ujarku. "Kita sudah tahu ada yang
tidak beres di sini. Dan Melissa temanku. Barangkali aku bisa berbuat sesuatu untuk menolongnya."
"Tugasmu bukan menolong Melissa Chapman," sergah Marco. "Tugasmu memata-matai Chapman. Kau harus mencari jalan untuk
mendatangi kaum Yeerk, supaya kita semua bisa berubah jadi binatang dan dibantai ramai-ramai."
"Aku tahu yang harus kulakukan, Marco," sahutku. Ia mengangguk. "Oke. Tapi hati-hatilah. Kau berhadapan
dengan wakil kepala sekolah. Kalau dia tahu kau berubah jadi kucing dan menyusup ke rumahnya, kau akan dihukum. Seperti aku. Tapi lebih lama, sampai tahun depan."
Kami tertawa. Hukuman mengerjakan PR sampai tuntas di sekolah tidak lagi menakutkan bagi kami. Kadang-kadang Marco
memang menjengkelkan, tapi di pihak lain, ia bisa membuat kami tertawa pada saat kami benar-benar membutuhkan tawa.
"Aku siap," ujarku. Aku melambaikan tangan ke langit malam yang gelap. Tobias meluncur turun. Ia merentangkan sayap untuk
mengurangi kecepatan, lalu bertengger di atas pagar di samping kami. "Bagaimana situasinya, Tobias?" tanya Jake.
<Aman. Kucingnya jauh dari rumah. Tidak ada pejalan kaki, kecuali di ujung Loughlin Street. Ada beberapa mobil, tapi tak ada
yang menuju kemari.> "Sebenarnya kau dan aku bisa kerja sama," kata Marco kepada
Tobias. "Kita jadi maling, dan Jake jadi Spiderman yang berusaha menangkap kita."
"Oke, kita sudah bisa mulai," aku berkata sekali lagi. Tobias mengirimkan pesan melalui pikirannya. <Rachel, kalau
ada yang tidak beres, lari saja keluar. Aku akan mengangkat dan
membawamu ke tempat aman.> Aku siap-siap berubah wujud. Kupusatkan pikiran pada Fluffer.
Seketika aku teringat bagaimana kucing itu melompat dari pohon saat hendak menerkamku ketika aku jadi cecurut.
Pola DNA Fluffer sudah tersimpan dalam tubuhku dan siap digunakan. Aku tinggal konsentrasi... konsentrasi....
Proses metamorfosis selalu beda. Terutama kalau kita untuk pertama kali meniru seekor binatang. Cassie pun tidak sanggup
mengendalikan perubahannya yang pertama. Kali ini, yang pertama muncul adalah bulu. Mula-mula bulu
hitam, lalu bulu putih. Aku masih bersosok manusia ketika sebagian besar tubuhku sudah tertutup bulu kucing. Tanganku. Kakiku. Wajahku. Bulu dan kumis kucing.
"Wow, keren!" seru Cassie. Ia menatapku sambil tersenyum lebar. "Keren sekali!"
Marco dan Jake mengangguk-angguk.
"Agak ajaib, tapi bagus," puji Marco. "Mestinya kau jadi bintang iklan makanan kucing. Menyanyi sedikit, menari sedikit.
Morris the Cat pasti kalah deh. Kau tidak punya saingan." Aku mulai mengerut. Bajuku berjatuhan. Tapi anehnya, aku
tidak merasa tubuhku semakin kecil. Aku justru merasa tambah kuat. Aku merasa bebas. Bebas dari kakiku yahg panjang dan kaku.
Lenganku yang tidak bertenaga. Bahkan tubuhku tak lagi seperti sekumpulan daging dan tulang.
Aku serasa terbuat dari baja cair. Tak ada perasaan ngeri. Tidak seperti ketika aku menjelma jadi
cecurut. Tapi aku juga tidak merasa paling hebat seperti ketika aku jadi gajah atau elang.
Ini lain. Memang ada perasaan takut. Tapi di baliknya terdapat rasa percaya diri yang besar. Sang kucing sadar ia punya musuh, namun ia yakin ia sanggup menghadapi musuh-musuhnya.
Aku merasa... kuat. Ya, kuat. Kemudian indra sang kucing mulai bekerja.
<Hei!> aku berseru kaget. <Tiba-tiba semua jadi terang benderang! Wow! Semua kelihatan jelas sekali.>
"Pada malam hari, mata kucing hampir delapan kali lebih kuat daripada mata manusia," Cassie menjelaskan. "Aku pernah
membacanya di sebuah buku." "Delapan kali?" Marco mengulangi. "Bukan tujuh, atau
sembilan kali? Bagaimana cara mengukurnya?" Tapi bukan cuma penglihatan yang mengejutkan. Yang tak
kalah aneh adalah apa yang kulihat. Manusia cenderung mengamati hal-hal tertentu, misalnya
warna. Kucing pun bisa melihat warna, tapi warna tidak menarik
baginya. Reaksinya cuma, oke, benda itu merah. Terus kenapa? Kucing lebih tertarik pada gerakan. Gerakan sekecil apa pun
pasti diketahui olehnya. Aku berdiri di rumput dan memandang
berkeliling dengan mata kucingku yang besar, dan di mana-mana aku melihat gerakan. Aku melihat setiap batang rumput yang bergoyang
karena tiupan angin. Aku melihat setiap serangga yang merayap pada batang-batang rumput itu. Aku melihat setiap burung yang
merentangkan sayap di pohon-pohon. Dan aku melihat setiap tikus dan setiap tupai yang ada di sekitarku.
Kira-kira lima meter dariku mendekam seekor tikus. Aku bisa melihat setiap helai kumis yang berkedut ketika tikus itu mengerut-
ngerutkan hidung. Semua yang tidak bergerak sama sekali tidak menarik bagiku.
Seandainya tikus di hadapanku diam saja, aku akan lupa ia ada di situ. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Jake.
Suaranya terdengar jelas sekali. Tapi ucapannya tidak bermakna. Lalu aku mendengar bunyi berderik. Rupanya tikus tadi sedang menggerogoti biji pohon yang jatuh ke rumput.
Bunyi itulah yang menarik perhatianku. Sangat menarik perhatianku.
"Rachel, kau dengar, tidak? Ini aku, Cassie." <Ya, aku bisa mendengar suaramu. Tapi aku agak sulit
konsentrasi. Begitu banyak yang bisa didengar, dilihat, diendus-endus.>
"Hmm, paling tidak, dia tidak lari kalang kabut seperti cecurut waktu itu," ujar Marco.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu di atasku, sebuah sosok, sebuah bayangan. Secepat kilat aku menoleh. Telingaku merapat ke
kepala. Bulu di punggungku berdiri tegak, dan ekorku mengembang sampai tiga kali ukuran sesungguhnya. Aku mengeluarkan cakar. Lalu aku menyeringai dan memamerkan gigi taringku.
Semua itu terjadi dalam waktu sepersekian detik. Aku siap bertempur.
Dan apa pun yang menyerangku akan kubuat menyesal seumur hidup karena telah berani mengganggu Fluffer McKitty.
"Hhhhhisssss!
Chapter 11
AKU siap menyambut musuh. Aku siap bertarung sampai mati.
Membunuh atau dibunuh. Perasaanku bergelora ketika aku mengeluarkan cakarku yang
setajam pisau cukur. "Tenang, Rachel. Tenang. Itu cuma Tobias," kata Cassie
menenteramkan. "Halo Tobias? Lebih baik kau jangan dekat-dekat dulu," ia berseru ke arah langit. "Secara naluri, kucing memang takut
pada burung besar." Cassie benar. Aku takut melihat bayangan Tobias. Ketakutan
serupa juga kurasakan waktu aku menjelma sebagai cecurut.
Tapi ketakutan seekor kucing berbeda. Ketakutanku kali ini bercampur baur dengan kemarahan. Entahlah, aku tidak bisa
menjelaskannya. Yang kutahu cuma aku mendesis untuk menyampaikan pesan. Dan pesannya adalah, "Jangan ganggu aku.
Boleh saja badanmu lebih besar dariku. Boleh saja kau membuatku takut dan memaksaku lari, tapi aku siap melawan kalau terpaksa."
Itulah pesan seekor kucing kepada dunia: jangan ganggu aku. Jangan sentuh aku kalau aku lagi tidak mau disentuh, jangan halangi
keinginanku. Aku betul-betul mandiri. Aku tidak butuh apa-apa selain diriku
sendiri. Aku sepenuhnya bebas. <Aku tidak apa-apa,> aku berkata kepada Cassie. <Aku sudah
bisa mengendalikan diri sekarang.>
"Bagaimana rasanya jadi kucing?" tanya Cassie. <Rasanya seperti... ehm, kau pernah nonton film koboi yang
dibintangi Clint Eastwood? Dia jago tembak. Ketika ia masuk ke bar,
semua orang langsung menyingkir. Dia tidak mau cari perkara, tapi sebaiknya dia juga jangan diganggu. Nah, kira-kira begitu rasanya.
Aku seperti Clint Eastwood.> "Bagaimana, Rachel? Kau sanggup meneruskan rencana kita?"
tanya Jake. <Oh, yeah. Aku sanggup melakukan apa saja.>
"Jangan sampai kau dapat masalah karena terlalu yakin," Marco mewanti-wanti. "Kau mungkin merasa hebat sebagai kucing, tapi
musuh kita bukan orang biasa." "Marco benar, Rachel," Cassie menambahkan. "Pikiranmu
harus terfokus. Kau tidak boleh gegabah." Aku melirik ke arah tikus tadi. Aku yakin aku bisa
membunuhnya. Tikus kecil gendut itu bukan lawan sepadan bagiku. Tapi ia beruntung. Aku sedang tidak lapar, dan karena itu ia selamat—untuk sementara.
<Beres,> sahutku. "Pokoknya, kami siap menolongmu kalau ada kesulitan," ujar
Cassie. <Oke, aku akan meong-meong kalau butuh bantuan. Tapi
jangan kuatir. Naluri Fluffer sudah bisa kukendalikan. Semua pasti beres.>
Tapi sebenarnya aku bohong. Cuma sedikit sih bohongnya. Naluri Fluffer belum sepenuhnya kukendalikan. Dan entah kenapa,
aku memang tidak ingin. Kesombongan Fluffer membuatku lebih yakin. Dan aku memang tidak boleh ragu-ragu menghadapi tugas ini.
"Oke, waktumu cuma dua jam," Cassie mengingatkan. "Sekarang jam delapan lewat seperempat. Jangan lupa itu."
Aku mulai menyusuri trotoar, menuju ke rumah Chapman.
Langkahku ringan sekali. Wah, coba kalau tubuhku selentur ini pada saat senam, pikirku.
Kucing memiliki keanggunan alami yang tak terbayangkan oleh manusia. Aku melewati pagar kayu.
Bagian atasnya berupa balok kayu yang membentang sepanjang pagar. Tingginya kira-kira satu meter dari trotoar. Aku menatap balok
itu dan kemudian, sebelum sempat pikir-pikir, aku melompat. Kaki belakangku menekuk sedikit untuk mengambil ancang-ancang, lalu
melontarkan tubuhku ke udara. Aku melesat. Satu meter tegak lurus ke atas, padahal sebagai
kucing tinggi badanku cuma tiga puluh senti. Untuk ukuran manusia, itu sama saja dengan melompat ke atas gedung berlantai dua.
Dan itu belum apa-apa. Aku lompat cuma karena ingin lompat. Aku ingin mendarat pada balok kayu selebar lima senti, dan tentu saja
tidak ada masalah. Dibandingkan kucing, pesenam terbaik yang pernah ada pun
tetap berkesan serbakikuk dan canggung.
"Ehm, Rachel, sedang apa kau?" tanya Jake. Mereka semua menatapku. Aku sama sekali lupa mereka masih
di dekatku. <Cuma latihan,> jawabku. Aku melompat turun ke rumput.
Oke, kataku dalam hati, selesaikan dulu tugasmu. Habis itu, baru kau boleh memikirkan Olimpiade Kucing.
Aku kembali menuju ke rumah Chapman, tapi lagi-lagi ada sesuatu yang membuat perhatianku beralih. Aku mencium bau sangat
menarik. Asalnya dari tiang telepon di pinggir trotoar. Tanpa pikir panjang aku menghampiri tiang itu dan mengendus-endus. Udara yang
kuhirup menyusup ke lekuk-lekuk rongga hidungku dan tertahan di situ, meskipun aku terus bernapas. Dengan cara itu aku bisa mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari bau itu.
Hmm, baunya jelas-jelas bau kucing jantan. Ada kucing jantan yang menandai tiang ini dengan mengencinginya. Wah, kucing jagoan
nih. Baunya membuatku gelisah. Aku bukannya takut, hanya agak
was-was. Seandainya kucing itu muncul, aku terpaksa mengalah. Aku harus menunduk dan menghormati kedudukannya yang lebih tinggi.
Atau bisa juga aku nekat melawan dan dihajar habis-habisan. Hanya ada dua pilihan.
Aku kembali menuju ke rumah Chapman. <Rachel, kau yakin sanggup mengendalikan naluri Fluffer?>
Suara Tobias bergaung di dalam kepalaku. <Kenapa kau berhenti dan mencium-cium tiang itu?>
<Kupikir gerak-gerikku harus seperti kucing sungguhan,> ujarku. <Aku cuma bersandiwara.>
<Hmm, oke,> ia menyahut dengan nada ragu. <Tapi ingat: berubah jadi binatang memang asyik kalau cuma untuk sementara.
Lain soal kalau untuk selama-lamanya. Waktumu cuma dua jam.> Peringatan Tobias segera membuatku sadar. Aku serasa disiram
air dingin. Aku memusatkan pikiran manusiaku untuk mengendalikan
naluri Fluffer. Tapi itu tidak mudah. Soalnya kucing tidak mengenal kata patuh.
Karena itu aku memanfaatkan sesuatu yang pasti dipahami oleh setiap kucing. Aku mengingat-ingat bau kucing jantan jagoan yang
kucium tadi. Dan benar saja, dorongan naluri Fluffer langsung mereda. Akal sehat manusiaku mulai memegang kendali.
<Kau sudah hampir sampai,> kata Tobias. <Kau sudah di pekarangan yang tepat.>
<Ya, aku tahu. Bauku ada di mana-mana. Seluruh tempat ini berbau aku. Ini rumahku. Semua ini milikku.>
<Rachel, semua itu milik Chapman. Dan Chapman milik Visser Three. Jangan lupa itu.>
Aku menuju ke pintu kucing. Chapman. Visser Three. Hah,
siapa takut? Aku merupakan gabungan antara Rachel dan Fluffer. Kenapa mesti peduli soal Chapman dan Visser Three?
Lampu di dalam rumah terang-benderang. Mataku langsung menyesuaikan diri. Hidungku mencium bau makanan kucing, tapi
sudah terlalu kering dan lama sehingga tak mengundang seleraku. Aku juga mencium bau orang-orang yang tinggal di sini: Melissa, Mr.
Chapman, dan Mrs. Chapman. Jangan tanya bagaimana aku tahu. Pokoknya aku tahu.
Aku melihat kecoak di tengah debu dalam kegelapan di bawah lemari es, tapi aku tidak tertarik. Kecoak cuma asyik untuk ditonton.
Apalagi kalau mereka sedang lari. Tapi baunya salah. Kecoak bukan mangsa.
Sebuah bayangan berkelebat! Kaki. Kaki manusia. Tanpa perlu menoleh aku langsung tahu
bahwa itu Mrs. Chapman. Bunyi bernada tinggi terdengar dari motor lemari es. Bunyinya
mengganggu. Kecuali itu terdengar suara burung di luar. Mereka
membuat sarang di bawah atap. Kemudian aku mendengar suara Melissa.
Di mana Melissa? Aku tidak melihatnya. Suaranya juga cuma terdengar sayup-sayup.
Aku konsentrasi. Telingaku berputar ke arah asal bunyi itu. Ternyata dari atas. Suara Melissa berasal dari tempat jauh, di atasku.
Ia berada di kamarnya. Ucapannya tidak terdengar jelas, tapi aku tahu ia sedang bergumam-gumam sendiri.
Aku melintasi dapur. Sebagai Rachel, aku tahu aku seharusnya takut. Tapi tidak mungkin. Segala sesuatu di sini berbau aku. Bau khas
itu melekat pada daun pintu, lemari, kursi, dan membuatku tenang. Bau kucing jagoan tadi tidak tercium di sini. Tidak ada kucing
selain aku di sini. Yang ada hanya bau manusia, dan bau itu tidak
penting. Aku keluar dari dapur dan berhenti di pojok antara koridor dan
ruang keluarga. Chapman ada di situ, di ruang duduk. Aku bisa
mencium baunya. Ia sedang duduk di sofa. Aku menatapnya sepintas lalu, kemudian kembali berjalan.
Tapi kemudian aku berhenti. Akal sehat manusiaku mengatakan ada yang tidak beres. Chapman cuma duduk di sofa. Tak ada TV. Tak
ada musik. Ia tidak membaca buku atau koran. Ia cuma duduk. Aku kembali ke dapur dan mengamati Mrs. Chapman. Ia
sedang mengerjakan sesuatu di tempat cuci piring. Mungkin mencuci piring. Oh bukan, ia sedang memotong-motong sayuran. Tapi sekali
lagi tak ada TV. Tak ada musik. Ia juga tidak bersenandung atau bicara sendiri, seperti yang selalu dilakukan ibuku kalau ia bekerja di
dapur. Aneh sekali. Aku semakin yakin ada yang tidak beres dengan
Mr. dan Mrs. Chapman. Aku berbalik lagi. Di ujung koridor ada tangga yang menuju ke
kamar-kamar di lantai dua. Suara Melissa terdengar lebih jelas di sini.
Aku memusatkan pikiran. Aku berusaha mengabaikan kicau burung dari sarang di bawah atap. Seluruh perhatianku tertuju pada suara
Melissa. "...dibagi akar kuadrat... oh, bukan. Akar kuadrat dikali... Ah,
bagaimana sih ini?" Ia sedang membuat PR. Jelasnya PR matematika.
Mestinya aku juga, pikirku. Sekonyong-konyong aku diserang rasa bersalah. Aku bukannya membuat PR malah menyusup ke rumah
temanku untuk memata-matai keluarganya. Aku berusaha mencari jam. Waktuku dua jam, sampai pukul
sembilan empat lima. Dan jauh sebelumnya aku sudah ingin kembali ke tubuhku yang asli. Mudah-mudahan aku masih sempat membuat PR matematika dan membaca buku pelajaran IPS. Aku melihat jam
yang tergantung di atas perapian, di antara foto-foto keluarga Chapman. Jarumnya menunjukkan pukul delapan kurang tiga menit.
Masih banyak waktu.
Sebuah gerakan mendadak membuatku terkejut. Oh, rupanya Chapman berdiri.
Chapman sama sekali tidak menarik bagi seekor kucing. Tapi aku memaksakan diri untuk memperhatikannya. Aku harus
mengawasi gerak-geriknya. Itulah tujuan kedatanganku ke rumahnya. Apakah ia termasuk mangsa? tanya otak kucing di dalam
kepalaku. Ya. Ya, otak manusiaku segera menyahut.
Chapman mangsa kami.
Chapter 12
AKU mengikuti Chapman menyusuri koridor. Ia sama sekali
tidak menggubrisku. Tidak melihatku, atau ia memang tidak peduli. Ia membuka pintu, dan seketika aku mencium aneka bau.
Kelembapan. Jamur. Serangga. <Rachel? Bagaimana keadaan di dalam sana?>
Aku tersentak kaget. Gerakan yang tidak lazim bagi seekor kucing.
Ternyata Tobias. Aku bisa mendengar pikirannya, berarti ia cukup dekat denganku. Mungkin ia bertengger di atas atap atau di dahan pohon di sekitar rumah. Aku pasang telinga. Burung-burung di
bawah atap mendadak terdiam. Mereka takut elang. <Aku baik-baik saja,> sahutku. <Tapi aku kaget setengah
mati.> <Sori. Aku cuma kuatir.>
<Tenang saja. Aku akan menyusul Chapman ke ruang bawah tanah.>
<Untuk apa? > <Karena dia mau ke situ,> jawabku ketus. Entah kenapa, suara
Tobias yang bergaung dalam kepalaku membuatku terganggu. Suara itu memaksaku membagi perhatian, padahal itu sulit kulakukan. Otak
kucingku sama sekali tidak menggubris ucapan Tobias. Otak kucingku justru menyuruhku segera turun dan memeriksa ruang bawah tanah. Untung saja, otak manusiaku berkeinginan sama.
Aku menyusul Chapman ke bawah. Tapi berjalan menuruni tangga kayu dengan kepala lebih dulu membuatku gamang. Rasanya
aneh sekali.
<Begini, Tobias, aku bukannya tidak senang kau menjagaku. Tapi saat ini aku lagi agak sibuk.>
<Aku mengerti. Eh, suaramu semakin tidak jelas. Kau menjauh dariku.>
<Yeah, aku lagi turun tangga.> Aku menunggu. Tobias diam saja. <Tobias?> aku memanggil. Tapi tak ada jawaban. Kami belum
sepenuhnya menguasai proses bicara melalui pikiran. Kami tahu "suara" kami terdengar hanya sampai jarak tertentu, tapi kami belum
pasti seberapa jauh jarak itu. Dinding ruang bawah tanah dilapisi panel-panel kayu. Langit-
langitnya tidak dicat dan penuh sarang labah-labah. Sayangnya tidak ada tikus. Tak ada mangsa. Tapi cukup banyak yang bisa dikejar-
kejar. Chapman mangsa kami, aku berkata dalam hati. Chapman yang
harus kami buru.
Aku melihat semacam ruang TV dengan meja biliar dan beberapa kursi tua serta sofa. Tampaknya perabot itu sudah lama tidak
digunakan. Tak ada bau manusia yang melekat. Semua penuh debu. Di dalam pesawat TV malah terdengar suara labah-labah.
Hanya ada satu bagian ruang bawah tanah yang tampaknya sering dilewati. Aku bisa mencium jejak yang ditinggalkan sepatu
Chapman. Chapman melintasi ruang bawah tanah, dan berhenti di depan
pintu sederhana bercat putih. Ia mengeluarkan seikat kunci dari kantong.
Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Satu setengah meter setelah pintu putih itu, terdapat pintu kedua. Pintu ini terbuat dari baja mengilap. Kelihatannya seperti pintu lemari besi di bank.
Di samping pintu baja ada bujur sangkar kecil berwarna putih yang diterangi lampu dari dalam. Chapman menempelkan tangan ke
bujur sangkar itu.
Seketika pintu baja itu bergeser masuk ke dalam dinding, persis pintu-pintu dalam film Star Trek.
Aku tahu aku harus mengikutinya. Tapi akal sehat manusiaku melarang. Sementara otak kucingku tidak melihat perlunya masuk ke
tempat gelap itu. Tempat itu seperti perangkap. Dan aku kuatir aku takkan bisa keluar lagi.
Tapi aku harus masuk. Aku harus menyelidiki apa yang dilakukan Chapman di situ. Justru itu tujuanku menyusup ke dalam
rumahnya. Pada saat terakhir, tepat ketika pintu itu hampir menutup, aku
melompat masuk. Mula-mula keadaannya gelap gulita, namun bagiku bukan
masalah. Lalu Chapman menyalakan lampu bercahaya redup. Anehnya, aku justru bisa melihat lebih jelas dalam gelap dibandingkan setelah lampu itu dihidupkan.
Aku melihat meja yang menempel ke dinding. Meja itu terbuat dari baja kelabu, dan bentuknya bukan seperti meja biasa. Ada
sejumlah panel berlampu kecil dengan aneka warna cerah. Selain itu ada lampu sorot kecil namun rumit yang tergantung dari langit-langit.
Di depan meja ada kursi. Kursi kantor biasa. Chapman langsung mendudukinya.
Tangannya meraba panel biru. Kemudian ia menatap arlojinya, dan menyandarkan punggung. Tampaknya ia menunggu sesuatu.
Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Aku mencoba bersikap acuh tak acuh, seakan-akan aku cuma kebetulan masuk ke ruangan itu. Aku
juga berusaha supaya aku tetap di belakang Chapman, sehingga ia tidak melihatku.
Aku teringat pesan Jake. Orang lain pasti menyangka aku cuma
kucing biasa. Tapi Chapman tahu soal metamorfosis. Kaum Yeerk tahu tentang teknologi morph yang dikembangkan kaum Andalite.
Jika Chapman atau Pengendali mana saja melihat binatang yang bertingkah tidak biasa, mereka pasti langsung curiga.
Sekonyong-konyong ada cahaya terang benderang. Mata kucingku segera menyesuaikan diri, tapi aku tetap
kesilauan. Cahaya itu berasal dari lampu sorot kecil tadi. Chapman memutar kursinya dan menghadap lampu itu.
Cahayanya mulai berubah. Aku mulai melihat sosok dengan berbagai warna.
Empat kaki muncul. Disusul tubuh berbulu kebiruan. Tangan berjari banyak. Wajah datar berkesan cerdas, tanpa mulut dan dengan
celah-celah sebagai pengganti hidung. Mata utama yang sipit dan menyorot tajam.
Selanjutnya menyusul mata-mata tambahan pada ujung tanduk-tanduk yang bisa berputar untuk mengamati sekeliling. Dan yang terakhir adalah ekor yang melengkung mengerikan, mirip ekor
kalajengking. Sosok Andalite. Tepat seperti pangeran Andalite yang memberi
kami kemampuan berubah wujud. Tapi aku tahu ini bukan Andalite sejati. Dan serta-merta aku
dicekam perasaan ngeri. Ini bukan Andalite sungguhan. Ini satu-satunya tubuh Andalite
yang berhasil dirampas dan diambil alih kaum Yeerk. Ini satu-satunya Pengendali-Andalite yang ada di seluruh galaksi.
Inilah Visser Three. Pemimpin pasukan Yeerk yang berniat menaklukkan Bumi. Makhluk jahat yang bisa menjelma menjadi
monster-monster dari seluruh pelosok jagat raya. Inilah Visser Three, makhluk keji yang tega membunuh sang
pangeran Andalite yang sudah tak berdaya.
Inilah Visser Three, makhluk bengis yang nyaris membunuh kami semua di neraka kolam Yeerk.
"Selamat datang, Visser," Chapman berkata dengan nada penuh hormat. "Iniss dua dua enam dari kolam Sulp Niaar menundukkan
kepala di hadapanmu. Semoga engkau senantiasa diberkahi sinar Kandrona."
"Begitu pula kau, Iniss dua dua enam," Visser Three menyahut. Aku terkejut karena bisa mendengar suara Visser Three. Tubuh
Andalite yang ditumpanginya tidak punya mulut. Kaum Andalite berkomunikasi melalui pikiran, sama seperti aku saat sedang berubah
wujud. Kejutan kedua adalah nama panggilan itu. "Iniss dua dua enam." Itu pasti nama Yeerk yang menguasai Chapman.
Sementara itu, otak kucingku sibuk memikirkan pertanyaan lain. Apakah Visser Three benar-benar hadir di sini? Hmm, rasanya
sih tidak. Aku tidak mencium bau apa pun. Sosok di hadapanku cuma permainan cahaya dan bayangan.
Aku tahu yang kuhadapi sebuah hologram. Tapi hologram itu
sangat menyakinkan. Visser Three tampak seperti aslinya. Ia memandang berkeliling seakan-akan bisa melihat segi ruangan.
Aku hanya bisa berharap ia tidak menatapku. "Laporanmu, Iniss."
"Baik, Visser." Sebagian dari diriku ingin segera angkat kaki. Kehadiran Visser
Three, walaupun hanya dalam bentuk hologram, bisa membuat kita gemetaran ketakutan. Tapi setelah tahu yang kuhadapi hanya
bayangan, otak kucingku tak lagi menaruh perhatian padanya. Aku mengerti kenapa aku bisa mendengar suara Visser Three—
proyektor hologram yang digunakan Chapman rupanya tidak mampu memancarkan pikiran. Karena itu pesan Visser Three secara otomatis diterjemahkan menjadi ucapan biasa.
"Kau sudah berhasil melacak gerombolan bandit Andalite?" "Belum, Visser. Sampai sekarang belum ada kemajuan.
Aku tahu siapa yang mereka maksud dengan "bandit Andalite". Kami, para anggota Animorphs.
"Mereka harus ditemukan. SECEPATNYA!" Chapman tersentak kaget mendengar bentakan Visser. Aku bisa
mencium bau ketakutan yang menyebar dari tubuhnya. Kemudian Visser Three melanjutkan dengan nada lebih tenang,
"Ini tidak bisa dibiarkan, Iniss dua dua enam, tidak bisa. Cepat atau lambat kabar ini akan terdengar oleh Dewan Tiga Belas. Dan mereka
akan bertanya-tanya kenapa aku melaporkan semua pesawat Andalite di sekitar planet ini telah dihancurkan dan semua Andalite telah tewas.
Mereka akan curiga. Mereka akan marah. Dan kalau Dewan Tiga Belas marah padaku, aku akan marah padamu."
Chapman tampak gemetaran. Aku mencium bau keringat manusia. Tapi kecuali itu ada bau lain. Bau yang bukan bau manusia. Samar-samar... mungkinkah aku sedang mencium bau Yeerk yang
bercokol dalam kepala Chapman? Ah, tidak mungkin deh. Hmm, bau apa itu? Aku memusatkan
pikiran kucingku untuk menganalisis bau tersebut. "Apa itu?"
Chapman memutar kursinya. Aku menoleh dan membelalakkan mata. Chapman memandang
tepat ke arahku. Lebih gawat lagi, mata tambahan Visser Three juga terfokus pada diriku.
"Makhluk ini disebut kucing," Chapman berkata dengan gelisah. "Spesies ini biasa dijadikan piaraan di Bumi. Kaum manusia
suka kucing." "Kenapa dia ada di sini?" "Dia milik gadis itu. Putriku... ehm, putri induk semangku."
"Hmm, begitu," ujar Visser Three. "Ya sudah, bunuh saja. Sekarang juga."
Chapter 13
BUNUH saja. Sekarang juga.
Hampir saja aku kabur tunggang langgang. Hampir saja aku panik.
Tapi berkat kecerdikan kucing dan akal sehatku sendiri, aku bisa lolos dari bahaya maut.
Aku tidak bereaksi sama sekali. Andaikata aku bergerak, biarpun cuma sedikit, nyawaku tentu langsung melayang. Itu sudah
pasti. Kalau dari sikapku terlihat aku memahami ucapan mereka, Visser Three dan Chapman akan segera tahu aku bukan kucing biasa.
Hologram Visser Three mengamatiku dengan saksama.
Keempat mata Andalite-nya menatapku tanpa berkedip. Raut mukanya sih berkesan lemah lembut, tapi aku tahu di baliknya
tersembunyi makhluk Yeerk yang keji. Chapman juga memandangku. Sorot matanya sama seperti ia
memandang murid yang tertangkap basah saat hendak membolos. Aku—Rachel, maksudnya—benar-benar ngeri. Tapi Fluffer
sama sekali tidak peduli. Fluffer bisa merasakan kecemasan otak manusiaku, tapi ia sendiri tenang-tenang saja. Tak ada burung
pemangsa di sini. Tak ada anjing. Tak ada bau kucing jagoan. Yang ada cuma bayangan tiga dimensi yang tidak menyebarkan bau. Dan
Chapman. Chapman mungkin mangsa, mungkin juga tidak, tapi yang jelas ia bukan ancaman.
"Barangkali dia salah satu Andalite," ujar Visser Three. "Cepat,
hancurkan dia." Aku menanggapinya dengan berkata, "Meong."
Visser Three mendelik. "Apa itu?"
"I-itu s-s-suara kucing, Visser. Kurasa dia lapar." SAWWWAPP!
Tiba-tiba, tanpa peringatan lebih dulu, Visser Three mengayunkan ekornya. Duri melengkung sepanjang tiga puluh
sentimeter menyambar ke arahku. Tak seorang pun bisa lolos dari ekor yang melesat kencang itu.
Tapi aku bukan sekadar manusia. Reaksiku lebih cepat daripada kedipan mata. Begitu aku melihat
gerakan mendadak itu, aku langsung tiarap sainbil merapatkan telinga dan memperlihatkan taring. Serta-merta aku mengayunkan cakar.
Cakarku menerobos hologram tersebut. Dan duri itu, yang tak lebih dari bayangan, juga menembus diriku. "Ha, ha, ha."
Aku sempat bingung sebelum mengenali suara itu. Ternyata Visser Three tertawa.
Chapman juga tampak bingung. Tampaknya ia belum pernah
mendengar Visser Three tertawa. Seolah tak pernah terbayang olehnya bahwa Visser Three bisa tertawa.
"Betapa galaknya makhluk mungil ini," kata Visser Three sambil mengangguk-angguk. "Dia tidak mundur sedikit pun, apalagi
lari! Aku jauh lebih besar, tapi dia berani menyerangku. Sayang sekali spesies ini terlalu kecil untuk dijadikan induk semang."
"Ya, sayang," Chapman membeo. "Bunuh dia," kata Visser Three. "Ini wujud terbaik yang bisa
digunakan kaum Andalite. Bunuh saja. Kita tidak boleh ambil risiko." "Baik, Visser," sahut Chapman. "T-t-tapi..."
"Tapi apa?" Visser Three membentak. "Makhluk ini milik putri induk semangku. Dia akan marah
kalau aku membunuhnya. Ini bisa menarik perhatian. Membunuh
kucing dianggap perbuatan tercela. Penyamaranku bisa terancam."
Visser Three tampak gusar karena perintahnya tidak ditaati. Namun ia tidak pernah gegabah dalam mengambil keputusan. Ia
merenung sejenak, sementara nyawaku berada di ujung tanduk. "Penyamaranmu tidak boleh terbongkar. Kau tidak boleh
menarik perhatian," Visser Three akhirnya berkata. Aku merasa sudah saatnya aku berbuat sesuatu. Aku
menghampiri Chapman dan menggosok-gosokkan badan ke kakinya. "Mau apa dia?" tanya Visser Three.
"Dia minta makan." "Hmm, menarik. Dia galak. Punya cakar dan taring, tapi dia
juga mampu memanipulasi makhluk yang lebih besar. Hebat. Ya, biarkan dia hidup, untuk sementara. Biarkan dia hidup sampai kita
membereskan urusan anak perempuan itu." Wajah Chapman tampak berkedut. "Anak perempuan itu?
Tapi... Visser... kesepakatan kita dengan manusia bernama
Chapman..." Visser Three menyeringai. "Hah, kesepakatan! Jangan konyol.
Kita membuat kesepakatan untuk menjaring induk semang sukarela. Kesepakatan hanya alat. Sama seperti kau pun sekadar alat bagiku.
Seandainya kau menyerahkan para bandit Andalite padaku, aku tak perlu memikirkan kucing atau anak perempuan."
Chapman menundukkan kepala. "Aku akan menyerahkan mereka padamu."
"Sebaiknya begitu," sahut Visser Three dengan nada mengancam. Sesaat kemudian bayangannya mulai berubah. Tubuh
Andalite-nya seakan meleleh, dan sebagai gantinya muncul monster yang lebih mengerikan daripada makhluk apa pun yang pernah ada di Bumi.
Kepala si Andalite hilang, digantikan semacam tabung besar dan panjang. Di ujung tabung terdapat lubang berbentuk seperti mulut.
Makhluk itu berwarna ungu dan tubuhnya tembus cahaya, bahkan
hampir tembus pandang. Tapi aku tidak tahu apakah memang aslinya begitu, atau karena ini cuma hologramnya.
Visser mendekatkan mulut tabungnya ke kepala Chapman. Ketika ia membuka mulut aku melihat ratusan, bahkan ribuan,
pengisap kecil yang masing-masing mengeluarkan cairan kental seperti lendir.
Kepala Chapman seakan-akan ditelan. Chapman gemetaran dan menggigil ketakutan.
Suara Visser Three berkata, "Jangan lupa, Iniss dua dua enam. Aku yang memberikan tubuh Chapman ini padamu. Kau kutempatkan
di dalam kepalanya dan kujadikan tangan kananku karena aku percaya padamu. Tapi kalau kau mengecewakan aku, kau akan kuisap keluar
lagi. Mau tahu bagaimana nasib mereka yang membuat aku kecewa?" Tiba-tiba sebuah gambar melayang di udara, seperti film.
Hologram lagi. Hologram itu memperlihatkan seorang wanita
menjerit-jerit kesakitan karena kepalanya diisap-isap makhluk ungu. Chapman mulai mengerang. "Oh, oh, jangan Visser. Ampun."
Makhluk ungu dalam film itu mendadak kejang-kejang. Dari telinga wanita tadi muncul makhluk kelabu berlendir, mirip keong
tanpa rumah. Makhluk itu tersedot keluar dari kepala si wanita. Si makhluk ungu menelan keong Yeerk itu bulat-bulat.
Lalu film itu berakhir. "Bagaimana, Iniss dua dua enam? Kau tentu tidak ingin
bernasib seperti itu, bukan?" Chapman cuma menggelengkan kepala. Matanya masih
menatap film yang sudah lenyap itu. Visser Three kembali ke wujud Andalite. "Jangan kecewakan aku," ia berpesan dengan tegas.
Chapter 14
TIBA-TIBA bayangan Visser Three lenyap. Ruangan
mendadak gelap lagi. Chapman termenung di depan meja. Kedua tangannya menempel di pipi. Baru beberapa saat kemudian ia bangkit
dan membuka pintu. Kami berdua kembali menaiki tangga. Mrs. Chapman sudah menunggu. "Apa perintah sang Visser?"
ia bertanya dengan suara sangat pelan. Wajah Chapman pucat pasi. Ia seperti baru melihat hantu. "Dia
menuntut para bandit Andalite segera ditangkap. Dia... dia berubah menjadi Vanarx. Menjadi Yeerkbane." Chapman juga berbisik-bisik. Ia melirik ke arah tangga. Mungkin ia kuatir percakapan mereka
terdengar oleh Melissa. Mrs. Chapman gemetaran. "Aku memang pernah dengar dia
bisa berubah menjadi Vanarx. Tapi kupikir itu cuma cerita untuk menakut-nakuti bawahannya."
"Dia memperlihatkan... dia memperlihatkan bagaimana dia menghancurkan Iniss satu tujuh empat."
Mrs. Chapman membelalakkan mata. "Dia menggunakan Vanarx untuk menghukum Iniss dari abad kedua?"
"Brengsek," Chapman mengumpat. "Moga-moga Dewan Tiga Belas segera tahu bagaimana Visser Three menangani planet ini.
Moga-moga mereka merampas tubuh Andalite-nya dan membuangnya ke kolam terpencil di planet asal kita."
"Jangan berkata begitu," Mrs. Chapman menanggapinya dengan
serius. "Jauh sebelum Visser Three kehilangan kekuasaan, kau pasti sudah dihukum olehnya karena gagal melaksanakan tugas."
Telingaku lebih dulu menangkap bunyi itu daripada suami-istri Chapman. Ada sesuatu yang bergerak. Langkah kaki manusia. Aku
mengarahkan telinga ke tangga. "Mom? Dad? Aku perlu bantuan untuk mengerjakan soal
matematika ini." Ternyata Melissa. Ia berhenti di tengah tangga dan menatap
orangtuanya penuh harap. "Kami lagi sibuk, Melissa," Chapman berkata dengan ketus.
"Lagi pula, Sayang, kau harus berusaha menyelesaikan sendiri tugas-tugasmu. Begitulah caranya belajar," Mrs. Chapman
menambahkan. "Kalau setelah dicoba belum bisa juga, nanti ayahmu akan membantu."
Melissa tampak kecewa. Ia memaksakan senyum, namun senyumnya hambar, tanpa keceriaan sedikit pun. "Oke, Mom. Tapi soal akar kuadrat ini sulit sekali."
Mrs. Chapman tersenyum. Lagi-lagi senyum hambar. "Akar kuadrat memang merepotkan. Tapi kau pasti bisa."
"Nanti Dad ke atas, sebelum kau tidur," kata Mr. Chapman. Chapman dan istrinya mengucapkan kata-kata bujukan itu
dengan nada datar, tanpa kasih sayang. Ini betul-betul mengerikan. Sekarang aku bisa membayangkan
betapa besar penderitaan Melissa. Dan tahu-tahu aku sudah mengejar Melissa yang bergegas
menaiki tangga. Ketika aku sampai di kamarnya, Melissa sedang duduk di tempat tidur sambil terisak-isak.
<Rachel? Kau bisa mendengarku?> <Ya, Tobias. Aku sudah naik. Sekarang aku di lantai atas; di
kamar Melissa.>
<Syukurlah. Dari tadi aku terus berusaha menghubungimu. Aku kuatir kau terperangkap di ruang bawah tanah.>
<Aku sudah keluar.>
<Bagus. Waktumu masih lebih dari satu jam, tapi Fluffer sudah mau pulang. Cassie, Jake, dan Marco berusaha menangkapnya lagi,
tapi kau tahu sendiri seperti apa kucing itu.> Melissa merebahkan diri di tempat tidur. Ia menutupi kepalanya
dengan bantal dan menangis tersedu-sedu. <Aku belum bisa pergi dari sini,> sahutku.
<Rachel, kalau Fluffer yang asli muncul waktu kau masih di situ....>
<Yeah, aku tahu. Tapi aku tetap belum bisa pergi. Masih ada yang harus kukerjakan.>
Aku menuju ke tempat tidur Melissa. Karena tubuhku kecil, tepi tempat tidur itu tampak seperti dinding gedung bertingkat dua. Aku
menekuk kaki belakang, siap mengambil ancang-ancang. Kemudian aku melompat ke atas tempat tidur.
Aku menghampiri Melissa dan mengendus-endus rambutnya
yang menyembul dari bawah bantal. Tiba-tiba terdengar bunyi yang membuatku teringat pada ibuku.
Aku jadi teringat pada kedua ibuku; ibuku sendiri dan ibu kucing yang dulu menjilat-jilat buluku.
Bunyi itu kukenali sebagai bunyi mendengkur. Aku yang mendengkur.
Melissa merangkulku dan menarikku mendekat. Sentuhannya membuatku agak gelisah. Fluffer tidak suka dipeluk-peluk, dan
nalurinya mendorongku untuk segera pergi. Tapi Melissa mulai menggaruk-garuk tengkuk dan belakang telingaku. Aku mendengkur
semakin keras dan memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama. "Aku tidak tahu apa salahku," ujar Melissa. Aku sempat tersentak kaget ketika ia mulai bicara denganku.
Apakah ia tahu rahasiaku? Apakah ia tahu siapa aku sesungguhnya? Hmm, kurasa tidak. Ia cuma anak perempuan yang berbicara
kepada kucingnya.
"Aku tidak tahu apa salahku," Melissa mengulangi. "Tolong beritahu aku, Fluffer McKitty. Apa salahku?" <Rachel, kenapa kau
masih di dalam?> <Waktuku masih banyak, Tobias.>
<Waktumu tinggal kurang dari satu jam. Jangan nekat. Jake sudah kalang kabut. Dia minta aku menyuruhmu keluar.>
<Sebentar lagi. Melissa membutuhkanku.> Aku telah berhenti mendengkur. Mungkin karena sibuk
berdebat dengan Tobias. Kini aku mulai lagi. Aku berharap bisa meringankan beban Melissa dengan cara itu.
Ia masih menangis. Dan masih menggaruk-garuk belakang telingaku.
"Apa salahku, Fluffer?" ia kembali bertanya. "Kenapa aku tidak disayang lagi?"
Hatiku serasa diiris-iris mendengar pertanyaan itu. Soalnya aku
mendadak mengerti kenapa Melissa menjauhiku. Sekarang aku sadar kenapa ia menutup diri. Dan betapa tipis harapan yang dimilikinya.
Lain kali kalau Marco bertanya kenapa kami harus melawan kaum Yeerk, aku sudah punya jawaban baru untuknya. Karena kaum
Yeerk menghancurkan cinta kasih orangtua untuk putri mereka. Karena makhluk-makhluk jahanam itu menyebabkan Melissa
Chapman menangis di tempat tidur, tanpa ada yang menghiburnya selain seekor kucing.
Aku tahu jawabanku tidak kedengaran gagah. Tidak seperti melindungi umat manusia, misalnya. Aku tahu jawabanku cuma
menyangkut satu anak perempuan saja. Seorang temanku yang kini menderita karena tanpa sadar telah kehilangan orangtuanya.
<Rachel, aku baru saja bicara dengan Jake. Dia minta aku
mengingatkanmu bahwa ada tugas yang harus kaukerjakan. Kau ada di situ bukan untuk...>
<Beritahu Jake, dia jangan sok mengatur, Tobias,> sahutku gusar. <Aku akan keluar. Tapi nanti.>
Aku mendengkur senyaring mungkin. Melissa menangis. Aku membayangkan anak-anak yang telah kehilangan orangtua akibat ulah
kaum Yeerk. Dan juga para orangtua yang kehilangan anak-anak mereka.
Huh, betapa mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanku seandainya aku tak lagi disayangi Mom dan
Dad. Setelah beberapa saat Melissa tertidur. Aku keluar dari
kamarnya dan turun tangga, menuju ke pintu kucing. Udara di luar cukup dingin. Teman-temanku sudah menunggu.
Mereka agak kesal karena aku telah membuat mereka menunggu dalam kecemasan.
"Waktumu tinggal sepuluh menit, Rachel," kata Jake. "Mudah-
mudahan kau mendapat hasil sepadan dengan risiko yang kauambil. Bagaimana, ada informasi berguna untuk kita?"
<Ya. Chapman ternyata punya cara untuk berkomunikasi langsung dengan Visser Three. Visser Three mendesaknya untuk
segera menangkap kita. Sampai Sekarang dia masih menyangka kita prajurit Andalite. Selain itu, aku juga telah memutuskan sesuatu.>
"Apa itu?" Cassie bertanya. <Aku tidak peduli apa yang harus kulakukan, atau risiko apa
yang harus kuambil. Aku tidak peduli apa yang terjadi denganku. Aku benci kaum Yeerk. Aku benci mereka. Aku benci mereka. Dan aku
akan menemukan cara untuk menghentikan mereka.>
Chapter 15
MALAM itu dan juga keesokan paginya, aku sibuk membuat
PR, tapi hanya setengah yang berhasil kuselesaikan. Waktu pelajaran matematika, aku mendapat nilai "C". Sudah lama aku tak mendapat
nilai "sejelek" ini. Nilai-nilaiku di sekolah semakin hancur karena aku sibuk mencoba menyelamatkan dunia. Atau paling tidak,
menyelamatkan seorang teman lama. Kini aku tahu apa yang telah terjadi. Kini aku tahu kenapa
Melissa dan aku tak lagi berteman, kenapa kami tak lagi seakrab dulu. Hidupnya mendadak berantakan. Orangtuanya tak lagi sayang padanya. Mereka memang bersikap seakan tidak ada apa-apa, namun
Melissa sadar mereka cuma berpura-pura. Setiap kali aku teringat, hatiku serasa terbakar. Aku bisa
membayangkan bagaimana perasaannya. Ketika orangtuaku bercerai, aku sempat takut itu berarti mereka tak lagi sayang padaku.
Aku keliru. Mereka tetap sayang padaku. Aku sekarang lebih jarang bertemu Dad, tapi aku tahu ia sayang padaku. Ibuku sayang
padaku. Bahkan adik-adikku pun sayang padaku. Kasih sayang sangat penting, karena membuat kita kuat.
Jake muncul di sampingku ketika aku keluar dari ruang kelas, seusai pelajaran matematika. "Nanti ada pertemuan, oke?"
"Beres. Di mana?" "Di menara gereja, tempat yang sama seperti waktu itu." "Oke. Tapi jalan ke sana lumayan jauh."
Ia berputar untuk menghadapku, dan berjalan mundur sambil nyengir lebar. "Kenapa mesti jalan?" ujarnya. Lalu ia berbalik dan
berlari menyusuri koridor.
Dua jam kemudian aku sudah siap-siap terbang. Tapi asal tahu saja: mengudara sebagai elang bukan pekerjaan mudah. Kita benar-
benar harus memeras tenaga. Mudah-mudahan saja tubuh manusiaku ikut memperoleh manfaat dari kerja keras yang harus kulakukan.
Begitu lepas landas, aku mulai bisa memanfaatkan tiupan angin untuk menambah ketinggian. Sayangnya, angin di dekat permukaan
tanah terlalu pelan. Baru setelah berada di atas pepohonan dan gedung-gedung sekolah, aku mendapatkan angin yang cukup kencang
untuk mendorongku ke atas. Ketika aku akhirnya cukup tinggi, aku melihat Tobias. Bulu
ekornya yang merah tampak mencolok. <Huh, ini benar-benar menyiksa,> ujarku setelah cukup dekat.
<Aku tahu. Ayo, ikut aku. Kita ke mall. Itu tempat terbaik untuk angin termal.>
<Mall? Kenapa justru di sana?>
<Karena lapangan parkirnya luas. Permukaan aspalnya panas karena sinar matahari. Aspalnya, mobil-mobil yang diparkir,
gedungnya, semuanya panas. Jadi hampir selalu ada angin termal.> <Melayang-layang memang paling asyik,> ujarku sambil
melamun. <Ya, memang asyik,> Tobias membenarkan. <Tapi ada juga
hal-hal yang kuinginkan. Misalnya duduk di sofa dengan sekaleng soda dan sekantong keripik sambil nonton film bagus di TV. Apalagi
kalau besoknya libur. Itu juga asyik.> Ia tidak bermaksud menyesali diri. Kata-katanya memang benar
kok. <Itu menara gerejanya. Ada burung lain yang menuju ke sana.
Dan agaknya Cassie sudah mulai berubah lagi.>
<Ayo, kita turun,> ajak Tobias. Sepuluh menit kemudian aku telah kembali menjelma sebagai
manusia.
"Kalian tahu, apa yang perlu kita pikirkan?" tanya Marco. "Kita perlu mengatur baju yang kita pakai waktu kita berubah. Coba lihat,
Cassie pakai celana hijau dan baju ungu, dan Jake pakai celana balap sepeda, dan Rachel seperti biasa tampil gaya dengan celana ketat
hitamnya. Kombinasinya kacau-balau." "Terus, apa maumu?" Jake balik bertanya. "Memangnya kita
harus pakai baju biru dengan angka empat di dada? Biar jadi Fantastic Four?"
<Fantastic Four ditambah Bird Boy,> Tobias menimpali. "Jangan," balas Marco. "Jangan Fantastic Four. Aku cenderung
memilih kelompok X-Men. Baju kita tidak perlu seragam, yang penting gaya. Kalau ada yang melihat kita sekarang ini, mana ada
yang bilang, 'Wow, hebat lho. Mereka superhero.' Malah mereka akan bilang, 'Mereka norak banget sih.'"
"Marco," kataku, "sebaiknya kau jangan berkhayal terus. Kita
bukan superhero. Ini bukan cerita komik." "Ya, tapi justru itu yang kuharapkan. Soalnya pahlawan buku
komik tidak pernah mati. Oke, Superman memang sempat mati, tapi kan cuma sementara."
"Kalian sudah selesai berdebat?" tanya Jake. "Kita kemari untuk membahas urusan penting."
"Apa salahnya pakai celana hijau dan baju ungu?" tanya Cassie pada Marco.
"Itu pantangan nomor satu di dunia mode," sahut Marco. "Kau langganan majalah Gadis, ya?" aku menggodanya.
Jake segera membekap mulut Marco. "Hei, teman-teman. Kita harus memutuskan langkah selanjutnya lho."
Marco melepaskan tangan Jake. "Aku akan memutuskan apa
yang bukan langkah selanjutnya. Seharusnya aku lebih sering menemani ayahku. Kalian kan tahu, dia masih terpukul karena
ibuku..."
Marco selalu terbata-bata kalau menyinggung soal ibunya. Sikap awalnya sih gagah perkasa, tapi akhirnya ia tidak sanggup
menyelesaikan kalimatnya. Dua tahun telah berlalu sejak ibunya hilang. Menurut catatan resmi, ibunya tenggelam di laut, tapi
jenazahnya tak pernah ditemukan. Hidup ayah Marco langsung kacau-balau. Dan inilah alasan utama Marco enggan menjadi anggota
Animorphs. Ia takut ayahnya semakin merana kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya.
Jake kelihatannya mulai tidak sabar. Aku pun merasa Marco perlu membuka mata dan menghadapi kenyataan.
Tapi Cassie menggamit lengan Marco. "Jangan sampai waktumu bersama ayahmu tersita habis urusan ini," ia berkata serius.
"Dia membutuhkanmu. Kami juga membutuhkanmu, Marco, tapi ayahmu lebih penting." Ia menatap Jake, lalu aku. "Apa yang kita lakukan ini tak banyak gunanya kalau kita lupa alasan kita
melakukannya." Aku teringat Melissa. Aku teringat orangtuaku. Aku bersyukur
aku memiliki mereka, walaupun mereka kadang-kadang membuatku jengkel.
"Cassie benar, Marco. Kalau kau pulang nanti, katakan pada ayahmu bahwa kau sayang padanya," kataku tanpa pikir panjang. Aku
sendiri sampai kaget. Tidak biasanya aku begitu sentimental. "Terima kasih, Dokter Rachel," sahut Marco.
Ucapannya sinis, tapi aku tahu ia memahami maksudku. Sikap Marco mendadak berubah. Penuh semangat ia menggosok-gosok
tangan. "Oke, sudah waktunya kita serius. Cara apa yang kita pilih untuk bunuh diri kali ini? Berubah jadi lalat di tengah pertemuan kodok? Atau menjelma sebagai ayam kalkun pada perayaan
Thanksgiving?" "Aku mau ke sana lagi," ujarku. "Ke rumah Chapman."
"Untuk apa?" tanya Jake. "Informasi yang kita dapat sudah cukup. Kita..."
"Kita belum tahu lokasi Kandrona," aku memotong. "Itulah sasaran kita sebenarnya. Si Andalite sempat memberitahu Tobias
bahwa Kandrona merupakan titik lemah kaum Yeerk. Kandrona memancarkan sinar yang selanjutnya dikumpulkan di dalam kolam-
kolam Yeerk. Kalau kita bisa menghancurkan Kandrona, berarti kita telah memberikan pukulan telak."
Marco mengerutkan kening. "Sori, Rachel, tapi sebenarnya apa sih Kandrona itu? Kita memang sudah tahu fungsinya, tapi bagaimana
bentuknya? Dan besarnya? Jangan-jangan Kandrona cuma sebesar korek api dan selalu disimpan kantong Visser Three."
<Kayaknya bukan begitu kesan yang kuperoleh dari cerita si Andalite,> Tobias angkat bicara.
"Oke, oke," Marco berkata tidak sabar. "Masalahnya,
bagaimana mungkin kita menghancurkan sesuatu, padahal kita tidak tahu apa-apa tentang benda itu?"
"Justru karena itu aku harus mendekati Chapman lagi," ujarku. "Dia bisa berkomunikasi dengan Visser Three. Dan mereka berdua
tahu lokasi Kandrona. Barangkali aku bisa mendapat petunjuk baru." Semua memandang ke arahku. Marco menatapku seakan-akan
aku sudah gila. Jake mengerutkan kening. Cassie tampak cemas. Tobias pun menatapku dengan mata elangnya yang menusuk.
<Kau mau kembali ke sana untuk memata-matai Chapman, atau karena ada alasan lain?> ia bertanya padaku. Hanya aku yang bisa
mendengar pertanyaannya. "Sebaiknya kau jangan sendirian ke sana," ujar Jake. "Tapi siapa yang mau ikut denganku?" tanyaku. "Masa ada dua
kucing mondar-mandir di dalam rumah? Sebagai Fluffer, aku bebas berkeliaran tanpa dicurigai."
Aku belum memberitahu teman-temanku bahwa Visser Three menyuruh Chapman membunuhku. Aku tahu tidak seharusnya aku
menyimpan rahasia. Tapi kalau terus terang, mereka takkan membiarkanku ke sana lagi.
Ternyata Cassie lebih peka dari yang lain. "Tidak ada kejadian apa-apa selama kau di sana, Rachel?" ia
bertanya sambil melirik ke arahku. Cassie biasa melirik seperti itu kalau sedang menduga-duga pikiran orang lain.
"Aku memang agak ngeri," ujarku. "Tapi tidak ada apa-apa kok." Jawabanku memang tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak bisa
dibilang bohong. Cassie merenung sejenak. Pandangannya menerawang. Dan
tiba-tiba aku sadar apa yang terjadi: Tobias sedang bicara dengannya. Ia sedang menceritakan sesuatu. Cassie mengangguk-angguk. Tampaknya ia menyetujui ucapan Tobias.
Tobias tidak tahu kejadian di ruang bawah tanah. Tapi ia tahu aku agak gelisah ketika keluar dari sana.
"Kita perlu mencari cara supaya ada yang bisa ikut dengan Rachel," kata Cassie.
"Bagaimana caranya? Kau mau jadi kutu supaya bisa menumpang di punggungku?" tanyaku.
Cassie cuma tersenyum dan angkat bahu. "Aku cuma bilang kau sebaiknya jangan masuk sendirian."
"Oke," ujar Jake. "Rachel akan ke sana lagi. Mudah-mudahan kita beruntung."
"Beruntung apa? Kita tidak pernah beruntung sejak kita lewat tempat pembangunan dan bertemu si Andalite," sergah Marco.
"Mungkin sudah waktunya keberuntungan kita berubah,"
ujarku. "Aku akan kembali ke rumah Chapman dan mencari jalan untuk membuat perhitungan dengan kaum Yeerk."
<Itu bukan satu-satunya alasan kau kembali ke sana,> kata Tobias. <Kau bukan cuma mau membuat perhitungan, kau juga ingin
menolong Melissa.> "Sama saja," sahutku. Yang lain pasti heran, karena tidak tahu
dengan siapa aku bicara.
Chapter 16
ANGIN kencang dan awan hitam membuat suasana malam
semakin gelap dan mencekam. Sori, sudah lama aku ingin menulis kalimat seperti ini. Tapi
anginnya memang kencang dan langit pun tertutup awan badai. "Mana Jake?" aku bertanya ketika kami berkumpul di ujung
jalan, di seberang rumah Chapman. Cassie dan Marco mengenakan jas hujan, meskipun hujan belum turun. Tobias bertengger di dahan
pohon di atas kami. Ia berusaha menjaga keseimbangan sementara angin bertiup cukup kencang.
"Jake dilarang keluar," ujar Marco. "Dia dimarahi ayahnya."
"Kenapa?" "Mana kutahu?" balas Marco sengit. "Orangtua memang suka
aneh-aneh." Aku menggigit bibir. Entah kenapa, aku jadi lebih gugup karena
Jake tidak ikut. Angin yang menderu-deru di antara dahan-dahan pohon juga tidak membantu membuatku lebih tenang.
<Aku sudah menemukan Fluffer,> Tobias memancarkan pikirannya kepada kami semua. <Dia lagi menyiksa tikus kecil yang
berhasil ditangkapnya. Untung saja bukan cecurut.> "Hei, aku memang pernah jadi cecurut, tapi itu tidak berarti aku
bersahabat dengan mereka." Aku menarik napas dalam-dalam. "Oke, rupanya kita tidak bisa selalu sama-sama. Jadi biarpun Jake tidak ikut, rencana harus jalan terus."
Aku melirik ke arah Cassie. Ia tersenyum simpul. Pasti ada sesuatu, tapi aku tidak sempat menyelidiki.
<Aku akan memantau keadaan dulu,> ujar Tobias. Ia merentangkan sayap dan seketika ia terangkat angin. Aku
memperhatikannya melayang-layang sampai tubuhnya menghilang ditelan kegelapan malam.
Setelah beberapa saat kami melihat sesuatu melesat kencang di langit. <Keadaan aman,> Tobias melaporkan ketika ia melintas di atas
kami. Perasaanku tidak menentu. Aku gugup, gelisah, ngeri. Semua
terasa janggal malam ini. Tapi anehnya, aku yakin aku akan jauh lebih tenang setelah berubah wujud.
Aku memusatkan pikiran. Hujan mulai turun ketika ekorku baru tumbuh. Dan pada saat aku sudah merangkak di jalan, dikelilingi
tumpukan bajuku, hujan pun bertambah deras. "Oh, bagus," komentar Marco sebal. "Ini semakin asyik saja." <Kau masih untung. Kau pakai jas hujan,> sahutku. <Aku cuma
punya bulu. Dan gara-gara hujan aku tidak bisa mencium bau apa pun di sini.>
Cassie jongkok di sampingku. Sebenarnya ia tidak terlalu tinggi, tapi dibandingkan seekor kucing, setiap manusia seperti
monster raksasa. "Hati-hati, Rachel," Cassie memperingatkan. Kemudian ia
membelai-belai punggungku. Aku hendak menyingkir, tapi Cassie tetap memegang punggungku selama beberapa detik. Lalu ia bangkit
sambil tersenyum misterius. Perhatianku segera beralih. Kucing memang tidak terlalu peduli
pada manusia, kecuali kalau ditawari makanan. <Aku berangkat dulu,> ujarku. Langsung saja aku lari. Kucing
tidak suka hujan. Tadinya kupikir karena kucing takut basah. Ternyata
bukan. Kucing tidak suka hujan karena semua bau-bauan terhapus. Dan tanpa bau-bauan, kucing jadi bingung dan gelisah.
Selain itu, gemercik hujan juga menyebabkan berbagai bunyi penting jadi sulit terdengar.
Hujan bagi kucing seperti kegelapan bagi manusia. Seluruh dunia jadi membosankan.
Karena itulah aku lari ke pintu kucing. Aku sudah tak sabar mencium bau-bauan dan mendengar bunyi-bunyi yang sangat kukenal.
Paling tidak, begitulah perasaan Fluffer. Aku sendiri—aku yang asli, maksudnya—masih heran kenapa Jake tidak muncul. Aku juga
bertanya-tanya apakah ini semacam pertanda buruk. Seakan misiku kali ini sudah ditakdirkan gagal.
Aku sudah biasa keluar-masuk rumah keluarga Chapman, baik sebagai kucing maupun sebagai manusia. Dan aku pun sudah bisa
membayangkan apa yang akan terjadi. Terakhir kali Visser Three menghubungi Chapman tepat pukul delapan. Kalau itu jadwal tetap mereka, aku datang tepat pada waktunya.
Chapman sedang duduk di sofa, persis seperti saat itu. Dan seperti dugaanku, pukul delapan kurang tiga menit ia berdiri dan pergi
menuju ruang bawah tanah. Aku harus ikut turun, itulah inti rencanaku. Aku masih ingat
tata letak ruang rahasia kecil di bawah. Aku masih ingat mejanya yang aneh. Kalau saja aku bisa mengikutinya tanpa ketahuan, lalu
bersembunyi di bawah meja itu, aku akan terlindung dari pandangan Chapman dan hologram Visser Three.
Masalahnya, supaya rencanaku berhasil, Chapman tidak boleh tahu aku membuntutinya.
Ia menuju ke pintu ruang bawah tanah. Aku berjalan tepat di belakang Chapman. Aku harus selalu berada di dekat kakinya. Dengan cara itu ia tidak bisa melihatku. Tapi aku harus hati-hati. Kalau sampai
Chapman berhenti mendadak, bisa-bisa aku menabraknya. Dan itu aneh bagi seekor kucing.
Ia terus berjalan. Aku terus mengikutinya.
Ia menuruni tangga. Hmm, bagian ini mestinya lebih mudah. Orang biasanya sibuk memperhatikan langkah mereka saat menuruni
tangga. Mereka tidak menoleh dan melihat ke belakang. Tapi kalau sampai aku bersuara, atau membuat gerakan yang
salah, buyarlah rencanaku. Kami sampai di bawah. Tiba-tiba Chapman berhenti. Aku
melompat ke balik sofa. Chapman memandang berkeliling seakan-akan mendengar
sesuatu. Atau mungkin juga ia merasa ada sesuatu yang aneh. Seketika aku berhenti. Aku diam seperti patung.
Chapman menuju ke pintu. Aku kembali mengikutinya. <Hei, bagaimana keadaannya?>
Jantungku nyaris copot. Ekorku langsung tegak. Bulu di punggungku langsung berdiri.
Hampir saja aku melompat karena kaget.
Chapman berhenti. Aku hampir menabrak kakinya. Kaki kirinya bergerak. Aku mengelak. Ia mundur sedikit. Aku menghindar.
<Ini aku. Jake. Bagaimana keadaannya, Rachel?> Jake?
Chapman membuka pintu ruang rahasia. Ia melangkah masuk. Aku menyelinap di antara kakinya yang besar. Seandainya ia menoleh
ke bawah... Untung saja ia tidak menoleh. Ketika ia membalik untuk
menutup pintu, aku cepat-cepat berlari ke bawah meja dan bersembunyi di sudut yang gelap.
Aku menarik napas lega. Semua berjalan sesuai rencana... sampai saat ini.
<Rachel? Kau bisa mendengarku?>
<Jake! Di mana kau? Huh, jangan bikin kaget, dong!> <Bagaimana keadaan kita? Aman?> Suaranya bernada cemas.
Tapi aku malah kesal.
<Keadaan KITA? Apa maksudmu?> aku berseru tanpa bersuara. <Memangnya kau ada di mana?> <Aku, ehm... aku ikut
denganmu.> <Ikut denganku? Jake, ini bukan waktunya main-main.>
Chapman duduk di kursinya. Ia menjulurkan kaki ke bawah meja. Aku buru-buru menyingkir agar jangan sampai tertendang.
<Sori. Aku tidak bisa melihat apa-apa.> Mataku terpaku pada kaki Chapman. Kucing memiliki daya
konsentrasi luar biasa. Aku memusatkan pikiran pada kedua kaki yang hampir sama besarnya denganku. Jangan sampai aku tersenggol.
Itulah kuncinya supaya aku selamat. <Jake, keadaannya agak genting, nih. Di mana kau
sebenarnya?> <Aku berubah wujud,> jawab Jake. <Kali ini aku jadi kutu.>
Chapter 17
<HAH? APA?> Dalam keadaan biasa, aku pasti tertawa
terbahak-bahak. <Maksudmu, kau berubah jadi kutu? Kutu? > <Yeah. Aku ada di punggungmu. Atau di kepalamu. Aku tidak
tahu pasti. Soalnya aku tidak punya mata. Aku cuma tahu mana yang hangat, dan mana yang tidak hangat. Dan kayaknya... kayaknya aku
bisa tahu di mana ada darah. Cuma itu. O ya, aku juga bisa merasakan gerakan. Misalnya waktu bulumu berdiri tegak tadi, aku tahu ada
sesuatu yang terjadi.> <Jake, apa-apaan sih kau? Benar-benar tidak masuk akal. Kutu?
Kau pasti sudah gila! Jadi kadal saja sudah membuatmu kelabakan. Ini
malah jauh lebih parah.> <Sebenarnya, aku justru lebih oke begini,> jawab Jake. <Habis,
naluri kutu begitu gampang dikendalikan. Kutu tahunya cuma mencari darah hangat, dan makan. Aku, ehm... aku malah hampir tidak
merasakan perubahan apa-apa, soalnya kutu tidak punya kesadaran seperti binatang-binatang lain. Tadinya aku memang sempat waswas.
Tapi waktu Cassie, Marco, dan aku mencobanya...> <Mereka tahu soal ini?> Hah, pantas Cassie terus membelai-
belaiku tadi! Rupanya ia ingin menaruh Jake ke punggungku. <Kami kuatir, Rachel. Kami pikir lebih aman kalau kau
ditemani. Tobias...> <Ah, jadi Tobias juga ikutan, ya?> <Menurut Tobias, ada sesuatu yang kaurahasiakan.>
Aku menghela napas. Sebenarnya enak sih kalau kita punya teman-teman yang penuh perhatian. Tapi di pihak lain, gara-gara Jake
aku hampir menabrak Chapman. Lagi pula, aku jadi merinding membayangkan Jake sebagai kutu yang merayap-rayap di buluku.
Tiba-tiba seluruh ruangan terang-benderang. Hologram Visser Three muncul.
<Jake. Visser sudah muncul. Jadi jangan ganggu aku, oke? Kita lagi sembunyi di bawah meja, kira-kira satu senti dari kaki Chapman.>
<Oh. Tapi tidak ada pengaruhnya, kan, kalau dia melihatmu? Maksudku, kau kan cuma kucing. Yang penting, jangan bersikap
mencurigakan.> Aku terdiam sejenak. Hmm, apa boleh buat. Cepat atau lambat
aku toh ketahuan juga. <Ehm, Jake? Memang ada sesuatu yang kurahasiakan? Aku kepergok Visser Three waktu itu. Dan dia
menyuruh Chapman untuk... ehm... membunuhku. Dia takut aku prajurit Andalite yang sedang menyamar.>
Jake tidak segera menyahut. Menurutku ia sedang berusaha
menahan keinginan untuk membentakku. Ternyata ia gagal. <Rachel, kau sudah GILA? Kau nekat balik kemari, padahal
kau sudah kepergok Visser Three? Apa kau sudah BOSAN HIDUP?> Tapi Chapman sudah bicara sebelum aku sempat berkata apa-
apa. "Selamat datang, Visser. Iniss dua dua enam dari kolam Sulp Niaar menundukkan kepala di hadapanmu. Semoga engkau senantiasa
diberkahi sinar Kandrona." "Kau juga," jawab Visser Three singkat. "Laporanmu."
"Aku mendapatkan empat induk semang sukarela lagi, Visser," ujar Chapman. "Dua di antaranya anak-anak yang direkrut The
Sharing. Satu dari kedua orang dewasa agen FBI, semacam petugas polisi. Dia mungkin sangat..."
"TOLOL!" suara tiruan Visser Three bernada datar, namun
tetap sarat kemarahan. "Bukan itu yang ingin kudengar! Bagaimana dengan para bandit Andalite?"
"Visser, apa lagi yang bisa kulakukan...?"
"Mereka memakai binatang Bumi untuk menyerang kita," ujar Visser. "Mereka menjelma menjadi binatang bumi yang berbahaya.
Cari tahu bagaimana mereka bisa berubah seperti itu. Para penasihatku bilang binatang-binatang yang mereka tiru termasuk langka di
kawasan ini." "Baik, Visser. Aku takkan gagal."
"Ya, jangan bikin aku kecewa. Dan masih ada masalah lain. Kita butuh enam Pengendali-manusia lagi untuk ditugaskan sebagai
penjaga. Penjagaan di sekeliling Kandrona harus diperketat." <Sedang apa mereka?> tanya Jake.
<Visser Three sedang menegur Chapman.> <Sayang Marco tidak ada di sini. Dia pasti senang melihat Chapman dimarah-marahi.>
<Visser Three bernafsu sekali menangkap kita. Dia masih menyangka kita sekelompok prajurit Andalite. Dia mau menambah penjaga di sekeliling Kandrona.>
<Hmm, barangkali dia akan...> Sekonyong-konyong kaki Chapman bergeser. Ujung sepatunya
mengenai tulang rusukku. "Mrrrrraaaaoowwww!"
Chapman mendorong kursinya menjauhi meja. Ia menerobos hologram Visser Three. Sepintas keduanya tampak menyatu.
"Ada apa?" tanya Visser Three. Chapman menatapku sambil mendelik. Sorot matanya berapi-
api. Telingaku merapat ke kepala. Aku mengeluarkan cakar dan
memperlihatkan taring. "Kucing itu lagi, Visser," sahut Chapman. Nada suaranya kesal
bercampur ngeri.
Visser Three mendesis-desis. "Bukankah kau sudah kusuruh membunuh makhluk itu, Iniss
dua dua enam?"
"Tapi Visser...," Chapman memprotes. "Diam. Ini justru kebetulan," Visser Three menyela. "Sekarang
sudah jelas kucing ini memang salah satu bandit Andalite." <Gawat, Jake,> ujarku. <Kita ketahuan!>
"Kita tak perlu lagi mencari-cari mereka," kata Visser Three. "Salah satu dari mereka sudah ada di sini."
"Apakah aku perlu membunuhnya?" tanya Chapman. "Jangan. Jangan dibunuh. Tangkap saja. Tangkap sebelum dia
sempat menjelma kembali menjadi Andalite. Aku akan memaksanya mengatakan di mana teman-temannya bersembunyi! Sudah lama aku
tidak menyiksa prajurit Andalite yang gagah. Tapi aku tahu cara menangani mereka. Tangkap dia dan serahkan padaku!"
Chapman tidak berani membantah.
Chapter 18
CHAPMAN merentangkan tangan dan melompat maju untuk
menangkapku. Aku terperangkap! Tak ada jalan keluar. Aku tidak mungkin
membuka pintu dan lari, ke atas. Terperangkap! Tak ada yang bisa kulakukan selain menyerah.
Tapi dalam hal ini Fluffer dan aku sependapat: kami pantang menyerah.
Cakarku siap menyambar. Mataku terbuka lebar-lebar. Telingaku merapat ke kepala. Gigi taringku yang seruncing jarum siap menggigit. Semua ototku menegang.
Gerak-gerik Chapman seakan bertambah lamban. Aku seperti sedang menonton adegan lambat dalam film. Indra kucingku tengah
bekerja keras, sehingga segala sesuatu berkesan lebih pelan. Hanya aku yang bergerak dengan kecepatan normal.
Kuayunkan cakar. Dan seketika aku melihat tiga goresan merah pada punggung tangan Chapman. Aku mencium bau darah.
"Ahhhh!" Chapman meraung sambil melangkah mundur. "Tangkap dia!" seru Visser Three.
<Ada apa, sih?> tanya Jake. <Kenapa kita terguncang-guncang?>
Chapman pasang tampang kencang. Ia maju lagi. Aku terpojok. Tak ada jalan keluar.
Cakarku kembali menyambar. Chapman memekik kesakitan.
Aku terus mencakar tangan dan lengannya. Chapman mencengkeram pinggangku. Naluri kucingku
langsung berontak diperlakukan seperti itu.
Tanpa pikir panjang aku pun mulai main kasar. Dengan cakar dan taring, kulancarkan serangan menggebu-gebu. Dalam sekejap
tangan Chapman sudah berlumuran darah. "Bukan main! Binatang hebat!" ujar Visser sambil berdecak
kagum. Ia memberikan petunjuk kepada Chapman. "Cepat, putar badannya. Lalu jepit dia dengan tanganmu. Ya, begitu."
Seranganku yang bertubi-tubi membuahkan hasil. Chapman benar-benar kubuat menderita.
Namun betapapun gigihnya perlawananku, aku tetap tak berdaya menghadapi lawan yang jauh lebih besar daripada aku.
Berkat petunjuk Visser Three, Chapman berhasil mendekapku erat-erat sehingga kaki depanku tidak bisa bergerak. Dan dengan
tangannya yang satu lagi, ia meraih kaki belakangku. Tak ada yang bisa kulakukan selain menggigit. Aku menggigitnya. Berkali-kali. Tapi aku tidak sanggup
membunuhnya. Aku tidak sanggup menghentikannya. Ketakutan Chapman terhadap Visser Three mengalahkan rasa sakit akibat
gigitanku. "Tahan dia sampai aku datang," ujar Visser Three penuh
semangat. "Bawa dia ke tempat pendaratan terdekat. Aku akan menjemputnya di sana."
"Visser, bagaimana kalau... Aduh...! Bagaimana kalau dia kembali ke wujud Andalite?"
"Kau punya senjata. Bunuh saja kalau dia mencoba berubah ke wujud aslinya."
"Baik.... Ahhh! Binatang busuk! Baik, Visser. Aku segera ke sana."
"Bandit Andalite ini akan kuberi pelajaran. Dan bawa anak
perempuan itu sekalian." "Ehm... Melissa?" tanya Chapman.
"Kesabaranku sudah habis. Karena dialah mata-mata Andalite ini berhasil menerobos masuk ke rumahmu. Aku sudah memilihkan
Yeerk untuknya. Bawa dia bersama si Andalite. Jangan coba-coba membangkang, Iniss dua dua enam. Patuhi perintahku. Kalau tidak,
siap-siaplah menghadapi sang Vanarx." Hologram Visser Three menghilang. Serta-merta Chapman
melemparku. Dengan gesit aku memutar badan di udara sehingga kakiku menghadap ke bawah. Aku jatuh ke lantai dan menggelincir.
<Oke, ini pasti ada yang tidak beres,> ujar Jake. Ketika aku bangkit lagi, Chapman sudah membuka laci di
mejanya. Tangannya yang berlumuran darah mengeluarkan benda kecil yang sudah pernah kulihat sebelumnya. Pistol sinar Dracon.
Chapman mengarahkan senjatanya padaku. Tangannya bergetar. Wajahnya berkedut-kedut. Setiap kali ia mengejang, senjata di tangannya ikut bergetar. Tapi aku tahu tembakannya takkan meleset
seandainya aku mencoba bergerak. <Kasih tahu aku dong, ada apa sebenarnya!> Jake mendesak.
<Beberapa saat lalu, rasanya ada tubuh hangat lain di dekatku. Dan aku sempat mencium bau darah.>
<Keadaannya agak gawat,> ujarku. <Agak gawat bagaimana?> tanya Jake.
<Chapman membidikku dengan pistol sinar Dracon. Dia tahu aku bukan kucing sungguhan. Aku disangka prajurit Andalite. Dan
sekarang aku mau dibawa ke tempat Visser Three.> <Aduh! Ini benar-benar gawat.>
<Ini belum semuanya. Visser Three juga mengincar Melissa.> Chapman membuka pintu sedikit. "Ayo, kemari! Cepat!" ia
berseru ke atas.
Aku memandang ke arah pintu itu. Chapman menyeringai. "Coba saja, Andalite. Ayo, coba kau
lari, kalau kau ingin tubuhmu hangus terbakar."
Aku mengurungkan niatku. "Kau telah membuatku repot," kata Chapman. "Induk semangku
akan berontak kalau aku menyerahkan anak perempuannya kepada Visser Three. Kau tahu betapa repotnya menghadapi induk semang
yang tidak mau bekerja sama? Hah, tentu saja kau tidak tahu. Tapi percayalah, Andalite: aku takkan segan-segan membunuhmu."
Mrs. Chapman muncul di pintu. "Ada apa?" "Kucing ini sebenarnya salah satu bandit Andalite yang berubah
wujud. Visser Three menginginkannya. Ambilkan kurungan yang biasa kita pakai untuk membawanya ke dokter hewan."
Mrs. Chapman mengangguk dan naik lagi. <Ada apa?> tanya Jake.
<Mrs. Chapman sedang mengambil kurungan,> sahutku. Perasaanku kacau-balau. Gara-gara aku, Melissa akan jatuh ke tangan kaum Yeerk. Aku telah gagal. Gara-gara aku semuanya jadi kacau.
Mrs. Chapman muncul kembali dengan membawa kurungan. Ia membuka pintu.
"Cepat masuk," Chapman menghardik. Aku tidak beranjak dari tempatku.
"Masuk," ia berbisik dengan nada mengancam. "Masuk atau kau kuhabisi sekarang juga."
Tampaknya ia sungguh-sungguh. Aku masuk ke dalam kurungan. Mrs. Chapman menutup pintu dan menguncinya.
Chapman menyambar kurungan itu dan membawaku ke atas. "Cepat," ia menghardik istrinya, "bawa... uh!"
Aku mengintip melalui celah di sisi kurungan dan melihatnya terhuyung-huyung. Wajahnya berkedut-kedut. Tampaknya ia sulit mengendalikan gerak mulutnya. "Bawa... anak... perempuan... itu," ia
berkata sambil mengertakkan gigi. Mrs. Chapman hendak melaksanakan perintah itu, tapi tahu-
tahu Chapman memekik.
"Oh! Uhh!" Ia jatuh berlutut. "Dia... uhh... dia memangkang...." "Pemberontakan induk semang," gumam Mrs. Chapman. Ia
tampak ngeri tapi sekaligus terpesona. Kemudian, tiba-tiba saja, tangan kirinya menampar wajahnya sendiri.
"Ahhh! Induk semangku juga melawan." "Hentikan, Chapman," ujar Chapman. "Hentikan atau kau
kuhancurkan! Jiwamu akan kulumat habis! Kau tak mungkin menang. Belum pernah ada induk semang yang menang."
Tapi Chapman yang asli belum menyerah. Adegan yang terjadi di depan mataku sungguh mengerikan.
Tapi aku tak sanggup mengalihkan pandangan. Orang yang tidak mengerti duduk perkaranya pasti akan mengira wakil kepala sekolah
kami dan istrinya sudah gila. Chapman sibuk bicara sendiri. Tubuhnya kejang-kejang, dan ia belum bisa berdiri dari lantai.
<Para Yeerk dilawan oleh induk semangnya,> aku memberitahu
Jake. <Chapman tidak bisa mengendalikan diri. Mrs. Chapman mencekik lehernya sendiri. Yeerk di dalam kepala mereka berusaha
mengatasi perlawanan. Ini benar-benar ajaib!> <Astaga! Aku tidak menyangka induk semang bisa begitu gigih
memberi perlawanan.> <Ini karena Melissa. Mereka berjuang untuk menyelamatkan
anak mereka.> "Aaaarrrrgh!" Chapman mengerang. Sekonyong-konyong ia
bangkit. "Aku akan menang, Chapman. Kau tak sanggup melawanku!" Dan memang benar. Chapman yang asli tampak tak berdaya.
Perlahan tapi pasti Iniss dua dua enam kembali memegang kendali. Begitu pula yang terjadi dengan Mrs. Chapman. Yeerk di dalam
kepalanya memaksa Mrs. Chapman melepaskan tangan dari lehernya.
Suami-istri Chapman tampak lesu.
<Mereka kecapekan,> aku melapor kepada Jake. <Keduanya mulai tenang, tapi mereka tampak capek sekali. Mereka mandi
keringat. Pucat. Gemetar dan kejang-kejang.> Chapman menatap istrinya. Atau lebih tepatnya, Yeerk di dalam
kepala Chapman menatap tubuh yang dikuasai Yeerk lain. Kini aku tak lagi melihat Chapman semata-mata sebagai Chapman. Aku telah
melihat bukti nyata bahwa ada dua makhluk di dalam dirinya. Aku bahkan tahu bagaimana rasanya bila ada makhluk lain
menumpang dalam diriku. Aku pernah mengalaminya ketika aku harus berjuang keras untuk meredam naluri cecurut. Sama seperti
Yeerk di dalam kepala Chapman kini harus berjuang untuk menguasai otak induk semangnya.
Chapman berkata, "Dia sudah bisa kukendalikan." Mrs. Chapman mengangguk. "Kaum manusia ini betul-betul
gigih kalau membela anak-anak mereka."
"Dan mereka pantang menyerah. Setelah ini induk semangku pasti akan memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyerangku.
Penyamaranku bisa terbongkar. Padahal setiap hari aku harus hadir di sekolah. Untuk sementara induk semangku memang kehabisan tenaga,
tapi dalam beberapa hari dia pasti akan bertingkah lagi," Chapman berkata dengan nada geram. "Dia tidak bodoh. Dia tahu dia pasti
kalah... dia tahu tenaganya semakin terkuras setiap kali dia membangkang, dan bahwa cepat atau lambat aku akan keluar sebagai
pemenang." Mrs. Chapman menendang kurunganku, seakan-akan semuanya
salahku. "Dia tidak perlu menang. Dia tinggal menunggu tibanya pertemuan dengan para wakil orangtua yang duduk di dewan sekolah. Kalau dia menyerang pada saat itu, kau pasti akan disangka sudah
tidak waras."
Chapman pucat pasi. Ia melirik jam tangannya. "Aku harus menyerahkan Andalite ini kepada Visser Three. Mudah-mudahan...
mudah-mudahan dia mau mengerti." "Cepat, berangkatlah," kata Mrs. Chapman kepada suaminya.
Chapman meraih kurungan tempat aku disekap. Terburu-buru ia melangkah keluar. Kurunganku mebentur kusen pintu.
"Daddy? Daddy? Ada apa, sih?" Rupanya Melissa. Ia berdiri di seberang ruang duduk. Aku tidak
melihatnya datang. Sudah berapa lama ia di sini? Moga-moga ia tidak mendengar percakapan orangtuanya. Kalau dengar, ia tidak punya
harapan lagi. Chapman tidak menjawab. Ia terus berjalan ke pintu depan.
Tampaknya ia tidak peduli pada hujan yang masih turun. "Daddy? Itu Fluffer, ya?" <Ada Melissa,> aku memberitahu Jake. <Jangan-jangan dia
mau ikut.> "Daddy?" Suara Melissa kini bernada cemas. Ia berlari
mendekat. Chapman mempercepat langkahnya. Chapman yang asli turut membantu. Ia sadar betul keadaannya akan bertambah parah
kalau Melissa ikut. "Fluffer!" Melissa memanggil.
Harapanku tinggal satu. <Tobias?> aku berseru sekeras mungkin. <Tobias, kau bisa mendengarku?>
Jawaban yang kuterima terdengar pelan, tapi aku mengenali suara Tobias. <Ya, Rachel.>
<Fluffer yang asli! Kita butuh Fluffer yang asli. Sekarang juga!>
<Ada apa, Rachel?> tanya Jake.
"Fluffer! Fluffer mau dibawa ke mana, Daddy? Jangan, Daddy! Jangan!"
Chapter 19
KAMI keluar lewat pintu depan. Melissa menangis tersedu-
sedu. Jake bertanya apa yang terjadi. Chapman berjalan secepat mungkin.
Melissa mencengkeram lengan ayahnya. Kurunganku berayun-ayun.
"Daddy, Fluffer jangan dibawa. Jangan dibawa! Dia mau dibawa ke mana?"
Mobil Chapman. Aku melihatnya di depan garasi. Kami sudah hampir sampai ke sana.
Sekonyong-konyong terdengar bunyi desis melengking tinggi.
Bagaikan peluru ia melesat melintasi pekarangan. Fluffer yang asli.
Kucing itu berlari seakan-akan semua monster di dunia sedang mengejarnya.
Kegelapan malam menyebabkan orang tidak bisa melihat apa yang membuat Fluffer begitu ketakutan. Tapi dengan mata kucingku
aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Tobias meluncur rendah di atas permukaan tanah, bagaikan bayangan kematian.
Rupanya Fluffer mengenali kurungannya. Ia segera mendekat dan mengorek-ngorek dinding plastiknya.
Lalu Fluffer McKitty melihat sesuatu yang tak pernah dibayangkan olehnya. Fluffer melihat dirinya sendiri.
Bagiku kejadian itu tak kalah anehnya. Otak kucing di dalam
kepalaku benar-benar bingung. Bau kucing di luar kurungan itu persis sama dengan baunya sendiri. Tidak masuk akal. Kemudian otak
manusiaku menyadari ada luka kecil di kepala Fluffer. Rupanya Tobias sempat menggigitnya supaya ia bergerak ke arah yang benar.
"Fluffer?" tanya Melissa. "Tapi...." Ia berusaha mengintip ke dalam kurungan.
Chapman langsung bertindak. "Bukan, Sayang," katanya. "Ini bukan Fluffer. Ini kucing lain yang masuk ke ruang bawah tanah. Dad
akan membawanya ke tempat penitipan hewan, supaya dia bisa dijemput pemiliknya."
"Tapi kenapa Dad tidak bilang dari tadi?" Chapman tampak bingung. "Dad... Dad tidak mendengarmu
tadi." Melissa mundur seakan-akan baru saja kena tampar. "Tapi
Daddy, aku sampai menangis." "Sori." Chapman angkat bahu. Ia menaruh kurunganku di
bangku belakang mobilnya.
Kami berangkat. Aku menarik napas lega. Aku tahu Melissa masih terancam bahaya, tapi paling tidak untuk sementara ia aman.
<Bagus, Tobias,> kataku. Tapi tampaknya ia tidak bisa mendengarku. Aku juga tidak bisa memandang keluar jendela,
sehingga aku tidak tahu apakah Tobias atau Marco atau Cassie ada di sekitar sini.
<Jake? Kau masih di sini?> <Ya. Kau ada waktu untuk menceritakan apa yang terjadi?
Menjelma sebagai kutu memang asyik, bisa sembunyi, tapi aku tidak bisa memantau keadaan sekeliling.>
<Aku ada di dalam kurungan kucing. Chapman duduk di kursi depan. Dia mengawasiku melalui kaca spion. Dan dia membawa pistol sinar Dracon. Bisa dibilang situasinya lumayan gawat.>
<Kita belum kalah,> balas Jake.
<Jake, waktu kita tinggal sedikit. Aku sudah sekitar satu jam berubah wujud. Dan kau pasti lebih lama lagi. Kau harus segera pergi
dan berubah kembali." <Masih ada waktu,> sahutnya.
<Memangnya kau bawa jam, Jake?> tanyaku. <Kau cuma sebesar titik. Jangan sampai kau terperangkap dalam bentuk kutu.
Lagi pula tidak ada yang bisa kaulakukan.> Tak lama kemudian mobil Chapman mulai terguncang-guncang
karena melewati jalan rusak. <Kau harus lompat begitu kita turun dari mobil, Jake,> kataku.
<Aku tahu ini sulit, tapi kau harus memaksa diri menjauhi tempat yang hangat dan menjauhi bau darah. Kau pasti bisa.>
Mobil Chapman berhenti. <Rachel, aku tidak mau meninggalkanmu sendirian di sini.> Aku tahu Jake ingin menolongku, tapi sikapnya yang keras
kepala justru membuatku marah. <Jake, kita terperangkap. Chapman punya pistol sinar Dracon dan aku disekap dalam kurungan. Visser
Three akan datang untuk menangkapku. Aku tidak bisa berubah bentuk. Chapman pasti mengenaliku. Dan dengan mudah dia bisa tahu
siapa saja teman-teman akrabku. Lalu riwayat kita semua akan tamat. Padahal hanya kita yang bisa menghentikan mereka. Ayo, Jake, kau
tahu aku benar.> <Kita belum kalah,> Jake berkeras.
<Satu-satunya harapanku adalah bertahan dalam wujud kucing,> ujarku. <Kemungkinan besar aku akan... kau tahu
maksudku... tapi paling tidak mereka tidak tahu tentang kalian. Cepat, tinggalkan aku.>
Chapman turun dari mobil. Ia membuka pintu belakang.
"Waktunya bertemu Visser, Andalite. Kalian pasti akan bersenang-senang."
Chapman mengangkat kurunganku dari bangku belakang. Aku memandang keluar.
<Kita di tempat pembangunan,> aku memberitahu Jake. <Ayo, lompatlah.>
<Aku tidak akan...> Aku tak sanggup meneruskan debat kusir dengan Jake. Perasaan
ngeri mulai menguasai diriku. Aku sudah bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Visser Three terhadapku.
<Sori, Jake, tapi kali ini aku yang jadi bos,> kataku. Aku mengangkat kaki belakang sebelah kanan dan mulai menggaruk-garuk
tubuhku. <Hei... sedang apa kau?>
<Aku lagi garuk-garuk. Aku ingin kau turun.> <Oke, oke,> kata Jake. <Pokoknya berhenti dulu. Rasanya
seperti ada gempa bumi. Oke, Rachel. Kau benar. Dalam pertempuran
kali ini kita kalah.> Chapman membawa kurunganku ke tengah tempat
pembangunan. Aku bisa melihat tanah yang kami lewati. Aku bisa melihat semua bangunan yang baru setengah jadi. Aku bisa melihat
tempat dulu kami berlima meringkuk ketakutan ketika Visser Three berubah menjadi monster dan menelan si pangeran Andalite.
Aku teringat teriakan terakhir si Andalite. Ia kalah bertempur melawan Visser Three. Dan kini giliran aku yang kalah.
Mungkin memang tidak ada harapan. Mungkin perjuangan kami melawan kaum Yeerk memang sia-sia. <Pergilah, Jake, > ujarku.
<Oke, Rachel. Aku akan melompat. Ehm... tabahkan hatimu, Rachel.>
<Yeah, Jake. Kau juga. >
<Aku lompat.... >
Beberapa detik kemudian Chapman menaruh kurunganku di tanah. Ia menunggu di sampingku. Kami sama-sama memandang ke
kegelapan. Aku berusaha memastikan apakah Jake benar-benar sudah
pergi. <Jake? Jake?> Tak ada jawaban.
<Jake, jawablah. Aku berubah pikiran. Aku ingin kau terus menemaniku,> kataku berpura-pura. <Ayolah, Jake, aku berubah
pikiran. Aku perlu ditemani.> Tak ada jawaban. Rupanya ia benar-benar sudah pergi. Aku
lega. Kalau Jake dan kawanku yang lain selamat, Bumi tetap punya harapan.
Tiba-tiba terdengar bunyi benda besar melintas di udara. Aku merapatkan kepala ke pintu kurungan dan memandang ke atas. Tiga pesawat sedang bersiap-siap mendarat di tempat pembangunan.
Dua di antaranya lebih kecil, kira-kira seukuran karavan. Keduanya tampak seperti serangga dan memiliki sepasang tombak
berduri yang menjorok ke depan di masing-masing sisi. Menurut si Andalite pesawat-pesawat itu disebut Bug Fighter.
Pesawat ketiga jauh lebih besar. Bentuknya seperti kampak perang. Warnanya serbahitam, bentuknya serbaruncing. Tampaknya
menyeramkan. Pesawat itu turun pelan-pelan. Dan aku semakin ketakutan.
Bukan Fluffer yang ketakutan, melainkan aku, Rachel. Fluffer tidak mengerti benda apa yang turun dari langit itu. Aku tahu. Aku
sudah pernah melihatnya. Si Andalite menyebutnya pesawat Blade. Pesawat itu pesawat pribadi Visser Three. Pesawat itu serasa
menyebarkan teror. Aku bisa mencium bau keringat dingin yang
membasahi kening Chapman. Aku senang Chapman juga ngeri. Siapa tahu Visser Three akan
menjelma sebagai Vanarx dan mengisap Yeerk yang bercokol dalam
kepala Chapman? Siapa tahu Chapman yang asli sempat menikmati kebebasan selama beberapa detik sebelum menemui ajal? Siapa tahu
Yeerk yang menguasai Chapman akan dibuat menderita dulu sebelum dihabisi oleh Visser Three?
Siapa tahu? Aku ketakutan, seperti ada cacing yang menggerogoti tubuhku
dari dalam. Membuatku patah semangat dan putus asa. Membuatku merasa kosong dan sendirian.
Pesawat Blade yang membawa Visser Three mendarat di antara dua bangunan setengah jadi. Kedua Bug Fighter berhenti di kiri-
kanannya. Pesawat-pesawat tersebut tampak janggal di antara buldoser-buldoser dan derek-derek berwarna kuning yang dibiarkan
terbengkalai di tempat pembangunan. Alat-alat berat itu tampak seperti mainan. Sementara pesawat-
pesawat Yeerk itu tampak seperti senjata mematikan.
Aku benar-benar ngeri. Aku berusaha memanfaatkan keberanian sang kucing, sikapnya yang masa bodoh. Tapi kemudian
pintu pesawat Blade membuka. Dan segenap keberanianku langsung lenyap.
Yang tersisa hanyalah perasaan takut yang amat sangat.
Chapter 20
BERTEMU langsung dengan Visser Three jauh lebih
mendebarkan daripada melihatnya sebagai hologram. Penampilannya sih sama sekali tidak seram. Paling tidak, kalau ia sedang mengambil
wujud Andalite seperti biasanya. Wujud Andalite memang aneh, namun tidak bisa dibilang menakutkan.
Tapi aku pernah bertemu Andalite sungguhan. Dan aku langsung bisa merasakan perbedaan antara Andalite asli dan makhluk
keji bernama Visser Three. Pemimpin Yeerk itu seakan-akan memancarkan cahaya kelam. Cahaya yang membuat pikiran kita diselubungi kegelapan.
Bahkan Chapman pun takut padanya. Dua pengawal Hork-Bajir mengiringi Visser Three. Masing-
masing membawa pistol sinar Dracon, meskipun mereka tidak membutuhkannya. Hork-Bajir sendiri sudah seperti senjata. Marco
menyebut mereka mesin cincang berjalan. Tanduk-tanduk melengkung menyembul dari kening, siku, dan pergelangan tangan
mereka. Kaki mereka mirip cakar elang, cuma jauh lebih besar. Kira-kira sebesar kaki Tyrannosaurus.
Tinggi badan Hork-Bajir lebih dari dua meter, dan mereka punya ekor berduri. Si Andalite sempat memberitahu kami bahwa
bangsa Hork-Bajir bernasib naas karena telah diperbudak oleh kaum Yeerk. Sebenarnya mereka baik hati. Tapi sukar dipercaya kalau melihat penampilan mereka yang begitu seram.
Kedua Hork-Bajir diikuti empat Taxxon. Taxxon berbentuk seperti kelabang dengan badan sebesar tubuh
orang dewasa, tapi dua kali lebih panjang. Sepertiga tubuh kelabang
itu berdiri tegak dengan kaki-kaki runcing bagaikan pasak baja di bagian bawah, dan kaki-kaki yang lebih kecil namun dilengkapi capit
di dekat kepala. Kepalanya dilengkapi empat mata yang tampak seperti gumpalan agar-agar berwarna merah. Di ujung kepala terdapat
mulut bulat yang dikelilingi gigi kecil namun runcing, berderet-deret. Si Andalite bilang semua Taxxon sukarela menjadi induk
semang. Mereka bersekutu dengan kaum Yeerk. Para Hork-Bajir dan Taxxon sama-sama bertampang
mengerikan. Tapi justru Visser Three yang membuatku merinding. Tanpa bantuan alat komunikasi hologram, Visser Three bicara
seperti cara Andalite. Ia bicara dengan memancarkan pikirannya, sama seperti kami kalau sedang berubah wujud.
<Apakah itu si bandit Andalite?> ia bertanya pada Chapman. "Ya, Visser." Visser Three menghampiriku. Ia seperti makhluk gabungan
antara rusa, manusia, dan kalajengking. Mata utamanya menatapku. Mata tambahannya memantau keadaan sekeliling. Ia merapatkan
wajah ke pintu kurungan. Aku bertatapan dengannya. Celah-celah hidungnya tampak
membuka dan menutup setiap kali ia menarik dan mengembuskan napas. Ia memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
Jarak di antara kami hanya beberapa sentimeter saja. Sebenarnya aku bisa menjulurkan kaki depan melalui kisi-kisi pintu
kurungan dan mencakar wajahnya. Tapi aku terlalu ngeri. Aku serasa lumpuh karena takut. Aku
tidak malu mengakuinya. Aku memalingkan kepala karena tidak sanggup membalas tatapan matanya.
<Mana nyalimu, prajurit Andalite?> tanya Visser Three.
Ini pertama kali salah satu dari kami disapa langsung oleh Visser. Suaranya bergaung di dalam kepalaku. Nadanya keji dan
mengancam. Suara itu penuh wibawa—dan kebencian. Ketika ia
menyebutku Andalite, aku hampir berseru, "Bukan, bukan, Visser, aku bukan Andalite. Aku manusia. Manusia!"
Bisa kurasakan pikiranku digempur bertubi-tubi. Dan seketika aku sadar: aku takkan sanggup bertahan saat diinterogasi. Kekuatan
Visser Three sejuta kali lebih besar dari kekuatanku. Ia makhluk mengerikan yang tak kenal ampun. Sedangkan aku? Aku cuma anak
perempuan konyol. Anak perempuan konyol yang sebentar lagi celaka.
Tapi di saat diriku seakan-akan mengerut di hadapan Visser Three, kurasakan kesadaran baru yang mulai bangkit.
Aku tidak sendirian. Ada yang mendampingiku di dalam kepalaku. Makhluk yang tidak kenal Visser Three. Fluffer. Fluffer
bukannya tidak kenal rasa takut, tapi ketakutannya berbeda dari ketakutanku. Fluffer takut burung pemangsa besar. Fluffer takut anjing galak. Fluffer takut kucing jagoan.
Tapi bagi Fluffer, Visser Three tidak ada apa-apanya. Saking paniknya, aku membiarkan kucing dalam diriku
mengambil alih kendali. Aku mundur, dan bersembunyi di balik naluri kucing.
Visser Three mengambil kurunganku dari tangan Chapman. Diangkatnya kurungan itu sehingga ia lebih mudah melihat ke dalam.
Dan apa yang kulakukan? Apa yang dilakukan Fluffer? Ia menempelkan hidung mungilnya ke kisi-kisi pintu dan mulai
mengendus-endus. Fluffer ingin tahu makhluk apa yang berdiri di hadapannya, dan
untuk itu ia perlu mencium baunya. <Dia mirip sekali dengan makhluk berwarna jingga dan hitam
yang menerobos ke kolam Yeerk waktu itu,> ujar Visser Three.
Aku sempat bingung mendengar ucapannya. Tapi kemudian aku sadar: yang ia maksud adalah Jake. Jake menjelma sebagai harimau
ketika kami menyerbu kolam Yeerk.
"Ya, memang," Chapman membenarkan. "Keduanya termasuk keluarga feline. Ini anggota yang paling kecil."
<Tampaknya kau berhasil melukai anak buahku, Iniss dua dua enam, Andalite,> Visser Three berkata padaku. <Kaum Andalite
memang terkenal gagah berani. Kalian bangsa yang bodoh, tapi berani.>
Aku harus bilang apa? Terima kasih? <Kenapa kau diam saja, Andalite? Aku tahu kau bisa
mendengarku. Percuma saja kau terus bersandiwara. Aku tahu siapa kau sebenarnya.>
Aku tetap diam. Aku berusaha mengosongkan pikiran. Aku takut Visser Three langsung sadar aku bukan Andalite
kalau aku mengatakan sesuatu. Kalau ia sampai tahu aku manusia... teman-temanku yang lain juga dalam bahaya.
Aku harus bertahan dalam wujud ini.
Aku harus mati dalam wujud kucing agar rahasiaku tersimpan untuk selama-lamanya.
Visser Three menaruh kurunganku di tanah. <Sekarang, mana anak perempuan itu? Aku sudah menjanjikannya kepada Iniss empat
lima lima. Iniss empat lima lima satu angkatan denganmu, bukan? Dia sedang menunggu di kapal induk. Jadi mana anak itu?>
"Visser... aku...," Chapman tergagap-gagap. Kesan lemah lembut di wajah Visser Three mendadak lenyap.
Kemudian ia bergerak begitu cepat sehingga mata kucingku pun tidak mampu mengikuti gerakannya. Ia mencengkeram leher Chapman.
Ekor Andalite-nya melesat ke depan. Durinya yang runcing berhenti tepat di depan wajah Chapman.
<Kau menentang perintahku?> tuduh Visser. Ia mendesis
seperti ular.
"T-t-tidak, Visser." Chapman gemetar tak terkendali. "Aku tidak mungkin menentang perintahmu. Hanya saja... induk semangku.
Chapman. Dia dan istrinya berontak." <Kau tidak mampu mengendalikan induk semang?> Visser
mencibir. <Kaupikir jiwa Andalite yang masih hidup di tubuhku ini tidak pernah melawan? Kaupikir manusia lebih tangguh daripada
Andalite?> Situasinya semakin tidak menguntungkan bagi Chapman. Baik
bagi Chapman yang asli, maupun bagi Pengendali-manusia yang mengaku sebagai Chapman.
"Visser, aku... aku hanya melaporkan apa adanya. I-i-induk semangku bisa kukendalikan. Tapi aku selalu berurusan dengan
manusia. Aku menduduki posisi penting dalam masyarakat mereka. Aku tidak boleh gemetaran atau kejang-kejang karena ulah induk semangku. Kaum manusia menganggap itu gejala penyakit jiwa. Aku
bisa kehilangan kedudukanku. Dan kalau itu terjadi, aku tak lagi berguna bagimu."
<Sekarang pun kau hampir tak ada gunanya,> ejek Visser Three.
"Visser, induk semangku memohon diperkenankan bicara langsung denganmu," ujar Chapman.
Visser Three tampak ragu-ragu. Mata tambahannya memandang berkeliling, mencari tanda-tanda bahaya. Aku ikut mengamati
sekitarku. Aku tidak tahu seberapa tajam mata Andalite dalam kegelapan. Tapi bagiku kegelapan malam bukan halangan.
Aku menoleh ke kiri-kanan. Aku bahkan tidak tahu apa yang kucari. Yang terlihat olehku cuma para Hork-Bajir dan Taxxon, pesawat-pesawat Yeerk, serta gedung-gedung setengah jadi dan alat-
alat berat yang dibiarkan terbengkalai. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat, melintas di tepi
pepohonan yang membatasi tempat pembangunan. Gerakan zigzag,
jenis gerakan yang paling jelas terlihat oleh mata kucingku. Tapi ketika aku memusatkan perhatian ke arah itu, aku tidak melihat apa-
apa lagi. Hmm, mungkin cuma Hork-Bajir lain yang sedang patroli, pikirku.
<Baiklah, induk semangmu kuizinkan bicara langsung denganku,> ujar Visser Three.
Perhatianku beralih kepada Chapman. Mula-mula tidak ada perubahan. Tapi kemudian kaki Chapman mendadak tertekuk, seolah-
olah tidak sanggup menopang badannya. Ia berusaha bangkit lagi. Tapi kakinya tidak mau menurut. Aku
melihat kakinya tersentak-sentak setiap kali Chapman mencoba berdiri. Akhirnya ia menyerah.
"Fisher," ia bergumam. "Fisher Hree. Sor... Aku... sori. Visher. Visser. Visser Three."
Chapman yang asli sudah begitu lama tidak mengendalikan
tubuhnya sendiri, sehingga ia tidak ingat bagaimana caranya bergerak dan berbicara.
"Visser Three," ia berkata sekali lagi. Ucapannya pelan dan lambat.
<Cepatlah, tolol,> Visser membentak. <Kaupikir aku mau menunggu sampai besok?>
"Visser Three. Kau... Kita sudah sepakat. Kau tahu aku sebenarnya tidak sudi bergabung dengan kalian. Istriku yang mau.
Aku tetap menolak meskipun dibujuk-bujuk. Tapi... tapi istriku... waktu itu ia bukan lagi istriku, tentu saja." Sekonyong-konyong
Chapman mulai menangis. Aku melihat air matanya membasahi pipi. "Istriku yang bukan lagi istriku... istriku yang sudah menjadi salah satu makhlukmu... dia mengancam... mengancam akan menyerahkan
putriku padamu." Ebukulawas.blogspot.com
Dengan susah payah Chapman mengangkat tangan untuk menyeka matanya. "A-aku telah memaafkannya. Dia lemah. Dan kau
memanfaatkan setiap kelemahan." <Ya, ya, jangan berbelit-belit,> sahut Visser Three.
Salah satu Hork-Bajir mendekat. Ia membisikkan sesuatu kepada Visser, lalu kembali menjauh. Aku tidak tahu apa yang
dikatakan Hork-Bajir itu. Mungkin ia mengingatkan Visser Three agar mereka tidak lama-lama di sini.
"Oke," ujar Chapman. "Aku akhirnya mau jadi induk semang sukarela. Aku ber... bersedia..." Ia seperti mau muntah. "Aku bersedia
menyerahkan kebebasanku. Dan menjadi Pengendali. Aku bersedia menerima makhluk kotor yang ada di dalam kepalaku sekarang. Aku
bersedia menjalani semua perintahmu... asal putriku tidak diapa-apakan."
Aku tersentak kaget. Mungkinkah Chapman menjadi
Pengendali untuk menyelamatkan Melissa? Mungkinkah ia melakukan pengorbanan yang begitu besar untuk menyelamatkan putrinya?
<Situasinya sudah berubah,> balas Visser Three. <Manusia bernama Chapman itu bagian penting misi kita. Dia tidak boleh
terancam oleh manusia yang tidak bisa dikendalikan.> "Anak itu—Melissa—dia bukan ancaman. Tapi..." Chapman
kembali mencoba berdiri. Ia menarik lututnya. Perlahan-lahan ia menegakkan badan. Dan akhirnya ia berhasil bangkit, meskipun
dengan susah payah. "Anak itu bukan ancaman," ia mengulangi dengan nada lebih
tegas. "Akulah yang harus kautakuti."
Chapter 21
<KAU mengancamku?> balas Visser Three sambil tertawa.
Dengan sebelah tangan ia mendorong dada Chapman. Dorongannya pelan saja. Chapman langsung jatuh ke belakang, tergeletak di tanah
dengan tangan terentang. Kepalanya hanya beberapa senti dari pintu kurunganku. Air mata membasahi wajahnya.
"Aku akan berjuang dengan sekuat tenaga kalau sampai terjadi sesuatu dengan putriku. Aku takkan menyerah. Sampai kapan pun.
Silakan tanya Yeerk-mu. Pasti dia percaya. Dia mengenalku lebih baik daripada kau. Silakan tanya Iniss dua dua enam, apakah aku akan membela putriku."
Chapman memejamkan mata. Air matanya mengering. Kemudian ia membuka mata lagi. Ia segera bangkit dan melangkah ke
hadapan Visser Three. Yeerk di dalam kepalanya kembali berkuasa. Ia kembali menjadi Pengendali.
Sebelum ia berdiri, aku sempat melihat sesuatu yang membuatku tersentak kaget. Arloji Chapman. Arloji di pergelangan
tangannya menunjukkan pukul sembilan dua delapan. Batas waktuku tinggal tujuh belas menit!
<Induk semangmu akan berusaha melawan?> "Ya, Visser. Begitu pula istrinya. Dia tidak sekuat induk
semangku, tapi dia sempat mengendalikan sebelah tangannya. Mungkin dia memiliki kekuatan tersembunyi yang tidak kita ketahui." Ia terdiam sejenak. Aku bisa mencium bau ketakutan yang menyebar
dari tubuhnya. "Aku akan lebih berguna bila berada dalam induk semang sukarela. Tapi aku hanyalah alatmu, Visser. Segala
perintahmu akan kutaati."
<Ya, tentu saja,> sahut Visser Three. <Tapi kau telah menyerahkan bandit Andalite ini.> Ia mengangguk ke arahku.
<Berarti untuk sementara waktuku akan tersita. Baiklah, biarkan anak perempuan itu. Tunggu perintah selanjutnya. Dan sekarang enyahlah
dari sini. Jangan sampai kesabaranku habis.> Chapman tidak perlu disuruh dua kali. Cepat-cepat ia naik ke
mobilnya dan tancap gas. Melissa selamat. Paling tidak untuk sementara.
<Kita berangkat,> seru Visser Three. Para Hork-Bajir langsung bereaksi. Hork-Bajir terdekat segera mengangkat kurunganku, dan
tiba-tiba saja aku sudah dibawa ke pesawat Blade. Sebentar lagi aku akan berada di dalam pesawat Visser. Aku
akan meninggalkan Bumi. Masa depanku akan penuh penderitaan. Moga-moga aku mati sebelum sempat mengkhianati teman-temanku.
<Nah. Bagaimana keadaannya sekarang?> "
Mrrrrraaaoww!" Aku melompat kaget di dalam kurungan. <Jake? Kaukah itu?>
<Siapa lagi kalau bukan aku? Memangnya ada kutu lain yang bisa bicara di punggungmu?>
<Jake, kau kan sudah kusuruh pergi ke tempat aman!> <Hah, mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian. Eh, aku
sempat mendengar pikiran Visser Three tadi, tapi aku tidak tahu di mana kita sekarang.>
<Sebentar lagi kita akan dibawa ke pesawat Visser Three. Dan waktuku tinggal seperempat jam lagi. Lewat dari itu aku akan terjebak
dalam bentuk kucing.> <Seperempat jam? Hmm, berarti waktuku tinggal sepuluh
menit. Aku lebih dulu berubah wujud tadi.>
<Jake, pergilah! Jangan sampai kau harus jadi kutu untuk selama-lamanya!>
Pintu pesawat Blade membuka tanpa suara. Cahaya merah tua memancar keluar. Aku melihat sejumlah Taxxon berdiri di depan
semacam panel kontrol. Dan di dekat pintu beberapa penjaga Hork-Bajir berkeliaran.
<Aku takkan pergi,> ujar Jake. <Kami semua takkan meninggalkanmu.>
<Kami... maksudmu semua teman kita juga sudah berubah jadi kutu? >
<Bukan, tapi mestinya mereka ada di sekitar sini. Tobias seharusnya mengikuti kita dan membimbing yang lain, ke mana pun
kita dibawa.> <Mereka tidak bisa berbuat apa-apa.>
<O ya? Hmm, tapi mereka tetap akan mencoba.> Sekonyong-konyong terdengar bunyi aneh. Otak kucingku tidak
mengenali bunyi itu. Tapi bagi otak manusiaku suara itu terasa akrab.
Bunyi kendaraan. Kendaraan berat. Seperti truk. Atau traktor. Atau... Buldoser.
Hork-Bajir yang membawaku juga melihatnya. Ia berlari masuk ke pesawat Blade dan melempar kurunganku ke lantai. Kemudian ia
berbalik dan menghampiri Visser Three yang berdiri di ambang pintu. <Mereka menghidupkan buldoser,> aku berkata kepada Jake.
<Kalau begitu sudah waktunya aku turun ke medan tempur,> ia menyahut. <Aku akan mencoba langsung berubah jadi binatang lain.
Mudah-mudahan berhasil. Oke, ini dia. Yeeeee-haaaaah!> Melalui pintu pesawat yang terbuka aku melihat sebuah
buldoser. Kendaraan itu bergerak lamban. Tapi arahnya tepat menuju ke pesawat Blade.
<Cepat, kita harus lepas landas!> seru Visser Three.
Taxxon terdekat mengatakan sesuatu dengan bahasanya yang mendesis-desis. Kedengarannya seperti "Ssssree shway sne'rp
snerrrrup ssreet."
<Dua menit untuk lepas landas? Terlalu lama!> teriak Visser Three. Ekornya melesat ke depan. Seketika muncul luka menganga di
tubuh si Taxxon. Aku melihat lendir kuning-kehijauan mengalir dari luka itu.
Para Taxxon lainnya mendadak bersemangat. Semua mengayun-ayunkan tangan sambil menggerak-gerakkan capit mereka.
<Kau dan kau.> Visser Three menunjuk dua Taxxon. <Kalian urus prosedur lepas-landas! Yang lain boleh melahap si tolol ini.>
Taxxon yang terluka memekik-mekik. Ketiga Taxxon lain bergegas menghampirinya. Tanpa buang-buang waktu mereka mulai
menggerogoti tubuh rekan mereka yang tak berdaya. Suara buldoser di luar semakin keras. Visser Three berteriak-
teriak memberi perintah. Para Hork-Bajir menghambur keluar dari pesawat.
Lalu aku melihat sesuatu di salah satu sudut pesawat yang
gelap, di belakang para Taxxon yang sedang berpesta-pora. Ada sesuatu yang muncul begitu saja. Sesosok tubuh manusia.
<Jake!> <Jangan sekarang. Aku lagi konsentrasi.>
Visser Three benar-benar gusar. Aku bisa merasakan kemarahan yang terpancar dari dirinya. <Hancurkan mesin itu! >
perintahnya. Di luar, dua Hork-Bajir membidik buldoser seberat lima ton
yang sedang bergerak maju dengan pelan tapi pasti. Jake masih meringkuk di pojok, tapi ia sudah mulai berubah
wujud lagi. Mata kucingku melihat pola loreng yang muncul di tubuhnya. Warnanya hitam dan jingga. Loreng harimau.,
Kini sudah waktunya aku beraksi. Aku memusatkan pikiran.
Dan dalam sekejap saja aku mulai merasakan perubahan. Kurungan tempat aku disekap mendadak terasa sempit.
Buldoser di luar semakin dekat.
Taxxon yang sedang sekarat menjerit-jerit ketika dimakan hidup-hidup oleh rekan-rekannya.
Tiba-tiba aku melihat cahaya merah terang-benderang. Disusul bunyi mendesis. Dan serta-merta buldoser itu lenyap. Aku menelan
ludah. Marco! Cassie! Apakah mereka selamat? Aku harus konsentrasi. Teriakan si Taxxon tak boleh
kuhiraukan. Aku tidak boleh memikirkan Cassie dan Marco. Aku harus mengendalikan proses metamorfosis yang sedang berlangsung.
Tidak usah berubah banyak. Aku tidak boleh berubah menjadi manusia. Manusia utuh, maksudku. Aku menatap cakarku. Jari-jemari
yang pendek dan gendut telah bermunculan. Kukeluarkan jari melalui kisi-kisi pintu, dan aku berhasil meraih kuncinya.
Salah satu Taxxon menoleh. "Yeerss sreen ssseere!" makhluk menjijikkan itu berseru sambil mengayun-ayunkan kaki ke arahku.
Visser Three langsung berbalik dan menatapku sambil
mendelik. Tatapannya penuh kebencian. Aku membuka pintu kurungan.
"Rmurrrawwwwfrr!" Tepat pada saat itu Jake melompat sambil menjulurkan cakarnya yang besar. Aku menghambur keluar dalam
wujud setengah kucing setengah manusia. Jake menerkam Visser Thre dari samping. <Kali ini kau akan
kucincang, brengsek!> Visser Three terjatuh. Ekornya menyambar, tapi meleset. Jake
mengoyak-ngoyak tubuh Visser Three dengan cakarnya yang jauh lebih besar dari cakarku.
<Aaaaaarrrggghhh!> Aku betul-betul senang mendengar Visser Three meraung
kesakitan. Tapi ada hal lain yang lebih mendesak untuk dipikirkan.
Aku sulit bergerak dalam wujudku yang serba tanggung. Aku memusatkan pikiran untuk kembali ke wujud kucing. Batas waktuku
tinggal beberapa menit saja.
Jake terpaksa melepaskan Visser Three karena segerombolan Hork-Bajir bergegas mendekat untuk menyelamatkan pemimpin
mereka. <Lari!> teriak Jake.
<Ya, lari!> aku menyahut. Kami langsung kabur. Aku telah kembali menjelma sebagai
Fluffer. Aku bisa berlari dengan kecepatan lima puluh kilometer per jam.
Masalahnya, para Hork-Bajir sanggup berlari lebih cepat dari itu.
Jake bahkan lebih cepat lagi, untuk jarak pendek. Ia mampu berlari cukup cepat untuk mengalahkan para Hork-Bajir yang
mengejarnya. Tapi ia tidak mungkin meninggalkanku. Jake berbalik dan menerjang Hork-Bajir terdekat. Ia terbang di atasku. Tubuh harimaunya membentuk bayangan
besar berwarna hitam-jingga. Hork-Bajir yang diterkamnya langsung jatuh. <Cepat pergi, Rachel! Kau terlalu kecil untuk melawan
mereka.> Tapi aku masih dikejar Hork-Bajir lain. Hork-Bajir yang bisa
lari lebih cepat daripada aku. Aku mendadak bergerak ke kiri. Si Hork-Bajir melewatiku. Aku
mendadak berbalik, cakar-cakar kecilku menggores-gores tanah. Si Hork-Bajir mencoba menyambarku tapi meleset.
Tapi ada lagi yang bergerak. Sesuatu yang besar. Tanah terasa bergetar....
Buldoser lain tampak bergerak maju. Marco dan Cassie telah menghidupkan buldoser lain!
Aku berlari ke bangunan setengah jadi yang paling dekat. Aku
harus menyingkir. Dan aku harus kembali ke wujud manusia. Waktunya sudah habis. Dalam beberapa menit aku akan terjebak!
Aku melihat lubang gelap dan langsung melompat ke sana. Lubang itu menuju ke semacam ruang bawah tanah yang rendah.
Kira-kira setengah meter di atasku terdapat lantai beton. Aku selamat! Tempat itu aman dan cukup luas bagiku untuk menjelma kembali
sebagai manusia. Aku berusaha memusatkan pikiran. Di luar tempat
perlindunganku terdengar geraman dan teriakan makhluk asing. Aku mendengar bunyi mesin buldoser. Dan desis sinar pistol Dracon.
Aku harus segera jadi manusia lagi, kataku dalam hati. Waktuku tinggal beberapa menit!
Lalu terdengar bunyi berdebum yang sangat keras. Satu kali. Dua kali. Kedengarannya seperti raksasa yang sedang mengentak-
entakkan kaki. Tiba-tiba raksasa itu berhenti. Aku terpaku di tempat. Aku tidak
bisa berpikir, apalagi berubah wujud.
Braaaak! Pilar-pilar bersisik yang sekeras batu karang menembus lantai
beton di sekelilingku. Masing-masing sebesar batang pohon. Kraaaak!
Lantai di atasku terangkat, seolah hanya selembar kertas. Tempat persembunyianku terbongkar. Aku terperangkap.
Monster yang seolah-olah terbuat dari batu karang menjulang di atasku. Tangannya yang besar mencengkeram potongan lantai beton
yang telah hancur. <Kau takkan bisa lolos,> ujar Visser Three.
Chapter 22
TAMATLAH sudah riwayatku. Semuanya akan segera
berakhir. Tak ada satu pun kekuatan di dunia yang sanggup menghentikan Visser Three dalam wujud seperti ini.
Tingginya enam meter. Setinggi tiang telepon. Ia berdiri dengan tiga kaki kokoh yang masing-masing sebesar pohon redwood, salah
satu jenis pohon terbesar di dunia. Kepalanya kecil, hanya sebesar kepala manusia. Penampilannya menggelikan, tapi apa yang
dilakukannya sama sekali tidak membuatku tertawa. Sepasang tangannya yang panjang sibuk menghancurkan lantai
beton. Ia menusukkan jari, menembus permukaan beton. Kemudian ia
mencabut potongan-potongan lantai dan melempar semuanya ke belakang.
Salah satu Hoyk-Bajir tertimpa potongan lantai. Makhluk itu langsung remuk. Tapi Visser Three sudah tidak peduli lagi.
Aku berlari tunggang-langgang. Braaaak! Sebelah tangan Visser Three menghantam tanah tepat
di depanku. Aku melompat mundur dan berbalik.
Braaaak! Jalanku kembali terhalang oleh tangannya yang satu lagi.
Kucing dalam diriku pun sadar—tak ada harapan. Visser Three menatapku dengan mata menyala-nyala.
Direntangkannya kedua tangan, seolah-olah membuat dinding di
sekelilingku. K-R-R-R-A-A-A-A-K!
Visser Three terdiam.
B-O-O-O-O-M! Aku segera melompat.
Aku melompat ke atas dinding tembok. Aku melompat hampir dua meter, tegak lurus ke atas. Dan percayalah, dalam keadaan panik
seperti ini aku sanggup melompat lebih tinggi lagi. Dari sudut mata aku melihat apa yang terjadi. Buldoser tadi
telah menabrak salah satu pesawat Bug Fighter. Dan pesawat tempur itu langsung meledak.
<AAAARRRRRGHHH!> Visser Three meraung-raung karena marah. Aku berlari menyusuri puncak tembok. Lebarnya tak sampai
sejengkal. Ini jauh lebih sulit daripada meniti balok keseimbangan di tempat latihan senam. Tapi aku tetap lari sekencang mungkin.
<Kalian akan kubunuh SEMUA! DASAR TOLOL!> teriak Visser Three.
Aku sempat berharap kemarahannya akan membuatnya lupa
padaku. Tapi langkahnya yang berdebam-debam kembali terdengar. Dengan dua langkah saja ia sudah berhasil mengejarku.
Tangannya yang besar menyambar ke arahku. Jarak ke permukaan tanah sekitar tiga meter, dan rongsokan
berkarat tergeletak di mana-mana. Tapi aku tidak punya pilihan. Tanpa pikir panjang aku
melompat turun. Benda-benda logam yang tajam siap menyambutku. Sementara
tangan Visser Three semakin dekat. Tiba-tiba punggungku seperti ditusuk.
Aku tak lagi meluncur turun. Tubuhku malah terangkat ke udara.
<Ya ampun, Rachel. Lain kali, kalau kau mau jadi kucing lagi,
pilih dong kucing yang tidak terlalu gendut!> Tobias!
<Aku bisa membawamu sampai ke pepohonan, tapi cuma sampai di situ,> katanya.
<Aku harus jadi manusia lagi,> sahutku. <Waktuku sudah habis!>
Kami terbang ke arah pepohonan. Tobias harus berjuang mati-matian agar kami tetap mengudara. Aku tahu tenaganya sudah nyaris
terkuras habis. <Lepaskan aku, sekarang!>
Kami sampai di pepohonan. Tobias melepaskanku. Aku meluncur turun. Tapi ekorku berputar-putar, sehingga aku tetap bisa
menjaga keseimbangan. Cakarku segera mencengkeram kulit pohon terdekat. Aku sudah
murai berubah wujud ketika aku melompat turun dan mendarat di lapisan daun cemara yang empuk.
Melalui sela-sela batang pohon aku melihat Visser Three
mengamuk. Para Hork-Bajir yang masih tersisa dicampakkannya bagaikan mainan. Para Taxxon hancur lebur terinjak kakinya.
<Rupanya dia kesal karena kita berhasil lolos,> ujar Tobias. "Jake? Dan yang lainnya?" tanyaku. "Mereka juga selamat?"
<Mereka baik-baik saja. Jake sempat kembali ke wujud manusia sebelum menjelma jadi harimau. Jadi waktunya masih
panjang. Bulu Marco agak gosong, tapi selain itu dia tidak apa-apa. Cassie juga."
Tubuhku terkulai di tanah. Aku lolos. Aku selamat. Seharusnya aku gembira. Tapi yang kurasakan cuma keletihan yang luar biasa.
Capeknya minta ampun.
Chapter 23
AKU bertemu Melissa pada latihan senam berikutnya. Ia masih
hidup. Masih bebas. Aku berlagak acuh tak acuh pada waktu berganti baju. Juga
pada saat pemanasan. Tapi sebenarnya aku melirik ke arah Melissa ketika ia membuka locker dan mengeluarkan amplop.
Ia membukanya dan membaca kata-kata yang kutulis. "Melissa, kasih sayang ayahmu padamu lebih besar daripada
yang bisa kaubayangkan. Dan lebih besar dari yang bisa diperlihatkannya. Tertanda, seseorang yang tahu."
Kata-kata itu kucetak dengan printer, supaya Melissa tidak bisa
mengenali tulisan tanganku. Mungkin cuma perasaanku saja, tapi Melissa tampak lebih
sungguh-sungguh sewaktu berlatih. Mom menjemputku pulang. Sesampainya di rumah, aku
menelepon teman-temanku. Sudah beberapa hari kami tidak bertemu, sejak pertempuran di tempat pembangunan.
"Bagaimana keadaan Melissa?" tanya Cassie. Aku angkat bahu. "Aku meninggalkan pesan untuknya."
Kuceritakan tentang surat itu. "Aku tahu perbuatanku bisa membahayakan, Jake. Juga cengeng, seperti katamu, Marco. Tapi aku
tidak peduli. Chapman sudah mengorbankan jiwa dan raganya agar putrinya bisa selamat. Aku tidak bisa diam saja."
Jake mengangguk. "Tidak apa-apa. Moga-moga ada gunanya."
Cassie menatapku sambil tersenyum untuk memberitahuku bahwa ia bangga padaku. Marco cuma geleng-geleng kepala, tanpa
komentar.
"Hmm, kita berhasil menghancurkan satu pesawat Bug Fighter. Kita berhasil membuat Visser Three kalang kabut. Dan..."
"...dan kita semua masih hidup," Marco menyambung. "Ya, itu juga," Jake menimpali. Ia nyengir lebar. "Itu amat
sangat penting." "Lain kali kita akan...," aku mulai berkata.
"...lain kali?" seru Marco, pura-pura kaget. <Ya, lain kali,> ujar Tobias. <Perjuangan kita belum berakhir.
Kita akan bertempur terus sampai kaum Andalite kembali mengunjungi Bumi.>END
Ebukulawas.blogspot.com