anti epilepsi_kelompok 2
TRANSCRIPT
MAKALAH FARMAKOLOGI
ANTIEPILEPSI
KELOMPOK 2
ANDRI LESMANA
GUSTIA INDAH P.
MASDIFAL
META JULIA PRITANIA
RAHMI SUCI
YENI SARI PUTRI WIJAYA
PROGRAM STUDI FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
YAYASAN HARAPAN IBU JAMBI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan
dengan disabilitas fisik,disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya
(pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan
tidak menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak.
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi diseluruh dunia berjumlah 50 juta orang,
37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang.
Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi
aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per100.000 penduduk. Angka prevalensi
dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Epilepsi dihubungkan dengan
angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan,
gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja,
permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks. Penyandang epilepsi pada masa
anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti
pendidikan formal. Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian
yang berhubungan dengan epilepsi.
Penyakit Epilepsi dapat memberikan komplikasi jangka panjang yang cukup serius, untuk itu
perlu dipahami mengenai keteraturan pengobatan, menghindari faktor pencetus untuk mencegah
terjadinya kejang. Faktor pencetus epilepsi adalah kurang tidur, terlalu lelah, stress emosional, infeksi,
obat-obatan tertentu, hormonal (haid, kehamilan).
Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi neuron kortikal
yang mengalami gangguan. Loncatan elektrik abnormal sebagai pencetus serangan sangat sering berasal
dari neuron-neuron kortikal. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya bangkitan adalah
ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran ion direseptor yang
berperan terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter. Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan
membuka pintu untuk masuknya ion kalsium yang berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari
kematian sel yang berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus dan korteks serta
mengarah pada gangguan perilaku bunuh diri.
BAB II
ISI
A. Definisi
Epilepsi (bahasa Yunani “epilepsia” yang berarti serangan ) adalah manifestasi
gangguan otak dengan berbagai etiologi, namum dengan gejala yang khas, yaitu
serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara
berlebihan.
Epilepsi adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kecenderungan untuk
mengalami kejang berulang. Kejang merupakan manifestasi abnormalitas kelistrikan
pada otak yang menyebabkan perubahan sensorik, motorik, tingkah laku. Penyebab
terjadinya kejang antara lain trauma terutama pada kepala,encephalitis (radang otak),
obat, birth trauma (bayi lahir dengan cara vacuum-kena kulit kepala-trauma),
penghentian obat depresan secara tiba-tiba, tumor, demam tinggi, hipoglikemia,
asidosis, alkalosis, hipokalsemia, idiopatik. Sebagian kecil disebabkan oleh penyakit
menurun. Kejang yang disebabkan oleh meningitis disembuhkan dengan obat anti
epilepsi, walaupun mereka tidak dianggap epilepsi.
Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengidap epilepsi, dan hampir dua per
tiganya ditemukan di negara berkembang. Epilepsi menjadi suatu hal yang umum ketika
pertambahan usia. Permulaan kasus baru acapkali muncul pada bayi dan orang tua.
Sebagai konsekuensi tindakan bedah otak, serangan epilepsi dapat muncul pada pasien
yang mejalani tindakan pembedahan tersebut.
Epilepsi dapat dikontrol, namun tidak bisa disembuhkan. Bagaimanapun juga,
lebih dari 30% orang yang mengidap epilepsi tidak dapat mengontrol serangan
meskipun dengan obat terbaik yang tersedia. Operasi bisa dilakukan pada kasus
tertentu. Tidak semua sindrom epilepsi berlangsung seumur hidup, beberapa di
antaranya hanya terjadi pada masa kanak-kanak. Epilepsi tidak dapat dipahami sebagai
suatu kelainan tunggal, melainkan sindrom dengan melibatkan episoda aktifitas muatan
listrik yang abnormal pada otak.
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan
listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu fokus dalam otak yang
menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptik yang
sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptik. Neuron inilah yang menjadi sumbe
bangkitan epilepsi. Letupan depolarisasi dapat terjadi di daerah korteks.
A. Epidemiologi
Genetik : pada usia muda
Tumor : > 40 tahun
Trauma pada kepala dan infeksi SSP : segala usia
Prevalensi epilepsi aktif berada di kisaran 5-10 per 1000 orang.
Tingkat kejadian perkiraan tahunan epilepsi di negara industri lebih rendah
(40-70 per 100.000) dibandingkan di negara berkembang (100-190 per
100.000).
Di negara industri tingkat kejadian menurun pada anak namun meningkat
di kalangan orang tua selama 3 dekade sebelum 2003 dan alasannya tidak
sepenuhnya dipahami.
B. Etiologi
Lepasan saraf pada epilepsi dihasilkan dari sejumlah kecil saraf-saraf di beberapa
area spesifik dari otak, dinyatakan sebagai fokus primer. Secara anatomi, area fokal ini
bisa tampak normal. Biasanya tidak ditemukan penyebab pasti dari epilepsi. Walaupun
area-area fokal yang berfungsi abnormal itu bisa dirangsang menjadi aktif dengan
perubahan faktor-faktor lingkungan termasuk perubahan gas darah, pH, elektrolit
ataupun ketersediaan glukosa.
1. Epilepsi primer
Jika tidak ada penyebab anatomik yang spesifik untuk kejang, seperti
trauma atau neoplasma, merupakan bukti sindrom yang disebut epilepsi
idiopatik atau primer. Kejang-kejang ini dapat ditimbulkan karena abnormalitas
turunan dalam sistem saraf pusat. Pasien diobati dengan obat antiepileptik.
2. Epilepsi sekunder
Sejumlah gangguan yang reversibel, seperti tumor-tumor, luka kepala,
hipoglikemia, infeksi meningen atau penghentian alkohol secara cepat pada
seorang peminum dapat mencetuskan kejang. Obat anti epilepsi diberikan
sampai penyebab primer kejang dapat disembuhkan. Kejang yang disebabkan
oleh stroke atau trauma bisa menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat yang
ireversibel.
Penyebab spesifik dari epilepsi :
1. kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi,
minum alcohol, atau mengalami cidera.
2. kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4. tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.
5. penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6. radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
7. penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada
anak.
Faktor-faktor pencetus
a. kurang tidur
b. stress emosional
c. infeksi
d. obat-obat tertentu
e. alkohol
f. perubahan hormonal
g. terlalu lelah
h. fotosensitif
C. Patofisiologi
1. Mutasi gen, khususnya gen yang mengkode protein saluran natrium
2. Gangguan fungsi neuron otak dan transmisi sinaps
3. Epileptogenesis
Epileptogenesis adalah proses berkembangnya otak normal menjadi epilepsi
setelah suatu trauma.
4. Lesi pada otak, dapat berupa jaringan luka atau massa abnormal lain di suatu
area otak.
D. Klasifikasi Epilepsi
1. Bangkitan umum primer, terdiri dari:
a. Bangkitan tonik-klonik (grand mal)
Merupakan bentuk epilepsi yang paling sering ditemukan dan paling
dramatis. Serangan menyebabkan hilangnya kesadaran. Diikuti kejang tonik
kemudian oleh fase kejang klonik. Serangan tersebut diikuti oleh suatu
periode kebingungan dan kelelahan. Pasien jatuh mendadak, kejang, nafas
tengah-engah, keluar air liur. Bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit
lidah
b. Bangkitan lena (petit mal atau absences)
Onset gangguan kesadaran muncul tiba-tiba disertai dengan mata
membelalak dan aktivitas yang sedang berlangsung terhenti, biasanya
berlangsung kurang dari 30 detik.
c. Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences), bangkitan tonik,
bangkitan klonik (mioklonik), bangkitan atonik, bangkitan infantil (spasme
infantil)
Bangkitan lena atipikal : manifestasi klinisnya berupa perubahan
postural terjadi lebih lambat dan lebih lama, biasanya disertai
retardasi mental.
Bangkitan mioklonik (bangkitan klonik) : biasa terjadi setelah bangun
tidur berupa kontraksi otot sebagian / seluruh tubuh yang terjadi
secara cepat dan mendadak. Mioklonik dapat terlihat pada berbagai
jenis bangkitan seperti : bangkitan umum tonik-klonik, bangkitan
parsial, bangkitan umum tipe absence dan spasme infantil.
Bangkitan atonik : tiba-tiba kehilangan otot postural sehingga
seringkali jatuh tiba-tiba, tapi segera pulih. Sering terjadi pada anak.
Spasme infantil : terjadi pada usa 4-8 bulan. Manifestasi klinisnya
berupa kontraksi leher, batang tubuh dan ekstremitas yang simetris
bilateral; ada fragmentasi serangan kejang.
Faktor pencetus : infeksi, kemikterus, TBC, hiperglikemia,
hipoglikemia, kelainan metabolisme. Sebagian besar tidak responsif
terhadap terapi, dan retardasi mental tidak dapat dicegah dengan
terapi.
2. Bangkitan parsial
a. Bangkitan parsial sederhana (pasien tidak kehilangan kesadaran, terjadi
sentakan-sentakan pada bagian tubuh tertentu)
1) Berasal dari lobus motor frontal : tonik, klonik, tonik-klonik,
Jakconian’s
2) Berasal dari somatosensoris (visual, audiotorik, olfaktorius,
gustatorius, vertiginosa)
3) Autonom
4) Psikis murni
b. Bangkitan parsial kompleks (kesadaran terganggu), misalnya epilepsi
psikomotor (epilepsi lobus temporalis)
Penyebaran cetusan listrik yang abnormal lebih banyak. Biasanya
terjadi dari lobus temporal karena lobus ini rentan terhadap hipoksia.
Biasanya ada tanda peringatan yang disertai oleh perubahan
kesadaran , diikuti oleh “automatisme” yakni gerakan otomatis seperti
menjilat bibir, menelan, menggaruk, berjalan, yang biasanya berlangsung 30-
120 detik. Kemudian biasanya pasien kembali normal yang disertai kelelahan
selama beberapa jam.
3. Bangkitan lain-lain
Kejang demam pada neonatus
Adalah kejang pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun tanpa disertai
kelainan neurologis, bersifat umum dan singkat ( kurang dari 15 menit),
terjadi bersamaan dengan demam, hanya terjadi 1 kali dalam waktu 24 jam.
Anak-anak dengan infeksi susunan saraf pusat atau kejang tanpa demam
sebelumnya tidak dapat disebut menderita kejang demam.
Status eliptikus
Yaitu suatu bangkitan yang terjadi berulang-ulang. Pasien belum sadar
setelah episode pertama, serangan berikutnya sudah dimulai. Dapat
disebabkan oleh penghentian terapi yang mendadak, terapi yang memadai,
penyakit-penyakit dalam otak (ensefalitis, tumor dalam otak, kelainan
serebrovaskular), keracunan alkohol, kehamilan.
E. Mekanisme Terjadinya Bangkitan Epilepsi
Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad lampau oleh John
Hughlings Jackson. Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang timbul
kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan
umum bila neuron normal disekitarnya terkena pengaru letupan tersebut.
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya
cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi
neuron di sekitarnya, kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal.
Tidak ada gejala klinis dan abnormalitas EEG hanya tampak pada periode antar kejang.
Kemudian cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur
hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang
tereksitasi seperti salivasi, midriasis, takikardi, dan sebagainya. Aktivitas subkorteks
akan diteruskan kembali ke fokus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas
eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur
kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum.
Setelah itu terjadi diensefalon. Secara klinis terjadi fase tonik-klonik berulang kali dan
akhirnya timbul “kelelahan” neuron pada fokus epilepsi dan menimbulkan paralisis dan
kelelahan pasca epilepsi.
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni fase inisiasi
dan fase propagasi.
1. Fase inisisasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan
peranan kanal ion Ca2+ dan Na+ serta hiperpolarisasi yang dimediasi oleh reseptor
GABA atau kanal ion K+.
2. Fase propagasi. Dalam keadaan normal, penyebaran depolarisasi akan dihambat
oleh neuron-neuron inhibisi di sekitarnya yang mengadakan hiperpolarisasi. Namun
pada fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron di
sekitarnya), akumulasi Ca2+ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan
neurotransmitor), serta menginduksi reseptor ekstasi NMDA dan meningkatkan ion
Ca2+ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan
dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat
menyebabka epilepsi umum/epilepsi sekunder.
F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala yang disampaikan oleh orang lain
yang menyaksikan terjadinya serangan epilepsi pada
penderita. EEG (elektroensefalogram) merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas
listrik di dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki
resiko. Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam
otak. Setelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menentukan
penyebab yang biasa diobati.Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk:
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
EKG (elektrokardiogram) dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama
jantung sebagai akibat dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa
menyebabkan seseorang mengalami pingsan. Pemeriksaan CT scan dan MRI dilakukan
untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan
karena cedera kepala. Kadang dilakukan pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah
terjadi infeksi otak.
G. Sasaran, Tujuan dan Strategi Terapi
1. Sasaran Terapi
Menstabilkan membran saraf dan mengurangi aktivitas kejang dengan
meningkatkan pengeluaran atau mengurangi pemasukan ion Na+ yang
melewati membran sel pada korteks selama pembangkitan impuls saraf.
2. Tujuan Terapi
Membuat penderita terbebas dari serangan khususnya serangan kejang
sedini mungkin tanpa mengganggu fungsi normal susunan saraf pusat agar
penderita dapat beraktivitas tanpa gangguan.
3. Strategi Terapi
a. Non-farmakologi
o Diet
o Pembedahan dan Vagal Nerve Stimulation
o Makan makanan yang seimbang
o Istirahat
o Belajar mengendalikan stres
b. Farmakologi
o Menggunakan obat anti epilepsi (OAE)
H. Obat –obat yang Digunakan dan Mekanismenya
1. Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson
Fenitoin
Mekanisme kerja : menstabilkan membran sel saraf terhadap
depolarisasi dengan cara mengurangi masuknya ion-ion natrium
dalam neuron pada keadaan istirahat atau selama depolarisasi.
Efek samping
- SSP : diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, sukar berbicara,
tremor, gugup, sedasi, lelah, gangguan mental
- Saluran cerna dan gusi : nyeri ulu hati, anoreksia, mual,
muntah, edema gusi.
- Kulit : ruam morbiliform, keratosis.
- Lain-lain : bila muncul gejala hepatotoksisitas berupa ikterus
atau hepatitis, anemia megaloblastik, pengobatan perlu
dihentikan
Indikasi : bangkitan tonik-klonik dan bangkitan parsial, neuralgia
trigeminal, aritmia jantung, terapi renjatan listrik, dan kelainan
ekstrapiramidal iatrogenik.
Interaksi obat : kadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila
diberikan bersama kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin,
dikumarol, dan beberapa sulfonamid tertentu, karena obat-obat
tersebut menghambat biotransformasi fenitoin.
Sulfisoksazol, fenilbutazon, salisilat dan asam valproat juga
mempengaruhi ikatan protein plasma fenitoin sehingga meninggikan
kadarnya dalam plasma.
Teofilin fenitoin menurunkan kadar fenitoin jika diberikan
bersamaan.
Interaksi fenitoin dengan fenobarbital dan karbamazepin
kompleks. Fenitoin akan menurun kadarnya karena fenobarbital
menginduksi enzim mikrozom hati, tetapi kadang kadar fenitoin
dapat meningkat akibat inhibisi kompetitif dalam metabolisme. Hal
tersebut juga berlaku untuk kombinasi fenitoin dengan
karbamazepin.
Kontra indikasi : leukopeni, blok AV tingkat II dan III
Karbamazepin
Mekanisme kerja : mengurangi perambatan impuls abnormal di
dalam otak dengan cara menghambat kanal natrium, sehingga
menghambat timbulnya potensi kerja yang berulang-ulang di dalam
fokus epilepsi.
Efek samping : pusing, vertigo, ataksia, diplopia, penglihatan kabur,
mual, muntah, anemia aplastik, agranulositosis, dan reaksi alergi
berupa dermatitis, eosinofilia, limpfadenopati, dan splenomegali
Indikasi : efektif untuk bangkitan parsial kronik dan bangkitan tonik-
klonik.
Interaksi obat : karbamazepin menurunkan kadar asam valproat,
fenobarbital, dan fenitoin.
Fenobarbital dan fenitoin dapat meningkatkan metabolisme
karbamazepin, dan biotransformasi karbamazepin dapat dihambat
oleh eritromisin.
Kontra indikasi : hipersensitif dengan karbamazepin, ada riwayat
depresi sum-sum tulang, gangguan fungsi hati berat, AV blok,
penggunaan bersama dengan inhibitor MAO.
Fenobarbital
Mekanisme kerja : meningkatkan efek penghambatan GABA dengan
cara berikatan pada kompleks reseptor GABA-kanal klorida.
Efek samping : sedasi, psikosis akut, agitasi.
Indikasi : epilepsi parsial, serangan tonik-klonik kambuhan,
menghilangkan ansietas ketegangan mental dan insomnia
Interaksi obat : kombinasi dengan asam valproat mengakibatkan
kadar fenobarbital naik 40%.
Asam valproat
Mekanisme kerja : menghambat penguraian neurotransmitter
inhibitorik GABA dengan cara hambatan terhadap enzim GABA –
aminotransferase kenaikan kadar GABA di sinaps
Efek samping :
- Saluran cerna : anoreksia, mual, muntah
- Sistem saraf pusat : sedasi, ataksia, tremor (menghilang
dengan penurunan dosis)
- Gangguan pada hati : peninggian aktivitas enzim-enzim hati,
nekrosis hati.
Indikasi : bangkitan umum
Interaksi obat : asam valproat meningkatkan kadar fenobarbital 40%.
Interaksi dengan fenitoin akan menyebabkan kadar fenitoin dalam
plasma menurun. Etosuksimid menyebabkan kadar asam valproat
menurun pada beberapa pasien. Valproat menghambat metabolisme
lamotrigin yang akan berujung pada reaksi keracunan.
Kontra indikasi : kehamilan
2. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus
Etosuksimid
Mekanisme kerja : menurunkan arus Ca2+ bernilai ambang rendah
(arus T) dalam neuron-neuron talamus.
Efek samping :
- Gastrointestinal : mual, muntah , anoreksia.
- Sistem Saraf Pusat : kantuk, letargi, euforia, pusing, sakit
kepala, cegukan.
- Pada pasien yang memiliki riwayat gangguan kejiwaan dapat
menyebabkan kegelisahan, agitasi, ansietas, agresif, tidak
mampu berkonsentrasi.
Indikasi : absence seizure
Interaksi obat : penggunaan etosuksimid dengan karbamazepin,
fenobarbital, dan fenitoin akan menurunkan konsentrasi etosuksmid
dalam plasma
Asam Valproat
Mekanisme kerja : menghambat penguraian neurotransmitter
inhibitorik GABA dengan cara hambatan terhadap enzim GABA-
aminotransferase kenaikan kadar GABA di sinaps.
Efek Samping: Hepatotoksik, hiperammonemia.
- Saluran cerna : anoreksia, mual, muntah
- Sistem saraf pusat : sedasi, ataksia, tremor (menghilang
dengan penurunan dosis)
- Gangguan pada hati : peninggian aktivitas enzim-enzim hati,
nekrosis hati.
Indikasi: bangkitan umum
Kontra indikasi : kehamilan
Clonazepam
Mekanisme kerja : penguatan efek inhibitor GABA di SSP dengan cara
mengadakan ikatan pada kompleks benzodiazepin-reseptor GABA
oleh karena itu, ada penghambatan penyebaran potensial kejang dan
kenaikan ambang letupan susulan.
Efek samping : kantuk, ataksia, gangguan kepribadian.
Indikasi : bangkitan mioklonik, bangkitan akinetik, dan spasme
infantil.
Interaksi obat : karbamazepin fenobarbital, dan fenitoin mengurangi
konsentrasi plasma etosuksimid.
Efek asam valproat terhadap etosuksimid tidak diketahui secara
jelas. Diketahui dalam satu studi bahwa konsentrasi etosuksimid
meningkat ketika diberikan bersamaan dengan asam valproat dalam
satu terapi. Peningkatan konsentrasi etosuksimid juga dialami oleh
subjek sehat ketika mengkonsumsi asam valproat. Sebaliknya, studi
lain melaporkan penurunan ataupun perubahan yang signifikan dalam
konsentrasi serum etosuksimid dengan asam valproat.
3. Peningkatan inhibisi GABA
a. Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-
Benzodiazepin
Mekanisme kerja : terikat pada tempat benzodiazepin di kompleks
reseptor GABA neuronal. Meningkatkan influks klorida yang
diperantarai oleh GABA.
Efek samping : Cemas,kehilangan kesadaran,pusing,depresi,
Mengantuk,kemerahan dikulit,konstipasi,mual.
Indikasi :
Kontra indikasi : hipersensitif, depresi SSP yang sudah ada
sebelumnya, nyeri berat tak terkendali, glaukoma sudut sempit,
kehamilan.
Interaksi obat :
Barbiturat
Mekanisme kerja : terikat dengan reseptor yang berdekatan
dengan reseptor GABA pada saluran klorida. Menyebabkan
retensi GABA pda reseptornya yang menyebabkan peningkatan
fluks klorida melalui saluran.
Efek samping : sedasi, penurunan kesadaran, ataksia.
Indikasi : bangkitan parsial
Kontra indikasi :
Interaksi obat : fenitoin
b. Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake dan
metabolisme GABA.
Tiagabin
Mekanisme kerja : menghambat transporter GABA, yaitu GAT-1,
dengan demikian menurunkan ambilan GABA ke dalam neuron
dan glia.
Efek samping : gugup, pusing, tremor, gangguan berpikir, depresi,
somnolen, dan ataksia.
Indikasi : bangkitan parsial
Kontraindikasi : gangguan fungsi hati yang berat.
Interaksi obat : metabolisme hepatik tiagabin diakselarasi oleh
antiepilepsi yang menginduksi enzim sitokrom P450 seperti
karbamazepin, fenobarbital, dan fenitoin.
Vigabantrin
Mekanisme kerja : menghambat ireversibel dari GABA
aminotransferase (GABA-T), meningkatkan GABA pada sinaps.
Efek samping : pusing, pertambahan berat badan, agitasi, psikosis,
defek lapangan penglihatan.
Indikasi : kejang parsial.
Asam valproat
Mekanisme kerja : menghambat penguraian neurotransmitter
inhibitorik GABA dengan cara hambatan terhadap enzim GABA –
aminotransferase kenaikan kadar GABA di sinaps
Efek samping :
- Saluran cerna : anoreksia, mual, muntah
- Sistem saraf pusat : sedasi, ataksia, tremor (menghilang
dengan penurunan dosis)
- Gangguan pada hati : peninggian aktivitas enzim-enzim hati,
nekrosis hati.
Indikasi : bangkitan umum
Interaksi obat : asam valproat meningkatkan kadar fenobarbital 40%.
Interaksi dengan fenitoin akan menyebabkan kadar fenitoin dalam
plasma menurun.
Kontra indikasi : kehamilan
Gabapentin
Mekanisme kerja : Meningkatkan pelepasan GABA nonvesikal
melalui mekanisme belum diketahui. Mengikat protein pada
membran korteks saluran Ca2+.
Efek samping : ataksia, pusing, sakit kepala, somnolen, tremor
Indikasi : bangkitan parsial
Interaksi obat : dalam suatu laporan, terjadi peningkatan
konsentrasi plasma fenitoin dengan gejala keracunan ketika
seorang pasien menggunakan fenitoin, karbamazepin, dan
clobazam setelah penambahan gabapentin dalam terapi. Dan
pemberian antasida pada waktu yang sama dapat mengurangi
bioavailabilitas sampai 24%
Kontra indikasi : hipersensitif, pankreatitis
4. Penurunan eksitasi glutamat melalui
a. Blok reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat)
Lamotrigin
Mekanisme kerja : menghambat kanal Na+ di membran neuron
hambatan pembebasan glutamat.
Efek samping : ruam pada kulit, ataksia, nistagmus, tremor,
angioedema, fotosensitifitas, diplopia, insomnia, sakit kepala,
kelelahan, mual dan muntah, halusinasi, agitasi, kebingungan.
Indikasi : bangkitan parsial, bangkitan tonik-klonik
Interaksi obat : golongan Valproat akan menghambat
metabolisme lamotrigin yang menyebabkan peningkatan
konsentrasi lamotrigin. Sebaliknya, karbamazepin, fenitoin,
fenobarbital menginduksi eliminasi lamotrigin.
Kontra indikasi : insufisiensi hati dan ginjal
b. Blok reseptor AMPA
Fenobarbital
Mekanisme kerja : membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan
dan menaikkan ambang rangsang.
Efek samping : sedasi, psikosis akut dan agitasi.
Indikasi : Sama dengan karbamazepin dan fenitoin.
Interaksi obat : valproat dan fenitoin meningkatkan konsentrasi
plasma fenobarbital. Vigabatrin dilaporkan menurunkan kadar
fenobarbital pada sebagian pasien.
Topiramat
Mekanisme kerja : menurunkan arus Na+ bersawar tegangan
dalam sel granul serebelum. Topiramat juga meningkatkan efek
GABA dan memblok reseptor asam α-amino-3 hidroxy- 5 metil – 4
isoxazol propionat (AMPA).
Efek samping : somnolen, lelah, bobot badan turun, gugup, mual,
nyeri perut, dan anoreksia.
Indikasi : Monoterapi pada pasien yang didiagnosa epilepsi.
Terapi tambahan untuk dewasa dan anak epilepsi 2 tahun dengan
onset kejang parsial atau epilepsi primer.
Interaksi obat : karbamazepin, fenobarbital, fenitoin dilaporkan
menurunkan konsentrasi plasma topiramat.
Kontra indikasi : gangguan fungsi hati yang berat, nefrolitiasis.
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Mengapa ketika seseorang mengalami epilepsi dan jatuh ke air dapat menyebabkan
kematian?
Jawab : epilepsy merupakan keadaan dimana terjadi letupan muatan listrik yang tidak
terkontrol dalam otak, dan dapat mengakibatkan jatuh mendadak bahkan hilang kesadaran.
Jika seseorang dengan keadaan yang seperti itu jatuh kedalam air, maka ia tidak akan
mampu menolong dirinya sendiri karena ia berada dalam keadaan kejang dan tidak dapat
mengontrol gerak tubuhnya. Akibatnya ia bisa tenggelam dan tewas.
Selain air, yang dapat menjadi ancaman bagi keselamatan seseorang yang mengalami
epilepsy antara lain : luka, yang didasarkan pada posisi jatuhnya; tersedak, karena orang
yang mengalami seranagn epilepsy mengeluarkan air liur.
2. Apa tindakan pertama yang harus dilakukan ketika ada orang yang mengalami epilepsy?
Jawab : membuat penderita merasa nyaman dan memeriksa kondisi tubuh dengan cara:
Amati posisi jatuh
Amati bila ada luka
Letakkan sendok atau gumpalan serbet pada di dalam mulut pasien
dengan tujuan untuk menghindari ia menggigit lidah
Jauhkan dari benda berbahaya dan air
Biarkan ia tertidur jika kejang berhenti
Jangan menahan kejang
Bawa ke rumah sakit
3. Mengapa waktu paruh obat lebih rendah pada bayi?
Jawab : waktu paruh obat yang lebih rendah terjadi pada bayi karena fungsi organ dalam
bayi belum sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Goodman&Gilman. Manual of Pharmacology and Therapeutics. McGraw Hill. USA : 2008.
Gunawan, Sulistia Gan. Farmakologi dan Terapi Edisi. Balai Penerbit Pustaka. Jakarta : 2007
Martindale. The Complete Drug Reference. Pharmaceutical Press. USA : 2009.
Schmitz, Gery,dkk. Farmakologi dan Toksikologi. EGC. Jakarta : 2009