appendicitis dan peritonitis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermicularis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Apendisitis akut
merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja.
Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan
terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun1.
Apendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum
usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan apendisitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan
operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang
lebih baik, apendisitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki
angka morbiditas yang signifikan1.
Diagnosis apendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya
pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada
pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan
hal yang paling penting dalam mendiagnosis apendisitis1.
Semua kasus apendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari apendiks yang terinflamasi,
baik dengan laparotomy maupun dengan laparo scopy. Apabila tidak dilakukan tindakan
pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan
shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
Apendisitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh
dunia 1.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Appendix
ANATOMI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-
15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.1
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di
belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak apendiks.1
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica
superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X.
Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.1
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan
mengalami gangren. 1
2
Gambar 1. Variasi lokasi Apendiks
FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. 1
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin
itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf disini
kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. 1
INSIDENSI
Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Apendisitis lebih banyak terjadi
3
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Kaukasia lebih
sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Apendisitis akut lebih sering
terjadi selama musim panas.
Insidensi Apendisitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara
bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam
menu sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30
tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.
ETIOLOGI
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen apendiks sehingga terjadi
kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Apendisitis umumnya
terjadi karena infeksi bakteri. Sumbatan lumen appendiks merupakan factor yang
diajukan sebagai factor pencetus, dengan penyebab tersering adalah fekalit. Fekalit
ditemukan pada sekitar 20% anak dengan apendisitis. Penyebab lain dari obstruksi
appendiks meliputi:
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit1
Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks
oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien
apendisitis yaitu:
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli
Viridans streptococci
Pseudomonas aeruginosa
Bacteroides fragilis
Peptostreptococcus micros
Bilophila species
4
Enterococcus Lactobacillus species
Apendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh
fekalit, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyuris vermicularis), akan tetapi
paling sering disebabkan obstruksi oleh fekalit dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fekalit
adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan apendisitis akut dan 30-
40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga
dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya apendisitis berhubungan
dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik
baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau
akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris. Apendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric
atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic
fibrosis memiliki peningkatan insidensi apendisitis akibat perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asing
seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya apendisitis. Trauma,
stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya apendisitis.
PATOGENESIS
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh
lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir)
setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks
ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan
kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan
elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya
aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus.1,2
5
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai
peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.2
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang
disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa.
Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis
berada dalam keadaan perforasi.2
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan
ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat
apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan
massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara
lambat.1,2
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan
dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang,
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi
karena adanya gangguan pembuluh darah.2
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada
perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi.1
6
Gambar 2 Patogenesis Apendisitis
MANIFESTASI KLINIK
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
(nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun.
Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik
McBurney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan
7
nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya
perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -
38,5 derajat celcius.1,3,4
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang.
Berikut gejala yang timbul tersebut.1,4
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung
oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada
tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada
saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini
timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala
dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala
apendisitis tidak jelas dan tidak khas.1,3
Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa
menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah
dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis
diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi.
8
Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru
dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa
dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang
panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan
trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan
gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan
di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
Tabel 1. Gejala Apendisitis Akut
Gejala Apendisitis AkutFrekuensi
(%)
Nyeri perut 100
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah
kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu
tinggi)
50
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Nyeri / Sakit perut
Ini terjadi karena peristaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh
saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan pada seluruh perut. Mula-mula
9
daerah epigastrium kemudian menjalar ke McBurney. Apa bila telah terjadi inflamasi
( > 6 jam ) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik. Gejala
utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak dengan gejala nyeri
abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya dicurigai menderita
apendisitis. Anak yang sudah besar dapat menerangkan dengan jelas permulaan gejala
nyeri abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat. Anak dapat menunjuk
dengan satu jari tempat permulaan nyeri, dimana saja yang pernah nyeri dan sekarang
dimana yang nyeri. Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti
misalnya:
Bagaimana hebatnya nyeri?
Apakah nyerinya mengganggu anak sampai tidak mau main atau anak
tinggal di tempat tidur saja?
Apakah nyerinya sampai menyebabkan anak tidak mau masuk sekolah?
Apakah anak dapat tidur seperti biasa semalam?
Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa? 1,3
Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin lama
makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi
apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang
mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya
hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri
ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus
mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula
di daerah epigastrium dan periumbilikal. Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium
akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan
bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah
terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang lebih tajam,
terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.1,3
Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir
10
selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka
diagnosis apendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai
dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus
hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks
dekat dengan vesika urinaria1,3
Obstipasi karena penderita takut mengejan
Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks
pelvikal yang merangsang daerah rectum. 1,3
Panas (infeksi akut) bila timbul komplikasi
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5˚ – 38,5˚C
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami
inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks
retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan
menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri
testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter. 1,3
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.1
Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosis dari apendisitis, terutama pada McBurney point (McBurney Sign). Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut
tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan
11
juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg
(Blumberg Sign). 1,3
Gambar 3 McBurney Point
Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks,
apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri,
maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan
ini merupakan kunci diagnosis pada apendiksitis pelvika. 1,3
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetauhi letak apendiks yang meradang. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedagkan pada uji obturator dilakukan gerakan flexsi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak
dengan m.abturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan
ini akan kenimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika. 1,3
12
Gambar 4 Psoas Sign
Gambar 5 Obturator Sign
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 – 20.000/ml
( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat.
Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
13
apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum.3
Rontgen foto polos, tidak spesifik, secara umum tidak cost effective. Kurang dari
5% pasien akan terlihat adanya gambaran opak fekalith yang nampak di kuadran
kanan bawah abdomen.
USG : pada kasus appendicitis akut akan nampak adanya : adanya struktur yang
aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar caecum. Dinding apendiks nampak
jelas, dapat dibedakan, diameter luar lebih dari 6mm, adanya gambaran “target”,
adanya appendicolith, adanya timbunan cairan periappendicular, nampak lemak
pericecal echogenic prominent.
CT scan : diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding
appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran
dinding appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan
inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding,
phlegmon, free fluid, free air bubbles, abscess, dan adenopathy. CT-Scan
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 –
97%, serta akurasi 94 – 100%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks
dengan abses atau flegmon
Tabel 2 Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut:
Ultrasonografi CT-Scan
Sensitivitas 85% 90 – 100%
Spesifisitas 92% 95 - 97%
Akurasi 90 – 94% 94 – 100%
Keuntungan Aman Lebih akurat
relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan
flegmon lebih baik
Dapat mendignosis kelainan lain
pada wanita
Mengidentifikasi apendiks normal
lebih baik
Baik untuk anak-anak
Kerugian Tergantung operator Mahal
14
Sulit secara tehnik Radiasi ion
Nyeri Kontras
Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah
4. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran
histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum
adanya kriteria gambaran histopatologi apendisitis akut secara universal dan tidak ada
gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber
et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut.
Tabel 3 Definisi histopatologi apendisitis akut:
1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.
2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
3 Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.
4 Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Apendisitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan >6. Selanjutnya dilakukan
Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Apendiks
dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang
akut.
Tabel 4 Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
ManifestasiSko
r
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
15
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratoriu
mLeukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Keterangan:
0-4 : kemungkinan Apendisitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Apendisitis
7-8 : kemungkinan besar Apendisitis
9-10 : hampir pasti menderita Apendisitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari Apendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin.1,5
Pada anak-anak balita
intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Apendisitis. Nyeri divertikulitis
hampir sama dengan Apendisitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah
periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah
abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah
gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan apendisitis,
yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses.
Pada anak-anak usia sekolah
16
gastroenteritis, konstipasi, infark omentum.
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan apendisitis, tetapi
tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab
nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark
omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat
menyerupai apendisitis. Pada infark omentum, dapat teraba massa pada abdomen
dan nyerinya tidak berpindah
Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease,
klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu
menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada
skrotumnya.
Pada wanita usia muda
Diagnosis banding apendisitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan
dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID),
kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan
dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila
terjadi ruptur ataupun torsi.
Pada usia lanjut
Apendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang
sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal
dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan
dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada
apendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan
apendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus
dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang
tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan
laboratorium.
KOMPLIKASI
1. Massa periapendikuler
17
Massa appendiks yang terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikuler
yang pendinginannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikuler yang masih bebas disarankan untuk segera dioperasi untuk
meencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi masih mudah. Pada anak, paling lama
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa
periapendikuler yang terpancang dengan pendinginan sempurna, dianjurkan untuk
dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta
luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan appendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan
kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan
massa.1
2. Appendicular abses:
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Apendiks yang meradang
yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.
3. Appendisitis perforata
Adanya fekalit dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil) dan keterlambatan
diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya perforasi appendiks.
Dilaporkan insidens perforasi 60% pada penderita diatas usia 60 tahun. Faktor yang
mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang
samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi appendiks berupa
penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh
dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendinginan kurang sempurna akibat
perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang.1
4. Peritonitis
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abses Hepar
18
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus
Tabel 5 Hubungan Patofisiologi dan Manifestasi Appendicitis
Kelainan patologi Keluhan dan tanda
Peradangan awal
↓
Appendicitis Mukosa
↓
Radang diseluruh ketebalan dinding
↓
Appendicitis komplit, radang
peritoneum,
Parietal apendiks
↓
Radang alat/jaringan yang menempel
Pada Apendiks
↓
Appendicitis gangrenosa
↓
Perforasi
↓
Pembungkusan
- Tidak berhasil
- Berhasil
- Abses
-Kurang enak ulu hati/ daerah pusat, mungkin kolik
-nyeri tekan kanan bawah
-nyeri sentral pindah ke kanan bawah,mual dan
muntah
-rangsangan peritoneum local (somatic), nyeri pada
gerak aktif dan pasif
-genitelia interna,ureter,m.psoas mayor, kantung
kemih,rectum
-Demam sedang,takikardi,mulai toksik, leukositosis
-Nyeri dan defans muskuler seluruh perut
-s.d.a + demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik
-masa perut kanan bawah,keadaan umum
Berangsur membaik
-demam remiten,keadaan umum toksik, keluhan dan
tanda setempat
PENATALAKSANAAN
Ketika keputusan untuk mengoperasi telah dilakukan terhadap dugaan usus buntu akut,
pasien harus disiapkan untuk ruang operasi. Hidrasi yang memadai, kelainan elektrolit
harus diperbaiki, dan kondisi jantung, paru, dan ginjal yang sudah ada harus diatasi.
19
Sebuah meta analisis menunjukkan efektivitas antibiotik pra operasi dalam menurunkan
komplikasi infeksi di appendicitis.6 Kebanyakan ahli bedah memberikan antibiotik secara
rutin untuk semua pasien dengan dugaan usus buntu. Jika ditemukan usus buntu akut
sederhana, tidak ada manfaat dalam memperluas cakupan antibiotik melebihi 24 jam. Jika
usus buntu disertai perforasi atau gangren ditemukan, antibiotik dilanjutkan sampai
pasien tidak demam dan tercapai jumlah sel darah putih yang normal. Untuk infeksi intra-
abdomen yang berasal dari saluran cerna dengan derajat keparahan ringan sampai sedang,
the Surgical Infection Society telah merekomendasikan terapi tunggal dengan cefoxitin,
cefotetan, atau asam tikarsilin-klavulanat. Untuk infeksi yang lebih berat, terapi tunggal
dengan carbapenems atau terapi kombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga,
monobactam, atau aminoglikosida ditambah cakupan anaerob merupakan indikasi
pemberian dengan klindamisin atau metronidazol.
Appendektomi terbuka
Untuk appendektomi terbuka, sebagian besar ahli bedah menggunakan sayatan
McBurney (miring) atau Rocky-Davis (melintang) kuadran kanan bawah otot-insisi yang
membuka pada pasien dengan dugaan usus buntu. Insisi harus berpusat di kedua titik
yaitu antara nyeri maksimal atau teraba massa. Jika dicurigai adanya abses,penempatan
irisan lateral sangat penting untuk memungkinkan dilakukan drainase retroperitoneal dan
untuk menghindari kontaminasi dari rongga peritoneal. Jika diagnosa diragukan, sebuah
insisi midline yang lebih rendah dianjurkan untuk memungkinkan pemeriksaan yang
lebih luas dari rongga peritoneal. Ini sangat relevan pada pasien tua dengan kemungkinan
keganasan atau diverticulitis.
Beberapa teknik dapat digunakan untuk mencari usus buntu. Karena biasanya caecum
terlihat dengan insisi, sehingga konvergensi dari taeniae dapat diikuti untuk mencari
dasar apendiks. Sebuah gerakan menyapu dari lateral ke medial dapat membantu dalam
mengarahkan ujung apendiks ke bidang operasi. Terkadang, mobilisasi yang terbatas dari
caecum dibutuhkan untuk membantu visualisasi yang memadai. Sekali teridentifikasi,
usus buntu dimobilisasi dengan memisahkan mesoappendix, dengan hati-hati meligasi
arteri apendiks.
20
Ujung dari apendiks dapat dikelola oleh ligasi sederhana atau dengan ligasi dan inversi
baik dengan purse-string atau jahitan Z. Selama bagian ujung jelas layak dan pangkal
sekum tidak terlibat dengan proses inflamasi, bagian ujung apendiks dapat dengan aman
diligasi dengan jahitan nonabsorbable. Mukosa ini sering dibuang untuk menghindari
terjadinya mucocele. Rongga peritoneal diirigasi dan luka ditutup selapis demi selapis.
Jika perforasi atau gangrene ditemukan pada orang dewasa, jaringan kulit dan subkutan
harus dibiarkan terbuka dan dibiarkan untuk sembuh dengan maksud sekunder atau
tertutup dalam 4 sampai 5 hari sebagai penutupan primer tertunda.
Jika usus buntu tidak ditemukan, pencarian metodis harus dilakukan untuk diagnosis
alternatif. Upaya juga harus dilakukan untuk memeriksa isi perut atas. Cairan peritoneal
harus dikirim untuk pewarnaan Gram dan kultur. Jika ditemukan cairan purulen, sangat
penting untuk diidentifikasi sumbernya. Sebuah perpanjangan sayatan medial (Fowler-
Weir), dengan pembagian selubung rektus anterior dan posterior, dapat diterima jika
terdapat indikasi untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut dari perut bagian bawah. Jika
patologi perut bagian atas ditemukan, irisan pada kuadran kanan bawah ditutup dan
dibuat irisan tepat diatas midline.
Antibiotik sebagai Terapi Definitif
Tatalaksana tradisional radang usus buntu akut telah memunculkan manajemen operasi.
Pendekatan ini didasarkan pada teori bahwa, dari waktu ke waktu, apendiksitis sederhana
akan berlanjut menjadi perforasi, sehingga terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Data terakhir menunjukkan bahwa usus buntu akut dan radang usus buntu akut dengan
perforasi mungkin penyakit yang berbeda dengan patofisiologi yang berbeda jauh.
Serangkaian waktu analisis dilakukan pada satu set data 25 tahun tidak ditemukan adanya
hubungan negatif yang signifikan antara tingkat appendektomi negatif dan perforasi.7
Sebuah studi analisis waktu untuk operasi dan perforasi menunjukkan bahwa risiko pecah
minimal dalam waktu 36 jam onset gejala. Melewati titik ini, ada sekitar risiko 5% dari
pecah dalam setiap periode 12-jam berikutnya. Namun, pada banyak pasien penyakit ini
berjalan lambat. Dalam sebuah penelitian, 10 dari 18 pasien yang tidak menjalani operasi
21
≥ 6 hari setelah gejala dimulai tidak mengalami ruptur.8 Pelaut yang terkena usus buntu
ketika ditempatkan di kapal selam tidak memiliki akses untuk meminta perawatan bedah.
Mereka berhasil diobati dengan antibiotik dan cairan dari hari ke minggu setelah
serangan awal sampai kapal dapat mencapai permukaan dan mereka dapat dipindahkan
ke rumah sakit untuk perawatan.
Sebuah penelitian secara acak membandingkan pengobatan antibiotik dengan
apendektomi segera. Dua ratus lima puluh dua orang berusia 18-50 tahun dengan
diagnosis presumptif radang usus buntu yang terdaftar dalam penelitian ini antara Maret
1996 dan Juni 1999. Pasien yang dipilih secara acak untuk terapi antibiotik, jika gejala
tidak membaik dalam 24 jam pertama, akan dilakukan apendektomi. Peserta dievaluasi
setelah 1 minggu, 6 minggu, dan 1 tahun. Usus buntu akut ditemukan pada 97% dari 124
pasien secara acak yang direncanakan operasi. Enam pasien (5%) memiliki apendiks
yang sudah perforasi. Tingkat kesulitan pada kelompok bedah adalah 14% (17 dari 124).
Dari 128 pasien yang terdaftar dalam kelompok antibiotik, 15 pasien (12%) menjalani
operasi dalam 24 jam pertama karena kurangnya perbaikan gejala dan peritonitis lokal
tampak jelas. Pada operasi tujuh pasien (5%) memiliki perforasi. Tingkat kekambuhan
dalam waktu 1 tahun adalah 15% (16 pasien) pada kelompok yang diobati dengan
antibiotik. Dalam lima pasien usus buntu yang perforasi ditemukan saat operasi.9
22
2. Peritoneum
ANATOMI
SUSUNAN UMUM
Peritoneum merupakan lapisan serosa tipis yang melapisi dinding cavitas
Abdomen dan cavitas pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis.
Peritoneum dianalogikan seperti balon dimana organ-organ didorong dari luar
kedalamnya.
Peritoneum terdiri dari dua lapisan yaitu, peritoneum pariantale yang melapisi
dinding abdomen dan cavitas pelvis, serta perioneum vicerale yang melapisi
organ-organ. Diantara peritoneum pariantale dan vicerale terdapat rongga yang
dinamakan cavitas peritonealis. Rongga ini tertutup pada laki-laki, namun terbuka
pada perempuan, melalui tuba uterina, uterus, dan vagina
Cavitas peritoniales sendiri dibagi dalam dua bagian, cavitas peritonealis,
(kantong besar) yang merupakan ruang utama kavitas peritoealis yang
membentang dari diafragma ke bawah sampai pelvis, serta bursa omentalis
(kantong kecil) yang berukuran lebih kecil dan terletak dibelakang gaster.
Kantong besar dan kantong kecil dihubungkan oleh sebuah jendela oval yang
dinamakan foramen omentale atau foramen epiploicum. Peritoneum juga
menghasilkan sekret yang berupa cairan serosa dalam jumlah kecil sehingga
memungkinkan pergerakan antara visera.
INTRAPERITONEAL DAN RETROPERITONEAL
Istilah Intraperitoneal dan Retroperitoneal digunakan untuk melukiskan hubungan
berbagai organ dengan perioneum yang meliputinya. Organ yang hampir
seluruhnya diliputi oleh peritoneum viceral disebut sebagai intraperitoneal,
misalnya gaster, jejunum, ileum, lien. Sedangkan organ yang terletak dibelakang
peritoneum disebut sebagai retroperitoneal, yaitu prancreas, colon ascendens, dan
colon decendens.
23
PERSARAFAN PERITONEUM
Peritoneum Parientale peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan. Peritoneum
parientale yang membatasi dinding anterior abdomen dipersarafi oleh enam nervi
thoracici bagian bawah dan nervus lumbalis I yang mempersyarafi kulit dan otot-
otot yang ada di atasnya. Bagian sentral peritoneum diafragmatica dipersyarafi
oleh nervus phrenicus, diperifer peritoneum diafragmatica dipersyarafi oleh enam
nervi toracici bagian bawah. Peritoneum parientale didalam pelvis, terutama
dipersarafi oleh nervus obturatorius, sebuah cabang dari plexus lumbalis.
Peritoneum viceral hanya peka terhadap renggangan, robekan, namun tidak
terhadap rasa raba, tekan, dan suhu. Peritoneum viscerale dipersarafi oleh saraf
aferen otonom yang mensarafi vicera atau yang berjalan melalui mesenterium.
Perenggangan berlebihan pada organ berongga akan menimbulkan rasa nyeri.
Mesenterium dan mesocolon, peka terhadap renggangan mekanik.
FUNGSI PERITONEUM
Cairan peritoneum berwarna kuning pucat dan sedikit kental mengandung
leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin vicera abdomen
dapat bergerak dengan mudah satu sama lain.
Peritoneum yang meliputi usus cenderung saling melekat jika terjadi infeksi.
Omentum majus yang terus menerus bergerak akibat gerakan peristaltik
saluran cerna juga dapat melekat pada fokus infeksi. Dengan cara ini, banyak
infeksi peritoneal dapat ditutup dan tetap terlokalisir.
Lipatan peritoneum memegang peranan penting untuk mengantungkan
berbagai organ di dalam cavitas peitonealis dan berperan sebagai tempat
jalannya pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf-saraf ke organ-organ
tersebut.
Sejumlah besar lemak disimpan didalam ligamen peritoneale dan mesenteria,
khususnya pada omentum majus mungkin dapat ditemukan lemak dalam
jumlah yang besar.
24
PERITONITIS
Peritonitis merupakan infeksi akibat kontaminasi mikroba pada cavitas peritoneal. Peritonitis
yang akut dan tidak ditangani dapat berakibat fatal. Operatif sebagai fundamental terapi pada
peritonitis didokumentasikan pertama kali pada tahun 1926 ketika Kirschner melaporkan
penurunan angka mortalitas dari 90%lebih menjadi kurang dari 40% (terhitung dari 1890-1924).
Berdasarkan etiologinya peritonitis dibagi menjadi :
1. Peritonitis primer
Muncul ketika mikroba menginvasi cavitas peritoneal melalui penjalaran secara hematogen dari
suatu focus infeksi yang letaknya jauh atau inokulasi secara langsung. Proses ini lebih sering
dijumpai pada pasien ascites atau pasien yang menjalani peritoneal dialysis. Infeksi ini jarang
membutuhkan intervensi surgical. Diagnosisnya dengan mengidentifikasi faktor risiko(yang
sudah disebutkan di atas), pemeriksaan fisik (abdomen yang tegang secara difus namun tidak
ditemukan penemuan local), dan pemeriksaan penunjang(tidak ditemukan pneumoperitoneum
pada foto rontgen, leukositosis,ditemukan mikroba pada parasentesis). Hasil kultur sering
ditemukan E. coli, K. pneumoniae, pneumococci, streptococci, enterococci, atau C.
albican.Terapinya dengan memberikan antibiotic yang masih sensitive terhadap kuman kausatif,
Sering dibutuhkan waktu 14-21 hari untuk pemberian antibiotic.
2. Peritonitis sekunder
Muncul pada kontaminasi akibat perforasi atau inflamasi yang berat dan infeksi organ intra-
abdomen, misalnya appendicitis, perforasi gastrointestinal, diverticulitis. Terapi yang efektif
dengan mengkontrol organ kausatifnya; debridement jaringan nekrotik, jaringan yang
terinfeksi, ,dan debris(operatif); dan antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob.
Regio asal Sebab
25
Esophagus
Stomach
Duodenum
Biliary tract
Boerhaave syndrome
Malignansi
Trauma (terutama trauma penetrasi)
Iatrogenic*
Perforasi ulcus peptikum
Malignansi (adenocarcinoma, lymphoma,
tumor gastrointestinal stromal)
Trauma (terutama trauma penetrasi)
Iatrogenic*
Perforasi ulcus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenic*
Cholecystitis
Perforasi kantong empedu
Malignansi
Kista Choledochal (jarang)
Trauma (terutama trauma penetrasi)
Iatrogenic*
Pankreatitis ( alcohol, drugs, gallstones)
26
Pancreas
Small bowel
Large bowel and appendix
Uterus, salpinx, and ovaries
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenic*
Iskemik
hernia inkarcerata (internal dan external)
obstruction
Crohn disease
Malignansi (jarang)
diverticulum Meckel
Trauma (terutama trauma penetrasi)
Iskemic
Diverticulitis
Malignansi
colitis ulseratif dan Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (terutama trauma penetrasi)
Iatrogenic
Infeksi organ panggul ( salpingo-
oophoritis, tubo-ovarian abscess, kisat
ovarian)
Malignansi (jarang)
Trauma (jarang)
3. Peritonitis tersier
27
Disebut juga peritonitis persisten atau pos-operatif peritonitis. Biasanya ditemukan pada yang
pasien yang imunosupres. Enterococcus faecalis dan faecium, Staphylococcus epidermidis, C.
albicans, dan Pseudomonas aeruginosa sering ditemukan, dan lebih sering ditemukan
kombinasi. Sayangnya walaupun pengobatan dengan antibiotik yang adekuat angka
mortalitasnya mencapai 50%.
Namun berdasarkan infeksi peritoneumnya dapat dibagi pula peritonitis local dan peritonitis
generalisata.
Tipe Peritonitis Kelas organisme Organisme etiologi Antibiotic
Primer Gram-negatif E coli (40%)
K pneumoniae (7%)
Pseudomonas species
(5%)
Proteus species (5%)
Streptococcus species
(15%)
Staphylococcus species
(3%)
Anaerobic species
(<5%)
Cephalosporin generasi III
Sekunder Gram negatif E coli
Enterobacter species
Klebsiella species
Proteus species
Cephalosporin generasi II dan III
Penicillins
Quinolones
Quinolone dan metronidazole
Aminoglycoside dan Gram positif Streptococcus species
28
Enterococcus species metronidazole
Anaerob Bacteroides fragilis
Other Bacteroides
species
Eubacterium species
Clostridium species
Anaerobic
Streptococcus species
Tersier Gram negatif Enterobacter species
Pseudomonas species
Enterococcus species
Cephalosporin generasi II dan III
Penicillins
Quinolones
Quinolone dan metronidazole
Aminoglycoside dan
metronidazole
Carbapenems
Triazoles atau amphotericin
(fungal)
(atau berdasarkan hasil kultur
Gram positif Staphylococcus species
Fungal Candida species
Manifestasi klinis dan diagnosis:
Diagnosis peritonitis dibuat berdasarkan anamnesa dan manifestasi klinis yang muncul seperti
sakit perut yang menetap dan berat, anoreksia, mual, muntah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
keadaan umum pasien yang terlihat tidak baik(kesakitan) dan mengalami distress yang akut.
Banyak juga yang mengalami peningkatan suhu >38oC (meskipun pada pasien yang sepsis dapat
memberikan gejala hipotermi); takikardi sebagai respon terhadap pelepasan mediator inflamasi,
hipovolemik, dan kehilangan cairan ke ruang ketiga (cavum peritoneal) ; dehidrasi yang
progresif (hipotensi, oligouri atau bahkan anuri) ; pada palpasi teraba abdomen yang tegang.
29
Pasien dengan peritonitis yang berat akan meminimalisir gerakan tubuh dan mempertahankan
posisi pinggul yang flexi untuk menurunkan tegangang abdomen. Abdomen mengalami distensi
dan penurunan hingga menghilangnya bising usus. Colok dubur juga dapat menunjang diagnosis.
ANAMNESIS
Rasa nyeri di abdomen yang tumpul dan tidak terlokalisasi (viseral
peritoneum) dan terkadang berkembang menjadi nyeri yang stabil, sangat
nyeri dan terlokalisasi (parietal peritoneum). Nyeri abdomen ini juga dapat
mengenai seluruh bagian abdomen.
Anoreksia dan nausea, kadang disertai jugad engan vomitus
PEMERIKSAAN FISIK
Tampak sakit
Demam yang melebihi 380C
Takikardia (karena hipovolemia intravaskuler dari vomitus dan demam, selain
itu juga karena 3rd space loss)
Hipotensi
Oligouri atau anuria
Pada pemeriksaan abdomen:
* Nyeri pada palpasi
* Rigitiditas yang meningkat pada dinding abdomen
* Distensi abdomen
* Bising usus yang menurun, bahkan sampai hilang
Pada pemeriksaan rektal, dapat menimbulkan rasa nyeri pada abdomen10
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
* Darah lengkap (adanya leukositosis)
* Kimia darah
* PT, PTT
30
* Urinalisis (untuk menyingkirkan penyakit pada saluran kemih)
* Kultur darah untuk mikroorganisme aerob dan anaerob
* Diagnostic peritoneal lavage (DPL) untuk pasien yang tidak
memiliki gejala yang pasti dan pemeriksaan fisiknya kurang
mendukung ke arah peritonitis. Pada DPL yang memiliki
leukosit lebih dari 500/ml, maka dianggap positif
peritonitis.
Radiologi:
* Foto abdomen polos, menunjukkan adanya udara bebas pada
anterior gastrik dan perforasi dudenum
* USG abdomen, dapat mengevaluasi kuadran kanan atas, kanan bawah
dan adanya kelainan pada pelvis, tapi terkadang terbatas karena pasien
menjadi tidak nyaman, adanya distensi abdomen dan adanya gas pada
GIT. USG dapat mendeteksi adanya peningkatan cairan peritoneum, tetapi
tidak dapat mendeteksi cairan yang kurang dari 100 ml
* CT Scan, namun apabila diagnosa peritonitis telah ditegakkan
secara klinis, maka CT Scan tidak perlu dilakukan11
TERAPI
Prinsip-prinsip umum pengobatan infeksi intra-abdomen:
(1) untuk mengontrol sumber infeksi
(2) untuk menghilangkan bakteri dan racun
(3) untuk mempertahankan fungsi sistem organ
(4) untuk mengontrol proses inflamasi.
Pengobatan peritonitis adalah multidisiplin, dengan aplikasi medis yang saling terkait,
intervensi operasi dan nonoperative yang termasuk dalam terapi. Dukungan Medis meliputi:
(1) terapi antibiotik sistemik;
31
(2) perawatan intensif hemodinamik, paru, dan ginjal;
(3) nutrisi dan metabolisme
(4)terapi terhadap respon inflamasi.
Kontrol awal terhadap sumber infeksi adalah wajib dan dapat dicapai dengan cara operasi
dan nonoperative. Nonoperative terapi interventional termasuk percutaneous drainage dari
abses dan percutaneous and endoscopic stent placements.
Pengobatan peritonitis dan sepsis intra-abdomen selalu dimulai dengan resusitasi volume,
koreksi elektrolit dan menilai abnormalitas koagulasi, dan pemberian antibiotik spektrum
luas parenteral. Serta pengobatan terhadap syok septik.
Terapi Antibiotik
Peritonitis bakterial spontan
Peritonitis bakterial spontan yang tidak diobati memiliki tingkat kematian hingga 50%, tapi
dengan diagnosis yang cepat dan pengobatan atas kondisi tersebut, angka ini dapat ditekan
hingga 20%. terapi empiris dengan sefalosporin generasi ketiga harus dimulai segera. Hindari
aminoglikosida pada pasien dengan penyakit hati, karena pasien tersebut memiliki resiko
yang tinggi terhadap hepatotoxicity. Durasi terapi yang optimal secara pasti masih belum
diketahui; sebuah studi merekomendasikan terapi selama 10 hari, meskipun studi lain
menunjukkan bahwa 5 hari terapi sudah cukup (dengan dokumentasi dari penurunan jumlah
WBC cairan peritoneal <250 sel / μ L).
Pasien dengan Peritonitis bakterial spontan juga harus mendapat perhatian terhadap
perubahan fungsi hemodinamik sehubungan dengan proses inflamasi yang terjadi, serta
penurunan fungsi ginjal. Terdapat risiko tinggi kambuh Peritonitis bakterial spontan (40-70%
dalam 12 bulan) terhadap berbagai regimen profilaksis antibiotik. Sebuah studi
merekomendasikan norfloksasin untuk profilaksis primer dari Peritonitis bakterial spontan
adalah pilihan baik.
32
Peritonitis sekunder dan tersier
Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi antibiotik tidak efektif terhadap infeksi yang
terjadi kemudian dan bahwa terapi (pre-operasi) dini antibiotik sistemik secara signifikan
dapat mengurangi konsentrasi dan tingkat pertumbuhan bakteri dalam cairan peritoneal.
Antibiotik terapi dimulai dengan cakupan empiris (efektif terhadap gram negatif maupun
bakteri anaerob) dan harus dimulai sesegera mungkin, dengan transisi yang dibuat dengan
agen spektrum yang lebih sempit terhadap hasil kultur.
Perforasi organ-organ saluran pencernaan bagian atas berhubungan dengan bakteri gram
positif. Hasil Budaya dapat sangat penting dalam peritonitis tersier, yang lebih cenderung
melibatkan bakteri gram positif (enterococci); resistensi antibiotik, bakteri gram-negatif, dan
yeast. Pada community-acquired infections, sefalosporin generasi kedua atau ketiga atau
quinolone dengan atau tanpa metronidazole memberikan hasil yang adekuat. Kebanyakan
studi menunjukkan bahwa terapi obat tunggal sama efektifnya dengan dua atau tiga terapi
kombinasi pada kasus infeksi ringan sampai sedang .
Terapi Bedah
Terapi bedah tetap menjadi landasan terapi peritonitis. Setiap operasi harus membahas 2
prinsip pertama pengobatan infeksi intra-peritoneal: awal dan kontrol sumber definitif dan
eliminasi bakteri dan toksin dari rongga perut. Masalah waktu dan kecukupan untuk
mengontrol sumber bedah sangat penting karena operasi yang tidak tepat, sebelum waktunya,
atau salah mungkin memiliki efek sangat negatif pada hasil (dibandingkan dengan terapi
medis).
Pendekatan operasi ini didasarkan pada proses penyakit yang mendasari dan jenis serta
tingkat keparahan infeksi intra-abdomen. Dalam banyak kasus, indikasi intervensi operasi
akan menjadi jelas, seperti dalam kasus peritonitis yang disebabkan oleh kolitis iskemik, usus
buntu yang pecah, atau divertikula kolon. Dokter bedah harus selalu berusaha untuk tiba pada
suatu diagnosis spesifik dan melukiskan anatomi intra-abdomen sejelas mungkin sebelum
operasi.
33
Namun, pada sepsis perut parah, keterlambatan dalam manajemen operasi dapat
menyebabkan peningkatan kebutuhan secara signifikan untuk reoperasi dan untuk hasil yang
lebih buruk secara keseluruhan. Intervensi bedah mungkin termasuk reseksi viskus berlubang
dengan re-anastomosis atau pembuatan suatu fistula. Untuk mengurangi beban bakteri,
sebuah lavage rongga perut dilakukan, dengan perhatian khusus pada daerah rawan untuk
pembentukan abses.
Open-abdomen technique and scheduled reoperation
Dalam situasi tertentu, pendekatan operasi terhadap infeksi intraperitoneal adalah tepat.
Operasi kembali dapat digunakan dalam mengontrol kerusakan. Pada peritonitis berat,
terutama dengan keterlibatan retroperitoneal luas (misalnya, nekrosis pankreatitis),
pengobatan terbuka dengan reexploration ulangi, debridemen, dan lavage intraperitoneal
telah terbukti efektif.
Penutupan sementara dari perut untuk mencegah herniasi dan kontaminasi dari luar isi perut
dapat dicapai dengan menggunakan kasa besar, kedap, mesh (misalnya, Vicryl, Dexon),
mesh nonabsorbable (misalnya, GORE-TEX , polypropylene) dengan atau tanpa zipper atau
perangkat seperti Velcro penutupan, dan penutupan vakum-dibantu (VAC). Keuntungan dari
strategi manajemen termasuk menghindari abdominal compartment syndrome (ACS) dan
akses mudah bagi reexploration. Kerugian termasuk gangguan signifikan mekanika
pernafasan dan potensi kontaminasi perut dengan patogen nosokomial.
Untuk penutupan primer tertunda (permanen), pengalaman kami dengan menggunakan
acellular dermis manusia (komersial dikenal sebagai AlloDerm) telah memuaskan, meskipun
pilihan ini memiliki kekurangan karena lebih mahal daripada yang lain.
Keputusan untuk melakukan serangkaian reexplorations dapat dilakukan pada awal operasi
jika debridement dan lavage tambahan diperlukan yang dapat dicapai dalam prosedur
pertama. Indikasi untuk relaparotomy direncanakan dapat mencakup kegagalan untuk
34
mencapai kontrol sumber yang memadai, diffuse peritonitis, ketidakstabilan hemodinamik,
dan hipertensi intra-abdomen.
Beberapa reoperations dapat berhubungan dengan risiko yang signifikan, termasuk dari
respons inflamasi substansial, pergeseran cairan dan elektrolit, dan hipotensi, namun, ini
harus seimbang terhadap risiko terus-menerus fokus nekrosis atau infeksi perut. Teknik perut
terbuka memungkinkan untuk drainase menyeluruh dari infeksi intra-abdomen, namun
indikasi tertentu masih belum jelas.
Laparoskopi
Laparoskopi diterima lebih luas dalam diagnosis dan pengobatan infeksi perut. Seperti semua
indikasi untuk operasi laparoskopi, hasil bervariasi tergantung pada keterampilan dan
pengalaman ahli bedah laparoskopi. Pemeriksaan laparoskopi pertama perut dapat membantu
dalam penentuan etiologi dari peritonitis (misalnya, patologi kuadran kanan bawah pada
pasien wanita).
Preoperative
Volume resusitasi dan pencegahan disfungsi sistem organ sekunder sangat penting dalam
pengobatan pasien dengan infeksi intra-abdomen. Tergantung pada beratnya penyakit ini,
pasien harus memiliki Foley kateter ditempatkan untuk memonitor urin output. Gunakan
pemantauan hemodinamik invasif pada pasien sakit berat untuk membimbing resusitasi
volume dan dukungan inotropic.
Mulailah pengobatan spektrum luas dengan terapi sistemik antibiotik segera setelah diagnosa
infeksi intra-abdomen dicurigai dan terapi khusus sesuai dengan proses penyakit yang
mendasari dan sesuai dengan hasil kultur. Pasien dengan peritonitis sering merasakan sakit
perut yang parah, pemberikan analgesia yang memadai dengan agen narkotik parenteral
sesegera mungkin. Pertimbangkan intubasi dan dukungan awal ventilator pada pasien dengan
terbukti syok septik atau perubahan status mental untuk mencegah dekompensasi lebih lanjut.
Bahkan jika pasien tidak tampak sakit kritis awalnya, mengatur dukungan perawatan intensif
35
pasca operasi sebelum operasi sering bijaksana, khususnya pada pasien lanjut usia dan
mereka dengan komorbiditas yang signifikan.
Intraoperative
Tujuan pengobatan operatif dari peritonitis adalah untuk menghilangkan sumber
kontaminasi, untuk mengurangi perkembangan bakteri, dan untuk mencegah sepsis berulang
atau persisten.
Pascaoperasi
Pascaoperasi, memantau semua pasien erat dalam pengaturan klinis yang tepat untuk
kecukupan resusitasi volume, resolusi atau kegigihan sepsis, dan kegagalan organ
pengembangan sistem. Pengobatan sistemik yang tepat melalui antibiotik spectrum harus
diteruskan.
Kondisi secara keseluruhan pasien harus meningkat secara signifikan dalam 24-72 jam
setelah terapi awal (misalnya, resolusi dari tanda-tanda dan gejala infeksi, mobilisasi cairan
interstisial). Hal ini tentu saja waktu dapat diperpanjang pada pasien yang sakit kritis dengan
disfungsi sistem organ beberapa signifikan.
PROGNOSIS
Pada perforasi duodenum, faktor-faktor seperti bertambahnya umur, penyakit yang
menyertai, syok preoperatif, ukuran perforasi, kecepatan penanganan dan operasi merupakan
faktor resiko yang dipercaya menyebabkan kematian.
Pasien berusia lebih dari 65 tahun memiliki resiko 3 kali lebih besar untuk mengalami
peritonitis generalisata dan sepsis dibanding pasien yang berusia lebih muda dan resiko
kematian juga meningkat 3 kali lebih besar. Penemuan ini konsisten dengan hipotesis bahwa
sisi biologis dari peritonitis berbeda pada orang tua, yang biasanya menderita proses yang
lebih lanjut atau lebih berat dibanding pasien yang lebih muda. Peritonitis generalisata sering
mematikan akibat dari organisme virulennya.
36
BAB III
KESIMPULAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Apendiks vermicularis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Apendisitis akut
merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak
mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian
akan timbul muntah-muntah dan anaka akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang
tidak khas tadi, apendisitis sering diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90%
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting
dalam mendiagnosis apendisitis.
37
Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidajat S, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005.
2. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah Digestif”,
dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media
Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.
3. Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., “Acute Appendicitis in Children”,
JAMA,http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 15 Juli 2007, 298(4): 482.
4. Simpson, J., Humes, D. J., “Acute Appendicitis”, BMJ,
http://www.bmj.com/cgi/content/full/333/7567/530, 9 September 2006, 333: 530-536.
5. Townsend, Courtney M. Sabiston Textbook of Surgery, The Biological Basis of
Modern Surgical Practice (16 ed). W.B. Saunders Company
6. Andersen BR, Kallehave FL, Andersen HK: Antibiotics versus placebo for prevention
of postoperative infection after appendicectomy. Cochrane Database Syst Rev Issue
3:CD001439, 2005.
7. Livingston EH, Woodward WA, Sarosi GA, et al: Disconnect between incidence of
nonperforated and perforated appendicitis: Implications for pathophysiology and
management. Ann Surg 245:886, 2007. [PMID: 17522514]
8. Bickell NA, Aufses AA Jr., Rojas M, et al: How time affects the risk of rupture in
appendicitis. J Am Coll Surg 202:401, 2006. [PMID: 16500243
9. Styrud J, Eriksson S, Nilsson I, et al: Appendectomy versus antibiotic treatment in
acute appendicitis: A prospective multicenter randomized controlled trial. World J
Surg 30:1033, 2006
38