arif p. putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam jumat sudah menjadi...

115
sebuah novel Arif P. Putra

Upload: others

Post on 26-Oct-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

i

sebuah novel

Arif P. Putra

Page 2: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

ia tak pernah menyelamatkanku dari doa mujarabselain nyanyian pemanggil mambang dari rantau paling jauh,

yang telah direnggut oleh mantra-mantra moyang.Akulah Si Binga itu!

Page 3: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

iii

Undang-undang Republik IndonesiaNo. 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaLingkup Hak CiptaPasal 21. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak

Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yangtimbul secara otomatis adalah suatu ciptaan dilahirkan tanpamengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yangberlaku.

Ketentuan Pidana:Pasal 721. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) danayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu jutarupiah), atau penjara paing lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda palingbanyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaranHak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dipidana paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

bINGA

Penulis : Arif P. PutraLayout : Oriza S. MarzaEditor : Julia SipahutarDesain Cover : Javan Art

Penerbit:PURATA PUBLISHINGJl. Brigjend Katamso, Subang Jawa Barat, 41212Phone: 085316938631Email: [email protected]

Cetakan Pertama:Oktober 201914x20cm; vii + 105 HalamanISBN 978-623-90544-7-2

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang.Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruhisi buku tanpa izin penerbit.

Page 5: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

v

PROLOG

Perjalanan-perjalanan dalam hidup tidak akanpernah habis. Ribuan pemberhentian tetap menemukanbangku tunggu dan kepulangan, orang-orang akanselamanya berbeda—tidak terkecuali keluarga. Perasaanjuga begitu, apalagi menyoal kampung. Kadang, entahhanya perasaan sendiri saja atau memang perubahan itusudah sejak lama ada. Kampung-kampung terus didatangiMaruk, namun badan tetap gamang, pikiran selalu sajaberpulang ke kampung halaman. Apa-apa yangmembuatnya gamang adalah apa-apa yang sejak lamasudah ia alami. Tapi siapa yang tau menyoal diri oranglain?

Masing-masing orang mempunyai keluargasendiri, tapi tidak banyak orang yang memiliki keluargaseperti Maruk dan Mak Labia. Kehidupan terus dipupukayahnya seperti memupuk harap dikemudian hari, hanyasaja tidak satupun manusia yang sanggup memecahkan itu,tidak terkecuali darah dagingnya sendiri. Ia bawa badanmerantau jauh-jauh, melepaskan gamang dari kampungdan rumah. Tapi lagi, tetap dia menemukan gamang yangkelewat batas. Setiap ia temui orang, tiap kali pula iamerasakan akan terjadi sesuatu, walau tidak semua momenyang ia lewati menimbulkan risau yang celaka. Entah

ii

Page 6: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

perasaan saja atau memang begitulah orang Bingamembawa hidup ke dalam dirinya. Semuanya bagaiangan-angan semata, hayalan yang tidak sanggup dijalanipada kehidupan nyata.

iii

Page 7: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

vii

SEBAKI KATA

Akhirnya saya menyelesaikan novel ini. Ucapanterimakasih selalu tersampaikan kepada Empuhnya, mahapengasih dan pemberi kebaikan. Ia kirimkan saya orang-orang baik: keluarga, karib hidup, kawan-kawan dansegala hal yang memberi ide dalam hidup saya untukmenulis. Saya tulis novel ini pada pertengahan tahun 2015untuk mengasah kemampuan menulis panjang serta dalamrangka belajar menghargai buku-buku yang dihasilkanpara penulis, saya ikut menulis novel berjudul Binga. Darisini saya mulai belajar bagaimana menghargai setiap buku,menghargai proses kreatif penulisnya yang entah apa sajatelah ia lewati dalam menulis. Sampai sekarang, saya tidakpernah berpikir naskah ini akan naik cetak atau akanmenjadi buku paling disukai pembaca. Dalam buku keduaini, tentu tidak lepas dari kawan-kawan yang mau berbagicerita, pencarian sumber-sumber untuk tulisan ini.Keluarga yang senantiasa memberikan masukan ataskegiatan buang-buang waktu ini, menulis adalah termasukdari kegiatan membunjing kata ibu saya. Ayah sayabilang, akan saya ceritakan segala aib padamu, kemudiantulislah—beruntung alasan awalnya adalah untuk skripsidan saya mendapat tempat di pondok narasumber.

iv

Page 8: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Akhirnya saya menyelesaikan novel ini. Tentudengan perjalanan panjang, revisi dan pendapat kawan-kawan yang mau membuang waktunya untuk membacanaskah saya. Kawan diskusi paling berbesar hati dalammengoreksi tulisan saya; Hermanto (narasumber), AKBasuki, Yetti A.KA, Oriza S. Marza, Iswadi Bahardurdan karib Maulidan R. Siregar, Dafrika Doni, RedovanJamil. Semua yang terlibat dalam penyelesaian buku ini,tidak dapat saya sebutkan satu persatu karena kurunwaktunya yang panjang. Ini adalah tulisan yang sudahberulangkali mengalami revisi. Saya merasa novel initidak pernah bagus. Selalu saja ada yang kurang dalambeberapa bagian, tentu masih banyak yang harusdiperbaiki lagi. Meskipun begitu, novel ini menjadikesayangan sekali antara tulisan-tulisan yang pernah sayatulis, bukan karena isi ceritanya bagus atau idenya. Tapikarena mampu menuliskan keadaan sosial, kehidupanseseorang dan saya mempunyai alasan untuk melakukandiskusi dengan orang-orang “ladang”, meski mungkinsaja ia sendiri tidak pernah paham apa yang saya tulis.

Akhirnya saya menyelesaikan novel ini. Adabeberapa bagian yang sejak dulu ingin sekali sayasampaikan dalam novel ini. Rantau yang terasa gamang,kehidupan kampung, menerima kenyataan bahwa setiapyang datang pasti akan pergi, juga mantra-mantra yangterlanjur berlabel magis. Dalam novel ini saya menuliskanbeberapa bahasa daerah, bukan ingin menyatakan bahwasaya berasal dari kampung. Tapi ingin mengingatkan saja,bahwa setiap kejadian adalah milik daerah masing-masing.Saya juga mendapatkan inspirasi tulisan ini dari kejadian-kajadian di beberapa kampung yang ada di Pesisir Selatan,

v

Page 9: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

ix

Sumatera Barat. Orang-orang pelarian, kehilangan, orang-orang Binga dan mitos-mitos gaib lainnya.

Akhirnya saya menyelesaikan novel ini. Padatulisan awal, saya ingin sekali menonjolkan benda sakralbernama Gasing Tengkorak. Pada saat itu tujuan sayaingin menyampaikan, bahwa setiap benda apapun yang didewa-dewakan, pasti menjadi sebuah ketakutan. Meskipada akhirnya saya lebih dulu menuliskan data tersebutpada skripsi yang mengantarkan saya menerima gelar S1(Mantra Gasiang Tangkurak di Nagari Aur Duri Kec.Sutera), sungguh gelar yang mubazir bila dipikir-pikirsetelah tamat. Pada skripsi itu saya membahas seputarkegiatan manggasiang, namun saya mengambil dari sisikebaikannya. Dan pada dasarnya saya berpendapat,sesuatu yang berada di tangan orang munafik pasti akanberujung kejahatan. Begitu juga dengan ilmu tradisional.Dalam hati selalu bersyukur telah berhasil menyampaikanapa-apa yang ingin saya sampaikan, meski tidak secaraterperinci. Tapi percayalah, bacalah buku ini untukbeberapakali, karena memang sesuai dengan judulnya,Binga. Setidaknya buku ini mampu memberi satukesegaran baru dari sebuah cerita daerah.

vi

Page 10: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

DAFTAR ISI

Prolog............................................................................ Kata Pengantar ............................................................. Daftar Isi ....................................................................... Upacara Ritual .............................................................. Tuhan Cabt Nyawa Amak............................................. Sebuah Tempat di Tanah Rantau .................................. Surat-surat Marut .......................................................... Burung-burung Walet ................................................... Putri Tujuh; mayang mengurai ..................................... Kisah Pasar Malam dan Sebuah Kebencian.................. Antara Gagak dan Burung Pipit.................................... Tentang Tek Liwas ....................................................... Suara-suara Amak.........................................................

vii

Page 11: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

1 | Binga

Binga 1Upacara Ritual

Sejak kepergian suaminya, Mak Labia berhentibermain gasiang tangkurak1. Dia takut sesuatu akan terjadipada dirinya jika memainkan gasiang seorang diri. Kejadianmaut yang terjadi di depan matanya, membuat ia menyimpangasing keramat itu. Walau harus menghadapi ribuanpertanyaan orang-orang yang ingin memiliki benda tersebut.

Suami Mak Labia meninggal karena sakit yangdideritanya selama seminggu, kata tabib di kampung, suamiMak Labia demam atau yang biasa disebut orang-orangkampung tasapo2. Mak Labia sebenarnya mengetahui halyang sedang diderita suaminya, makanya Mak Labia

1Gasiang Tangkurak: gasing tengkorak; benda yang memiliki kodim (jinpenjaga) untuk upara ritual gaib2Tasapo: sakit karena disapa makhluk halus

Page 12: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 2

menyebut kematian itu karena pertarungan gaib yang setiapmalam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka.Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidakmelaksanakan upacara ritual manggasiang3. Benangpancarono4 yang selalu mereka pakai sudah terlihat usangpula—bisa saja putus sewaktu akan manggasiang. Tapi,karena keras hati suaminya, ia menyuruh Mak Labia mencaribenang tujuh warna lainnya. Tentu saja Mak Labia harusmenuruti kehendak suaminya itu.

Kebetulan sekali, Liwas, tetangga Mak Labia seorangtukang jahit. Sebenarnya sudah sejak dulu rumah Liwasmenjadi tempat meminta benang. Ia pun terpaksamemberanikan diri untuk membangunkan Liwas, saat bulanmulai menjatuhkan wajahnya pada subuh. Dinihari mulaimenjemput lolong, mengantarkan suara-suara parau anjing-anjing. Mak Labia mengetuk pintu tetangganya itu.

“Was… Was… Liwas, sudah tidurkah?” panggil MakLabia sambil menekan suaranya.

“Ini aku Labia, bisakah kau buka pintu rumahmusebentar?” sambungnya dengan perasaan gusar, ketika takmendapatkan sahutan dari Liwas.

Suasana rumah Liwas tetap hening, sesekali hanyaterdengar suara kucing yang melompat ke loteng rumah. Taklama kemudian terdengar suara berbisik dari kamar Liwas.Terdengar samar oleh Mak Labia.

“Kau bangun, Liwas?” tanya Mak Labia penuh harap.“Jangan takut, aku hanya ingin bertanya, adakah sisa

benang-benang bekas menjahitmu?” tanya Mak Labia dengannada memelas.

3Manggasiang: melakukan upacara ritual4Pancarono: pancawarna/bermacam-macam warna

Page 13: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

3 | Binga

“Iya tunggu sebentar, Labia!” jawab Liwas.Liwas mengintip dari balik kaca. Baru saja Liwas

menempelkan wajahnya ke kaca, Mak Labia yang berdiritepat di depan kaca juga sedang mengintip, wajah merekabertemu. Liwas sangat kaget ketika melihat keluar, sebabwajah Mak Labia juga sedang melihat ke bagian kaca yangsama.

“Benarkah kau itu, Labia?” tanya Liwas lagi.“Iya, ini aku, Was. Jangan takut, aku sendirian.”Kemudian Liwas membukakan pintu sambil melihat

keadaan di luar rumah.“Ada perlu apa, Labia? Kenapamembangunkanku tengah malam begini. Apa kamu tidaktidur?” tanya Liwas menelisik kedatangan Mak Labia.

“Aku mau minta beberapa benang bekasmu, Was.”“Untuk apa?”“Untuk menjahit celana suamiku yang robek, karena

ia akan memakai celana itu besok, jadi aku beranikan diriuntuk meminta beberapa utas benang padamu.”

Setelah beberapa menit percakapan itu, Liwasmengajak Mak Labia masuk ke dalam rumah untukmengambil benang yang diminta. Mak Labia melihat rumahLiwas yang berantakan karena kain-kain yang akan dijahitbelum selesai. Di bagian plafot rumah Liwas diselimuti kainhitam, bagian dindingnya ditutupi kain yang bercorak batik.Mak Labia merasa heran, rumah macam apa ini? Pikir MakLabia sambil terus berjalan mengikuti Liwas.

Memang, sejak dulu Liwas selalu sajamempertanyakan gerik suami Mak Labia. Liwas pernahmenyebutkan bahwa ia sangat segan dengan suami MakLabia. Karena kemasyurannya di kampung. Mak Labia tidakpernah mempertanyakan dengan jelas sikap Liwas itu.Karena bagi Mak Labia, Liwas tetaplah tetangganya sejak

Page 14: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 4

dahulu. Tetangga yang paling penasaran akan kebiasaansuaminya. Bagi Mak labia, tetangga adalah saudara. Makadari itu, Mak Labia selalu memberikan makanannya jikasedang mendapat rezeki lebih. Namun, tidak jarang jugapemberian Mak Labia selalu melewati pertanyaan-pertanyaanyang menjurus kepada suaminya. Pertanyaan seperti itusering ditemui Mak Labia saat membagi sedikit rezeki kerumah Liwas.

“Makanan ini aman, Labia?” katanya sambilmencium makanan yang diantar Mak Labia. Kadang, ia jugamempertanyakannya begini; “Apakah suamimu tidak ikutmembuat makanan ini? Atau jangan-jangan…?” Meskiribuan kali hal itu terjadi, Liwas tidak pernah mengalami halaneh apapun setelah memakan makanan pemberian MakLabia. Namun, pertanyaan itu juga harus terjadi pula ribuankali.

Liwas menyuruh Mak Labia memilih benang untukdibawa pulang. Seketika Mak Labia bergegas menyelesaikanpermintaan suaminya, ia memilih beberapa benang denganwarna yang berbeda. Disisi lain, Liwas terus memerhatikanMak Labia yang sibuk memilah benang.

“Kenapa harus dengan warna yang berbeda?” tanyaLiwas curiga.

“Apa kamu tidak membawa suamimu ke sini ataukamu sedang menyembunyikannya di balik semak pohonpisang?” Liwas bertanya seperti orang sedang ketakutan.

“Jangan cemas, Was, ini hanya untuk jaga-jaga saja.Bila aku ambil satu warna saja, mana tahu nanti tidak sesuaidengan warna benang di celana suamiku.” jawab Labia.

Kemudian Mak Labia berjalan pulang membawabenang tujuh warna yang baru saja ia dapat dari rumah

Page 15: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

5 | Binga

Liwas. Dengan hati yang lega, ia menemui suaminya yangsedang sibuk menyiapkan rupa-rupa peralatan ritual. Mulaidari sesajian sampai alat yang tidak boleh disentuh siapapun,tentu saja alat tersebut sangat disakralkan. Tidak ada yangboleh menyentuhnya selain garis keturunan. Garis keturunandalam upacara ritual, bukan kekeluargaan. Ia melihat ke arahMak Labia sambil terus menerawang genggamannya.

“Jangan bilang bahwa kamu tidak mendapatkanbenangnya.”

“Untung saja Liwas belum tidur nyenyak. Akuberhasil membangunkannya. Tapi sepertinya aku merasa adayang aneh dengannya.”

“Aku melihat banyak kain hitam di dalam rumahnyayang digunakan sebagai pelapis plafot,” sambung Mak Labia.

“Tidak perlu membahas dia, yang penting kamumendapatkan benangnya. Itu yang paling penting.”

Mereka duduk dan mulai menyiapkan sesajian yangsetiap kali ritual harus disediakan. Selain itu, Mak Labiamempersiapkan hafalan mantranya—terakhir kali ia bacakanhafalan selalu salah, dan wanita itu disuruh keluar dari kamarritual.

“Bagaimana hafalanku kali ini. Sudah baguskah?”tanya Mak Labia dengan nada lirih.

“Bagus, lebih mendingan dari minggu lalu.”Mak Labia mulai tidak paham pada keadaan ini. Dari

waktu ke waktu, Mak Labia menemukan banyak mitos yangdikuasai nafsu-nafsu binal milik suaminya. Apa yang akandilakukan makhluk pesuruhnya? Apakah sebuah mantrapemanggil, atau jangan-jangan sebangsa tuyul? Kemudianritual itu dimulai oleh suaminya dengan khusyuk.

Page 16: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 6

“Marilimau. Putarlah, putar tali si rama-rama. Ramasi kumbang janti. Pulanglah dagang yang melalang.” Sambilmemutar-mutar jemarinya ia terus menyanyikan mantra.

“Sabar, tancapkan ini di jalan menuju halaman rumahkita." Dia kosentrasi penuh, sambil menutup mata. Sesekalitersenyum, seperti ada sebuah percakapan dengan seseorang.Mak Labia sering meratapi kesedihan itu, ia seakan-akanhidup dengan bayang-bayang seorang pria yang memilikipantangan kuat, yaitu; jangan menyentuhnya jika malamjumat tiba. Padahal ia tahu, bahwa malam Jumat adalahmalam yang dirindukan para istri.

Kemudian semua berlalu. Ia keluarkan sebilah kerisdari saku belakang. Katanya baru saja dikirimkan olehseseorang yang memakai jubah putih.

“Suatu petunjuk baik.” ucap suami Mak Labia.Padahal setiap melakukan upacara ritual selalu saja

seperti itu, terus saja ada seseorang yang memberi petunjuk.Suaminya menerangkan bahwa malam itu akan adapertarungan hebat, jangan pernah menyentuhnya sebelum iabenar-benar tidak sadarkan diri atau mulutnya sudahmengeluarkan darah. Malam yang membuat Mak Labiaterpaksa menjaga mata agar tidak tertidur. Mak Labia harustetap berada dalam kamar itu, agar mengetahui keadaansuaminya.

---Sejak gasiang tangkurak dan mantra berkeliaran

dalam otak Mak Labia. Ia lebih suka menyendiri darikegiatan di kampung. Ia takut merasakan suatu keanehanyang terus mengikuti. Mak Labia sering terkejut jika berjalansendiri. Mak Labia merasa ada seseorang yang selalu

Page 17: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

7 | Binga

mengikutinya, apalagi jika pergi ke sungai. Serasa ada yangmengikuti saja dari balik semak-semak. Itu sebabnya MakLabia lebih suka menghabiskan waktunya di rumah, daripadadi luar bersama ketakutan yang menghantui. Selain itu, wargaselalu menanyakan kabar kedua anaknya yang merantau, itumenjadi suatu hal menyebalkan bagi Mak Labia yangsebenarnya tidak terlalu suka ditanyai masalah anak-anak.Terlebih anak sulungnya.

Di kampung, orang-orang sangat segan kepada suamiMak Labia. Mak Labia mengetahui banyak cerita dan gosip-gosip yang beredar dikalangan pekedai. Mereka menyebutsuami Mak Labia memelihara makhluk gaib. Merekamenyebut suami Mak Labia punya hantu yang bernamaawua-awua5, oleh karena itu mereka sangat segan. Bukansegan karena kebaikan dan kemasyurannya dalammasyarakat. Tapi karena takut, takut akan dibuat gila olehsuami Mak Labia. Walau kenyataannya sampai saat inisuaminya itu tidak pernah berbuat jahat kepada orangkampung. Malahan suaminya mau mengobati orang-orangyang sakit secara gratis. Itu yang membuat Mak Labia selalukesal jika mendengar omongan masyarakat yang tidak tahuakan diri seseorang. Kebenaran sering menjadi kambinghitam dalam perbincangan mereka, tanpa mengetahuisakitnya hati orang yang dibicarakan.

Mak Labia memiliki dua orang anak laki-laki, merekasibuk dengan dunianya masing-masing. Anak pertamamerantau ke Padang, sedangkan anak kedua berada di pulauJawa. Anak bungsu itu lebih menyukai dunia Ayahnya yangmistik, penuh dengan mitos. Kalaupun pulang, mereka lebihsering menghabiskan waktu berdua, ketimbang bersama

5Awua-awua: kolongwewe

Page 18: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 8

dengan Mak Labia. Anak sulungnya sengaja tidakdiperbolehkan merantau jauh-jauh, sebab jika Mak Labiarindu, ia akan datang berkunjung ke Padang, tapi biasanyadialah yang pulang kampung. Jarak kampung dengan Padangmemang tidak terlalu jauh, hanya lima jam perjalananmenggunakan bus.

Anak Mak Labia yang pertama bekerja di kotaPadang sebagai pelayan di kapal nelayan. Ia melayani awak-awak kapal ketika melaut. Sebagai pelayan yang baik, anakMak Labia yang bernama Maruk itu harus menebalkantelinganya menerima teriakan—serta makian dari temansekerjanya. Ia menjadi pelayan di dermaga. Menjadi tukangangkat barang-barang naik kapal dan turun kapal. SedangkanKelui memilih jalannya sendiri di pulau Jawa menjadiseorang ajudan saudagar. Saudagar yang memiliki banyaktanah dan ruko. Kelui biasanya melakukan penagihan hutang,kerjaannya menemui orang-orang yang bermasalah dengantuannya. Tentu Kelui harus memiliki keberanian dan kepalantinju yang kuat. Lantaran pekerjaan yang dipilih Kelui begitumenantang, Ayahnya sering sekali mengingatkan Keluibahwa mantra yang diberikan harus selalu dijaga dandipergunakan dengan baik.

Kelui begitu menyukai hal-hal mistik sepertiAyahnya. Kadang, mereka sampai larut malam berceritabanyak kisah yang terjadi pada zaman dahulu. Mulai daripertarungan antar jawara, sampai cerita Kakek Kelui yangdahulu adalah seorang jawara kampung dan menjadikannyalegenda yang patut dikenang. Sedang Maruk hanyamendengar cerita itu bersama Ibunya di dapur yang tidakjauh dari kamar tempat mereka bercerita.

Page 19: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

9 | Binga

Mak Labia tidak pernah melarang apa yang disukaianaknya, terlebih lagi Kelui yang lebih suka bepergiandengan Ayahnya dibandingkan dengan Mak Labia. Anakbungsunya itu sudah pernah bicara dengan Mak Labia, bahwaia akan menjadi generasi selanjutnya atas ilmu-ilmu yangdimiliki Ayahnya. Kalau tidak padanya, lalu mau diturunkankemana mantra-mantra yang pernah dilihatkan Ayah.Mantra-mantra itu disusun dalam sebuah buku. Ayahnyamenyebut, setiap lembar buku itu terbuat dari kulit sapi.

“Mak, jika suatu hari nanti aku harus meneruskankebiasaan Ayah, Mak jangan pernah melarangku, ya. Sebabbagiku Ayah adalah panutan yang patut aku percayai.” UcapKelui kala itu, saat Mak Labia mengajaknya ke sungai untukmembantu membawakan cucian.

Meski Kelui tidak pernah membantah kata-kata yangkeluar dari mulut Mak Labia, tapi disisi lain Kelui seringmenunjukan ketidakpuasannya terhadap Mak Labia yangselalu menceramahinya—jika ikut melihat Ayahnyamembersihkan gasiang. Mak Labia hanya bisa tersenyummelihat tingkah anaknya itu, Kelui adalah anak yang lahirdari rahimnya, ia lahir tanpa mengeluarkan suara sedikitpun,matanya yang terpejam diam tidak bereaksi sama sekali. MakLabia sempat takut atas keadaan itu. Berbeda dengansuaminya yang tersenyum dan berkata; “Inilah peneruskukelak!” Sambil tertawa suaminya langsung menimang-nimang Kelui yang masih dilumuri darah waktu itu.

Kala itu Maruk sempat menegur Ayahnya yangsemakin asyik mendendangkan mantra-mantra, katanya ituhanya sebuah puisi kebahagiaan untuk penerusnya kelak.Maruk hanya bisa mengusap dada sambil menenangkanIbunya yang setengah bahagia. Di depan pintu kamar,

Page 20: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 10

beberapa orang warga yang menyaksikan lahirnya Keluidengan tercengang.

“Maruk, beri Ibumu air agar ia tenang,” kata Liwassambil melihat sinis kepada suami Mak Labia yang masihmenimang Kelui.

“Bersihkan darah-darah yang ada di kasur sekalian,takutnya nanti mengering. Baunya sangat menyengat,”sambung Liwas dengan mengulurkan kain.

“Iya, Tek. Apa Ibu akan baik-baik saja, Tek?” tanyaMaruk yang terlihat mencemasi keadaan Ibunya.

“Tenang saja, Amakmu akan baik-baik saja, beliauhanya kelelahan.”

Kemudian keadaan tenang. Semua warga pulangmembawa banyak pertanyaan atas tingkah suami Mak Labia.Mereka berbisik sepanjang jalan menuju rumah masing-masing. Liwas dan seorang warga lainnya menyempatkanduduk di beranda rumah miliknya, tidak jauh dari rumah MakLabia. Mereka melanjutkan cerita yang masih terasa panjang,banyak pernyataan-pernyataan Liwas yang membuat seorangwarga itu terkejut.

“Kamu tahu, suami Mak Labia itu sepertinya seorangpenganut paham moyang; orang yang percaya hal-halmistik.”

“Benarkah! Kamu tahu dari mana, Was?”“Aku sering melihat kegiatan suaminya yang aneh-

aneh. Mulai dari menjemur benang tujuh warna setiap hariKamis, sampai mendendangkan nyanyian-nyanyian anehsetiap pagi.”

“Wah, ini bahaya. Jangan-jangan kejadian-kejadiananeh selama ini adalah kerjaan suami Mak Labia.”

Page 21: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

11 | Binga

“Aku juga tidak mengetahui siapa pria itu sebenarnya.Yang aku tahu ia adalah keturunan jawara kampung ini yangaslinya orang dari hulu.”

Sampai tengah malam mereka ngobrol di teras rumah,sampai terdengar bunyi bantingan pintu dari arah rumah MakLabia. Seorang warga tadi bergegas meninggalkan Liwasyang terkejut dan wajahnya terlihat pucat pasi. Seorangwarga tadi langsung pamit dengan kain sarung yang setengahterpasang. Suara itu membuat nyali mereka berdua langsungciut tanpa tahu ke mana perginya. Bagaimana tidak, tengahmalam yang hening dengan cerita gaib yang menakutkan,kebiasaan yang aneh. Tiba-tiba dikejutkan dengan suarabantingan.

Suara-suara anjing melolong sengit, terdengar parauteriakan suara dari rumah Mak Labia. Seperti sebuahkebahagiaan yang sengaja diperlihatkan, bahwa merekabenar-benar sedang bahagia—meski suaminya melakukansedikit ritual aneh bagi sebagian orang.

Kelahiran Kelui malam itu membuat rumah MakLabia terasa berwarna, hari-hari suaminya disibukkan dengantimangan sayang setiap pagi dan malam—dengan syair-syairia mendendangkan Kelui yang kadang tidak mau tidur.Sebenarnya tidak ada yang salah, karena setiap rumah jugamemiliki dendang masing-masing untuk menyanyikan lagupengantar tidur anaknya. Tapi mengapa orang-orang merasaaneh jika suami Mak Labia mendendangkan nyanyianpengantar tidur untuk anaknya. Apa di kampung benar tidakdiperbolehkan menganut paham masing-masing nenekmoyangnya? Itu yang terpikir oleh Mak Labia jika harusmengingat banyak peristiwa.

Walau sejatinyakampung Singkulan itu adalah tanahkelahiran Mak Labia dan suaminya. Di kampung itu mereka

Page 22: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 12

tumbuh bersama, meski pada hakikatnya muasal keturunansuaminya adalah di daerah Hulu. Mak Labia tidak pernahmembantah kekolotan suaminya yang kampungan sekali.Mak Labia menerima segala kekurangan suaminya, sebabbaginya sudah kewajiban seorang istri menerima siapasuaminya. Kalau tidak saling mencintai, tidak berumahtangga dan beranak—tidak serta membuat Mak Labiamenyesali itu, walau dalam hati Mak Labia sering menangis,iba dengan nasib suaminya yang terasingkan, tapi tidakpernah ia membantah atau mendemo hati warga yangmengasingkan keberadaannya. Karena baginya hidup adalahperjalanan menuju mati. Bukan hidup untuk hidup.

____

Suatu Ketika Dalam Binga

Ia mendengar suara cicit anak ayam di pagi hari.Seusai bangun dari tidur pendeknya yang setengah pulas.Kemudian ia datangi kandang milik ayam kesayangannya itu.“Sudah menetas pula kau, Beti?” katanya sambil melihattelur-telur busuk hasil produksi Beti, entah itu adik dari anakayam yang menangis, atau itu kakaknya. Yang pasti ia adalahanak tunggal dari iduk ayam tersebut.

Begitulah Mak Labia menyibak paginya sendiri.Tidak ia bangunkan suami yang keluyuran tiap malam, jugaanak-anak yang ternyata sudah lebih dulu bangun—merekatelah berangkat ke sekolah. Mak Labia tahu, kadang-kadangia memang sering lupa bagaimana cara bangun pagi, lantaranmenunggui suaminya pulang larut malam. Jika tidak iatunggui, tabiat suaminya itu memang kelewatan, jika

Page 23: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

13 | Binga

terlambat membukakan pintu untuknya, ya, pintu tersebutakan menjadi korban amarahnya.

Sejak rumah mereka selesai direnovasi, sudah tujuhkali ganti pintu akibat amarah suaminya. Namun, Mak Labiatidak pernah mempermasalahkan hal itu berlebihan, ia tahubagaimana tabiat suaminya sejak dahulu—sebelum iamemiliki dua anak. Toh, pria itu juga sudah begitu sedaridulu. Di rumah orang tuanya pun ia juga begitu, Mak Labiatahu betul siapa suaminya. Walau demikian, tidak bagi anak-anak mereka.

Mak Labia memang begitu, kadang-kadang ia jugalupa entah siapa yang mendobrak pintu tengah malam.Kadang ia berpikir pula suaminya benar-benar tidak pulangdalam sehari, padahal suaminya di rumah saja. Begitu lupaMak Labia yang kelewatan itu. Sekali hari ia pernahmengajak Maruk ke sungai untuk mengangkut air, kebetulanbulan itu musim kemarau melanda kampung Singkulan. DiSingkulan memang dapat jatah musim kemarau hampir setiapbulan. Pemberian jatah dari alam itu dianggap sebuah rejekipula oleh orang-orang Singkulan. Konon, berita yangberedar, jika musim kemarau datang, ada sesuatu yang inginlewat di kampung Singkulan. Tapi entah apa yang lewat tidakada yang bisa memberikan penjelasan.

Ia bawa anak pertamanya untuk mengangkut air darisungai ke rumah. Jarak dari rumah ke sungai memakan waktukurang lebih setengah jam. Wajar saja, mereka lakukannyahanya berdua saja. Itu adalah masa-masa dimana Mak Labiabelum parah betul penyakitnya. Sedangkan suaminya bukanberarti tidak membantu, tapi ia lebih mengurus persoalantersebut secaramenyeluruh. Maksudnya... ya, begitulah.

Mak Labia mengajak Maruk untuk mengangkut air 30liter dalam sehari. Tentu saja, kadangkala anak sulungnya itu

Page 24: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 14

merasa jengkel dengan tabiat Emaknya. Bagaimana tidak,penyakit konyol Mak Labia seringkali membuatnya diledekinoleh teman-temannya.

“Sudah 50 liter kita mengangkut air sehari ini, Mak.”“Belum, Nak. Ini masih 20 liter.”Mereka terus mengangkut air sampai Mak Labia

menyerah—tidak kuat lagi untuk mengangkut air, dan bolak-balik dari rumah ke sungai.

“Sudah cukup hari ini, Ruk. Mak lelah sekali.”“Iya, Mak.”“Tidak apa-apa cuma 30 liter saja. Jika nanti ayahmu

marah, kita diam saja,” sambungnya kemudian.“Ya, Tuhan... padahal ini sudah 70 liter kami angkut

sejak pagi sampai petang.”Bagaimanapun juga, Maruk tidak bisa berbuat apa-

apaselain berdoa, dan menunjukkan baktinya kepada MakLabia. Selain itu, tidak ada lagi tempat beliau mengadu, kalaubukan kepada anaknya.

Hari-hari berakhir dengan kelupaan, saban tahunsuaminya berusaha untuk mengobati penyakit konyol itu, tapientah kenapa semuanya tetap—seakan menjadi kadang-kadang saja. Memang begitu kenyataannya, Mak Labiakadangkala kelewat ingat pula semua yang belum terjadi danapa saja yang disukai orang rumahnya. Mulai dari silsilahkeluarga Liwas, sampai keturunan semua keluarganya. Tapisayang pula, ia selalu lupa hal-hal kecil di rumahnya, sepertimasakan yang disukai suaminya atau kelupaan bahwa Maruktidak boleh makan udang, karena ia alergi.

Page 25: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

15 | Binga

Binga 2Tuhan, Cabut Nyawa Amak

Kamar berantakan. Serpihan gelas pecah bertaburan.Dinding-dinding retak. Segala macam bau menyengatmengitari hidung. Kemudian sebuah lukisan wayangmeninggalkan rumah. Maruk terus melihat segala sesuatuyang ada di dalam ruangan. Hampir mati menahan sesakkenangan yang ada.Maruk memberanikan diri bertanya padapria yang sibuk mengangkat barang yang ada dalam kamarAyahnya. Namun, tiada satu pun dari mereka yang maumenjawab pertanyaan Maruk. Pada ruangan lainnya, terlihat

Page 26: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 16

Mak memelas menahan pria-pria yang mengangkat barangyang berada di rumah.

Mimpi yang selalu menghantui Maruk membuat iatakut sesuatu terjadi pada dirinya dan keluarga. Maruksempat mengajak Ayahnya untuk pindah dari kampung, sejakkejadian yang membuat Ibunya benar-benar diasingkan olehmasyarakat, ia semakin takut. Kadang, ia sengaja mengikutike mana saja Amaknya pergi. Takut sesuatu hal yang burukmenimpanya. Dan kemudian suatu ketika seorang perempuanmendatanginya tertatih.

Perempuan dari Selatan itu mendatangi Maruk denganwajah yang suram. Kain-kain ditentengnya memakai taswarna biru yang sudah mulai lapuk. Bagian bawahnya sudahagak sedikit sobek. Ia datang lalu bertanya, “Di mana rumahMaruk, Dik?” Sembari melihat ke arah wajahnya, Marukterus saja pura-pura sibuk memotong batang pisang untukmakan sapi. Ia melihat ke arah tasnya yang melimpah olehpakaian. Ia meneruskan percakapan dengan temannya yangjuga sedang memotong pohon pisang. Perempuan ituberlarian menyeberangi jalan yang riuh oleh ternak warga.Melewati semak-semak keladi—ia berlari seperti melihatseseorang yang sudah dicarinya puluhan tahun. Roknya yangdekil terurai diterpa angin. Kemudian suasana tiba-tibahening. Dan ramai kembali. Wanita itu hilang ditelan semak-semak, sampai tidak kelihatan lagi roknya yang dekil terurai.

“Serasa pernah menikmati suasana seperti ini. Apakahmasalalu segera datang lagi, seperti hujan datang dan pergi?”ucapMaruk pada temannya.

“Wah, saya juga pernah merasakan hal itu, Ruk.”

Page 27: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

17 | Binga

“Kata anak Tek Liwas yang sekolah di luar kota, itunamanya dejavu. Waktu itu kami pernah duduk di sebuahkedai kopi.” sambungnya.

“Siapa wanita tadi?”“Apakah perempuan itu gila?”“Aku tidak tahu, Ruk. Aku juga baru melihat

perempuan itu. Barangkali .…”Mereka tertawa dan terus membuat lelucon tentang

perempuan yang baru saja mendatangi Maruk.

---

Malam semakin larut. Suara jangkrik berdendang,seakan menyatakan bahwa malam benar larut dan subuh telahberanjak datang. Langkah kaki terdengar mengendap,membawa tumpukan rumput. Sapi-sapi berbicara. Ayamberkokok, dan peliharaan lainnya semakin sibuk memanggiltuannya. Maruk masih saja berada dalam labirin kenanganmasalalu bersama seorang perempuan. Hampir sepertigamalam ia berdiri di depan pintu kamar. Telah berlangsungbanyak dialog dengan waktu yang terus menerus meramumimpi. Tapi mata masih saja enggan untuk terlelap. Sebab,banyak hal yang hendak ditemui, dengan segala petaka yangakan terjadi. Ia beku dalam kesunyian, menilik ragam bahasatubuh manusia di sekitar. Pagi terus memburu, malam mulaitenang bersama suara azan subuh. Sajadah terbentang, tundukpada yang Kuasa.

Suasana terasa sunyi. Seperti kembali kepada masakanak-kanak lagi. Saat segala sesuatu selalu dibantuAmaknya, mengajarkan semua hal tentang kehidupan, jikakelak ia sudah tidak ada lagi: Ayah dan Amak. Tetaplahberhitung, telah habis berapa milyaran jam berlalu.

Page 28: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 18

“Jangan lepaskan dekapanmu, Sayang. Sebentar lagihujan akan turun deras, membasahi helai bulu kecil ditubuhmu.” sebut Amak waktu itu. Dia menoleh ke belakang,sambil terus berbicara tenang. Di teras rumah, tampias hujanmembasahi lantai semen yang belum dilicinkan. Ayah belumterlihat menuju beranda rumah, risau hinggap dibenak.Maruk terus saja mengkhayalkan hal yang sama. Tidakpernah berhenti berharap.

Kemudian seorang anak kecil berlarian menyusurihalaman rumahnya. Dengan ban motor bekas, dikayuhdengan sebatang kayu di tangannya. Lubang-lubang keciljalan digenangi air, sepasang suami istri berteduh dengandaun pisang. Lumpur menetesi baju yang menguyup sebatangtubuh.

“Apakah orang itu bermandi hujan, lalu jatuh denganbaju yang dipenuhi lumpur? Sepertinya mereka sangatbahagia sekali, sampai lupa bahwa mereka sudah sangat tuauntuk bermain hujan.” Pertanyaan macam apa itu. Bodohsekali rasanya jika harus mengingatnya.

“Tidak, Sayang. Mereka baru saja pulang darisawahnya. Karena hujan terlalu deras, mereka tidak sempatmengganti baju. Sehingga mereka lebih memilih pulangdengan baju penuh lumpur. Dulu Ayah dan Amak jugabegitu. Sewaktu kamu belum lahir.” Dengan nadamenerangkan, Maruk setengah tidur dipelukan Amaknya.Malam masih terasa sunyi, meski di luar rumah terdengaracara tahunan. Maruk terus mempertanyakan kepergianAyahnya yang tidak tahu entah ke mana. Meski padakenyataannya Mak Labia sudah mengatakan bahwa Ayahnyameninggal dunia, sewaktu Maruk tidak di rumah. Namunpikiran Maruk belum bisa menerima kenyataan itu.

Page 29: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

19 | Binga

Hari ke hari semakin terasa ada yang kurang. Waktuterus berlalu. Begitu juga dengan berbagai kisah tentangAyah dan hujan yang hampir setiap Minggu datang, lalupergi. Pelangi tetap enggan tersenyum di langit. Awan kelamlebih betah terlihat di bujur-bujur langit. Katup mata MakLabia membengkak, menahan rindu ingin bertemu suaminya.Kala itu Maruk baru saja pulang dari Padang. Mak Labiatetap seperti biasa; duduk bersimpuh di teras rumah,memandangi belantara pagar-pagar yang ditumbuhi bungamawar merah merona. Aku tahu, rindu masih ada. Tapikesadaran masih belum juga pergi. Sampai detik ini. UcapMaruk dalam hati.

Maruk telah larut bersama tangisan malam,mengenang segala masalalu. Apa yang akan terjadi jika iatidak memiliki sebuah kebahagiaan bersama. Meski padasetiap surat-surat yang pernah Maruk kirimkan terlihatbahagia dan tidak pernah terucap kata berduka. Tapipercayalah, hidup tidak seindah yang diceritakan. Mak Labiamerangkul tubuh anak sulungnya yang masih hangat.Kesedihan yang dirasakan Maruk sangat dalam. Pulang darirantau sudah menerima kenyataan semacam itu. Padahal iasangat ingin membicarakan banyak hal kepada Ayahnya.

“Apa gerangan yang Mak pikirkan, sampai begitulusuh sebatang badan. Tidakkah Mak mandi dan menggantibaju ini?” Maruk bertanya dengan tangan yang masih tetapmerangkul erat tubuhnya yang semakin lunak. Hanya terasatulang yang sudah mulai dimakan usia.

“Jangan cemas, Mak tidak apa-apa. Hanya merasarindu saja kepadamu. Mak juga berpikir, andai ada Ayahmudan Kelui di rumah, pasti suasananya beda.” Ia tersenyumkecil memalingkan wajahnya yang menatap dinding-dinding.

Page 30: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 20

“Amak jangan terlalu memikirkan hal itu, kelak kitajuga akan berkumpul lagi seperti dahulu.”

“Iya, Mak percaya itu.” Senyuman manis tersunggingdi bibir keriputnya. Maruk memeluk Mak Labia sambilmembaringkan tubuh renta itu.

---Di jalan menuju pasar Minggu, Maruk menemui

seorang Nenek tua yang duduk di bangku tempat menunggumobil antar jemput penumpang—yang biasa disebut orangkampung di Pesisir oto tambang balai6, terlihat tubuhnyayang menggigil, wajah pucat dengan baju kumuh yangdipenuhi langau hijau. Nenek tua itu tersandar, mata seakantidak mau terlelap, tapi sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Maruk terus berjalan sambil melihat ke arah Nenektua. Ia terbangun, dan menatap tajam ke arah Maruk.Langkah termangun, setelah itu ia kembali tertidur.Kemudian seorang lelaki tua datang membawa semangkukmakanan. Mereka menikmati bubur kacang padi dengansenyuman hangat. Tertawa dan saling menyuapkan. Ya,Tuhan... begitu bahagia mereka pagi ini. Maruk merasasedang terdampar di kota yang ia sendiri tidak tahu. Dalamhati,Maruk terpikir kedua orang tuanya saat anak-anaknyatidak di rumah.

Maruk baru saja pulang dari perjalanannya kelilingkampung, sudah sekian lama tak jumpa dengan aroma-aromamenyengat pasar. Begitu juga jalan-jalan yang pernah iatempuh semasa di kampung, waktu sekolah yang tidakpernah ia pikirkan lagi, bermain bersama teman yang sudah

6Oto Tambang Balai: angkutan umum pada hari pasar

Page 31: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

21 | Binga

sangat lama sengaja ia lupakan dan tidak ingin mengingatdua hal itu.

“Bagaimana dengan kampung halaman yang kaugadang-gadang akan maju ini?” tanya Maknya, sambil terusmenyapu teras rumah yang masih berantakan karena bekaslumpur yang mengering.

“Banyak berubah, Mak. Ini tidak seperti yang akubayangkan. Tadi di jalan menuju pasar, aku melihat sepasangsuami istri yang duduk sangat lama di sebuah bangku tungguoto. Sampai aku keluar dari pasar, mereka masih terlihatduduk betah di sana dengan mata yang terlihat kantuksekali.” Mak Labia semakin jauh menyapu, dan mungkin sajaia tidak mendengarkan pembicaraan Maruk. Tidakdisangsikan, begitulah rupa kampung yang baru saja maju.Suara azan memanggil, Maruk berlalu dengan pertanyaantadi. Dan Mak Labia terus memperhatikan bunga-bunga dihalaman rumah.

Malam terasa dingin, di luar gerimis sengitmendatangi daun-daun, menempel di antara dinding-dindingrumah. Maruk berdiri pada dua persimpangan, ia ragu untukmeninggalkan Amak seorang diri di kampung dengankeadaannya yang semakin tua. Sampai pada penghujungpemikiran, ia tetap tidak menemukan hal yang sangat inginsekali ia jumpai; kenangan dan keindahan masa depan. Masihsegar diingatannya ketika Ayahnya masih hidup, ia tidakperlu takut pada siapa saja, toh, ada yang akan membelanya.Jauh abu dari tungku, sekarang Maruk yang harus berjuangsendiri dan membela haknya yang tersisa di kampung.

Halaman rumah semakin semak, ditumbuhi beberapatanaman mawar merah merona yang sedang mekarberseri.Namun dikelilingi ilalang yang menjulang tinggi. Dibelakang, terlihat tumbuhan jelatang menyelip di antara

Page 32: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 22

semak-semak keladi. Itik-itik bersuka ria, menikmati airsampah. Kampung sunyi. Semua teman entah hilang kemana. Kabarnya, dua hari sebelum Maruk berencana pulang,ada suatu kejadian yang tidak disangka. Ibunya tidak maumenjelaskan, tapi yang pasti, jika Maruk pulang mohonjangan bawa rasa cinta dan rindu-rindu di dada. Sebab akanada kecewa. Maruk tidak memaksa. Namun memang sudahsaatnya ia pulang ke rumah.

“Sebenarnya ada apa, Mak?” tanya Maruk memaksa.“Tidak ada apa-apa. Nanti kau juga akan

mengetahuinya.” jawab Maknya dengan tenang, sembarimenyiapkan makanan di meja.

Anak sulungnya itu diam termangun, ia memikirkanhal-hal aneh yang dilakukan Ayahnya dahulu. Meski banyakkejadian aneh, tapi Maruk tidak pernah merisaukan keadaandi sekitar, sebab baginya Ayah adalah tempat iaberlindung.Jadi, untuk apa takut disimpan. Meski ia tidakmenyukai paham yang dianut Ayahnya, bukan berarti ia tidakpernah menerima mantra-mantra yang pernah ditinggalkanAyahnya. Karena dia adalah anak pertama, tentu Maruk yanglebih dulu mendapatkan itu dari pada Kelui adiknya. Setiapmalam ia coba mendendangkan mantra-mantra yang pernahdiberi Ayahnya.

“Aku memang tidak berbakat pada hal ini!”umpatnya. Menurut Maruk tulisan itu bukan mantra, tapipuisi yang ditulis pada selembar kertas.

Mantra-mantra pengasih tinggal dalam jiwa.Pelangi memucuk dedaunan basah. Kita pernah

sama, dalam suka maupun duka.Namun kenangan akantetap tinggal dalam jiwa. Dilarik sajak yang kubuattengah malam ini, kau adalah pelita. Mohon jangan

Page 33: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

23 | Binga

rusakkan semua rindu yang ada. Datanglah, datanglah,datanglah ….

Koto Lamo, 1982.Sudah lama sekali Maruk tidak mendengar seseorang

menyebut nama Amaknya dengan panggilan Mak Labia,biasanya nama itu selalu dipanggil Liwas. Kalau Ayahmemanggilnya dengan Labia saja, karena bagi Amak namayang ia terima itu sangat istimewa dan benar-benar Labia7.

Hidup memang penuh dengan potongan kenanganyang harus sengaja dilupakan, agar tidak ada banyakkesedihan dan kenangan yang perlu diingat dikemudian hari.Orang yang pergi belum tentu benar sedih, barangkali iamemang sangat bahagia karena sudah bisa pergi. SepertiKelui.

---

Suatu Ketika Dalam Binga

Subuh mengimbau, ranting kering memenuhi halamanrumah. Daun-daun bunga beringin menumpuk di teras.Tanah-tanah kecil mengotori lantai yang baru saja selesai disemen beberapa hari lalu—belum sempat dilicinkan Ayah,malah sudah dirusak sampah-sampah hujan.

“Apa semalam ada banjir, Mak?” tanya Maruk.“Tidak, jangan takut. Tidak akan ada banjir.

Bukankah sudah dibilang kemarin, bulan ini hanya pancarobasaja. Jadi cuaca sering berubah tiba-tiba.”

7Labia: lebih; berlebih

Page 34: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 24

Angin mendesir pada bunga-bunga jambu. Bertebaranmelewati angin sepoi. Seperti salju. Ayah masih seperti biasa,tetap berdendang setiap pagi, membimbing Kelui berjalanmengelilingi rumah. Itu adalah ritual kecilnya di pagi hari,agar Kelui mengetahui suasana rumahnya dan kelak akanmenyatu dengan itu. Alasannya hanya satu, jika kelak Keluimerantau, ia akan tetap teringat aroma-aroma rumahnya.

Kelui yang baru berumur empat tahun sudah mulaimemahami perkataan Ayah, Ayah sudah mulai mengajarkanbanyak hal. Mulai dari menyebut namanya, nama Ibu dannama Kakek yang biasa diceritakan Ayah setiap malam.Ayah Maruk tidak pernah mengajarkan Kelui menyebutnamanya atau memanggilnya dengan sebutan Kakak. Maruktidak pernah mempertanyakan hal itu, karena baginya sudahsangat bahagia memiliki seorang adik lelaki, setidaknya bisadiajak bermain nantinya.

Teringat masa di mana Ayah Maruk mengajak Keluibermain. Namun ia tidak pernah diajak oleh Ayahnya. Iabegitu merasa terasingkan, seakan dia menjadi seorang anakperempuan yang tidak boleh bermain dengan lelaki. Padasuasana hati yang begitu keruh, Maruk mempertanyakan halitu kepada Amaknya.

“Mak, kenapa Ayah tidak pernah mau mengajakkubermain bersama Kelui?”

“Oh, mungkin mereka sedang belajar cara menikmatisuasana kampung. Bukankah kamu tidak tertarik dengan ilmusemacam itu. Jadi tidak ada gunanya kamu ikut?” jawabAmak.

Maruk juga sempat berpikir untuk menanyakan hal itukepada Ayahnya, tapi karena banyak pertimbangan, Marukmemilih diam. Sejak saat itu ia membiasakan diri dengan hal-

Page 35: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

25 | Binga

hal yang menyakitkan hatinya. Meski mereka melalui hari-hari bersama; pergi mandi, makandan melihat kegiatan wargakampung walau tidak ikut serta. Pada jalan-jalan menujusungai, Maruk sering kali merasa asing, Kelui dibimbing—sedangkan Maruk dibiarkan memikul beban cucian. Ini yangmembuat Maruk ingin jauh dari rumah, agar adiknya itu lebihbebas bersama Ayah. Maruk menjadi heran, apakah ia benar-benar anak dari Mak Labia dan suaminya? Atau ia adalahanak yang lahir dari rahim Mak Labia dan Ayahnya pergi taktahu kemana. Seperti cerita-cerita yang pernah diintip Maruksaat Ayahnya dan Kelui saling bercerita.

“Kamu tahu, dulu sewaktu Kakek masih hidup danAyah masih berumur 7 tahun, Ayah sudah diajarkan ilmubeladiri, Ayah sudah bisa menumbangkan lawan yang lebihbesar.”

“Ilmu apa yang Ayah pakai?”“Sebenarnya itu bukan ilmu, Kel. Hanya

pengendalian pikiran dan kebatinan.”“Apa maksudnya, Yah?” tanya bocah itu penasaran.“Kelak kamu dan Maruk akan Ayah ajarkan, tapi

agaknya kakakmu itu harus mampu mengendalikan sebuahkebencian dulu, baru Ayah bisa memberinya beberapa ilmuitu.”

Maruk berpikir, apa sebenarnya maksud dariperkataan Ayahnya; “setelah kakakmu mampumengendalikan sebuah kebencian.” Ini semacam kalimatyang klise—seakan menyatakan bahwa Maruk lebih lemahdari adiknya. Maruk benar tidak memahami semuapembicaraan Ayahnya. Dalam kamar, kakak beradik ituadalah satu ranjang.Tempat tidur yang dikelilingi tirai—kadang membuat Maruk pengap. Namun menurut pendapatAyahnya, itu akan menghentikan perbuatan jahat yang akan

Page 36: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 26

mencelakai dirinya. Maruk tidak menyangka, sejauh itupemikiran Ayahnya. Sedangkan bagi Amaknya, seorang anaklaki-laki itu harus dibiasakan mandiri.

Di kamar, Kelui tidak pernah bicara. Biasanyaseorang adik yang masih kecil akan nyinyir bertanya banyakhal tentang kehidupan orang yang lebih besar darinya.Namun bagi Kelui tidur dengan nyenyak membuatnya lebihnyaman. Padahal sudah sejak umur 3 tahun mereka tidurberdua. Dan Maruk selalu mencoba untuk mengajak adiknyaitu berbicara, sebagaimana pembicaraan dua orang lelaki.Setiap kali ia mengajak adiknya bicara, setiap itulah adiknyamenanggapi biasa saja.

Langit masih bergerai emas. Pohon-pohon menghitamdi depan matahari yang setengah tenggelam. Senja hampirpulang. Langit melukis ragam gumpalan awan jingga, bulanmasih mengabur. Senja di sini seakan lama dijemput olehmalam. Mungkin saja ini hari pertemuan bulan. Katanya jikahari pertemuan bulan, senja akan lebih cepat datang danmenghilang, begitu juga bulan, akan lebih cepat muncul.

Sampai pada Magrib yang senyap. Suara gurumengaji memanggil anak-anak untuk segera bergegasmendatangi Masjid. Mungkin saja guru takut malam terlalucepat berlalu. Agar anak-anak tidak pulang lewat jamsembilan. Malam di kampung kadang terasa mencekam,seperti berada pada zaman penjajahan. Sesekali kau akanditerkam timah panas milik penjajah, seperti itulah suasanamalam di kampung. Kanak pun riuh berlarian, jalan masihsunyi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang.Itupun hanya bocah-bocah yang baru pandai mengendaraisepeda motor.

Page 37: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

27 | Binga

Maruk dan adiknya berjalan menuju rumah, karenamereka sudah selesai mengaji dan selanjutnya akan adasegerombolan pemuda yang akan belajar silat, datang keMasjid. Maruk sengaja menjauhkan colok dari semak-semakilalang menuju rumah. Katanya dahulu pernah terjadikebakaran hebat, karena seorang warga membawa coloknyaterlalu rendah dan dekat dengan ilalang yang kering. Tanpadisadari apinya mengenai semak ilalang yang mengering, danterjadilah kebakaran. Untung saja orang tersebut tidak hangusterbakar, hanya luka bakar di bagian tangan. Tapi akhirnya iajuga mati—tapi dua bulan kemudian, warga juga tidakmengetahui pria itu meninggal karena apa. Padahal sejakkejadian kebakaran itu dia tidak mengalami trauma. Namunbanyak masyarakat menduga ia terkena penyakit sawan api8.

---

Maruk memang tidak menyangka semua hal itumembuatnya merindukan sosok Ayah sampai sekarang.Sengaja jauh pergi merantau agar Ayah bisa memahamikeadaan hatinya, tapi Tuhan berkehendak lain, ia pergi tanpamenyisakan cerita apapun.Ia paham betul, bahwa Ayahnyatidak pernah memanjakan dia sejak Kelui lahir. Mungkin sajadia juga mengalami masa seperti Kelui saat masih kecil.Namun keadaan itu membuat Maruk menjauh, merantauuntuk menemukan perkataan Ayahnya yang dulu dibahasbersama Kelui,“Untuk Maruk, sebelum dia mampumengendalikan kebenciannya, Maruk tidak akan pernahmendapatkan kasih sayang yang sebenarnya.“

8Sawan Api: penyakit yang menyebabkan kejang-kejang saat melihat apiberkobar

Page 38: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 28

Perempuan yang dulu sering membuat kue sarangbalam itu akhirnya sampai juga pada masa tuanya. Mak Labiasemakin hari semakin menua. Tubuhnya yang dulu kekar,dua katup mata menyimpan binar dulu seakan menghilangtanpa jejak, ia hampir mati oleh kesedihan. Saban hari dudukdi beranda rumah, berharap suami dan anaknya pulang.Memeluk tubuhnya yang renta. Setiap malam berdoa agar iatidak mati dalam waktu dekat, karena harapan masih banyakyang ia simpan. Maruk memang tidak mampu menghadapikeadaan itu sendiri, melihat orang yang dicintai sepanjanghari bertanya keberadaan suami dan anaknya, walau padakenyataannya, dialah yang selalu menyampaikan bahwasuaminya telah mati dan anaknya merantau. Itu yangmembuat Maruk tidak mempertanyakan banyak hal sejak iadi rantau apa saja yang terjadi, karena takut akan memberiasam pada luka.

__

Page 39: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

29 | Binga

Binga 3Sebuah Tempat

di Tanah Rantau

Sudah puluhan tahun, bebatuan berbentuk arca ituditerpa ombak-ombak dan buih pantai elatan. Semenjak anginselatan jarang berembus, karang-karang melumuri sebatangbadan batu. Di tepian lain, pukat-pukat ditarik dua kalisehari. Ada satu keluarga yang tinggal di sebuah gubukreyot—dihuni istri dan dua anak perempuan, Ayahnyaseorang nelayan yang hanya pulang sekali tujuh hari. Iabukan kuncen9 pantai atau bebatuan berbentuk arca di tepian

9Kuncen: juru kunci/penjaga tempat yang dianggap keramat

Page 40: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 30

pantai itu. Hanya keluarga yang diberi tanah oleh warga, agartidak tinggal di kampung dengan berbagai ilmu-ilmu yangdiritualkan setiap malam Jumat. Itu kabar yang beredar dimasyarakat.

Ia mengacungkan sebilah pisau ke arah bulan yangkatanya memerah. Di sudut langit yang ditentukan, bagianupacara ritual akan memakan waktu beberapa jam. Awan-awan akan bermigrasi ke sela-sela syairnya, dimana akandimulainya dendang-dendang seperti nyanyian dari mantrapemilik alam semesta, ibu dari bapak yang meninggalkanbanyak kebiasaan yang membuat ia semakin terasingkan.Kebiasaan yang katanya adalah tradisi yang harus dijagakeasliannya. Bagi mereka yang menganut paham semacamitu, terutama keluarga yang diceritakan seseorang padakesempatan yang teramat singkat adalah sebuah tradisi yangtiada siapapun manusia dapat melarangnya, kecuali Tuhan.Dua anak perempuannya hanya bermain congklak setiapsenja hampir datang. Saat awan-awan mulai bergerai emas, iamemulai permainannya dengan sekoci-sekoci dari laut. Namasekoci di sana bukan sebuah sampan kecil yang berada dikapal-kapal yang digunakan saat darurat, tapi sekoci adalahsemacam karang kecildengan beragam warna.

Kadang, kebiasaan mencari kutu-kutu di rambutnyayang tergerai, membuat suara azan terasa senyap. Hanyasuara parau dari Ayahnya yang membangunkan keasyikanmereka. Tiga gadis yang memilih menunggu senja dengankebiasaannya. Ini bukan semacam pengasingan yang dibuatoleh tetua kampung, hanya saja mereka memang sudahmemilih hidup di tepian pantai dengan sepetak rumah yangreyot. Mereka sangat bahagia, tidak memikirkan perkataanmasyarakat tentang mereka yang dibilang keturunan orang

Page 41: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

31 | Binga

hulu atau orang bunian. Orang yang saat malam Jumatkliwon tidak menyentuh tanah kakinya. Ia bagaikan hantuyang terbang di kepala rerumputan.

Di pantai, bebatuan yang berbentuk arca membayangke pasir-pasir yang melumuri sebatang badannya. Berlumutdan lembab, dihuni serangga-serangga penghuni bukit kecildi belakangnya. Dua anak perempuannya itu seringmenghabiskan waktu di sana, sekadar bermain congklak.Namun kebiasaan buruk yang tidak pernah hilang darimereka adalah: siapa yang kalah dalam permainan akanmencari kutu orang yang menang. Tentu masih ada hukumanlain, dia harus menyanyikan syair-syair yang dijadikansebuah lagu oleh Ayahnya.

Di antara gumpalan-gumpalan kekecewaaan, merekamembahagiakan diri di balik batu-batu lembab yang dipenuhikarang tajam. Di mana ada ombak yang selalu antar jemputsiang malam. Setiap tujuh hari, Ayahnya akan pulang melaut.Itu juga belum tentu membawa hasil tangkapan selama dilaut. Meskipun begitu, Ayahnya pasti membawa setidaknyabeberapa dedaunan yang bernama balik angin10dari pulauyang disinggahinya sewaktu istirahat. Kegunaan daun tidaklain hanya untuk pembungkus nasi saja.

Sudah dua puluh tahun keluarga itu tinggal di kakibukit dekat tepian pantai Muaro Rajo. Sudah sekian banyakpula kejadian yang membuat masyarakat heran dengankeadaan rumah itu. Sejak lima tahun pertama mereka tinggaldi sana, rumah itu masih pantas di huni. Tapi beberapa tahunke depannya, rumah itu sudah seperti gubuk tua yangdipergunakan warga untuk menyimpan sampan-sampan kecil

10Balik Angin: nama daun untuk pengobatan yang berwarna putih bagianbawah, dan berwarna hijau bagian atasnya

Page 42: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 32

yang cadiknya patah saat memancing ke laut. Namun yangmembuat heran, puluhan kali ombak besar datang, rumah ituselalu selamat dari terjangan. Bukan tidak diterpa ombak, tapirumah itu tidak pernah mau roboh. Sedangkan merekamengungsi ke atas bukit belakang rumahnya, dan terusbermain congklak. Mereka terus saja riang—hanya mencarikutu yang membuat mereka benar serius. Tidak semua wargamengetahui kejadian itu, karena beberapa warga hanya sibukmemperhatikan kegiatan Ayah mereka. Tanpa tahu apa yangmenjadi kebiasaan keluarga itu, sebenarnya.

Maruk mendengar cerita itu dari seorang pria paruhbaya yang dahulu pernah menjadi teman berceritanyasewaktu pertama menginjakkan kaki di tanah rantau. Priaparuhbaya itu pernah menjadi tetangga keluarga tersebutsewaktu tinggal di tepian pantai. Rumah berantakan, pasir-pasir bertaburan di lantai, ranjang miliknya terbalik, kayu-kayu lapuk menyangkut di atas genteng rumah. Ombak besartelah mengganas waktu itu, dan ia harus merelakan kepergianistri dan dua orang anak perempuannya untuk selamanya. Itukejadian yang tidak pernah hilang dari ingatan pria itu, sangatmenyedihkan.Ia selalu menangis jika mengingat kejadian itu.Ia pulang melaut membawa banyak ikan, sampai di rumahharus melihat suasana yang mengerikan. Sedangkan rumahtetangganya itu tidak apa-apa.

Sampai sekarang pria paruh baya itu tidak pernah lagimembangun rumah tangga baru. Kecintaannya padakehidupan dahulu, membuat ia begitu fanatik dengan hal-halmistik. Sampai ia mendatangi semua daerah yang terkenaldengan hal-hal gaib. Agar ia dapat mengetahui apasebenarnya yang terjadi pada masalalu yang membuatnyabegitu terheran-heran. Banyak cerita tentang keluarga yang

Page 43: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

33 | Binga

tinggal di tepi pantai Muaro Rajo ia ceritakan. Ia begitu hafalkebiasaan yang dilakukan oleh keluarga tersebut. Dariupacara ritual sampai kebiasaan mereka mencari kutu. Bagiancerita yang sangat menarik adalah saat kedua anakperempuannya merebus bebatuan. Potongan-potongan batudikumpul dan direbus pada tungku yang apinya juga berasaldari batu.

“Apakah bebatuan tepi pantai itu sejenis batu kapuratau belerang?” tanya Maruk pada pria paruh baya tersebut.

“Tidak! Itu bebatuan yang sama, dipergunakanmasyarakat untuk membuat pondasi rumah.” jawabnyasambil memandang Maruk dengan binar mata yang seakanmembuktikan sebuah ketakjuban.

Maruk terjaring suasana yang risau serta menakutkan.Tubuhnya gelisah, seperti ada sesuatu yang sedang menjalardisetiap sendi-sendi. Katanya,“Kenapa wajahmu pucat,Nak?” Sembari melihat ke jalan yang dipenuhi penjual ikanyang baru pulang dari pasar—meski matahari belum sampaipada dasar laut, Maruk tetap menantikan senja yang indah,kala itu. Namun cerita lelaki itu membuat kakinya inginsekali melangkah pergi. Banyak alasan yang sedang iarencanakan untuk berangkat dari cerita pria itu, danmenenangkan diri dengan segelas kopi.

“Tidak ada apa-apa, aku hanya memikirkan bebatuanyang kata orang-orang kampung berbentuk arca itu.” jawabMaruk, seperti sedang tidak ada ketakutan yangmenghampiri. Kenapa aku harus duduk berdua dengan lelakiini di tepi pantai. Kapan ia datang, aku juga tidak ingat.UcapMaruk dalam hati.

Senja datang, suara-suara anak pukat menyahutpulang. Jaring-jaring dilipat ke pundak mungil milik bocah-bocah putus sekolah. Mereka akan menerima makian jika

Page 44: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 34

tidak mau mengangkat jaring-jaring pukat. Maruk masihduduk di antara pohon-pohon kelapa yang menjulang kepantai. Dia bersandarsembari memejamkan mata. Menikmatibetapa harmonisnya udara. Maruk berpisah dengan pria paruhbaya tersebut, setelah matahari tenggelam ke palung laut.Mereka membuat janji akan bertemu lagi lusa—untukbercerita beberapa kisah jawara kampung, termasuk Ayahdari dua perempuan yang tinggal di gubuk reyot tepi pantai.

Maruk berjalan menuju rumah. Langit mulai kelam.Suasana di jalan hening. Suara-suara jangkrik, dan deburanombak menggema. Ia gusar, risau yang baru saja hilang,kembali sengit. Daun-daun kelapa melambai, mendesirdihempas angin selatan. Tidak ada bulan ataupun bintangyang menerangi jalan setapak menuju pulang. Dari jauh,samar terlihat lampu-lampu cemporong rumah-rumah dikampung. Langkahnya bergegas, karena ketakutan semakinmemburu detak jantung.

Sampai di persimpangan jalan—baru keluar dari areapantai, Maruk bertemu dengan dua orang wanita, sepertinyabaru pulang dari Masjid. Ia melihat dengan pandangan tajam.Menerawang setiap jengkal langkah Maruk. Namun hati tidakpeduli, meneruskan langkah adalah jalan yang tepat untuksampai ke rumah dengan selamat. Entah kejadian apa yangsedang dirasakan, ia seperti baru saja menemui hal-hal anehyang membuat dirinya akan celaka.

---

Suatu Ketika Dalam Binga

Page 45: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

35 | Binga

Suatu pagi, teriakan terdengar dari rumah kepala desa.Seperti ada gerombolan anjing yang sedang menyerangmangsanya dengan beringas. Maruk terjaga dari tidur yangbaru saja bertandang. Semalaman ia tidak tidur, sibukmemikirkan percakapan dengan pria paruh baya kemarin.Setelah azan subuh, barulah mata mau terpejam. Ia benarsedang ketakutan malam itu. Sampai harus menunggu suaraazan subuh, agar ketakutannya hilang. Ini semacam ketakutandihantui hantu. Jadi,Maruk harus menunggu suara ejaan kitabsuci, agar merasa puas bahwa tidak akan ada lagi hantu yangberkeliaran. Kemudian pandangannya kecut mendengarsuara-suara dari luar yang semakin riuh.

Maruk mengintip melalui celah jendela kamarkosnya. Ia melihat banyak warga yang berkumpul danberteriak, “bunuh … bunuh …!”

Maruk tidak tahu, entah siapa yang akan dibunuh.Terlihat seorang Bapak sedang memegang dua tangan yangberada dalam keadaan terikat. Tapi tidak terlihat jelas olehmatanya yang mengintip dari balik jendela.Selain itu, berkali-kali tangan menghujami kepala pria yang terikat itu. Maruksemakin penasaran, siapa orang yang sedang diikat itu. Tapibisa dipastikan bahwa itu seorang lelaki, karena kalauperempuan membuat masalah tidak pernah tangannyadiikat.Maruk bimbang, antara ingin melihat atau melanjutkantidur yang semalam tertunda. Karena ia merasakan hal yangberbeda—ketakutan itu masih ada.Ketakutan akan cerita priaparuh baya kemarin membuatnya harus mempersiapkandirinya untuk tidak tidur di malam selanjutnya. Tentu jugadengan firasat-firasat yang menghantui, sampai tidur malasbertandang pada mata. Lalu, keberanian itu datang.

Ketika keputusan sudah bulat. Maruk melihat wajahyang sedang terikat tangannya itu. Iya, dia adalah lelaki yang

Page 46: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 36

tinggal di tepian pantai, yang memiliki gubuk reyot besertaseorang istri dan dua orang anak perempuan. Ia hanyamenebak, karena ia tidak pernah melihat orang itu dikampung. Itu alasan kenapa Maruk berpikir bahwa lelakiyang tengah terikat itu adalah pria yang ada dalam cerita priaparuh baya kemarin. Ia diikat dan diarak keliling kampung.Adatnya memang begitu, setiap warga yang dicurigai masihmenggunakan ilmu moyang akan diarak keliling kampung.Maruk berpikir; haruskah kuhadiri kebiasaan itu? Kebiasaanmenghakimi seseorang dengan peraturan kampung. Meskitanpa bukti yang kuat, tidak jarang mereka melakukanperbuatan yang tidak senonoh; menelanjangi dan mengarakkeliling kampung.

Maruk menyimpan tanya dalam benaknya, karenaiatidak pernah berani untuk pergi ke tepian pantai tersebut. Iahanya mendapatkan cerita lelaki itu dari warga kampung.Dan juga akan segera mendapatkan cerita lagi dari pria paruhbaya kemarin. Maruk memang sedang merencanakan dialogdengan pria paruhbaya yang akan menceritakan tentang lelakiyang rumahnya di tepian pantai Muaro Rajo itu. Maruk lebihtertarik pada cerita dua anak perempuannya. Ia mendengardari beberapa orang teman yang pernah mendapat cerita dariibu-ibu, bahwa dua anak perempuan yang dimiliki lelaki itusangat cantik dan mempunyai rambut yang panjang terurai.Lurus dan harum. Tapi, jangan sampai bertemu denganperjaka kampung, karena akan celaka jadinya.

Setelah beberapa hari berlalu. Kejadian pagi itu terusmenjadi tanda tanya dalam pikiran Maruk. Apa yangdiperbuat oleh keluarga yang tinggal di tepian pantai itu,sampai Ayahnya harus diarak keliling kampung. Meski tidakada hukuman mati di kampung, Maruk terus saja mengulik

Page 47: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

37 | Binga

apa sebenarnya yang diperbuat oleh keluarga itu. Sampaisemua warga harus waspada dengan kedatangannya dikeramaian; saat pukat ditarik, ketika pukat dibentangkan,waktu gotong royong memungut sampah dari bibir pantai.

Walaupun mereka benar-benar sudah diasingkan darikehidupan kampung halamannya, tetapi mereka tidak pernahmemilih diam dalam keadaan apapun—mereka juga ikutberpartisipasi dalam pembangunan kampung. Tapi hanyaAyah dari dua anak perempuan itu. Tidak untuk istri dananaknya. Dalam keadaan yang seperti itu, keluarga yangtinggal di tepian pantai Muaro Rajo tidak pernah ambilpusing. Mereka terus membantu kegiatan masyarakat, meskitidak mendapat undangan.

Hari itu kegiatan goro membersihkan sampah.Marukkali pertama berjumpa dengan lelaki yang diwaspadai wargaitu. Rambut ikal dan kulitnya yang hitam membuatperawakannya biasa saja. Tidak ada keberingasan dalammatanya. Perlahan Maruk mendekat dan pura-pura bertanya,“Adakah Bapak membawa anak pancang11?Karena nantisetelah membersihkan tepian pantai, kita akan langsungmemagari kuburan Rajo Sati di bukit belakang rumahBapak.” ucapMaruk sambil terus membungkuk memungutsampah plastik. Ia memandang Maruk dan tidak berkata apa-apa. Hanya menggelengkan kepala.

Seperti ada yang menarik untuk masuk dalampercakapan,Maruk terus bertanya banyak hal kepada lelakiitu. Meski ia tidak pernah mengeluarkan kalimat satupun.Lalu keluarlah sebuah pertanyaan yang membuat iamemandang senyum.

11Anak Pancang: kayu yang digunakan membuat pagar

Page 48: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 38

“Apa benar dua anak perempuan Bapak sangat cantikjelita?” Ia tersenyum dan meninggalkan Maruk dengan jejak-jekak kaki yang sangat kecil di permukaan pasir, padahalaslinya memilikikaki yang lebar.

Hari berlalu dengan senja yang sangat indah.Matahari kuning bulat, dicampur warna kemerahan. Sepertiemas yang disenter lampu cemporong. Maruk bahagiamendapatkan senyuman dari lelaki itu. Tidak tahu kenapasuasana hati ingin sekali bertemu dengannya. Seakan banyaksekali cerita yang akan diterima darinya. Maruk pun begitu,banyak cerita yang ingin sekali diceritakan kepadanya.Sebab, jika mengingat keadaan keluarganya di kampung,Maruk merasa sedang berada dalam keadaan keluarga itu.Bahwa kehidupan sosial sekarang sangat berbeda denganzaman dahulu, saat tidak ada pengasingan kaum bawah,kaum menengah dan kaum atas. Dimana semua kalangandapat berkumpul, dan menarik pukat bersama. Anak-anakbermain di tepian pantai, membalut sarung-sarung batik dipinggang ketika pergi mengaji, dan membuat ragampermaianan tradisional.

Jawara-jawara mana yang sudah tidak menurunkanruhnya. Sampai anak cucu tidak mengetahui macam darikebiasaan yang memperkuat kehidupan bermasyarakat.Maruk memikirkan hal aneh, tapi tidak menemukan hal itu.Ia dan keluarganya tidak pernah melupakan kebiasaan yangsejak dahulu memang sudah ada, musyawarah dan kerjasama. Mantra-mantra dinyanyikan, didendangkan sebagaipengantar tidur, biola-biola bersenandung di acarapernikahan dan hari-hari peringatan.

Akhirnya Maruk berjumpa lagi dengan pria yangtujuh hari lalu berjanji akan bertemu, dan bercerita lagi

Page 49: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

39 | Binga

kepadanya. Maruk semakin berani, seperti tidak adaketakutan yang menjalar lagi. Ia bertemu di tempat yangsama dengan suasana matahari redup—matahari ditutupiawan hitam. Ia datang membawa senyuman, Marukmenyambutnya.

“Bagaimana kabarmu hari ini?” Mereka tidak pernahberkenalan atau bertanya tempat tinggal.

“Sangat baik. Tidak pernah sebahagia ini.” jawabnyasambil duduk dan langsung bersandar ke batang pohonkelapa.

Kemudian bercerita lama. Mereka sengaja bertemu disiang hari, agar waktu untuk bercerita lebih leluasa. Iabercerita banyak kisah jawara-jawara kampung, termasukpria yang tinggal di Muaro Rajo. Ia juga menceritakankenapa dua anak perempuan pria itu disebut-sebut sangatcantik. Banyak hal yang diceritakan. Belum sampai padatenggelamnya matahari ke dasar laut, ia mengajak Marukberjalan. Mereka menyusuri bibir pantai. Ia begitu semangatsaat bercerita.

Maruk seperti sedang dalam dunia dongeng negerisejuta pesona. Membawanya pada langit yang dihiasi pelangidan bintang. Ia begitu hebat merangkai cerita, membuatMaruk benar-benar masuk ke dalam suasana yangdiceritakan. Pinggangnya nyeri dan mereka berhenti sejenak.Maruk tersenyum melihat lelaki itu memegang pinggangnya.

“Maklum, aku sudah tua. Tubuh ini sudah seringmerasakan kekerasan hidup sejak dahulu. Walau harusmembiarkannya terasing dari tanah yang dahulu ia bela.”Mereka tertawa. Selang beberapa jam, mereka berjalankembali.

Kemudian suasana hening. Benar-benar hening.Maruk merasakan semua pergerakan alam terhenti, ombak-

Page 50: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 40

ombak mematung, burung-burung diam diantara angin yangberembus. Mereka duduk di sebuah batu. Memandangluasnya lautan. Kemudian datang tiga wanita berambutpanjang. Satu dari wanita tesebut menghampiri danmenyuguhi kopi kepada lelaki itu. Sedangkan duanya lagimenghampiri Maruk, satu di kanan,dan satu lagi di kiri.Mereka sangat harum, harum sekali. Rambutnya yangtergerai membuat mereka harus berhati-hati saat duduk.

Maruk terpukau, mereka tertawa dan bercanda. TapiMaruk masih dalam keadaan takjub. “Apakah ini mimpi?”tanyanya pada lelaki itu. Mereka tetap senyum dan mencubitkedua pipi Maruk.

“Aku tidak sedang bermimpi,kan?” tanya Marukkembali.

Mereka tertawa dan bercerita banyak tentangkehidupan. Maruk melihat sebuah gubuk reyot dengan matatelanjang. Melihat dua perempuan yang memang sesuaidengan cerita yang pernah didengar.

“Aku pasti bukan bermimpi.” Maruk terusmeyakinkan diri, bahwa ia tidak sedang bermimpi. Lalu priaitu berkata padanya dengan binar mata yang berlinang.

“Empat hal yang harus kau jaga. Pertama, janganmudah percaya orang sebelum melihat sendiri.Kedua, janganburuk sangka dengan orang lain.Ketiga, pelajarilah agamaTuhanmu. Dan yangkeempat, percayalah padaTuhanmu.Karena ia maha mengetahui. Karena tidak semuakebiasaan itu buruk. Lebih baik menghabiskan waktu denganbermain congklak, daripada duduk bersama danmembicarakan keburukan orang lain dengan topikmengatasnamakan Tuhan dan kebaikan.”

Page 51: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

41 | Binga

Maruk terpaku—duduk di antara bebatuan yangberbentuk arca. Itu adalah batu yang berbentuk tiga orangperempuan yang sedang duduk mencari kutu. Lembab dandilumuri lumut-lumut. Batu yang dipenuhi karang,dan bagiankepalanya terlihat seperti rambut yang terjuntai panjang. Dandi depan juga ada sebuah batu berbentuk orang yang sedangmenghadap ke laut lepas. Maruk tersenyum dan pulangdengan membawa empat hal yang disampaikan pria tadi.Maruk hanya melihat tepian pantai dengan batu-batu yangberbentuk patung di kaki bukit. Selain itu tidak ada.

___

Page 52: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 42

Binga 4Surat-surat Maruk

Sudah enam tahun Maruk berada di rantau, hidupseakan sedang memainkan lelucon pahit untuknya. Sekianlama tidak mendapatkan surat dari keluarganya membuatMaruk memikirkan banyak hal tentang keadaan keluarganyadi kampung. Maruk mengirimkan banyak surat untukAmaknya, tapi tidak mendapat balasan. Biasanya akandibalas selang seminggu setelah Maruk mengirimkan surat. Iatahu siapa yang membuatkan surat balasan untuknya, sebabAyah dan Ibunya buta huruf, tidak pandai menulis dan

Page 53: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

43 | Binga

membaca. Maruk juga membayangkan bagaimana keadaankeluarganya saat menerima surat darinya yang berisikankerinduan serta menanyakan banyak hal yang terjadi.

Pasti akan ada percakapan sengit atau semacampertengkaran antara argumen Ayah, Amak dan Kelui. Ayahdan Kelui tidak terlalu suka akan kedatangan surat Maruk, iamengetahui itu sewaktu mendapat balasan surat darirumahnya yang berisi kalimat melarang untuk mengirim suratsekali tiga bulan. Tapi di dalam surat mengatasnamakanAmaknya, Maruk tentu tahu itu adalah tulisan dari adiknya,dan Keluiakan membuat itu jika disuruh Ayah. Sudah halyang biasa bagi Maruk.

Sejak Maruk berangkat dari rumah, ia hanyamembawa uanglima ratus ribu. Kala itu ia tidak berangkatmenggunakan tiket, melainkan menumpang dengan mobilfuso yang membawa sawit. Biasanya setiap bulan mobil-mobil itu akan lewat di pasar. Maruk mendapat ide itu dariseorang petani di kampungnya, dia pernah merantau denganmenumpangi mobil pengangkut sawit. Bila nasib berbilangbaik, bisa saja diberi gratis karena sopirnya juga butuh temanmenuju jarak yang jauh.

Puluhan surat dibaca kembali, Maruk menyimpulkansemua surat yang pernah dibalas keluarganya. Marukmendapatkan kesimpulan akan balasan surat-surat tersebut.Dan iamenyadari bahwa keluarganya di kampung memangsudah tidak berharap banyak kepadanya. Dalam sebuah surat,Maruk menemukan satu bait kalimat yang menyatakanbahwa ia harus pulang setelah semuanya selesai.“Kebiasaanmu, kan, begitu, datang setelah semua pekerjaanselesai.”

Maruk benar ingin melupakan keluarganya.Namunsebentar saja ia mampu melupakan, terbayang selalu wajah

Page 54: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 44

kedua orang tuanya. Meski dalam hati ia sangat menyimpandendam kepada dua orang lelaki di rumah, ia tetap sajamerindukan mereka dan bercita-cita untuk membuktikanbahwa ia juga merupakan keturunan yang baik dicontoh.Bukan hanya sekadar ilmu, tapi juga mampu mengendalikankebencian. Maruk begitu resah sepanjang hari, karena tidakmendapat balasan suratnya. Ia berharap balasan surat, meskitidak diisi selembar uangpun.

Derik langkah kucing masih menyimpan risau di atasgenteng. Bisa saja sewaktu-waktu ia jatuh dan menimpakepala—datang tepat pada rambut yang kusam dan penuhdengan bulir-bulir ketombe yang harumnya sampai ke dalamhidung. Maruk juga berpikir bahwa hidupnya tidak terlalususah-susah amat—seperti yang sering ia bayangkan.Sebenarnya bisa saja dibuat sederhana seperti kehidupananak rantau lainnya, tapi kadang Tuhan memang seringmemainkan lelucon yang tidak sedap bagi Maruk. Dalamangan, ia ingin tertawa lepas.Namun pada kenyataannya,senyuman hanya sebagian dari tawa yang dibuat sesederhana.Langkah kucing yang melompat terus mengejutkan Marukyang tengah terengah-engah memaksakan mata untukterlelap. Bayangan masih berputar, pada dinding-dindingyang dingin ia bersandar—ingin rasanya tidak memiliki lelah.

Di kamar yang sering terdengar derik langkah kucingseperti seorang pencuri yang sedang ingin memasuki rumah,tidak jarang para kucing juga berdialog dan bertengkar hebat.Pernah menonton film woodypecker12, maka seperti itulahsuara mereka ketika dinihari yang hening, seakanmembuktikan tiada yang mampu melarang mereka. Maruk

12Woodypecker: tokoh kartun

Page 55: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

45 | Binga

membandingkan kehidupan yang sekarang dengan kehidupandi kampung. Jika di kampung sewaktu malam hanyaterdengar suara jangkrik, dan dendang pengantar tidur Amak-amak dan Bapaknya yang melelapkan Kelui. Tingkah bengekKelui kadang membuat Ayah harus bekerja ekstra untukmendendangkan mantra-mantra yang tiada dimengerti oranglain. Kebiasaan itu juga sering menjadi bahan gunjingan disungai ketika para ibu-ibu mencuci di pagi hari.

Maruk menjadi semakin takut. Takut pada hal yangsebenarnya adalah kenyataan hidup yang harus ia jalani.Bayangan tentangkarma membuatnya selalu terbangun saattidur nyenyak. Dalam pikirannya teringat kampung yangmemang menyimpan banyak kebencian untuknya. Tapikadang ia juga sangat menyesal sudah menjadikan kejadian-kejadian di kampung menjadi suatu kebencian. Ia seringmerasakan rindu yang tidak tahu kepada siapa. Sepanjangmalam pikirannya lalang mengitari kota-kota. Sampai subuhnan dingin ia tetap terdampar pada kenangan yang benar-benar surut. Pikiran kacau tanpa arah, seakan tiada siapapunyang menoleh kepada wajah yang dipenuhi tanya itu. Lelakiitu masih berada di dalam kamarnya, sendiri tanpa adasiapapun. Sebab teman sekamarnya sudah tidak kos lagi. Saatsendiri, selalu terngiang kalimat Ayahnya sebelum iaberangkat merantau, “Dasar anak binga13, seharusnya kamutidak lahir.” Itu menjadi sebuah drama yang membuat Marukkecut menghadapi hari-harinya.

Dalam kamar, pancaran lampu jalan samar memasukilubang-lubang kecil di dinding, tiba-tiba terdengar suarakunyahan. Marukdengar jelas-jelas suara itu, ia jugamendengar gesekan kaki yang gontai, seperti menyeret

13Binga: orang yang bodoh, sibuk berpikir dan hanya bermimpi

Page 56: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 46

tubuh. Barangkali itu suara langkah kaki, dan kunyahan darisuami ibu kos yang sudah lama stroke. Maruk hanyamengetahui nama penyakit tersebut karena di kampung jugaada orang menyidap penyakit itu, semua tubuhnya layuseperti bunga, tapi di Singkulan namanya adalah penyakittapaindo14.Dalam keadaan melamun, ia berpikir itu hanyasebuah halusinasi akan ketakutannya semata. Imajinasi yangberlebihan membuat hati merasa takut ketika terjaga dimalam hari, tak jarang Maruk juga mendengar bisikan-bisikan dari balik dinding kamarnya yang seolah-olahmemanggil untuk keluar dan menolong suara tersebut. Itusebuah panggilan pertolongan, tapi entah siapa pemilik suaratersebut.

Malam semakin larut. Detik jam berjalan tik-tak tik-tak. Maruk lelap bersama suara-suara yang diterima telinga-telinga kecutnya. Tubuh yang semakin kurus membuat dayatahannya melemah dan sering didatangi lelah. Hampir setiaphari ia mulai merasa lelah, padahal sudah jarang mengangkatbarang ke dermaga. Karena di kos tempat ia tinggal sudahsering pula diajak nongkrong bersama pemuda setempat ataupergi ke acara-acara pesta. Barangkali di sanalah sumbukelelahan. Terlalu sering mengikuti pemuda-pemudakampung pada pesta malam hari—membuat angin malamberanak dalam tubuh kurus itu. Belum lagi tuak-tuak yangsekantong plastik mengalir di tubuh Maruk setiap malampesta, itu memang tidak terelakkan lagi baginya.

Riuh suara anak-anak berseragam merah putihmenuju sekolah. Terlihat di sebelah kamarnya banyakpuntung rokok berserakan, pintu kamar Nope terbuka. Empat

14Tapaindo: lumpuh/stroke

Page 57: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

47 | Binga

orang pemuda tampak tertidur pulas. Seorang pria nampaknyaman menjadikan Nope seperti bantal guling, ia memelukerat Nope yang terus ngorok. Sedangkan dua orang lagi tidurdengan posisi terbalik, saling meletakkan kain di kepalamasing-masing. Biasanya setiap pagi mau berangkat, Marukmasuk kamar Nope dulu, pura-pura membangunkan Nopedan menanyakan apakah ia tidak ke dermaga. Pertanyaandemi pertanyaan akan disiapkan Maruk sewaktu mandi. Intisebenarnya adalah ia hanya meminta sebatang rokok untuksarapan pagi. Jika merokok di pagi hariakan membuat Marukmampu menahan lapar sampai jam tiga sore. Namun pagi ituNope terlihat begitu lelah. Mungkin ada pesta semalamsuntuk. Itu terlihat dari puntung-puntung rokok yangberserakan, bau-bau alkohol menyengat. Di atas almarisekantong plastik ukuran satu liter menyisahkan setengah airberwarna bening agak kabur. Itu pasti tuak. Pikir Maruk.Sambil mengumpulkan beberapa puntung rokok dalam asbak,ia juga menyempatkan meneguk air yang ada dalam plastik diatas almari tadi. Maruk terus memperhatikan puntung rokokyang masih menyisahkan tembakau. Dengan senyuman dansedikit menutup mata ia membakar rokok tersebut. Laluperlahan mengisapnya sampai habis. Ia terus tersenyum,memainkan asap rokok yang tipis, karena puntung rokoktidak memiliki asap tebal lagi jika sudah bermalam dalamasbak.

Akhirnya Maruk menyadari betul, bahwa hidup lebihpahit dari kambe15. Sudah empat bulan sejak tahun ketiga iadi rantau. Maruk harus menyambung hidup dengankekreatifan pikiran dan modus-modus. Mulai dari pura-puramenjadi tamu di pesta pernikahan, sampai harus memasang

15Kambe: buah sebesar biji cempedak yang rasanya pahit

Page 58: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 48

mata lebih tajam melihat tumbuhan yang nanti bisa dimasaksewaktu lapar berkunjung tengah malam. Untung saja dibelakang kosannya terdapat beberapa pohon cabai. Itu yangmenjadi perhatiannya, jika sudah bisa dipetik, maka malamhari adalah waktu yang paling tepat. Mengambil cabai tengahmalam juga merupakan sebuah tantangan,Maruk harusmenjaga langkah kakinya dengan hati-hati. Sebab kalauberisik dengan suara langkah kaki akan membuat penghunirumah dan kosan terjaga, lalu berakhirlah dengan teriakanmaling.

---

Kaca-kaca itu akhirnya pecah. Berderai dalam hatiyang rapuh—tertinggalkan, terabaikan dan dilupakan. Iabenar-benar pecah berderai, kepingannya akan menjadi abudan menjalar bagai virus dalam tubuh. Maruk berharap suatusaat nanti Ayahnya datang dan bersedia membaca ribuansurat yang tak sempat dikirimkan ke kampung. Di sini, darisudut kenangan yang pernah dititipkan cinta, sekarang telahtumbuh bermekaran bunga-bunga kembang tak jadi, sayangtiada seorang pun yang sanggup menjamah dan memahamiitu. Ia tetap tertinggalkan dan terabaikan. Bagaimanapunjuga, Maruk juga ingin seperti anak-anak di kampung yangdiperhatikan. Terbuang mungkin hanya perasaan Maruk saja.Barangkali dialah yang salah menilai kehidupan di kampung.Terlalu manja dan ingin selalu diperhatikan, tanpa tahubahwa ia sudah beranjak dewasa yang harus bisa berjalansendiri mencari jati diri.

Page 59: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

49 | Binga

Kemudian, mata Maruk seperti terkena penyakitablepsia16. Tiada melihat suatu pun yang ingin ia lihat,padahal sudah di depan matanya (masa depan). Itu kematianyang sebenarnya sengaja diolok-olok Malaikat. Marukmerasa ada sebatang abnus17 yang sedang tertancap pada duabola matanya, sampai lupa bagaimana cara melihat ke depan.Ia selalu membandingkan hidupnya dengan masa lampau,masa dimana hidup di kampung serasa tinggal di sebuahdaerah terpencil yang mana penghuninya tidak ia kenal.

Lalu semua fatamorgana itu berlalu, ia merendamkepalanya di tepian sungai menuju jalan pulang ke kos.Mengutip dari kata seorang teman; “Ketika cahaya melesatpergi, seketika kampung kembali seperti silam.”

Saat mentari tidak lagi mekar di langit tempat kitaberteduh. Kau hanyalah bayangan bagi kehidupan yangsangat dekat dengan sakit. Bagai mengejar bayangan sendiri.Maruk telah gila pada kisah silam. Namun ia harus berjalanpada titian yang sudah dibuat Ayahnya.

Maruk meneruskanjalannya kembali. Di alun-alunmenuju dermaga yang tidak menjual nasi bungkus sehargaseribu rupiah, ia beranikan diri duduk di kedai-kedai kopi.Pura-pura akrab dengan bapak-bapak yang duduk di sana,mana tahu nanti mendapat basa-basi untuk makan. Dan tentuMaruk akan menolak untuk tawaran pertama, biasanya akandiberi tawaran kedua, maka basa-basi kali kedua itu akanditerima Maruk. Tentu saja ia bisapura-pura akrab denganorang-orang yang duduk di sana, karena dengan uang seriburupiah Maruk dapat membeli secangkir kopi.

“Makan, Nak?”

16Ablepsia: penglihatan yang berkurang atau hilang17Abnus: kayu arang

Page 60: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 50

“Lanjut, Pak.”“Makanlah, kedatangan kapal empat jam lagi. Kamu

mau menunggu itu dengan keadaan lapar?” tanyanyakembali. “Nasi satu lagi!” sambungnya kemudian.

Dalam hati ia berkata, “Yes! Ini modus paling manjur.Hahaha.”Maruk makan dengan santai, agar tidak terlihatseperti orang yang tengah kelaparan dua hari tidak makan.Sembari makan sesekali bertanya pada bapak yangmembelikan ia makan, mengajaknya membahas hal-haldiseputaran dermaga.

Sudah empat jam menunggu. Kapal-kapal tidak jugakunjung datang. Langit kelam, suara angin mulai menyisirtepian dermaga. Suara azan Ashar terdengar sayup dariMasjid, Maruk tetap duduk dengan harapan kedatangankapal. Bapak yang tadi membayarkan makanannya sudahberangkat dua jam yang lalu. Anak kapal mulai terlihat resah,mondar-mandir melihat ke arah lautan luas. Suasana mulairiuh, seakan ada yang baru saja datang dan keluar dari tanah-tanah yang panas menunggu kedatangan kapal-kapal.

“Apakah ada lanun di tengah laut. Lanun yangbanyak dengan kapal-kapal usang bergambar tenggorak.Menyandera para awak-awak kapal dan para penumpang,sampai selama ini belum juga kunjung datang. Atau merekasengaja melambatkan laju kapal. Karena mereka tahu kitabutuh mereka. Setan!” Itu umpatan sangat panjang, sampaitidak terlalu dipedulikan. Abdi dermaga itu akhirnya dudukdi antara deburan ombak yang mengempas ke pembatasdermaga dan laut. Maruk melihat mulut pria itu terus komat-kamit, barangkali ia terus mengumpat.

Semua anak kapal termasuk Maruk terlihat putusharapan pada tempat mereka masing-masing bersandar.

Page 61: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

51 | Binga

Setelah Magrib selesai, terdengar suara peluit dari tepiandermaga. Sebuah kapal berlabuh. Sontak membuat anak-anakkapal berdiri dan berlarian. Mereka berebut menaiki kapal.Tapi yang mereka temui hanya kapal kosong tanpapenumpang. Itu adalah kapal antar jemput barang sebuahperusahaan tekstil. Tentu saja mereka sudah menyewa tukangangkat yang lebih berbadan kekar dan kuat. Dibandingkandengan anak kapal yang ada di dermaga sangat jauh kalahkekar dan kuatnya. Pria yang mengumpat panjang tadikembali bertanya dengan nada keras.

“Kenapa harus kalian yang datang? Dasar budakperusahaan!”

“Kami melihat beberapa kapal harus menepi tadi.Hariini lalulalang kapal antar jemput penumpang sunyi.” jawabseorang pria memakai baju putih bersih. Sepertinya dianahkoda kapal.

“Sebagian ada yang terlihat belum berangkat didermaga-dermaga yang kami lewati tadi.” sambungnya.

Abdi dermaga tadi diam, ia langsung melompatmenuruni kapal.

“Dasar setan! Kenapa harus hari ini merekatersendat.” umpatnya lagi, seperti pertanyaan yang tidakperlu dijawab siapapun.

Maruk dan anak kapal lainnya berkumpul di sebuahkedai—yang punya kedai sudah pulang. Karena di dermaga,kedai tidak ada yang buka malam hari. Mereka terusbertanya-tanya, kenapa kapal-kapal belum juga datang. Laluterdengar bunyi keras tidak jauh dari tempat duduk mereka.Suara kayu patah. Ternyata abdi dermaga tadi memukul kerastempat duduk yang terbuat dari papan itu. Beberapa potongpapan patah. Tangannya terlihat penuh darah.

Page 62: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 52

“Kamu kenapa sebenarnya?” tanya seorang pria yangmungkin seumuran dengan dia.

“Aku kesal. Setan!” Ia menerjang papan yang patahtadi.

“Kalau kesal, kan, bisa kita bicarakan. Kami juga daritadi menunggu.”

“Kamu tidak tahu betapa dilemanya aku sekarang.Kalian hanya menanti sesuap nasi, sedangkan aku tanggungjawab. Tanggung jawab!” Ia berteriak keras.

“Kami juga punya tanggung jawab untuk keluarga.Jangan pikir kau saja.” Pria itu mulai tersulut emosi.

“Sudahlah, kau tidak usah ikut campur. Nanti akujadikan pelampiasan.” Abdi dermaga tadi seakanmenyampaikan bahwa ia sedang mengancam. Sedangkan priayang mulai tersulut emosi tadi semakin mendekatinya.

“Jangan pikir kau saja yang punya masalah, kawan.Mari kita duduk, dan bicara nasib masing-masing.” Diameredam amarah, ternyata nada ia yang menantang tadihanya gertakan saja—agar abdi dermaga tenang.

Maruk tetap diam. Sebab ia tidak patut ikut campurmelerai atau bertanya. Itu adalah situasi yang celaka. Abdidermaga itu adalah centeng di dermaga, sedangkan pria satulagi orang yang paling disegani—tempat anak-anak kapalmeminta pendapat jika ada kesulitan. Kami berbincang darihati ke hati. Suasana yang kacau tadi menjadi tenang.Lelucon-lelucon geli pun keluar dan tawa riuh muncul.Senyum semringah terlihat di wajah anak-anak kapal. Abdidermaga dan seorang pria tadi duduk saling berhadapan.Ternyata ia sedang gusar, karena besok anaknya harusberangkat sekolah keluar daerah, sedangkan ia tidak memilikiuang sepeser pun. Perhiasan istrinya sudah terjual habis

Page 63: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

53 | Binga

untuk anaknya mendaftar sekolah, semua hartanya tidak adalagi, kecuali harga diri. Pun sudah beberapa kali digadaikandi dermaga. Matanya berlinang. Semuanya tiba-tiba diam. Iaterus bercerita, sampai benar menangis terisak. “Baru kali iniaku melihat seorang abdi dermaga menangis sedih.” Marukikut larut mendengar cerita itu. Serasa ia sedang beradadiposisi anaknya.

Anak perempuannya akan sekolah di luar daerah.Anak sulungnya itu adalah satu-satunya anak yang bisamembantu pekerjaan rumah. Ia memiliki tiga orang anak.Dua perempuan satu orang lelaki. Sedangkan kedua adik darianak perempuannya yang akan sekolah keluar daerah itumenyimpan penyakit di tubuhnya. Anak kedua mengidappenyakit kusta. Dan yang terakhir sering mengalami pusingjika mengeluarkan keringat. Ia tidak tahu penyakit apa yangdiderita anak bungsunya itu. Sebenarnya anak pertamannyajuga sakit, tapi hanya sakit biasa. Sering merasa nyeri dibagian perutnya setiap bulan. “Kata istri saya itu penyakitdatang bulan.” Maruk harus tetap menahan tawa, meski itusangat lucu sekali. Itu adalah lelucon yang paling lucu daribanyak candaan lain. Itu sengaja dibuat atau memang priatersebut tidak mengetahui bahwa itu memang sudah ada padadiri wanita setiap bulannya. Mereka terus ngobrolserius danlucu sekalipun. Hari itu benar lelah. Lelah sekali, sampaiMaruk tidak sangguppulang ke kos untuk tidur. Ia dan anakkapal lainnya tidur di kedai dekat dermaga. Abdi dermagadan pria beristri lainnya pulang.

Maruk mendongak ke atap yang menyelip titik-titikcahaya bulan dari celah-celah lubang, begitu kentara rasamalam menjenguk pada akar-akar lelah. Menyadari bahwanasib sedang memainkan lelucon nakal untuknya yang tengahtertatih diperantauan. Tangannya yang keling diterpa

Page 64: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 54

panasnya mentari bersimpuh di antara kening yangmengkilap terkena cahaya bulan. Malam larut, Maruk tetapberusaha memejamkan mata dan lelap bersama dinginnyaangin. Dalam hati ia berpesan, semoga esok hari kapal-kapaldatang dan memelas ingin dibantu untuk menurunkanbarang-barang penumpang. Semoga Tuhan tidak kembalimemainkan kuasa-Nya pada hidup anak-anak dermaga ini.Begitu hening. Berlalulah desiran angin, lalu diam.

___

Page 65: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

55 | Binga

Binga 5Burung-burung Walet

Senja pulang, burung-burung walet beterbanganmengitari utas-utas kabel di tepi jalan. Terdengar sayup suaraazan dari televisi. Maruk masih duduk bermenung di serambibelakang kosnya. Teringat masa ketika ia pernah berjalanberdua dengan Kelui saat pertama ke Masjid, semua itukarena tuntutan sekolah. Sebab di sekolah mereka harusmenghadapi pelajaran tentang agama yang dianut masyarakatkampungnya. Sering ia melihat burung-burung walet dudukmanis berbaris di atas utas-utas kabel yang menghubungkanaliran listrik.

Page 66: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 56

Kala itu Maruk harus membimbing adiknya setiap iamelangkah. Tak jarang Maruk harus menggendongnya saatmelewati semak-semak yang ditumbuhi bunga putri malu.Bunga yang daunnya akan kuncup jika disentuh, bunga itumemiliki duri di setiap bagian batangnya yang kecil. Tentuakan sangat sakit jika itu terinjak oleh Kelui. Kakinya yangmungil akan dikerumuni duri-duri kecil, keluar bintik-bintikdarah segar. Dan sudah tentu akan membuat kakaknya itucelaka sesampai di rumah. Bukan karena terkena duri, tapikarena Ayah akan marah besar jika anak kesayangannyaluka.

Di serambi kos, Maruk sering memperhatikanburung-burung walet pulang dengan gerombolannya.Membawa bagai macam cerita, lalu mereka riuh di utas-utaskabel tepi jalan. Pada gang-gang sempit yang membelitkabel-kabel listrik, ketika semua kebenaran memperlihatkanwajah dunia sebenarnya—kau akan mengerti apa hal yanghebat dari tanah kelahiranmu, dan tidak akan ditemukan dimanapun. Maruk selalu menjawab itu dengan sungkan—dalam hati penuh kegusaran. Karena baginya tanah kelahiransudah hilang. Jika pulang nanti, anggap saja ia sudahberdusta pada hatinya. Ya, begitulah arti keheningansebenarnya.

Bulan dan bintang memenjarakan cahayanya. Sayup-sayup terdengar suara-suara irama anak-anak mengaji. Marukjuga harus bersiap-siap, daripada di kos bermenung danhanya akan mengantarkan pikirannya pada kampung yangbinga. Ia bergegas menuju kamar dan segeralah ia menujuMasjid yang sudah ramai oleh anak-anak. Di pondok depanMasjid terlihat beberapa pemuda duduk santai, karena

Page 67: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

57 | Binga

pemuda akan masuk Masjid setelah anak-anak selesaimengaji.

“Ruk, duduk di sini dulu. Apa kamu masih anak-anak?”

“Hahaha.” Mereka tertawa serentak.“Iya, Bang.”“Saya perdana datang ke Masjid ini, jadi tidak tahu

aturannya.”“Tidak apa-apa, tidak ada aturan yang mengancam

dalam beragama, kan? Jadi kamu jangan begitu sungkan.”jawab seorang pemuda dengan peci berwarna hitam.

Maruk tak tanggung bahagia mendengar jawaban daripemuda-pemuda itu. Ia merasa dihormati sebagai pemuda. Ituadalah kali pertama ia dianggap benar-benar seorang pemuda,meski ia datang seperti anak kecil yang dipaksa Ibunya untukmengaji. Tidak seperti di kampungnya, jika tidak mengetahuiaturan akan diancam dan direndahkan. Malahan akandiabaikan, dianggap remeh temeh. Begitulah perbandingandua kehidupan yang dilaluinya.

Hidup bagaikan arak yang diminum lalu dimuntahkanlagi bersama nasi-nasi yang sedang mencair dalam perut.Mulut yang berbusa mengantarkan aroma anyir danmenjijikkan. Suara-suara sumbang menghantui telinga,kalimat sarkas melubangi benak—membunuh sel-selpengontrol otak untuk bereaksi cepat terhadapperkembangannya. Selain itu, memang Maruk tidak adadasar apapun tentang agama dan tuntutan berkehidupan. Iamemang seseorang yang tidak memiliki Tuhan, kecualimoyang yang disanjung serta didewa-dewakan Ayahnya.Sungguh ironis sebenarnya jika melihat kehidupan Maruksekarang ini di rantau. Maruk duduk bersama pemuda tadi.Sambil bercerita banyak peristiwa kehidupan. Maruk

Page 68: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 58

mendapatkan kepercayaan dirinya, ia ingin mengulang cita-citanya yang sempat memudar beberapa bulan terakhir, yaituingin membuktikan bahwa ia juga patut dianggap di tanahkelahirannya, dan mencari makna dari ‘mengendalikankebencian’ yang pernah disampaikan Ayahnya.

Malam semakin larut. Lampu-lampu corong menyaladari rumah yang baru dibangun, mereka belum mendapatkanaliran listrik untuk menyalakan lampu berwarna. Untungkosan Maruk mendapatkan aliran listrik dari rumah yangpunya kos. Kalau memakai sekring khusus untuk kamarkosan, akan tambah pusinglah ia menambah uang kos. Tuhanmemang selalu adil memainkan garis kehidupan makhluknya,pikir Maruk selalu begitu—sambil senyum kecil ia seringmemandangi wajahnya pada cermin yang berada di kamarNope. Cermin yang sudah retak itu kadang menampilkanwajah Maruk yang tampan, kadang juga memperlihatkanwajahnya yang begitu menyedihkan. Sangat sedih, sampaipada kaca itu dituliskan kata-kata seorang pujangga; “Sedangdengan kaca aku enggan berbagi.” Itu adalah kutipan puisiChairil Anwar, seorang pensyair serta idola Nope. Padasetiap dinding kamarnya dituliskan kutipan-kutipan puisiBang Chairil itu. Dari gambar sampai lukisan yangsebenarnya sangat tidak mirip dengan aslinya, tetapi tetapdituliskan itu adalah gambar Bang Chairil. Siapa betullahBang Chairil ini, sampai Nope begitu fanatik kepada dirinyadan karya yang dihasilkan.

Lantas Maruk tidak terlalu memusingkan kegemarantemannya itu. Yang penting ia dapat memberi Maruk rokoksebatang setiap pagi, itu sudah sangat cukup baginya yangseorang juru modus di kosan. Ia bagaikan agen miliksaudagar kaya. Melobi adalah hidup, tapi tidak dengan

Page 69: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

59 | Binga

menipu dan memakan hak orang lain, Maruk bukan priasemacam itu. Mestinya ia mendapatkan kehidupan yanglayak, bukan begitu pahit. Karena Nope mengetahuibagaimana kehidupan Maruk, ia tidak jarang menasihatiMaruk saat mereka bercerita dengan tangisan. Benar-benardari hati ke hati. Walau sejatinya mereka tidak terlihat begitudekat, misalnya; bermain, tidur setikar atau pergi ke sungaibersama. Tetapi ikatan batin mereka begitu erat, Nopemenyadari temannya itu kurang kepercayaan diri, sedangkanMaruk juga menyadari Nope adalah orang yang tidak bisadisalahkan dan setiap perkataannya tidak boleh dipotong ataudikomentari. Ia selalu benar.

Sudah pergi dinihari. Hening menusuk pada jantungyang berdetak lirih. Jam dinding kamar sebelah terdengar tik-tak tik-tak ke telinga. Ia setengah tidur, antara terjaga dantidur. Terdengarlah sayup dendang pengantar tidur.

Tidurlah, tidurlah, tidurlah anakku sayang, ini puisipengantar tidur dari cerita malam-malam.

Anak-anak desa, siang meramu senja, biar resahlepas bersama jingga yang memancar di palung laut.

Anak-anak berlarian, mendengar maghribmemanggil.

Suara kanak mengeja kitab Tuhan, membuat sejuksuasana.

Kerlip cemporong samar terlihat di rumah berataprumbia.

Suara percik api tungku menelan sepi, menguap asaplewat cerobong asap.

Kanak-kanak sepulang mengaji, tawa lepasberkejaran sepanjang jalan.

Lubang-lubang kecil menggenang air bekas hujan.

Page 70: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 60

Terngiang suara Emak memanggil, mengajak makandengan masakan sederhana.

Bahagia bersenda gurau, menyuap nasi hasil tanahkelahiran.

Suap kecil pelan, mengunyah butir nasi.Menelan segala kemewahan, melupakan paha ayam

yang dijanjikan.Karena hidup dari keringat terlihat lebih berartidaripada hanya mengusap keringat mengering dibadan.Maruk terjaga, lalu muncul rasa rindu tanpa arah.Ada

sesuatu yang mengalir pelan di kedua pipinya. Sambilmelihat air yang dihapusnya dengan telapak tangan, lirikpuisi itu bagai mantra yang sering didendangkan Ayahnya.Suara-suara parau yang terngiang.

Subuh hampir sampai, itu adalah puisi yang terlalupanjang untuk diingat, tapi kenangan tidak pernah hilang. Iadatang lalu mengingatkan. Ia merebahkan diri, tubuhnyaloyo, energi seakan hilang ditelan malam-malam yang jalan.Malam yang selalu membawanya kepada kenangan-kenanganmasa lalu.

---

Suatu Ketika Dalam Binga

Burung-burung walet itu beterbangan di kedua mata,sampan-sampan mendayung ke tepian pantai. Suara anak-anak memanggil teman-temannya. Deburan ombak membuihdi tepian pantai, dimana ada ribuan pasang kaki sedangberlarian menuju arah Maruk yang berdiri dengan tentengan

Page 71: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

61 | Binga

tas berwarna kuning sedikit kusam. Bagian bawahnya sobekkarena sebelum sampai tepian pantai tersangkut saat turundari bus. Maruk heran, begitu antusias semua orangmenunggu kedatangannya. Seperti seorang pejabat yang telahlama tidak pulang kampong, dan ia sukses di tanah rantau.Sekali pulang pun akan disambut dengan berbagai tarianpersembahan, ucapan selamat datang dan kata-kata takjublainnya. Maruk masih mematung, ia menunggu pelukanhangat dari semua orang. Mereka berlarian ke arah Marukyang masih berdiri. Terdengar samar suara-suara yang riuhmemanggil namanya,“Anakku...anakku...anakku!”

Maruk melempar senyum kepada mereka yang masihterus berlarian menujunya.Namun tak kunjung sampai. Iaterus menunggu, dan mereka tetap saja belum sampai. Dalamkeadaan heran, Maruk menyimpan harap juga—agar merekasegera tiba di pelukan yang menanti. Maruk sudah begitu siapmenanti tabrakan dari peluk mereka. Maruk telah memasangkuda-kuda yang paling kuat miliknya. Tapi mereka tetap sajaberada dalam keadaan berlarian, pasir-pasir beterbangan,suara-suara ombak antar jemput, buih-buihnya bergantianmeletupkan busa-busa kecil. Suara itu tetap sampai padakedua kelopak telinganya. “Maruk...Maruk...Maruk anakku!”

Maruk tidak dapat menjelaskan pada hatinya, keadaanapa yang sedang ia hadapi sendiri di tanah kepulangan.Bayang-bayang penasaran masih menunggu, menantikedatangan pelukan hangat dari Amak, Ayah, adik dantetangga-tetangga yang mengharapkan kepulangannya—karena sangat rindu dan ingin mendengarkan banyakceritanya. Bukan karena ingin menertawakan nasib ia yangsusah di tanah rantau.

Maruk masih termangu menanti pelukan hangatorang-orang yang berlarian ke arahnya. Kemudian lama

Page 72: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 62

kelamaan langkah kaki yang riuh itu mengabur lalu hilang.Maruk bingung, tubuhnya seperti sebuah poros dankepalanya berputar sembilan puluh derajat melihat ke segalaarah. Tiba-tiba ada ribuan kunang-kunang mengitariwajahnya yang diam. Pandangan masih kelam. “Apakah inimimpi?” tanyanya pada sebuah bayangan kucing yang dudukmanis di atas loteng. Kokok ayam dan suara ibu-ibumembangunkan anaknya terdengar di telinga Maruk. Iabangkit lalu memandangi lorong kosnya yang masih hening,tiada kegiatan kaki apapun. Detik jarum jam terdengar lirihdari kamar Nope.Ia memberanikan diri untuk melihat jamdinding mungil yang tertempel di dinding kamar temannyaitu. Sambil mengusap kedua matanya, ia melihat jarumpanjang yang terus berjalan slowmotion dan jarum kecilnyamenujuk ke angka enam. Itu pagi yang dingin. Lelahmembuatnya menemui banyak mimpi buruk akhir-akhir ini.Bunyi pintu perlahan berdesir menutup, tubuhnya kembalitumbang. Maruk ingin tertidur lagi, berharap ada mimpiindah dikehidupan hayal.

---

Sebatang kretek nampak tenang hinggap di tanganNope. Asapnya yang mengepul menutupi beberapa jari-jaritangan yang memegang kretek. Ia duduk bermenung diserambi kosan sambil menatap langit penuh dengan awan-awan hitam yang menggumpal. Terlihat di hulu sepertigabak, rintik hujan yang ramai dari kejauhan terlihat merintikturun dari awan-awan.

“Sedang apa, Pe?” sapa Maruk sambil duduk disampingnya.

Page 73: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

63 | Binga

“Tidak ada.”“Ke mana semalam?” tanyanya lagi sembari

membersihkan lantai yang penuh debu.“Mutar-mutar.”“Apa tidak pusing mutar-mutar, Pe. Hahaha.” Maruk

cekikikan, sengaja membuat Nope merasa nyaman akankeberadaannya.

“Aku tidak memiliki rokok, Ruk. Jangan merayuku.”jawabnya semakin datar

Ia duduk diam bersama Nope. Hampir setengah jammereka duduk tanpa bicara sepatah katapun. Lalu Nopebangkit dari duduknya. “Dasar dunia! Terlalu kelewatanbercandanya.”

Burung-burung walet pulang. Riuh sepanjang jalanangin-angin yang melintas semilirnya. Mereka selalu singgahdi utas-utas kabel, Maruk masih duduk bersama walet-waletyang bergelut, membersihkan sayap-sayap dari rinai yangbaru saja turun sebentar. Tapi tidak akan membuat merekagoyah untuk pulang ke sarang yang sudah ditunggu beberapaekor anaknya. Ia telah menyimpan beberapa makanan untukanak-anaknya nanti. Biar tiada rasa lapar yang membuatnyamati sebelum pandai terbang ke dahan-dahan. Maruk jugaberpikir, apa yang sudah ia perbuat terhadap Nope, sehinggaia terasa asing. Apakah aku membuat kesalahan terhadapNope, sehingga ia begitu dingin hari ini. Biasanya ia akanmengeluarkan letupan-letupan kecil agar kami tertawa. PikirMaruk. Ia merasa linglung, ingin bertanya tapi takut nantinyaNope merasa risih dengan pertanyaan yang sering sepertianak-anak kecil. Kemana? Sudah makan? Sudah mandi?

___

Page 74: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 64

Binga 6Kisah Pasar Malam dan

Sebuah Kebencian(… dari Maruk tentang Nope)

Selama satu kos dengan Nope, ia tidak pernahmengeluh kekurangan uang. Setiap hari Minggu, ia akanmenghabiskan harinya di pasar malam. Di sana iamenghabiskan uang jajannya. Tidak pernah terlihatpenyesalan di wajahnya karena telah menghabiskan ratusanuang. Biasanya ia main tebak angka atau main lempar gelangke sebuah botol. Aku tidak pernah mempertanyakan itu,

Page 75: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

65 | Binga

sebab bagiku dapat ikut bersama Nope ke tempat bermainsaja sudah bahagia sekali. Jika di kampung, boro-boromelihat tempat bermain seperti yang ada di pasar malam.Pergi melihat acara randai18 saja sudah suatu kebahagiaanbesar bagiku, meski acara randai diadakan setiap malamMinggu.

Aku hampir tiga tahun hidup bersebelahan denganNope. Aku juga berpikir bahwa Nope adalah anak orangkaya—hidup yang berkecukupan. Karena setiap Minggu iamendatangi tempat bermain di pasar malam. Tertawa,bercanda dan membelikan aku makanan. Ibaratnya, jika diamakan, aku juga ikut makan. Kalimat jelasnya, hidupkudibiayainya seharian, hanya untuk menemaninya bermain.Tiada kata berhenti sebelum uangnya habis.

“Kalau tidak bandar yang menang, kita yang menang,Ruk.” ucapnya suatu ketika saat aku berusaha mengajaknyapulang, karena berkali-kali tebakan angkanya salah. Tidakjarang aku juga berpikir jahat, buat apa aku seperti cacingkepanasan lantaran uang Nope habis sewaktu bermain. Toh,tidak ada pengaruhnya juga bagiku. Seketika aku merasasangat jahat, seolah-olah memanfaatkan kebaikan yang iaberikan. Asal aku terus berpura-pura untuk menyemangatinyasaat memasang, barangkali saja pada taruhan selanjutnyamenang.

“Bagaimana, Ruk? Kau lihat, kita akan menangbanyak hari ini.” katanya dengan mata yang membara untukterus bermain.

18Randai: salah satu permainan tradisional di Minangkabau yangdimainkansecara berkelompokdengan membentuk lingkaran, kemudianmelangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikancerita dalambentuk nyanyian secara bergantian

Page 76: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 66

“Iya, Pe, lanjut terus. Turuti kata hatimu, kita akanpulang dengan banyak hadiah hari ini.” jawabku yangmemang berpura-pura.

“Ah, kau pandai betul pura-pura menyemangatiku.” Iaseperti mengetahui akal bulusku.

“Tidak, kawan, ini benar-benar tulus. Aku jugamerasa kemenangan sedang menyertai kita hari ini.”

“Caca tarui, camuak19…!” teriakku dengan berbahasakampung.

“Jangan pakai bahasa kampung, nanti aku berpikirkau benar-benar sedang pura-pura.” tegur Nope dengan suarasedikit meninggi, karena suasana memang ramai.

Hari itu Nope terlihat emosional sekali untukbermain. Aku dapat melihat saat ia memasang taruhan padaangka yang dia pilih. Kadang ia mengempaskan uangnya keangka-angka yang sebenarnya tidak terlalu menarik untukdipasang. Sebab sudah sering kulihat nomor tersebut tidakpernah terpilih menjadi angka kemenangan.

“Angka satu!” teriak Nope.“Jangan, Pe. Itu nomor sial.” sahutku tak setuju.“Diam saja kau bodoh!” balasnya sambil tertawa.Aku lantas harus diam melihatnya berkali-kali

menerima kekalahan dalampermainan. Uang terus mengalirke kotak-kotak bandar. Setelah beberapa kali kalah dan uangNope hanya tersisa seratus ribu yang jika dipasang, dankalau-kalau menang akan menjadi sepuluh kali lipat. Iamenyodorkan uangnya ke hadapanku.

“Ini uang terakhir, aku percaya denganmu. Jangankecewakan aku.”

19Caca tarui camuak: teruskan dan semangat

Page 77: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

67 | Binga

“Terserah kamu mau pilih angka yang mana, kalaukalah kita akan pulang jalan kaki ke kos. Pikirkan itu.”

“Aku tidak terlalu memiliki insting pejudi, Pe.”kataku.

“Terserah, pilih saja. Kalau tidak mau kamu janganpernah pergi lagi denganku.”

Butuh beberapa menit adu urat saraf. Akumemutuskan untuk menuruti kemauannya. Tapi memangbenar, aku tidak memiliki insting dalam perjudian apalagi halsemacam ini. Ini adalah adu nasib dan keberuntungan.

Entah apa yang menggerakkan tangan ini, akulangsung melempar uang itu ke nomor satu. “Woi! Katamuitu nomor sial.” Aku diam melihat uang itu memandangiku.Seakan berkata,“Selesailah hura-huramu, Ruk!”

Bandar mengocok dadu yang berada dalam sebuahcangkir kecil. Ya, itu memang cangkir mungkin. Kemudiandibukanya dadu yang sudah dikocok. Terlihat tiga buah dadumenunjukkan angka. Satu dadu menampilkan tiga titik hitam.Berarti itu angka tiga, pada dua dadu lain terlihat satu titikhitam, berarti itu angka satu. Kami saling pandang dan sontaklangsung berteriak heboh. Uang kami akan menjadi duapuluh kali lipat, yaitu: dua juta rupiah, karena dua dadumembuka satu titik hitam. “Pulang modal kita, Ruk!”teriakNope girang. Aku tertawa dan terus mengesampingkan peluhyang bercucuran di kening.

“Kita langsung pulang, Pe. Ini adalah aji mumpung.”ajakku dengan berbisik ke telinganya.

“Bandarnya sedang merayu kita agar tetap main.”sambungku.

“Baik.Kita akan pulang kawan.” Nope terdengarriang.

Page 78: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 68

---

Itu adalah kisah terakhirku pergi bermain bersamaNope. Setelah kejadian itu dan sampai suatu ketika ia dudukbermenung di serambi kos, kami tidak pernah lagi bepergianwalau hanya sekadar berjalan-jalan keliling kampung. Akuberpikir, apakah salah perbuatanku saat memenangkanpermainan kala itu. Atau jangan-jangan Nope menginginkankekalahan saat itu, agar ia selalu datang ke sana denganpenasaran karena tidak pernah menang. Ah,jika benar begitu,aku mengacaukan kehidupan Nope.

Aku memikirkan banyak hal tentang Nope yangbeberapa minggu ini terlihat dingin sekali. Apa sebenarnyayangsedang terjadi dengan hati kawanku itu, sampai begitulusuh wajahnya. Ia hanya uring-uringan di kamar sambilmembaca buku kumpulan puisi kesukaannya; Aku IniBinatang Jalang. Aku juga enggan menghampirinya, takutsemakin salah. Padahal aku tidak menemukan kesalahanapapun. Atau memang Nope sedang ingin menyendiri.

Malam itu tiba-tiba ia datang ke kamarku membawasegelas kopi dan sebungkus rokok. Itu kali pertama ia maumasuk ke dalam kamarku yang tidak memakai kipas angin.Nope mengaku ia tidak bisa gerah saat berada di kamar. Dandia langsung menyuruhku mengambil kipas angin miliknya—lantaran di kamarku memang panas, aku saja sering merasagerah dan pergi ke kamar Nope untuk sekadar duduk didepan kipas angin miliknya.

“Apa kamu tidak sibuk, Ruk?”“Tidak, Pe. Apa kita akan ke tempat bermain? Sudah

lama kau tidak mengajakku.”

Page 79: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

69 | Binga

“Tidak, Ruk. Aku tidak pernah ke sana lagi sejakterakhir kita menang.”

“Kenapa, kawan. Ada apa sebenarnya.”“Sudah bosan, jenuh, lagipula aku ke sana tidak

benar-benar ingin bermain. Hanya ingin melepaskan emosisaja.”

“Kenapa begitu?”“Pasar malam itu adalah milik Ayahku yang beberapa

tahun terakhir sudah hidup dengan wanita lain.”“Lantas?”“Ya, aku tidak pernah mau menerima uang

pemberiannya untuk kehidupanku. Itu adalah uang dari hasilia berselir. Selir yang setiap kulihat seperti seekor umang-umang tepi pantai. Ketika orang mendatanginya iabersembunyi di dalam lubang.”

Aku merasakan betapa sakitnya hati Nope saat iamenceritakan banyak kisah tentang kehidupan keluarganya.Emosinya memuncak, mengeluarkan kata-kata kasar untukselir Ayahnya itu. Sedangkan ia masih ada hubungan denganIbu Nope. Ayah dan Ibu Nope belum pernah bercerai, jikapun pernah, kenapa Nope menyebut wanita itu denganpanggilan selir. Bukankah selir adalah wanita simpanan atauhasil buah selingkuh? Kalau orang jawa bilang adalahseorang gundik20.

“Lalu Ibumu di mana sekarang, Pe?”“Ibu?”“Hum, Ibuku kini di kampung. Hidup terlunta-lunta

dengan beberapa sapi yang dibelinya. Itu adalah hasiltabungan kami saat aku mengganggur dulu.”

20Gundik: wanita simpanan/selingkuhan

Page 80: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 70

Aku semakin heran. Nope pernah menggangur, ataumemang cuti? Ceritanya berbelit sekali.

“Ibuku di kampung bersama dua orang adikku, duaorang adikku yang dua-duanya lelaki. Adikku yang pertamaharus berhenti sekolah karena setiap hari di-bully teman-temannya karena Ayahku memiliki selir. Padahal dua bulanlagi ia akan ujian akhir Sekolah Menangah Pertama.”sesalnya.

“Aku sudah berencana akan membawanya kemariuntuk melanjutkan sekolahnya. Biar dekat juga dengan Ayahyang ia harapkan.” sambung Nope sambil meneguk air hitamyang dibawanya.

Terlihat pada dua bola matanya bulir-bulir air mulaimengembun. Aku rasa sebentar lagi akanada aliran sungaiyang mengalir di kedua pipinya. Aku ingin menenangkannya,tapi tidak tahu harus bicara apa. Aku benar-benar ikut larutdalam cerita Nope. Aku merasakan keterasingan yangberbeda. Ia memainkan asap-asap tebal keluar dari mulutnya,asap itu mengepul, memecah di antara sedihnya hati. Nopebegitu tegar, ia mampu mengendalikan kebenciannya dengansengaja datang ke tempat orang yang benar-benar ia benci.

“Kamu ingin tahu bagaimana Ayahku bisa memilikiselir?”

“Kalau kamu bercerita, aku akan mendengarkan,kawan. Setidaknya menjadi pendengar yang baik, meski tidakdapat memberi komentar.” jawabku tenang.

“Baik, aku akan menceritakan tentang Ayah, Ibu, danselirnya itu. Serta kami anak-anaknya.”

___

( … Cerita Nope)

Page 81: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

71 | Binga

Pagi itu, aku mendengar suara-suara kaca pecah. Akuterjaga dan menengok jam dinding. Hari masih pukul tujuhpagi. Kejadian itu hari Minggu, saat libur yang seharusnyakami habiskan di tepian sungai untuk memancing—karenasetiap hari Minggu Ayah akan membawa kami bermain kesungai atau ke pasar akad21. Kudengar suara-suara kacapecah, seperti benar disengajakan untuk membanting kaca.Ada emosi yang tersulut, ibarat kata memadamkan apidengan bensin. Kakiku tidak mampu ditahan lagi untukmelihat langsung kaca-kaca apa yang pecah itu. Lalukudengar suara tangisan lirih dari kamar Ibu. Suaranyamerintih kesakitan, terisak. Ibu meratap, memelas. Namunaku tidak mendengar jelas perkataan Ibu, karena isaktangisnya lebih hebat.Aku melangkah keluar dari kamar.Kulihat dua adikku yang kala itu masih kecil. Adikpertamaku berumur sembilan tahun, dan adikku yang bungsubaru pandai berjalan, kalau tidak salah umurnya empat tahun.Aku tidak terlalu ingat umurnya waktu itu. Kulihat adikpertamaku menggendong adikku yang bungsu, lantaran iamenangis dan berontak ingin dilepaskan. Biasanya kalau pagiia sudah bergelayut pada dada Ibu.”

“Ada apa?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi. Iamenggelengkan kepalanya dan melihat ke arah kamar Ibu.

“Suara apa itu?” tanyaku lagi. ia terus melihat kekamar Ibu. Aku berpikir ia menjawab—jika ingin mengetahuilihat saja ke dalam kamar Ibu.

Pikiranku melayang. Aku menduga ada seekor ularyang masuk ke dalam kamar Ibu, atau musang yang terjebak.Jadi binatang itu akan kehilangan akal untuk mencari jalan

21Pasar Akad: pasar Minggu

Page 82: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 72

keluar, sehingga memecahkan perabotan rumah yang terbuatdari kaca. Tiba-tiba erdengar suara … traakk …! Kulihat Ibutersungkur mencium lantai. Aku masih terpaku di depankamar. Lalu keluar Ayah dengan menenteng tas di tangankanannya—tas yang berwarna kuning itu ia beli dari seorangpenjual tas di pasar malam. Mulut Ibu terlihat memerah,bukan, itu adalah darah. Rambutnya terlihat kusut danberantakan sekali, seperti baru saja ditarik-tarik berulang kali.Kapas-kapas menghinggapi rambutnya, di pipinya ada jejak-jejak jemari yang samar-samar. Kedua adikku menangishisteris. Ibu terus memelas memegang kaki Ayah; “Janganpergi… jangan pergi… ini bisa kita bicarakan lagi.” Ibumemelas menahan langkah kaki Ayah. Kemudian kaki itubergerak hebat dan membanting Ibu ke dinding.

“Wanita sialan!”maki Ayah dengan beringas.Sontak aku berlari dan entah kenapa kakiku terasa

ingin terbang dan mendarat di perut lelaki itu. Ia tersandar kejendela kaca rumah. Ia memegangi perutnya yang baru sajamenerima pendaratan sempurna dari kakiku.

“Kamu juga sama dengan Ibumu, anak sialan!” Iamembentak dan bergegas mengejarku.Larinya begitu cepat,tangannya juga mendarat di pipi kiriku. Kepalaku berputar,telingku mengiang desiran angin. Dalam keadaan tersungkur,ia mendaratkan kakinya yang secepat kilat itu kepunggungku. Aku diinjak-injak, sampai Ibu memelukku danmendorongnya.

“Keluar kau Ayah sialan!” Ibu berteriak penuhamarah.

Kulihat ada beberapa titik merah di lantai. Akuterluka. Aku menangis iba, sebab dalam hati tak dapatdibendung. Hitungan detik semua kehidupanku berubah. Aku

Page 83: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

73 | Binga

tidak habis pikir kenapa Ayah sekejam itu kepada kami,padahal semalam sewaktu ia pulang dari pasar malam itu, iasudah berjanji akan membawa kami main ke sungai,memancing dan sorenya mendatangi pasar malam.

Ia berlalu tanpa melihat ke belakang. Bagusnyamemang begitu, karena kepergian bukan semata kesedihan.Barangkali memang sebuah kebahagiaan baginya. Jadi tidakperlu menoleh ke belakang. Itu kenangan yang teramat pahitbagi hidupku dan Ibu. Sangat pahit sekali. Kulihat beberapaorang warga memandang dan berbisik. Seperti sebuahkepuasan bagi mereka melihat keluargaku hancur di pagihari.

---

Setelah kepergian Ayah. Aku selalu menekankankepada Ibu jangan mengingat Ayah lagi. Bukankah ia sudahmenjatuhkan talak kepada Ibu, walau kadangkala ia masihsaja berani datang menemui Ibu. Bagiku, tidak ada gunanyajuga terus menyebut namanya setiap malam. Setiap mataterpejam dan buah tidur datang. Aku menjadi begitu arogan,mudah emosi dan tak jarang membanting pintu jika Ibumenasihati jangan menyalahkan Ayah dan membencinya.Apalagi aku harus tahu, kepergian Ayah karena wanita lain.Wanita penjaga sebuah permainan tebak angka di pasarmalam. Begitu rendah selera Ayah terhadap wanita. Kalau ialari karena seorang wanita kaya atau janda cantik belumberanak, itu akan sedikit menaikkan pamornya sebagaiseorang lelaki yang berselara tinggi. Setidaknya ada yangdibanggakan darinya. Kalau hanya lari dengan wanitapenjaga permainan di pasar malam, masih kalah jauh denganIbu yang memiliki kulit kuning langsat dengan matanya yang

Page 84: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 74

selalu berkaca, ditambah dengan rambut lurus yang tergeraiindah. Pandai memasak serta sopan dalam berpakaian. Tidakseperti penjaga pasar malam itu, memakai celana jauh di ataslutut, baju setengah jadi. Mungkin saja pakaian yang dipakaibukan miliknya, milik anak atau adik kecilnya.

Ayah sedang terjebak nafsu-nafsu binal yangmenguasainya. Kata seorang tetangga, Ayahku sudah dipeletatau termakan ‘pembuatan’ wanita itu. Wanita itu berasal dariJawa, barangkali ia membawa ajian-ajian pemikat lelaki agartetap memikirkan pasar malam. Kalau orang kampungmenyebutnya—ia membawa akong22, katanya itu adalahbahasa Cina yang artinya sama dengan jin pesuruh untukmemikat pelanggan agar tetap candu bermain. Sejatinyamemang begitu, aku juga pernah melihat banyak pernik yangbergambarkan naga dan tulisan-tulisan Cina. Seorangtetangga menyuruh Ibu untuk melihatkan kejadian itu padadukun—nanti akan di lakukan ritual asam limau puruik23 danmantra-mantra lainnya, agar dapat mencabut ajian yangsudah bersarang di tubuh Ayah.

Ibu lantas tidak terima pendapat orang-orang itu. Ibuberpikir itu adalah kesalahpahaman saja. Ibu yang bersalahtidak mampu menjaga suaminya, jadi harus menerimakepahitan, harus menelan pil pahit itu. Ibu berjanji tidak akanpernah melihatkan kejadian itu ke dukun atau apalahnamanya yang mengandung unsur-unsur mistik.

“Jika ia milikku, maka dekatkan, jika tidak, jauhkansejauh-jauhnya, ya Tuhan.” ratap Ibu penuh kesedihan.

22Akong: sebutan untuk jin penglaris23Asam limau puruik: jenis asam kecil yang biasa digunakan untuk ritualpengobatan di Minang

Page 85: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

75 | Binga

Aku menangis saat Ibu mengucapkan kalimatitu,danmemelukku erat tak ingin melepaskan. Aku langsungmencium ibu jari kakinya dan berjanji akan menjadipengganti Ayah untuk adik-adik. Aku memohon maaf atasemosi bebarapa hari itu yang sering meluap-luapmenyemburkan lahar-lahar panas padaIbu. Aku memohonsetulus hati, dan membulatkan tekad untuk hidup yang lebihbaik. Aku akan melawan kebencian, mengendalikan kecewayang beranak pinak dalam dada.

---Beberapa tahun sejak kejadian itu. Aku menamatkan

Sekolah Menengah Atas, dengan berani—penuh malu, akumenemui Ayah yang waktu itu sibuk dengan usaha barunyasebagai pemilik pasar malam. Kulihat di rumahnya yangmewah ada seorang anak kecil sibuk bermain mobil-mobilandengan seorang wanita yang sepertinya kami pernah bertemu,tapi entah di mana tidak terlalu ingat. Setelah bertemu Ayah,ia memasang wajah datar, seakan mengatakan; “Bagaimana?Masih butuh aku, kan? Anak sialan!”

Aku melihat susunan kalimat itu di wajahnya. Tapitetap saja aku berusaha membuang rasa penjilat itu. Toh, aku,kan, darah dagingnya, jadi buat apa malu.

“Ada apa, Jagoan?” Nadanya menyindir betul.“Aku sudah tamat sekolah. Aku ingin kuliah, bisakah

Bapak membantuku untuk melanjutkan sekolah. Setidaknyauntuk membayar uang masuk saja, selebihnya biar aku yangberusaha, walau harus jadi pembantu.”

“Wah… wah… hebat betul kau, ya.” jawabnyamencemooh.

“Sekarang intinya saja, Bapak mau membantu atautidak?”

Page 86: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 76

“Sebelumnya aku minta maaf atas semua kejadiandimasa lalu. Aku mohon maaf, agar tidak ada penyesalankelak—dihidupku yang serba kekurangan ini.” sambungkumemohon ampunan.

“Maaf telah berani datang ke istana Bapak denganpakaian lusuh penuh peluh ini.” tambahku dengan mengiba.

“Sudahlah, sekarang bawa Ibumu kemari dan terimasurat cerai dariku, setelah itu kalau dia mau, dia bisa tinggaldi sini sebagai pengasuh anak kami.” ucap lelaki yang dahuluadalah tempat kami mengadu.

“Aku tidak mau selalu dikatakan seorang selir.”timpal wanita yang bersama anak kecil tadi.

“Kenalkan, ini adalah istriku. Tuhan mempertemukankami.” Sambil tertawa kecil wanita itu memeluknya.

Hebat! Hebat sekali. Dengan mengatasnamakanTuhan mereka berbahagia. Menelantarkankeluarganya.Benar-benar kelewatan jika itu terjadi ataspersetujuan Tuhan. Seketika aku diam dan mengusap dada.

“Kalau Bapak tidak mau membantuku tidak apa-apa.Maaf sekali lagi, Pak, telah menggangu waktunya. Akumohon pamit.” Sambil menjabat tangannya yang tidak maudiulurkan kepadaku.

“Terimakasih, Pak. Selamat berbahagia.”Itu adalah hari yang paling membahagiakan serta

memalukan seumur hidupku. Datang ke rumah Ayah sendiridengan suasana hati yang amat asing. Memang sudah hilangikatan batin kami sebagai anak dan Ayah. Aku berjalanpulang dan menemui Ibu.

“Aku memang harus merantau dan melanjutkansekolah, Bu,” tegasku ketika mengobrol bersama Ibu.

Page 87: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

77 | Binga

“Baik, kita bongkar tabungan. Kamu bawa semuanyauntuk merantau dan sekolah. Ibu siap, Ibu bisa mengurusadik-adik di rumah.”

Entah air apa yang tiba-tiba mengalir di mataku, dadaterasa sesak. Aku menangis dan memeluk kedua adikku yangsibuk bermain mobil-mobilan terbuat dari kayu.

“Tidak, Bu. Aku akan membelikan ibu satu ekor sapidan sepasang ayam. Biar sewaktu-waktu jika Ibu kepepetbutuh uang, ada yang dapat dijual.”

Aku berkemas, membungkus kenangan dan menyuratiTuhan bahwa semua kejadian itu tidak atas izin dari-Nya.Lelaki itu telah salah menilai Tuhan. Tuhan sedang membuatlelucon kecil, lelaki itu saja yang kelewatan—memasukan kehati lelucon tersebut.

Aku menghitung detik jarum jam. Pada dinding-dinding yang masih membekas deburan tubuh Ibu, dan lantaiyang menyaksikan sujud syukur kening seorang wanita hebatdalam hidupku, kutitipkan kebahagiaan itu di sini. AgarTuhan dapat menjaga dan membantu setiap kesialan-kesialanyang bertandang dikehidupannya. Jika ada kesialan yangingin diberikan atau semacam lelucon kecil yang mengujikeyakinan. Mohon datangkan saja pada diriku. Akuberangkat, tidak menoleh sama sekali ke belakang. Dengantegap kakiku membawa tubuh penuh duka ini merantau danmelanjutkan sekolah. Aku berjalan tanpa harus mengusap airmata yang berjatuhan, aku tidak mau mereka berpikir akumenangis.

___

Walau akhirnya kuketahui Ibu menerima tawaranyang dahulu pernah aku dengar saat menemui lelaki itu. Ibutinggal bersama lelaki itu saat ini, besertakedua adikku. Itu

Page 88: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 78

adalah alasan yang membuatku bertahan di sini. Aku benar-benar membenci wanita-wanita yang berada di pasar malam;wanita Jawa, tulisan Cina dan akong-akong mereka. Janganmenangis, aku bukan ngesah. Ini hanya sepotong kisah darikuyang sangat lucu jika dijadikan sebuah drama. Marukmenahan perasaan ingin memeluk, tak bagus pula dilihatorang nanti. “Sabar, kawan … sabar.”

___

Page 89: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

79 | Binga

Binga 7Antara Gagak dan

Burung Pipit

Bulan mengintip di balik awan-awan hitam. Ada yangmenerobos ke pikiran, ada kenangan yang mengingatkanpada cerita Ayah tentang mantra-mantra yang akanditurunkan ke Kelui. Belum sempat ia untuk menjawabperkataannya kala itu, malah waktu lebih dulu menjawabsemuanya. Ranting memang tidak selalu mengering, adayang basah ada yang sengaja patah. Rumput tetap tegar,meski dedaunan jatuh tidak pada tempatnya. Begitu jugadengan hidup yang selalu berputar, dan seketika bisa saja

Page 90: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 80

berubah. Sebelum malam menghampiri pagi, Amak masihsetia pada rumah yang sederhana.Mereka masih dudukdengan cerita-cerita dongeng Mak yang lucu. Cerita legendaBujang Jibun, cerita Bukit Giriak dan Mandeh Rubia24. Tapitiba-tiba Amak tertawa, Maruk memohon meminta agarmelanjutkan cerita tentang penyakit Ayah dan kepergiannyaselamanya. Maruk masih saja belum lelap, mata tetap engganbersahaja pada kasur yang sudah menyiapkan mimpi indah.Setelah beberapa detik, Amak merangkul tubuh Marukyangmulai sedikit dingin. Ia merasakan ada benturan tulangbelulang Amak yang keropos terasa panas.

“Tenanglah, petaka akan segera berlalu. Masalaluadalah pendewasaan diri saja, Nak.” Mata mulai terpejam,dekapan sudah terlepas. Sayup terdengar suara rintihan,sepertinya Mak menangis. Malam memang selalumenyajikan banyak hal, apalagi tangisan.

Malam itu Maruk bertekad untuk tidak tidursemalaman. Ia ingin membaca banyak buku-bukupeninggalan Ayahnya di ruangan yang biasa digunakanmelakukan upacara ritual bersama Amak. Maruk penasaransatu hal yang dilakukan Ayahnya saat malam Senin.Biasanya kalau malam Senin Ayahnya bermenung sendiridalam ruangan itu. Kata Amak, Ayah sedang sembahyang.Bertemu dengan moyangnya yang ingin setiap malam Senindijumpai. Seperti menyetor hafalan. Amak pernah melihatkejadian itu saat penasaran benar-benar menyesak, Makmengintip di balik dinding papan yang memberi sedikit celahuntuk dapat melihat ke dalam ruangan.

___

24Bukit Giriak dan Mandeh Rubia: cerita legenda dan rumahgadang yangada di pesisir selatan

Page 91: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

81 | Binga

Suatu Ketika Dalam Binga

Mak Labia memergoki kebiasaan suaminya yangsekian lama tidak ia saksikan. Terlihat mulut suaminya yangkomat-kamit, sesekali ia sungkeman sambil menjabat tangan,tapi Mak Labia tidak melihat entah dengan siapa suaminyasedang berjabat tangan. Namun sejenak Mak Labia jugaberpikir kala itu, sebab ada sebuah buku di depan suaminyayang terbuka. Barangkali saja ia sedang membaca bukumantra atau jangan-jangan suaminya sudah ikut pahamkepercayaan kampung sebelah. Beberapa menit Mak Labiamengintip suaminya yang tengah khusyuk padasembahyangnya. Tiba-tiba suaminya berdiri dan menyusunlangkah-langkah seperti silat. Ia memasang kuda-kuda,sesekali ia terempas. Mak Labia semakin heran, bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dilakukan suaminya didalam sana. Seperti orang sedang berkelahi.

Memang, sejak menikah Mak Labia sudahmengetahui tabiat-tabiat suaminya. Namun tabiat yangsemacam itu baru pertama kali disaksikan Mak Labia secaranyata. Biasanya Mak Labia akan ikut dalam upacara ritualsuaminya. Sebab kalau bukan Mak Labia, siapa lagi yangakan mau menolongnya. Dalam situasi hening Mak Labiamasih mengintip lirih apa yang dilakukan suaminya di dalam.Mak Labia selalu mewanti-wanti jangan sampai tabiat yangdilakukan suaminya sampai diturunkankepada anaknya.Kalau pada Maruk sudah tentu butuh waktu lama untukmemenuhi keinginan itu. Mak Labia mencemaskanKelui,sebab ia sangat tertarik dengan kebiasaan Ayahnya itu.

Page 92: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 82

Dalam keadaan mengintip, Mak Labia berhenti sejenak daripikiran yang kacau serta takut di masa depan. Ia melarikanmatanya dari celah tadi, Mak Labia memahami bahwapercuma baginya mengetahui tabiat-tabiat semacam itu. Toh,tidak ada gunanya.

Itu yang membuat Maruk juga penasaran inginmencari tahu apa sebenarnya yang ada di dalam ruangan itu.Ia diburu penasaran, tanpa berpikir anak itu membuka pintuyang terkunci dengan sebatang kayu. Sambil membersihkanjaring laba-laba yang menempel pada pintu,iasimpanketakutannya. Bahwa ia seakan menemui peti-peti matimoyang yang biasa diceritakan Ayah bersama Kelui semasadi rumah. Baru saja terbuka pintu itu, Maruk mengurungkanniatnya. Ia merasa sudah terlalu lancang berani masuk kedalam ruangan yang bukan seharusnya ia masuki. Menurutcerita Maknya, belum ada seorang pun yang diperbolehkanmasuk ke dalam ruangan tersebut. Biasanya saat suaminyamasuk ke dalam ruangan tersebut, pintu masuk itu akanditutup dengan kain hitam.

Maruk harus berusaha keras meyakinkan hatinya agartidak mengulang kejadian itu lagi. meski ia sudahmelangkahkan satu kakinya ke dalam ruangan tersebut. Tapiia benar-benar merasa bersalah karena tidak mendapat izindari Ayahnya. Meski Ayahnya tidak di rumah, setidaknya iamendapat izin untuk masuk ke dalam ruangan itu dengan izinAmak. Maruk menyesali itu. Barangkali Ayahnya sedangmelihat kejadian itu, maka akan murkalah beliau. Ada suatuhal yang membuat ia dirasuki rasa ketakutan. Apakah ituarwah dari Ayahnya, ia juga tidak mengetahui kebanyakanhal-hal mistik semacam itu. Walau dahulu ia hidup di antarahal-hal gaib.

Page 93: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

83 | Binga

Lalu suara langkah kaki terdengar dari ruangantengah. Tentu saja Maruk harus segera beranjak dari depanruangan itu. Jangan-jangan itu Amak terjaga, ataukebiasaannya sedang kambuh. Mak sering berjalan saat tidur,penyebabnya adalah karena Mak kurang istirahat dan sudahtentu karena pikirannya yang banyak. Tapiia belum bisamemastikan ituIbunya. Bisa jadi Kelui pulang dari rantau,dan sengaja tidak memberitahu atau jangan-jangan ….

Taarrr ….Suara benda jatuh menutup keheningan malam.

Suara-suara jangkrik terdiam, katak berhenti mengetok.“Siapa, di sana?” teriaknya.Tiada jawaban yang didapat. Iamelangkah ke arah suara benda jatuh tadi. Tiada satu puntanda-tanda kehidupan. Tidak ada benda yang tergeletak dilantai.

Jangkrik mulai mengetok kembali pintu-pintu malam,sunyi menerobos celah-celah rumah. Angin membuat Marukenggan untuk keluar, ia duduk menenangkan pikiran diberanda rumah. Suara-suara desiran dedaunan mengingatkania kenangan bersama adiknya, kala itu Ayahnya belum jugapulang dari ladang. Biasanya pukul delapan malam sudahberada di rumah. Namun hari itu sudah pukul sebelas malam,Ayahnya belum juga pulang, Mak cemas terjadi apa-apadengan keadaan suaminya yang akhir-akhir itu seringmengalami mimpi buruk tentang kecelakaan dan dikejarseseorang. Maruk berpikir begitu juga, tapi bukan karenasering mimpi buruk. Melainkan karena beberapa hari terakhirAyahnya sering terlihat bermenung di depan ruangan yangbiasa ia gunakan untuk melaksanakan ritual. Pikir Marukadalah seseorang yang merasa bersalah atas perbuatannyaakan sering merasa bahwa dirinya sedang diikuti seseorang,

Page 94: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 84

atau ia akan takut dengan bayangannya sendiri. Padahal tidakakan ada yang berani mengikuti Ayah.

Malam itu Maruk terpaksa memberanikan diriberjalan menyusuri semak-semak menuju ladangnya yangmemakan waktu setengah jam untuk sampai. Tentu sajaKelui mau diajak, karena dialah yang memaksa Maruk untukmencari Ayah. Jika Maruk menolak, ia akan pergi sendiri,kalau Kelui bertemu dengan Ayah—adiknya itu sudah pastiakan menghasut Ayah untuk mengasingkan Maruk. Dalampikiran Maruk, pengasingan adalah serupa hukum pasungyang dikurung dalam sebuah ruangan yang jauh dari orang-orang. Makan dengan tempurung, dan minum dengan airyang entah darimana. Maruk juga pernah bermimpi sepertiitu, sebab ketakutannya terlalu ekstrem, sampai-sampaimenjawab perkataan adiknya saja dia takut.

Mereka berjalan menyusuri jalan-jalan yangdikelilingi semak-semak ilalang, hanya setitik-setitik warnakuning lampu corong terlihat. Semakin lama cahaya ituhilang ditelan kelam. Mereka berjalan menanjaki bukit-bukityang landungnya tidak terlalu tinggi. Sambil memasang matabak kucing tengah mencari tikus, mereka sengaja mengikatpinggang dengan seutas tali yang saling berhubungan. Jikaada yang salah arah, mereka tidak akan susah mencarinya,tinggal menarik-narik tali. Tidak lama kemudian terdengarsuara patahan ranting kering.

“Siapa itu?”“Mungkin saja itu Ayah.” jawab adiknya dengan

lugas.“Tenang dulu, Lui. Jangan cepat bertindak.”“Ah, kau terlalu takut.”

Page 95: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

85 | Binga

“Bukan takut, jangan gegabah. Di tengah hutanseperti ini bisa saja itu hewan buas.”

“Sudahlah, aku akan ke sana.”Kelui dengan cepat menyingkirkan semak-semak

ilalang yang menyelip ranting-ranting kering penuh duri.Dengan umur yang berbeda tujuh tahun dengannya, Keluiseakan berbicara dengan adiknya saja.

“Sesekali kau menurutiku apa salahnya, Lui.” keluhMaruk lirih.

“Sudahlah, Ruk. Jangan banyak mengumpat.”Ternyata ia mendengar keluhMaruk. Sudah sejam lebihmereka berjalan mengelilingi semak-semak. Bayang-bayangsemakin terlihat panjang. Di antara pohon-pohon yangmematung melihat kelinglungan mereka, suara-suaranyanyian terdengar, aroma wewangian mendatangi hidungMaruk. Kelui menikmati bau itu sambil mendongakkankepalanya ke langit.

“Benar,kan! Itu pasti Ayah.” Kelui melepaskan taliyang melilit di pinggangnya, ia tergesa-gesa menuju aromawewangian.

“Tunggu dulu …!” teriak Maruk.Maruk mengejar Kelui, lari bagaikan seekor anjing

yang sedang melihat tikus. Maruk mendengar jelas langkahkaki adiknya itu, kemudian hilang .…

“Kelui …!” teriak Maruk tanpa mengendorkansuaranya.

“Kelui …!”“Kau sudah sadar,kan, bahwa keras kepala tidak

meyelesaikan masalah.”“Jangan main-main. Di mana kau .…”Maruk terus berjalan, menuruni bukit kemudian

menanjak lagi.

Page 96: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 86

“Kelui…!”Maruk menangis, merintih ketakutan. Bayangkan, di

tengah hutan seorang diri, gelap dan bulan hanya mengintipdi antara awan-awan kelam yang barangkali sengajamenakut-nakuti.Maruk menemukan aliran sungai yang sangatjernih, sampai ia melihat bebatuan di dasar sungai yangdalamnya hanya sampai lutut. Ia duduk melepas lelah sambilmeminum air sungai.

“Sudahlah, aku tahu ini permainan kalian, kan? Akutidak takut.Sungguh, ini sangat mudah aku lalui. Mari,keluarlah.” Maruk terus meyakinkan hatinya bahwa denganbanyak bicara akan menghilangkan rasa ketakutan. Sejenaksuara dahan-dahan di pohon hening, Maruk ikut diam tanpagerakan. Ia menyimak suara-suara dari semak-semak sepertiada langkah kaki. Tapi, dalam hati ia bertengkar; Itu bukankaki. Ah … benar, itu langkah kaki. Aku ingin melihatlangsung. Tidak! Jangan dilihat. Itu hanya langkah hewanbuas, dan mungkin saja harimau. Pikirannya bertengkarhebat sampai terdengar suara azan. Lalu ia berdiri dariduduknya di tepi sungai.

Maruk berjalan kembali mengikuti jalan-jalansetapak. Entah sudah berapa puluh landung bukit ia lewati.Dan aroma wewangian itu masih tercium oleh hidungnyayang sebenarnya tidak terlalu tajam. Tapi memang terciumjelas, wewangian itu seakan ia kenal. Maruk terus berjalantanpa menghiraukan aroma-aroma, ia kesal, hatinya membatuingin cepat pulang dan melampiaskan kekesalannya padadinding-dinding kamar. Ia merasa dijebak, dipermainkan olehAyah dan adiknya. Ia berpikir itu adalah sebuah hal yangdirencanakan untuk menguji mental lelakinya.

Page 97: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

87 | Binga

Maruk sampai di tanjung bukit, di bibir bukit itu iabertemu dengan seorang pria yang membawa setumpukrumput. Ia melihat ke arah Maruk dengan wajah takut.Setelah ia berselisih, pria itu terlihat berlari kencang, iaketakutan dan rumput yang dibawanyaditinggalkan begitusaja. Pria itu lari sambil terus berteriak, “Ampun! YaTuhan… ampun gusti .…” Pria ituterus berteriak. SedangkanMaruk termangu melihat pria itu berlari tunggang-langgang.

“Wah, kacau ini.” lirihnya sembari berjalan denganbersiul-siul kecil, Maruk tetap memasang mata yang siaga,bisa saja sesekali pria yang ketakutan tadi berbalik denganmembawa sebilah pisau atau membawa banyak wargadengan alasan ada seorang pencuri atau hantu jadi-jadian.

Maruk selamat sampai ke perkampungan, walau ituadalah kampung sebelah kampungnya, ia tetap bersyukurkarena tidak tersesat jauh. Suara anak-anak dari Masjidterdengar. Pada kaki yang lelah, kekesalan masih menempeldalam hati, siulan kecil mulai diam. Mata yang siaga tadiberangsur tenang, kantuk perlahan hinggap di antara katupmata yang menyimpan dinginnya malam. Ia berhentimemperhatikan segala yang ada. Ia berjalan cepat, agarsampai di rumah tertidur pulas dan menganggap kejadianmalam itu hanyalah mimpi.Dan semoga saja adik danAyahnya sudah berada di rumah dengan tawa terbahakmencemoohkan Maruk.

Terlihat di beranda rumah, Mak duduk bersimpuhmemandang ke jalan. Maruk berjalan melihat ke arah rumah,wajah lelah sengaja disembunyikan, biar Mak tidak bertanyabanyak tentang kejadian semalam. Meski dalam hati yangmengutuk Kelui, ia tetap berusaha tenang menghadapi rumahyang sudah menunggu banyak pertanyaan. Maruk kembalibersiul, sambil mendongak ke pohon-pohon yang melambai.

Page 98: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 88

Bonsai-bonsai ribut memandangi langkahnya yang pura-purategar, menandakan bahwa ia tidak kenapa-kenapa. Walaudalam keadaan kesialan-kesialan yang besar, ia tetap menjagahati Maknya tetap tidak cemas.

“Mana Kelui?”“Aku tidak tahu, Mak. Semalam kami berpisah di

tengah hutan. Katanya dia mencium wewangian yang biasadipakai Ayah untuk upacara ritual.”

“Hah! Ayahmu malahan sudah pergi ke ladang lagi, iapulang subuh tadi.”Tentu saja Maruk terkejut, sontak matanya menoleh

ke sekeliling rumah. Bisa jadi mereka sudah bersekongkoluntuk mengerjain Maruk. Tapi benar, Maruk tidak melihatpenampakan keberandaan adiknya. Ia menerobos masuk kedalam rumah, diperiksanya semua ruangan yang ada. Tapitetap tidak melihat Kelui.

“Jam berapa Ayah sampai di rumah tadi, Mak?”tanyanya mulai cemas.

“Sekitar jam setengah lima subuh.”“Hah!Jam itu kami masih bersama.”“Lalu, ke mana perginya adikmu?”Maruk diam sejenak, pikirannya melayang-layang tak

tahu arah. Ia penasaran kenapa Ayah tidak menunggu Marukpulang dulu sebelum pergi lagi ke ladang. Padahal ia tahudua anaknya pergi mencarinya semalam. Atau memangbenar, mereka berdua sudah merencanakan sebuah permainanuntuk Maruk. Anak itu menjadi buruk sangka pada merekaberdua, karena ia merasa dirugikan. Malahan memojokkankeadaan hatinya. Jika tetap membiarkan Kelui belum dirumah. Tentu Maruk akan semakin disalahkan nantinya.Barangkali Ayahnya sengaja pergi ke ladang, jika nanti ia

Page 99: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

89 | Binga

pulang ke rumah, dua anaknya sudah berada di rumah.Berarti Maruk berhasil menjadi kakak yang mampu menjagaadiknya. Kenyataan berkata lain, Kelui belum nampak batanghidungnya, Amaknya terus nyinyir bertanya ke manaadiknya. Sedangkan Maruk terus memikirkan ke manaperginya anak itu. Maruk sangat jengkel, seharusnya ia sudahtidur pulas dengan banyak mimpi, tapi nyatanya ia tidak akanmampu tidur dalam keadaan rumah semacam itu.

Emosi Maruk memuncak, kakinya yang lelah seakaningin terbang mengitari bukit-bukit yang dilalui semalam. Iaberlarian menuju tepian sungai. Sesampainya di tepiansungai, ia langsung melompat bagaikan ikan yang baru sajaterlepas dari genggaman anak kecil. Lama ia berada dalam airtanpa menghiraukan napasnya yang sesak. Ia meminumbanyak air sungai, sampai perutnya sakit. Maruk sudahkepalang terjebak akan permainan Ayah dan adiknya, itufirasatnya. Dalam hati ia berkata, jika ia bertemu denganKelui hari itu di sungai, ia akan menunjukkan bagaimanarasanya tangan anak yang dianggap lemah itu mendarat dikedua wajah. Tapi sayang, Maruk harus mengeksekusi itudengan mencarinya kembali ke bukit.

“Lain yang dicari, lain pula yang hilang. Sial!”

Karena kebencian akan beranak menjadi dendam.Dendam yang suatu saat akan terbalaskan. Kecewa danterabaikan, tapi jika sudah menyangkut harga diri danpengasingan, bagi Maruk itusudah kelewat batas. Walau iatidak pernah merasa benar-benar mendapat tempat di rumah,dan kasih sayang yang seharusnya juga ia dapati sepertiadiknya—seperti pertama ia lahir. Namun apalah daya siburung pipit yang hidup dikelilingi gagak-gagak, setiap haripenuh dengan bau anyir darah, berbeda dengan burung pipit

Page 100: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 90

yang mengandalkan petani padi dan buah-buah dari hutan.Begitu indah kicauan gagak-gagak sejak berhasil mengelabuipipit dan tersesat di hutan, yang terengah-engah terbang diantara keramaian dedaunan. Meski pulang juga menemuirumah, tapi sama juga bertemu dengan sebuah petaka. Sepertisebuah pertolongan, tapi meminta imbalan. Juga begitu hariberlanjut dengan alur yang dibuatnya.

___

Page 101: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

91 | Binga

BINGA 8Tentang Tek Liwas

Wanita itu menangis, memelas meminta bantuankepada tetangganya yang terus menyaksikan murkasuaminya. Air matanya hampir habis untuk menangis. Iaditinggalkan dengan satu badan yang sedang menendang-nendang ingin keluar untuk menolongnya. Wanita itu adalahTek Liwas, tetangga Maruk.

Semenjak kejadian itu, Tek Liwas mengasingkan dirijauh dari kampung. Ia memilih tinggal di sebuah pondokpeninggalan Ayahnya yang dulu berladang di sana—di rimbayang tidak ia ketahui namanya. Suaminya menikah lagi, talakyang dilemparkan ke Tek Liwas seakan membuktikan lepas

Page 102: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 92

tangan. Tek Liwas tidak mampu memenangkan pertarunganhari itu. Ia memaksakan hati untuk mengalah, sebab wanitayang dibawa suaminya sudah menang lebih dulu, meski iasedang berbadan dua. Tek Liwas mengemis memintapertolongan untuk melupakan selirnya itu dan ia memaafkan,tapi seperti orang-orang kampung lihat, suaminya sepertikesetanan, murkanya seakan mendidih ingin menyemburwajah Tek Liwas. Disanalah akar masalah itu sebenarnya,apa yang diwaspadai Tek Liwas terhadap Ayah Maruk mulaiberalasan. Saat kejadian itu hanya Mak Labia yangmembantu Liwas berdiri penuh darah di bagian bawahperutnya, darah yang berbau menyengat itu mengalirbagaikan air-air yang menuju dataran rendah. Perlahanmenggenangi lubang-lubang kecil.

“Kenapa Tek Liwas begitu marah saat itu kepadaAyahku?” tanya Maruk mulai memasuki cerita.

“Tentu saja, saat kejadian itu Ayahmu adalah satu-satunya lelaki yang menonton pertunjukan kurang ajar itu.Ayahmu menjadi penonton yang benar-benar polos, tanpamempertanyakan adegan-adegan kasar sekalipun. Setidaknyamelerai pertunjukan itu, anggap saja itu sudah kelewat batasatau tokohnya dirasuki setan.”

“Mungkin sikap dingin Ayah beralasan, Tek.”“Tidak!” sanggahnya cepat.“Dari mana Tek Liwas mengetahui itu, memang Tek

Liwas bertanya kepada Ayah?”“Aku mempertanyakan itu kepada Ayahmu, dan kau

tahu apa jawabannya? Ayahmu berkata;Urus sajapenderitaanmu, toh, tidak ada urusan dengan aku. Buat apaikut campur. Begitulah ucapnya.”

Page 103: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

93 | Binga

“Itu benar menyakitkan. Sampai aku harusmenenangkan diri keluar kampung ini.” sambungnya sembarimenyusun kain-kain yang berantakan.

Lelaki yang meninggalkan Tek Liwas waktu ituadalah teman Ayah semasa muda, Ayah pernah membawanyake rumah dan mereka bertemu, saat itu Tek Liwas masihgadis. Umur pernikahan Ayah dan Amak kala itu baru enambulan, sudah tentu teman Ayah itu sering berkunjung, karenasewaktu membujang mereka selalu berdua. Ayah sudahmenganggapnya sebagai adik, begitu juga sebaliknya. Tapisejak temannya itu memutuskan untuk meminang Tek Liwas,sejak itu pula hubungan mereka mulai renggang. Merekahampir tidak pernah bersapaan lagi, meski kenyataannyarumah mereka bersebelahan.

---

Suatu Ketika Dalam Binga

Mereka mulai sering bertemu sewaktu menghadirisebuah perayaan tahunan di kampung. Ada sebuah aleknagari25 yang menampilkan ragam kesenian masing-masingkampung. Dan waktu itu TekLiwas adalah bunga desa yangmenjadi seorang tokoh dalam permainan randai. Ia adalahseorang anak desa yang tidak pernah menginjak jenjangsekolah. Namun ia belajar otodidak di rumahnya untukmengetahui selukbeluk adat dan kebiasaan kaumnya, tapi iatidak sempat memahamicinta remaja ataupun membacawatak picik seorang lelaki. Tek Liwas lemah dibagian

25Alek nagari: acara sebuah kampung

Page 104: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 94

percintaan, ia baru pertama kali berkenalan langsung denganseorang lelaki—yaitu teman Ayah yang pernah dibawa kerumah. Sejak pertemuan singkat itu, mereka sering berjumpadi acara-acara alek nagari, padahal sudah sejak lama merekasering bertemu.Namun saat itu belum ada perkenalan.

Waktu sudah mempertemukan mereka. Merekadisatukan dalam sebuah pertunjukan yang dibuat olehpemuka adat. Mereka dipilih satu persatu, dan Tek Liwasbertemu disuatu sesi latihan permainan randai. Tek Liwasdan lelaki itu menjadi teman, lama kelamaan merekabersahabat. Sering latihan berdua di tepi sungai, merekamenghabiskan masa latihannya bersama. Kadang, merekaharus menambah jadwal latihan, agar tetap dapat berjumpa.Dan itu tidak akan dilarang para tetua kampung. Sebab,mereka akan dipertandingkan dengan kampung lain. Agarkampung mendapatkan nama yang disegani, para tetuamembiarkan mereka berlatihkarena mereka adalah tokohutama dalam permainan randai yang akan ditampilkan.

Semakin lama mereka semakin sedekat dekapan.Banyak kecurigaan yang mulai dibicarakan warga. Merekaseakan hilang kendali. Kadang, mereka ditemukan wargaberdua melewati semak-semak keladi di tepi sungai.Bersembunyi di balik pohon-pohon pisang yang mulaiberbunga. Tek Liwas sering tidak memakai jilbab sepulanglatihan. Itu yang membuat orangtuanya risau denganpertemanan mereka. Meski lelaki itu anak datuk di kampung,tapi seiring berjalannya waktu, keseganan orang tuanyahilang kepada lelaki itu. Dan Tek Liwas ditodongkanpertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke arah perawannya.Tek Liwas gusar, nelangsa sepanjang malam, memikirkan halyang telah ia perbuat. Apa yang akan terjadi, jika benar

Page 105: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

95 | Binga

diketahui orang banyak. Walau pada kenyataannya yangmereka tuduhkan itu benar adanya. Namun kadang tidakseparah yang orang-orang gunjingkan. Ia masih mengingat,saat kedua tangan lelaki itu meraba sekujur tubuhnya. Iaberontak melawan, melawan nafsu yang sedang ia rasakan.

Dan kemudian burung-burung berpulang ke sarang-sarangnya. Setelah beberapa hari ia bermenung di beranda,suara-suara nyaring dari setan mulai mengaung di telinganyayang mulai setengah pekak. Sepertinya akan ada petaka yanghendak ia eksekusi dengan banyak pemikiran tidak menentu.Meski ribuan kali bertengkar dengan perasaan, ia menyerahdan melakukan hal yang sedang direncanakan pikiran.

Ia menuju sebuah hutan di tengah sawah. Sepertisebuah pulau yang berada di tengah sawah luas. Di mana adahektaran lahan yang diisi puluhan sapi. Sepanjang jalan iamengumpat. Memaksa hatinya mengalahkan pikiran yangsedang merencanakan suatu hal, jika diketahui orang banyak.Akhirnya mereka bertemu di pulau tersebut. Tek Liwasmenahan tangis, tapi tak kunjung bisa.

“Apa yang akan aku lakukan jika kau benar tidakmengakui kejadian itu?” tanya Liwas sambil terusmemalingkan air matanya.

“Jangan risau, Dik Liwas. Aku akan menikahimu.”jawabnya dengan terus berusaha merangkul Tek Liwas. Laluhening, suara jangkrik bernada ketok-ketok palu, Tek Liwaspulang dengan mata merah dan rambut kusut.

---

Tek Liwas memakai suntiang26, dengan pakaianmerah bercampur kuning yang lengkap dengan manik-manik

26Suntiang: hiasan yang dipakai mempelai wanita di kepala

Page 106: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 96

berwarna keemasan. Senyum Tek Liwas tergambar jelas didepan penghulu, lelaki itu tetap memasang wajah datar, tanpaekspresi. Apa yang sedang dialami Tek Liwas?Meninggalkan hati hanya untuk mati. Mereka menikahdihadapan pemuka-pemuka adat yang penuh dengan malu,aib yang ditimbulkan Tek Liwas tertutup karena—sebablelaki itu adalah anak dari seorang datuk. Sudah jelas diayang sangat mendapat malu, jika dihitung-hitung jumlahmalu yang ditimbulkan. Namun kebijaksanaan para tetua,mereka harus dinikahkan sebagai pasangan yang halal, dandiakui oleh kedua keluarga, itu menghindari fitnah dangunjingan yang membuat suasana kampung tidak kondusif.Tek Liwas sah menjadi istri dari lelaki itu. Namun sepertinyaTek Liwas masih bertanya-tanya, kenapa lelaki itu biasa sajasaat menerima sumpah akad nikah setia seumur hidup.Seakan menyatakan bahwa ia tidak benar-benar mencintaiTek Liwas dengan tulus, melainkan hanya karena ‘malampokmalu anak gadih urang27’ kalau tidak akan muncul aib-aibyang membuat kaum Ayah lelaki tersebut menjadi malu.

Tek Liwas sangat bersyukur, ia akhirnya memberikanseluruh jiwa dan raganya pada lelaki yang mau bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Tek Liwas begitu senang saatitu, ia tidak pernah terlambat menyiapkan segala kebutuhansuaminya. Ia melayani sepenuh hati. Walau banyak kejadianyang tidak sewajarnya dialami Tek Liwas dengan hubunganpernikahan baru hitungan bulan, ia tetap tersenyum danmenikmati segala kemauan suaminya. Lelaki itu benar-benarmelepaskan segala birahinya kala itu.

27Malampok malu anak gadih urang: menebus malu anak wanita orang

Page 107: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

97 | Binga

Saat usia pernikahan mereka baru lima atau mungkinempat bulan. Tek Liwas sangat kesakitan, tapi dia tetapmemaksa melepaskan semua nafsunya. Puting dadanya yangsemakin terasa mengendor membuat rona di wajah hilangbagai ditelan malam, lekuk tubuh yang dulu adalahpendendang terkikis oleh usapan tangan birahinya. Semuanyaterlihat berubah, lelaki yang sangat dipatuhi Tek Liwasberubah ganas, sekali saja Tek Liwas menolak ajakannyaberhubungan, maka akan ada pemaksaan untuk melakukanhal tersebut. Meski ia tahu penyakit wanita yang datangsetiap bulan sedang menghinggapi Tek Liwas, tapi batanglelaki itu menusuk ke jantungnya dan memaksa inginmeluncurkan serangang-serangan.

Kentara Tek Liwas memang menyadari itu sudahtidak wajar lagi, tapi ia tetap menurut kepada perintahsuaminya. Hari-hari berlalu, bulan, tahun, sampai anakpertama Tek Liwas lahir. Ketika Tek Liwas lahiran,suaminya sibuk dengan sabung ayam di gelanggang. Tidakbanyak warga yang mengetahui bahwa suami Tek Liwasseorang pejudi, orang hanya tahu bahwa ia adalah anakseorang datuk yang memiliki hektaran tanah. Tapi disisi lain,orang tidak pernah memandang tabiat buruknya. Tek Liwashanya menceritakan hal tersebut kepada Mak Labia, pernahia mencoba menceritakan hal itu kepada Ayah, tapi hanyaberlalu bagai angin yang mendinginkan kepala. Banyak halsebenarnya yang ingin ditanyakan Tek Liwas kepada Ayah,sebab sebelum bertemu dengan Tek Liwas, suaminya lebihsering menghabiskan waktu bersama Ayah semasabujangnya.

“Kamu adalah orang ketiga mendengar cerita ini,Ruk.” ujarnya di sela-sela pembicaraan. Ia benar gusar, tiadatahu hendak mengadu pada siapa, untung saja Mak selalu

Page 108: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 98

bersedia mendengar keluhannya, maka dari itu Tek Liwastidak pernah menolak permintaan Mak saat minta bantuan.

---

Waktu memang sangat menentukan segala kejadian,lama-kelamaan yang namanya sifat asli seseorang akankeluar. Begitu yang dirasakan Tek Liwas. Akhirnya lelaki itumenunjukkan perangai dan tabiatnya yang bermainperempuan. Ternyata tanpa sepengetahuan Tek Liwas, lelakiitu mempunyai beberapa selir saat bermain judi di luarkampung. Seorang wanita yang sekian lama sudah menjadiselirnya tiba-tiba datang ke rumah dengan membawasuaminya mabuk berat. Saat itulah puncak kekecewaan TekLiwas kepada suaminya, walau akhirnya Tek Liwasmenerima kejadian malam itu dengan lapang dada, anggapanTek Liwas untung ada wanita itu yang mau menggopongsuaminya pulang ke rumah. Tidak serta membuat pikiran TekLiwas kacau, hatinya mendidih ingin mencakar wanita itu.Dengan gaya menornya yang penuh dengan warna-warni,wanita itu ikut berbaring di samping suami Tek Liwas. Ituadalah kamar Tek Liwas dengan suaminya. Lelaki itumemang sedang merasa jenuh dengan Tek Liwas, sampai taksadarkan diri pulang ke rumah.

“Kamu siapa?” tanya Tek Liwas sopan.“ Terima kasihtelah membantu suamiku,” lanjutnya berterima kasih.

“Biasa saja, ini sudah menjadi tugasku.” Jawabwanita itu.

Kemudian wanita itu terlelap bersama bau alkoholdimulutnya. Sedangkan Tek Liwas terpaksa menyaksikan itudengan matakepalanya. Mereka saling merangkul, danbermanja ria.

Page 109: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

99 | Binga

“Dasar binga!” umpat Tek Liwas sambil membantingpintu kamar. Dan pagi datang, itulah masa dimana semuaprilaku Tek Liwas menjadi berubah—kejadian yangdialaminya sebatang kara, anak menangis, panci-panciberhamburan mengeluarkan kuah gulai yang sudah dua kalimasak. Lelaki itu menjadi buas. Ia mengeluarkan kata-katayang tak dapat dimakan ayam, tak sanggup didengar telingaorang tuli. Waktu yang membuat Tek Liwas ingin segeramati, tapi kematian tak kunjung mendatanginya. Lelaki itupergi dengan wanita yang membawanya semalam. Tek Liwasdiceraikan secara kasar, walau dengan memelas Tek Liwasmenyembah kakinya.

___

Page 110: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 100

Binga 9Suara-suara Amak

Maruk berhenti memikirkan banyak hal yang selamaini selalu menjadi buah pikirannya. Meski dalam keadaanhati yang berduka, ia akan tetap melanjutkan hidupsebagaimana mestinya. Walau harus mengurus Amak yangtua renta sendiri.

“Aku harus berhenti memikirkan Kelui, Ayah, danmantra-mantranya.” Maruk sadar setelah mendengar ceritadari Tek Liwas, ia menyimpulkan bagaimana waktumengambil semua kenyataan yang terlihat membahagiakan,kenyataan yang diidam-idamkan tidak selamanya berjalansesuai dengan keinginan.

Page 111: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

101 | Binga

Tek Liwas pun begitu. Butuh waktu lama untuk iabangkit lagi, dan berani menampakkan mukanya ke hadapanorang-orang di kampung. Walau dalam keadaan hati yangterluka parah, ia tetap beranjak dan berjalan penuh harap.Setelah mendengar penjelasan dari Tek Liwas tentangkebenciannya terhadap Ayah. Maruk berpikir, bahwakebenaran tidak selamanya menyakitkan hati, Maruk tidaklantas mengambil keputusan sendiri—menghakimi Ayahnyasecara tidak langsung. Ia harus benar-benar mencerna semuacerita tersebut, agar tidak ada putik-putik benci yang menjadibunga, dan beranak dalam dada.

Maruk pulang ke rumah, ia melihat Amaknya dudukdi beranda. Dari kejauhan nampak kesedihan menyelimutitubuh tua itu. Ada sebuah kekecewaan memberi isyaratbahwa kepergian benar membunuhnya. Hari-hari yangdilewati terasa hampa. Tidak ada lagi upacara ritual, tidakada lagi tabiat-tabiat yang membuatnya harus begadangsepanjang malam. Malam Jumat terasa hampa. Bagi MakLabia, tabiat suaminya adalah sebuah anugerah yang wajibbaginya untuk menerima. Sumpah saat menikah adalahpegangan kuat buat Mak Labia tidak membantah katasuaminya. Meskipun begitu—tapi Ayah Maruk tidak pernahmenyakiti Mak Labia secara fisik. Sedih mendulang sesal,berada di rumah membuat diri semakin tersesat dilabirinkenangan. Mak Labia memilih diam dan pura-puramelupakan kenangan bersama suaminya, meski sejatinyakenangan tidak akan pernah pergi walau yang dikenangsudah tiada.

Di kampung, jalan-jalan terasa sunyi, aliran sungaitidak lagi menyimpan percik dari batang-batang pohon mati.Ingin rasanya Maruk membawa Mak Labia pergi darikampung, sekadar melupakan kenangan. Seperti yang pernah

Page 112: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 102

dilakukan Tek Liwas semasa duka menyelimuti hidupnya.Toh, suatu hari nanti Kelui juga akan mencari Amaknya,bukan Amak yang mencari dia. Itu pikiran Maruk yang inginmenyelamatkan masa tua Mak Labia. Tapi benar, kenangantidak akan mampu diselamatkan oleh siapapun, sekali itudarah daging sendiri. Mak Labia lebih memilih tetap tinggaldi rumah dan menikmati masa tuanya di kampung. Baginyatetap berada dilingkaran kenangan akan lebih indah untukmenunggu kematian.

Mak Labia masih duduk bermenung di beranda.Maruk menghampirinya dan mengajak berbicara untukmenghibur Mak Labia dengan lelucon-lelucon tentang TekLiwas.

“Tadi aku ke rumah Tek Liwas, Mak. Kami berceritabanyak tentang Ayah dan keluarganya. Dia berpikir aku telahmenjadi sakti mandraguna di tanah rantau.” Tapi apa-apayang dibicarakan Maruk hanya menjadi ocehan belaka.

“Mak tahu, Tek Liwas sangat mengagumi, Amak. Diaberprasangka, Mak adalah dukun, dan aku tertawa kerasmendengar itu.” Mak Labia masih diam dan mematungsambil bersandar ke tiang-tiang kayu.

“Baguslah, Ruk. Kamu bisa bercerita dengan TekLiwas. Dia orang baik.” ujar Mak sembari berdiri.

Maruk tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadidengan rumahnya. Hari-hari terasa suram, seperti ada yangsedang disembunyikan, tapi Maruk tidak tahu akan bertanyake mana lagi. Siapa yang akan dipaksa untuk menceritakansegala kejadian yang pernah terjadi ketika ia di rantau, ketikahari-harinya juga dirundung pilu. Begitu hebat Tuhanmembuat ujian, dan lelucon dunia yang fana. Jika memangbanyak kesialan antara dua kehidupan itu, sungguh terlalu

Page 113: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

103 | Binga

Tuhan menciptakan cobaan untuknya. Tidak cukup dirinyasaja, tapi keluarga juga ikut merasakan getirnya kepiluan.

---

Ini bagian paling menyebalkan dari Maruk. Orang-orang mulai beranjak pergi setelah kesakitan menghampiri,tapi tidak baginya. Ia jaga orang tuanya seperti ia menjagadirinya sendiri, hari-hari akan terus berjalan meski semuaperjalanan telah berhenti. Ada yang sengaja disembunyikanoleh Amaknya—yang ia kunci rapat-rapat dan takkan ia bukameski maut menjemput. Suara-suara yang tidak dapatdirekam Maruk akan selamanya senyap, bagai kepergianyang tidak pernah mendatangkan kabar berita.

Sejak kepergian Ayah dan adiknya, semuanyanampak baik-baik saja—Itu bila orang-orang melihat. Tetapisiapa yang tahu kesakitan apa yang sedang merekasembunyikan berdua, yang diam-diam tetap ia tahan dalamhati. Hanya doa yang sempat menjabah itu semua.Kepulangan Maruk bukan saja menyisakan sesal baginya,mengapa tidak di rantau saja, tentu tidak akan menghadapisuasana seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak cukuppintar seperti adiknya yang menghilang entah ke mana.

Sebagai orang kampung yang masih memercayaikeajaiban, Maruk akan selamanya berharap kedua orang itukembali pulang. Walau dalam bentuk apapun. Ia percayabahwa mereka belum benar-benar pergi. Begitulah orangbinga berharap pada Tuhan, walau pada kenyataan, harapantetap tidak ada.

___

Page 114: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

Arif P. Putra| 104

Arif Purnama Putra lahir di Koto Baru Surantihsebuah kampung kecil di Kabupaten Pesisir Selatan,Sumatera Barat. Ini merupakan novel pertama dan buku

Page 115: Arif P. Putragaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/... · malam Jumat sudah menjadi sebuah upacara ritual mereka. Malam itu Mak Labia melarang suaminya untuk tidak melaksanakan

105 | Binga

keduanya. Beberapa puisinya pernah tergabung dalam bukuAntologi 20 Cerpen terbaik PCINU-Maroko, 100 TheCompetition ASEAN Poem 2017 DEMA FTIK-IAINPurwokerto Requiem Tiada Henti, peraih nominasi ke-II diLCPA IAIN Purwokerto 2018 serta beberapa Antologibersama lainnya. Karya pernah dimuat beberapa media cetakdan online. Saat ini tergabung bersama Komunitas DaunRanting dan pembaca pertama di Purata Publishing. Bisaditemui di media sosial Fb: Arif P Putra, IG: @arif_p_putra,fanspage: Kaba Pesisir, blog: kabapesisir.wordpress.comblog: pemikiranlokal.blogspot.com