artikel memutus mata rantai pungli di sekolah -...
TRANSCRIPT
MEMUTUS MATA RANTAI PUNGUTAN LIAR (PUNGLI) DI SEKOLAHOleh: Salamat Siregar, S.Pd, M.Si
PENGANTAR
Pungutan liar (pungli) adalah meminta sesuatu (uang dan
sebagainya kepada seseorang atau lembaga, perusahaan, dan
sebagainya tanpa menurut peraturan yang lazim (KBBI). Pungli
merupakan isu lama yang terbarukan yang sudah mengakar ditengah-
tengah kehidupan masyarakat, terpelihara dengan baik, dirawat seperti
tanaman sehingga tumbuh mekar dan menghasilkan buah yang banyak
sehingga menjadi sumber penghasilan bagi satu pihak, sekalipun kerugian
besar bagi pihak yang lain. Melalui pungli, para oknum birokrat sangat rela
dengan gaji yang relatif kecil tetapi penghasilan besar. Sehingga jabatan
dalam birokrasi itu ada istilah kursi basah yang mudah sekali
mendatangkan uang diluar gaji resmi.
Teriakan atas pungli sudah lama didengungkan, namun gaungnya
tidak terdengar ke mana-mana sekalipun teriakan itu setara dengan
sambaran petir di siang bolong. Bahkan teriakan atas maraknya pungli
dianggap teriakan dari alam lain layaknya antara alam kematian dan
kehidupan. Kini teriakan kecil dari Sang Presiden Jokowi untuk sapu
bersih (saber) pungli langsung menyeruak ke seluruh penjuru masyarakat
dan menjadi isu hangat saat ini. Apalagi keputusan Presiden (perpres)
tentang sapu bersih (saber) pungli telah diterbitkan yaitu perpres nomor
87 Tahun 2016 yang akan menjadi payung hukum pemberantasan pungli
di segala bidang.
Berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap oknum PNS
Kementerian Perhubungan terindikasi pungli yang langsung ditinjau oleh
Kapolda Metro Jaya, Kapolri, dan Presiden Jokowi saat itu, isu saber
pungli menjadi pusat pemberitaan bahkan berhasil menyingkirkan isu-isu
lain yang aktual. Isu ini semakin hangat, ketika Bang Emil Sapaan akrab
Walikota Bandung ini memberhentikan sembilan Kepala Sekolah di
Pemerintahan Kota Bandung karena terindikasi pungli.
Tensi atas isu pungli ini dipastikan akan semakin meningkat karena
dikaitkan dengan lembaga pendidikan yang dipersepsikan sebagai satu-
satunya lembaga yang diharapkan mampu merubah paradigma dan
prilaku masyarakat menjadi lebih baik. Logikanya memang sederhana, jika
kepala sekolah memiliki prilaku buruk seperti yang disangkakan
melakukan pungli maka yang bersangkutan bisa dipastikan tidak akan
mampu menampilkan sosok kepemimpinan yang patut jadi teladan bagi
ratusan guru dan bahkan ribuan peserta didik di sekolahnya. Kata-katanya
sering kali tidak lagi sesuai dengan tindakannya.
Dalam sebuah Talk Show di salah satu TV Swasta pada 22
Oktober 2016 pukul 07.00 WIB, wakil Ombusman Lely Pelita Sari
menyebutkan bahwa ada sekitar tujuh ribu pengaduan tentang pungli dan
suap dalam pelaksanaan birokrasi, 45% nya terjadi pada dunia
pendidikan. Khusus untuk sekolah, isu pungli didominasi oleh Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) dan penerimaan peserta didik pindahan. Liris
terakhir dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa
korupsi terbesar terjadi pada sektor pendidikan. Bahkan ICW menemukan
adanya 30 jenis pungutan di sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia.
Dari jumlah itu, 13 jenis di antaranya berhasil diverifikasi dalam survei.
Pungutan liar tersebut adalah biaya ekskul, masuk, bangunan, uang ujian,
lembar karya siswa dan buku paket, SPP, perpustakaan, study tour,
perpisahan guru, pergantian kepala sekolah (kepsek), olah raga, biaya
fotocopy. Dari seluruh item itu, yang paling memberatkan adalah pungutan
biaya buku dan bangunan, ujar Ade Irawan, Kepala Divisi Monitoring
Pelayanan Umum ICW (www.hukumonline.com).
Diakui atau tidak PPDB merupakan salah satu kegiatan sekolah
yang sangat menegangkan dan menggiurkan bagi kepala sekolah.
Biasanya sebelum adanya PPDB selalu diawali dengan terbitnya petunjuk
teknik (juknis) tentang PPDB yang memuat prosedur dan tata kelola
penerimaan peserta didik yang sangat detail dan sistematis sehingga sulit
menemukan celah kecurangan dalam pelaksanaannya. Kepala sekolah
sebagai penanggung jawab tingkat satuan pendidikan tidak ada yang
berani untuk bertindak di luar prosedur yang telah ditetapkan, namun pada
akhir kegiatan barulah muncul pesan dan/atau call dari para pihak yang
memiliki power dengan memaksakan kehendaknya agar seseorang bisa
diterima sekalipun tidak masuk dalam sistem PPDB. Karena kran
kecurangan telah dipaksa untuk dibuka maka kepala sekolah pun tidak
punya daya untuk menolaknya bahkan mengamini kebijakan tersebut
dengan menerima calon-calon lain dengan alasan azas keadilan tetapi
dengan fee tertentu.
MASALAH
Objek pungli di sekolah bukan hanya orangtua /wali peserta didik
atau warga masyarakat yang memiliki urusan dengan pihak sekolah dan
peserta didik, tetapi guru, tenaga kependidikan, atau kepala sekolah juga
dapat merupakan objek pungli oleh pihak internal maupun eksternal
sekolah. Bilamana pungli ini berkembang di sekolah maka akan
mengganggu proses transformasi kepribadian dan pengetahuan kepada
peserta didik, sehingga harapan akan terbentuknya pribadi yang luhur dan
akhlak yang baik dari peserta didik akan menjadi sirna. Justru akan
muncul alumni dari suatu sekolah yang pura-pura baik tetapi memiliki
sebenarnya memiliki kepribadian yang buruk khususnya setelah menjadi
pelayan masyarakat mereka akan menjadi agen-agen pungli yang akan
mempraktekkan pengalamannya di sekolah. Oleh sebab itu, masalah
dalam makalah ini adalah bagaimana cara memutus mata rantai pungutan
liar (pungli) di sekolah?
PEMBAHASAN DAN SOLUSI
Di atas telah dijelaskan bahwa objek pungli di sekolah dapat
berasal dari internal dan eksternal sekolah, demikian juga yang menjadi
pelaku (oknum) pungli bisa berasal dari internal dan eksternal sekolah.
Orangtua/wali peserta didik atau warga masyarakat yang memiliki urusan
dengan pihak sekolah dan peserta didik itu sendiri dapat menjadi objek
pungli bagi oknum guru, tenaga kependidikan, atau kepala sekolah. Guru
dapat menjadi objek pungli bagi oknum tenaga kependidikan atau kepala
sekolah atau pihak eksternal sekolah, tenaga kependidikan dapat menjadi
objek pungli bagi kepala sekolah atau pihak eksternal sekolah, dan kepala
sekolah dapat menjadi objek pungli bagi pihak eksternal sekolah baik dari
birokrat secara vertikal maupun warga masyarakat bahkan yang menjadi
orangtua/wali peserta didik di sekolah tersebut.
Pungli di sekolah mirip dengan sistem rantai makanan yang pernah
dipelajari pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah dasar.
Gambarannya sebagai berikut:
Gbr. 1. Rantai Pungli di Sekolah
Level-1 merupakan peserta didik, orangtua / wali peserta didik atau
warga masyarakat yang memiliki kepentingan / urusan dengan pihak
sekolah. Mereka ini rentan dipungli oleh oknum level-2 (guru (2.1), tenaga
kependidikan (2.2), dan/atau kepala sekolah (2.3)). Modus pungli oleh
oknum guru (2.1) biasanya berhubungan dengan iming-iming nilai hasil
belajar yang tinggi, sehingga peserta didik memberikan upeti berupa
sejumlah uang, baju, jilbab, sepatu, atau benda lain yang sesuai dengan
permintaan oknum guru tersebut. Sementara oknum tenaga kependidikan
(2.2) biasanya memanfaatkan otoritas ketatausahaannya menjadi modus
pungli seperti mempersulit urusan surat keterangan, kartu pelajar, dan
sebagainya. Demikian juga dengan oknum kepala sekolah (2.3), bisa
Level - 1 Level - 2
Level - 3Level - 4
melakukan pungli pada penerimaan peserta didik baru, peserta didik
pindahan, pengusulan calon mahasiswa baru, dan hal-hal lain yang sesuai
dengan wewenangnya. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa antar
komunitas level-2 juga bisa saja saling pungli. Guru (2.1) sering menjadi
objek pungli oleh oknum tenaga kependidikan (2.2) melalui urusan surat-
surat yang dibutuhkan oleh guru. Demikian juga dengan oknum kepala
sekolah (2.3) sering menjadikan guru dan tenaga kependidikan sebagai
objek pungli seperti pada penerbitan SK berkala, kenaikan pangkat,
penerimaan tunjangan penghasilan, tunjangan sertifikasi, pinjaman ke
bank, dan sebagainya. Biasanya oknum kepala sekolah ini mencatut
nama penjabat di level-3 sebagai dasar untuk memuluskan aksinya seperti
menggunakan kalimat “kita harus setor sekian untuk pejabat x sehingga
harus ada potongan sekian”.
Level-3 adalah oknum eksternal yang merupakan penguasa
birokrasi atas guru-guru dan kepala sekolah baik dalam hal surat
menyurat atau anggaran yang bersumber dari APBD maupun APBN.
Level-3 ini biasanya memiliki otoritas penuh untuk memberikan
pengesahan, persetujuan, penerbitan surat-surat, atau sejenisnya
terhadap aktivitas birokrasi di sekolah. Oknum di level-3 ini sering
melakukan pungli terhadap kepala sekolah, namun tidak sedikit guru yang
dipungli dengan menggunakan jalur kepala sekolah. Model transfer
anggaran langsung ke rekening sekolah atau rekening guru bukan
menjadi jaminan tidak ada pungli di dalamnya. Oknum ini biasanya
meminta bagian atas dana yang masuk ke rekening sekolah atau guru
dan akan menjadi bumerang bagi kepala sekolah atau guru manakala
permintaan itu tidak dipenuhi. Level-4 adalah oknum eksternal merupakan
penguasa birokrasi bagi level-2 dan level-3. Oknum di level ini jarang
melakukan pungli secara langsung ke pada kepala sekolah apalagi guru.
Namun sering catut oleh level-3 sebagai dasar untuk melakukan pungli.
Luar biasanya oknum level-1 yang merupakan pihak eksternal
sekolah juga melakukan pungli terhadap level-2, level-3, dan level-4.
Modusnya mengatasnamakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Organisasi Kemasyarakatan (ormas), insan pers, dan sebagainya yang
menggunakan undang-undang keterbukaan informasi publik nomor 14
tahun 2008 dan undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 sebagai dasar
untuk melakukan intimidasi sekaligus melakukan pungli. Target tunggal
operasinya di sekolah adalah kepala sekolah yang tidak profesional dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai kepala sekolah, terutama
dalam hal pengelolaan anggaran yang bersumber dari APBD dan APBN.
Kita sangat prihatin ketika insan pers jadi korban kekerasan dalam
menjalankan tugas jurnalistiknya, namun juga sangat disayangkan banyak
diantara mereka yang menggunakan kebebasan pers untuk menakut-
nakuti kepala sekolah.
Lingakaran setan yang namanya pungli memang sudah sangat
kompleks untuk mengurainya. Manakala ada yang meminta bukti aktivitas
rantai pungli seperti yang digambarkan di atas, maka dengan serta merta
tidak bisa ditunjukkan tetapi nyata dirasakan. Bagus Santoso, Anggota
Fraksi PAN DPRD Riau mengatakan bahwa pungli mudah dibaca tetapi
sulit dibuktikan (Riau Pos, 23 Oktober 2016).
Simbiosis Pungli
Simbiosis pungli dalam dunia birokrasi khususnya di sekolah terdiri
atas pungli mutualisme dan parasitisme. Pungli mutualisme adalah pungli
yang dilakukan dengan menguntungkan kedua belah pihak. Pungli ini
biasanya terjadi kepada para guru yang punya urusan tetapi tidak cukup
persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku
contoh pada proses kenaikan pangkat guru disyaratkan memiliki
pengembangan diri (PD) dan publikasi ilmiah dengan angka kredit
tertentu. Namun karena guru tidak mampu memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan sesuai dengan aturan yang berlaku, mereka (guru) rela
dipungli. Keuntungannya adalah urusan mereka jadi lancar dan diperoleh
SK kenaikan pangkat. Kedua, pungli parasitisme yaitu pungli yang
menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Model pungli
ini biasa terjadi pencairan anggaran yang bersumber dari APBN atau
APBD. Guru yang mendapat tunjangan sertifikasi, harus dipotong sekian
rupiah untuk dibagi-bagi kemana-mana.
Deskripsi di atas menggambarkan bahwa rantai pungli yang paling
aktif digunakan baik sebagai objek maupun pelaku pungli di sekolah
adalah kepala sekolah. Dengan demikian persoalan utamanya adalah
posisi kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi di sekolah. Akar masalah
pungli di sekolah bukan semata-mata karena prilaku buruk kepala
sekolah, tetapi mereka juga tidak memiliki kemerdekaan penuh untuk
berdiri tegak pada aturan yang berlaku manakala tidak sesuai dengan
selera oknum yang berkuasa atas jabatan kepala sekolah. Kelemahan
kepala sekolah tetap menjadi dilema sekalipun dalam Permendiknas
Nomor 13 Tahun 2017 tentang standar kepala sekolah telah diatur
kualifikasi dan standar kepala sekolah.
Kelemahan posisi kepala sekolah dalam menjalankan tugas dan
fungsinya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Tidak ada regulasi
yang jelas, tegas, detail, terukur, dan transparan tentang sistem
recruitment kepala sekolah sehingga pengangkatan kepala sekolah
didasarkan pada like or dislike bukan berdasarkan kapasitas, kapabilitas
dan kompetensi. Transaksional ditengarai menjadi modus yang sering
dipraktekkan dalam proses pengangkatan dan pemberhentian kepala
sekolah. Kedua, pengangkatan kepala sekolah bukan berdasarkan sistem
promosi bagi guru-guru yang memiliki kompetensi yang mumpuni, tetapi
harus mempromosikan diri sendiri kepada calo-calo atau semacam
perantara. Cost untuk promosi tentunya harus ditanggung oleh calon
kepala sekolah yang bersangkutan. yang harus epala sekolah itu memiliki
posisi yang amat sangat lemah dalam kedudukannya layaknya telur di
atas tanduk. Akibatnya posisi kepala sekolah layaknya telur di ujung
tanduk. Sebutir tidak memiliki akses yang jelas untuk bisa naik ke ujung
tandung sehingga terpaksa meminta tolong kepada seseorang agar
dinaikkan, setelah berada pada posisi di atas tanduk, telur pun harus
berusaha keras agar tidak oleng karena berakibat fatal terjatuh dan pecah.
Solusi dari persoalan pungli di sekolah sebagai akibat dari
lemahnya kedudukan kepala sekolah adalah menciptakan sistem yang
jelas, detail, dan transparan tentang kedudukan kepala sekolah mulai dari
proses recruitment, masa jabatan, hingga proses pemberhentian kepala
sekolah. Dengan demikian kepala sekolah yang diangkat adalah output
dari sistem recruitment yang terukur kapasitas dan kapabilitasnya untuk
mengemban amanah sesuai periode yang ditetapkan dan tidak
sembarangan diberhentikan tanpa alasan yang terukur pula seperti karena
kasus hukum. Proses ideal promosi kepala sekolah telah diatur mulai dari
pengajuan calon kepala sekolah, seleksi administrasi, seleksi akademik,
dan diklat calon kepala sekolah (http://lppks.kemdikbud.go.id).
Proses pengusulan program penyiapan kepala sekolah misalnya,
mestinya mengikuti alur berikut:
Gbr. 2. Proses Pengusulan dan pengangkatan Kepala Sekolah
Penjelasan:
1. Dinas Pendidikan Membuat pengumuman berdasarkan proyeksi
kebutuhan kepala sekolah yang telah dibuat
2. Kepala Sekolah mengumumkan kepda guru-guru di sekolahnya
untuk mengikuti seleksi calon kepala sekolah, kepala sekolah juga
bisa menunjuk guru yang potensial untuk di usulkan sebagai
peserta seleksi calon kepala sekolah. Kepala sekolah juga harus
memberikan rekomendasi kepda guru yang sudah ditunjuk sebagi
calon kepala sekolah.
3. Guru yang ditunjuk sebagai peserta calon kepala sekolah harus
membuat surat lamaran dan melengkapi persyaratan yang telah
ditetapkan
4. Pengawas sekolah memberikan rekomendasi kepada guru yang
mendaftar sebagai peserta seleksi calon kepala sekolah
5. Kepala sekolah membuat usulan kepada kepala Dinas Pendidikan
Guru yang direkomendasikan menjadi peserta calon kepala sekolah
6. Dinas Pendidikan melakukan seleksi administrasi sesjuai yang
diamantkan pada permendiknas nomor 28 tahun 2010, Dinas
pendidikan juga harus mendistribusikan inturmen AKPK.
7. Kepala Sekolah yang diberi instrumen AKPK oleh Dinas Pendidikan
mendistribusikan kepada Guru yang ditunjuk sebagai peserta
seleksi calon Kepala Sekolah
8. Guru mengisi Instrumen AKPK dan memberikan respon, kemudian
instrumen tersebut di kumpulkan pada waktu seleksi Akademik
(http://lppks.kemdikbud.go.id/page/program_layanan/41/proses-pengusulan-calon-kepala-sekolah)
Demikian juga dengan seleksi administratif calon kepala sekolah mengikut
prosedur berikut:
Gbr. 3. Alur Seleksi Administratif Calon Kepala Sekolah
Penjelasan:
1. Kepala Dinas Pendidikan Membentuk Tim / Panitia Selsksi
Administrasi Calon Kepala Sekolah
2. Tim / Panitia Seleksi melakukan check list kelengkapan individu,
melakukan kelengkapan rekap kelengkapan peserta dan membuat
berita acara hasil penilaian seleksi administrasi
3. Kepala Dinas pendidikan menerima hasil seleksi dari panitia seleksi
administrasi dan membuat pengumuman hasil seleksi administrasi
4. Kepala sekolah menyampaikan hasil seleksi administrasi kepada
calon peserta
5. Guru menerima hasil seleksi administrasi.
(http://lppks.kemdikbud.go.id/page/program_layanan/40/seleksi-administratif)
Selanjutnya seleksi akademik mengikuti prosedur berikut:
Gbr. 4. Prosedur Seleksi Akademik Calon Kepala Sekolah
Penjelasan:
1. Kepala Dinas Pendidikan menunjuk Lembaga Penyelenggara
seleksi akademik (LP3CKS = Lembaga Penyelenggara Program
Penyiapan Calon Kepala Sekolah)
2. LP3CKS Menyiapkan seleksi akademik
3. Kepala Dinas Pendidikan Membuat undangan untuk peserta seleksi
calon kepala sekolah
4. Kepala Sekolah menyampaikan undangan seleksi kepada gurunya
yang menjadi peserta
5. Guru menerima undangan seleksi akademik secara resmi dan
menyerahkan instrumen AKPK kepada panitia di LP3CKS
6. LP3CKS melakukan registrasi peserta seleksi dan melakukan
selsksi Akademik meliputi ( memeriksa rekomendasi KS/PS,
Penilaian Potensi Kepemimpinan dan Penilaian Makalah
Kepemimpinan)
7. LP3CKS membuat rekapitulasi hasil seleksi akademik dan
membuat berita acara hasil seleksi akademik
8. Kepala Dinas Pendidikan menerima hasil seleksi akademik dari
LP3CKS dan mengumumkan hasil seleksi akademik
9. Kepala Sekolah menyampaikan hasil seleksi akademik kepada
peserta
10.Guru menerima hasil seleksi akademik
(http://lppks.kemdikbud.go.id/page/program_layanan/39/seleksi-akademik)
Fakta di lapangan mengindikasikan bahwa proses ideal seperti
yang digambarkan di atas jarang terjadi, namun pengangkatan kepala
sekolah tetap berlanjut sekalipun tidak sesuai prosedur standar. Akibatnya
seleksi transaksional menjadi pilihan yang terpopuler.
Selain penguatan kedudukan kepala sekolah, layanan berbasis
waktu merupakan alternatif untuk pelayanan administratif guru dan tenaga
kependidikan, misalnya guru yang sedang mengurus SK berkala harus
tuntas maksimum tiga hari, demikian juga dengan urusan-urusan
administratif yang lain. Kemudian layanan berbasis pos diyakini akan
mengurangi frekuensi tatap muka dalam melakukan transaksi layanan
birokrasi sehingga dapat menghalangi terjadinya pungli. Selanjutnya audit
yang ketat terhadap anggaran sekolah seperti audit penggunaan dana
BOS akan menyulitkan kepala sekolah dalam memainkan anggaran untuk
keperluan pungli kepada oknum-oknum yang memaksa untuk ikut
menikmati dana BOS. Dengan demikian istilah “dana BOS untuk Bos”
tidak lagi menjadi kenyataan.
Satu hal yang amat penting untuk memutus pungli di sekolah
adalah pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan regulasi yang
menjadi prosedur standar setiap pelaksanaan birokrasi. Selama ini banyak
aturan yang dibuat sebagai rujukan pelaksanaan setiap kegiatan birokrasi,
tetapi minim pengawasan sehingga cenderung bias dalam
pelaksanaannya.
KESIMPULAN DAN HARAPAN PENULIS
Pungli di sekolah baik yang dilakukan oleh oknum internal maupun
eksternal sekolah merupakan masalah yang dapat mengganggu agenda
sekolah dalam melakukan transformasi pengetahuan dan moralitas
kepada peserta didik. Kepala sekolah yang lemah baik dari sisi kapasitas
dan kapabilitas maupun kedudukannya merupakan jalur strategis
terhadap masuknya pungli di sekolah. Oleh sebab itu memutus mata
rantai pungli di sekolah dapat dilakukan melalui penguatan kedudukan
kepala sekolah melalui recruitment yang jelas, detail, dan transparan
termasuk masa jabatan, hingga proses pemberhentian kepala sekolah.
Selain itu perlu diterapkan layanan berbasis waktu, layanan berbasis pos,
audit yang ketat terhadap anggaran sekolah, dan pengawasan yang ketat
terhadap pelaksanaan regulasi. Mudah-mudahan melalui sistem yang baik
dan konsistensi dalam pelaksanaannya akan mampu memutus mata
rantai pungli di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Santoso, http://riaupos.co/4813-opini--pungli-birokrasi-dan-gaya-hidup.html#.WBQXdMlENH0
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11919/hasil-survei-masih-ada-
13-pungli-di-dunia-pendidikan-dasar
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Kepres Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu BersihPungutan Liar
Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS),http://lppks.kemdikbud.go.id/
Ombusman, http://ombudsman.go.id/index.php/pwk/jawa-barat/1921-tahun-2016,-laporan-pungli-tertinggi-dari-pendidikan.html
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 13 Tahun2007 tentang Kepala Sekolah/Madrasah
Talk Show di salah satu TV Swasta pada 22 Oktober 2016 pukul 07.00WIB
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang eterbukaan InformasiPublik
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers